Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Orientalisme al-Qur'an”

Di ajukan untuk memenuhi tugas


Mata kuliah ulumul Quran

Disusun oleh kelompok 9:


1. Shofy Zulfia
2. Rahma Dani
3. Nurti Lailatul Awaliyah

Dosen Pembimbing:
Muslim,S.Thi.M. Hum.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BENGKALIS
2020 M/ 1442 H

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Orientalisme al-
Qur'an"dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Ulumul Quran, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang topik
yang kami bahas bagi para pembaca dan juga bagi kami sebagai penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muslim, S.Th.I.Hum selaku dosen,
yang telah memberikan tugas ini. Sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan kami
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkalis, 12 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Pengertian Orientalisme Al-Qur’an.......................................................................2
B. Awal Munculnya Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur'an......................................2
C. Fokus Utama Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur'an............................................4
D. Pendekatan Orientalis Dalam Kajian Terhadap Al-Quran....................................6
E. Tokoh Dan Pandangan Orientalis Terhadap Al-Qur’an........................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................................16
A. Kesimpulan.............................................................................................................16
B. Saran.......................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orientalis bagi sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai “momok” yang harus
diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah
obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya “berkedok” sebagai pakar
(scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far
eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang “dekat” (near eastern, seperti Persia,
Mesir, dan Arabia).
Tetapi bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari
keberadaannya yang memang problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena
kajian dan analisis yang dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan
menghegemoni dunia islam. Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan
kajian dengan begitu objektif, sehingga -diakui atau tidak- mereka telah memberikan
kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada umumnya, dan dunia Islam
khususnya.
Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada
umumnya dan al-Qur’an khususnya, jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan
kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama mereka
bukan Islam, tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian orientalisme al-Qur'an?
2. Bagaimana awal munculnya kajian orientalis terhadap al-Qur'an?
3. Apa fokus utama kajian orientalis terhadap al-Qur'an?
4. Bagaiman pendekatan orientalis dalam kajian terhadap al-Quran?
5. Siapa tokoh dan pandangan orientalis terhadap al-Qur’an?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme al-Qur'an


Secara etimologis, orientalisme berasal dari kata orin (terbit) yaitu diambil dari bahasa
latin, dan isme (kepercayaan) diambil dari bahasa Belanda, maknanya ilmu kepercayaan dari
timur. (Kamaruddin, 2011). Orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran,
atau studi tentang dunia timur dan Islam (meliputi Turki, Asia Tenggara, negara-negara Islam
di bagian Timur Tengah, hingga Afrika Utara). Karena muncul di negara Barat, maka
orientalisme sebagai studi disikapi dengan cara pandang Barat pula.
Orientalisme merupakan studi yang mengkaji bidang yang berkaitan dengan Timur.
Studi ini bukanlah sebuah istilah baru. Sejarah mencatat Orientalis, atau aktor yang mengkaji
studi ini lebih dahulu muncul dari pada Orientalisme. A.J. Arberry menyebutkan istilah
orientalis mucul pada 1638, digunakan oleh seorang anggota gereja Yunani. Artinya yaitu
orang yang mendalami berbagai sastra dan dunia timur. Studi ini perlu diperhatikan oleh
muslim, karena studi ini telah menghasilkan banyak kesimpulan yang kontradiktif.
Daintaranya pernyataan mereka mengenai kritik terhadap Al-Qur'an. Menurut Orientalis, Al-
Qura'an bukanlah wahyu, dan mereka terus mengkaji Al-Qur'an dengan tujuan membuktikan
keyakinan tersebut. Terdapat beberapa orientalis ternama yang mengungkapkan gagasannya
mengenai Al-Quran.
Orientalisme merupakan studi yang menghasilkan kesimpulan kajian yang tidak sesuai
dengan kepercayaan dalam Islam. Bahkan beberapa diantaranya termasuk bentuk penghinaan
Al-Qur'an, Rosulullah, serta menyepelekan Allah SWT. Karena mereka memposisikan Al-
Qur'an bukan sebagai wahyu dari Allah SWT, dan melakukan kritik seakan Al-Qur'an adalah
rekayasa manusia. Maka muslim harus berhati-hati, jangan sampai terlena dan mengikuti
paham Orientalisme yang dibawa kelompok Liberal dan Sekuler dari Barat.1

B. Awal Muncul Kajian Orentalis Terhadap al-Qur’an


Perhatian para sarjana Eropa terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak kunjungan Peter
the Venerable, yang juga seorang paderi dari Cluny, ke Toledo pada pertengahan abad ke-12.
Ia menaruh perhatian terhadap seluruh permasalahan tentang Islam, sehingga merasa perlu
untuk mengumpulkan sekumpulan sarjana dan memberi mereka tugas untuk memproduksi

1
Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), (Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an,
2006), vol. I

2
serangkaian karya yang menjadi basis keilmuan bagi pertemuan intelektual dengan Islam.
Proyek yang hasilnya disebut Clonic Corpus ini menerjemahkan teks Arab yang ditujukan
menjadi basis kesarjanaan misionaris dan orientalis.
Beberapa karya yang dihasilkan dari upaya awal ini adalah sebuah terjemahan al-
Qur’an dalam bahasa Latin oleh seorang sarjana berkebangsaan Inggris Robert Ketton (yang
namanya sering ditulis Robertus Retenensis) yang diselesaikan pada tahun 1143. Upaya ini
dianggap sebagai gerbang pertama mengkaji al-qur’an. Hanya saja, menurut Watt, karya ini
tidak pernah bisa mengangkat nilai penting kajian Islam, karena meski beberapa abad
selanjutnya terbit beberapa buku lain, namun tetap saja Islam masih menjadi musuh besar
Barat. Di satu sisi Islam ditakuti, tetapi di sisi lain ia disanjung, namun apa yang ditulis para
sarjana Barat ketika itu masih bersifat apologetik dan polemikal, bahkan terkadang cenderung
bernada menyerang dan memanas-manasi.
Upaya selanjutnya yang mengesankan dan menunjukkan perkembangan di bidang ini
adalah karya seorang sarjana Italia Ludovici Maracci pada abad 17, yang mereproduksi al-
qur’an berdasarkan beberapa manuskrip, dan dilengkapi terjemahan latin. Hal ini belum
pernah dilakukan oleh Orientalis sebelumnya, mengingat hanya sebatas terjemahan yang
mereka hasilkan. Dan karya Rodewell pada abad 18 yang menerjemahkan al-qur’an
danmenyusunya kembali menurut kronologinya dari al-alaq sampai al-Maidah.
Pada abad selanjutnya, studi al-qur’an semakin luar biasa di tangan Flugel. Pada paruh
abad 19, tepatnya 1834 Flugel memulai sebuah riset dengan menulis edisi kritis teks al-
qur’an. Karena penting dan signifikan, karya ini direvisi dan diedit oleh orientalis-orientalis
belakangan. Minat untuk mengkaji al-Qur’an meningkat dengan diadakannya sayembara
penulisan monograf tentang “kritik sejarah terhadap teks al-Qur’an” yang diprakarsai oleh
Akademi Inskripsi dan Sastra Paris pada tahun 1857. Sayembara ini dimenangkan oleh
Theodor Noldeke.
Tema lainnya yang menarik perhatian orientalis adalah tafsir al-qur’an. Akan tetapi
belum ada karya khusus dari mereka tentang tafsir al-qur’an. Kalaupun ada hanyalah sebatas
analisa terhadap sejarah tafsir al-qur’an di kalangan umat, inilah yang dilakukaAn oleh Ignaz
Goldziher pada akhir abad 19. Ia mengkaji secara kritis tafsir-tafsir pada masa klasik.
Dewasa ini, perkembangan menarik di bidang ini menunjukkan kemajuan berarti.
Berbagai pendekatan dan metode baru memahami al-qur’an secara lebih baik telah
ditawarkan. Pendekatan linguistik dan berbagai metode pendukungnya menjadi metode
paling laku. Misalnya Joseph Horovitz dengan karyanya Koranische Untersuchungen yang
berkenaan dengan bahagian naratif dan nama-nama dalam al-Qur’an; Arthur Jeffery dengan

3
beberapa karyanya seperti Foreign Vocabulary of the Qur’an. Selain itu, Jeffrey bersama para
orientalis abad 20 juga berambisi membuat proyek al-qur’an edisi kritis. Mereka
mengumpulkan berbagai varian tekstual yang didapat dari berbagai sumber. Konon mereka
ingin merestorasi teks al-qur’an berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Abu Daud al-Sijistani
yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan.2
Menurut Nasarudin Umar, hal yang melatarbelakangi kajian, kritik, dan penyerangan
mereka terhadap al-qur’an adalah karena ia merupakan kitab suci agama islam yang menjadi
rujukan standar nilai utama. Al-qur’an merupakan simbol pemersatu, sebagai landasan dan
pedoman hidup di sepanjang sejarah. Jika al-qur’an diusik, baik mengenai orisinalitas dan
otentisitasnya, maka kebesaran dan keutuhan islam akan terancam menurut mereka.3
Selain itu, asumsi dasar para orientalis mengkaji al-Qur’an dilatarbelakangi dua hal,
pertama, kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka. Kedua,
disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an.
Mayoritas cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel. Karena pada
kenyataannya Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti tidak asli. Terlalu
banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang
benar-benar wahyu dan mana yang bukan.4

C. Fokus Utama Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an


Orientalis telah mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk mengkaji, mengkritik
dan menyerang al-qur’an. Mereka menyerang al-qur’an dari berbagai dimensi untuk
menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan mereka dalam mencemarkan kemurnian
teks al-qur’an menggunakan sumber-sumber tidak etis bahkan penipuan. Secara garis besar,
diskursus kajian Barat terhadap al-qur’an menyoroti hal-hal berikut ini:
1. Otentisitas al-Qur’an
Dalam membahas otentisitas al-qur’an, orientalis memiliki dua asumsi, yakni:
l Mereka menganggap bahwa al-qur’an adalah dokuemn tertulis atau teks, bukan sebagai
hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka lantas mau menerapkan metode filologi
yang lazim digunakan dalam penelitian bibble. Akibatnya mereka menaggap al-qur’an
sebagai karya sejarah, sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya arab. Mereka juga
mengatakn bahwa mushaf sekarang berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat
edisi kritis.
2
Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 64
3
Nasarudin Umar, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 92
4
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 3

4
Al-qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan. Proses
pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui lisan,
bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua berdasarkan
hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses transmisi ini terbukti
berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi ke generasi.5
l Para orientalis ingin mengubah-ubah al-qur’an dengan mempertanyakan fakta sejarah,
menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah fiktif. Meskipun pada prinsipnya
diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui hafalan, telah kita ketahui bahwa al-
qur’an juga dicatat dengan menggunakan medium tulisan. Hampir seluruh catatan
tersebut adalah milik pribadi sahabat Nabi. Baru kemudian hari, ketika jumlah
penghafal menyusutkarena gugur di peperangan, dilakukan kodifikasi hingga pada
masa Utsan bin Affan. Jadi, jelas fakta sejarah dan kodofikasinya.6
2. Sumber Yang Dipakai Nabi Muhammad
Kajian orientalis terhadap al-qur’an tidak sebatas mempertanyakan otensititasnya. Isu
klasik yang selalu iangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap islam
maupun isi kandungan al-qur’an. Sebagian mereka berusaha mengungkapkan apa sajayang
bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-
Kristen. Misalnya saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang terdapat
pada awal surah al-qur’an akibat pengaruh asing, kemungkinan besar Yahudi yang diserap
oleh nabi Muhammad. Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab dari dua puluh tujuh surat yang
terdapat dalam al-qur’an yang dimulai dengan huruf demikian, hanya dua yang turun di
Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan
Yahudi.7
Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam al-qur’an adalah
jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah hasil dari kebohongan dan
tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya sekian kesamaan antara al-qur’an dan kitab
mereka. Bahkan sekian ulama tafsir menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi.
Tetapi kesamaan tersebut bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya
mengunjungi objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.8
3. Upaya Mengubah al-Qur’an

5
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11-12
6
Ibid, hlm. 6
7
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 42
8
Ibid, hlm. 36

5
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keyakinan umat
islam terhadap keaslian al-qur’an. Diantaranya adalah:
a) Upaya Flugel Mengubah al-Qur’an
Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks al-Qur’an, ia juga sengaja menguras
tenaga ingin mengubah teks-teks al-qur’an yang berbahasa arab sehingga dapat diterima oleh
kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan bagi kaum muslim untuk membaca al-
qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya
mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak
pada salah satu dari tujuh qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan
memilih satu qiraat dengan tidak menentu.
b) Upaya Bachelere Merusak al-Qur’an
Ketika terjadi penerjemahan al-qur’an ke dalamBahasa Perancis, Bachelere bukan saja
mengubah urutan surat dalam al-qur’an, malah juga menambahkan dua ayat ke dalamnya.
Dia berpijak pada cerita palsu yang menerangkan bahwa setan yang memberi wahyu kepada
Nabi Muhammad tampaknya tidak dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan
mantra-mantra kafir. Tak satupun manuskrip al-qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat
itu, di mana secara keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan
berikutnya.9
c) Upaya Mingana Merusak al-Qur’an
Mingana melakukan penelitian pada manuskrip yang bernama Palimpset. Palimpset
adalah manuskrip di mana tulisan aslinya telah dihapus guna memberi peluang bagi tulisan
baru. Ia menganalisis lembaran tersebut, dan membuat daftar perbedaan al-qur’an pada
manuskrip tersebut.hasil dari daftar perbedaan tersebut ia cetak menjadi sebuah al-qur’an.10

D. Pendekatan Orientalis dalam Kajian terhadap al-Qur’an


Metodologi yang dipakai sarjana barat dalam mendekati Al Qur’an ada tiga yaitu:
Pendekatan historis, Pendekatan Fenomenologis, Pendekatan Historis-Fenomenologis.
1. Pendekatan Historis
Metode semacam ini muncul pada abad 19, yang dipelopori oleh Leopold Von Ranke
(1795-1886). Historis berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu intuisi, nilai-nila maupun
agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu
muncul. Prinsip historisme menurut Meinecke adalah mencari kausalitas peristiwa historis,

9
Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344
10
Ibid, hlm. 347

6
dan kausalitas itu tidak berasal dari dunia metafisik atau trans-historis tetapi empiric sensual.
Bias dari munculnya teori ini menurut Fuck-Franfurt mendorong kecendrungan dalam studi
Al Qur’an di Barat yang yang mengasalkan Al Qur’an dari kitab suci tradisi Yahudi dan
Kristen.
Sedangkan Sarjana barat yang menggunakan metode historisme dalam studi al-Qur’an
ini antara lain adalah: Maxime Rodinson, Tor Andre, A. Jeffery dan lain-lain. Namun dalam
penjelasan ini kami hanya akan menjelaskan pendapatnya J. Wasbrough yang mengasalkan al
Qur’an dari Tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama dan Richard Bell yang mengasalkan al
Qur’an dari tradisi dan kitab suci Kristen.
Menurut Wansbrough (1977), Ajaran tentang kemukjizatan Al Qur’an dipandang
sebagai imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga kumpulan ucapan dalam
al-Qur’an dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang mutlak kebenaranya.
Richard Bell mengatakan, al Qur’an berasal dari ajaran Kristen. Pengaruh Kristen
menurut Bell belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya ialah
surah Al-Ikhlas. Menurut Bell surat tersebut bukan polemik antara Muhammad dan orang
Kristen, tetapi kepada orang musrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak
perempuan. Surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5 yang menjelaskan manusia dari segumpal darah
juga bukan konsep dari Bibel. Karena dari konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah.
Pada fase berikutnya terdapat kesamaan antara al Qur’an dan Bibel, misalnya penolakan
penyaliban Yesus, yang diambil dari satu sekte Kristen di Syiria.
Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural,
bukan peristiwa supranatural. Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu
melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para
dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi,
baginya sugesti terjadi secara natural.
2. Pendekatan Fenomenologis
Fenomologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan dan
menampakkan dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk
menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa
adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck
zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Fenomenologi Husserl
bertujuan mencari suatu fenomena dalam mencari esensi bermula dari membiarkan fenomena
itu termanisfestasi apa adanya tanpa dibarengai prasangkan.

7
Pendekatan semacam ini tidak melacak asal-usul suatu intuisi, tetapi dengan
mengidentifikasi struktur internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan ini dalam
studi al Qur’an antara lain: Roest Crolius, Maurice BUcaille, Marcel A dan lain-lain. Namun
kami akan memunculkan pemikiranya Marcell A. Bouisard yang tidak melihat sisi formal al
Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi subtansinya. Boisard memandang bahwa nabi
Muhammad adalah nabi yang sebenarnya. Muhammad hanya sebagai penyambung lidah
wahyu yang abadi. Boisard juga memandang al Qur’an berisi kebenaran universal dan bukan
buatan manusia tetapi adalah wahyu Allah.anwahyu Allah.
3. Pendekatan Historis-Fenomenologis
Pendekatan ini mendekatkan dua metode di atas, pendekatan ini dipelopori oleh W.
Montgomery Watt di lihat sebagai kegandaan sumber wahyu al Qur’an , yaitu Tuhan dan
nabi Muhammad. Wahyu al Qur’an bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad
dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen).
Watt dalam satu sisi tidak menolak Islam yang fundamelntal, tetapi disisi lain dia
menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt juga
menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk makna, bukan
dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari
ini menurutnya dimungkinkan terhadinya keliru dalam al Qur’an seperti tentang penolakan
penyaliban Yesus dalam al Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil
Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru.
Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi
wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam al Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus
dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Maka dari pendekatan metodologi yang
mereka gunakan dalam studi al-Qur’an menghasilkan berbagai golongan aliran orientalis
dalam mengkaji al-Qur’an khususnya. Dimana golongan itu secara garis besar dibagi antar
Orientalis yang mengkaji al Qur’an atau Islam secara objektif dan subjektif.11

E. Tokoh dan Pandangan Orientalis Terhadap al-Qur’an


Kaum Orientalis mengingkari kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dan mengingkari
kemukjizatan al-Qur’an. menurut anggapan mereka al-Qur’an itu tidak lain adalah buatan
manusia dengan bantuan orang lain. Hal ini digambarkan AllaH dalam Al-Qur'an:
11
A Mannan Bukhari, menyingkap Tabir Orientalisme,(Jakarta:Amzah, 2006) Hlm 53-54

8
ٌ ‫َوقَا َل ٱلَّ ِذينَ َكفَر ُٓو ۟ا إِ ْن ٰهَ َذٓا إِٓاَّل إِ ْف‬
M‫م َءاخَ رُونَ ۖ فَقَ ْد َجٓا ُءو ظُ ْل ًما َو ُزو ًرا‬Mٌ ْ‫ك ٱ ْفت ََر ٰىهُ َوأَعَانَهۥُ َعلَ ْي ِه قَو‬
Artinya: “dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan
yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh kaum yang lain, Maka
Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang besar. (Q.S al-Furqan:
4).

Berikut pandangan para tokoh-tokoh Orientalis terhadap al-Qur’an:


a. Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat yang pernah mewakili
Amerika Serikat di Spanyol dengan jabatan Minister Resident, banyak meninggalkan
karya. Di dalam karyanya diungkapkan pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an
sebagai berikut: “sebenarnya al-Qur’an yang ada sekarang ini tidaklah sama dengan
al-Qur’an yang disampaikan muhammad kepada muridnya pada masanya itu, tapi
telah mengalami sekian banyak penyelewengan dan sisipan-sisipan. Sesekali dicatat
oleh juru surat atau para murid, pelapah tamar atau lainnya, dan dilemparkan begitu
saja ke dalam sebuah peti, yang diawasi oleh salah seorang istrinya. Seringkali pula
hanya tersimpan dalam ingatan dan hafalan seseorang yang kebetulan mendengarnya.
Tampaknya tidak ada perhatian untuk menyusunnya secara sistematis pada masa
hidupnya. Sepeninggalnya, yakni pada masa abu bakar, barulah ada ikhtiar
mengumpulkan dan menuliskannya. Zaid bin tsabit, yang merupakan salah seorang
juru tulis muhammad, ditugaskan untuk maksud tersebut. Dia dianggap mengenal
sekian banyak ayat al-Qur’an di dalam hafalan, yang menuliskannya berdasarkan
dikte dari Nabi. Sedangkan bagian-bagian lainnya dikumpulkannya sekelumit demi
sekelumit dari berbagai pihak, yang pernah mencatat dan menuliskannya dan sekian
banyak bagian lainnya dicatatnya kembali dari pernyataan berbagai murid yang
mengatakan pernah mendengarkannya secara lisan dari pihak Nabi sendiri. Sekian
banyak kekeliruan, sisipan-sisipan dan kontradiksi-kontradiksi menyelusup ke dalam
naskah-naskah tersebut, sehingga utsman khalifah yang ketiga. Mengumpulkan
kembali semua naskah yang beredar tersebut, dan membentuk naskah baru yang
dikatakannya al-Qur’an yang murni, dan lantas naskah-naskah lainnya itu
dimusnahkan.”
Sikap dan pandangan Washington Irving itu niscaya dirasakan menyakitkan hati setiap
muslim, karena banyak hal-hal yang tidak benar di dalam ungkapan tersebut. Dari

9
ungkapan Washington Irving itu tergambarlah, bahwa seakan-akan dia memiliki naskah
dari masa Nabi besar Muhammad SAW, dan juga memiliki naskah pada masa Khalifah
Abu Bakar, dan lalu membandingkannya dengan naskah pada masa Khalifah Utsman
bin Affan, yang merupakan pegangan umat Islam sampai saat ini. Tetapi benarkah
Washington Irving memiliki dua jenis naskah itu untuk dijadikan alat banding? Tentu
saja tidak. Justru penalarannya berpijak pada dasar yang tidak benar dan karena itu pula
kesimpulan-kesimpulan di dalam sikap dan pandangannya juga tidak benar. Apalagi
tidak dikemukakan pembuktian mengenai ayat-ayat yang dikatakannya sisipan, samar-
samar, ketiadaan ujung pangkal, kontradiksi dan sebagainya.
b. Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang Orientalis terkemuka di jerman
yang khusus mendalami bahsa siryani, Arab dan parsi, mengemukakan pendapatnya
tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “kita tidak hanya mempunyai tanggapan-
tanggapan keseeluruhan mengenai watak Muhammad itu, bahkan mempunyai karya
yang otentik yaitu al-Qur’an yang disampaikannya atas nama Allah. Sekalipun
demikian, tokoh yang luar biasa menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap
merupakan teka teki. Ia banyak sekali mendalami agama yahudi dan agama kristen,
tapi hanya melalui laporan lisan belaka. Sekalipun mengenai soal apakah betul
muhammad itu tak pandai membaca dan menulis, pasti bahwa dia tidak pernah
membaca Bible ataupun kitab-kitab lainnya. Tokoh-tokoh tempat dia mengumpulkan
informasi mengenai agama-agama tua yang monoteisis itu pastilah pihak yang kurang
terpelajar. Terlebih khusus guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”
Dari ungkapan Theodore Noldeke sarjana orientalis jerman itu, terbayanglah di depan
mata siapapun bahwa di Makkah, pada masa-masa sebelum Nabi besar Muahammad
SAW menjalankan dakwah pada tahun 610 M, ada fakultas teologi dari sebuah
Universitas dan Muhammad adalah mahasiswa yang tekun mempelajari berbagai
agama sekian tahun lamanya ke berbagai guru yahudi dan keristen, seperti yang
dilakukan mahasiswa Theodore Noldeke sendiri sewaktu mempelajari agama Islam.
Jadi Theodore Noldeke terlalu berkhayal dengan semua ungkapannya tersebut.
c. .Reinhart Dozy (1820-1884) adalah seorang orientalis terkemuka di Negeri Belanda dan
mahaguru bahasa Arab di Universitas Leiden, yang luas sekali studinya tentang
berbagai daulat Islam di Andalusia. Pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an sebagai
berikut: “kitab yang berisikan wahyu kepada Muhammad, yang sekalipun tidak
terlampau lengkap tetapi setidaknya merupakan sumber yang dapat dipercayai
mengenai riwayat hidup Muhammad itu, mengungkapkan berbagai keistimewaan dan

10
keluarbiasaan daripada sumber lainnya. Al-Qur’an itu berisikan kumpulan kisah-
kisah, bimbingan , hukum dan sebagainya, ditempatkan damping-berdampingan tanpa
memperhatikan urutan kronologis ataupun urutan lainnya. Wahyu-wahyu itu jarang
sekali yang panjang, kebanyakan berisikan ayat-ayat singkat, yang langsung dituliskan
pada masa Muhammad, atupun dipercayakan kepada hafalan ingatan, karena
sebagimana dibuktikan dari silsilah keturunan beserta sajak-sajak dari masa jahiliah
yang diwariskan turun temurun secara lisan, menunjukkan orang-orang semasa
Muhammad itu memiliki ingatan yang kuat sekali, seperti halnya setiap kelompok yang
sedikit sekali mempergunakan tulisan. Pada masa Muhammad itu dikenali bahwa
pihak yahudi mengubah ayat-ayat perjanjian lama pada beberapa tempat, bahkan
mereka dikutuk atas perbuatnnya itu dan fakta itu dapat dibuktikan secara positif.
Sepanjang sejarah yahudi Terdapat alasan-alasan untuk melakukan perubahan-
perubahan tersebut, yang dari titik pandang tertentu dipandang suatu keharusan, tapi
pihak Muhammad tidak punya alasan yang sama seperti piihak yahudi itu untuk
melakukan suatu perubahan ataupun tambahan.”
Dari pandangan Reinhart Dozy, tokoh Orientalist dari holand (belanda) itu, tampak
bahwa ia mengakui dengan mengemukakan bukti-bukti yang rasional sekali bahwa
orang-orang pada masa nabi Muhammad SAW itu memiliki kemampuan ingatan yang
kuat sekali. Jika pada masa itu orang punya ingatan yang kuat sekali dan andai ada
sesuatu pihak pada masa itu dengan sesuatu alasan yang lain melakukan perubahan
maupun tambahan, niscaya akan cepat terlihat dan cepat memperoleh reaksi dari sana
sini. Karena itulah argumentasi terakhir dari R. Dozy itu tidak logis sama sekali.
d. Philip K. Hitti adalah seorang Orientalis terkemuka, pandangannya mengenai kitab suci
al-Qur’an sebagai berikut: “dibanding dengan Bible, ketidakpastian pada ayat al-
Qur’an sedikit sekali. Versi resmi yang pertama dan terakhir dari al-Qur’an itu
dibanding 19 tahun sesudah Muhammad wafat. Hal itu disebabkan karena tokoh-
tokoh yang hafal al-Qur’an makin berkurang karena pertempuran yang terus menerus,
dari ayat-ayat yang ditulis pada himpunan pelapah tamar dan kepingan-kepingan batu
putih dan dari hafalan-hafalan ingatan, maka naskah yang ula-mula dan tidak resmi
itu disusun kembali. Kemudian seluruh naskah lainnya dimusnahkan. Al-Qur’an yang
memiliki 6.239 ayat, atau 77.934 kata, atau 323.621 huruf itu diawasi senantiasa
dengan sangat hati-hati. Al-Qur’an itu bukan hanya merupakan jantung agama,
penuntun kepada kerajaan samawi, tetapi juga Ikhtisar ilmu dan dokumen politik,
berisikan himpunan hukum untuk kerajaan di bumi.”

11
Dari sekelumit pendapat Philip K. Hitti mengenai kitab suci al-Qur’an itu terlihat suatu
kenyataan bahwa, dari banyaknya kekaburan, sisipan dan tambahan pada ayat al-
Qur’an itu menurut pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya, kini bergeser kepada
sedikit sekali ketidakpastian pada ayat al-Qur’an itu. Pergeseran pendapat serupa itu
dari abad ke abad tidaklah menakjubkan, karena apa yang disebut dengan pendapat
ilmiah itu senantiasa dapat saja berubah dari waktu ke waktu berkat perkembangan
hasil penelitian. Pergeseran serupa itu tetap berkelanjutan disebabkan perkembangan
aktivitas penelitian seseorang tokoh ilmuan dari waktu ke waktu.
e. Prof. Dr, Tor Andrae, Orientalis dari Jerman itu menulis mengenai kitab suci al-Qur’an
sebagai berikut: “Muhammad tampaknya termasuk tipe mendengar suara. Wahyu yang
diterimanya itu didiktekan kepadanya oleh suatu suara yang dia atributkan kepada
malaikat jibril. Pembuktian atas kemurnian wahyu yang diterimanya itu dikemukakan
Muhammad dalam surah al-Qiyamah,ayat 16-19 yang disitu kita baca ( janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah penjelasannya). Justru sang Nabi itu tidaklah menggerakkan
lidahnya dengan sengaja membentuk lebih dulu kata-kata yang akan diucapkan
malaikat. Tapi dengan tenang dan dia, dia menantikan bacaan malaikat, dengan
jaminan bahwa kalimat-kalimat Illahi itu akan tetap membekam di dalam ingatannya.”
Tor Andrae membicarakan panjang lebar tentang al-Qur’an sebagai himpunan wahyu
dengan membahas pengertian wahyu dan hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, dan
membandingkannya dengan nabi-nabi yang tercantum di dalam Holy Bible. Selanjutnya
membandingkannya kepada kenyataan-kenyataan yang dialami seniman-seniman
terbesar sewaktu menerima Ilham bagi setiap karyanya. Dalam hal itu Tor Andrae
mengemukakan data-data yang ditemukan di dalam al-Qur’an sendiri beserta hadis-
hadis al-Mutawatir tentang keadaan Nabi besar Muhammad SAW, ketika menerima
wahyu lalu menyorotinya sepanjang teori-teori psikologi Mutakhir. Dari ungkapan
tersebut tampak Tor Andrae itu makin lebih maju dari pendapat Philip K. Hitti seperti
diuraikan lebih dulu.
f. W. Montgomery Watt, mahaguru pada Universitas Edinburgh, Skotlandia, menulis
buku berjudul Muhammad, Prophet and Statesman (Muhammad, Nabi dan Negarawan)
yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 1961. Kata pengantar dari penulisnya

12
tertanda “Agustus 1960” menyatakan buku tersebut merupakan Ikhtisar dari dua buah
karya tebal pada masa sebelumnya, yaitu Muhammad at Meecca dan Muhammad at
Medina.
Sekalipun pendapat W. Montgomery Watt terhadap pribadi Nabi Muhammad SAW itu
dapat dinyatakan positif tetapi sebaliknya terhadap al-Qur’an berbalik negatif, dalam
bukunya tersebut ia menulis: “Muhammad itu seorang yang jujur janganlah ditarik
kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagi kepercayaan, kepercayaan Muhammad
bahwa wahyu-wahyu itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk menyusun
sendiri dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan penghapusan ataupu
penambahan.”
Dari sekelumit ungkapan W. Montgomery Watt Orientalis dari Skotlandia itu
menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan dan ada yang
ditambahkan. Tetapi anehnya, seperti juga dengan tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya,
dia tidak pernah menunjukkan mana ayat-ayat yang dihilangkan dan mana ayat-ayat
yang ditambahkan di dalam al-Qur’an itu dan apa pembuktian untuk mengukuhkan
pernyataan tersebut.
Jika kalangan sarjana Bible dalam dunia kristen sendiri menyatakan bahwa di dalam
Bible itu banyak yang dihilangkan dan banyak yang merupakan sisipan/tambahan,
mereka memang mampu membuktikannya dengan membandingkan Codex Sinaiticus,
naskah Grik yang ditemukan tahun 1862, dengan Vulgata naskah latin yang menjadi
pegangan dunia kristen sejak abad ke-5 sampai pertengahan abad ke-19. Tetapi
sebaliknya, kalangan Orientalis yang menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada
yang dihilangkan adan ada yang ditambahkan, tidak pernah mengemukakan bukti untuk
mengukuhkan pernyataan tersebut. Disinilah bedanya ungkapan tokoh-tokoh orientalis
tertentu mengenai al-Qur’an dengan ungkapan kalangan sarjana Bible dalam dunia
Kristen sendiri mengenai Bible.
g. Sir Hamilton A.R. Gibb membicarakan kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “apakah
al-Qur’an itu dituliskan sepenuhnya pada masa hidup Muhammad, hal itu masih
merupakan satu soal karena keterangan-keterangan trdisional saling berlawanan. Tapi
tanggapan yang umum diterima adalah bahwa pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an itu
untuk pertama kalinya berlangsung beberapa tahun sesudah wafat, dikumpulkan dari
kepingan-kepingan perkamen, catatan pada batu tipis dan pada pelapah-pelapah
tamar dan lainnya, beserta dari hafalan-hafalan seseorang. Karena itulah boleh jadi
terdapat ketidaksamaan serta hubungan-hubnungan yang ganjil pada surah-surah

13
yang panjang. Adalah pasti bahwa di samping catatan-catatan tertulis itu, kalangan
sahabat Nabi mengingatnya dalam ingatan dan menyalurkan versi hafalannya itu
dengan sedikit ragam variasi.”
Pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb yang didasarkan pada hasil penelitiannya mengenai
kitab suci al-Qur’an itu, tampak lebih maju lagi dibanding pendapat tokoh-tokoh
Orientalis sebelumnya. Seperti dinyatakan sebelumnya, makin luas dan mendalam
suatu penelitian ilmiah, semakin terjadi perkembangan paendapat, sebagai akibat yang
wajar dan logis.
h. Dr. Maurice Bucaille sarjana dan ahli bedah Perancis membandingkan ayat-ayat Bible
dengan Sains Modern dan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sains Modern,
kemudian membuktikan batapa ayat-ayat Bible itu berlawanan dengan penemuan-
penemuan Ilmiah dan sebaliknya, ayat-ayat Qur’an itu memperlihatkan keselarasan
dengan penemuan-penemuan ilmiah, sehingga hal itu sangat menakjubkan, mengingat
ayat-ayat al-Qur’an disampaikan oleh Nabi besar Muhammad SAW pada abad ke-7
Masehi. Berdasarkan kenyataan yang menakjubkan itu, Dr. Maurice Bucaille
mengungkapkan pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut; “keaslian
yang tidak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada al-Qur’an itu suatu
kedudukan istimewa diantara kitab-kitab suci lainnya, kedudukan itu khusus bagi al-
Qur’an, dan tidak tertandingi oleh perjanjian lama dan perjanjian baharu. Dalam dua
bagian pertama dalam buku ini kami telah menjelaskan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam perjanjian lama dan empat Injil, sebelum Bible itu dapat kita baca dalam
keadaanya sekarang. Al-Qur’an tidak begitu halnya, oleh karena al-Qur’an itu telah
ditetapkan pada zaman Muhammad.”
Demikian ungkapan Dr. Maurice Bucaille mengenai kitab suci al-Qur’an. Ia sering
menyebut sumber-sumber, dan memadu keterangan dari sumber-sumber tersebut, yakni
sumber-sumber sejarah tertua. Hal itu menunjukkan bahwa penelitian sarjana perancis
itu lebih luas dan mendalam, hingga pendapat yang dikemukakannya tampak lebih
maju lagi dibanding dengan pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb. Di samping meneliti
data-data sejarah, Maurice Bucaille juga meneliti isi pesan di dalam ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan berbagai bidang ilmiah (Sains Modern), di dalam
perbandingannya dengan ayat-ayat di dalam Holy Bible. Ia mengutip ayat-ayat Holy
Bible yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya
berlawanan dengan penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru. Sebaliknya ia
mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan

14
ternyata kebenaran satu persatunya dibuktikan oleh penemuan-penemuan ilmiah pada
zaman baru.
Siapapun bebas mengemukakan jawabannya atas problema itu. Tapi, Dr. Maurice
Bucaille tegas dalam jawabannya bahwa satu persatu ayat tersebut adalah wahyu Illahi.
i. Dr. Toshikiko Izutsu melalui karyanya Ethico Religious Concept inthe Qur’an
menyoroti kitab suci al-Qur’an dari jurusan nilai-nilai sepanjang etis yang terkandung
dalam setiap ayat al-Qur’an. Dr. Toshihiko Izutsu adalah mahaguru pada institute of
Cultural and Linguistic Studies, Universitas Keio di Tokyo (Jepang), yang setiap tahun
menjabat mahguru selama enam bulan pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada, untuk mata kuliah teologi Islam dan filsafat islam. Banyak
karyanya dalam masalah Islam, baik yang diterbitkan oleh Universitas Keio di tokyo
maupun Universitas McGill di Kanada.
Pendapat Izutsu mengenai etika al-Qur’an itu memperdengarkan pandangan yang
positif terhadap nilai-nilai sosial dan nilai-nilai agamawi yang terkandung di dalam al-
Qur’an, dan pandangannya yang positif itu tercermian sepenuhnya di dalam karyanya
yang demikian tebal.
Membandingkan sikap dan pandangan Dr. Toshihiko Izutsu dengan sikap dan
pandangan Washington Irving beserta tokoh-tokoh Orientalis berikutnya mengenai
kitab suci al-Qur’an dapat daisaksikan suatu kenyataan, bahwa terjadi perkemabangan
pendapat secara terus menerus dan pada akhirnya kagum dan takjub. Layaknya
bagaikan orang yang memandangi bangunan Alhambra dari jauh, menampak berbagai
cacad pada bangunan itu, tapi sewaktu datang mendekatinya dan makin lama makin
dekat, dan akhirnya memasukinya, lantas ia pun kagum dan takjub menyaksikan tata
rias ruangan demi ruangan yang demikian banyaknya. Dengan penuh kejujuran, ia pun
mengakui keindahan dan keistimewaan bangunan Alhambra di Andalusia itu. Demikian
pula sikap dan pandangan pihak Orientalis terhadap kitab suci al-Qur’an.12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

12
. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Cet III, Hlm 123-146 M

15
Orientalis merupakan study yang dilakukan oleh intelektual Barat untuk mempelajari
situasi Timur,khususnya yang menyangkut sejarah, agama, bahasa, etika, tradisi,seni dan adat
istiadat kebiasaan bangsa Timur
Dalam pendekatanya orientalis melakukan beberapa metode pendekatan
diantaranya:Pendekatan Historis,Pendekatan Fenomologis dan Pendekatan Historis-
Fenomonologis.
AdapunPada umumnya pandangan orientalis terhadap al-quran berkutat pada
keotentikan al-quran,akan tetapi ternyata tidak hanya sebatas itu sebab banyak pula isu-isu
klasik yang selalu diangkat,diantaranya: mengenai pengaruh Yahudi dan Kristen terhadap
Islam maupun isi kandungan al-quran, ada pula yang berusaha mengungkapkan segala
sesuatu yang boleh dijadikan pinjaman dan pengaruh terhadap hal-hal tersebut,seperti dari
literature Yahudi-Kristen,ada juga yang membandingkan dengan adat istiadat
jahiliyyah,Romawi dan adat istiadat lainya yang pernah berkembang di bangsa arab,yang
merupakan tempat pertama diturunkanya al-quran,mereka juga mengatakan bahwa ceria-
cerita yang ada dalam al-quran banyak yang keliru karena tidak sama dengan Versi Bibel,
sehingga muncul dalam anggapan mereka bahwa semua ceria-cerita yang ada dalam al-quran
merupakan dongeng dan manipulasi Muhammad.

DAFTAR PUSTAKA

Arief , Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, 2008, Jakarta: Gema Insani Press

16
Armas, Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, 2003, Jakarta: Gema
Insani
Azami, Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, 2005, Jakarta,
Gema Insani
Bukhari, A Mannan, menyingkap Tabir Orientalisme, 2006, Jakarta: Amzah
Saenong, Faried. F, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), 2006,
Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an
Sou’yb, M. Joesoef, Orientalisme dan Islam, 1995, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), 2006, Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an
Umar, Nasarudin, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an)

17

Anda mungkin juga menyukai