Anda di halaman 1dari 25

Pembagian Tafsir Dari Segi Sumber, Metode, dan Coraknya

I. PENDAHULUAN
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui sahabat
didaerah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-
masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri yaitu di Makkah, Madinah dan Irak.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadist namun masing-masing
madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi
hadist, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis
sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadist dan tafsir
sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti
Ibn majjah, Ibn Jarir At-Thabari, Abu Baqar Ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lainnya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini
dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut
coraknya.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
2. Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya
3. Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

III. PEMBAHASAN
1. Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi
Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi.
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan atau Sunnah sebagai
sumber penafsirannya. Contoh:
1a) Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karangan Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-
Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir.
2b) Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-
Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary.
3c) Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul, karangan Al-Iman
Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin
Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’i, dikenal dengan sebutan Imam Al-
Baghawy.1[1]
b. Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
Contoh:
1) Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2) Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3) Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-
Zamakhsyari. 2[2]

Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-
Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga
bagian.

1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-


Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber
penafsirannya.
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif
yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering
juga disebut sebagai tafsir shufi.

2. Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya


Para ulama Al-quran telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode
penafsirannya menjadi empat macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i. Keempat
metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.3[3]

a. Metode Tahlili (Metode Analisis)


Secara bahasa, al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Maksudnya adalah metode
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian
makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.

1[1] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011, hal: 114.

2[2] Ibid hal: 115

3[3] Ibid hal: 117


Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan
menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga sisi antar pemisah itu dengan
bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in.
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.
Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai
tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus
lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini.

b. Metode Ijmali (Metode Global)


Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar. Global dan penjumlahan.
Maka dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan
yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.
Metode Ijmali yang menafsirkan Al-Qur’an secara global. Dengan metode, ini muffasir
berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang
mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang yanf berpengetahuan sekedarnya
sampai kepada orang yang berpengetahuan luas.

c. Metode Muqaran (Metode Komparasi/perbandingan)


Al-tafsir al-muqaran ialah yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-
ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda-beda padahal isi kandungannya sama, atau
antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga
termasuk ke dalam metode komporasi ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang selintas
tinjau tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak
bertentangan.
Al-tafsir al-muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara
aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain, maupun
perdandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain-lain sebagainya. Dengan
demikian, maka bentuk-bentuk metode penafsiran yang dilakukan dengan cara perdandingan
memiiki obyek yang luas dan banyak. 4[4]

4[4] http://upi-luthfiahmad.blogspot.com/2012/03/tafsir-menurut-sumber-metode-dan.html
d. Metode Maudhu’i (Metode Tematik)
Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu
masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan
tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif,
mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya,
munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing
ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut
dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu
di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dlam metode tafsir ini, maka
sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga
metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam
al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan
masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk
mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat
memberikan jawaban dengan konsep Al-quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi
umat manusia.5[5]
Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang
ingin menggunakan metode maudhu’i. Langkah-langkah yang di maksud adalah sebagai
berikut:
4a) Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
5b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan,
ayat makkiyah dan ayat madaniyah.
6c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sebab al-nuzul.
7d) Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
8e) Menyusun tema bahasa dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
9f) Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan semakin sempurna dan jelas.

5[5] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011, hal: 118-
119
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara
pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-
ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga
semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.6[6]

Pembagian Metodologi Tafsir


Istilah tafsir merujuk kepada Al-Qur’an Surat Al-Furqan 33:
‫َفسيرا‬
ً ‫سنَ ت‬َ ‫ق َوأَح‬
ِ ‫َوال َيأتونَكَ ِب َمثَ ٍل ِإ اال ِج ٰئنكَ ِبال َح ا‬
Artinya: “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu Sesuatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang
terbaik ”. (QS. Alfurqan: 33)
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tafsir diartikan dengan keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi tafsir Al-qur’an ialah penjelasan atau keterangan
untuk memperjelas maksud yang sukar dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an. Para ulama telah
melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut Al-Qur’an dan kitab-kitab
tafsir. Ada empat macam metode tafsir, yaitu: 4 Metode Ijmali (global) Yang dimaksud
dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup,
dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
mengikuti sususnan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh
dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembaca mudah memahaminya. a) Ciri-
ciri Metode Ijmali Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh
berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam metode analitis lebih rinci daripada di
dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-
idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk
mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti
disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga
seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya.
Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai
pada wilayah tafsir analitis. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karangan Muhammad Farid
Wajdi, Al-tafsir Al-Wasith terbitan Majma’ Al-Buhus Al-islamiyyat, dan Tafsir Al-Jalain
serta Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Ustman al-Mirgani, masuk kedalam kelompok ini.
b) Kelebihan Metode Ijmali Praktis dan mudah dipahami, tidak berbelit-belit, pemahaman
Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya. Relatif lebih murni, dengan metode ini
dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang- kadang tidak sejalan dengan martabat
Al-Qur’an. Akrab dengan bahasa Al-qur’an,. Uraian yang dibuat dalam tafsir ijmali terasa
amat singkat dan padat, hal ini dikarenakan mufasir langsung menjelaskan pengertian kata
atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara
pribadi. c) Kekurangan Metode Ijmali 1) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, Al-
Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain
membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah. Dengan menggabungkan kedua ayat

6[6] Suryadilaga M. Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. 1; TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005, hal:
47-48
itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan. 2) Tak
ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Tafsir yamg memakai metode ijmali
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan
berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. 5 Metode Tahlili (analitis) Yang dimaksud dengan
metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu sertamenerangkan makna-makna
yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh
Al-Qur’an, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf.
Perbedaan yang mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan
wawasan yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis. Karma itu, didalam
tafsir tahlili si mufasir relative punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan
gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pemahaman ayat. Yang menjadi ciri
dalam metode analitis ini bukan menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya,
melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama pembahasan tidak
mengikuti pula perbandingan. a) Ciri-ciri Metode Tahlili Pola penafsiran yang diterapkan
mufasir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y. Dalam penafsiran tersebut, Al-
Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan
menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. b) Kelebihan Metode Tahlili
Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa, mendapat peluang yang luas untuk
menafsikan Al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti tafsir Al-Nasafi karangan
karangan Abu Al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik
tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat, sains dan teknologi. Memuat berbagai
ide. Tafsir ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan
ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. c) Kekurangan Metode Tahlili
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Karena seakan-akan Al-Quran memberi pedoman
secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat
berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Melahirkan
penafsiran subjektif, karena bebas mengeluarkan ide dalam penafsiran ini. Para mufasir
terkadang tidak sadar telah menafsirkan Al-Qur’an secara subjektif, bahkan bisa jadi ada
mereka yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemauan hawa nafsunya. 6 Metode Muqarin
(komparative) Yang dimaksud dengan metode komparative adalah: a) Membandingkan teks
ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan dalam dua kasus atau lebih. b)
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Al-Hadits yang pada lahirnya bersifat bertentangan.
c) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir M. Qurois Sihab yang mengatakan: v
Membandingkan Pendapat Para Mufasir Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang
bersifat manqul (Al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (Al-tafsir al-ra’yi). Manfaat
yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah: Membuktikan ketelitian al-Qur’an,
Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif, Memperjelas makna
ayat, dan Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih. Sedang dalam hal
perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari,
menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-
masing. a) Kelebihan Metode Muqarin Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih
luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Membuka pintu
untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda
dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Tafsir dan metode komfaratif ini
amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahuiberbagai pendapat tentang suatu ayat.
Dengan metode ini mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta
pendapat para mufasir yang lain. 7 b) Kekurangan Metode Muqarin Penafsiran dengan
metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula seperti mereka yang sedang belajar
pada tingkat sekolah menengah kebawah. Kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan social yang tumbuh ditengah masyarakat. Terkesan banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-
penafsiran baru. Metode Maudhu’i ( tematik ) Yang dimaksud dengan metode maudhu’i
adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti Asbab Al-Nuzul, kosa kata, dan sebagainya.
Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari hadits, Al-
Qur’an atau pemikiran rasional. a) Ciri-ciri Metode Maudhu’i Yang menjadi ciri utama
metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah bila di
katakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun
dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh
dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-
Farmawy seorang guru besar di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh
untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah: Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya (asbab al-nuzul). Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. Menyusun pembahasan dalam
kerangka yang sempurna. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan
pokok bahasan. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. 8 b) Kelebihan Metode
Maudhu’i 1. Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan,
permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas.
Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, tidak
dapat ditamgani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik. 2. Praktis dan
sistematis. Tafsir ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan
yang timbul. Dengan adanya tematik mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara
praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efesien. 3. Dinamis.
Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntunan zaman. 4.
Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka
pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap secara utuh. c) Kekurangan Metode Maudhu’i
1. Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah
mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak
permasalahan yang berbeda. 2. Membatasi pemahaman ayat. Dengan penetapan judul
penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas

Mine coins - make money: http://bit.ly/money_crypto


3. Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya
Corak penafsiran yang dimaksut dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai
suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang
berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin
ilmu yang dikuasainya. Diantaranya sebagai berikut:
a. Tafsir Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk
tafsir isyari.
b. Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi
sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur.
c. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat,
termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber
penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi Al-Ra’yi.
d. Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-
ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga
termasuk tafsir bi al-ra’yi.
e. Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-
masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al=adab al-
ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang
mengategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaj (tafsir campuran), karena presentase atsar dan
akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

A. Perkembangan Tafsir Pada Periode Nabi


Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi saw sendiri dan beliaulah penafsir awal (al-
Mufassirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang
diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an
ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Rasul saw setiap menerima ayat Al-Qur’an langsung menyampaikan kepada para sahabat
serta menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan
Sunnah Qauliyah, adakalanya dengan Sunnah Fi’liyah dan adakalanya dengan Sunnah
Taqririyah. Dalam pada itu tafsir yang diterima dari Nabi sendiri sedikit sekali. Kata ‘Aisyah
r.a. : “Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja, menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan
Jibril”.
B. Perkembangan Tafsir Pada Periode Sahabat
Sesudah Rasulullah wafat barulah para sahabat merasa perlu bangun menerangkan apa yang
mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-
Qur’an.
Kata Abdur Rahman As-Salamy: “Orang-orang yang mengajarkan kami Al-Qur’an, seperti
Usman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain menerangkan kepada kami
bahwasanya apabila mereka mempelajari dari Nabi sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak
mempelajari ayat-ayat yang lain dahulu sebelum mereka mempelajari ayat-ayat yang sepuluh
itu. Mereka berkata: ‘Kami nukilkan dari Rasulullah Qur’an, ilmu dan amal’.” Memang
apabila mereka tiada mengetahui makna sesuatu lafadz Al-Qur’an, atau sesuatu maksud ayat,
segeralah mereka bertanya kepada Rasul sendiri, atau kepada sesama sahabat yang dipandang
dapat menjelaskan.
Tiadalah semua sahabat sederajat dalam memahami Al-Qur’an karena menurut kenyataan,
tidaklah semua anggota suatu masyarakat mengetahui dengan sempurna seluruh kata-kata
dari bahasa yang dipergunakan masyarakat itu. Ada di antara mereka yang luas ilmunya
tentang kesusasteraan jahiliyah, ada yang tidak. Ada yang terus-menerus menyertai Rasul,
dapat mempersaksikan sebab nuzul, ada yang tidak. Ada di antara mereka yang mengetahui
dengan sempurna adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, ada yang tidak dan
sebagainya. Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir (hadits-hadits tafsir). Mereka
tidak suka menulisnya adalah karena takut tercampur baur dengan Al-Qur’an.
Para ulama ahli tafsir di zaman para sahabat di antaranya ialah: Abdullah ibn Abbas, Ali ibn
Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Abu Bakar ash-Shiddieq, Umar ibn
Khattab, Umar ibn al-Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Tsabit dan
Abdullah ibn Zubair.
Para sahabat mempunyai dua aliran dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. At-Tafsir bi al-Ma’tsur (At-Tafsir bi al-Manqul), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
riwayat (hadits Rasul) atau atsar (pendapat-pendapat para sahabat).
2. At-Tafsir bi ar-Ra’yi wal ijtihad (At-Tafsir bi al-Ma’qul), yang di samping menafsirkan
Al-Qur’an dengan riwayat mempergunakan ijtihad dan akal, berpegang kepada kaedah-
kaedah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasa.

C. Perkembangan Tafsir Pada Periode Tabi’in


Para sahabat Nabi yang ahli tafsir Al-Qur’an, banyaklah di antara mereka yang kemudian
mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka
yaitu para tabi’in. Di antara mereka para tabi’in yang ahli tafsir ialah: Sa’id ibn Zubair,
Ikrimah, Mujahid, ‘Athaa ibn Abi Rabah, Muhammad ibn Ka’ab, Abil ‘Aliyah, Hasan Bashri,
Athaa ibn Abi Salamah, Qatadah, ar-Rai’in Anas, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, ad-
Dhahhak ibn Muzaahim, ‘Athiyah al-‘Ufi, Murrah al-Hamdani, dan Abu Malik.
Para ulama tabi’in mempunyai dua manhaj (aliran) dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Manhaj Muhadditsin, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan manqul.
2. Manhaj Aqiliyyin (Ijtihadiyyin), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ma’qul.
Pada periode ini terdapat tafsir-tafsir yang disusun oleh firqah-firqah Islam yang masuk
dalam kategori yang dicela lantaran pengarang-pengarangnya menulis tafsir-tafsir itu untuk
mengokohkan pendirian mereka atau untuk membela mazhab mereka. Di antaranya ialah
tafsir-tafsir Mu’tazilah, Mutawassifah dan Bathiniyah.
Tafsir-tafsir Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh akal dan oleh ilmu mantiq berdasar pada
kaidah mereka: “Yang baik, ialah dipandang baik oleh akal dan yang buruk, ialah yang
dipandang buruk oleh akal”. Nash-nash yang diperoleh Nabi dijadikan pegangan yang kedua,
sedikit sekali mereka mempergunakan nash-nash itu untuk menerangkan makna-makna ayat.
Tafsir-tafsir golongan Mutasawwifah dipengaruhi oleh syathahat-syatahat sufiyah yang
menjauhkan mereka dari susunan Al-Qur’an dan menjadikan perkataan mereka, sulit dan
sukar dipahami, yang hanya dapat dipakai oleh orang-orang yang telah mempelajari uslub-
uslub Mutasawwifah. Tafsir Bathiniyah hanya mengambil batin Al-Qur’an dan mengabaikan
lahirnya. Di dalamnya kita temui takwil-takwil yang salah yang berlawanan dengan dasar-
dasar syara’ dan kaidah bahasa.

D. Syarat dan Adab Bagi Mufassir


Keterangan dan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang harus diketahui dan diinsafi lebih
dahulu oleh para mufassir Al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu menjadi pedoman
agama yang memimpin umat manusia kepada segala sesuatu yang mendatangkan atau
mebawa kebahagiaan mereka di alam dunia dan kesejahteraan mereka kelak di akhirat. Jadi
para penafsir Al-Qur’an itu hendaklah lebih dahulu mengerti akan tujuan itu.
Selanjutnya, para penafsir Al-Qur’an iu sebelum berusaha hendak menafsirkan Al-Qur’an,
terlebih dahulu haruslah mengerti beberapa macam ilmu pengetahuan sebagai alatnya. Antara
lain ialah:
1. Penguasaan ilmu bahasa Arab;
a. Kosakata Al-Qur’an, penting karena sering dijumpai di dalam kitab suci itu kata-kata yang
mengandung pengertian lebih dari satu.
b. Ilmu Nahwu (sintaksis), membahas hal-hal yang berhubungan dengan susunan kata,
struktur kalimat, perubahan jabatan kata dan sebagainya.
c. Ilmu Sharf (morfologi), membahas bentuk suatu kata dan pengembangannya seperti ibdal,
idgham, dan sebagainya.
d. Ilmu Etimologi; ilmu tentang asal usul kata.
e. Ilmu Balaghat (retorika/metafora); ada tiga aspek di dalam ilmu ini. Pertama, ilmu ma’ani
(semantik), membahas makna atau konotasi suatu kata atau kalimat. Kedua, ilmu bayan,
membahas pola penyusunan kalimat yang bervariasi dalam menyampaikan suatu maksud.
Ketiga, ilmu badi’, membahas pola penyusunan ungkapan atau kalimat yang indah.
2. Ilmu Qira’at; membahas cara-cara membaca Al-Qur’an.
3. Ilmu Ushuluddin; membahas kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sifat Allah dan yan
berhubungan dengan masalah Arkanul Iman.
4. Ilmu Ushul Fiqh; seorang mufassir harus dapat, sanggup dan mampu mengetahui tentang
segi-segi istidlal (pembuktian) tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
5. Ilmu Asbabun Nuzul; pengetahuan tentang sebab-sebab atau latar belakang turunnya ayat.
6. Ilmu Nasikh dan Mansukh; pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang dinasikhkan
dan dimansukhkan.
7. Ilmu Hadits; untuk memyempurnakan dan memberi penjelasan secara rinsi berdasarkan
penjelasan dan penafsiran sunnah Nabi.
8. Ilmu Mauhabah; ilmu tentang segi-segi I’jaznya Al-Qur’an di kalangan ahli Tahqiq yang
dimaksud ialah ilmu ladunny yaitu ilmu yang langsung diberikan oleh Allah pada orang yang
mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Persyaratan seseorang penafsir Al-Qur’an dengan
mengetahui ilmu Mauhabah adalah pendapat as-Sayuti.
9. Ilmu sains dan teknologi; karena di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan isyarat tentang
sains dan teknologi.
Seorang mufassir itu harus lurus (jujur) dalam ia menfsirkan Al-Qur’an dan mendapat
hidayah dari Allah swt. Imam Abu Wa’il ath-Thabary menguraikan tentang adab (akhlak)
bagi mufassirin:
1. Hendaklah mufassir itu mempunyai akidah yang sah (murni);
2. Hendaklah mufassir iru kuat serta teguh pendiriannya pada sunnah Nabi saw dan ajaran
agama Islam.
Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an itu janganlah ada di belakangnya maksud tertentu untuk
menafsirkannya, seperti dorongan hawa nafsu atau dengan dorongan keduniaan. Imam ath-
Thabary menyatakan: “Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menafsirkan Al-
Qur’an yaitu niatnya yang sah yang tergambar dalam perkataannya, tulisannya hendaklah
tepat dan benar tidak berbelit-belitdalam menafsirkan Al-Qur’an.

Referensi:
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
- Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-
Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Kholil, Moenawar. 1985. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Solo: Ramadhani.
- Syurbasyi, Ahmad. 1999. Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim. Jakarta: Kalam Mulia.

Dr .Mustaqim Abdul Epistemologi Tafsir Kontemporer (LKiS), Yogyakarta,2010

 Ahmad Syukri, “Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur


Rahman” ( Jambi : Sulton Thaha Press, 2007 )

 Drs. H. M.Yusron, MA Study kitab tafsir kontemporer (teras), Yogyakarta 2006

 Mustaqim Abdul,Aliran-aliran tafsir (kreasi wacana),Yogyakarta

 Drs. H.Ilyas Yunahar, M,A.Lc

BAB I
7[1]PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologi tafsir bisa berarti: ‫(االيضاح والبيان‬penjelasan), ‫(الكشف‬pengungkapan) dan ‫كشف‬
‫(المراد عن اللفظ المشكل‬menjabarkan kata yang samar ).i[i] Adapun secara terminologi tafsir
adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan
pemahamannya.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan
maksud dan kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia
adalah sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran
terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, suatu
keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ini.ii[ii]
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64).
Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in,
tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an
termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.

B. Rumusan Masalah
 Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
 Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
 Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
C. Tujuan Pembahasan
 Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa rasul.
 Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
 Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.

BAB II
SEJARAH ILMU TAFSIR

A. Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat


Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-
Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang
tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas,
Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-
lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a. Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b. Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay
bin Ka'ab.
c. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin
Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-
sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir
bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun
150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah
terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu
kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan
bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh
'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa
yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang
lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-
Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal."iii[iii]

B. Tafsir di Masa Tabi’in


Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan
ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah,
Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti
tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas
r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu
juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir
seperti Zaid Ibnu Aslam.”iv[iv]
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang
menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang yang membolehkan
dengan beberapa hadis, seperti
‫من تكلام في القرأن فأصاب فأخطأ‬
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-
Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan
sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan
Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang
ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka
menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir
saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.

C. Tafsir pada Masa Tadwin


Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari
para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum
tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama
mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka
mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang
mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu
Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis
lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang
yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia
melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula
ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para
ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

D. Kodifikasi Ilmu Tafsir


Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:
 Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang
masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.v[v]
 Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu
buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan
Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.vi[vi]
 Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para
ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini
tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.vii[vii] Sampai terjadi ketika
mentafsirkan ayat
‫غير المغضوب عليهم والالضالين‬
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
 Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari
luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan
dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi
tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari
segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-
Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.viii[viii]
 Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam
bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal
Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul
Qur’annya.ix[ix]
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti
Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah
dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan
ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya
Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi
dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang
diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-
Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat
dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi
al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi
kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang
cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa
Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-
pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan
kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal
Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah
akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata
teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta
bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu
tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.

BABIII
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat


tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad.
Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan
pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan
untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam
bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir
bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai
dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal :
323
Al-Aridl, Ali Hasan, “Sejarah dan Metodologi Tafsir”, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1991), hal. VII
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. (Jakarta: Bulan Bintang, 1972),
237.
Baidan, Nashrudin, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal.2
Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulumul Quran. (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa, 1998),
310
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.

1. Untuk mengetahui ilmu bantu menafsirkan Al-Qur’an


2. Untuk mengetahui jenis-jenis ilmu bantu dalam menafsirkan Al-Qu’ran
3. Untuk mengetahui urgensi dalam menafsirkan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Bantu dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Kita sudah mengetahui tentang pengertian tafsir pada materi sebelumnya yang sudah
disampaikan oleh teman kita dalam presentasinya. Tapi kita akan mengulas kembali sedikit
tentang pengertian tafsir. Bahwa tafsir dalam bahasa Arab arasal dari kata “al fasr” kemudian
di ubah dalam bentuk taf’il yaitu menjadi “al-tafsir” yang berarti “ penjelasan dan
keterangan”.
Pengertian Tafsir menurut bahasa : “Penjelasan, Keterangan dan Mengungkapkan
pengertiannya yang dapat dipkirkan ”. Sedangakan Tafsir menurut istilah semacam ilmu
membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang berkenaan
dengan perorangan dan kemasyarakatan dan pengertiannya yang dilingkupi oleh susunan
lafalnya dalam QS. AI-Furqan (25): 33.
”Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”

Adapun sumber penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya , metode tafsir Al-
Qur’an ada tiga yaitu :
 Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
 Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
 Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )

B. Jenis Ilmu Bantu Tafsir

Seseorang mufassir yang akan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an harus memenuhi


syarat-syarat. Para ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang
yang hendak menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya :
Mempunyai akhidah yang lurus , bersih dari hawa nafsu, dan memiliki ilmu tafsir
(ilmu-ilmu Al-Qur’an beserta pendukungnya).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an misalnya : ilmu asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), ilmu maki
–madani (pengelompokkan jenis surat), ilmu nasikh-mansukh, ilmu muhkam mutasyabihat
(ayat-ayat yang mengandunng hukum yang jelas dan hukum yang belum jelas).
Adapun ilmu-ilmu pendukung atau ilmu bantu diantaranya :
1. Lughah Arabiyah
Dengan lughah arabiyah akan diketahui penjelasan kata-kata tunggal dan petunjuk-
petunjuknya.
2. Ilmu Nahwu
Ilmu ini mempunyai peranan yang penting. Orang yang hafal dan juga hafal wajah-wajah
bacaan, akan tergenlincir kedalam ke hancuran apabila ia tidak mengetahui ilmu nahwu
3. Ilmu Tashrif
Ilmu ini untuk mengetahui bangun dan bentuk kata . Ibnu Faris berkata : ''Barang siapa yang
tidak memiliki ilmu tashrif, maka ia tidak memiliki ilmu yang agung”.
4. Ilmu Isytiqaq
Ini untuk mengetahui asal dari pada kata . Sebab isim (kata benda ) apabila istiqoqnya dari
dua asal yang berlainan.
5. Ilmu Ma'ani
Yaitu imlu yang mengetahui ciri khas susunan kalam di dalam memberi faedah di dalam
makna.
6. Ilmu Bayan
Yaitu ilmu untuk mengetahui perbedaan susunan kalam dari segi dan samarnya dilalah akibat
perbedaan tersebut.
7. Ilmu Badi'
Yaitu ilmu yang untuk memeperindah kalam.

8. Ilmu Qira'ah
Ilmu ini mengetahui bagaimana kita mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur'an dan agar dapat
mentarjihkan satu wajah dari beberapa wajah yang mustamil.
9. Ilmu Ushuludin
Apabila mememiliki ilmu ushuludin maka akan tahu dan sanggup menta'wilkan ayat-ayat
yang lahirnya bertentangan dengan sifat – sifat kesempurnaan Allah dan sanggup beristidlal
terhadap apa-apa yang muhal, yang wajib dan jaiz (wenang ) bagi Allah SWT.
10. Ilmu Ushul Fiqih
Yaitu ilmu untuk mengetahui metode istidlal dan istinbath hukum.
11. Ilmu Asbabun Nuzul dan Kisah- kisahnya
Dengan ilmu ini mufassir akan sanggup megetahui makna yang diturunkan melalui peristiwa
yang diturunkan.
12. Ilmu Nasikh Mansukh
Dengan ilmu ini maka akan tahu pendapat jumhur yang mengatakan adanya nasikh mansukh
dalam Al-Qur’an dan akan mengatahui sebagian ulama' yang tidak setuju terhadap nasikh
mansukh dan alasan-alasannya serta cara mentufiqkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
berlawanan .
13. Ilmu Fiqih
Ilmu yang membahas hukum ajaran islam.
14. Ilmu Hadist
Adalah hadist yang menafsirkan yang mujmal dan menentukan yang mubham .
15. Ilmu Mauhibah
Suatu ilmu yang diwariskan Allah SWT kepada orang yang mengamalkan ilmunya.

Para ulama telah menyebutkan tentang macam-macam ilmu yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir. Menurut As-Suyuthi sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu, sharaf,
etimologi). Hal ini sangat penting bagi seorang mufassir, sebab bagaimana
mungkin memahami ayat, tanpa mengetahui perbedaan kata dan susunan
kalimat.
2. Mengetahui ilmu balaghoh (ma’any, bayan, badi’) sangat penting dan
diperlukan bagi orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an karena ia harus
menjaga atau memelihara bentuk kemu’jizatan.
3. Mengetahui ushul fiqih (tentang khash, `am, mujmal, mufashal dan
sebagainya), juga diperlukan oleh seorang mufassir dalam memahami Al-
Qur’an supaya tidak keliru memahaminya, serta tidak terpeleset oleh
kebodohan karena tidak tahu tentang ilmu-ilmu yang penting itu.
4. Mengetahui asbabun nuzul.
5. Mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
6. Mengetahui ilmu qiraat.
7. ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang diberi oleh langsung dari Allah. Ilmu yang
diwariskan oleh Allah kepada seseorang yang mengamalkan sesuai dengan
ilmunya, serta Allah membukakan hati orang tersebut untuk memahami
rahasia-rahasianya.

Syarat-syarat dari ilmu yang telah disebutkan tadi adalah untuk mewujudkan tafsir yang
paling tinggi martabatnya. Tafsir yang paling tinggi martabatnya hanya dapat dicapai dengan
kita melengkapi urusan-urusannya, yaitu:
a. Memahami hakekat lafal yang tunggal,
Yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan memperhatikan cara-cara ahli bahasa
mempergunakan kalimat-kalimat itu.Kebanyakan lafal-lafal Al-Qur’an dipakai di mana Al-
Qur’an sedang diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu beberapa
masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk makna-makna yang lain, umpamnya lafal ta’wil.
b. Memperhatikan uslub-uslub Al-Qur’an.
Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat memahami uslub-
uslub bahasa Arab yang tinggi.Untuk itu perlu ilmu i’rab dan ilmu asalib (ma’ani dan bayan).
c. Mengetahui keadaan-keadaan manusia.
Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai kitab yang absah, di
dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan dalam kitab lain. Di
dalamnya diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-sunnah ketuhanan di dalam
menciptakan manusia.
Dan di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat yang telah lalu.Karenanya, perlulah
orang memperhatikan isi Al-Qur’an, memperhatikan pula keadaan perturnbuhan dan
perkembangan manusia dari zaman ke zaman.

d. Mengetahui jalan-jalan Al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia dengan Al-Qur’an.


Karenanya, wajiblah bagi seorang mufassir yang melaksanakan fardhu kifayah ini mengethui
keadaan manusia di masa Nabi SAW, baik dari bangsa Arab maupun bangsa lain. Dan
bahwasanya Nabi SAW dibangkit Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan
mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.
e. Mengetahui sirah ( riwayat hidup Nabi SAW dan sahabat), dan bagaimana keadaan sahabat,
baik dalam bidang ilmu, dan bagaimana mereka menghadapi masalah-masalah keduniaan dan
keakhiratan.

C. Urgensi Ilmu Bantu Menafsir Al-Qur’an

Ilmu Al-Qur’an diperlukan, karena dengannya, seorang mufasir dapat menafsirkan Al-
Qur’an dengan baik dan benar. Ilmu-ilmu ini, pada hakekatnya, menjadi alat untuk tafsir.
Karena itu, ia juga disebut ilmu tafsir atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Selain itu, urgensi Ilmu Al-Qur’an kaitannya dengan tafsir, antara lain:
1. Membuka kemungkinan untuk memahami Al-Qur’an dengan baik.
2. Mampu menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan mudah.
3. Menjadi senjata ampuh untuk melawan tantangan dari lawan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005
http://upi-luthfiahmad.blogspot.com/2012/03/tafsir-menurut-sumber-metode-dan.html

Anda mungkin juga menyukai