Anda di halaman 1dari 10

3.

Bentuk, Metode, dan Corak Tafsir


A. Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir bi al-Ma`tsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak,


peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau
peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam.

Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan


yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah
karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena
merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-
tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: 

Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit


Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al
Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An
Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

2. Tafsir bi ar-Ra'yi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena
tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar
peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan
ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul
fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya
untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang
berarti segumpal darah yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: 
Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan
oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur
Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang
zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah
yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah
yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat.
Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna
dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: 
Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
B. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang artinya cara atau jalan.
Dalam bahasa Inggris kata ini adalah metode tertulis, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia berarti: cara yang tertib
dan dipikirkan dengan matang untuk mencapai tujuan (dalam sains dan sebagainya) cara
kerja yang tersistem untuk memfasilitasi pelaksanaan dan aktivitas untuk mencapai yang
ditentukan. Definisi tersebut menggambarkan bahwa metode penafsiran Alquran
mengandung seperangkat aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan dalam
menafsirkan Alquran. Metodologi tafsir adalah analisis ilmiah dari metode penafsiran
Alquran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara penafsir
menafsirkan Alquran berdasarkan aturan dan urutan yang konsisten dari awal sampai
akhir.
Studi tentang metodologi tafsir masih relatif baru dalam ranah intelektual Muslim.
Metode sains menjadi objek studinya sendiri lama setelah interpretasi berkembang pesat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika metodologi penafsiran jauh tertinggal dari
kajian tentang penafsiran itu sendiri. Dalam perkembangan metodologi selanjutnya,
ulama '-ulama' mengklasifikasikan metode tafsir Alquran menjadi empat :
1. Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy disebut juga metode analisis, yaitu metode tafsir yang
berupaya menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dalam berbagai aspek, berdasarkan
urutan ayat dan surah dalammuṣḥaf utsmani al-Qur ' an dengan menonjolkan makna dan
isi lafadz-lafadz mereka, hubungan antara ayat dan ayat. , alasan nuzul, hadits Nabi
SAW, yang ada hubungannya dengan ayat yang ditafsirkan, serta pendapat para sahabat
dan ulama lainnya. Dalam penafsirannya, mufassir (penafsir) menaruh perhatian penuh
pada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat tersebut. Jadi sepertinya diskusi
parsial, dari setiap ayat diinterpretasikan oleh penafsir.
1) Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy
Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya melakukan sebagai berikut:
1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat
lain maupun antara satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbāb al- nuzūl).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa
Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan
mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang kadang juga
mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap
perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung
keindahan balāgah.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya
apabila ayat-ayat aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat
bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari
ayatayat lainnya, hadits Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di
samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila tafsir ini bercorak altafsīr al-
„ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsīr aladābi al-
ijtimā‟i mufassir biasanya mengutip pendapat para ilmuwan sebelumnya,
teori-teori ilmiah modern, dan lain sebagainya.

Metode Taḥlīliīy banyak digunakan oleh para ulama dari periode klasik
dan abad pertengahan. Diantaranya, ada yang mengikuti pola diskusi panjang
lebar (ithnab), ada yang mengikuti pola pendek (ijaz) dan ada yang mengikuti
dengan sedang (musawah). Keduanya menafsirkan Alquran dengan metode
Taḥlīliīy, tetapi dengan gaya yang berbeda.

b. Contoh-contoh Kitab Tafsir


Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan metode Taḥlīliīy
ialah: Al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi
1) Jāmi‟ al-Bayān „an Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr
alThabariy.
2) Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi
alFida‟ Ismāil bin Katsȋr al-Quraisyi al-Danasyqi.
3) Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid
Muhammad Husyan al- Thabaṭaba‟i.

2. Metode Ijmālī
Cara Ijmālī adalah menafsirkan Alquran dengan menjelaskan ayat-ayat Alquran
secara singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau
penjelasan yang panjang, dan terkadang hanya menjelaskan kosa kata nya saja.
Menurut Asy-Syibarsyi sebagaimana dikutip Badri Khaeruman, mengartikan
bahwa metode penafsiran ijmali adalah cara menafsirkan Alquran dengan
mengedepankan beberapa masalah, maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-
ayat Alquran.
Dengan cara ini sang mufassir terus mengikuti jalan sebagaimana cara Taḥlīliīy,
yang terikat pada tatanan yang ada dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode
ini para komentator mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada
secara global.
Dengan metode ini, penafsir menjelaskan makna ayat-ayat Alquran secara garis
besar. Sistematika mengikuti urutan ayat-ayat Alquran di Ustmani muṣḥaf, sehingga
maknanya bisa saling berhubungan. Dalam penyajian makna tersebut, penafsir
menggunakan ungkapan yang diambil dari Alquran itu sendiri dengan menambahkan
kata atau kalimat penghubung, sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.
Dengan kata lain, makna yang diungkapkan biasanya ditempatkan dalam
rangkaian ayat atau menurut pola yang dikenali oleh para ulama, dan mudah
dipahami orang. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan metode ini, mufassir
juga meneliti, mempelajari, dan mempresentasikan asbāb al-nuzul atau peristiwa-
peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat tersebut, dengan cara meneliti hadits-
hadits yang berkaitan dengannya.
a. Contoh-contoh Kitab Tafsir
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālīadalah :
1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din alMahally
2) al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi
Urusan Ummat Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad
Makhmut
4) Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.

3. Metode Muqāran
Metode ini menyajikan tafsir ayat-ayat Alquran yang membahas suatu masalah
dengan membandingkan antara ayat dan ayat atau antara ayat dan hadits baik dari
segi isi dan tajuk rencana atau antara pendapat tafsir ulama dengan menonjolkan
aspek-aspek tertentu yang berbeda dari objek yang dibandingkan.
1. Macam-macam Metode Muqāran
Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain
Yakni ayat-ayat yang memiliki kemiripan editorial dalam dua atau lebih
masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki editor berbeda
dalam (diduga) masalah atau kasus yang sama. Kontradiksi makna antara ayat-
ayat Alquran dibahas dalam ilm al-nasikh wa al-mansukh.
Dalam membuat perbandingan ayat dan ayat yang berbeda editorial di atas
mengambil beberapa langkah:
1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda;
2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan
redaksi;
3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan
kasuskasus yang dibicarakan ayat bersangkutan; dan
4) melakukan perbandingan.
Perbedaan editorial yang menimbulkan nuansa perbedaan makna biasanya
disebabkan oleh perbedaan antara konteks tulisan suci dalam pembahasan dan
konteks tulisan suci. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan antara kitab suci
tertentu dengan kitab suci lainnya, "ilm al-munasabah" dan "ilmasbābal-nuzūl"
sangat membantu dalam melaksanakan al-tafsiral-muqāran. Namun, esensi nilai
pada dasarnya sama.
b. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan Hadits
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang
terkesan sebaliknya atau bertentangan, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah menentukan nilai hadits yang akan dibandingkan dengan ayat-ayat
Alquran. Hadits tersebut harus otentik. Hadis dhaif tidak dapat dibandingkan
karena selain nilai keasliannya yang rendah menjadi semakin berbeda.
Karena kontradiksi dengan ayat Alquran. Mufassir kemudian menganalisis
latar belakang perbedaan atau konflik di antara mereka.
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Mufassir membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf
maupun khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat
manqūl (pengutipan) maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran).
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tertentu ditemukan adanya
perbedaan di antara ulama‟ tafsir. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan hasil
ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-masing.
Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan
yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan dan mencari titik
temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
d. Contoh-contoh Kitab Tafsir
a. Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-Qur‟an dan Kesejukan al-
Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi.
b. Al-Burhān fī Tajwih Mutasyabih al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam
Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-Qur‟an), karangan Tāj al-Qara‟ al-Kirmāni.

4. Metode Mauḍū’i
Metode mauḍū 'i adalah metode yang membahas ayat-ayat Alquran sesuai tema
atau judul yang telah ditentukan. Semua ayat yang terkait dihimpun, kemudian
dipelajari secara mendalam dan menyeluruh dari berbagai aspek yang terkait
dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara detail dan menyeluruh, serta didukung oleh dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dalil yang bersumber dari Alquran,
hadits, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini tafsir Alquran tidak
dilakukan secara ayat demi ayat, melainkan menelaah Alquran dengan mengambil
tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang
dibahas al-Qur'an.
Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu doktrinal
kehidupan, isu sosial ataupun tentang kosmos untuk dikaji dengan teori alQur‟an,
sebagai upaya menemukan jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut.
Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i.
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut
antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang
dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat
mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur‟an secara utuh tentang
masalah yang dibahas itu.
Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian:
1. Mauḍū‟i Surat
yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi
kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan
keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah itu
nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.
a. Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat
Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh untuk menentukan metode
mauḍū‟i surat, Muṣṭafā Muslim mengklasifikasikan menjadi empat langkah
yaitu:
1) Pengenalan nama surat
2) Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an
3) Pembagian surat ke dalam beberapa bagian
4) Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.
b. Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah:
1) karya Syaikh Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm)
2) karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar alQur‟an
al-karīm).
3) Karya al-Husaini Abu Farhah (al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr
alMauḍū‟i li al-āyāt al-Qur‟āniyyah).
2. Mauḍū‟i atau Tematik
Meode mauḍū‟i atau tematik, bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan
al-Qur‟an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.
Tafsir dengan metode mauḍū‟i ialah menjelaskan konsep al-Qur‟an
tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat
alQur‟an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat
tersebut di kaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek
kajiannya. Baik dari segi asbāb al-nuzūl-nya, munasabahnya, makna kosa
katanya, pendapat para mufassir tentangr makna masing-masing ayat secara par
sial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut
dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema
(mauḍū‟i) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan
rasioanal.
a. Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik
Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode yang kedua ini adalah:
1) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara
tematik
2) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang
ditetapkan, ayat makiyyah dan madaniyyah.
3) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya, disertai pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau
asbāb al-nuzūl
4) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masingmasing suratnya.
5) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna, dan utuh (outline).
6) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
7) Mempelajari ayat-ayat ini secara tematik dan tuntas dengan menyusun
ayat-ayat yang mengandung makna yang sama, mengkompromikan antara
makna 'ām dan khāṣ, antara muṭlaq dan muqayyad, menyelaraskan ayat-
ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan ayat-ayat yang nāsikh dan
mansūkh, sehingga semua ayat ini bertemu di satu muara, tanpa perbedaan
dan kontradiksi atau tindakan memaksa beberapa ayat ke makna yang
sebenarnya tidak benar.
b. Contoh-contoh Kitab Tafsir
Diantara contoh-contoh kitab tafsir dengan metode mauḍū‟i atau tematik
adalah:
1) Karya Syeikh Mahmud Syaltut (‫)القرأن هدى مه كتاب‬
2) Karya Ustadz Abbas Mahmud al-„Aqqad (‫)القرأن في المرأج‬
3) Karya Ustadz Abu al-A‟la al-Maududy (‫)القرأن في الرتا‬
4) Karya Ustadz Muhammad Abu zahrah (‫)القرأن في العقيدج‬
5) Karya Dr. Ahmad kamal Mahdy (‫)القرأن في القسم آياخ‬
C. Corak Tafsir
Dalam bahasa Indonesia kosakata corak menunjuk berbagai konotasi antara lain
bunga atau gambar-gambar pada kain, anyaman dan sebagainya. Misalnya dikatakan
corak kain itu kurang bagus; dapat berkonotasi berjenis-jenis warna pada warna dasar.
Misalnya dikatakan dasarnya putih, coraknya merah, dan dapat pula berkonotasi kata
sifat yang berarti paham, macam, atau bentuk tertentu, misalnya adalah corak politiknya
tidak tegas. Dalam kamus Indonesia Arab, kosakata corak diartikan dengan ‫( لون‬warna)
dan ‫( شكل‬bentuk).
Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Dari
sini disimpulkan bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir. Dalam
pengertian yang lebih luas adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir,
ketika menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur‟an. Penggolongan suatu tafsir pada suatu
corak tertentu bukan berarti hanya memiliki satu ciri khas saja, melainkan setiap mufassir
menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya telah banyak menggunakan corak dalam hasil
karyanya, namun tetap saja ada corak yang dominan dari kitab tafsirnya, sehingga corak
yang dominan inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.
Para ulama‟ tafsir mengklasifikasikan beberapa corak penafsiran al-Qur‟an antara
lain adalah:
a. Corak Sufi
Penafsiran yangk dilakukan oleh para sufi pada umumnya diungkapkan dengan
bahasa misktik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali orang-
orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran taṣawuf. Corak ini ada dua
macam :
1. Taṣawuf Teoritis
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur‟an berdasarkan teori-
teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha
maksimal untuk menemukan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-faktor yang
mendukung teori, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang
dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran demikian
ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini terdapat pada ayat-
ayat al-Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam kitab al-
futuhat makkiyah dan al-Fushuh.
2. Taṣawuf Praktis
Yang dimaksud dengan taṣawuf praktis adalah tasawuf yang
mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan
kepada Allah. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-
Isyari yaitu menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahir-nya berdasar
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk,
namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan.
Di antara kitab tafsir tasawuf praktis ini adalah Tafsīr al-Qur‟anul Karīm
oleh Tusturi dan Haqāiq al-Tafsīr oleh al-Sulami.
b. Corak Falsafi
Corak falsafi ini adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan
teori-teori filosofis. Interpretasi ini berusaha untuk berkompromi atau menemukan
kesamaan antara filsafat dan agama, dan mencoba menghilangkan kontradiksi di
antara keduanya. Di antara ulama yang dengan keras kepala menolak para filsuf
adalah Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali, yang menulis al-Signs dan
buku-buku lain untuk menolak pemahaman mereka. Tokoh yang juga menolak
filsafat adalah Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi, yang menulis kitab tafsir untuk menolak
memahaminya, dan kemudian diberi nama Mafātiā al-Gaib. Kedua, kelompok yang
menerima filsafat malah mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak
bertentangan dengan Islam, maka tidak dilarang untuk mengadopsinya. Seorang
ulama yang membela pemikiran filosofis adalah Ibnu Rusyd, yang dalam bukunya at-
Ta hisāfut at-Taḥāfut menulis pembelaan filsafat sebagai sanggahan atas karya Imam
al-Ghazali yang berjudul Taḥāfut alFalāsifah.
c. Corak Fiqih atau Hukum
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan terbentuknya mazhab
kebahasaan, setiap kelompok berusaha membuktikan keaslian pendapatnya
berdasarkan tafsir teks hukum. Salah satu kitab yang dijelaskan oleh fiqhi adalah
Ahkāmal-Qur'an oleh al-Jasshash.
d. Corak Sastra
Corak tafsir sastra merupakan penafsiran yang menggunakan prinsip kebahasaan.
Munculnya model ini karena banyaknya orang non-Arab yang mendukung Islam dan
kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga membutuhkan penjelasan
tentang makna Alquran di bidang ini. Tafsiral-Kasyāf dari Zamakhsyari mewakili
gaya penafsiran periode Klasik ini.
e. Corak ‘Ilmiy
Tafsir yang mengedepankan pembahasan dengan pendekatan ilmiah umum
berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah berdasarkan Alquran. Ada banyak pendapat
yang mengatakan bahwa Alquran berisi semua pengetahuan global. Contoh buku
tafsir Ilmia adalah Tafsir al-Jawāhir karangan Tanṭawi Jauhari.
f. Corak al-Adāb al-Ijtimā‟i
Tafsir yang menekankan pada pembahasan masalah sosial. Adapun sumber
tafsirnya, tafsir gaya al-Adāb al-Ijtimā 'ini termasuk Tafsir bi al-Ra'yi. Namun ada
juga ulama yang mengklasifikasikannya sebagai tafsir campuran karena mereka
melihat persentase atsar dan akat sebagai sumber tafsir. Salah satu contoh jenis tafsir
ini adalah Tafsir al-Manar, karya Syekh Muhammad Abduh, yang dibukukan oleh
Muhammad Rasyid Ridh.

4. Kitab-Kitab Tafsir Berbahasa Indonesia


Tafsir ulama Indonesia biasanya lebih mudah dipahami oleh orang Indonesia dan penutur
bahasa Indonesia dan Melayu. Karya dan inisiatif yang diberkahi ini harus dilestarikan
sebagai bagian dari pengembangan tradisi dan peradaban Islam yang agung yang
kontekstual dengan budaya dan kondisi lokal yang semakin dinamis. Ini adalah salah satu
cara menyajikan Alquran yang benar-benar baru dan segar.
Dengan pemikiran tersebut, upaya menerjemahkan dan menafsirkan Alquran ke dalam
bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para sarjana Muslim yang berbahasa Indonesia, baik
secara individu maupun kelompok. Terjemahan dan tafsir Al-Quran oleh para mufasir
Indonesia tidak hanya dialihkan ke bahasa Indonesia tetapi juga ke bahasa daerah dan
bahasa Melayu.
Penulisan terjemahan dan tafsir Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan
bahasa Melayu dimulai pada abad ke-17 Masehi. menerima gelar Turjuman al-Mustafid.
Penerjemahan dan tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu dilanjutkan pada periode
berikutnya oleh Muhammad bin Umar yang dikenal dengan Syekh Nawawi al-Bantani al-
Jawi. Kitab Tafsir Al-Munir li Ma'alim Al-Tanzil Al-Musfir 'an Wujuh Mahasin Al-Ta'wil
yang disusun oleh Syekh Nawawi terbit di Makkah pada awal tahun 1880-an. Sampai saat
ini sudah beberapa kali dicetak ulang dan beredar luas di Timur Tengah.
Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa Indonesia
tentang Al-Qur'an, baik berupa terjemahan Al-Qur'an dengan beberapa anotasi di mana perlu
maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur'an sebagian atau keseluruhannya.
Dalam bentuk terjemahan Al-Qur'an dengan beberapa anotasi di mana perlu antara lain:
1. Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur'an al-Karim (1930);
2. A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir al-Qur’an Al
Karim(1955);
3. Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur'an(1978),
5. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983);
6. Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (1975);
Dalam bentuk tafsir Al-Qur'an sebagian atau keseluruhannya, antara lain:
1. Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz 'Amma (1922);
2. Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz 'Amma (1930);
3. M. Hashbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nur (1952) dan Tafsir Al-Bayan
(1962);
4. HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);
5. Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur'an dan Tafsirnya (1995);
6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000);
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits
As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin
As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad,
Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far
An Nahhas).
2. Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin
Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As
Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An
Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.
3. Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al
Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
4. Dalam bahasa Inggris kata ini adalah metode tertulis, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia berarti: cara yang
tertib dan dipikirkan dengan matang untuk mencapai tujuan (dalam sains dan
sebagainya) cara kerja yang tersistem untuk memfasilitasi pelaksanaan dan aktivitas
untuk mencapai yang ditentukan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
metode tafsir adalah cara penafsir menafsirkan Alquran berdasarkan aturan dan
urutan yang konsisten dari awal sampai akhir.
5. Penggolongan suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti hanya memiliki
satu ciri khas saja, melainkan setiap mufassir menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya
telah banyak menggunakan corak dalam hasil karyanya, namun tetap saja ada corak
yang dominan dari kitab tafsirnya, sehingga corak yang dominan inilah yang menjadi
dasar penggolongan tafsir tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Nasruddin, Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002)
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008)
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta:Itqan Publishing,2013

Anda mungkin juga menyukai