Anda di halaman 1dari 31

METODOLOGI TAFSIR TAHLILI - IJMALI

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Saifuddin, M.A
Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag

Disusun Oleh :
Lailatul Fadhilah
1400018056

PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I. PENDAHULUAN
Kehadiran teks Al-Qur’an ditengah umat Islam telah
melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah
berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk
melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-
ayat-Nya.1 Maka dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an hingga kini
masih menjadi teks inti dalam peradaban Islam.
Dalam mengkaji keilmiahan, filsafat ilmu mengajarkan
kepada kita tentang ontologi (objek/mahiyah sesuatu yang
dikaji), epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan) dan
aksiologi (nilai kegunaan ilmu).2
Metodologi3 adalah bagian epistemologi yang mengkaji
perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya
pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Prinsip
metodologis dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-
langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang
melatarbelakangi munculnya sebuah metode.4 Dalam
pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami

1 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian


Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 15

2 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,


2013), hlm. 378

3 Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa


indonesia, method, dikenal dengan metode yang artinya, cara yang
teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan. Dalam bahasa arabistilah metode dikenal sebagai manhaj.
Sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005),
hlm. 37

4 Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah


Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer.
Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri ,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm.xvii

2
mengenai konteks metodologi tafsir (metode penafsiran Al-
Qur’an).5
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan
mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan
merefleksikan kandungan Al-Qur’an secara apresiasif
berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga
menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi
tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang
terkandung dalam kitab suci umat islam. Hasil dari upaya yang
sungguh-sungguh tersebut dengan menggunakan alat
(metodologi) sehingga terwujud sebagai tafsir. Konsekuensinya,
kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi
yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tersebut.6
Ada beberapa metode penafsiran Al- Qur’an yang
umumnya digunakan para ulama tafsir. Penafsiran yang lazim
digunakan ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global,
tetapi ada juga yang menafsirkannya dengan cara melakukan
studi perbandingan (komparasi) atau pun dengan cara yang
sistematis. Menurut ahli tafsir, Abd al-Hayy al-Farmawi,
menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran
Al- Qur’an, yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-manhaj al-ijmali, al-
manhaj al-muqaran, dan al-manhaj al-maudhu’i.7
Perkembangan tafsir Al-Qur’an dari sejak dulu hingga
sekarang secara garis besar mengacu pada keempat metode

5 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,


2013), hlm. 379

6 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:


Teras, 2005), hlm. 38

7 Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,


(Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah (Mathba’ah al-Hadarah al-
Arabiyyah, 1997) hlm. 21

3
yang disebutkan Abd al-Hayy al-Farmawi tersebut, metode ijmali
(global), tahlili (analitis), muqaran (perbandingan), maudhu’i
(tematik). Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menguraikan
diantara macam metode tersebut, yaitu metodologi tafsir Tahlili
dan Ijmali (al-manhaj al-tahlili dan al-manhaj al-ijmali).
II. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini terdapat point rumusan
masalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan metode tafsir tahlili dan Ijmali?
2. Bagaimanakah penjelasan mengenai metode tafsir tahlili dan
Ijmali ini?

III. Pembahasan
A. Metode Tafsir al- Tahlili (Deskriptif –Analitis)
1. Pengertian
Kata tahlili (‫ )التحليلللي‬adalah bentuk masdar dari kata
hallala-yuhallilu-tahlilan berasal dari kata halla-yahullu-hallan.
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Menurut
Ibnu Faris, asal kata ha’, lam, dan lam mempunyai derivasi kata,
dan asalnya berarti membuka sesuatu. Tidak ada sesuatu pun
yang tertutup darinya. Dari sini dapat dipahami bahwa kata
tahlili menunjukkan arti membuka sesuatu yang tertutup atau
terikat dan mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak ada
yang terlepas atau tercecer.8 Secara definisi, penafsiran tahlili
adalah seorang mufasir menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an
sesuai susunan bacaannya dan tertib susunan didalam mushaf,
9
kemudian baru menafsirkan dan menganalisis secara rinci

8 Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Darul-Ihya at Turas al


‘Arai, 2001, hlm. 228 (Dikutip dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran
dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), Jakarta:Kementerian Agama
RI, 2012)

9 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang


disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68

4
Metode tahlili, menurut M. Quraish Shihab, lahir jauh
sebelum maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak Tafsir al-Farra (w.
206 H./821 M), atau Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau paling
lambat Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H/922 M) (tafsir Jami’ al-Bayan
‘an takwil ayi Al-Qur’an). Kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis
para mufasir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir
semuanya menggunakan metode tahlili. 10
Menurut Abd al-Hayy al-Farmawi, metode penafsiran tahlili
adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat Al- Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang
tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. 11 Penjelasan
makna-makna ayat tersebut bisa mengenai makna kata,
penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbabun-nuzul-nya,
serta penafsiran yang dikutip dari nabi, sahabat, maupun
tabi’in.12
Sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab, metode tahlili,
atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy
adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana
tercantum didalam mushaf.13
Dalam metode ini, mufasir menguraikan makna yang
dikandung Al- Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah
10 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,
2013), hlm 379

11 Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,


(Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah (Mathba’ah al-Hadarah al-
Arabiyyah, 1997) ,hlm. 24

12Ibid.,hlm. 17

5
sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut
menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian, kosakata, konotasi kalimatnya,
latarbelakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain,
baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan pendapat-
pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-
ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para
tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.14
Metode penafsiran tahlili juga dapat dipahami sebagai
metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat Al- Qur’an
dari setiap surah-surah dalam Al-Qur’an dengan seperangkat
alat-alat penafsiran (antaranya mengenai asbabun-nuzul,
munasabat, nasikh-mansukh, dan sebagainya) dalam Al-Qur’an.15
Dari definisi-definisi diatas penulis dapat memahami bahwa
metode penafsiran tahlili, dalam tafsirnya, penafsir mengikuti
runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun didalam mushaf.
Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti
kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia
juga mengemukakan munasabat (korelasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama
lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbabun nuzul
(latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari
Rasul, sahabat atau para tabi’in yang kadang bercampur dengan
pendapat penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh kecenderungan
13 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dn Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007
hlm.129-130

14 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 31

15Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang


disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68

6
latarbelakang pendidikan dan corak pemikirannya. Sering pula
bercampur dengan pembahasan kebahasaan lain yang
dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an.
2. Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab Tafsirnya
Adapun tokoh-tokoh mufasir yang menggunakan metode
tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dapat mengambil
dalam bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’yi (pemikiran). Diantara
kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir bi al ma’tsur16
ialah Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al- Qur’an karangan Ibn Jarir Al
Thabari (w. 310 H.), Ma’alim al Tazil karangan al-Baghawi (w. 516
H.), Tafsir Al- Qur’an al-‘Azhim (Tafsir ibn Katsir) karangan Ibn
Katsir (w.774 H.), dan Al- Durr al-Mantsur fi al- Tafsir bi al-Ma’tsur
karangan As-Suyuthi (w. 911 H.).17
Sedangkan tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir al-
ra’yi18 antara lain : Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741
H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi (w.
691 H.), Al- Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H.), ‘Arais
al- Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karangan al- Syirazi (w. 606 H.), Al-

16 Tafsir bi al ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-


kutipan yang shahih menurut syarat-syarat dan adab bagi mufasir.
Yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan Sunnah,
perkataan sahabatdan juga dari tabi’in.(lihat Manna’ Khalil al- Qathan,
Mabahis fi Ulumil Qur’an/Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan bahasa
Indonesia oleh Mudzakir AS, cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2013) hlm. 482

17 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 32

18Tafsir bi al ra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya,


mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri (hasil ijtihad dan
penalaran) dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu
semata. (lihat Manna’ Khalil al- Qathan, Mabahis fi Ulumil Qur’an/ Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan bahasa Indonesia oleh Mudzakir AS,
cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013) hlm. 488

7
Tafsir al- Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al- Fakhr al-Razi (w.
606. H), al Jawahir fi Tafsir al- Qur’an karangan Thanthawi
Jauhari, Tafsir al- Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w.
1935 H.) dan lain-lain.19
3. Ciri- ciri Metode Tahlili
Jika kita mengkaji pola penafsiran yang diterapkan oleh
pengarang kitab tafsir yang dinukilkan diatas, maka akan
dipahami bahwa mufasir tersebut berusaha menjelaskan makna
yang terkandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur
maupun al-ra’yi. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan
ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta
menerangkan asbab-al-nuzul dari ayat yang ditafsirkan.
Diungkapkan pula penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi
Muhammad Saw., sahabat, tabi’in tabi’ al-tabi’in dan para ahli
tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqh,
bahasa, sastra dan sebagainya.20
Dilengkapi pula mengenai munasabat (kaitan) antara satu
ayat dengan ayat yang lain, juga antara surah dengan surah
yang lain. Disamping itu, tafsir yang mengikuti pendekatan
metode analitis ini diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian
mufasirnya, sehingga lahirlah berbagai corak penafsiran seperti
tafsir al-fiqhi21, tafsir al-shufi22, tafsir al-falsafi23 , tafsir al-‘ilmi24 ,
tafsir al-adab al ijtima’i25 , dan sebagainya. Penafsiran pada

19 Ibid.,hlm. 32

20 Ibid., hlm. 33

21 Tafsir al-fiqhi, yakni corak tafsir yang dalam pembahasannya


berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.(lihat M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005),
hlm. 44

8
kosakata juga mendapat perhatian yang cukup besar dalam
metode ini.
Dalam metode tafsir tahlili, terdapat bentuk penafsiran
yaitu bi-al ma’tsur dan bi al –ra’yi, yang keduanya terdapat
perbedaan. Karakteristik bentuk bi-al ma’tsur, maka pemikiran
analisis mufasir kurang tampak didalamnya, sebaliknya pada
penafsiran yang bi al-ra’yi, pemikiran analisis mufasir sangat
dominan. 26
Demikian dapat kita pahami, bahwa kedua bentuk
penafsiran ini menggunakan riwayat, namun fungsinya berbeda.
Pada tafsir bi al-ma’tsur, riwayat dijadikan dasar pijakan dan titik
tolak serta subjek penafsiran. Sedangkan pada tafsir bi al-ra’yi,

22 Tafsir al-Shufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu metode


penafsiran Al-Qur’an yang lebih menitikberatkan kajiannya pada
makna batin dan bersifat alegoris (kiasan) dan menjelaskan maksud
ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik (berdasarkan isyarat-isyarat tersirat
yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.(Ibid. hlm. 44)

23Tafsir al-falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan


pendekatan filosofis. (Ibid. hlm. 44)

24Tafsir ‘Ilmi adalah tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu


pengetahuan dalam penuturan Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha
menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Qur’an dan berusaha
mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi (lihat
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Al-Qur’an. (Bandung :
Pustaka Setia, 2004), hlm. 109

25 Tafsir al-adab al ijtima’i adalah corak penafsiran Al-Qur’an yang


cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan, perkembangan
kebudayaan masyarakat dengan menggunakan keindahan gaya
bahasa.(lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 45

26 Ibid., hlm. 51

9
riwayat hanya berfungsi sebagai legitimasi untuk mendukung
penafsiran mufasir.27
Untuk lebih memudahkan kita memahami metode tahlili
(analitis) ini, adapun contoh bentuk tafsir al-ra’yi dalam kitab
tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsyari yaitu dalam
menguraikan Surah Al-Baqarah ayat 115:
 
  
    
    
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83].
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al- Baqarah; 115).28

‫ه المشرق والمغللرب { أي بل د المشللرق والمغللرب والضرض كلهللا‬ ‫} وول هل ل ه‬


، ‫ما ت تووللوا ا { ففي أي مكان فعلتللم التوليللة‬ ‫و‬
‫لله هو مالكها ومتوليها } فوأي ان و و‬
‫جهولل و‬
‫ك‬ ‫ } فوللوو ل‬: ‫يعني تولية وجوهكم شطر القبلللة بللدليل قللوله تعللالى‬
‫ل وو ا‬
‫ } فووثل ل‬. { ‫شلط اوره ت‬
‫م‬ ‫م و‬ ‫م فووولللوا ا وت ت‬
‫جلوهوك ت ا‬ ‫شط اور المسجد الحرام وحيثما ت‬
‫كنت ت ا‬ ‫و‬
‫ والمعنى أنكم إذا منعتللم أن‬. ‫ج ته الله { أي جهته التي أمر بها وضرضيها‬
‫وو ا‬
‫ فقللد جعلللت لكللم‬، ‫تصلوا في المسللجد الحللرام أو فللي بيللت المقللدس‬
‫ وافعلللوا التوليللة‬، ‫الضرض مسجد ا ا فصلوا في أي بقعة شئتم مللن بقاعهللا‬
‫فيها فإن التولية ممكنة في كل مكان ل يختص ] إمكانهللا [ فللي مسللجد‬
‫ن الللله واسللع { الرحمللة يريللد‬
‫ دون مسجد ول في مكان دون مكان } إ ه ل‬
‫ وعللن ابللن‬. ‫م { بمصللالحهم‬ ‫التوسعة على عبا ده والتيسير عليهم } ع وهلي م‬
‫ وعن عطاء‬. ‫ نزلت في صل ة المسافر على الراحلة أينما توجهت‬: ‫عمر‬

27 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.51

28 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya


Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis Shahih, Bandung: Syamil
Quran, 2010), hlm. 18

10
‫ فلما أصبحوا تللبينوا‬، ‫ عميت القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة‬:
‫ معناه ) فأينما تولوا ( للدعاء والللذكر ولللم يللر د‬: ‫ وقيل‬. ‫خطأهم فعذضروا‬
‫ فأينما‬: ‫ بفتح التاء من التولي يريد‬، ‫ فأينما وتولوا‬: ‫ وقرأ الحسن‬. ‫الصل ة‬
29
. ‫توجهوا القبلة‬
Artinya : (‫ه المشللرق والمغللرب‬ ‫ )وول هل ل ه‬maksudnya timur dan
barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia
memilikinya dan menguasainya. (‫مللا ت توول لللوا ا‬
‫و‬
‫ )فوأي ان و و‬maka ke arah
mana pun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu
menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT :
.( ‫م‬ ‫م فوووللوا ا وت ت‬
‫جوهوك ت ا‬ ‫شط اور المسجد الحرام وحيثما ت‬
‫كنت ت ا‬ ‫ك و‬‫جه و و‬ ‫فووو ل‬
‫ل وو ا‬
‫شط اوره ت‬
‫ ) و‬Niscaya (disana ada Allah) artinya ditempat itu ada Allah,
yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu)
untuk menghadap-Nya (disitu). Yang dimaksud oleh ayat itu
ialah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil
Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka (jangan khawatir sebab)
seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat
sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang
ditempat mana saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke
arah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu; tidak
terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain;
demikian pula tidak terikat oleh lokasi mana pun. (hal itu
dimungkinkan karena) (Allah Maha Lapang dan Luas rahmat-
Nya). Dia ingin memberikan kelonggaran dan kemudahan
kepada hamba-hamba-Nya, (lagi Maha Tahu) tentang
kemaslahatan dari kebutuhan mereka. (penafsiran ini sesuai
dengan latarbelakang turun ayat), menurut Ibn Umar, ayat ini
turun berkenaaan dengan shalat musafir diatas kendaraan ia
menghadap kearah mana kendaraannya menghadap. (tapi)
menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat
shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat diarah
yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing), setelah
pagi hari ternyata mereka keliru menghadap kiblat, lantas
mereka menyampaikan peristiwa itu kepada Rasul (maka
turunlah ayat itu). Ada yang berpendapat kebolehan menghapar
kearah mana saja itu adalah dalam berdo’a, bukan dalam sholat.
Al hasan membaca ayat itu (‫مللا ت توول لللوا ا‬
‫و‬
‫ )فوأي ان و و‬dengan memberi

29Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Al-


Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi wujuh al-Ta’wil,
(selanjutnya disebut Tafsir al-Kasysyaf), Bairut, Dar al-Ma’rifah, I, t.th.,
hlm 306-307( bersumber dari Maktabah syamilah)

11
harakat fathah pada huruf (‫ )ت‬sehingga bacaannya menjadi (
‫ )ت تووللوا ا‬karena menurutnya kata itu berasal dari ( ‫ى‬
‫)تللول ل‬, yang
berarti “kearah mana saja kamu menghadap kiblat”.30

Dari uraian dari tafsir al-Zamakhsyari, dia memulai


penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional,
kemudian penafsirannya didukung dengan firman Allah, setelah
itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.Hal itu
berarti, al-Zamakhsyari tidak terikat oleh riwayat. Kalau ada
riwayat yang menjelaskan tentang hal itu maka dipakainya, tapi
jika tidak ada riwayat tersebut, dia tetap melakukan
penafsirannya.31
Dalam tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan metode analitis
(tahlili) ini, para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga
mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan
interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an selama masih dalam
batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah
penafsiran yang mu’tabar. Itulah sebab yang membuat tafsir
dalam bentuk al-ra’yi dengan metode analitis dapat melahirkan
corak penafsiran yang beragam sebagaimana yang telah
diuraikan diatas.32
Sedangkan contoh dari tafsir bentuk bil ma’tsur dari surat
QS. Al- Baqarah; 115 yaitu:
Yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya ( ‫وول هل لهه المشرق‬
‫ )والمغللرب‬ialah Allah berwenang penuh atas pemilikan dan
pengaturan keduanya seperti yang dikatakan: “rumah ini
kepunyaan si fulan”. Artinya, dia berwenang penuh atas
pemilikan rumah itu. Dengan demikan, firman-Nya ( ‫وول هل لهه المشرق‬
‫ )والمغرب‬bermakna bahwa keduanya adalah milik dan makhluk-
30 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.48-49

31Ibid., hlm., 50

32 Ibid., hlm,50

12
Nya. Kata (‫ )المشرق‬sama artinya dengan (‫ )مطلع‬yang kasrah
lam, yakni menunjuk kepada “tempat terbit matahari”.
Jika ada yang bertanya betapa gerangan Allah
menyebutkan timur dan barat secara khusus, bahwa Dia
memiliki keduanya bukan yang lain? Para pakar tafsir berbeda
pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua
tempat itu secara khusus. Kami akan menjelaskan pendapat
yang terbaik dalam menafsirkan ayat itu setelah mengemukakan
pendapat mereka. Ada yang berkata, Allah sengaja menyebut
kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam
shalat mengahadap ke Baitul Maqdis; dan Rasul pernah
melakukan hal yang sama pada suatu periode; kemudian
mereka berpaling menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum
Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tersebut dan berkata: “Apa
gerangan yang memalingkan mereka dari kiblat yang pernah
mereka jadikan arah shalat?”. Allah SWT menjelaskan kepada
mereka, “Barat dan Timur semuanya milik-Ku, Aku memalingkan
muka hamba-hamba-Ku (dalam shalat) sesuai keinginan-Ku;
maka kearah mana saja kamu mengahadap niscaya disitu ada
Allah (Aku).
Dalam kasus ini, al- Mutsanni telah menceritakan
kepadaku, katanya: Abu Shalih telah bercerita kepadanya, kata
Abu Shalih: Mu’awiyah bin Shalih telah bercerita kepadanya
berasal dari Ali, dari ibn ‘Abbas, katanya: “Yang pertama sekali
dinasikhkan adalah ayat tentang kiblat. Ketika Rasulullah hijrah
ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka
Allah memerintahkan menghadap Baitul Maqdis sebagai kiblat
shalat. Hal itu membuat mereka gembira, lalu Rasul shalat
menghadap Baitul Maqdis itu lebih dari 10 bulan. Tapi Rasul
tetap menginginkan menghadap kiblat nabi Ibrahim (Ka’bah di
Mekah). Dari itu dia selalu berdo’a sambil melihat ke langit;
lantas Allah menurunkan (‫ )تد نرى تقلب وجهك فى السماء‬hingga
(‫ )فولواوجوهكم شطره‬sungguh Kami memperhatikan wajahmu
sering menghadap ke langit… (maka (sekarang) hadapkanlah
wajahmu (dalam shalat) kea rah Masjidil Haram (Ka’bah).
Dengan demikian, timbul keraguan dikalangan kaum Yahudi, lalu
mereka berkata: Mengapa dia memalingkan mereka dari kiblat
yang pernah mereka jadikan arah shalat.” Untuk menjawab
pertanyaan itu Allah menurunkan:
(‫ه المشللرق والمغللرب‬‫( )قل ل هل ل ه‬katakanlah milik Allah Timur
dan Barat) dan ditegaskan-Nya pula “kearah mana saja kamu
menghadap, disana ada Allah”.)
Menurut ulama lain, ayat ini turun kepada Nabi saw.
Sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap ke
mana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan,

13
ketika perang, disaat ketakutan atau menemui kesukaran dalam
shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi saw.
bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah
sesuai dengan firman-Nya tadi. )   


)
Telah bercerita kepadaku Abu al-Saib, katanya: ibn Fudhail
telah menyampaikan kepadanya dari ‘Abd al- Malik ibn Abu
Sulaiman, dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn ‘Umar: “Bahwa dia (Ibn
‘Umar) telah berkata, ayat ini:
) 
) turun
supaya kamu dapat shalat sunnat diatas kendaraanmu kearah
mana saja kendaraan itu menghadap. Rasul bila kembali pulang
dari Mekah dia shalat sunnat diatas kendaraannya sambil
memberi isyarat dengan kepalanya kearah Madinah.
Jadi makna ayat itu ialah milik Allah penguasaan semua
makhluk yang berada antara timur dan barat, dan Dialah yang
membuat mereka beribadah sesuai kehendak-Nya; dan Dia pula
yang memutuskan cara bagaimana mentaati-Nya, maka
(dikatakan-Nya) Hadapkanlah mukamu sekalian hai kaum
mukminun kearah-Ku, kearah mana saja kamu menghadap
disana ada Aku.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa didalam ayat
terjadi nasikh-mansukh, maka pendapat yang betul ialah, ayat
ini berkonotasi umum tapi yang dimaksud adalah khusus.
Dengan demikian, firman-Nya:
(  ‫ا‬
) boleh jadi keizinan untuk melakukan shalat
dengan menghadap kearah mana saja ketika dalam perjalanan,
dalam peperangan dan sebagainya. Baik shalat sunnat maupun
shalat wajib sebagaimana ditegaskan oleh Ibn ‘Umar, al-Nakha’i,
dan lain-lain yang sepaham dengan mereka.
Adapun firman-Nya () artinya
“dimana, kearah mana” (): penafsirannya
yang terbaik ialah: “kamu menghaadap ke arah-Nya, kepada-
Nya”. Seperti seorang berkata: “Saya menghadapkan muka
kearahnya. Artinya saya menghadapinya.” Kita katakan ini
penafsiran yang “terbaik” karena argumennya telah disepakati.
Dan aneh sekali bila ada yang mengartikan ()
itu dengan “membelakanginya”; sedangkan ( 
) yang mereka hadapi itu berarti (‫)قبلة الله‬. Kata

14
() artinya disana. Para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkan kata (). Ada yang berkata
“disana Kiblat Allah”. Yang dimaksud adalah “Wajah Allah” yang
mereka menghadap kepada-Nya.
Jika ada yang bertanya, apakah kaitan ayat ini dengan ayat
sebelumnya? Jawabannya adalah: “Ia merupakan lanjutan
darinya.” Jadi makna kedua ayat itu menjadi: “Tak ada yang lebih
aniaya dari kaum Nasrani yang melarang hamba-hamba Allah
menyebut nama-Nya (berzikir) didalam masjid, dan mereka
berusaha meruntuhkan masjid-masjid itu (umat islam tak usah
khawatir akan berhenti zikir kepada Allah karena) milik Allah
timur dan barat. Karena itu, kearah mana saja kamu
menghadapkan wajah maka sebutlah Allah. Dengan adanya
wajah Allah dimana-mana, kalian mendapat kemudahan meraih
karunia-Nya, tanah-Nya (tempat bercocok tanam), dan negeri-
Nya (tempat tinggal). Dia Maha Tahu semua yang kamu lakukan.
Adanya usaha untuk meruntuhkan masjid Baitul Maqdis dan
upaya mencegah berzikir tak perlu menjadi penghalang bagimu
dalam melakukan zikrullah tersebut. Dimana pun kamu berada di
muka bumi ini, niscaya kamu dapat menemukan wajah Allah.
(‫م‬‫ع علي م‬
‫ن الله واس م‬
‫ ) ا ن‬yang dimaksud Allah dengan (‫ع‬‫)واس م‬
ialah, Allah menganugerahkan kepada semua makhluk-Nya
kecukupan. Sedang firman-Nya (‫م‬ ‫ )علي م‬berkonotasi bahwa Allah
Maha Mengetahui semua perbuatan mereka; tak ada yang hilang
atau yang luput dari ilmu Allah sedikit pun, malah sebaliknya,
Dia Maha Mengetahui keseluruhannya).33
Mufasir menjelaskan penafsiran surah Al- Baqarah ayat 115
dengan mengemukakan berbagai riwayat dan pendapat para
ulama, latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul),
penjelasan kosakata yang ada didalammya dan menggunakan
ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam
penafsiran ini, riwayat mendominasi, sehingga uraian nya
demikian panjang, sedangkan pendapat dari mufasir hanya
sedikit.
Pendapat ini pun tidak berasal dari pribadi mufasir, namun
merujuk pada pendapat ibn ‘umar dan al Nakha’i. Sehingga kita
dapat memahami tafsir yang menggunakan metode analitis ini

33 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.44-45

15
mengandung uraian yang lebih rinci, namun karena bentuknya
al-ma’tsur, pendapat dari mufasirnya sukar ditemukan. Inilah
salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dari
tafsir bi al-ra’yi (pemikiran).
Dalam tafsir bi al-ma’tsur tetap ada analisis tapi sebatas
adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama
riwayat masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran akan
berhenti pula. Berbeda halny adengan tafsir bi al-ra’yi,
penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidaknya riwayat,
karena fungsi riwayat didalam tafsir bi al-ra’yi hanya sebagai
legitimasi bagi suatu penafsiran, bukan sebagai titik tolak atau
subjek. Sebaliknya, dalam tafsir bi-al ma’tsur, riwayat itulah yang
menjadi subjek penafsirannya.
Selanjutnya, ciri metode analisis tafsir tahlili yaitu,
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dari ayat
pertama hingga ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan
tema atau topik bahasan. Namun dapat kita pahami, metode
analitis ini bukan hanya menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf
sampai akhirnya, melainkan juga terletak pada pola pembahasan
dan analisisnya. Artinya selama pembahasan tidak mengikuti
pola perbandingan seperti dalam metode komparatif atau pola
topikal dalam metode tematik, dan tidak juga global seperti
dalam metode ijmali, penafsiran tersebut dapat digolongkan ke
dalam tafsir analitis, walaupun uraiannya tidak mencakup
keseluruhan mushaf (dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas)
seperti tafsir Al –Manar (Rasyid Ridha) tetap dikategorikan
sebagai tafsir analitis.34
4. Langkah- langkah Metode Penafsiran Tahlili:
Langkah langkah metode penafsiran yang pada umumnya
digunakan yaitu:
1. Menerangkan makki dan madani di awal surah;

34 Ibid., hlm. 52

16
2. Menerangkan munasabat
3. Menjelaskan asbabun nuzul (jika ada)
4. Menerangkan arti mufradat (kosakata), termasuk
didalamnya kajian bahasa yang mencakub i’rab dan
balaghah
5. Menerangkan unsur fasahah, bayan, dan i’jaz-nya.
6. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya
7. Menjelaskan hukum yang dapat digali dari ayat yang dibahas.35
5. Kelebihan dan kekurangan metode penafsiran tahlili :
Adapun kelebihan dari metode ini antara lain :
a. Metode ini memiliki keluasan dan keutuhannya dalam memahami
Al-Qur’an. Seseorang diajak memahami Al- Qur’an dari surah Al-
Fatihah hingga surah An-Nas, memahami ayat dan surah dalam
Al-Qur;an secara utuh dan menyeluruh, dengan memuat
berbagai ide pikiran mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b. Metode ini yang paling banyak memiliki corak dan ruang lingkup
yang luas meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, fisafat,
keilmuan, dan lainnya.36 (penafsiran dari aspek kebahasaan :
Tafsir al- Nasafi (abu al-Su’ud); filosofis : Tafsir al-fakhr al Razi,
aspek sains dan tekhnologi : Tafsir al Jawahir (al-Thanthawi al
jauhari) dan sebagainya.37
c. Metode ini paling banyak memungkinkan bagi seorang mufasir
untuk mengambil ulasan panjang lebar (itnab), ataupun singkat.
38

35 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang


disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.69

36 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm. 381

37 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.53-54

38Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang


disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 69

17
d. Metode ini hendak menangkap pesan dan pemahaman Al-Qur’an
tidak secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-
sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi
pesan Al-Qur’an yang bersifat rasional dan universal dengan
menelusuri kembali serta memperkenalkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi diseputar turunnya Al-Qur’an dan suasana sosial-
psikologis Rasulullah serta para sahabat sewaktu Al-Qur’an
diturunkan.39
Sedangkan kekurangan dari metode ini, antara lain yaitu :
a. Kritik terhadap kajian metode tahlili umumnya yaitu tidak
mendalam, tidak detail, tidak sistematis dan tuntas dalam
menyelesaikan topik-topik yang dibahas, selain itu juga
memerlukan waktu yang cukup panjang dan menuntut
ketekunan.40
b. Bisa menghanyutkan mufasir dalam pembahasannya, sehingga
terlepas dari suasana ayat dan Al-Qur’an yang sedang dikajinya
serta masuk dalam suasana lain, seperti suasana bahasa, fiqh,
kalam, dan semacamnya, sehingga kita tidak sedang membaca
tafsir Al-Qur’an.
c. Metode ini bersifat parsial sehingga kurang mampu memberikan
jawaban yang tuntas terhadap berbagai permasalahan kekinian
yang dihadapi oleh masyarakat (masalah kontemporer seperti
keadilan, kemanusiaan dan sebagainya).41 Hal ini disebabkan
oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama
dengannya.

39 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian


Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 191

40 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm. 381

41 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang


disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.70

18
Penjelasannya yaitu seperti dalam tafsir ibn katsir 42, ayat 1
Surah An-Nisa, () ibnu katsir
menafsirkannya dengan Adam as. Konsekuensinya, ketika dia
menafsirkan lanjutan ayat itu (
 ) ia menulis : “yaitu Siti
Hawa.....diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri. Itu berarti,
ungkapan () maksudnya dari
Adam as. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti kata
() didalam surah At-Taubah ayat 128
ditafsirkanya dengan “jenis (bangsa)”. Ketidak- konsistenan Ibn
Katsir itu terasa sekali karena kata ( ‫ )نفللس‬dan (‫ )أنفللس‬itu
keduanya secara etimologis berasal dari kata yang sama yaitu (
‫)ن‬, (‫)ف‬, dan (‫;)س‬sehingga membentuk (‫)نفلللس‬. Hanya
perbedaanya terletak pada bentuk kata ( ‫ )نفس‬dalam mufrad
(tunggal) dan (‫ )أنفس‬dalam bentuk jamak. Perubahan bentuk
kata, dari tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi
dari kata tersebut, bukan perubahan makna. Setelah
memperhatikan pemakaian kata tersebut dalam Al-Qur’an,
bahwa penafsiran (() dengan
Adam terasa kurang tepat karena adam tidak berkonotasi jenis
atau bangsa, melainkan individu. Padahal Al-Qur’an memakai
kata tersebut bukan dalam pengertian individu melainkan
pengertian jenis/bangsa.43

d. Melahirkan penafsiran subjektivitas. Metode ini memberikan


peluang kepada mufasir untuk mengemukakan ide pemikirannya,
sehingga kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan
secara subjektif, bisa jadi ia menafsirkan sesuai kemauan hawa
nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma
yang berlaku. Sikap subjektif itu timbul berawal dari fanatisme
mazhab yang terlalu mendalam, karena sikap ashabiyah serupa
itu maka mereka tidak peduli, salah atau benar dalam

42 Abu al-Fida al-Hafizh ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim(Tafsir


Ibn al-Katsir) Bairut, Daral-Fikr, I, 1992, hlm 552 (dikutip dalam
Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.55

43 Ibid., hlm. 55-.56

19
penafsirannya, karena yang penting bagi mereka adalah mencari
legitimasi kepada Al-Qur’an untuk membenarkan pemikiran dan
tindakan, serta meyakinkan para pengikutnya bahwa ajaran yang
mereka kembangkan adalah benar.44
e. Dengan menggunakan metode ini membuka peluang yang lebih
luas akan masuknya paham-paham yang tidak sejalan dengan
pendapat jumhur ulama’, kisah-kisah israiliyat, dikarenakan
metode ini memberikan ruang begitu luas kepada mufasir untuk
menuangkan hasil pemikirannya. Dalam masalah cerita israiliyat
ini, penafsiran mufasir dapat membentuk opini bahwa apa yang
dikisahkan didalam cerita itu merupakan maksud dari firman
Allah, padahal belum tentu cocok dengan maksud yang
sebenarnya.45 Contohnya dalam penafsiran Al-Qurthubi tentang
penciptaan manusia pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 30

(  

) sebagai dikatakannya : “Allah menciptakan Adam


dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40
tahun. Setelah kerangka itu siap, lewatlah para malaikat
didepannya. Mereka terperanjat karena amat kagum melihat
indahnya ciptaan Allah itu dan yang paling kagum ialah iblis, lalu
dipukul-pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas terdengar
bunyi seperti periuk belanga dipukul. Seraya ia berucap: “untuk
apa kau diciptakan”.46
Penafsiran al- Qurthubi ini tidak didukung oleh argumen
yang kuat karena proses penciptaan Adam selama 40 tahun

44Ibid. hlm. 58-59

45 Ibid., hlm.60

46Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkam al Qur’an


(tafsir al –Qurthubi) juz 1. I.(Beirut: Dar Ihya’ al Turats al-Arabi. 1985)
hlm. 280

20
seperti digambarkan itu tidak ditemukan rujukannya, baik dalam
Al-Qur’an maupun Hadis. Oleh karena itu terasa penafsiran
tersebut dibuat-buat yang seharusnya tidak perlu, karena
merusak citra Al-Quran sebagai kitab suci. Tapi, karena Al-
Qurthubi mengikuti metode analitis maka secara yuridis formal
dia tidak salah memasukkan pemikiran israiliyat ke dalam kitab
tafsirnya, sebab metode ini memang terbuka untuk itu. Namun
secara moral, Al- Qurthubi tetap bertanggungjawab atas semua
pemikiran israiliyat yang masuk kedalam kitab tafsirnya
tersebut.47

B. Metode Tafsir al-Ijmali (Tafsir Global)


1. Pengertian
Secara lughawi (etimologis), kata (‫ )الجملللا للللي‬berarti
ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Tafsir ijmali ialah
penafsiran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi
kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan secara umum
(global), tanpa uraian, pembahasan panjang, rinci dan luas.48
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.
Didalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat
demi ayat sesuai dengan susunan yang ada didalam musfaf,
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh
ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan
didalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui
oleh jumhur ulama’ dan mudah dipahami oleh semua orang.
Disamping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa
Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
47 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.60-61

48 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm. 381

21
masih tetap mendengar Al-Quran, padahal yang di dengarnya itu
adalah tafsirannya. 49
Pembahasan dalam metode ijmali yang disertai dengan
ayat-ayat Al-Qur’an ini, seakan Al-Qur’an itu sendiri yang
berbicara, membuat makna-makna dan maksud ayat menjadi
jelas. Demikianlah, lafadz-lafadz Al-Qur’an tersebut memperjelas
tujuan dan manfaat yang diharapkan.50
Dari definisi tersebut, menurut hemat penulis, metode
penafsiran ijmali adalah metode menafsirkan Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
dengan susunan yang ada didalam mushaf.
2. Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab Tafsirnya
Adapun kitab tafsir yang menggunakan metode penafsiran
al manhaj al-Ijmali (metode global) yaitu, diantaranya : Tafsir Al-
Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wasith
terbitan Majma’ al –Buhuts al-Islamiyyat, Tafsir al-Jalalain
karangan Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din Abd al–Rahman al-
Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M),51 Marah Labid Tafsir al-
Nawawi/ Tafsir al –Munir li Ma’alim al-Tanzil karangan al-Allamah
al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1230-1314
H/1813-1879 M) al –Tafsir al-farid li Al-Qur’an al-Majid karangan
Dr. Muhammad Abd al Mun’im, kitab al-Tashil li’ Ulum al-Tanzil
susunan Muhammad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al Gharnathi
al-Andalusi (741-792 H/1340-1389 M), Fath Al-Bayan fi Maqashid

49 Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,


(Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah (Mathba’ah al-Hadarah al-
Arabiyyah, 1997) hlm.43-44

50 Ibid.,hlm. 44

51 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998),hlm. 13

22
Al-Qur’an karangan Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan dan
lain sebagainya.52

3. Ciri-ciri Metode Global :


1. Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal
sampai akhir secara global, tanpa perbandingan,
penetapan judul / tema dan mengemukakan pendapat
serta ide-idenya secara luas. 53
2. Kitab tafsir yang menggunakan metode global
mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan.54
3. Ciri metode global ini tidak terletak pada jumlah ayat yang
ditafsirkan, apakah keseluruhan mushaf atau sebagian
saja. Yang menjadi tolak ukur ialah pola dan sistematika
pembahasan. Selama mufasir hanya menafsirkan suatu
ayat secara ringkas dan singkat, tanpa uraian detail, tanpa
perbandingan dan tidak pula mengikuti suatu tema
tertentu, maka penafsiran tersebut dapat dikategorikan
kedalam tafsir ijmali.55

4. Kelebihan Metode Ijmali :


1. Praktis dan mudah dipahami, sangat ringkas dan bersifat
umum. Tafsir yang menggunakan metode ijmali terasa lebih

52 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm. 382

53 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.14

54 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm. 381

55 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.21

23
praktis dan mudah dipahami. Pemahaman Al-Qur’an segera
dapat diserap oleh pembacanya, karena menyajikan
kesimpulan dan pokok-pokok pikiran yang dirumuskan dari
Al-Qur’an.
2. Terhindar dari penafsiran yang besifat israiliyat, dan
pemikiran yang kadang terlalu jauh menyimpang dari
pemahaman ayat Al-Qur’an, karena pembahasan tafsir yang
ringkas dan padat, sehingga tidak memungkinkan mufasir
untuk memasukkan pemikiran spekulatif dan unsur
pemikiran yang jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Uraian yang dimuat dalam
metode ijmali terasa sangat singkat dan padat. Penggunaan
bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa Al-Qur’an
dan pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah
didapatkan dari pada ketiga metode yang lain. Didalam
tafsir ijmali, mufasir langsung menjelaskan pengertian kata
atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-
ide atau pendapatnya secara pribadi.56

5. Kekurangan Metode Ijmali :


1. Menjadikan penunjuk Al-Qur’an bersifat parsial. Maksudnya,
seakan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh
atau tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada
suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada
ayat-ayat lain yang sama dengannya, padahal kita dapat
memahami bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk
satu pemahaman yang utuh.57
2. Tidak terdapat ruang untuk mengemukakan analisis mufasir
yang memadai atau uraian yang memuaskan berkenaan
dengan pemahaman satu ayat. Oleh karena itu, jika

56 Ibid., hlm.24

24
menginginkan analisis yang rinci, maka metode ini tidak
dapat diandalkan.58
Adapun contoh dari tafsir dengan metode Ijmali ini adalah :
( ٥- ١ :‫تفسير الجل لين )البقره‬

(1) ‫الم‬
. ‫} الم { الله أعلم بمراده بذلك‬
(2) ‫ن‬‫قي ن‬ ‫دى ل قل ل م‬
‫مت ت ق‬ ‫ه م‬‫ه م‬ ‫في ق‬‫ب ق‬ ‫ب نل نري ل ن‬ ‫ك ال لك قنتا م‬ ‫ذنل ق ن‬
{‫ب‬ ‫} ذلك { أي هذا } الكتاب { الذي يقرؤه محمد } ل ن نري ل ن‬
‫ه { أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه‬ ‫في ق‬‫ل شك } ق‬
‫ن أي هاد‬ ‫دى { خبر ثا ن‬ ‫ه م‬ ‫ذلك والشارة به للتعظيم } م‬
‫ن { الصائرين إلى التقوى بامتثال الوامر واجتناب‬ ‫قي ن‬ ‫مت ت ق‬‫} ل نل ل م‬
. ‫النواهي لتقائهم بذلك النار‬
‫م‬‫ه ل‬ ‫ما نرنز ل‬
‫قننا م‬ ‫م ت‬
‫و ق‬ ‫ن‬
‫صلةن ن‬ ‫ن ال ت‬ ‫مو ن‬ ‫قي م‬‫وي م ق‬
‫ب ن‬ ‫غي ل ق‬‫ن قبال ل ن‬
‫ممنو ن‬ ‫ن يم ل‬
‫ؤ ق‬ ‫ذي ن‬ ‫ال ت ق‬
(3) ‫ن‬ ‫قو ن‬ ‫ف م‬ ‫ي من ل ق‬

Sebagai contoh dari kelemahan pemahaman metode ijmali ini, yaitu 57


menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial; dalam firman Allah dalam
surah ar-Ra’du ayat 11 dan surah al-anfal ayat 53 :   
( ١١ :‫ (الرعد‬..…      
       
( ٥٣ :‫ النفال‬.…(        
Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh Al-Jalalain sebagai berikut:
Surah Ar-R’du ayat 11 :(Sesungguhnya Allah tidak megubah apa yang ada
pada suatu kaum) tidak mencabut dari mereka nikmatnya (kecuali mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka), dari sifat-sifat yang bagus dan
terpuji menjadi perbuatan maksiat. Sedangkan dalam Surah Al-Anfal ayat 53 :
(yang demikian itu) yakni menyiksa orang-orang kafir
(dikarenakan)sesungguhnya (Allah selamanya tidak pernah mengubah nikmat
yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan menggantinya
dengan kutukan (kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri), yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kufur seperti perbuatan
para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, keamanan dan
kebangkitan Nabi dengan sikap ingkar, menghalangi agama Allah dan
memerangi umat Islam.Kedua penafisiran itu tidak tampak sinkron, dalam
ayat pertama (as-Suyuthi) menafsirkan )  
( itu dengan :” mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan
maksiat”. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama, dia
memberikan penafsiran yang berbeda yaitu : “mengganti nikmat itu dengan
kufur”. Jadi penafsiranyang pertama bersifat abstrak (perbuatan maksiat) dan
yang kedua bersifat konkret (kufur). (Lihat Nashrudin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.25-26)

58 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 27

25
‫دقون } بالغيب { بما غاب عنهم من‬ ‫ن { يص د‬ ‫ممنو ن‬ ‫ؤ ق‬ ‫} الذين ي م ل‬
‫ن الصلة { أي يأتون بها‬ ‫مو ن‬ ‫قي م‬ ‫وي م ق‬ ‫البعث والجنة والنار } ن‬
‫ن { في‬ ‫قو ن‬ ‫ف م‬ ‫ما رزقناهم { أعطيناهم } مين ق‬ ‫م ت‬ ‫و ق‬‫بحقوقها } ن‬
. ‫طاعة الله‬
‫ن‬
‫وقبالل ق‬ ‫م‬ ‫ل إ قل ني ل ن‬ ‫م‬
‫ة‬
‫خنر ق‬ ‫ك ن‬ ‫قب لل ق ن‬ ‫ن ن‬ ‫م ل‬ ‫ل ق‬ ‫ز ن‬‫ما أن ل ق‬‫و ن‬‫ك ن‬ ‫ز ن‬ ‫ما أن ل ق‬ ‫ن بق ن‬ ‫ممنو ن‬ ‫ؤ ق‬ ‫ن يم ل‬ ‫ذي ن‬ ‫وال ت ق‬ ‫ن‬
(4) ‫ن‬ ‫نو‬
‫م ل م ق م ن‬ ‫ق‬ ‫يو‬ ‫م‬ ‫ه‬
‫زلن‬ ‫ك { أي القرآن } وما أنم‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ل‬
‫ق‬ ‫ن ن‬ ‫زل إ قلي ل‬ ‫ما أن ق‬ ‫ن بق ن‬ ‫ممنو ن‬ ‫} والذين ي مؤ ق‬
‫} وبالخرة‬ ‫ك { أي التوراة والنجيل وغيرهما‬ ‫قب لل ق ن‬ ‫من ن‬ ‫ق‬
. ‫ن { يعلمون‬ ‫قمنو ن‬ ‫م ميو ق‬ ‫ه ل‬
‫م‬
(5) ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫مأولئ قك ن‬
‫ن‬ ‫ن‬
‫حو ن‬ ‫مفل ق م‬ ‫م ال م‬ ‫ه م‬‫وأولئ قك م‬ ‫م ن‬ ‫ه ل‬ ‫ن نرب د ق‬ ‫م ل‬‫دى ق‬ ‫ه م‬ ‫على م‬
‫م‬
‫ه ل‬ ‫من ترب ن ق‬ ‫دى ن‬ ‫ه م‬ ‫} أولئك { الموصوفون بما ذكر } على م‬
‫م المفلحون { الفائزون بالجنة الناجون من‬ ‫ه م‬ ‫وأولئك م‬
59
. ‫النار‬

Artinya : (Atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. (Alif lam mim), Allah yang lebih mengetahui maksud
dari (‫ )الللم‬itu. Itu artinya, (kitab) yang dibaca kan oleh
Muhammad ini tidak ada keraguan (syak) didalamnya, bahwa
kitab itu datang dari Allah. Kalimat negatif ( ‫ه‬ ‫فيلل ق‬ ‫)نل نري للل ن‬
‫ب ق‬
berfungsi sebagai predikat, dan subjeknya ialah ( ‫)ذلك‬. Lafal (
‫ )ذلك‬ini memberi isyarat akan keagungan kitab suci itu ( ‫دى‬ ‫ه م‬
‫) م‬
yang berfungsi sebagai predikat kedua bagi( ‫ )ذلك‬mengandung
arti permberi petunjuk (bagi orang-orang yang bertaqwa) yang
selalu bertaqwa dengan mematuhi semua perintah Allah dan
menjauhi semua larangan-Nya agar mereka terpelihara dari azab
neraka (yakni mereka yang mempercayai) sepenuh hati (akan
eksistensi yang ghaib), seperti kebangkitan di akhirat kelak,
surga dan neraka; (mendirikan shalat) dengan memenuhi semua
persyaratannya; sebagian dari anugrah yang Kami berikan,
mereka infakkan) dijalan Allah; )dan mereka yang mempercayai
kitab yang diturunkan kepadamu) yakni Al-Qur’an; dan kitab-
kitab yang diturunkan sebelum kamu), seperti Taurat, Injil dan
lain-lain; (serta mereka meyakini pula akan adanya hari akhirat)
sebenar-benar yakin. (orang-orang) yang mempunyai sifat
seperti disebutkan itulah (yang berada atas petunjuk dari Tuhan,
dan mereka itu pulalah yang akan beruntung) dengan
memenangkan surga serta lolos dari neraka.60

59 Al Mahalli dan Al Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, Dar Al-Fikr, 1989


(bersumber dari Maktabah syamilah)

26
Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap surah
Al-Baqarah ayat 1-5 itu tampak sangat singkat dan global,
sehingga tidak ditemui rincian ataupun penjelasan yang
memadai. Meskipun tafsir Al-Jalalain ini hanya menawarkan
sedikit hal baru dalam tafsir-nya, namun tulisan yang jelas,
singkat dan sederhana itu, membuat tafsir klasik ini mudah
diakses oleh para pembaca.61
IV. Kesimpulan
Metode penafsiran tahlili yaitu dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun
didalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan
mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabat
(korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-
ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas
mengenai asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan
dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau para tabi’in yang
kadang bercampur dengan pendapat penafsir itu sendiri dan
diwarnai oleh kecenderungan latarbelakang pendidikan dan
corak pemikirannya. Sedangkan, metode ijmali adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup,
dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak
dibaca. Serta sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-
ayat didalam mushaf.
Apa dan bagaimanapun bentuk metodologi, ia tetap
merupakan produk ijtihadi, yakni hasil olah pikir manusia.
Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran yang luar biasa jauh

60 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.15-16

61 Ingrid Mattson, The Story of the Qur’an/Ulumul Qur’an Zaman Kita.


penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Zaman, 2013) hlm.273

27
melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki makhluk lain,
mereka tetap memiliki kelemahan dan keterbatasan, seperti sifat
lupa, lalai dan sebagainya. Dengan demikian, setiap produk
manusia, baik berbentuk fisik maupun non-fisik, termasuk
metodologi tafsir, tidak terlepas dari kekurangan dan
kelemahannya. Hal ini menunjukkan bahwa produk ijtihad
tersebut adalah produk manusia yang memiliki kebenaran relatif,
jauh dari kebenaran Mutlak, karena hal itu hanya milik Allah Swt.
Perlu kita pahami bersama, bahwa kelebihan dan kekurangan
metode penafsiran ini, bukan merupakan sifat negatif bagi
metode tersebut, tetapi menunjukkan ciri khas yang ada pada
metode tersebut.62
Pembacaan kritis terhadap metodologi kitab tafsir sebaiknya
kita lakukan secara sinergis, maksudnya, tidak cukup hanya
dengan mengandalkan satu metode penafsiran Al-Quran untuk
semua ayat-ayatnya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihubungkan
dengan persoalan-persoalan kontemporer, misalnya, akan sulit
bila didekati dengan metode tafsir tahlili atau tafsir ijmali
semata-mata; tanpa melibatkan metode tafsir yang lain (metode
tafsir maudhu’i (kajian tematik) atau metode tafsir muqaran
(komparasi) yang demikian cukup dinamis. Demikian pula
kesulitan serupa akan dialami mufasir yang hanya
mengunggulkan metode tafsir tematik padahal persoalan yang
dihadapi demikian sederhana atau pun bila masyarakat
bersangkutan masih banyak yang hanya memerlukan penafsiran
secara global sebelum menuju ke arah penafsiran yang bersifat
tahlili, muqaran maupun maudhu’i.63

62 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm.21- 22

28
Dalam hal ini, metode tafsir digunakan sebagai sarana/cara
untuk menggali isi kandungan ayat-ayat Al- Qur’an, bukan
sebagai tujuan yang hendak dicapai.64 Maka, menurut hemat
penulis, penggunaan berbagai metode penafsiran Al-Qur’an perlu
dipadukan secara sinergis baik dalam saat-saat menafsirkan
kelompok ayat yang bersamaan maupun dalam penafsiran
kelompok ayat-ayat yang berbeda.
Banyak pendapat yang memahami bahwa penyajian empat
metode (ijmali, tahlili, muqarran, dan maudhu’i) yang
diklasifikasikan oleh Abd Hayy al Farmawi itu sudah paten.
Misalnya, memperkenalkan isi kandungan Al- Qur’an secara
umum tetapi menyeluruh; penafsirannya perlu menggunakan
metode tafsir ijmali dan tahlili. Sebaliknya, jika yang dikehendaki
adalah menafsirkan Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, apalagi
untuk menyelesaikan berbagai problema kehidupan berdasarkan
Al-Qur’an, maka metode yang digunakan yaitu metode muqaran
(komparasi) dan metode maudhu’i (tematik).65
Namun kita sebagai akademisi, hendaknya berpikir secara
komprehensif, bahwa penafsiran itu ukurannnya dilihat dari
sejauhmana analisis, ketelitian dan kedalaman pemikiran
tafsirnya, bukan hanya dari metode yang dipakai. Hal itu harus
diiringi dengan mencakup unsur-unsur persyaratan penafsiran
dan mengindari terjadinya overlap dalam pemahaman kita
memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

V. PENUTUP
63 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,
2013), hlm. 436

64 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,


2013), hlm.., hlm. 436.

65 Ibid., hlm. 437

29
Demikianlah makalah sederhana yang dapat penulis susun
terkait metodologi tafsir tahlili dan ijmali. Kami menyadari
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi. Abd al-Hayy. al Bidayah fi al Tafsir al-Mawdhu’i:


Dirasah Manhajiyyah Mawdhu’iyah. Mesir:
Mathba’ah al Hadharat al–‘Arabiyah. 1977.

Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Tafsir al-Jalalain. Dar Al-Fikr: 1989


(bersumber dari Maktabah Syamilah)

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi Ulumil Qur’an)/Studi


ilmu-ilmu Qur’an Terj. Mudzakir AS. 2013. Bogor :
Pustaka Litera AntarNusa. Judul asli : (cet. Ke-3
tahun 1973

Al-Zamakhsyari, Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar.


Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil
fi Wujuh al-Ta’wil.. Bairut. Dar al-Ma’rifah. I. t.th..
hlm 306-307( bersumber dari Maktabah Syamilah)

Al-Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad. Al-Jami’ li ahkam al


Qur’an( Tafsir al –Qurthubi) juz 1. I. Beirut: Dar Ihya’
al Turats al-Arabi. 1985

Amin Suma. Muhammad. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali


Pers. 2013

Ash-Shiddieqy. Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu


Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2009.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1998

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah


Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996

30
Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang
disempurnakan). Jakarta: Kementrian Agama RI.
2012.

Kementrian Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya


Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis
Shahih. Bandung: Syamil Quran. 2010

Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Al-Qur’an.


Bandung : Pustaka Setia. 2004

Mattson, Ingrid. The Story of the Qur’an/Ulumul Qur’an


Zaman Kita. Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
Zaman. 2013

Shahrur, Muhammad. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah


Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-
Qur’an Kontemporer. Terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanudin Dzikri . Yogyakarta: eLSAQ Press. 2008.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan


Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat.
Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir.


Yogyakarta: Teras. 2005

31

Anda mungkin juga menyukai