Anda di halaman 1dari 11

Ekspresi Kaidah Ushul Qawa’id at-Tafsir; Jam’an wa Dirasatan

Karya Khalid bin Ustman as-Sabt


Oleh:
Agus Lupi (19010908))
Zulfatun Ni’mah (19010944)
M. Ma’rifatul Ihsan (19010925)
Program Studi Ilmu Al-Qur‟an & Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
Memahami al-Qur‟an tidak cukup hanya menggunakan pendekatan bahasa, karena
terkait dengan pesan-pesan firman Allah SWT, seorang mufassir perlu mempersiapakn diri
dan harus benar-benar menguasai setidaknya dengan beragam ilmu pengetahuan yang
rinciannya telah dikemukakan oleh ahli tafsir dengan segala macam perbedaannya, Jalal al
Din al-Suyuthi (w.911 H/1505 M), Yang perlu menjadi garis besar dalam menjadi mufassir
dan mempertahankan tafsir yang berkualitas ialah keharusan mufassir untuk mengacu pada
kaidah-kaidah penafsiran yang ada dan baku, yakni merujuk kepada al-Qur‟an itu sendiri,
Hadist Nabi Muhammad SAW, dan memperhatikan pendapat para sahabat Nabi. Terkait
dalam menafsirkan isi ayat al-Qur‟an yang beragam sehingga dalam menafsirkan perlu
dilakukan secara bersama-sama, agar pemahamannya menjadi menyeluruh, karena tidak
mungkin satu orang menguasa semua ilmu yang ada yang menjadi syarat mufassir,
sehingga al-Qur‟an akan lebih baik jika ditafsirkan secara bersam-sama gabungan ahli
tafsir, ahli fiqih, ahli teologi, ahli ushul, dan ahli ilmu pengetahuan sesuai ayat yang
berhubungan dengannya. Kaidah-kaidah penafsiran al-Qur‟an secara umum dan baku
sesuai dengan pedoman kaidah tafsir yang sudah dirumuskan, yang mengatur tata cara
yang harus diketahui oleh mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh
karenanya, dalam hal ini khususnya tentang bagaimana gambaran melalui pendekatan
kaidah ushul yang terkait dalam kitab Qawa‟id at-Tafsir Jam‟an wa Dirasatan karya
Khalid bin Ustman as-Sabt.1

1
. Nama lengkapnya Khalid Utsman bin Ali As-Sabt. Lahir pada tahun 1384 H di Kota Dammam.
Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Imam Muhammad bin Su‟ud (1405 H), S2 Bidang Ulumul
Quran dan Tafsir di Universitas Islam Madinah dan S3 Bidang Tafsir dan Ulumul Quran di Universitas yang
sama pada tahun 1426 H. Beliau dikenal sebagai pakar kaidah tafsir lewat karya monumentalnya Qawâ‟id
Tafsȋr, Jam‟ wa Dirâsat yang telah tersebar di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Khalid Usman As-

1
Pembahasan

A. Pengertian Kaidah Tafsir

Tafsir secara etimologi bermakna; menyingkap/membuka dan penjelasan


mengeluarkan sesuatu dari tempat tersebunyi/samar ke tempat yang jelas/terang. 2 Definisi
tersebut menegaskan bahwa kaidah mencakup semua bagian-bagiannya. Maka kaidah
tafsir didefinisikan sebagai “Ketentuan umum yang membantu seorang penafsir untuk
menarik makna atau pesan-pesan al-Qur‟an”.3
Kaidah Tafsir secara istilah di definisikan oleh Khalid bin Utsman bin as-Sabt,
seorang ulama kontemporer. Dalam bukunya Qawaid at-tafsir Jam‟an wa Dirasan, Kaidah
tafsir adalah, ketentuan Umum yang dengannya diketahui panggilan makna Al-Qur‟an dan
cara penggunaannya. Jadi kaidah secara istilah ialah rumusan yang bersifat kully (umum)
mencakup semua bagian-bagiannya. Sedangkan kaidah tafsir secara istilah ialah ketentuan
umum yang dengannya diketahui panggilan makna Al-Qur‟an dan cara penggunaannya.
Ushul tafsir dan kaidahnya dengan tafsir inarat ilmu nahwu mencegah penggunaanya dari
kesalahan di dalam pengucapan dan tulisan Arab, kaidah dan ushul tafsir mencegah dari
penggunaanya dari kesalahan dalam memahami kitab Allah. Begitupun Ushul fiqh dengan
fiqh dan lainnya.4
Objek pembahasan kaidah tafsir adalah al-Qur‟an, tujuannya adalah untuk
memahami makna Al-Qur‟an yang dengannya akan selamat dunia dan akhirat. Manfaatnya
supaya menggali makna al-Qur‟an dan memahaminya dengan benar. Ada beberapa macam
kaidah tafsir,
a. Kaidah umum yang digunakan untuk memahami al-Qur‟an, misal sesuatu yang
mufrod dimufrodkan maka berfaidah umum. Misal, maksudnya segala nikmat
Tuhanmu.
b. Kaidah yang digunakan untuk mentarjih pendapat, yaitu untuk mengetahui
penafsiran yang lebih kuat.
Dalam sejarah perkembanganya, pada abad ke tiga dan ke empat kodifikasi kaidah
tafsir dari kitab tafsir dan ushul, muncul kitab Ta‟wil Musykil Al-Qur‟an karya Ibnu

Sabt dikenal sebagai pakar kaidah Tafsir melalui karya monumentalnya Qawâ‟id al-Tafsȋr, Jam‟an wa
Dirasatan. Kitab ini dijadikan sebagai muqarrar (kitab ajar) di beberapa kampus-kampus al-Quran di Saudi
Arabia, Indonesia dan negara-negara lainnya.
2
Khalid ibn „Usman al-Sabt, Qawa‟id al-Tafsir; Jam‟an wa Dirasatan, Jilid II (Cet. I; Madinah:
Dar Ibn „Affan, 1421H), hlm.25.
3
Ibid.., hlm: 30.
4
Ibid.., hlm: 30.

2
Qutaibiyah, Jami‟ al Bayan karya Imam at-Thabari, Ahkam al-Qur‟an karya al-Thahawi
dan juga al-Jashah. Al-shahibiy karya Ibnu Farish. Pada abad ke tujuh muncul karangan
dalam bidang tafsir dan ushul seperti al-ihkam karya Ibnu Hazm, Muharrar Wajiz karya
Ibnu „Athiyah, Al-Burhan karya Juwaini, Al-Musytasyfa karya al-Ghazali. Pada abad ke
tujuh dan ke delapan muncul karya Ibnu Taimiyah dan muridnya al-Jauzi, Bahr al-muhith
karya Abu Hayyan, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir.5
Kemudian, memahami kaidah tafsir ini dapat dilalui dengan sebuah pendekatan
kaidah Ushul. Pendekatan dengan menggunakan Kaidah ushul ini merupakan suatu cara
untuk memahami suatu masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini
akan memungkinkan kita mengetahui makna al-Qur‟an. Pendekatan terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an dengan menggunakan kaidah ushul, biasanya digunakan pada ayat-ayat yang
diturunkan oleh Allah di Madinah, di mana isinya menyangkut syariah Islam dengan
macam-macam cabangnya. Pendekatan kaidah ushul dalam memahami masalah yang
berkaitan dengan perintah, baik sunat maupun wajib, kadang-kadang dapat dilihat dari
sejauhmana urgensinya dalam kehidupan, khususnya yang menyangkut masalah ibadah.

B. Pendekatan kaidah al-‘Amm dan al-Khash

Seseorang yang ingin memahami bahasa al-Qur‟an dan menafsirkannya secara


utuh, maka di antara syarat yang harus dimiliki adalah kemampuan dalam menguasai dan
memahami kaidah-kaidah tafsir dalam pendekatan Ushul dan salah satu kaidah-kaidah
tersebut adalah tentang al-„Amm dan al-Khash.
1. Al-„Amm
Al-‟Amm secara bahasa berarti al-Syamil (general, komprehensif). Dan secara
istilah berarti “suatu lafadz yang pengertiannya meliputi seluruh yang diperkirakan
termasuk kedalamnya, tanpa batas”. 6Al-„amm adalah “lafadz-lafadz yang menunjukkan
tercakup dan termasuk di dalamnya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu
dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut” (Khalaf, 1997:
319).
a. Kaidah 1
‫ ٔكم نفع َكشح فى انُفى أ انُٓى أ انششط‬,‫ االنف بظ يعبسف َٔكشارز فكم اسى يعشفخ ري افشاد ٌفٍذ انعًٕو‬:‫لبعذح‬
‫أ االسزفٓبو أ االيزُبٌ فبَّ ٌفٍذ انعًٕو سٕاء كبٌ اسًب أ فعال‬

5
Ibid, hlm: 42.
6
Ibid, hlm: 547.

3
“Lafaz itu terdiri dari makrifah dan nakirah. Maka setiap isim makrifah yang memiliki
afrad (bagian-bagian) menunjukkan makna umum, dan setiap lafaz nakirah, nafi, nahi,
syarat, istifham atau matan sejenisnya menunjukkan makna umum baik ia dalam bentuk
isim ataupun fi‟il”.7
Kaidah ini amat luas cakupannya. Kaidah ini juga meliputi beberapa kaidah lainnya,
yaitu:8
1) Setiap isim ma‟rifah yang memiliki afrad (unit-unit/bagian-bagian
menunjukkan makna umum.
2) “Isim jama‟ bersifat mutlak, baik ia dima‟rifahkan dengan alim lam ataupun
idhafah. Dengan syarat tidak terikat batasan”.
3) Isim mufrad yang berbentuk isim jenis, seringkali bersifat mutlak dan dimaknai
jama‟, baik ia nakirah ataupun dima‟rifahkan dengan alim lam atau pun idhafah
dengan syarat, ia tidak memiliki batasan.
4) Bila isim nakirah terletak setelah kalimat nafi, nahi, syarat, atau istifham
menunjukkan makna umum.
5) Lafaz nakirah dalam bentuk itsbat tidak berarti umum kecuali bila diidhafahkan
kepadanya kata Kullu.
6) Fi‟il yang terletak pada kalimat nafi dan yang semakna dengannya
menunjukkan makna umum.
7) Penegasian (nafi) terhadap persamaan menghendaki makna umum.

b. Kaidah 2
‫ لذ اسزمش فى عشف انشبسع اٌ االحكبو انًزكٕسح ثظغبح انًزكشىٍ ارا اطهمذ ٔنى رمزشٌ ثبنًؤَث فبَٓب‬:‫لبعذح‬
‫رزُبٔل انشجبل‬
“Ditetapkan oleh Syari‟ bahwa bila hukum diungkapkan secara mutlak dalam bentuk
muzakkar dan tidak dihubungkan dengan mu‟annats, maka hukum tersebut meliputi untuk
laki-laki dan perempuan”.9
Lafaz jama‟ terdiri dari muzakkar dan mu‟annats. Ditinjau dari segi dilalahnya terbagi
kepada empat, yaitu:

7
Ibid, hal: 548.
8
Ismardi, “Kaidah-kaidah tafsir berkaitan dengan kaidah Ushul menurut Khalid as-sabt”. Jurnal
Pemikiran Islam, vol. 39, No. 1, an-Nida 2014, hal: 60.
9
Khalid ibn „Usman al-Sabt, Qawa‟id al-Tafsir...Ibid, hal: 571.

4
1) Lafaz yang dilalah dikhususkan untuk masing-masing, seperti kata rijal untuk
muzakkar dan nisa‟ untuk mu‟annats. Tidak boleh memasukkan dilalah yang
satu kepada yang lain kecuali ada dalilnya.
2) Lafaz umum yang meliputi keduanya, tidak ada tanda kekhususannya, seperti
kata alnass, al-ins, dan al-basyar.
3) Lafaz yang menurut asalnya meliputi keduanya, dan tidak dikhususkan kepada
salah satunya kecuali ada penjelasan, seperti; ma dan man.
4) Lafaz yang menggunakan tanda ta‟nits pada mu‟annats, dan dihilangkan pada
muzakkar, seperti muslimin untuk muzakkar dan muslimat untuk mu‟annats.
Bagian inilah yang dimaksudkan oleh kaidah di atas.

c. Kaidah 3
ّ‫ انخطبة نٕاحذيٍ االيخ ٌعى اال نذنٍم ٌخظظّ ث‬:‫لبعذح‬
“Perintah bagi seseorang dari umat Islam berlaku umum terhadap yang lain, kecuali
ada dalil yang menyebutkannya berlaku khusus”.10
Maksudnya, Al-Syathibi menjelaskan, setiap dalil syar‟i dimungkinkan untuk diambil
secara keseluruhan, baik ia berbentuk kulli ataupun juz‟i, kecuali ada dalil yang
mengkhususkannya. Ini merupakan kaidah cabang dari keumuman syari‟at bagi seluruh
mukallaf, karena kesamaan mereka di hadapan hukum taklifi, kecuali ada dalil khusus
yang mesti dirujuknya.
d. Kaidah 4
‫ ارا عهك انشبسع حكًب عهى عهخ فبَّ ٌٕجذ حٍث ٔجذد‬:‫لبعذح‬
“Bila Syari‟ mengaitkan hukum kepada satu „illat, maka hukum itu berlaku ketika
ditemukan „illat tersebut.11
Maksudnya, Keumuman di sini tidaklah ditunjukkan oleh bahasa dan „urf, karena tidak
tertulis dengan bentuk kalimat umum, dan tidak ada mafhum (makna tersirat) yang
menunjukkannya. Demikian juga tidak dikenal sebagai hukum umum secara „urf. Hal ini
diketahui dengan akal. Hukum diturunkan beradasarkan „illat tertentu, sekalipun
keumuman „illat diketahui secara akal. Merupakan sesuatu yang syar‟i bila hukum tersebut
berlaku umum terhadap apa yang terdapat pada „illat yang kemudian dilakukan qiyas syar‟i
dengannya.

10
Ibid, hal: 573.
11
Ibid, hal: 577.

5
e. Kaidah 5
ٔ ‫ كًب اٌ انخطبثبد انًٕجٓخ انٍّ عهٍّ انظالح‬.‫ انخطبثبد انعبيخ فى انمشاٌ رشًم انُجً طهى هللا عهىّ ٔسهى‬:‫لبعذح‬
‫انسالو رشًم االيخ اال نذنٍم‬
“Perintah umum dalam al-Qur‟an berlaku termasuk terhadap Nabi SAW, sebagaimana
berintah yang ditujukan kepadanya juga berlaku bagi umat kecuali ada dalil lain”.12
Maksudnya, Nabi SAW merupakan subjek hukum taklifi, demikian juga dengan
umatnya secara umum. Al-Zuhri menjelaskan, bila Allah berfirman; “hai orang-orang
beriman, laksanakan..., maka Nabi SAW termasuk di dalamnya.
f. Kaidah 6
‫ ْم ٌجت‬,‫ ٔكبٌ رانك الٌزئبرى اال فً ثعض يب ٌزُبٔنّ انعًٕو‬,‫ انعًٕو ارا رعمجّ رفٍذ ثبسزثُبء أ طفخ اح حكى‬:‫لبعذح‬
‫اٌ ٌكٌٕ انًشاد ثزانك انعًٕو رانك "انجعض" أ اال؟‬
“Perintah umum yang diikuti taqyid (pembatasan) dengan pengecualian, sifat atau
satu hukum. Hal itu tidak berlaku kecuali terhadap sebagian orang yang dijelaskan oleh
ungkapan umum tersebut. Apakah maksud keumuman perintah berlaku khusus tersebut
wajib atau tidak ?” 13
Maksudnya, Bila sebuah perintah pada awalnya bersifat umum, kemudian di akhirnya
berubah kepada sifat khusus, seakan ia berbicara tentang sebagian afradnya, maka yang
lebih arjah (kuat) adalah bahwa hukum awal tetap pada keumumannya, dan kalimat
akhirnya menjadi bayan (penjelas) bagi sebagian hukum pertama.
g. Kaidah 7
ِ‫ فبٌ خظٕص أنّ ال ٌكٌٕ يبَعب يٍ عًٕو اخش‬,‫ ارا كبٌ أل انكالو خبطب ٔاخش ثظٍغخ انعًٕو‬:‫لبعذح‬
“Bila pada bagian pertama suatu ungkapan berbentuk khusus, dan diakhirnya
berbentuk umum, maka kekhususan tersebut tidak menjadi penghalang bagi keumuman di
akhirnya”14
h. Kaidah 8
‫ انعجشح ثعًٕو انهفع ثخظٕص انسجت‬:‫لبعذح‬
“Hukum ditetapkan berdasarkan keumuman ungkapan, bukan kekhususan
penyebabnya”15
Maksudnya, Kaidah di atas maksudnya adalah bahwa nash-nash umum yang
diturunkan karena sebab-sebab tertentu, hukumnya berlaku secara umum.

12
Ibid, hal: 578.
13
Ibid., hal: 581.
14
Ibid., hal: 586.
15
Ibid., hal: 593.

6
2. Al-Khash
Al-Khas adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu, seperti
“Muhammad”: atau menunjukkan jenis, seperti laki-laki; atau menunjukkan beberapa
satuan yang terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah masyarakat, sekumpulan,
sekelompok, dan lafaz-lafaz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak
mencakup satuan-satuan tersebut (Khalaf, 1997: 342). Kaidah:
‫ ارا ٔسد انششط أ اسزثُبء أ انظفخ أ انغبٌخ أ االشبسح ة"رانك" ثعذ يفشداد أ جًم يزعبلجخ عبد‬:‫لبعذح‬
‫انى جًٍعٓب اال ثمشٌُخ‬
“Bila dikemukakan ungkapan memiliki syarat, pengecualian, sifat, tujuan, atau
isyarat dengan zalika, setelah beberapa kata atau kalimat yang di‟athafkan, maka ia
berlaku untuk seluruhnya kecuali ada alasan tertentu”.16
Istisna‟ adalah uangkapan yang memiliki bentuk kalimat yang bersambung, di
mana sesuatu yang disebutkan tersebut bukanlah dimaksudkan oleh ungkapan pertama
(sebelumnya).17

C. Kaidah Muthlaq & Muqayyad


1. Al-Muthlaq dan al-Muqayyad
a. Kaidah 1
ِ‫ االطم اثمبء انًطهك عهى اطاللّ حزى ٌشد يب ٌمٍذ‬:‫لبعذح‬
"Pada dasarnya ungkapan bersifat muthlaq tetap pada kemutlakannya hingga ada
yang membatasinya (taqyid)”.18
Bila suatu lafaz nash bersifat mutlak, maka wajib diamalkan menurut kemutlakannya,
kecuali bila diperoleh dalil yang membatasinya. Karena Allah menurunkan perintahnya
kepada kita dalam bahasa Arab. Tidak ada yang berhak untuk mengurangi keluasan
cakupan lafaz mutlak tersebut, kecuali ada dalil yang membatasinya. Lafaz mutlak
dimaksudkan bahwa ia mencakup banyak afrad (bagian-bagian) dengan satu lafaz tertentu.
b. Kaidah 2
‫ انًطهك ٌحًم عهً انكبيم‬:‫لبعذح‬
“Muthlaq mengadung makna kesempurnaan”.19

16
Ibid, hal: 611.
17
Ibid., hal: 612.
18
Ibid, hal: 621.
19
Ibid, hal: 622.

7
Kaidah ini bermakna bahwa isim yang bersifat mutlak mengandung makna
kesempurnaan objek yang dinamainya (musammiyat).
c. Kaidah 3
‫ ارا ٔسد عهً انًطهك لٍذاٌ يخزهفبٌ ٔايكٍ رشجٍح احذًْب عهً اخش ٔجت حًم انًطهمعهً اسجحًٓب‬:‫لبعذح‬
“Bila ungkapan muthlaq dibatasi dengan dua hal yang bertentangan dan salah satu
memungkinkan untuk dipilih dari yang lain, maka hukum mutlaq tersebut wajib
dibebankan terhadap batasan yang paling kuat”.20
Bila ungkapan muthlaq dibatasi dengan dua hal yang bertentangan, maka harus
diperhatikan; jika salah satu di antaranya lebih dekat dengan kemutlakannya, batasan itulah
yang dipilih. Bila tidak ada yang lebih dekat, maka tidak perlu dibatasi oleh keduanya.
d. Kaidah 4
‫ االطالق ٌمزضى انًسٕاح‬:‫لبعذح‬
“Kemutlakan menghendaki kesamaan”.
Pada dasarnya bila diungkapkan kelebihan-kelebihan, maka sesuatu itu menjadi
istimewa.

D. Pendekatan Kaidah Mantuq & Mafhum


1. Al-Mantuq
a. Kaidah 1
ّ‫ ارا سرت انشبسع انحكى انى ٔطف يُبست فبٌ رانك ٌذل عهً اٌ ثجٕرّ الجه‬:‫لبعذح‬
“Bila Syari‟ mengungkapkan hukum setelah sifat yang sesuai, maka ia menunjukkan
bahwa hukum tersebut ditetapkan karena sifat itu”.21
Dilalah ini di kalangan ushuliyin dikenal dengan al-ima‟ dan al-tanbih. Ia termasuk
kepada manthuq ghair al-sharih, yaitu mengaitkan hukum dengan suatu sifat, yang bila
ungkapan tersebut tidak dijadikan sebagai „illat hukum maka mengungkapkannya dalam
suatu penjelasan tidak berguna. Yang demikian itu terpelihara dalam lafaz al-Syari‟.
a. Kaidah 2
ّ‫ انحكى انًعهك عهى ٔطف ٌفٕي ثمٕرّ ٌُٔمض ثُمظ‬:‫لبعذح‬
“Suatu hukum yang dikaitkan terhadap sifat („illat) tertentu, maka ia menguat sejalan
dengan kuatnya sifat tersebut, sebaliknya hukum tersebut gugur karena hilangnya sifat
itu”. 22

20
Ibid, hal: 623.
21
Ibid, hal: 628.
22
Ibid, hal: 629.

8
Penjelasan Kaidah Bila memuji atau menghina, atau memberikan kabar gembira dan
pertakut terhadap suatu perbuatan, atau suatu sifat. Hal itu bisa didapatkan oleh mukallaf
karena perbuatan tersebut sesuai dengan standar balasan dari perbuatan atau sifat itu. Maka
ia akan ditambahkan bersamaan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas perbuatan, atau
sebaliknya.
2. Al-Mafhum
a. Kaidah 1
‫ ارا كبٌ ٔلذ انشئ يسزحمب نهزكش فبٌ رانك انشئ يسزحك نّ ثبالٔنى‬:‫لبعذح‬
“Apabila masa (terjadi) sesuatu sangat penting untuk disebutkan, maka kejadian itu
lebih penting dari pada waktunya”.23
Kaidah ini termasuk ke dalam bahasan mafhum al-muwafaqah al-aulawi. Apabila
sebuah perintah dikeluarkan maka ia menuntut untuk disebutkan masanya. Menyebutkan
kejadian itu lebih utama dari menyebutkan waktunya. Jika di antara keduanya ada sesuatu
yang mengikat, maka yang dimaksud adalah urgensitas kejadian itu.
b. Kaidah 2
ّ‫ ارا سرت انحكى عهى ٔطف ًٌكٍ اٌ ٌكٌٕ يعزجشا نى ٌجز اطشاح‬:‫لبعذح‬
“Bila hukum disebutkan setelah sifat yang mungkin mu‟tabar, maka tidak boleh
menyimpangkannya”.24
Sebelumnya telah dijelaskan, bila syari‟ mengungkapkan suatu hukum yang diikuti
dengan „illat yang menunjukkan bahwa hukum tersebut ditetapkan karenanya”. Di antara
kedua kaidah itu terdapat kemiripan. Perbedaan keduanya adalah kaidah yang lalu
menghendaki adanya kaitan antara hukum dan illatnya. Ini adalah prinsip mendasar dalam
tasyri‟. Sedangkan kaidah yang tengah dijelaskan ini dimaknai bahwa sifat („illat) yang
berpengaruh atau mu‟tabar harus diperhatikan dalam memahami makna dan menetapkan
hukum.
c. Kaidah 3
ُّ‫ ارا كبٌ رانك الٌظهح نهًسكٕد ع‬,‫ ارا خض َٕع ثبنزكش يذحب أ ريب أ غٍشًْب كبٌ يفٕٓيّ يعزجشا‬:‫لبعذح‬
“Bila sesuatu dikhususkan dengan menyebutkan pujian atau celaan, atau lainnya,
maka ia tergolong mafhum mu‟tabarah. Bila demikian, maka tidak layak untuk tidak
diperhatikan”.25

23
Ibid, hal: 633.
24
Ibid, hal: 634.
25
Ibid, hal: 641.

9
Kesimpulan

Pendekatan dengan menggunakan Kaidah ushul merupakan suatu cara untuk


memahami suatu masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini akan
memungkinkan kita mengetahui makna al-Qur‟an, khususnya yang berkaitan perintah
untuk melakukan pekerjaan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Pendekatan dengan menggunakan Kaidah ushul merupakan suatu cara untuk memahami
suatu masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini akan
memungkinkan kita mengetahui makna al-Qur‟an. Pendekatan terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an dengan menggunakan kaidah ushul, biasanya digunakan pada ayat-ayat yang
diturunkan oleh Allah di Madinah, di mana isinya menyangkut syariah Islam dengan
macam-macam cabangnya. Pendekatan kaidah ushul dalam memahami masalah yang
berkaitan dengan perintah, baik sunat maupun wajib, kadang-kadang dapat dilihat dari
sejauhmana urgensinya dalam kehidupan, khususnya yang menyangkut masalah ibadah.

10
Daftar Pustaka

Al-Sabt, Khalid ibn „Usman. Qawa‟id al-Tafsir; Jam‟an wa Dirasatan, Jilid II, Cet.
I; Madinah: Dar Ibn „Affan, 1421 H.
Ismardi, “Kaidah-kaidah tafsir berkaitan dengan kaidah Ushul menurut Khalid as
sabt”. Jurnal Pemikiran Islam, vol. 39, No. 1, an-Nida 2014.

11

Anda mungkin juga menyukai