Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

"SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR TEMATIK"

DOSEN PENGAMPU
Drs. Prof. Abdullah, M, Si

Kelompok I
Disusun Oleh :
Rizky ramadhan (0103202033)
Intan Suci Melani (0103202037)
Hendy syahputra HSB ( 0103202038)

Semester ll

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...2

BAB I ……………………………………………………………………………………..3

PENDAHULUAN…………………………………………………………………………

METODE MAUDHU’I ATAU TEMATIK.......................................................................3

BAB II ................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..................................................................................................................4

A. TAFSIR MAUDHU’I PADA MASA KE MASA..........................................................4

BAB III……………………………………………………………………………………10

A. PERSIAPAN MATERI DAKWAH...............................................................................10

BAB IV................................................................................................................................11

PENUTUP...........................................................................................................................11

KESIMPULAN...................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

METODE TAFSIR MAUDHUI ATAU TEMATIK


Metode tafsir maudhui atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr sebagai metode al-
Taukhidiy adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama
membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya dan selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian pemperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-
penjelasan, keterangan-keterangan dan hubunganhubungannya dengan ayat-ayat yang lain,
kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.

Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir
jenis ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al Qur’an mengenai suatu judul/tema
tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan
sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya
dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang
membahas topik/tema yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas masalah,
karena al-Qur’an banyak mengandung berbagai macam tema pembahasan yang perlu dibahas
secara maudhu’i, supaya pembahasannya bisa lebih tuntas dan lebih sempurna

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. TAFSIR MAUDHUI DARI MASA KE MASA

Istilah tafsir mudhui adalah terdiri dari dua kata yang harus diberikan defenisi satu persatu,
yaitu kata tafsir dan maudhu’iy. Pengertian tafsir :

a. secara bahasa adalah berarti al-kasyf atau al-bayan (menyingkapatau menjelaskan) ,

b. menurut istilah : ilmu yang mengungkap tentang

makna dari ayat-ayat al-Qur’an dan menjelaskan apa yang dimaksud oleh Allah sesuai
dengan dengan kemampuan manusia. Pengertian maudhu’i :

a. berasal dari kata wadha’a yang berarti meletakkan sesuatu pada suatu tempat,

b. secara istilah berarti suatu konsep atau segala sesuatu hal yang terkait dengan kehidupan
manusia dari segi akidah, prilaku sosial kemasyarakatan atau apa saja yang nampak di
alam ini yang dikemukakan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
Adapun pengertian tafsir mudhu’i setelah berdiri sendiri dan menjadi suatu corak dalam
penafsiran al-Qur’an ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satu dari
defenisi tersebut adalah bahwa yang dimaksud tafsir mudhu’i :
“ ilmu yang membahas tentang suatu tema tertentu dalam al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan beberapa ayat yang terkait dengan tema tersebut dalam beberapa surah al-Qur’an
atau dalam satu surah saja”.
Dasar-dasar tafsir mudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat
dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan
oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir
maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah
digagaspertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas al-
Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-
Qur’an al-Karim.
Sedangkan tafsir mudhu’i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad
Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut,
jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir

4
sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun 1960-an. Buah dari tafsir model ini
menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmudal-Aqqad seperti ; al-
Insân fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.
Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr.
Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al
Maudhu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.

B. TAFSIR TEMATIK PADA PERIODE NABI MUHAMMAD SAW

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepadaNabi


Muhammad saw dengan berbahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa Al-Qur’an,
karena kaum yang menjadi tujuan pertama untuk disampaikannya syariat/ajaran Al-
Qur’an itu adalah kaum yang berbahasa Arab. Sebagaimana firma Allah dalam Q.S.
Ibrāhīm 14:4

ؕ ‫ٓا ُ‌ء‬m ‫ ِد ۡى َم ۡن ي ََّش‬m‫ٓا ُء َويَ ۡه‬m ‫لُّ هّٰللا ُ َم ۡن ي ََّش‬m ‫ُض‬


ِ ‫َو َم ۤا اَ ۡر َس ۡلنَا ِم ۡن َّرس ُۡو ٍل اِاَّل بِلِ َسا ِن قَ ۡو ِم ٖه لِيُبَيِّنَ لَهُمۡ‌ؕ فَي‬
‫َوهُ َو ۡال َع ِز ۡي ُز ۡال َح ِك ۡيم‬

Terjemahnya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkandengan bahasa


kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dia kehendaki dan Dia-lah Tuhan Yang Maha kuasa lagi Maha bijaksana.

Jadi, pada hakikatnya tidak ada satu ajaran kecuali dengan bahasa tempat ajaran
itu muncul. Demikian juga tidak ada satu ajaran kecuali dengan bahasa orang yang
diutus untuk menyampaikan ajaran itu kepada kaumnya. Karena kalau tidak demikian,
bagaimana mungkin ajaran tersebut dapat disampaikan dan dapat dimengerti dan dianut.

Nabi Muhammad saw setiap menerima ayat Al-Qur’an, beliau langsung


menyampaikannya kepada para sahabatnya dan menafsirkan yang perlu ditafsrkan.
Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an adakalanya dengan ayat Al-
Qur’an pula dan adakalanya dengan Hadis/Sunnah, baik dengan sunnah qauliyyah,
dengan sunnah fi`liyyah maupun dengan sunnah taqririyyah.

5
Dan penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an merupakan jalan
penafsiran yang paling baik.Tetapi, tafsir yang diterima dari Nabi Muhammad saw
sedikit sekali. `Aisyah bintu Abī Bakar, isteri Nabi sendiri mengatakan bahwa: Nabi
Muhammad saw menafsirkan hanya beberapa ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-
petunjuk yang diberikan oleh Malaikat Jibril.

a. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’andengan ayat


Al-Qur’an sesudahnya yaitu:Firman Allah dalam Q.S.Maryam/19:71

‫ضیًّا‬ َ ِّ‫ار ُدہَا ۚ َکانَ ع َٰلی َرب‬


ِ ‫ک َح ۡت ًما َّم ۡق‬ ِ ‫َو اِ ۡن ِّم ۡن ُکمۡ اِاَّل َو‬
Terjemahnya: Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi
neraka itu, hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.

Hafşah binti Umar memahami ayat di atas bahwa semua orang akan masuk ke
dalam neraka. Faham ini diperbaiki oleh Nabi Muhammad saw dengan mengingatkan
Hafşah akan lanjutan ayat tersebut yaitu

ٰ ‫ثُم نُنَجِّی الَّذ ۡینَ اتَّقَ ۡوا َّو نَ َذ ُر‬


‫الظّلِ ِم ۡینَ فِ ۡیہَا ِجثِیًّا‬ ِ َّ

Terjemahnya: Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa


dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut

b. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan


sunnah qauliyyah yaitu: Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2:187

‫اش َرب ُۡوا َح ٰتّی یَتَبَیَّنَ لَ ُک ُم ۡالخ َۡیطُ ااۡل َ ۡبیَضُ ِمنَ ۡالخ َۡی ِط ااۡل َ ۡس َو ِد ِمنَ ۡالفَ ۡج ۪ ِر‬
ۡ ‫َو ُکلُ ۡوا َو‬

Terjemahnya: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
.hitam, yaitu fajar

Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sunnah qauliyyah,
.sebagaimana Hadis berikut ini

6
‫الى‬mm‫اتم رضي ﷲ تع‬mm‫ي بن ح‬ّ ‫ح ّدثنا قتیبة بن سعید ح ّدثناجریر عن مطرّ ف عن الشعبيّ عن ع د‬
‫عنھ قال قلت یا رسول ﷲ ما الخیط األبیض من الخیط األسود أ ھما الخیطان قال إ ّنك لعریض‬
َ
‫أبصرت الخیطین ث ّم قال ال بل ھو سواد اللیل وبیاض النھار‬ ‫القفا إن‬
Terjemahnya: Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa`īd, telah bercerita kepada
kami Jarīr dari Mutţarrif dari al-Sya`bī dari`Adī bin Hātim r.a. dia berkata: Aku bertanya, wahai
Rasulullah: Apa benang putih dari benang hitam itu? Apakah keduanya benang? Beliau
menjawab:Tidak, tetapi itu adalah hitamnya malam dan putih nya siang.

c. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan sunnah
fi`liyyah yaitu:Firman Allah dalam Q.S. Āli `Imrān/3:190.

ِ ‫ت اِّل ُولِی ااۡل َ ۡلبَا‬


‫ب‬ ٍ ‫ار اَل ٰ ٰی‬
ِ َ‫ف الَّ ۡی ِل َو النَّہ‬ ۡ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ‫ق السَّمٰ ٰو ِ اۡل‬
ِ ‫ت َو ا َ ۡر‬
ۡ
ِ ‫اِ َّن فِ ۡی خَل‬
Terjemahnya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sunnah fi’liyyah,
sebagaimana Hadis berikut ini.

‫ح ّد ثنا سعید بن أبى مریم أخبرنا محمد بن جعفر قال أخبرنى شریك بن عب د ﷲ بن أبى نم ر عن ك ریب عن ابن‬
‫بت عند خالتى میمونة فتح ّدث رس ول ﷲ ص لّى ﷲ علیھ و س لّم م ع أھلھ س اعة ث ّم‬ ُّ ‫عباس رضي ﷲ عنھما قال‬
ِ ْ‫ت َو ْاَألر‬
ْ ‫ض َو‬
‫اخ ِتالَفِ ال َّل‬ ِ ‫رقد فلمّا كان ثلث اللیل األخر قعد فنظر إلى السماء فقال ِإ نَّ فِى َخ ْل ِق السَّ َم َاو ا‬
ِ ‫ت آل◌ُِ ولِى ْاَأل ْل َبا‬
‫ب ث ّم قام فتوضّأ واستنّ فصلّى إحدىعشرة ركعة ث ّم ّأذ ن بالل فص لّى ركع تین‬ ٍ ‫ار َآل َیا‬
ِ ‫ی ِْل َو النَّ َھ‬
‫بح‬ ّ ‫لّى‬
‫الص‬ ‫رج فص‬ ‫ث ّم خ‬

Terjemahnya: Telah bercerita kepada kami Sa`īd bin Abī Maryam, talah diberitahukan
kepada kami oleh Muhammad bin Ja`far dia berkata: Telah diberitahukan kepada saya oleh
Syarīk bin `Abdillah bin Abī Namir dari Kuraib dari Ibni `Abbās r.a. dia berkata: Saya tidur di
sisi tanteku Maimūnah, lalu bercerita Rasulullah saw bersama keluarganya sesaat kemudian
beliau tidur, maka setelah sepertiga malam yang akhir beliau duduk lalu memandang ke langit
lalu bersabda:

7
ِ ‫ت ِآل◌ُ ولِى ْاَأل ْل بَا‬
‫ب‬ ٍ ‫ار َآل َیا‬
ِ ‫اخ ِتالَفِ اللَّی ِْل َو ال َّن َھ‬ ِ ْ‫ت َو ْاَألر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫ِإنَّ فِى َخ ْل ِق ال َّس َم َاو ا‬

kemudian beliau berdiri lalu berwududan membersihkan giginya lalu salat 11 rakaat
kemudian setelah Bilal azan maka beliau salat duarakaat kemudian keluar lalu salat subuh.

d. Contoh penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dengan taqrir dari Nabi Muhammad saw
yaitu: Firman Allah dalm Q.S.al-Nisa’/4:29.

‫ح ۡی ًما‬
ِ ‫َر‬ ۡ‫َو اَل ت َۡقتُلُ ۡۤوا اَ ۡنفُ َس ُکمۡ ؕ اِ َّن ہّٰللا َ َکانَ بِ ُکم‬

Terjemahnya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.Dalam perang żātal-Salāsil,` Amru bin `Āş telah menafsirkan ayat tersebut
di atas yaitu:

‫ال تَ ْقتُلُوْ ا َأ ْنفُ َس ُك ْم‬

(janganlah kamu membunuh dirimu) dengan mandi junub dalam keadaan cuaca sangat
dingin. Tafsir`Amru bin `Āş ini mendapat pengakuan dari Rasulullah saw.

C. Tafsir Tematik Pada Periode Sahabat


Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang paling terkemuka dalam bidang tafsir
sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu:
1) Abu Bakar al-Siddīq (573 – 634 M),
2) ‘Umar bin al-Khaţţāb 9584 – 644 M),
3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M),
4) ‘Ali bin Abī Ţālib (600 – 661 M),
5) ‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M),
6) ‘Abdullah bin Mas’ūd (w. 625 M),
7) Ubay bin Ka’ab (w. 642 M),

8
8) Zaid bin Śābit (611 – 655),
9) Abu Mūsā al-Asy‘arī dan
10) ‘Abdullah bin Zubair.24

Empat orang pertama dari sahabat-sahabat tersebut pernah menjadi khalifah. Akan tetapi,
di antara keempat khalifah ini yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Ali bin Abī
Ţālib. Mengapa demikian? Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi Muhammad saw,
dia menantu Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya.
Sedangkan sahabat yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin
‘Abbās, ‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat ini adalah
Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair.
Sahabat yang terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak
dengan tafsir sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik,
‘Abdullah bin Dīnār, Jābir bin ‘Abdullah dan ‘Aisyah.25
Bagi sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw tidaklah sulit untuk mengetahui tafsir ayat Al-
Qur’an, karena:
a. Pertama, mereka menerima Al-Qur’an dan mengetahui tafsirnya secara langsung dari
Nabi Muhammad saw.
b. Kedua, mereka menyaksikan secara langsung turunnya dan sebab turunnya ayat Al-
Qur’an.
c. Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab.

Walaupun demikian tidaklah semua ayat Al-Qur’an difahami oleh para sahabat,
karena tidak semua ayat Al-Qur’an telah ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw hingga beliau
wafat. Di samping itu juga, tidaklah semua bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’an
diketahui oleh para sahabat.
Memang tidak semua kata dari bahasa suatu negara dapat diketahui oleh setiap
warganya. Al-Qur’an sebagai sumber utama syariat Islam harus difahami dan diamalkan dan
harus pula memberi solusi terhadap persoalan kehidupan yang semakin kompleks seiring
dengan perkembangan umat Islam, maka para sahabat berupaya menafsirkan Al-Qur’an baik
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an pula atau menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis

9
atau menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sahabat sendiri ataupun menafsirkan Al-
Qur’an dengan keterangan dari ahlu kitab. Jadi, pada masa sahabat terdapat empat sumber
penafsiran, yaitu:
a. Penafsiran dengan Al-Qur’an.

b. Penafsiran dengan Hadis.

c. Penafsiran dengan ra’yu (pendapat) sahabat. penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu harus
didasarkan atas: 1. Pengetahuan tentang tata bahasa Arab. 2. Pengetahuan tentang
kebiasaan masyarakat Arab. 3. Pengetahuan tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di
Jazirah Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an, Khususnya untuk memahami ayat yang
mengandung isyarat tentang perbuatan mereka dan bantahan terhadap mereka. 4.
Kemampuan intelegensia atau kemampuan pemahaman dan penalaran pengetahuan
tentang asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat)

d. Penafsiran dengan keterangan dari ahlu kitab yang biasa disebut dengan isrāiliyyah.

D. Tafsir Tematik Pada Periode Tabi‘in

Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat, maka
mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang belajar dan menerima langsung riwayat dari
sahabat. Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas, murid-

murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubay bin Ka‘ab.

Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar, ‘Aţā’ bin Abī Rayāh,
‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, Ţāwūs.

10
Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud yang termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq
bin al-Ajda‘, al-Aswad bin Yazid, Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī
dan Qatādah.

Adapun murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid bin Aslam, Abu
al-’Āliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī.
Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-
Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga
menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya. Dengan demikian sumber penafsiran
pada masa tabi`in yaitu:
1. Penafsiran dengan Al-Qur’an.
2. Penafsiran dengan Hadis.
3. Penafsiran dengan pendapat sahabat.
4. Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri.
5. Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan
isrāiliyyah.36
Kedudukan Penapsiran Tabiin. Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penafsiran tabiin
ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari sahabt. Ada dua sikap ulama terhadap
penafsiran tabiin yaitu: menerima atau menolak. Ulama menolak penafsiran tabiin
dengan alasan:

a. Tidak adanya kemungkinan seorang tabiin mendengar langsung dari Rasulullah saw.
b. Tabiin tidak menyaksikan berbagai kondisi mengenai turunnya ayat Al-Qur’an, sehingga
kemungkinan mereka salah dalam memahami maksud ayat.
c. Status tabiin tidak dinaskan seperti status adil para sahabat.

Abu Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah saw, maka aku terima bulat-bulat.
Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah-pilah. Dan apa yang datang dari tabiin, maka
mereka manusia dan akupun manusia.37 Akan tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa
ucapan tabiin dalam bidang tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutif sebagian
besar penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa: Aku membaca mushaf di hadapan

11
Ibnu `Abbāssebanyak tiga kali, dari surah al-Fātihah sampai surah al-Nās. Aku berhenti pada
setiap ayat dan menanyakan kepadanya.38

Karakteristik Tafsir Priode Tabiin


a. Banyak mengambil kisah isrā`iliyyah. Hal ini terjadi karena banyaknya ahli kitab masuk
Islam, dan dipikiran mereka masih melekat ajaran kitab suci mereka, khususnya yang ada
hubungannya dengan hukum syariat seperti awal penciptaan.
b. Tafsir masih menggunakan sistem periwayatan, namun bukan periwayatan dalam arti
komprehensif seperti pada masa Rasulullah saw, melainkan periwayatan yang terbatas
pada figur. Misalnya, Ulama Mekah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu
`Abbās, ulama Madinah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ubay bin Ka‘ab, dan
ulama `Irak hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu Mas‘ūd.
c. Banyaknya perbedaan pendapat di antara tabiin dalam penafsiran, walaupun perbedaan
pendapat mereka lebih sedikit bila dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang terjadi
sesudahnya.
d. Pada masa tabiin telah muncul benih-benih perbedaan mazhab. Karena itu, sebagian
tafsir tampak mangusung mazhab-mazhab itu di dalamnya.

TAFSIR TEMATIK PADA PERIODE ULAMA KLASIK

Kodifikasi tafsir dimulai sejak masa munculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa
pemerintahan Bani Umaiyyah. Karena itu, kodifikasi tafsir ada beberapa tahap, yaitu:39
1. Tahap pembukuan tafsir dengan bentuk bab khusus tafsir dalam buku-buku Hadis. Jadi,
pada masa pembukuan Hadis, buku-buku Hadis memuat salah satu bab tantang tafsir.
Para penulis tafsir pada tahap ini belum menulis buku secara khusus tentang tafsir ayat
demi ayat dari awal hingga akhir. Di antara penulis tafsir pada tahap ini adalah: Yazīd bin
Hārūn al-Sulamī, Syu`bah bin Hajjāj, Wakī` bin Jarah.
2. Tahap pembukuan tafsir terpisah dari buku-buku Hadis, sehingga buku tafsir berdiri
sendiri memuat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang disusun sesuai susunan muşhaf,
seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama, di antaranya: Ibnu Mājah, Ibnu Jarīr al-
Tabarī, Abū Bakar bin Munżir al-Nīsaburi.

12
3. Tahap penulisan tafsir secara bil-ma’śūr, namun terdapat perubahan dari segi sanad, para
penulis tidak menyebutkan sanad dan tidak menisbatkan pendapat yang mereka tulis dari
mufassir terdahulu yang telah mengemukakan pendapat tersebut. Maka, inilah awal
terjadilah pemalsuan dalam tafsir, riwayat yang sahih bercampur baur dengan riwayat
yang tidak sahih dan pencantuman isrāiliyyah dengan asumsi bahwa itu merupakan
kebenaran yang pasti. Di antara tafsir semacam ini adalah tafsir al-Bustan yang ditulis
oleh Abū al-Laiś al-Samarkandī dan tafsir Ma`ālim al-Tanzīl yang ditulis oleh Abū
Muhammad al-Husain Ibn Mas`ūd al-Bagawī al-Syafi`ī.
4. Tahap penulisan tafsir secara bercampur antara bil-ma’śūr dan bil- ma`qūl atau antara
bin-naqli dan bil-aqli atau antara bir-riwāyah dan bir-ra’yi. Pada tahap ini pula terjadinya
spesifikasi tafsir, misalnya: Abū `Abdillah Muhammad Ibn Abī Bakar Ibn Faraj al-
Qurţubī (lahir di Cordova 468 H./1093 M. dan wafat di Mauşul 567 H./1172 M.) dalam
kitab tafsirnya al-Jāmi` li Ahkām al- Qur’ān, beliau menitik beratkan penafsirannya pada
ayat-ayat hukum fiqhi, Muhammad Ibn Yūsuf Ibn `Alī Haiyyah al-Andalusī al-Nahwī
(lahir di Garnaţah 654 H./1256 M. dan wafat di Mesir 745 H./1344 M.) dalam kitab
tafsirnya al-Bahru al-Muhīţ, beliau banyak menguraikan dalam kitab tafsirnya tersebut
mengenai ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab), `Abdullah Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Ahmad Ibn `Abdullah Muhyiddīn Ibn `Arabī (lahir di Matsiyah 560 H. dan wafat di
Damaskus 638 H.) dalam kitab tafsirnya Tafsir Ibnu `Arabī, beliau lebih menekankan
penafsirannya kepada isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berkaitang dengan tasawwuf.
5. Tahap penulisan tafsir secara maudū`ī. Metode maudū`ī dalam penafsiran Al-Qur’an
mulai diperkenalkan pada tahun 1960 oleh Syekh Mahmūd Salţūţ ketika menyusun
tafsirnya, Tafsīr al- Qur’ān al-Karīm. Akan tetapi, ide penafsiran Al-Qur’an dengan
metode maudū`ī telah dikemukakan oleh Al-Syāţibī (wafat 1388 M.). Menurut Al-Syāţibī
bahwa setiap surah memiliki satu tema sentral walaupun masalah yang dikemukakannya
berbeda-beda dan tema sentral itu mengikat masalah yang berbeda-beda tersebut.
Kemudian ide ini dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahamd Sayyid al-Kūmī, ketua jurusan
Tafsir pada Fakultas Uşūluddīn Universitas al-Azhar sampai tahun 1981. Selanjutnya
Prof. Dr. Al-Farmawī menyusun buku tentang langkah-langkah tafsir maudū`ī yang
berjudul Al-Bidāyah wa al-Nihāyah Fī Tafsīr al-Maudū`ī.40

13
TAFSIR TEMATIK PADA PERIODE ULAMA KLASIK

Setelah Rasulullah saw wafat, estafet kepemimpinan Islam digantikan oleh Khulafa>’ al-
Ra>syidi>n (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk), yaitu Abu> Bakar al-S{iddi>q,, Umar
bin khat}t}ab, Uthman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi T{alib. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi
T{alib, muncul berbagai macam konflik internal diantaranya konflik dengan Aisyah dalam
perang Jamal dan konflik perebutan kekuasaan dengan Mu’awiyah bin Abi sufyan, yang
selanjutnya kepemimpinan diambil alih oleh Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Daulah
Umayyah.

Gerakan oposisi yang dilakukan oleh kaum Syi’ah yang menuntut balas terhadap
perlakuan Mu’awiyah terhadap Ali bin Abi Thalib yang bekerja sama dengan Ali bin Abdullah
(cucu Abbas bin Abd al-Mut}alib) ditambah dengan rasa ketidakpuasan rakyat Persia terhadap
khalifah daulah Umayyah menjadi faktor kehancuran daulah Umayyah, yang selanjutnya tampuk
kepemimpinan diambil alih oleh Abu Abbas al-S{afah yang menjadi cikal bakal lahirnya Daulah
Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah inilah merupakan representasi dari


kejayaan Islam klasik, dimana pada masa ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang
pesat melalui tiga pengembangan ilmu yaitu diskusi ilmiah, penerjemahan buku-buku secara
besar-besaran kedalam bahasa Arab dan didirikannya perpustakaan. Pengembangan ilmu tersebut
meliputi berbagai macam cabang ilmu, termasuk juga diantaranya ilmu tafsir. Tafsir pada masa
ini mengalami perkembangan yang pesat, dimana pada masa ini dilakukan pemisahan antara
tafsir al-Qur’an dengan hadist.

Diceritakan bahwa Umar bin Bukair telah meminta Al-Farra’ untuk membuat sebuah
buku yang berisikan keterangan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an, yang akan menjadi bahan
rujukan apabila ditanya oleh Amir al-Hasan bin Sahl jika ada masalah. Al-Farra’ menyetujui
permintaan tersebut dan meminta seorang muazin disebuah masjid yang menghafal Al-qur’an
untuk membaca surah demi surah dan AlFarra’ menafsirkan ayat-ayatnya sampai selesai
keseluruhan ayat AlQur’an. Tafsir karya Al-Farra’ inilah yang merupakan tafsir yang pertama
kali tersusun menurut susunan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagai perintis jalan kepada para

14
mufassir setelahnya, sehingga pada perkembangan setelahnya muncul Al-Thabari dengan karya
monumentalnya yaitu Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.

Penafsiran periode klasik dimulai sebelum munculnya penafsiran Muhammad Abduh di


Mesir (w. 1905 H) dengan karyanya Tafsir Al-Manar dan Ahmad Khan di India (w. 1898 H)
dengan karyanya Tafhim al-Qur’an. Pada abad ke-4 H, perkembangan karyakarya tafsir dalam
bentuk kitab mulai marak. Pada masa ini dikenal sebagai masa pembukuan (‘asr al-tadwn),
dimana penafsiran AlQur’an telah mengadaptasi berbagai perkembangan ilmu pengetahuan,
seperti filsafat, teologi, hukum dan sebagainya, dan para mufassir berusaha untuk menyinergikan
antara tafsir dengan ilmu lainnya.
Karya yang paling tua adalah adalah karya Ibnu Jarir al-T{abari (w. 923 H), jenis
tafsir Al-Tabari ini sering disebut dengan tradisi tafsir bi al-ma’thur atau tafsir bi al-riwayah.
Pasca Al-Tabari, penafsiran Al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup pesat, diawali oleh
Abu Laith al-Samarqandi (w. 983 H) dengan karyanya Bahr al-‘Ulum dan Al-Tha’labi (w. 1035
H) yang menyusun kitab AlKashf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, tafsir ini diklaim sebagai
representasi dari tafsir kaum Sunni.
Dari aliran Mu’tazilah, lahir tafsir Al-Kashshaf ‘an Haqaiq alTanzil karya Al-
Zamakhshari (w. 538 H). Pada masa yang relatif sama, dari kalangan Sunni muncul tafsir karya
Ibnu al-‘Arabi (w. 543 H) menyusun tafsir Ahkam al-Qur’an dan Al-Jami’ li al-Ahkam alQur’an
karya Al-Qurtubi (w. 1275 H).
Kedua tafsir ini lebih cenderung mengedepankan pembahasan hukum (fikih) dalam
tafsirnya. Kemudian Pada masa ini pula muncul tafsir-tafsir dari kalangan Syi’ah. Tafsir Syi’ah
yang paling tua dan masih dapat ditemukan sampai saat ini adalah tafsir al-Qur’an karya Ali
Ibrahim al-Qummi (w. 939 H), karya lainnya adalah Al-Tibyan fi tafsir al-Qur’an karya
Muhammad bin Hasan al-Tusi (w. 1067 H), dan Majma’ al-Bayan fi Ulum alQur’an karya Abu
Ali al-Tabrasi (w. 1153 H). Disamping tafsir-tafsir diatas, muncul tafsir yang cukup populer
yaitu Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mah}alli (w. 1459 H), dan diselesaikan oleh
muridnya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 1505 H). Secara umum, corak penafsiran pada masa ini
cenderung mencari legitimasi al-Qur’an untuk menguatkan pendapat dan ideologi masing-
masing alirannya.

15
Perhatian Mufassir(Penafsir) TerhadapTafsīr Mauḍū’ī

Sebagaimana telah diketahui bahwa para mufassirdi dalam menafsirkan al-Qur’ān lazim
mengikuti runtutan ayat seperti yang terdapat di dalam musḥaf, kemudian mereka menafsirkan
ayat demi ayat dan surat demi surat, dengan maksud untuk mengetahui makna-makna dan segala
rahasia yang terkandung di dalam al-Qur’ān. Masing-masing mufassirjuga lazim dipengaruhi
oleh bidang ilmu yang menjadi keahliannya. Inilah yang menyebabkan tafsir itu memiliki
bermacam-macam corak dan warna, sesuai dengan perbedaan wawasan dan bidang kelimuan
para mufassirtersebut serta adanya silang pendapat diantara mereka (Farmawi, 1996: 40).
Di tengah-tengah suasana perkembangan tafsir yang demikian, para mufassir zaman dulu
tidak mempunyai kepedulian untuk menafsirkan al-Qur’ān secara tematik karena dua sebab:
Pertama, metode tafsīr mauḍū’īdianggap mengarah kepada kajian spesialis, yang bertujuan
mengkaji satu tema bahasan setelah meneliti dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema tersebut. Sedangkan pada saat itu kajian tematik belum menjadi tujuan kajian.
Kedua, para mufassir zaman dulu belum merasakan penting dan perlunya untuk melakukan
kajian terhadap topic-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Qur’ān al-Karīm menurut cara
kerja metode mauḍū’ī.Mereka semua hafal al-Qur’ān, dan ilmu keislaman mereka sangat
mendalam serta mencakup semua aspek. Oleh karenanya, mereka mempunyai kompetensi
menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan dengan topic masalah tertentu yang ia
jelaskan melalui spesialisasi ilmunya (Farmawi,1996:4.
Adapun faktor pendorong munculnya perhatian dan minat untuk melakukan pembahasan
baru berdasar corak tafsīr mauḍū’īdi zaman sekarang ini adalah diantaranya sebagai beikut:
1. al-Qur’ān sebagai wahyu yang turun kepada Nabi saw. mengandung berbagai macam-
macam ilmu yang bernilai tinggi, sehingga banyak tokoh ilmuan dan para peneliti
berupaya mencapai khazanah al-Qur’ān.
2. dewasa ini banyak orang-orang yang dengan alas an ilmu, mempelajari masalah-masalah
yang dikandung oleh al-Qur’an, dan studi mereka tidak jarang menghasilkan tuduhan
mengenai kebatilan al-Qur’an. Tuduhan negatif ini dilontarkan oleh orang-orang yang
tidak memiliki pengetahauan keislaman, atau oleh orang-orang yang tidak terbiasa
dengan kajian mengenai tema-tema semacm ini, yang dipelajari melalui pendekatan
tematik ilmiah.

16
Oleh karenanya, dianjurkan kepada para mufassir zaman sekarang memperbaharui arah
tafsir menuju kepada kajian tafsir secara tematik atau tafsīr mauḍū’ī (Farmawi, 1996: 43-44).

Kebutuhan terhadap tafsir tematik

Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kelebihan tafsir tematik dibandingkan dengan karya
tafsir tahlili ;

1. dalam tafsir tematik menafsirkan al-Quran bukan sekedar menggali makna dari teks
tetapi juga menarik makna itu ke dalam realitas. Lebih detil ia menjelaskan bahwa dalam
aktivitas hermeneutika, penafsiran tematik bukan hanya merepresentasikan upaya-upaya
untuk menerangkan makna teks, tetapi juga merupakan upaya untuk memahaminya
(understanding); dengan demikian, tafsir tematik tidak hanya menjadi perhatian untuk
bisa mengetahui (knowing), tetapi juga menyadari dan mengalaminya.
2. Dalam tafsir tematik sang mufassir tidak hanya berfungsi sebagai penerima makna, tetapi
juga berperan sebagai pemberi makna. Ia menerima makna lalu meletakkannya dalam
sebuah struktur yang rasional dan berbasis kenyataan. Di sini, penafsiran tematik
merupakan penemuan identitas asli antara wahyu, akal, dan alam semesta.

3. Dalam tafsir tematik, upaya yang disebut dengan istilah interpretasi bukan sekedar
kegiatan menganalisis, tetapi juga upaya membuat sintesis; dengan kata lain, bukan
hanya memecah kesatuan ke dalam bagian-bagiannya, tetapi juga mengembalikan
bagian-bagian itu ke dalam kesatuan. Dalam hal ini, interpretasi berarti melihat inti dari
sesuatu, membawa objek ke dalam fokus.

4. Dalam istilah akademik interprestasi adalah menemukan sesuatu yang baru, di antara
garis-garis, menambahkan pengetahuan utama yang tidak dikenal dan tidak
diartikulasikan untuk masuk ke level yang lebih dalam dari sebuah teks yang bersesuaian
dengan tingkat kesadaran lebih mendalam. Dengan kata lain, interpretasi adalah menulis
sebuah teks baru, sebuah refleksi kitab suci dalam cermin kesadaran individu.

17
Dalam pandangan Hassan Hanafi, penafsiran tematik muncul lantaran kekurangan dan
kelemahan yang dimiliki oleh metode tafsir tahlili. Ada beberapa unsur yang dinilainya sebagai
kelemahan dan kekurangan tafsir tahlili:

1.      Munculnya tema-tema serupa dalam beberapa surah, sehingga kemunculan tema-tema lain
telah menginterupsi keutuhan dari tema yang pertama. Hassan Hanafi memberi contoh tema-
tema yang dikandung dalam sebuah surah al-Qur’an, seperti: kekayaan, kekuasaan, umat, akal,
indera, individualitas, solidaritas sosial, dan seterusnya. Setiap tema umumnya diuraikan hanya
secara parsial, sehingga menjadi sangat bergantung dengan konteksnya; akibatnya, tema yang
bersifat menyeluruh hilang ke dalam bagian-bagian yang berbeda-beda.

2.      Mengulang-ulang tema serupa beberapa kali tanpa kesatuan makna dalam membangun
sebuah konsep, seperti tentang status perempuan, yang gagasannya tercerai-berai di seluruh
bagian kitab. Setiap kali satu aspek dari tema ditemukan, namun realitas yang nampak secara
bertahap kemudian menjadi terdesak meskipun dipandang secara parsial, dan perlu disatukan ke
dalam satu inti pembahasan.

3.      Penafsiran tahlili tidak memiliki struktur tema, apakah rasional ataukah empirikal atau
bahkan keduanya. Sebuah struktur yang memberi ruang bagi tema untuk bisa berdiri sendiri,
memiliki validitas sendiri, bisa memverifikasi secara mandiri, bukan dari luar, baik dalam aspek
rasional maupun empirikalnya, dan bukan hanya dari dalam kitab suci.

4.      Tidak adanya ideologi yang koheren dalam tafsir tahlili atau pandangan dunia global yang
menghubungkan aspek-aspek parsial dari tema ke dalam sebuah pandangan yang bersifat global,
mulai dari yang partikular dulu, lalu beranjak menuju pandangan yang bersifat menyeluruh.
Contohnya: melihat, mendengar, dan merasakan merupakan bagian-bagian dari aktivitas
kognitif, sementara berbuat, berbicara, dan berinteraksi merupakan aspek lain dari kesadaran.
Keduanya merupakan dimensi berbeda dalam individualitas manusia.

5.      Tafsir yang berjilid-jilid melelahkan untuk dibaca, bahkan untuk membelinya, membawa dan
menyimpannya, dan bahkan ketika hanya untuk memegangnya di dalam genggaman tangan.
Kuantitas itu tidak banyak disukai dewasa ini, sehingga membuat para pembaca kebingungan di
depan kacamata ilmu yang menyempit. Terkadang, muncul kesan bahwa hanya ayat-ayat al-

18
Qur’an sendiri saja –tanpa tafsir-- yang nampak lebih mudah dibawa dan lebih sederhana untuk
dipahami.

6.      Dalam tafsir tahlili, terjadi kebingungan unttuk memilah antara informasi dan ilmu.
Informasi adalah sesuatu yang sudah diketahui di suatu tempat dan dikomunikasikan dari satu
sumber ke sumber lain, sementara ilmu adaalah sesuatu yang baru, sebuah tambahan dari
informasi dan ilmu yang ada sebelumnya. Terkadang kitab tafsir menyajikan informasi,
sementara al-Qur’an memberi ilmu.

7.      Informasi yang disajikan di dalam tafsir tahlili berbeda dengan kebutuhan diri dan
masyarakat masa kini. Para pembacanya tidak mengidentifikasi bacaan. Bacaannya bersifat
dingin, tidak berguna, dan informasi yang ketinggalan zaman. Sementara para pembaca
memerlukan ilmu pengetahuan yang hidup, berguna dan up to date.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Cet. I; Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008.
Al-Jalailain, Imam. Tafsīr al-Qur’an al-Karīm. Juz I; Semarang: Toha Putera, t.th.
Umar Anggara. Pendekatan Saintifik dalam Penafsiran Al- Qur’an. Nasional Ulama Al-Qur’an
di Bogor, 23 – 25 Maret 2009.
Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta:: t.p., 1984.
Al-Şālih, Şubhī. Mabāhiś fī `Ulūm al-Qur’an. Cet. XVII; Bairūt: Dār al-`Ilmi lLi al-Malāyīn,
1988.
Salim, Abd. Muin. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Ujung Pandang: Lembaga
Studi Kebudayaan Islam, 1990.
Ash Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis.
Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
Terj. Muhammad Qadirun Nur. Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an /

19
Tafsie. Cet. XV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba,
2000,
Al-Munawar, Said Agil Husin. (2013), Al-Qur’an membangun tradisi
kesalehan hakiki, Jakarta: Ciputat Press.
Al-Sabuni, Muhammad Ali. (2001), Al-Tibya>n fi Ulu>m al-Qur’an;
Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terj. Muhammad Qadirun
Nur, Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Qat}t}an, Manna>’ Khali>l. (2016) Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj.
Mudzakir AS, Bogor: Litera Antar Nusa.
Ali, Mufron. (2016) Pengantar ilmu tafsir dan Al-Quran, Yogyakarta:
Aura Pustaka.

20

Anda mungkin juga menyukai