Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TAFSI AL-MAUDHU’I

Dosen Pembimbing : Dr. Ja’far, M.A

Disusun Oleh : Kelompok 1


Reza Alfiansyah Batubara 0701193134
Amri Yuda S 0701193135
Khaidi Hanafi 0701193136

JURUSAN ILMU KOMPUTER


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa menyelesaikan Makalah “Tafsir Al-Maudhu’i”.
Makalah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
sudah ikut berkontribusi di dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini
sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih, dan semoga Makalah ini bisa
memberi manfaat ataupun inspirasi bagi pembaca.

Wa’alaikumsalam Wr.Wb

Medan, Maret 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Al-Maudhu’i......................................................2
B. Langkah Langkah Menggunakan Metode Maudhu’i....................4
C. Contoh Tafsir Maudhu’i................................................................5
D. Keistimeaan Tafsir Maudhu’i........................................................6
E. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir MAudhu’I..............................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................9
B. Saran..............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi


Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril secara mutawatir. Di dalam al-
Qur’an sendiri tidak semua ayat adalah muhkam (tidak perlu penafsiran), namun
ada juga yang mutasyabih (perlu penafsiran). Bahkan jika kita telaah lebih lanjut,
antara ayat yang muhkam dan mutasyabih, maka disitu ayat-ayat mutasyabih lebih
banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang muhkam. Oleh karena itu, karena al-
Qur’an adalah sumber hukum utama bagi kita umat islam, serta sebagai pedoman
dalam hidup, maka haruslah bagi kita untuk bisa mengetahui arti atau kandungan
yang ada di al-Qur’an baik itu mengenai yang muhkam maupun mutasyabih.
Dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabih, tentu para mufassir menggunakan
metode-metode penafsiran. Diantara metode penafsiran yang umum dipakai oleh
para mufassir ada 4 yaitu, tahlili (terperinci), ijmali (global), maudhu’i (tematik) ,
dan muqarran (perbandingan). Dalam makalah ini, kami tidak akan menjabarkan
penjelasan semua metode diatas, akan tetapi hanya memaparkan atau
mengkosentrasikan untuk metode penafsiran yang maudhu’i (tematik) saja.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini kita dapat memahami bagaimana cirri-ciri
maupun corak serta metode-metode yang digunakan dalam metode tafsir
maudhu’i.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-MAUDHU’I

Kata al-Maudhu’i (‫ )الموضوعي‬berasal dari kata ‫ موضوع‬yang secara bahasa


berarti tema pokok atau topik. Dari kata itu, kemudian ditambahkan dengan ya’
nisbah menjadi maudhu’i yang artinya menjadi bersifat tema atau tematik. 1

Secara istilah, metode tafsir maudhu’i adalah menafsirkan al-Qur’an dengan


cara menghimpun ayat-ayat yang mempunyai topik dan kandungan yang sama,
kemudian menjelaskannya dengan ayat lain ataupun hadist, yang kemudian
disimpulkan dalam suatu pandangan yang menyeluruh dan tuntas mengenai tema
yang sedang dibahas. Tafsir maudhu’i sudah mulai diterapkanj dalam masa nabi,
dimana beliau seringkali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika
menjelaskan arti Zhulum dalam QS. Al-An’am ayat 82,

‫الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمنهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Nabi saw menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil
membaca firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13,

‫ان الشرك لظلم عظيم‬


“Sesungguhnya syirik adalah zhulum (penganiyayaan) yang besar.”

Demikian juga penafsiran rasul saw dalam surat al-An’am ayat 59,

1
Budihardjo, pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an, (Yogyakarta : Lokus, 2012), hlm. 150.

2
‫وعنده مفاتح الغيب ال يعلمها اال هو‬
“Disisi Allah mafatih al ghaib (kunci-kunci pembuka ghaib), tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah.”

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa rasulullah saw memaknai mafatih al-


ghaib itu dengan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 34,

‫االية‬..... ‫ان هللا عنده علم الساعة‬.

Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang
sehingga lahir kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat
dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama
dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus
bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat
bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-
Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671
H), dan lain-lain.2
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada
satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut
dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan
memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang
bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan
denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-
hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan
menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.3

Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh


Farmawi dalam penafsiran secara maudhu’i.
1.      Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan
memperhatikan masa dan sebab turunnya.

2
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat   Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 387
3
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat   Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385

3
2.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat
(korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada
permasalahan yang dibicarakan.

B. LANGKAH LANGKAH MENGGUNAKAN METODE MAUDHU’I


M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an Masa Kini
mengemukakan langkah yang harus ditempuh:
1.      Menetapkan masalah atau judul;
2.      Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah
tersebut;
3.     Menyusun ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan
memisahkan priode Mekkah dan Madinah;
4.      Memahami korelasi ayat tersebut dalam surat masing-masing;
5.      Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah
tersebut;
6.      Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna;
7.     Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau
mengkompromikan ‘amm dan khas (umum dan khusus) muthlaq dan
muqayyad (yang bersyarat dan tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya
bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam suatu muara tanpa
perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti;
8.  Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-
Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.4

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang


menggunakan metode ini ialah:
1.      Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah
menyadari bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian
biasa; tugas utamanya ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat
untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut.

4
RachmatSyafe’i, PengantarIlmuTafsir, (Bandung: PustakaSetia, 2006), hlm. 295

4
2.      Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak
boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah  itu haris
dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan
merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang
harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3.      Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-
angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan
lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia
hanya melihat lafazhnya saja.
4.      Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang
sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak
kabur.5

C. CONTOH TAFSIR MAUDHU’I


 Perintah Untuk Makan
Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kataakala dalam
berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas"makan". Tetapi kata tersebut
tidak digunakannya semata-matadalam arti "memasukkan sesuatu ke
tenggorokan", tetapi iaberarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan
misalnyasurat Al-Nisa 14): 4:
Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini),
sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati
maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.
Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkantidak
lazim berupa makanan, namun demikian ayat inimenggunakan kata "makan"
untuk penggunaan mas kawin tersebut.Firman Allah dalam surat Al-An'am (61:
121)
Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika
menyembelihnya)

5
Ibid, hlm. 296

5
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud --mantan
Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa
pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini
dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata
tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa
aktivitasmembutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayatyang
didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,baik yang ditujukan
kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul,
maupun kepada orang-orangmukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu
dirangkaikan dengankata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan
bahwamakanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifattersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yangmemerintahkan orang-
orang Mukmin untuk makan, lima diantaranya dirangkaikan dengan kedua kata
tersebut. Duadirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan
membagikanmakanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam
konteksmemakan sembelihan yang disebut nama Allah ketikamenyembelihnya,
dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbukapuasa
maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingatpesan-pesan-Nya.6

D. KEISTIMEWAAN TAFSIR MAUDHU’I


1.      Dengan tafsir madhu’i, hidayah Al-Qur’an dapat digali secara lebih mudah dan
hasilnya ialah permasalahan hidup praktis dapat dipecahkan dengan baik. Oleh
karena itu, tafsir memberikan jawaban secara langsung terhadap sementara
dugaan bahwa Al-Qur’an hanya berisi teori-teori spekulatif tanpa menyentuh
kehidupan nyata, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2.      Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka
sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa
bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.
6
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996),Hlm. 135.

6
3.      Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an
dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang
letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an  dalam satu maudhu’i.
4.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir
maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.
5.      Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih
sempurna dan mendalam.7

E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR MAUDHU’I


 Kelebihan Metode Tafsir Maudhu’i Antara Lain:
a)      Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode
maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut.
Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi masyarakat.
b)      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan
sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c)      Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan
tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing
kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d)     Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan
dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan
di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu
permasalahan secara lebih baik dan tuntas.

 Kekurangan Metode Tafsir Maudhu’i, Antara Lain:


a)      Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah
suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak

7
RachmatSyafe’i, PengantarIlmuTafsir, (Bandung: PustakaSetia, 2006), hlm. 302

7
permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu
pada waktu melakukan analisis.
b)      Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu
dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-
Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi,
dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu
sudut dari permata tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

8
Dari seluruh penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya
penafsiran dalam metode maudhu’i (tematik) adalah metode tafsir dengan
menggunakan jenis tema tertentu yang diambil. Jika misalnya ada keinginan
untuk mengetahui metode tafsir maudhu’i mengenai makan, maka cara
mencarinya adalah dengan mengumpulkan semua ayat ayat yang berhubungan
dengan makan, setelah itu baru dihubungkan. Oleh karena itu metode tafsir
maudhu’i ini juga disebut dengan metode tafsir tematik, karena mengangkat suatu
permasalahan berdasarkan tema yang ada. Adapun kelebihan dan kekurangan
tafsir maudhu’i sudah terdapat dalam penjelasan diatas. Menurut pemakalah
sendiri dalam tafsir maudhu’i akan lebih mudah dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, oleh karena itu kita disarankan ntuk menggunakan tafsir maudhu’i,
namun dalam pengumpulan ayat-ayat yang berhubungan dengan suatu tema tidak
menghabiskan waktu yang sebentar, sehingga hanya untuk persiapan saja kita
butuh waktu yang tidak sebentar.

A. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan kami harapkan
kritik dan saran untuk makalah yang saya rasa masih perlu di perbaiki. Dan saya
harapkan informasi di makalah ini tidak hanya sebatas di makalah ini. Semoga
teman teman dapat mencari informasi di sumber yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo (2012). Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Lokus.

9
Shihab, M. Quraish (2013). Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat  Al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati.

https://www.coursehero.com/file/35580096/MAKALAH-TAFSIR-MAUDHUdocx/
https://www.academia.edu/30754367/Tafsir_Maudhui.docx

10

Anda mungkin juga menyukai