Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa menyelesaikan Makalah “Tafsir Al-Maudhu’i”.
Makalah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
sudah ikut berkontribusi di dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini
sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih, dan semoga Makalah ini bisa
memberi manfaat ataupun inspirasi bagi pembaca.
Wa’alaikumsalam Wr.Wb
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Al-Maudhu’i......................................................2
B. Langkah Langkah Menggunakan Metode Maudhu’i....................4
C. Contoh Tafsir Maudhu’i................................................................5
D. Keistimeaan Tafsir Maudhu’i........................................................6
E. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir MAudhu’I..............................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................9
B. Saran..............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-MAUDHU’I
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمنهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون
Nabi saw menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil
membaca firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13,
Demikian juga penafsiran rasul saw dalam surat al-An’am ayat 59,
1
Budihardjo, pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an, (Yogyakarta : Lokus, 2012), hlm. 150.
2
وعنده مفاتح الغيب ال يعلمها اال هو
“Disisi Allah mafatih al ghaib (kunci-kunci pembuka ghaib), tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah.”
Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang
sehingga lahir kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat
dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama
dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus
bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat
bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-
Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671
H), dan lain-lain.2
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada
satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut
dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan
memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang
bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan
denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-
hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan
menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.3
2
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 387
3
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385
3
2. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat
(korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada
permasalahan yang dibicarakan.
4
RachmatSyafe’i, PengantarIlmuTafsir, (Bandung: PustakaSetia, 2006), hlm. 295
4
2. Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak
boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah itu haris
dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan
merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang
harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
3. Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-
angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan
lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia
hanya melihat lafazhnya saja.
4. Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang
sesuai dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak
kabur.5
5
Ibid, hlm. 296
5
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud --mantan
Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa
pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini
dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata
tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa
aktivitasmembutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayatyang
didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,baik yang ditujukan
kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul,
maupun kepada orang-orangmukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu
dirangkaikan dengankata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan
bahwamakanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifattersebut.
Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yangmemerintahkan orang-
orang Mukmin untuk makan, lima diantaranya dirangkaikan dengan kedua kata
tersebut. Duadirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan
membagikanmakanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam
konteksmemakan sembelihan yang disebut nama Allah ketikamenyembelihnya,
dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbukapuasa
maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingatpesan-pesan-Nya.6
6
3. Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an
dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang
letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an dalam satu maudhu’i.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir
maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.
5. Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih
sempurna dan mendalam.7
7
RachmatSyafe’i, PengantarIlmuTafsir, (Bandung: PustakaSetia, 2006), hlm. 302
7
permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu
pada waktu melakukan analisis.
b) Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu
dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-
Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi,
dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu
sudut dari permata tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
8
Dari seluruh penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya
penafsiran dalam metode maudhu’i (tematik) adalah metode tafsir dengan
menggunakan jenis tema tertentu yang diambil. Jika misalnya ada keinginan
untuk mengetahui metode tafsir maudhu’i mengenai makan, maka cara
mencarinya adalah dengan mengumpulkan semua ayat ayat yang berhubungan
dengan makan, setelah itu baru dihubungkan. Oleh karena itu metode tafsir
maudhu’i ini juga disebut dengan metode tafsir tematik, karena mengangkat suatu
permasalahan berdasarkan tema yang ada. Adapun kelebihan dan kekurangan
tafsir maudhu’i sudah terdapat dalam penjelasan diatas. Menurut pemakalah
sendiri dalam tafsir maudhu’i akan lebih mudah dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, oleh karena itu kita disarankan ntuk menggunakan tafsir maudhu’i,
namun dalam pengumpulan ayat-ayat yang berhubungan dengan suatu tema tidak
menghabiskan waktu yang sebentar, sehingga hanya untuk persiapan saja kita
butuh waktu yang tidak sebentar.
A. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan kami harapkan
kritik dan saran untuk makalah yang saya rasa masih perlu di perbaiki. Dan saya
harapkan informasi di makalah ini tidak hanya sebatas di makalah ini. Semoga
teman teman dapat mencari informasi di sumber yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
9
Shihab, M. Quraish (2013). Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati.
https://www.coursehero.com/file/35580096/MAKALAH-TAFSIR-MAUDHUdocx/
https://www.academia.edu/30754367/Tafsir_Maudhui.docx
10