Kelompok 2 :
A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab yang selalu menjadi rujukan umat islam tidak bisa
diartikan dan dipahami secara sembarangan. Bisa jadi orang yang telah pandai berbahasa
arab, mengerti artinya serta qawaid bahasa, bisa dengan mudah menganggap dirinya
layak untuk menjadi mufassir atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Kemukjizatan al-
Qur’an dari segi bahasa membuat atau menuntut orang yang akan menafsirkannya untuk
mengerti secara benar cara mengungkap makna yang terkandung di dalamnya.Salah satu
kaidah-kaidah untuk memahami ayat dalam al-Qur’ān adalah kaidah yang berhubungan
dengan asbabun nuzul, karena tidaklah mungkin ayat al-Qur’ān bisa dipahami tanpa
adanya pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl ayat.
Di dalam beberapa ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, memang Allah SWT telah
bersumpah “mempermudah al-Qur’an untuk menjadi pelajaran” (QS. Al-Qamar: 17).
Akan tetapi redaksi tersebut tidak dapat secara sepihak dipahami atau dijadikan dasar
menafsirkan al-Qur’an dengan mudah dan dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hal
tersebut senada dengan firman-Nya di ayat yang lain (QS. Ali-imran: 7) yang
mengingatkan siapa saja yang ingin menafsirkan al-Quran supaya berhati-hati dan
mempersiapkan diri, karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang muhkam dan juga
terdapat ayat yang mutasyabihat yang di dalam al-Qur’an hal tersebut tidak dijelaskan.
Sehingga memerlukan alat bantu untuk memahami semua itu.
Di dalam makalah ini, penulis ingin sekedar mengajak untuk membahas hal-hal
yang termasuk alat bantu dalam memahami teks al-Qur’an yang kaya akan makna di
dalamnya. Salah satunya dengan memahami kaidah-kaidah yang telah dirumuskan para
ulama kebanyakan, terkait permasalahan tafsir.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari kaidah ?
2. Sejarah singkat kaidah-kaidah tafsir dan ragam kaidah tafsir
3. Pengertian dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-sabāb ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari kaidah
2. Mengetahui pengertian dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-
sabāb
3. Mengetahui penerapan kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-sabāb
4. Mengetahui manfa’at dari kaidah al-ibrāh bi umūmi al-lafdzī lā bi khusuūs al-
sabāb
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kaidah berarti: aturan yang
sudah pasti.1 Sedang menurut kamus al-Munawir kaidah ( )قاعدةberarti: prinsip, asas
dan dasar.2
Khalid bin Usman al-Sabt, salah seorang ulama’ konteporer dalam bukunya
“Qowāid al-Tafsīr jam’ wa al-Dirāsat” mendefinisikan kaidah sebagai حكم كلي يتعرف بها
على احكام جزئيةyakni “ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan
menyangkut rincian.”3
Sedangkan definisi tafsir dapat dipahamai dari Salah satu difinisi yang singkat
tapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai
dengan kemampuan manusia. Tafsir/penjelasan itu lahir dari upaya sang penafsir
untuk beristinbath/ menarik –sesuai kemampuan dan kecenderungannya– makna-
makna yang ditemukannya pada teks ayat-ayat Al-Qur’an.
1
https://kbbi.web.id/kaidah
2
Ahmad Warson Munawwir al-Munawwir kamus Arab Indonesia. (Surabaya: pustaka progressif, 1997) hlm,
1138
3
Quraish shihab. Kaidah tafsir (Tanggerang, Lentera Hati, 3013) hlm: 6.
yang bernama “Muqaddimah Ushûl al-Tafsîr”. Di sana Ibnu Taimiyah
mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat
perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik, persoalan
Sebab Nuzûl, Israiliyât dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyah menyusul Muhammad
Bin Sulaiman al-Kâfîjiy (w. 879 H) yang menulis “al-Taisîr Fi Qawa’id ‘Ilm al-
Tafsir”.
Penulisan kaidah-kaidah Tafsir secara berdiri sendiri, seakan-akan sejak itu
mandek dan baru mulai segar kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru
dalam bidang ini antara lain “Ushŭl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhu” karya Syekh Khalid
Abdurrahman al-‘Ak, “Qawâ’id al-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn” karya Husain bin Ali
bin al-Husain al-Harby, “Qawâ’id al-Tafsir jam’(an) wa Dirâsat(an)” karya Khalid
bin Usman as-Sabt. Buku “al-Qawâ’id al-Hisân Li Tafsîr Al-Qur’an karya Syekh
Abdurrahman al-Sa’dy merupakan juga salah satu kitab yang cukup baik dalam
bidang ini. Kitab ini memaparkan tujuh puluh masalah yang dinamainya kaidah.
Ragam-Ragam Kaidah
Kaidah-kaidah Tafsir, pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian pokok.
Pertama bersumber dari displin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul
Fiqh. Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud dapat diterapkan juga
dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-
fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-
makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala
kini/mendatang (mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara
kalimat yang berbentuk verbal sentence dengan nominal sentence. Seorang penafsir
mestinya dapat menghayati –misalnya— mengapa Nabi Ibrahim as. menjawab para
malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap “salamă” lalu beliau
menjawabanya dengan “salămun” (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan
yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk kata salama, dan salămun yakni
yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an) beerbentuk
Jumlah Fi’liyah sehingga ia dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam
(Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang ucapan Nabi
Ibrahim as. berbentuk Jumlah Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan
mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan
damai dengan yang lebih baik.
Kalimat ambigu/ bertimbal misalnya ditetapkan oleh kaidah Tafsir bahwa
kedua maknanya dapat digunakan bila memungkinkan untuk ditampung. Kata ضا َّر َ ُي
dalam firman Allah ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد
َ ُ ي اَلوَ ( QS. al-Baqarah [2]: 282 , asalnya dapat
merupakan Yudhârir/memberi mudharrat, sehingga kata-kata Kâtib dan Syahid
berkedudukan sebagai pelaku dan dengan demikian ayat ini berpesan kepada penulis
utang piutang dan saksi agar tidak memberi mudharat kepada salah seorang yang
bertransaksi. Di sisi lain, kalau kata yudhârra asalnya adalah yudhârar, maka ia
berbentuk passif voice (mabny li al-majhûl) dan dengan demikian, penggalan ayat ini
berpesan kepada siapa pun yang bertransaksi agar tidak merugikan/ mengakibatkan
mudharrat bagi penulis/notaris maupun saksi. Kedua makna di atas dapat digabung
sehingga berdasar kaidah tersebut ayat di atas dapat difahami dengan kedua
pemahaman itu.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir. Misalnya
“Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang
mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan
dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks
keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu
sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
Kedua: Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah
masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari pengamatan terhadap
kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya
mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian
juga menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian – misalnya kapan uraian
Asbab an-Nuzûl didahulukan atas uraian tentang Hubungan ayat dan kapan
sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah
maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam al-Qur’an ada kata atau
huruf yang tidak bermakna (zâidah) dan lain-lain.
Ketiga: Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan
terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin
ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak. Ambillah sebagai contoh
penggunaan bentuk kata Mudhări’ (Kala kini) untuk suatu peristiwa yang lalu. Ini bila
digunakan al-Qur’an, maka ia mengisyaratkan keindahan atau keburukan peristiwa
itu. Firman Allah yang menyinggung pembunuhan orang-orang Yahudi terhadap nabi-
nabi dilukiskan al-Qur’an dengan kata يقتلون األنبياءYaqtuluna al-Anbiya’ yakni dalam
bentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal pembunuhan itu telah berlalu sekian
lama. Sebaliknya firman Allah melukiskan pembaiatan sahabat-sahabat dilukiskan
oleh QS. al-Fath [48]: 10 dalam bentuk kata kerja masa kini, padahal ayat tersebut
turun setelah pembaiatan itu. Ini guna mengisyaratkan betapa indah pemabaiatan itu.
Sebaliknya bila bentuk Mădhy (Kala lampau) digunakan untuk peristiwa
yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk menunjukkan kepastian terjadinya
peristiwa itu. Firman Allah dalam QS. an-Nahl [16]: 1 yang melukiskan kepastian
datangnya hari Kiamat menggunakan bentuk kata masa lampau أتى امر هللا فال تستعجلوه
/Telah datang ketetapan Allah (Kiamat) maka janganlah meminta disegerakan
kedatangannya . Maksudnya Kiamat pasti datang.
Demikian juga kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga
dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman
Allah َ إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُونSesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an,
dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah Pemelihara(nya). (QS. al-Hijr [15]: 9).
Ini karena yang membawa “turun” al-Qur’an adalah malaikat Jibril as. atas perintah
Allah dan yang mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam.
Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, maka itu antara lain
mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di dalamnya,
seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61 ص َراطٌ ُم ْستَقِي ٌم
ِ َوأَ ِن ا ْعبُدُونِي هَ َذاdan
hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian
sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya َذرْ نِي
ُ َو َم ْن َخلَ ْقBiarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku telah
ت َو ِحيدًا
menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).
Demikian sekelumit pengantar. Sekali lagi ditegaskan bahwa kaidah-kaidah
Tafsir adalah patokan umum bagi para pengkaji al-Qur’an untuk memahami pesan-
pesan Kitab Suci itu dan yang dapat membantunya memahami al-Qur’an dalam waktu
yang tidak terlalu lama.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarkasyi, Badr Ad-Din Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi-Ulum Al-Quran. (Kairo :
Darul Hadits, 2006, Tt).
Hakim, M. Baqir, Ulumul Qur’an. (Jakarta: Al-Huda, 2006).
Shihab, Quraish, Artikel kaidah tafsir 1. Web Pusat Studi Al-Qur’an
Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir. (Tanggerang: Lentera Hati, 2013).