Anda di halaman 1dari 11

Penafsiran corak Teologis-Falsasi

Tugas Mata Kuliah : Madzahib Tafsir


Dosen pengampu : Dr. Ahmad Baidhowi, M.Si

















Ditulis oleh :
Ceppi Cahyadi/11530074
Abdullah Zahir/11530097


JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

1
2013
BAB I
A. Pendahuluan
Tafsir al-Quran sebagai interpretasi terhadap teks al-Quran sudah ada ataupun dimulai
sejak zaman ketika Nabi Muhammad hidup hingga wafatnya sampai saat ini. Dalam
perjalanannya tafsir terhadap al-Quran mengalami perkembangan dan karakteristik yang
berbeda-beda dari masa ke masa. Adapun Perkembangan tafsir secara epistemik dipetakan
menjadi tiga era, yakni : era tafsir dengan nalar quasi-kritis, era affirmatif dengan nalar ideologis,
dan era formatif dengan nalar kritis.
1

Pada era affirmatif ini banyak bermunculan beberapa corak penafsiran yang berbasis
pada ideologi madzhab atau sekte keagamaan atau keilmuan tertentu, yang kita tahu beberapa di
antaranya yakni tafsir bercorak fiqih, tasawuf, dan teologi-falsafi.
Dari beberapa corak penafsiran di era affirmatif tersebut kami mencoba untuk membahas
penafsiran yang bercorak teologi-falsafi berdasarkan beberapa literatur yang membahasa tema
terkait untuk bersama dikaji guna menambah wawasan pengetahuan perihal tema tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun beberapa sub-tema yang akan kita bahas pada makalah ini :
1. Apa pengertian, latar belakang munculnya dan karakteristik tafsir teologi-falsafi?
2. Tokoh-tokoh didalamnya dan Bagaimana contoh model penafsirannya ?
3. Bagaimana Pengaruh perbedaan Madzhab Teologis dalam penafsiran ?


1
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 24

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian , Latar Belakang Munculnya, dan Karakteristik corak tafsir Tafsir
Teologis-Falsafi
Tafsir Corak Teologis
Tafsir corak teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Quran yang tidak hanya ditulis
oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu.
2
Sehingga dalam pembahasan
model penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding
mengedepankan pesan-pesan pokok al-Quran.
Merujuk kepada sejarah munculnya corak tafsir teologis yang mana merupakan golongan
yang menggunakan rayu (akal), berkembang dikarenakan ketidakpuasan terhadap pola
penafsiran dengan bi al-matsur salah satunya pengikut Mutazilah yang kemudian melakukan
perlawanan terhadap model penafsiran bi al-matsur yang dianggap tidak sejalan dengan akal.
3

Kemudian dalam perkembangannya muncullah bias-bias nalar ideologi dari beberapa
aliran-aliran yang juga muncul pada waktu itu, seperti Ahlussunah, Qadariah, Syiah, dan
Khawarij. Sehingga kebenaran tafsir diukur sesuai dengan aliran teolog tertentu dengan nalar
epistemik sendiri-sendiri dalam memahami al-Quran. Akibatnya, produk tafsir sedikit banyak
juga dipengaruhi oleh bayang-bayang ideologi mereka.
4

Manna al-Qaththan yang dalam permasalahan ini bisa dianggap tidak sependepat dalam
menanggapi corak penafsiran tersebut dengan mengatakan bahwa menafsirkan al-Quran dengan
berdarkan logikanya semata tidak sesuai dengan ruh syariat yang didasarkan pada nash-nashnya.
Karena rasio tanpa disertai bukti-bukti akan berakibat penyimpangan terhadap kitabullah.
Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah penganut madzhab yang
diantara mereka ada yang menulis tafsirnya secara indah dengan menyisipkan pemikiran

2
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran (Ypgyakarta: Ponpest LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm. 131-132
3
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 21
4
Ibid, hlm 22

3
Madzhabnya. dan diantara mereka ahli kalam (teolog) yang menakwilkan ayat-ayat sifat
dengan bingkai pemikiran Madzhabnya.
5

Tafsir Corak Falsafi
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Quran yang dikaitkan dengan persoalan-
persoalan filsafat. Tafsir falsafi lebih banyak didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya dan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran menggunakan teori-teori filsafat.
6

Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan
falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran
yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi,
ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.
Secara historis, keberadaan tafsir ini tidak bisa lepas dari terjadinya kontak dunia Islam
dengan pemikiran filsafat Yunani. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat
Yunani yang dijumpai oleh ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, Persia, dan Mesir.
Kebudayaan dan filsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander yang
Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik Alexsander untuk menyatukan
kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah
dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti
Alexsandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Basra di Persia.
7

Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan ke dalam Bahasa
arab dengan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat
dikonsumsi oleh sebagian kalangan kaum muslim. Dari terjadinya kontak dengan pemikiran
filsafat Yunani, kemudian muncullah reaksi dan respons dari kalangan kaum muslim.
Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih
dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini
umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang menerima
corak tafsir ini.

5
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran tej. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2009), hlm. 440-441
6
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah tafsir al-Quran, hlm. 131
7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran ,, hlm. 132

4
Kelompok Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku
karangan para filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama
adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan. Kelompok
Kedua, mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak
bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat dan agama serta
menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.
8

Kelompok yang mendukung tafsir dengan metode falsafi berpendapat bahwa antara
falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka
pada dasrnya wahyu Allah Swt itu tidak bertentangan dengan akal. Untuk mengkompromikan
hal ini, pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks
keagamaan (al-Quran), sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan maksud
suatu teks kepada pandangan-pandangan filsafat, agar sejalan dengan teori filsafat. Kedua,
dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan
teori filsafat. Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi
oleh teori-teori filsafat, atau tafsir yang menempatkan teori-teori ini sebagai paradigmanya,
sehingga tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.
9

B. Tokoh-tokohnya dan Contoh Penafsiran
Tafsir Teologis
a. Fakhruddin Ar-Razi
Ar-Razi diambil dari nama Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-
Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, terkenal dengan Ibnu al-Khatib Asy-SyafiI al-Faqih.
Ilmu-ilmu Rasional sangat mendominasi pemikiran ar-Razi di dalam tafsirnya, sehingga
ia mencampuradukkan ke dalamnya berbagai kajian baik mengenai kedokteran, logika, filsafat
dan hikmah. Ini semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna yang dikandung al-
Quran, spirit ayat-ayatnya, menggiring ayat kepada persoalan-persoalan ilmu rasional dan
terminologi ilmiah.
10

b. Az-Zamakhsyari

8
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hal. 169-170
9
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran ,, hlm. 135
10
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, hlm. 479-480

5
Ia adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Ia termasuk
salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, maani, dan bayan. Bagi orang yang membaca
kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang
dikutip dari kitab az-Zamakhsyari sebagai hujjah. Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan
argumentasi sendiri dalam pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja,
tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti orang lain.
11

c. Contoh Penafsiran
Ada contoh penafsirang yang mempertemukan perbedaan pendapat antara ar-Razi
sebagai perwakilan sunni dan Zamakhsyari sebagai perwakilan dari Mutazili dalam penafsiran
mengenai ayat tentang kemungkinan melihat Allah pada surat al-Qiyamah : 23

.
Menurut al-Razi, sebagai perwakilan Sunni, klimat di atas menunjukkan taqdim al-maful yang
bermakna khusus. Sehingga dia menafsiri bahwa di akhirat kelak, umat muslim akan melihat
kepada dzat Allah
12
. Sedangkan menurut Zamakhsyari, seorang Mutazli, kalimat itu bukanlah
taqdim al-maful, melainkan adanya pentakdiran terhadap kata nimat. Begitu juga dengan
penjelasan kata Nadzirahmenurut al-Razi kata itu berarti ruyah, sedangkan menurut
Zamakhsyari berarti al-Raja.
13

Tafsir Falsafi
a. Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi
Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) di tahun 870 M. menurut
keterangan dia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal, ia sendiri pernah
menjadi hakim. Dari Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu
itu. Disana ia belajar kepada Bishr Matta Ibnu Yunus (seorang penterjemah) dan tinggal di
Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif Al-Daulah
berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat diwaktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-
Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M
14
.

11
Ibid.., hlm. 481
12
Fahruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah, Juz 16 hlm. 198
13
Zamakhsyari, al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah, Juz 7, hlm. 190
14
Filsafat Islam.

6
Mengenai pemikirannya, dia menafsirkan al-Quran dengan filsafat murni, suatu
pemahaman bahwa hakikat al-Quran sebagai simbol simbol dan isyarat isyarat yang tidak
dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang
nalarnya terbatas. Oleh karena itu menurutnya, nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang
sesuai dengan daya tangkap mereka, yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan
mereka meskipun tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak
dianggap sebagai suatu kebohongan
15
.
Artinya adalah bahwa semua ayat - ayat al-Quran menurut para filsuf harus di tafsir atau
di takwil sesuai dengan filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat
aqli dan rohani, bukan jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran yang
menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di surga dan
penderitaan jasmani di neraka, sebagaimana yang dideskripsikan al-Quran dan as-Sunah
16
.
Diantara penafsiran yang dilakukan oleh al-Farabi adalah penafsiran kata al-zhahir dan
kata al-bathin pada Q.S. Al-Hadid ayat 3:
4O- NE- NO=E-4
NO)_--4 }gC4l^-4 W 4O-4
]7) 7/E* N7)U4 ^@
"Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha
mengetahui segala sesuatu".
Penafsiran al-farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni argumen Plato tentang
kekekalan alam. Oleh karena itu al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa
segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah
adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaannya
bergantung pada-Nya. telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain diri-Nya.
17

b. Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina.
Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di Bukhara tahun 980 M. Orang
tuanya adalah sorang pegawai negeri atau pegawai pemerintahan pada pemerintahan Dinasti
samani. Menurut sejarah hidup yang ditulis oleh muridnya Jurjani dari semenjak kecil Ibnu
Sina telah banyak mempelajari ilmu ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika,

15
Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun. Hal: 421
16
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu. Hal: 23.
17
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quranul Karim li Ibni al-Katsir (Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115

7
matematika, kedokteran, hukum dan termasuk juga ilmu tafsir al-Quran. Dia meninggapl di
Isfahan, pada tahun 1037 M.
Mengenai pemikirannya tentang tafsir al-Quran, sebenarnya tidak jauh beda dengan
pendapat al-Farabi, yakni menafsirkan al-Quran dengan penafsiran filsafat murni, karena kedua
tokoh ini sama-sama menganut paham filsafat Emanasi atau pancaran, hanya saja filsafat
emanasi yang diajukan oleh Ibnu Sina lebih mendalam, dalam artian makna yang
diungkapkannya lebih mendetail.
Contoh tafsir yang dilakukan Ibnu Sina adalah penafsiran al-jannah (surga) sebagai alam
akal, an-nar (neraka) sebagai alam imajinasi, dan alam konkretnya adalah alam kubur.
Sedangkan kata ash-shirath diartikan sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang
dilakukan oleh Ibnu Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
+.- +OO+^ V4OEOO-
^O-4 _ N14` jjOO+^
E_O;=gE OgOg NE4:g` W
E4:g^- O) OE_~E}Ne W
OE_~E}O- OgE+WE _UEOE
OjO1 ~ONC }g` E4OEE- lO4O4:G`
lO4^O+-uCEe lOOg~uO= 4 lOE1)OEN
1~4C Og+uCEe +7//NC O4
+OO=O;> EO4^ _ NOO-^ _O>4N OO+^
Ogg4 +.- jjOONLg }4` +7.4=EC _
C)O;EC4 +.- 1^`- +EE4Ug
+.-4 ]7) 7/E* _1)U4 ^@)
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula
di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah

8
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.

Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda, denotatif dan konotatif.
Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah
kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-
duanya, yakni bahwa alloh SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan.
Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera)
merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan jiwa yang berakal. Karena misykat
itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak.
Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material yang kaitannya dengan
akal mustafad (acquired intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara
mishbah (lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal
mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal
mustafad pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah.
Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu muncul az-
zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya
18
.
C. Pengaruh perbedaan Madzhab Teologis dalam penafsiran
al-Quran sangat kaya dengan makna. Al-Quran, menurut Sayyidina Ali r.a.,
Hammalat Lil wujuh (mengandung banyak arti), walaupun redaksinya singkat. Al-Quran
diibaratkan permata yang memancarkan aneka cahaya, tergantung dari posisi tempat anda
melihat. bukannya pakar tafsir yang tidak mampu menghidangkan aneka makna yang benar
terhadap ayat-ayat al-Quran, begitu pandangan pakar al-Quran.
19

Dari perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan suatu madzhab ini tentunya
menambah warna dari perkembangan tafsir. Ditengah perdebatan penafsiran ini kita bisa
mencermati lahirnya para intelektual rasional meskipun sifatnya sektarian. Namun nilai penting

18
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu.
19
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Quran dan Hadis (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. xvii

9
yang lahir dibelakangnya yakni berpikir kritis terhadap makna al-Quran untuk mendapatkan
kesimpulan yang lebih bisa dijadikan rujukan ataupun diinterpretasi ulang.
Oleh karenanya, kesadaran berpikir filosofis terhadap historisitas munculnya aliran-aliran
tafsir dari klasik, tengah sampai modern-kontemporer menjadi sangat penting. Sebab kadang
orang lupa bahwa al-Quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang ini ternyata
merupakan bagian dari proses sejarah. Demikian halnya, perbedaan aliran-aliran dalam
pemikiran Islam, baik dalam fikih, kalam tasawuf maupun tafsir. Hal itu merupakan bagian dari
dinamika sejarah pemikiran umat Islam yang sebetulnya tidak lain adalah karena perbedaan
dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
20



20
Abdul Mustaqim, Dinamika, hlm. viii

10
BAB III
PENUTUP
Tafsir corak teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Quran yang tidak hanya ditulis
oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Sehingga dalam pembahasan
model penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding
mengedepankan pesan-pesan pokok al-Quran.
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Quran dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu
tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-
teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan
dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Karakteristik yang paling menonjol dari 2 corak penafsiran di atas yakni terletak pada
penggunaan akal yang lebih aktif dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Quran yang sering
kita kenal dengan istilah tafsir bi al-rayi, berbeda dengan tafsir bi al-matsur yang menafsirkan
al-Quran dengan nash-nash penguat yang lain baik al-Quran dengan al-Quran ataupun al-
Quran dengan hadis dst.
Referensi
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS, 2010
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran Yogyakarta: Ponpest LSQ Ar-Rahmah,
2012
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran tej. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc.
MA. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Fahruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah.
Zamakhsyari, al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah.
Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun.
DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu. .
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quranul Karim li Ibni al-Katsir. Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li
At-Turats.
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Quran dan Hadis. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.

Anda mungkin juga menyukai