Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KAIDAH AL ‘IBRAH BI ‘UMUMIL LAFZHI

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Qawaid Tafsir

Dosen Pengampu: Mukhammad Agus Zuhurul Fuqoha, S.UD.,

Kelompok 2 :

1. Nilna Kamalia (2030110113)


2. Iqbal Maulana Firdaus (2030110120)
3. Ahmad Robith Billhaq (2030110125)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BAB I

A. Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai kitab yang selalu menjadi rujukan umat islam tidak bisa
diartikan dan dipahami secara sembarangan. Bisa jadi orang yang telah pandai berbahasa
arab, mengerti artinya serta qawaid bahasa, bisa dengan mudah menganggap dirinya
layak untuk menjadi mufassir atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kemukjizatan al-
Qur’an dari segi bahasa membuat atau menuntut orang yang akan menafsirkannya untuk
mengerti secara benar cara mengungkap makna yang terkandung di dalamnya.Salah satu
kaidah-kaidah untuk memahami ayat dalam al-Qur’ān adalah kaidah yang berhubungan
dengan asbabun nuzul, karena tidaklah mungkin ayat al-Qur’ān bisa dipahami tanpa
adanya pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl ayat.
Di dalam beberapa ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, memang Allah SWT telah
bersumpah “mempermudah al-Qur’an untuk menjadi pelajaran” (QS. Al-Qamar: 17).
Akan tetapi redaksi tersebut tidak dapat secara sepihak dipahami atau dijadikan dasar
menafsirkan al-Qur’an dengan mudah dan dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hal
tersebut senada dengan firman-Nya di ayat yang lain (QS. Ali-imran: 7) yang
mengingatkan siapa saja yang ingin menafsirkan al-Quran supaya berhati-hati dan
mempersiapkan diri, karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang muhkam dan juga
terdapat ayat yang mutasyabihat yang di dalam al-Qur’an hal tersebut tidak dijelaskan.
Sehingga memerlukan alat bantu untuk memahami semua itu.
Di dalam makalah ini, penulis ingin sekedar mengajak untuk membahas hal-hal
yang termasuk alat bantu dalam memahami teks al-Qur’an yang kaya akan makna di
dalamnya. Salah satunya dengan memahami kaidah-kaidah yang telah dirumuskan para
ulama kebanyakan, terkait permasalahan tafsir.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari kaidah ?
2. Sejarah singkat kaidah-kaidah tafsir dan ragam kaidah tafsir
3. Pengertian dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-sabāb ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari kaidah
2. Mengetahui pengertian dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-
sabāb
3. Mengetahui penerapan kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-sabāb
4. Mengetahui manfa’at dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-
sabāb
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kaidah berarti: aturan yang
sudah pasti.1 Sedang menurut kamus al-Munawir kaidah (‫ )قاعدة‬berarti: prinsip, asas
dan dasar.2

Dalam pengertian istilah, terdapat beberapa penjelasan. Sayarif al-Jurjanjy


(1339-1314) dalam bukunya “al-Ta’rīfat” menuliskan bahwa: kaidah adalah ‫قضية كلية‬
‫ منطبقة على جميع جزئيتها‬Rumusan yang bersifat kully (umum) mencakup semua bagian-
bagiannya.

Khalid bin Usman al-Sabt, salah seorang ulama’ konteporer dalam bukunya
“Qowāid al-Tafsīr jam’ wa al-Dirāsat” mendefinisikan kaidah sebagai ‫حكم كلي يتعرف بها‬
‫ على احكام جزئية‬yakni “ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan
menyangkut rincian.”3

Sedangkan definisi tafsir dapat dipahamai dari Salah satu difinisi yang singkat
tapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai
dengan kemampuan manusia. Tafsir/penjelasan itu lahir dari upaya sang penafsir
untuk beristinbath/ menarik –sesuai kemampuan dan kecenderungannya– makna-
makna yang ditemukannya pada teks ayat-ayat Al-Qur’an.

B. Sejarah Singkat Kaidah-Kaidah Tafsir dan Ragam Kaidah Tafsir


Para pakar Al-Qur’an sejak dahulu memberi perhatian menyangkut apa yang
kemudian dinamai Kaidah-kaidah Tafsir, bahkan lahirnya aneka disiplin ilmu agama
pada hakikatnya dipicu oleh dorongan memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam penulisan kitab-kitab Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, sementara
ulama masa lampau menguraikan kaidah-kaidah tafsir. Antara lain Badruddîn
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya “Al-
Burhân Fî ‘Ulûm al-Qur’an”, Jalâluddin Abdurrahman as-Sayuthy (w. 911 H /11505
M) dalam al-Itqân.
Namun demikian, penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru
dikenal jauh setelah generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah
seorang perintis penulisan kaidah tafsir secara berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku

1
https://kbbi.web.id/kaidah
2
Ahmad Warson Munawwir al-Munawwir kamus Arab Indonesia. (Surabaya: pustaka progressif, 1997) hlm,
1138
3
Quraish shihab. Kaidah tafsir (Tanggerang, Lentera Hati, 3013) hlm: 6.
yang bernama “Muqaddimah Ushûl al-Tafsîr”. Di sana Ibnu Taimiyah
mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat
perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik, persoalan
Sebab Nuzûl, Israiliyât dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyah menyusul Muhammad
Bin Sulaiman al-Kâfîjiy (w. 879 H) yang menulis “al-Taisîr Fi Qawa’id ‘Ilm al-
Tafsir”.
Penulisan kaidah-kaidah Tafsir secara berdiri sendiri, seakan-akan sejak itu
mandek dan baru mulai segar kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru
dalam bidang ini antara lain “Ushŭl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhu” karya Syekh Khalid
Abdurrahman al-‘Ak, “Qawâ’id al-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn” karya Husain bin Ali
bin al-Husain al-Harby, “Qawâ’id al-Tafsir jam’(an) wa Dirâsat(an)” karya Khalid
bin Usman as-Sabt. Buku “al-Qawâ’id al-Hisân Li Tafsîr Al-Qur’an karya Syekh
Abdurrahman al-Sa’dy merupakan juga salah satu kitab yang cukup baik dalam
bidang ini. Kitab ini memaparkan tujuh puluh masalah yang dinamainya kaidah.

Ragam-Ragam Kaidah
Kaidah-kaidah Tafsir, pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian pokok.
Pertama bersumber dari displin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul
Fiqh. Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud dapat diterapkan juga
dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-
fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-
makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala
kini/mendatang (mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara
kalimat yang berbentuk verbal sentence dengan nominal sentence. Seorang penafsir
mestinya dapat menghayati –misalnya— mengapa Nabi Ibrahim as. menjawab para
malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap “salamă” lalu beliau
menjawabanya dengan “salămun” (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan
yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk kata salama, dan salămun yakni
yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an) beerbentuk
Jumlah Fi’liyah sehingga ia dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam
(Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang ucapan Nabi
Ibrahim as. berbentuk Jumlah Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan
mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan
damai dengan yang lebih baik.
Kalimat ambigu/ bertimbal misalnya ditetapkan oleh kaidah Tafsir bahwa
kedua maknanya dapat digunakan bila memungkinkan untuk ditampung. Kata ‫ضا َّر‬ َ ُ‫ي‬
dalam firman Allah ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد‬
َ ُ ‫ي‬ ‫اَل‬‫و‬َ ( QS. al-Baqarah [2]: 282 , asalnya dapat
merupakan Yudhârir/memberi mudharrat, sehingga kata-kata Kâtib dan Syahid
berkedudukan sebagai pelaku dan dengan demikian ayat ini berpesan kepada penulis
utang piutang dan saksi agar tidak memberi mudharat kepada salah seorang yang
bertransaksi. Di sisi lain, kalau kata yudhârra asalnya adalah yudhârar, maka ia
berbentuk passif voice (mabny li al-majhûl) dan dengan demikian, penggalan ayat ini
berpesan kepada siapa pun yang bertransaksi agar tidak merugikan/ mengakibatkan
mudharrat bagi penulis/notaris maupun saksi. Kedua makna di atas dapat digabung
sehingga berdasar kaidah tersebut ayat di atas dapat difahami dengan kedua
pemahaman itu.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir. Misalnya
“Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang
mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan
dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks
keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu
sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
Kedua: Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah
masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari pengamatan terhadap
kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya
mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian
juga menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian – misalnya kapan uraian
Asbab an-Nuzûl didahulukan atas uraian tentang Hubungan ayat dan kapan
sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah
maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam al-Qur’an ada kata atau
huruf yang tidak bermakna (zâidah) dan lain-lain.
Ketiga: Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan
terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin
ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak. Ambillah sebagai contoh
penggunaan bentuk kata Mudhări’ (Kala kini) untuk suatu peristiwa yang lalu. Ini bila
digunakan al-Qur’an, maka ia mengisyaratkan keindahan atau keburukan peristiwa
itu. Firman Allah yang menyinggung pembunuhan orang-orang Yahudi terhadap nabi-
nabi dilukiskan al-Qur’an dengan kata ‫ يقتلون األنبياء‬Yaqtuluna al-Anbiya’ yakni dalam
bentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal pembunuhan itu telah berlalu sekian
lama. Sebaliknya firman Allah melukiskan pembaiatan sahabat-sahabat dilukiskan
oleh QS. al-Fath [48]: 10 dalam bentuk kata kerja masa kini, padahal ayat tersebut
turun setelah pembaiatan itu. Ini guna mengisyaratkan betapa indah pemabaiatan itu.
Sebaliknya bila bentuk Mădhy (Kala lampau) digunakan untuk peristiwa
yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk menunjukkan kepastian terjadinya
peristiwa itu. Firman Allah dalam QS. an-Nahl [16]: 1 yang melukiskan kepastian
datangnya hari Kiamat menggunakan bentuk kata masa lampau ‫أتى امر هللا فال تستعجلوه‬
/Telah datang ketetapan Allah (Kiamat) maka janganlah meminta disegerakan
kedatangannya . Maksudnya Kiamat pasti datang.
Demikian juga kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga
dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman
Allah َ‫ إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an,
dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah Pemelihara(nya). (QS. al-Hijr [15]: 9).
Ini karena yang membawa “turun” al-Qur’an adalah malaikat Jibril as. atas perintah
Allah dan yang mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam.
Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, maka itu antara lain
mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di dalamnya,
seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61 ‫ص َراطٌ ُم ْستَقِي ٌم‬
ِ ‫ َوأَ ِن ا ْعبُدُونِي هَ َذا‬dan
hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian
sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya ‫َذرْ نِي‬
ُ ‫ َو َم ْن َخلَ ْق‬Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku telah
‫ت َو ِحيدًا‬
menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).
Demikian sekelumit pengantar. Sekali lagi ditegaskan bahwa kaidah-kaidah
Tafsir adalah patokan umum bagi para pengkaji al-Qur’an untuk memahami pesan-
pesan Kitab Suci itu dan yang dapat membantunya memahami al-Qur’an dalam waktu
yang tidak terlalu lama.

C. Pengertian Kaidah Al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-sabāb


Menurut Istilah Al –Ibratu Bi umumi Lafdzi la Bikhususi Sabab ‫العبرة بعموم‬
‫ اللفظ البخصوص السبب‬merupakan kaedah tafsir yang digunakan dalam konteks
pemahaman mengenai ayat-ayat dikenal luas kaidah yang maksudnya adalah
patokan dalam memahami makna ayat ialah Lafazhnya yang bersifat umum, bukan
sebabnya.
Kaedah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, tetapi
berlaku terhadap siapapun itu selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum.
Untuk itu perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan Khususu as-Sabab
adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya bersifat umum
harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas dari peritiwanya.
Menurut M. Baqir Hakim dalam kitabnya “Ulūm al-Qur’ān” menjelaskan: jika
ada ayat yang turun sebab yang khusus, sedangkan lafadz yang terdapat dalam ayat
tersebut bersifat umum, maka hukum yang diambil adalah mengacu kepada
keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab. Atau dengan kata laian bahwa al-
Qur’ān yang menjadi acuan hukum bukanlah mengacu pada kekhususan sebab atau
kejadian yang menyebabkan ayat al-Qur’ān turun (asbāb al-nuzūl), tetapi mengacu
pada keumuman lafadz ayat tersebut. Hal ini disebabkan karena kejadian yang
menjadi penyebab diturunkannya ayat al-Qur’ān hanyalah sekedar isyarat (petunjuk)
saja bukan sebuah kehususan.4
Sudah menjadi suatu tradisi dalam al-Qur’ān dimana hukum-hukum, ajaran,
dan nasehat yang terdapat di dalamnya turun akibat adanya kejadian-kejadian dan
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan umat manusia, yang peristiwa itu menuntut
adanya hukum dan intruksi dari Allāh. Hal itu agar penjelasan al-Qur’ān memberikan
pengaruh dan bekas yang baik bagi kaum muslim. Meski hakikatnya isi kandungan
ayat tersebut sebenarnya bersifat umum bagi siapa saja, bukan terpaku kepada Asbāb
al-Nuzūl.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami jika terdapat ayat turun karena sebab
yang khusus, sedangkan lafat yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat umum, maka
hukum yang diambil adalah mengacu pada keumuman lafat bukan pada kekhususan
4
Muhammad Baqir Hakim, ulum al-qur’an. diterjemah oleh Nasrul Haq, Abd Ghofur, Salman Fadullah.
(Majma’ al-Fikr al-Islam, qum Iran. cetakan ketiga: 1427 H.) hlm 45.
sebab. Atau dengan kata lain bahwa dalil al-Qur’an yang menjadi acuan hukum
adalah bukan mengacu pada kekhususan sebab atau kejadian yang menjadi penyebab
diturunkannya ayat itu tetapi mengacu pada keumuman lafazh ayat tersebut. Hal itu
disebabkan karena kejadian yang menjadi penyebab diturunkannya ayat itu hanyalah
sekedar isyarat (petujuk) saja bukan sebuah kekhususan.
Adapun contoh dari kaedah diatas diantaranya: ayat tentang saling mengutuk
(li’an) yang menjadi acuan hukum syar’i yang bersifat umum bagi setiap suami yang
menuduh istrinya telah berkhianat meskipun sebanarnya ayat tersebut turun untuk
menjelaskan kejadian yang khusus yaitu kejadian Hilal Bin Umayyah.[4] (QS.An-
Nur: 5-6)
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk
orang-orang yang benar.
Maksud dari wanita-wanita yang baik-baik adalah wanita-wanita yang Suci,
akil balig dan muslimah.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Abbas r adliyallaahu ‘anhuma :
: ‫أن هالل بن أمية قذف امرأته عند النبي صلى هللا عليه وسلم بشريك بن سحماء فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
، ‫ فنزل جبريل‬، ‫ والذي بعثك بالحق إني لصادق فلينزلن هللا ما يبرء ظهري من الحد‬:‫ فقال هالل‬، ‫البينة أو حد في ظهرك‬
)9:‫ اآلية‬:‫) فقرأ حتى بلغ (إِ ْن َكانَ ِمنَ الصَّا ِدقِينَ ) (النور‬6:‫ ( َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ أَ ْز َوا َجهُ ْم) (النوراآلية‬: ‫وأنزل عليه‬
“Bahwasannya Hilal bin ‘Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik
bin Sahmaa’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ‘Al-Bayyinah
(hendaklah kamu mendatangkan bukti) atau kamu akan dirajam’. Maka Hilal berkata :
‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku benar. Semoga Allah
menurunkan ayat yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman (hadd)’.
Kemudian Jibril turun dan membawa wahyu kepada beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam : ”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam membaca hingga sampai kepada ayat : ”Jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2671].
Jadi, ayat ini turun dengan sebab tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
Akan tetapi kandungan hukumnya berlaku umum, baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits
Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu bahwa ‘Uwaimir Al-‘Ajlaani datang kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia berkata : “Wahai Rasulullah, seorang
laki-laki mendapati istrinya bersama laki-laki lain. Apakah dia membunuhnya (laki-
laki yang bersama istrinya tersebut) maka kalian semua akan membunuhnya, atau apa
yang harus dia lakukan?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Allah telah
menurunkan Al-Qur’an tentangmu dan tentang istrimu”. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan atas keduanya dengan mula’anah
(melaknat) sesuai dengan apa yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya. Maka dia me-
li’an istrinya (Al-Hadits).[5]
Oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan hukum dalam
ayat-ayat ini mencakup masalah Hilal bin ‘Umayyah dan juga bagi yang lainnya.
Sebagai contoh juga riwayat yang menyatakan bahwa firman Allah dalm QS.
al-Ma’idah [5]: 33;Artinya:
Tidak lain balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta
melakukan perusakan di bumi, kculai mereka dibunuh tanpa ampun, atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka bersilang. atau diasingkan dari bumi (temap
tinggalnya).
Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
hukuman diterapkan oleh beberapa Sahabat Nabi Saw. dalam kasus suku al-
Urainiyin. Imam bukhari meriwayatkan bahwa seeklompok suku ‘Ukal dan Urainah
datang menemui Nabi Saw. setelah menyatak keisalmanan mereka. Mereka mengadu
tentang kesulitannya dalam kehidupan. Maka beliau memberi mereka unta agar
mereka manfaatkan. dan Ternyata di tengah jalan mereka membunuh pengembala
unta itu, bahkan mereka murtad. Setelah mendengar Rasulullah pun mengutus
pasukan berkuda yang berhasil menangkap sebelum tiba di perkampungan mereka.
Pasukan itu memotong tangan dan kaki mereka serta mencungkil mata dengan besi
yang dipanaskan, hingga mereka meninggal.
Jika kita memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan
perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Sabab an-Nuzul, maka
banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi tersebut, Nah apakah
kaedah diatas mencakup semuanya ? Jawabannya: Tidak! Keumuman lafazh itu
terikat dengan bentuk peristiwa yang menjadi Sabab an-Nuzul sehingga ayat ini hanya
berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang
disebut oleh sebab di atas, yang sekelompok orang dari dua suku Serta semua yang
melakukan apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku itu (perampokan).
Sementara ulama masa lampau tidak menerima kaedah tersebut. Dengan
menyatakan bahwa:
‫العبرة بخصوص السبب البعموم اللفظ‬
Pemahaman ayat adalah berdasar pada ” sebabnya” bukan redaksinya bersifat
umum. Jadi, menurut mereka ayat di atas hanya berlaku pada kedua suku ‘Ukail dan
Urainah.
Para ulama membahas maksud kata yang bersifat umum, dalam ayat ‫ه‬tu
adalah kalimat (yuharibuna Allah wa Rasulahu) memerangi Allah dan Rasul-Nya).
Adapun Imam Malik memahami ayat diatas dalam arti “ mengangkat senjata untuk
merampas harta orang lain yang pada dasarnya tidak ada permusuhan antara yang
merampas dan yang dirampas hartanya,” sebagaimana kasus di atas, baik perampasan
tersebut terjadi di dalam kota maupun di tempat terpencil. Dengan demikian Imam
malik tidak sepenuhnya mempertimbangkan tempat dan situasinya. ini berbeda
dengan Imam Abu Hanifah yang menilai bahwa perampasan tersebut terjadi di tempat
terpencil, seperti halnya kasus turunnya ayat ini, sehingga jika terjadi di kota atau
tempat keramaian, maka ia tidak termasuk dalam kategori.
Kekuatan kaedah pertama karena:
1. Jumhur ulama berpendapat: bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang
umum dan bukan sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil
adalah umum berlaku pada semua orang.Misalnya : ayat Li’an (prosesi
sumpah antara suami istri untuk menolak dari tuduhan zina) yang turun
mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya:
2. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan
keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang
ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan
hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan
sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin
Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu
berbeda- beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan
untuk sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Pengertian Kaidah Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kaidah
berarti: aturan yang sudah pasti
 Pengertian Kaidah Menurut kamus al-Munawir kaidah (‫ )قاعدة‬berarti: prinsip,
asas dan dasar.
 Dalam penulisan kitab-kitab Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, sementara
ulama masa lampau menguraikan kaidah-kaidah tafsir. Antara lain Badruddîn
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya
“Al-Burhân Fî ‘Ulûm al-Qur’an”, Jalâluddin Abdurrahman as-Sayuthy (w.
911 H /11505 M) dalam al-Itqân.
 penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah
generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal
dengan nama Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah
seorang perintis penulisan kaidah tafsir secara berdiri sendiri.
 Tokoh ini menulis buku yang bernama “Muqaddimah Ushûl al-Tafsîr”. Di
sana Ibnu Taimiyah mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai
sebagai kaidah seperti: Sifat perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara
penafsiran yang terbaik, persoalan Sebab Nuzûl, Israiliyât dan sebagainya
 Pengertian Menurut Istilah Al –Ibratu Bi umumi Lafdzi la Bikhususi Sabab
merupakan kaedah tafsir yang digunakan dalam konteks pemahaman
mengenai ayat-ayat dikenal luas kaidah yang maksudnya adalah patokan
dalam memahami makna ayat ialah Lafazhnya yang bersifat umum, bukan
sebabnya.
 Menurut M. Baqir Hakim dalam kitabnya “Ulūm al-Qur’ān” menjelaskan: jika
ada ayat yang turun sebab yang khusus, sedangkan lafadz yang terdapat dalam
ayat tersebut bersifat umum, maka hukum yang diambil adalah mengacu
kepada keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarkasyi, Badr Ad-Din Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi-Ulum Al-Quran. (Kairo :
Darul Hadits, 2006, Tt).
Hakim, M. Baqir, Ulumul Qur’an. (Jakarta: Al-Huda, 2006).
Shihab, Quraish, Artikel kaidah tafsir 1. Web Pusat Studi Al-Qur’an
Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir. (Tanggerang: Lentera Hati, 2013).

Anda mungkin juga menyukai