I. PENDAHULUAN
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui sahabat
didaerah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-
masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri yaitu di Makkah, Madinah dan Irak.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadist namun masing-masing
madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi
hadist, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis
sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadist dan tafsir
sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti
Ibn majjah, Ibn Jarir At-Thabari, Abu Baqar Ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lainnya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini
dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut
coraknya.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
2. Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya
3. Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya
III. PEMBAHASAN
1. Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi
Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi.
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan atau Sunnah sebagai
sumber penafsirannya. Contoh:
1a) Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karangan Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-
Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir.
2b) Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-
Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary.
3c) Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul, karangan Al-Iman
Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin
Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’i, dikenal dengan sebutan Imam Al-
Baghawy.1[1]
b. Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
Contoh:
1) Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2) Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3) Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-
Zamakhsyari. 2[2]
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-
Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga
bagian.
1[1] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011, hal: 114.
4[4] http://upi-luthfiahmad.blogspot.com/2012/03/tafsir-menurut-sumber-metode-dan.html
d. Metode Maudhu’i (Metode Tematik)
Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu
masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan
tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif,
mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya,
munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing
ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut
dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu
di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dlam metode tafsir ini, maka
sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga
metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam
al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan
masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk
mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat
memberikan jawaban dengan konsep Al-quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi
umat manusia.5[5]
Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang
ingin menggunakan metode maudhu’i. Langkah-langkah yang di maksud adalah sebagai
berikut:
4a) Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
5b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan,
ayat makkiyah dan ayat madaniyah.
6c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sebab al-nuzul.
7d) Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
8e) Menyusun tema bahasa dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
9f) Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan semakin sempurna dan jelas.
5[5] Hermawan Acep, Ulumul Quran, Cet. 1; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011, hal: 118-
119
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara
pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-
ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga
semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.6[6]
6[6] Suryadilaga M. Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. 1; TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005, hal:
47-48
itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan. 2) Tak
ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Tafsir yamg memakai metode ijmali
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan
berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. 5 Metode Tahlili (analitis) Yang dimaksud dengan
metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu sertamenerangkan makna-makna
yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh
Al-Qur’an, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf.
Perbedaan yang mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan
wawasan yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis. Karma itu, didalam
tafsir tahlili si mufasir relative punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan
gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pemahaman ayat. Yang menjadi ciri
dalam metode analitis ini bukan menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya,
melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama pembahasan tidak
mengikuti pula perbandingan. a) Ciri-ciri Metode Tahlili Pola penafsiran yang diterapkan
mufasir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y. Dalam penafsiran tersebut, Al-
Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan
menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. b) Kelebihan Metode Tahlili
Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa, mendapat peluang yang luas untuk
menafsikan Al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti tafsir Al-Nasafi karangan
karangan Abu Al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik
tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat, sains dan teknologi. Memuat berbagai
ide. Tafsir ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan
ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. c) Kekurangan Metode Tahlili
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Karena seakan-akan Al-Quran memberi pedoman
secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat
berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Melahirkan
penafsiran subjektif, karena bebas mengeluarkan ide dalam penafsiran ini. Para mufasir
terkadang tidak sadar telah menafsirkan Al-Qur’an secara subjektif, bahkan bisa jadi ada
mereka yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemauan hawa nafsunya. 6 Metode Muqarin
(komparative) Yang dimaksud dengan metode komparative adalah: a) Membandingkan teks
ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan dalam dua kasus atau lebih. b)
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Al-Hadits yang pada lahirnya bersifat bertentangan.
c) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir M. Qurois Sihab yang mengatakan: v
Membandingkan Pendapat Para Mufasir Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang
bersifat manqul (Al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (Al-tafsir al-ra’yi). Manfaat
yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah: Membuktikan ketelitian al-Qur’an,
Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif, Memperjelas makna
ayat, dan Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih. Sedang dalam hal
perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari,
menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-
masing. a) Kelebihan Metode Muqarin Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih
luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Membuka pintu
untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda
dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Tafsir dan metode komfaratif ini
amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahuiberbagai pendapat tentang suatu ayat.
Dengan metode ini mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta
pendapat para mufasir yang lain. 7 b) Kekurangan Metode Muqarin Penafsiran dengan
metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula seperti mereka yang sedang belajar
pada tingkat sekolah menengah kebawah. Kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan social yang tumbuh ditengah masyarakat. Terkesan banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-
penafsiran baru. Metode Maudhu’i ( tematik ) Yang dimaksud dengan metode maudhu’i
adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti Asbab Al-Nuzul, kosa kata, dan sebagainya.
Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari hadits, Al-
Qur’an atau pemikiran rasional. a) Ciri-ciri Metode Maudhu’i Yang menjadi ciri utama
metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah bila di
katakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun
dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh
dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-
Farmawy seorang guru besar di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh
untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah: Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya (asbab al-nuzul). Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. Menyusun pembahasan dalam
kerangka yang sempurna. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan
pokok bahasan. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. 8 b) Kelebihan Metode
Maudhu’i 1. Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan,
permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas.
Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, tidak
dapat ditamgani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik. 2. Praktis dan
sistematis. Tafsir ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan
yang timbul. Dengan adanya tematik mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara
praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efesien. 3. Dinamis.
Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntunan zaman. 4.
Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka
pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap secara utuh. c) Kekurangan Metode Maudhu’i
1. Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah
mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak
permasalahan yang berbeda. 2. Membatasi pemahaman ayat. Dengan penetapan judul
penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Referensi:
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
- Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-
Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Kholil, Moenawar. 1985. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Solo: Ramadhani.
- Syurbasyi, Ahmad. 1999. Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim. Jakarta: Kalam Mulia.
BAB I
7[1]PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologi tafsir bisa berarti: (االيضاح والبيانpenjelasan), (الكشفpengungkapan) dan كشف
(المراد عن اللفظ المشكلmenjabarkan kata yang samar ).i[i] Adapun secara terminologi tafsir
adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan
pemahamannya.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan
maksud dan kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia
adalah sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran
terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, suatu
keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ini.ii[ii]
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64).
Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in,
tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an
termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
C. Tujuan Pembahasan
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa rasul.
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.
BAB II
SEJARAH ILMU TAFSIR
BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal :
323
Al-Aridl, Ali Hasan, “Sejarah dan Metodologi Tafsir”, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1991), hal. VII
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. (Jakarta: Bulan Bintang, 1972),
237.
Baidan, Nashrudin, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal.2
Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulumul Quran. (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa, 1998),
310
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
Kita sudah mengetahui tentang pengertian tafsir pada materi sebelumnya yang sudah
disampaikan oleh teman kita dalam presentasinya. Tapi kita akan mengulas kembali sedikit
tentang pengertian tafsir. Bahwa tafsir dalam bahasa Arab arasal dari kata “al fasr” kemudian
di ubah dalam bentuk taf’il yaitu menjadi “al-tafsir” yang berarti “ penjelasan dan
keterangan”.
Pengertian Tafsir menurut bahasa : “Penjelasan, Keterangan dan Mengungkapkan
pengertiannya yang dapat dipkirkan ”. Sedangakan Tafsir menurut istilah semacam ilmu
membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang berkenaan
dengan perorangan dan kemasyarakatan dan pengertiannya yang dilingkupi oleh susunan
lafalnya dalam QS. AI-Furqan (25): 33.
”Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
Adapun sumber penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya , metode tafsir Al-
Qur’an ada tiga yaitu :
Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
8. Ilmu Qira'ah
Ilmu ini mengetahui bagaimana kita mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur'an dan agar dapat
mentarjihkan satu wajah dari beberapa wajah yang mustamil.
9. Ilmu Ushuludin
Apabila mememiliki ilmu ushuludin maka akan tahu dan sanggup menta'wilkan ayat-ayat
yang lahirnya bertentangan dengan sifat – sifat kesempurnaan Allah dan sanggup beristidlal
terhadap apa-apa yang muhal, yang wajib dan jaiz (wenang ) bagi Allah SWT.
10. Ilmu Ushul Fiqih
Yaitu ilmu untuk mengetahui metode istidlal dan istinbath hukum.
11. Ilmu Asbabun Nuzul dan Kisah- kisahnya
Dengan ilmu ini mufassir akan sanggup megetahui makna yang diturunkan melalui peristiwa
yang diturunkan.
12. Ilmu Nasikh Mansukh
Dengan ilmu ini maka akan tahu pendapat jumhur yang mengatakan adanya nasikh mansukh
dalam Al-Qur’an dan akan mengatahui sebagian ulama' yang tidak setuju terhadap nasikh
mansukh dan alasan-alasannya serta cara mentufiqkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
berlawanan .
13. Ilmu Fiqih
Ilmu yang membahas hukum ajaran islam.
14. Ilmu Hadist
Adalah hadist yang menafsirkan yang mujmal dan menentukan yang mubham .
15. Ilmu Mauhibah
Suatu ilmu yang diwariskan Allah SWT kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Para ulama telah menyebutkan tentang macam-macam ilmu yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir. Menurut As-Suyuthi sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu, sharaf,
etimologi). Hal ini sangat penting bagi seorang mufassir, sebab bagaimana
mungkin memahami ayat, tanpa mengetahui perbedaan kata dan susunan
kalimat.
2. Mengetahui ilmu balaghoh (ma’any, bayan, badi’) sangat penting dan
diperlukan bagi orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an karena ia harus
menjaga atau memelihara bentuk kemu’jizatan.
3. Mengetahui ushul fiqih (tentang khash, `am, mujmal, mufashal dan
sebagainya), juga diperlukan oleh seorang mufassir dalam memahami Al-
Qur’an supaya tidak keliru memahaminya, serta tidak terpeleset oleh
kebodohan karena tidak tahu tentang ilmu-ilmu yang penting itu.
4. Mengetahui asbabun nuzul.
5. Mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
6. Mengetahui ilmu qiraat.
7. ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang diberi oleh langsung dari Allah. Ilmu yang
diwariskan oleh Allah kepada seseorang yang mengamalkan sesuai dengan
ilmunya, serta Allah membukakan hati orang tersebut untuk memahami
rahasia-rahasianya.
Syarat-syarat dari ilmu yang telah disebutkan tadi adalah untuk mewujudkan tafsir yang
paling tinggi martabatnya. Tafsir yang paling tinggi martabatnya hanya dapat dicapai dengan
kita melengkapi urusan-urusannya, yaitu:
a. Memahami hakekat lafal yang tunggal,
Yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan memperhatikan cara-cara ahli bahasa
mempergunakan kalimat-kalimat itu.Kebanyakan lafal-lafal Al-Qur’an dipakai di mana Al-
Qur’an sedang diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu beberapa
masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk makna-makna yang lain, umpamnya lafal ta’wil.
b. Memperhatikan uslub-uslub Al-Qur’an.
Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat memahami uslub-
uslub bahasa Arab yang tinggi.Untuk itu perlu ilmu i’rab dan ilmu asalib (ma’ani dan bayan).
c. Mengetahui keadaan-keadaan manusia.
Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai kitab yang absah, di
dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan dalam kitab lain. Di
dalamnya diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-sunnah ketuhanan di dalam
menciptakan manusia.
Dan di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat yang telah lalu.Karenanya, perlulah
orang memperhatikan isi Al-Qur’an, memperhatikan pula keadaan perturnbuhan dan
perkembangan manusia dari zaman ke zaman.
Ilmu Al-Qur’an diperlukan, karena dengannya, seorang mufasir dapat menafsirkan Al-
Qur’an dengan baik dan benar. Ilmu-ilmu ini, pada hakekatnya, menjadi alat untuk tafsir.
Karena itu, ia juga disebut ilmu tafsir atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Selain itu, urgensi Ilmu Al-Qur’an kaitannya dengan tafsir, antara lain:
1. Membuka kemungkinan untuk memahami Al-Qur’an dengan baik.
2. Mampu menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan mudah.
3. Menjadi senjata ampuh untuk melawan tantangan dari lawan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Des’ 2011
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, TERAS, Yogyakarta, Feb’ 2005
http://upi-luthfiahmad.blogspot.com/2012/03/tafsir-menurut-sumber-metode-dan.html