Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metode adalah satu sarana untuk mencapai tujuan yang telah


ditetapkan. Dalam konteks pemahaman Al-Qur’an metode bermakna:
“prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang
makna ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan kata lain, metode penafsiran Al-Qur’an
merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsiran
ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Al-Qur’an secara tekstual memang tidak berubah, sesuai dengan


teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia.
Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Ragam metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah
makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga Al-Qur’an seolah menantang
dirinya untuk dibedah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian metode tafsir?
2. Apa saja ragam metode tafsir?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian metode tafsir.
2. Untuk mendeskripsikan ragam metode tafsir.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara
atau jalan.1 Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan.2 Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir al-Qur‟an
tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika
menafsirkan alQur’an. Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah
tentang metode-metode menafsirkan al-Qur’an.3 Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari
awal hingga akhir. Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam
khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian
tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu
sendiri.4
B. Macam-Macam Metode Tafsir
Ulama-ulama mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-
Qur’an menjadi empat:

1
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 54
2
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman,
(Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 39
3
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, op. cit., h. 57
4
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Teras, 2005), h. 37

2
1. Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode
(Baidan, 2001) (Saleh, 2007) (dkk, 2005)penafsiran yang berusaha
menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan
urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan
pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya,
sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga
ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
lainnya.5 Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir) memberikan
perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat . Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap
ayat yang ditafsirkan oleh para mufassir.6

a. Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy


Dalam menafsirkan al-Qur’an, mufassir biasanya melakukan sebagai
berikut:
1) Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain
maupun antara satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbab al- nuzu
(khaeruman, 2004) (Placeholder2)l).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa
Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan
mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip
syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.

5
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 94
6
Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, Madrasah al-Qur‟aniyyah, Terj. Hidayaturakhman, (Jakarta: Risalah
Masa, 1992), h. 18

3
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan I’jaznya, bil (As-Sadr,
1992)a dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu
mengandung keindahan balāgah.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya
apabila ayat-ayat aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat
bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari
ayatayat lainnya, hadits Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi’in, di
samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila tafsir ini bercorak altafsīr al-„ilmi
(penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsīr aladābi al-ijtima’i
mufassir biasanya mengutip pendapat para ilmuwan sebelumnya, teori-teori
ilmiah modern, dan lain sebagainya.7
Metode Taḥlīliīy kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa
klasik dan pertengahan.
b. Contoh-contoh Kitab Tafsir Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang
menggunakan metode Taḥlīliīy ialah:
1) Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi
2) Jāmi’ al-Bayān „an Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr alThabariy.
3) Tafsīr al-Qur’an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi alFida’
Ismāil bin Katsȋr al-Quraisyi al-Danasyqi.
4) Al- (Shihab, 2013)Mīzān fi Tafsīr al-Qur’an, karangan al-Allamah al-
Sayyid Muhammad Husyan al- Thabaṭaba’i.
2. Metode Ijmālī
Metode Ijmālī adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa
menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang lebar, dan kadang
menjelaskan kosa katanya saja. Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang
telah dikutip oleh Badri Khaeruman, mendefinisikan bahwa metode tafsir
ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur’an dengan mengetengahkan

7
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013), h. 173-174.

4
beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-
Qur’an. Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana
metode Taḥlīliīy, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam
muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini mufassir mengambil beberapa
maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global. Dengan metode ini
mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an secara garis besar.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālī adalah :
1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din alMahally
2) al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi
Urusan Ummat Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur’an karya Husnain Muhammad
Makhmut
4) Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady
3. Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang
yang mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat atau antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan.

1. Macam-macam Metode Muqāran Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini


menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat lain. Yaitu ayat-ayat yang
memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah
atau kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-
Qur‟an dibahas dalam ilm al-nasikh wa al-mansukh. Dalam mengadakan
perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda redaksi di atas ditempuh
beberapa langkah: (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama

5
dalam kasus berbeda; (2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksi; (3) meneliti setiap kelompok ayat
tersebut dan menghubungkannya dengan kasuskasus yang dibicarakan
ayat bersangkutan; dan (4) melakukan perbandingan. Perbedaan-
perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna
seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks
turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, ilm al- munasabah dan ilm asbāb
al-nuzūl sangat membantu melakukan al-tafsir al- muqāran dalam hal
perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun, esensi nilainya pada
dasarnya tidak berbeda.
b. Perbandingan ayat al-Qur’an dengan Hadits30 Dalam melakukan
perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan berbeda atau
bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah
menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan ayat al-
Qur’an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak diperbandingkan,
karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin bertolak.31
karena pertentangannya dengan ayat al-Qur’an. Setelah itu mufassir
melakukan analisis terhadap latarbelakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain. Mufassir
membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat manqūl
(pengutipan) maupun yang bersifat ra’yu (pemikiran). Dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an tertentu ditemukan adanya perbedaan di antara ulama
tafsir. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang
sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-masing. Sedangkan dalam
hal perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir
berusaha mencari, menggali, menemukan dan mencari titik temu di antara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.

6
2. Contoh-contoh Kitab Tafsir

a. Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-Qur‟an dan Kesejukan al-


Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi.

b. Al-Burhān fī Tajwih Mutasyabih al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan


Ayat-ayat Mutasyabih al-Qur‟an), karangan Tāj al-Qara‟ al-Kirmāni.

4. Metode Mauḍū’i

Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan
dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak
dilakukan ayat demi ayat, melainkan mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah
tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang
dibahas oleh alQur’an. Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu
doktrinal kehidupan, isu sosial ataupun tentang kosmos untuk dikaji dengan teori al-
Qur’an, sebagai upaya menemukan jawaban dari al-Qur’an terkait tema tersebut. Dari
pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i. Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-
tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara
satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut
dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas
satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat mungkin
diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh
ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah
yang dibahas itu.

7
Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian:

A. Mauḍū‟i Surat yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan


menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau
khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang
lainnya, sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat
kokoh dan cermat.
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh
untuk menentukan metode mauḍū‟i surat, Muṣṭafā Muslim
mengklasifikasikan menjadi empat langkah yaitu:

a) Pengenalan nama surat

b) Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur’an

c) Pembagian surat ke dalam beberapa bagian

d) Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.

2. Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah:

a) karya Syaikh Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm)

b) karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar alQur’an


al-karīm).

c) Karya al-Husaini Abu Farhah (al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr


alMauḍū‟i li al-āyāt al-Qur’āniyyah).

B. Mauḍū’i atau Tematik Metode mauḍū’i atau tematik, bentuk kedua ini
menghimpun pesan pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surat
saja. Tafsir dengan metode mauḍū’i ialah menjelaskan konsep al-Qur’an
tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat
alQur’an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat
tersebut di kaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek

8
kajiannya. Baik dari segi asbāb al-nuzūl-nya, munasabahnya, makna kosa
katanya, pendapat para mufassir tentangr makna masing-masing ayat secara
par sial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut
dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema
(mauḍū‟i) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah
dan rasioanal.
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik Langkah-langkah yang ditempuh
dalam metode yang kedua ini adalah:

a) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara tematik

b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang


ditetapkan, ayat makiyyah dan madaniyyah.

c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya,


disertai pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl

d) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masingmasing


suratnya.

e) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan
utuh (outline).

f) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,


sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara


menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
antara pengertian yang „ām dan khāṣ, antara yang muṭlaq dan yang muqayyad,
mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat
yang nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu
muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna-maknab yang sebenarnya tidak tepat.

9
2. Contoh-contoh Kitab Tafsir Diantara contoh-contoh kitab tafsir dengan
metode mauḍū‟i atau tematik adalah:

a) Karya Syeikh Mahmud Syaltut ‫كتاب مه هدى القرأن‬

b) Karya Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad ‫المرأج في القرأن‬

c) Karya Ustadz Abu al-A‟la al-Maududy ‫الرتا في القرأن‬

d) Karya Ustadz Muhammad Abu zahrah ‫العقيدج في القرأن‬

e) Karya Dr. Ahmad kamal Mahdy ‫ آياخ القسم في القرأن‬8

C. Tafsir Kontemporer

Ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan
Kontemporer. Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arab ‫تفسير‬atau berasal
dari kata ‫فسر –ا فسر‬artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna kata
‫االيضاح والشرح‬penjelasan atau komentar. Sedangkan secara terminology tafsir
adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan lafazh-lafazh Al-Qur’an
dan pemahamannya. Secara teoritis, tafsir berarti usaha untuk memperluas makna
teks Al Qur`an, Sedangkan secara praktis berarti usaha untuk mengadaptasikan
“Teks al qur`an dengan situasi kontemporer seorang mufasir. Berarti tafsir
modern adalah; usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al qur`an dengan tuntutan
Zaman. Jadi Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan
menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al
Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya,
dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya
pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang
menyangkut Al-Qur-an dan isinya.

8
Said Agil Husin al-Munawar dan Masykur Hakim, I‟jaz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir, (Semarang:
Dina Utama Semarang (Dimas), 1994), h. 40

10
Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa
inggris( contemporary). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu
yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini. Tak ada kesepakatan yang
jelas tentang Istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad
ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 stsu 21. Sebagian pakar berpandangan
bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara
bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak
intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah
kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan
kehidupan modern.
Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau
penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’.
Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta
kondisi sosial masyarakat.
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang
menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya.
Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan
yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar
belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti;
masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi,
Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan
yang lain. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di
sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.
Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak
orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman,
sebuah statemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun.
Sejarah Perkembangan Tafsir Kontemporer

11
Segala sesuatu yang berkembang tentunya memiliki proses perubahan bentuk
atau hanya perubahan sifat-sifatnya. Sebagaimana Al-Qur’an, bentuknya memang
tidak berubah karena ia merupakan “teks baku” atau “teks Mati” seiring berhentinya
proses pewahyuan, sehingga tidak lagi dapat berkembang guna menjawab persoalan
kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses pewahyuan. Namun, makna
yang terkandung didalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman, karena
sebagaimana kita yakini bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi
semua manusia bahkan semua makhluk yang ada di muka bumi. Tentunya tidak
hanya dilihat dari sisi kata rahmatan lil’alamin, namun juga perlu dilihat dari sisi
proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman. Ini tiada lain adalah metode
pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an sendiri dengan tetap mengacu
pada aturan-aturan penafsiran yang telah disepakati ulama. Model penafsiran seperti
ini disebut dengan tafsir kontekstual. Penafsiran kontekstual ayat sebetulnya sudah
ada sejak masa Islam awal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka
penafsiran kontekstual dipakai oleh muslim salaf (klasik) dan Muslim Khalaf
(Kontemporer).

D. Hermeonetik Al-Qur’an

Di kalangan umat islam, penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an telah


berjalan sejak ayat al-Qur’an turun pada nabi Muhammad SAW , nabi sendiri telah
menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan oleh
nabi adalah tafsir bil-manqu. Dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun
sebuah disiplin untuk penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni ulum al-tafsir. Akan
tetapi, menurut kami ulum al-tafsir tidak dapat diidentikkan dengan hermeneutika.
Mungkin secara bahasa, ada kesamaan, artinya hermeneutika itu sebenarnya berarti
penafsiran. Hanya sebatas makna latdziyah ini dapat di terima. Akan tetapi jika yang
dikehendaki dengan istilah penafsiran sebagai satu sistem metodologi penafsiran
kitab suci, jelas tidak identik. Sebagai sebuah sistem ulum al-tafsir atau ulum al-

12
Qur’an terdiri dari unit-unit bahasan yang mana satu dengan yang lain saling
berhubungan. Di antara unit-unit itu adalah :

1. Kaidah memahami al-Qur’an, kaidah ini membahas shorof dan nahwu.


2. Ayat muhkamat dan mutasyabihat.
3. Nasakh : nasih dan mansuh.
4. Bahasan mengenai manthuq dan mafhum.
5. Bahasan mengenai mafatih al-suwar.
6. Dan lain-lain.

Item-item di atas merupakan bagian yang menjadi bahasan dalam ulum al-
tafsir atau ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an. Dari tema-tema atau item-item bahasan
tersebut menjelaskan kepada kita, bahwa, pertama, ulum al-tafsir memiliki otonom
yang mandiri dan berbeda dari hemeneutika; kedua, sebagai suatu disiplin untuk
menafsirkan kitab suci, ulum al-tafsir tidak terpengaruh hermeneutika, dalam sisi tata
bahasa atau nahwu, secara umum, artinya tidak saja berlaku untuk menafasirkan al-
Qur’an tetapi juga untuk teks yang berbahasa Arab, sastra arab mempunyai otonom
sendiri. Tidak hanya itu, aspek kontekstualisasi juga tidak lepas dari perhatian
beberapa pengkaji al-Qur’an periode klasik. Kajian terhadap konsep maslahah atau
maqasid al-syar’iyah bisa dimasukkan dalam ranah ini. Maqasid al-syar’iyah
dimaksudkan bahwa setiap hasil penafsiran atau produk ijtihad bener-benar mampu
membawa kebaikan umat. Kitab-kitab ushul fiqh karya sarjana muslim klasik telah
memberikan porsi yang cukup signifikan mengenai hal ini. Meski secara terminilogis
metode hermeneutika al-Qur’an tergolong baru dalam hasanah tafsir, namun sampai
saat ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari kajian filsafat ini
telah mengalami perkembangan signifikan ditangan para hermeneut muslim
kontemporer. Berbagai metode telah tersajikan untuk menyempurnakankerangka
metodologis ilmu-ilmu al-Qur’an. Pengelompokan aliran-aliran hermeneutik dalam
kesarjanaan muslim juga telah terpetakan. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin
memetakan aliran hermeneutika al-Qur’an menjadi tiga kelompok:

13
1. Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis, yakni suatu pandangan bahwa al-
Qur’an harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini,
sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi
di mana al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad.
2. quasi-obyektivis modernis, aliran ini juga memandang penting terhadap
original meaning (makna asal), namun bagi kelompok ini, makna asal tersebut
hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an
dimasa kini. Makna asal literatur al-qur’an tidak lagi dipandang pesan utama
al-Qur’an.
3. Aliran subyektivis, yaitu aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya
merupakan subyektivitas penafsir. Karena itu setiap generasi berhak
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Di kalangan umat islam tidak pernah ada usulan hermeneutika dimasukkan


sebagai metode atau sains yang diperlukan bagi kegiatan penafsiran al-Qur’an.
Putusan yang bersifat mendeskriditkan hermeneutika ini di ambil karena dua
kemungkinan. Petama , minimnya pengetahuan mengenai hermeneutika, atau
pengetahuan yang sepotong-sepotong, parsial dan dan tidak konprehensif. Kedua,
munculnya wacana pluralisme dan islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan
dengan hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada awalnya hermeneutika digunakan


untuk studi filologi, lalu untuk study teologi dan kemudian berkembang untuk study
wiesteswissenschaften. Perkembangan dan perubahan hermeneutika ini masih berada
dalam ruang epistemologi yang membicarakan tentang bagaimana pemahaman
diperoleh manusia melalui hermeneutik sebagai metodologi penafsiran. Betti
mengatakan bahwa pemahaman merupakan hasil dari penafsiran yang obyektif.
Perubahan wacana hermeneutik yang bersifat subyektif terjadi ketika diskusi
hermeneutik berpindah dari ruang epistemologi ke ruang ontologi. Inilah yang di
maksud dengan perubahan. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf yang mengubah
wacana diskusi hermeneutik dari ruang epistimologi ke ontologi. Heidegger

14
menegaskan, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan, pemahaman bisa ada
tanpa melalui penafsiran, bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh
lewat aktifitas mnafsirkan pikiran orang lain merupakan yang tidak outentik.ini
ungkapan yang yang bernuansa protes. Misalnya, seorang yang beragama islam
paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat, dia
paham kalau sholat maghrib wajib. Setelah sholat dia paham bahwa dia membaca al-
Qur’an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau
sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak paham makna yang dibaca. Meskipun
demikian ia tetap berusaha menjelaskan kepada orang lain bahwa meskipun dirinya
tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur’an merupakan salah satu
cara menegaskan diri sebagai orang muslim. Perubahan ini lebih signifikan lagi jika
kita menyimak semakin banyaknya persoalan sosial umat islam kontemporer yang
tidak mampu dijelaskan oleh pembacaan-pembacaan konvensional terhadap al-
Qur’an. Perubahan paradigma dengan memperkenalkan metode baru banyak dirintis,
antara lain, oleh Fazlur Rahman, mohammed Arkoun, Khalid Abou El-Fadl,
Muhammad Abid Al-Jabiri, Ebrahim moosa, Nasr Hamid Abu Zayd, dan mumkin
juga pemikir islam lainnya.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode penafsiran Al-Qur’an itu adalah suatu cara atau langkah
yang mudah untuk melakukan penalaran, hasil usaha manusia dan
ijtihadnya untuk mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalam Al-
Qur’an. Adapun macam-macam tafsir Al-Qur’an berdasarkan metodenya
adalah :
1. Metode Taḥlīliīy
2. Metode Ijmālī
3. Metode Muqāran
4. Metode Mauḍū’i

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai