Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

"NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN"

DOSEN PENGAMPU

Isna Asniza Elhaq, M.Kom.I

Kelompok I

Disusun Oleh :

Rizky ramadhan (0103202033)

Muhammad Rusdi(0103202052)

Muhammad Syam (0103202042)

Semester ll

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayah
Allah SWT kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isian.
Makalah ini berisikan tentang “NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN”

Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, serta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca. Makalah ini kami
akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh
karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan- masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Medan, September 30, 2021

penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Daftar isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……..

B. Rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …….

C. Tujuan makalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……..

BAB II PEBAHASAN

A. Negara………………………………………………………………………………………

B. KewargaNegaraan……………………………………………………………………………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……

B. Saran…………………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Istilah negara di kalangan para ahli memberikan pengertian yang beragam, hal
ini tidak bisa dihindari, karena mereka memiliki sudut pandang yang perbeda dalam
melihat konsep dan pahan tentang negara, demikian pula adanya perbedaan lingkungan
dimana mereka hidup, perbedaan kondisi sosial politik yang dialaminya serta keyakinan
keagamaan yang dianutnya, juga menjadi faktor yang mempengaruhi keragaman pemikiran
tersebut. Keragaman pemikiran seperti itu tentu akan menambah wawasan dan khazana
pengetahuan bahkan akan saling melengkapi dan menyempurnakan pemikiran, sehingga
persepsi kita mengenai negara akan menjadi semakin dinamis dan berkembang.

Meskipun tidak terdapat kesepakatan mereka mengenai konsep negara, namun


mereka tetap sepakat akan perlunya negara, karena secara fungsional negara dalam
pengelolaan pemerintahan yang paling menonjol adalah fungsi melaksanakan
pemerintahan atau pelaksanaan undang-undang. Karena masyarakat tidak mungkin
melaksanakan pemerintahan, melainkan hanya sebagai pemegang kedaulatan.

Rakyat dalam hal ini menyerahkan hak tersebut kepada penguasa untuk
melaksanakan fungsi pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Jalan pikiran
demikian dapat dipahami karena pemerintah merupakan suatu badan di dalam negara
yang tidak berdiri sendiri, melainkan bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Pemerintahan
yang ideal adalah pemerintahan yang dalam melaksanakan fungsinya dapat memahami
kehendak dan aspirasi masyarakatnya. Dalam pengertian, bahwa ada suatu kewajiban
bagi penguasa untuk selalu mengupayakan agar kepentingan rakyat dapat terpenuhi yaitu
terwujudnya kemaslahan dan kesejahteraan bersama.

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan adanya latar belakang Pemakalah mengurai permasalahan tersebut sebagai berikut:

1. Apa itu Negara ?


2. Apa itu Kewarganegaraan.?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan ini agar kita mengetahui

1. Defenisi, Fungsi, serta pengertian Negara.

2. Pengertian Kewarganegaraan, serta Warga negara


BAB II

PEMBAHASAN

A. NEGARA

1. Defenisi Negara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, kata negara dapat diartikan
kedalam dua hal. Yang pertama, negara adalah sebuah organisasi yang berapa pada suatu
wilayah dan memiliki kekuasaan tertinggi secara sah serta ditaati oleh masyarakat di
dalamnya. Yang kedua, sebuah negara dapat disimpulkan sebagai kelompok sosial yang
mendiami sebuah wilayah maupun daerah tertentu yang berada di bawah lembaga politik
maupun pemerintah yang efektif, memiliki kesatuan politik, berdaulat yang memiliki tujuan
nasional yang ingin dicapai oleh suatu wilayah tersebut.

2. Pengertan Negara Menurut para Ahli

Pada dasarnya para ahli ketatanegaraan masih memberikan pengertian yang


beraneka ragam mengenai negara, baik dipandang dari sudut kedaulatan (kekuasaan)
maupun negara dinilai dari sudut peraturan–peraturan (sudut hukum) seperti tanpa dari
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ilmu ketatanegaraan.

Aristoteles (384 - 322 SM), salah seorang pemikir negara dan hukum zaman
Yunani misalnya, memberikan pengertian negara, yaitu suatu kekuasaan masyarakat
(persekutuan dari pada keluarga dan desa/kampong) yang bertujuan untuk mencapai
kebaikan yang tertinggi bagi umat manusia.1

Ibnu Khaldum (1332 – 1406), sebagai seorang pemikir Islam tentang masyarakat dan
negara, merumuskan bahwa negara adalah masyarakat yang mempunyai wazi’ dan
mulk, yaitu memiliki kewibawaan dan kekuasaan.2

Selain yang dikemukakan di atas, para sarjana dan pemikir ketatanegaran abad ke-20
seperti Logemen, juga mengatakan bahwa negara adalah suatu organisasi

1
G.S. Diponalo, Ilmu Negara, jilid 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h.23
2
Deliar Nur, Pemikiran Politik di Negara Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), h.5
kemasyarakatan yang bertujuan dan dengan kekuasaannya mengatur dan mengurus suatu
masyarakat tertentu.3

Sementara H.J Laski, seorang pemikir negara dan hukum zaman berkembangnya teori
kekuatan abad ke-20, juga mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah
lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat
itu. Masyarakat merupakan negara yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh
asosiasi-asosiasi, ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.4

Jika diperhatikan beberapa pengertian negara yang dikemukakan para ahli di atas,
ternyata terdapat keragaman pemikiran mereka, baik di kalangan pemikir politik Islam
maupun di kalangan sarjana ilmu-ilmu kenegaraan modern sejak beberapa abad sebelum
masehi sampai detik ini. Perbedaan pemikiran mereka mengenai konsep negara tersebut
disebabkan karena perbedaan sudut pandang mereka dalam melihat konsepsi negara.
Perbedaan lingkungan di mana mereka hidup, perbedaan situasi zaman dan kondisi politik
yang mengitari pemikiran meraka, serta pengaruh keyakinan keagamaan yang dianutnya,
menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi mereka dalam melihat negara itu
sendiri. Ada yang memandang negara sebagai institusi sosial dan kenyataan sosial, ada yang
memandang secara organis, yakni memandang negara sebagai organisasi yang hidup dan
mempunyai kehidupan sendiri yang dalam berbagai hal menunjukkan adanya persamaan
dengan manusia sebagai mahluk hidup, ada pula yang memandang negara sebagai ikatan
kehendak dan golongan-golongan, negara dipandang sebagai sejumlah besar kehendak
yang diikat menjadi satu kehendak.

Demikian pula ada yang memandang negara dari aspek kekuasaan, sehingga
negara dipahami sebagai organisasi kekuasaan. Bagi mereka memandang negara dari
segi yuridis atau ajaran hukum, maka negara dipandang sebagai institusi atau lembaga
hukum yang tersusun dalam suatu tertib hukum, organ negara adalah organ hukum.
Sehingga negara merupakan personifikasi dari hukum. Sementara pemikir politik Islam
memandang negara sebagai istrumen politik yang berorientasi kepada pemeliharaan
agama dan pengaturan dunia. Bahkan ada pula yang memandang negara dikaitkan
dengan kepemimpinan, sehingga negara dipandang sebagai sebuah lembaga untuk

3
Mukhtar Affandi, Ilmu-ilmu Kenegaraan, (Bandung: Alumni, 1971), h. 9
4
Moh. K.usnadi dan Bintang Saragi, Ilmu Negara, (Jakarta: Perintis Press, 1985), h.48
melaksanakan kepemimpinan menyeluruh sebagai pengganti fungsi kenabian dalam
menegakkan agama dan mengatur urusan dunia.

Perbedaan pendapat para ahli di atas, tentu akan menambah wawasan dan
khasana pemikiran kita, sekaligus saling melengkapi dan menyempurnakan persepsi kita
tentang negara, sehingga persepsi tersebut akan menjadi semakin dinamis dan
berkembang. Meskipun tidak terdapat kesepakatan mereka dalam melihat pengertian dan
konsepsi negara, namun mereka tetap sepakat akan perlunya negara, sebab negara
merupakan instrumen politik untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Untuk
maksud itu, maka negara diperlukan untuk mengimplementasikan fungsi dan perannya
dalam mengawal pencapaian tujuan tersebut. Dalam konteks ini, negara memerlukan
pemberlakuan hukum (law enforcement).5

3. Fungsi Negara

Berkaitan dengan fungsi negara dalam pengelolaan pemerintahan dapat dilihat melalui
pemikiran para ahli. John Locke misalnya, mengemukakan bahwa pada dasarnya fungsi
negara itu dapat diamati pada tiga hal yaitu:

1) fungsi Legislasi, yakni fungsi membuat undang-undang dan peraturan,


2) fungsi Eksekutif, yaitu fungsi untuk melaksanakan peraturan dan
3) fungsi Federatif, yaitu fungsi untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan
perang dan damai.6

Pandangan John Locke yang dielaborasi oleh Soetomo di atas, menegaskan bahwa
fungsi mengadili merupakan bagian dari tugas eksekutif. Teori John Locke tersebut
kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dengan membagi negara itu ke dalam tiga
fungsi yaitu:

1) fungsi Legislasi, membuat undang-undang.


2) fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan
3) fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi
7
mengadili), yang lebih populer dengan teori trias politika.

5
Din Samsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” Ulumul Qur’an, No. 2, vol.
IV, Tahun 1993), h. 45
6
Soetomo, Ilmu Negara, di dalamnya mengutip pendapat John Locke dan Muntesquieu, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986),
h.37
Fungsi Federasi dalam pandangan Montesquieu dimasukkan menjadi satu dengan fungsi
eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri sendiri. Hal ini dapat
dipahami karena tujuan Montesquieu dalam memperkenalkan trias politika adalah untuk
kebebasan berpolitik yang hanya dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga
Yudikatif yang berdiri sendiri).

Terlepas dari pandangan di atas, Rousseau yang juga salah seorang ahli ketatanegaraan
mengatakan bahwa fungsi utama sebuah negara yang paling menonjol adalah fungsi
melaksanakan pemerintahan atau melaksanakan undang- undang.8 Fungsi melaksanakan
pemerintahan atau undang-undang sebagaimana yang dimaksudkan Rousseau tersebut,
dalam perkembangannya, masyarakat tidak mungkin melaksanakan pemerintahan, melainkan
hanya sebagai pemegang kedaulatan. Dalam hubungan ini rakyat menyerahkan hak tersebut
kepada penguasa dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan atau melaksanakan
undang- undang. Jalan pikiran demikian dapat dipahami karena pemerintah merupakan
suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, melainkan bertumpuk kepada
kedaulatan rakyat. Dan pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan atau penguasa
yang dalam melaksanakan fungsinya harus dapat memahami kehendak dan aspirasi
masyarakatnya. Dalam pengertian lain bahwa ada suatu kewajiban bagi penguasa untuk
selalu mengupayakan agar kepentingan rakyat terpenuhi. Pandangan di atas, sejalan dengan
pemikiran Mr. R. Kranenburk, yang mengemukakan bahwa negara pada hakikatnya
adalah suatu organisasi kekuasaan yang dibangun oleh sekelompok manusia yang disebut
dengan bangsa. Sebab prinsip utama terjadinya sebuah negara adalah adanya
sekelompok manusia yang disebut bangsa dengan berkesadaran untuk membangun suatu
organisasi.

Organisasi yang dibangun itu bertujuan untuk memelihara kepentingan manusia


tersebut.9 Dari perspektif ini, nampak dengan jelas, bahwa fungsi negara adalah
menyelenggarakan kepentingan bersama dari anggota sekelompok yang dinamakan bangsa.
Jika pandangan itu kemudian dikaitkan dengan teori-teori kenegaraan, dapat ditemukan
beberapa fungsi negara yang bersifat universal, yaitu adanya kewajiban suatu negara
untuk mewujudkan mepentingan masyarakat atau yang lebih tepat dikatakan
kepentingan umum, tanpa melihat kepada bentuk atau sistem pemerintahan yang dibangun

7
Ibid. h.37
8
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, (Yogjakarta: Liberty, 1996), h.1
9
Ibid. h.2
oleh negara yang bersangkutan. Fungsi negara yang dimaksud yakni: Pertama, fungsi
regular (regular function) atau fungsi pengaturan. Setiap negara harus melaksanakan fungsi
utamanya yaitu pengaturan yang merupakan motor penggerak jalannya roda
pemerintahan. Dalam arti, tanpa adanya pelaksanaan fungsi dimaksud, maka secara dejure
negara itu tidak ada. Sebab melaksanakan fungsi tersebut akibatnya secara langsung
dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.10

Fungsi regular ini meliputi:

1) Fungsi politik (political fungtion). Fungsi ini merupakan kewajiban negara yang
pertama kali muncul setelah negara tersebut lahir. Aspek yang termasuk dalam
fungsi ini adalah: Pertama, pemeliharaan ketenangan dan ketertiban. Tujuan dari
pelaksanaan fungsi ini adalah dalam rangka menanggulangi tindakan baik secara
preventif maupun secara represif terhadap ganggyan yang berasal dari
masyarakat itu sendiri. Kedua, pertahanan dan keamanan (security). Pelaksanaan
fungsi ini diperuntukkan terhadap ancaman dan agresi dari pihak luar yang
membahayakan eksistensi negara itu sendiri.
2) Fungsi diplomatik (diplomatical function). Sebagai manusia tidak mungkin bisa
hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain, demikian pula halnya dengan
negara. Negara tidak akan dapat hidup secara sempurna tanpa berhubungan
dengan negara yang lain. Inilah yang merupakan hakikat dari fungsi diplomatic.
Negara berhubugan dengan negara lain atas dasar persahabatan yang bertanggung
jawab, bukan atas dasar penjajahan. Masing-masing negara akan saling
menghormati kedaulatan masing-masing pihak, sehingga dapat dihindari terjadinya
expliotasi kepentingan.
3) Fungsi yuridis (legal function). Dalam pelaksanaan fungsinya, negara harus dapat
menjamin adanya rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam konteks ini negara
berkewajiban untuk mengatur tata cara bernegara dan bermasyarakat, agar supaya
dapat terhindari adanya konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Setelah
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, maupun negara itu sendiri harus
dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku, dan segala tindakan pemerintah
harus berlandaskan atas aturan main yang sudah diatur oleh kaidah-kaidah hukum.

10
H Bohari, Hukum Anggaran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1992), h. 6-7
4) Fungsi administrasi (administrative function). Fungsi ini mengharuskan agar negara
berkewajiban menata birokrasinya, demi mewujudkan tujuan sebuah negara.
Penataan birokrasi dimaksud bukan atas dasar kemauan negara semata- mata, akan
tetapi selalu bersumber pada aturan hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya.11Kedua, fungsi pembangunan (developing function). Pembangunan pada
hakikatnya merupakan perobahan yang terencana, dilakukan secara terus
menerus untuk menuju pada suatu perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan negara dimaksud tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
seecara tegas dikemukakan bahwa “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta seluruh tumpa darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.12 Semangat
inilah yang kemudian melandasi pengelolaan negara dan pemerintahan, untuk
mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Dalam konteks kesejahteraan yang menjadi kata kunci dari tujuan negara,
rakyat harus benar-benar merasakan hasil-hasil pembangunan termasuk pembangunan
demokrasi. Demokrasi yang makna harfiayahnya adalah pemerintahan rakyat,
mengandung arti, rakyat secara bersama-bersama memerintah di negaranya masing-
masing, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan martabat dan hak semua
warganegara yang menjadi bagian dari rakyat adalah setara. Dalam negara yang
diperintah oleh rakyat, yang martabat dan hak semua warganegara adalah sama, nilai
tertinggi yang harus dijadikan ukuran dari kemajuan negara tersebut adalah perwujudan
keadilan bagi rakyat seluruhnya. Keadilan bagi semua harus menjadi semboyan dari
semua pejuang demokrasi.

Dan keadilan dalam negara demokrasi adalah keadilan berdasarkan martabat


manusia. Suatu negara demokrasi dikatakan adil, kalau semua penduduk di Negara
tersebut mendapatkan hak-haknya, mendapatkan kesempatan mengembangkan diri
dengan akal dan nuraninya, dan mendapatkan kesempatan menjalankan tugas alamiahnya
sebagai manusia. Negara harus secara serius menegakkan keadilan, karena penegakkan
keadilan adalah fungsi utama negara. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
walaupun pererkonomian masyakat belum maju, kalau negara mampu menegakkan

11
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, (Yogjakarta: Liberty, 1996), h.3
12
J.C.T., Simorangkir, dan B. Mang Rengsay, Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Jembatan, 1982),
keadilan, rakyat akan setia kepada negara dan tahan hidup menderita dalam berjuang
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan maju. Tetapi dalam negara yang kaya
raya sekalipun, ketidakadilan akan menyakiti hati rakyat, dan akan mendapat
perlawanan.

Rakyat akan menolak semua bentuk ketidakadilan. Keadilan adalah yang utama
dan terutama, tanpa keadilan yang lain kehilangan makna. Tuntutan atas keadilan
inilah yang membuat hampir semua bangsa-bangsa di dunia sekarang ini menetapkan
demokrasi sebagai sistem kenegaraannya, demokrasi adalah satu-satunya tatanan
kenegaraan yang mengakui martabat manusia, dan pengakuan ini adalah dasar dari
keadilan.

Dalam konteks keadilan ini, negara boleh saja tidak makmur, tetapi negara
harus adil, karena kemakmuran suatu negara adalah hasil kerja masyakat, tetapi
kekuasaan penegakan keadilan sepenuhnya telah diserahkan kepada negara. Rakyat telah
mempercayakan fungsi penegakan keadilan kepada negara sejak pembentukannya. Oleh
karena itu negara harus adil, dan kalau tidak, negara akan kehilangan kepercayaan
dari masyarakat.

KEWARGANEGARAAN

Kewarganegaraan dikenal dengan kata citizenship, artinya keanggotaan yang


menunjukan hubungan atau ikatan negara dengan warga negara. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, warga negara adalah penduduk dalam sebuah negara berdasarkan
keturunan, tempat kelahiran. Mereka punya hak dan kewajiban penuh sebagai warga di
negara itu. kewarganegaraan adalah hubungan individu dengan negara.

Kewarganegaraan menunjukan kebebasan dan warga warga negara memiliki hak,


tugas, dan tanggung jawab tertentu warga negara punya hak politik penuh. Hak untuk
memilih dan memegang jabatan publik. Kewarganegaraan adalah bentuk kebangsaan
yang paling istimewa. Istilah yang lebih luas ini menunjukan berbagai individu dan
negara yang tidak serta merta memberikan hak politik. Tapi menyiratkan hak-hak
istimewa lainnya, khususnya perlindungan di luar negeri. Ini adalah istilah yang
digunakan dalam hukum internasional.13

13
Sumber, https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/28/080000669/kewarganegaraan-arti-sejarah-jenis-dan
macamnya?page=all, diakses tanggal, 30, september, 2021.
1. Sejarah Konsep kewarganegaraan

Konsep kewarganegaraan pertama kali muncul di kota-kota Yunani Kuno. Ini sebagai
reaksi ketakutan soal berbudakan. Di Yunani mengembangkan konsep demokrasi
langsung. Setiap warga negara berperan secara aktif dalam menentukan nasibnya maupun
kehidupan masyarakatnya.

Setiap warga negara di Kota Yunani berhak dalam kehidupan demokratis dengan
memilih wakil-wakil rakyat secara resmi. Selain itu dalam kegiatan rutin sehari-hari
dalam persoalaan administrasi dan hukum. Bangsa Romawi pertama kali menggunakan
kewarganegaraan sebagai alat untuk membedakaan penduduk Kota Roma dari orang-
orang yang wilayahnya telah ditaklukan dan disatukan oleh Roma. Ketika kekaisaran
terus tumbuh, orang-orang Romawi memberikan kewarnegaraan kepada sekutu di seluruh
Italia dan di provinsi Romawi lainnya.

Kewarganegaraan di Romawi memberikan hak hukum penting di dalam kekaisaran.


konsep kewarganegaraan nasional hampir hilang selama pertengahan abad. Itu diganti
oleh sistem hak dan kewajiban feodal. Pada akhir Abad Pertengahan, kepemilikan
kewarganegaraan di berbagai kota di Italia dan Jerman berubah menjadi jaminan
kekuatan bagi pedagang dan orang-orang istimewa. Konsep kewarganegaraan modern
terjadi perubahan pada abad ke-18 selama Revolusi Amerika dan Perancis. Konsep
warga negara datang untuk menyarankan kepemilikan kebebasan tertentu dalam
menghadapi kekuatan paksaan dari raja-raja absolut. Di Inggris, konsep warga negara
merujuk pada keanggotaan kerajaan di daerah atau kota setempat. Ini digunakan untuk
menekan posisi warga negara kepada raja atau negara. Konsep ini didahulukan untuk
warga negara yang memakai undang-undang kebangsaan.14

2. Asas kewarganegaraan

Negara memiliki kewenangan dalam hal menentukan asas kewarganegaraan. Penentuan


warga negara oleh negara sifatnya penting, hal ini berhubungan dengan penentuan
status hukum warga yang berada di dalam negara. Secara teoritis penentuan status
kewarganegaraan terdapat dua teori yang sangat populer, yaitu; asas ius soli dan asas ius
sanguinis. Namun selain kedua teori tersebut terdapat pula teori lain. Ruslan (2015)

14
Ibid h-all
menjelaskan setiap negara bebas dalam menentukan asas kewarganegaraan. Adapun asas
tersebut:

a. Asas kelahiran (Ius soli) adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan


tempat atau daerah kelahiran sesorang. Pada awalnya asas kewarganegaraan
hanyalah ius soli saja, sebagai suatu anggapan bahwa sesorang lahir di
suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara
tersebut, akan tetapi dengan tingginya mobilitas manusia maka diperlukan asas
lain yang tidak hanya berpatokan pada asas kelahiran sebagai realitas bahwa
orang tua tersebut melahirkan di tempat salah satu orang tuanya (misalnya
di tempat ibunya). Jika asa ius soli ini tetap dipertahankan maka si anak
tidak berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar
itulah maka muncul asas ius sanguinis.
b. Asas keturunan (Ius sanguinis) adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan
pertalian darah atau keturunan. Jika suatu negara menganut asas ius
sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki
kewarganegaraan suatu negara seperti Indonesia maka anak tersebut berhak
mendapatkan status kewarganegaran orang tuanya, yaitu warga negara Indonesia.
c. Asas perkawinan. Penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek
perkawinan yang memiliki asas kesatuan hukum, yaitu paradigma suami istri
atau ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang mendambakan suasana
sejahtera, sehat dan bersatu. Di samping itu asas perkawinan mengandung asas
persamaan derajat, karena suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status
kewarganegaraan masing-masing pihak.
d. Unsur pewarganegaraan (naturalisasi), dalam naturalisasi ada yang bersifat
aktif, yaitu seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau
mengajukan kehendak untuk menjadi warga negara dari suatu negara.
Sedangkan naturalisasi pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh
suatu negara atau tidak mau diberikan status warga negara suatu negara,
maka yang bersangkutan menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak
pemberian kewarganegaraan tersebut.15

3. Warga Negara

15
Ruslan, Pendidikan Kewarganegaraan. (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2015), h 45-46
Warga negara adalah orang-orang atau penduduk yang menetap dalam suatu
negara. Kaelan (2007) mendefinisikan warga negara adalah rakyat yang menetap di
suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara, warga negara
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negara juga
mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.16

Dengan demikian, yang menjadi warga suatu negara adalah orang yang menetap
dalam suatu negara. Namun perlu diperhatikan tidak semua orang yang menetap dalam
suatu negara menjadi warga negara. Orang yang berada dalam negara terbagi pada dua,
yaitu; penduduk dan bukan penduduk (non-penduduk). Penduduk adalah warga negara
asli dan orang asing sudah diakui oleh negara sebagai warga negara. Sementara bukan
penduduk (non-penduduk) adalah orang asing yang menetap dalam suatu negara. Oleh
karena demikian tidak semua orang yang berada di suatu negara disebut sebagai
warga negara. Orang atau penduduk yang menjadi warga negara mempunyai
hubungan terhadap negara. Hubungan tersebut terkait dengan hak dan kewajiban
warga negara dari negara, kewajiban/hak negara dari warga negara.

Penentuan kewarganegaraan merupakan otoritas negara. Oleh karena itu, dalam


menentukan kewarganegaraan negara dapat saja secara bebas menentukan asas
kewarganegaraan, sebagaimana penjelasan tersebut.

4. Hak Dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

Pengakuan status sebagai warga negara Republik yang diberikan oleh negara
Indonesia mengakibatkan hubungan timbal balik antara negara dengan warga
negara. Status ini pula yang mengakibatkan adanya kewajiban negara terhadap
warga negara dan kewajiban warga negara terhadap negara. Hak warga negara
adalah segala sesuatu yang harus didapatkan warga negara dari negara
(Pemerintah). Sementara kewajiban adalah segala sesuatu yang harus
dilaksanakan oleh warga negara terhadap negara.17

Contohnya, salah satu hak yang harus diperoleh warga dari negara adalah
hak perlindungan hukum, sementara salah satu kewajiban warga negara terhadap

16
Kaelan, dkk, Pendidikan kewarganegaraan. Cet. I. (Yogyakarta: Paradigma, 2007), h 177
17
Sumberhttp://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195202151983011M._UMAR_DJANI_MARTASU
TA/A%20Dikwar/1%20Pendidikan%20Kewarganegaraan/PENGANTAR/HAK%20DAN%20KEWAJIBAN%20%20WAR
GANEGARA.pdf. diakses tanggal 30 september 2021, h 2.
negara adalah menaati hukum negara. Selanjutnya untuk memperjelas tentang hak dan
kewajiban warga negara terhadap negara, serta hak dan kewajiban negara
terhadap warga negara, akan diuraikan berikut ini:

1. Hak dan kewajiban Warga negara terhadap negara Status warga negara yang
diperoleh seseorang dari negara mengakibatkan adanya hak dan kewajiban.
Hak yang dimaksud adalah sesuatu yang harus diperoleh oleh warga
negara setelah melaksanakan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya
sebagai warga negara. Hak dan kewajiban warga negara ditetapkan
dalam UUD 1945 dalam pasal 27 sampai pasal 34. Berikut dijelaskan
beberapa hak dan kewajiban tersebut:
a. Hak warga negara dari Negara
1) Hak kesamaan kedudukan dihadapkan hukum dan
pemerintahan.
2) Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
3) Hak berpendapat/kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
4) Kemerdekaan dalam memeluk agama.
5) Hak dan kewajiban membela negara.
6) Hak mendapatkan pengajaran/pendidikan.
7) Hak mengembangkan kebudayaan Nasional Indonesia.
8) Hak atas kesejahteraan sosial, tercantum dalam Pasal 33
terdiri dari tiga ayat (1), (2), dan (3), yaitu: a. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. b. Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. c. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
9) Hak untuk mendapatkan keadilan social.
b. Kewajiban warga negara terhadap negara Setelah memperoleh hak
dari negara tentu terdapat pula kewajiban warga negara terhadap
negara. Adapun kewajiban tersebut sebagai berikut:
1) Kewajiban menaati hukum dan pemerintah.
2) Kewajiban membela Negara.
3) Kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain.
4) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Pasal 28J ayat (2) UUD 45.
5) Kewajiban usaha pertahanan dan keamanan Negara.
2. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara Selain hak dan kewajiban
warga negara terhadap negara terdapat pula kewajiban negara terhadap
warga negara. Srijanti, dkk (2007) menjelaskan, hak dan kewajiban
negara adalah menggambar apa yang seharusnya diterima dan dilakukan
oleh negara atau pemerintah dalam melindungi dan menjamin
kelangsungan kehidupan negara serta tercapainya cita-cita dan tujuan
nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
a. Hak negara atau pemerintah adalah sebagai berikut:
1) Menciptakan peraturan dan Undang-Undang yang dapat
mewujudkan ketertiban dan keamanan bagi seluruh rakyat.
2) Melakukan monopoli terhadap sumber daya yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
b. Kewajiban negara atau pemerintah menurut undang-undang serta
UUD meliputi:
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia.
2) Memajukan kesejahteraan umum.
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia beradasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Dll.18

18
Srijanti dkk, Etika Berwarga Negara..., h 83
Selanjutnya sehubungan dengan hak dan kewajiban negara terhadap warga negara, menurut
Winarno (2014), adalah sebagai berikut:

1) Hak negara untuk ditaati hukum.


2) Hak negara untuk dibela.
3) Hak negara untuk menguasai bumi air dan kekayaan untuk kepentingan rakyat.
4) Kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil.
5) Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara.
6) Kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk
rakyat.
7) Kewajiban negara memberikan jaminan sosial.
8) Kewajiban negara memberikan kebebasan beribadah.19

19
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan..., h 53
BABIII

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut memberikan wawasan kepada warga negara tentang


kedudukannya dalam negara. Sebagai warga negara yang baik tentu tidak selalu menuntut
haknya dari negara, namun ia memikirkan “apa yang bisa aku berikan untuk negara ku.” Ia
lebih banyak menuntut hak dari pada kewajiban.

Perlu diperhatikan bahwa terdapat satu hal paling penting yang diberikan oleh negara,
yaitu pengakuan atau status kewarganegaraan. Setelah status kewarganegaraan diberikan,
maka baru kemudian diikuti oleh hak-hak lain, jika tidak maka dalam ini tiada
hubungan apa-apa antara orang tersebut dengan negara. Negara hanya berhak memberikan
perlindungan hukum dan hak-hak lain kepada warga negaranya.

B. SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Diponalo G.S., Ilmu Negara, jilid 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975).

Deliar Nur, Pemikiran Politik di Negara Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 1982).

Mukhtar Affandi, Ilmu-ilmu Kenegaraan, (Bandung: Alumni, 1971).

Moh. K.usnadi dan Bintang Saragi, Ilmu Negara, (Jakarta: Perintis Press, 1985).

Din Samsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam” Ulumul Qur’an, No. 2, vol. IV, Tahun 1993).

Soetomo, Ilmu Negara, di dalamnya mengutip pendapat John Locke dan Muntesquieu,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986).

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan


Tata Usaha Negara di Indonesia, (Yogjakarta: Liberty, 1996).

Bohari H, Hukum Anggaran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1992).

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan perubahannya,

Sumber, https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/28/080000669/kewarganegaraan-
arti-sejarah-jenis-dan macamnya?page=all, diakses tanggal, 30, september, 2021.

Kaelan, dkk, Pendidikan kewarganegaraan. Cet. I. (Yogyakarta: Paradigma, 2007).

Ruslan, Pendidikan Kewarganegaraan. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2015.

Srijanti dkk, Etika Berwarga Negara. Cet. I. Jakarta: Salemba Empat, 2007.

Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan


Tinggi. Ed. III. Cet. III. (Jakarta: Bumi Aksara, 2014.

Sumber:http;//file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19520215198301M.U
MAR_DJANI_MARTASUTA%20Dikwar/1%20Pendidikan%20kewarganeegaraan/PENGA
NTAR/HAK%20DAN%20KEWAJIBAN%20%20WARGANEGARA. Diakses Tanggal, 30
September, 2021

Anda mungkin juga menyukai