.
Menurut al-Razi, sebagai perwakilan Sunni, klimat di atas menunjukkan taqdim al-maful yang
bermakna khusus. Sehingga dia menafsiri bahwa di akhirat kelak, umat muslim akan melihat
kepada dzat Allah
12
. Sedangkan menurut Zamakhsyari, seorang Mutazli, kalimat itu bukanlah
taqdim al-maful, melainkan adanya pentakdiran terhadap kata nimat. Begitu juga dengan
penjelasan kata Nadzirahmenurut al-Razi kata itu berarti ruyah, sedangkan menurut
Zamakhsyari berarti al-Raja.
13
Tafsir Falsafi
a. Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi
Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) di tahun 870 M. menurut
keterangan dia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal, ia sendiri pernah
menjadi hakim. Dari Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu
itu. Disana ia belajar kepada Bishr Matta Ibnu Yunus (seorang penterjemah) dan tinggal di
Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif Al-Daulah
berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat diwaktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-
Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M
14
.
11
Ibid.., hlm. 481
12
Fahruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah, Juz 16 hlm. 198
13
Zamakhsyari, al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah, Juz 7, hlm. 190
14
Filsafat Islam.
6
Mengenai pemikirannya, dia menafsirkan al-Quran dengan filsafat murni, suatu
pemahaman bahwa hakikat al-Quran sebagai simbol simbol dan isyarat isyarat yang tidak
dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang
nalarnya terbatas. Oleh karena itu menurutnya, nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang
sesuai dengan daya tangkap mereka, yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan
mereka meskipun tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak
dianggap sebagai suatu kebohongan
15
.
Artinya adalah bahwa semua ayat - ayat al-Quran menurut para filsuf harus di tafsir atau
di takwil sesuai dengan filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat
aqli dan rohani, bukan jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran yang
menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di surga dan
penderitaan jasmani di neraka, sebagaimana yang dideskripsikan al-Quran dan as-Sunah
16
.
Diantara penafsiran yang dilakukan oleh al-Farabi adalah penafsiran kata al-zhahir dan
kata al-bathin pada Q.S. Al-Hadid ayat 3:
4O- NE- NO=E-4
NO)_--4 }gC4l^-4 W 4O-4
]7) 7/E* N7)U4 ^@
"Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha
mengetahui segala sesuatu".
Penafsiran al-farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni argumen Plato tentang
kekekalan alam. Oleh karena itu al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa
segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah
adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaannya
bergantung pada-Nya. telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain diri-Nya.
17
b. Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina.
Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di Bukhara tahun 980 M. Orang
tuanya adalah sorang pegawai negeri atau pegawai pemerintahan pada pemerintahan Dinasti
samani. Menurut sejarah hidup yang ditulis oleh muridnya Jurjani dari semenjak kecil Ibnu
Sina telah banyak mempelajari ilmu ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika,
15
Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun. Hal: 421
16
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu. Hal: 23.
17
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quranul Karim li Ibni al-Katsir (Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115
7
matematika, kedokteran, hukum dan termasuk juga ilmu tafsir al-Quran. Dia meninggapl di
Isfahan, pada tahun 1037 M.
Mengenai pemikirannya tentang tafsir al-Quran, sebenarnya tidak jauh beda dengan
pendapat al-Farabi, yakni menafsirkan al-Quran dengan penafsiran filsafat murni, karena kedua
tokoh ini sama-sama menganut paham filsafat Emanasi atau pancaran, hanya saja filsafat
emanasi yang diajukan oleh Ibnu Sina lebih mendalam, dalam artian makna yang
diungkapkannya lebih mendetail.
Contoh tafsir yang dilakukan Ibnu Sina adalah penafsiran al-jannah (surga) sebagai alam
akal, an-nar (neraka) sebagai alam imajinasi, dan alam konkretnya adalah alam kubur.
Sedangkan kata ash-shirath diartikan sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang
dilakukan oleh Ibnu Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
+.- +OO+^ V4OEOO-
^O-4 _ N14` jjOO+^
E_O;=gE OgOg NE4:g` W
E4:g^- O) OE_~E}Ne W
OE_~E}O- OgE+WE _UEOE
OjO1 ~ONC }g` E4OEE- lO4O4:G`
lO4^O+-uCEe lOOg~uO= 4 lOE1)OEN
1~4C Og+uCEe +7//NC O4
+OO=O;> EO4^ _ NOO-^ _O>4N OO+^
Ogg4 +.- jjOONLg }4` +7.4=EC _
C)O;EC4 +.- 1^`- +EE4Ug
+.-4 ]7) 7/E* _1)U4 ^@)
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula
di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
8
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda, denotatif dan konotatif.
Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah
kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-
duanya, yakni bahwa alloh SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan.
Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera)
merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan jiwa yang berakal. Karena misykat
itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak.
Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material yang kaitannya dengan
akal mustafad (acquired intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara
mishbah (lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal
mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal
mustafad pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah.
Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu muncul az-
zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya
18
.
C. Pengaruh perbedaan Madzhab Teologis dalam penafsiran
al-Quran sangat kaya dengan makna. Al-Quran, menurut Sayyidina Ali r.a.,
Hammalat Lil wujuh (mengandung banyak arti), walaupun redaksinya singkat. Al-Quran
diibaratkan permata yang memancarkan aneka cahaya, tergantung dari posisi tempat anda
melihat. bukannya pakar tafsir yang tidak mampu menghidangkan aneka makna yang benar
terhadap ayat-ayat al-Quran, begitu pandangan pakar al-Quran.
19
Dari perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan suatu madzhab ini tentunya
menambah warna dari perkembangan tafsir. Ditengah perdebatan penafsiran ini kita bisa
mencermati lahirnya para intelektual rasional meskipun sifatnya sektarian. Namun nilai penting
18
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu.
19
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Quran dan Hadis (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. xvii
9
yang lahir dibelakangnya yakni berpikir kritis terhadap makna al-Quran untuk mendapatkan
kesimpulan yang lebih bisa dijadikan rujukan ataupun diinterpretasi ulang.
Oleh karenanya, kesadaran berpikir filosofis terhadap historisitas munculnya aliran-aliran
tafsir dari klasik, tengah sampai modern-kontemporer menjadi sangat penting. Sebab kadang
orang lupa bahwa al-Quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang ini ternyata
merupakan bagian dari proses sejarah. Demikian halnya, perbedaan aliran-aliran dalam
pemikiran Islam, baik dalam fikih, kalam tasawuf maupun tafsir. Hal itu merupakan bagian dari
dinamika sejarah pemikiran umat Islam yang sebetulnya tidak lain adalah karena perbedaan
dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
20
20
Abdul Mustaqim, Dinamika, hlm. viii
10
BAB III
PENUTUP
Tafsir corak teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Quran yang tidak hanya ditulis
oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Sehingga dalam pembahasan
model penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding
mengedepankan pesan-pesan pokok al-Quran.
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Quran dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu
tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-
teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan
dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Karakteristik yang paling menonjol dari 2 corak penafsiran di atas yakni terletak pada
penggunaan akal yang lebih aktif dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Quran yang sering
kita kenal dengan istilah tafsir bi al-rayi, berbeda dengan tafsir bi al-matsur yang menafsirkan
al-Quran dengan nash-nash penguat yang lain baik al-Quran dengan al-Quran ataupun al-
Quran dengan hadis dst.
Referensi
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS, 2010
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran Yogyakarta: Ponpest LSQ Ar-Rahmah,
2012
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran tej. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc.
MA. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Fahruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah.
Zamakhsyari, al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah.
Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun.
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu. .
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quranul Karim li Ibni al-Katsir. Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li
At-Turats.
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Quran dan Hadis. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.