TAFSIRNYA
Taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb )
balâghah yang memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi
pendengar maupun si pembicara. Dan setiap kalimat yang terucap melalui kata-kata
serta susunan kalimat yang teratur merupakan ketinggian serta keindahan gaya bahasa
ini. Ushlûb menurut pandangan para-sastrawan ( al-Balîgh ) adalah salah satu seni
ilmu balâghah yang dapat mengungkap dan menyingkap rahasia serta sebab-sebab
perasaan. Dan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an terdapat bermacam-macam yang
memiliki sebab-sebab dan rahasia yang jelas, kemudian diungkap oleh para ulama
ayat-ayatnya.
2
( w. 794 H )ada tiga macam, Pertama : Didahulukan dengan maknanya tetap sebagai
taqdîm ( ٗ١ٍ ػٕٝاٌّؼٚ َِب لذ ). Kedua : Didahulukan tetapi maksudnya diakhirkan,
( ش١خ ثٗ اٌزؤخ١ٌٕاٚ َ) ِّب لذ. Ketiga : Didahulukan dalam suatu ayat dan diakhirkan
1
ّ خ٠ أٝ) ِب ل ّذَ ف.
pada ayat yang lain ( ٜ أخشٝأخش فٚ
Ketiga bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, berkembang dari pemahaman yang
dikembangkan oleh para pakar ilmu bahasa ( Nahwu-sharf, Balâghah serta sastra ),
dan pada awalnya dikembangkan oleh para ulama Balâghah, di antaranya : Pertama :
Oleh Abdul Qâhir Al-Jurjâni ( w. 471 H ) yang kemudian dilanjutkan oleh Khatîb
( w. 876 H ). Ketiga : Oleh Dhiyâuddin Ibn Atsîr ( w. 1239 H ). Dan yang Keempat :
2
Oleh ulama tafsir, yaitu Abu Su’ûd ( w. 982 H ) dan Imam Zamakhsyari ( 583 H ).
1
AZ-Zarkasyî ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1408 H /
1988 M ), Cet. I, Jilid ke-3, h. 279, 319, 329
2
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu
Al-Balâghiyah, ( Kairo : Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2, h. 79-80
3
Unsur kedua dan ketiga lebih terfokus kepada metode. Sedangkan unsur yang
ta‟khîr. Tujuan taqdîm menurut mereka ada dua macam, pertama : tujuan secara
umum, seperti ; ambil perhatian ( ihtimâm ), dan kedua : tujuan secara khusus yaitu
a. Taqdîm dengan niat ta‟khîr ( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ػ٠) رمذ, yaitu mendahulukan
suatu kata tetapi niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan ). Contoh : ( ُ اٌؾىٝئر٠ ٗز١ ثٝ) ف
didahulukan khabarnya ( ٗز١ ثٝ) ف, namun tetap kedudukannya sebagai ta‟khîr. Juga
b. Taqdîm tidak bertujuan ta‟khîr (ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ال ػ٠) رمذ, yaitu
terhadap khabar, mendahulukan fi‟il terhadap fâ‟il. Cara-cara ini adalah menurut
Abdul Qâhir Al-Jurjâni dalam kitabnya ( Dalâ‟il I‟Jâz ) dan kemudian diikuti oleh
4
yang lainnya dari ulama Balâghah seperti Khatîb Al-Qazwâinî ( w. 379 H ), meskipun
3
dalam hal ini Zamakhsyari ( w. 538 H ) tidak sependapat.
1.) Mendahulukan Musnad Ilaih. Dalam hal ini, hanya khusus untuk
mubtada’, seperti mendahulukn musnad ilaih, yaitu lafazh ( ذ٠ ) صdalam contoh
( ذ ِٕطٍك٠ () صSi Zaid Berangkat ), sedangkan dalam bentuk fâ‟il tidak ada tempat
dalam situasi ini, karena jika fâ‟il didahulukan terhadap fi‟ilnya maka ia harus
menjadi mubtada’ dan akan hilang kedudukan fi‟il dan fâ‟ilnya, contoh ( ذ٠ٕطٍك ص٠ ),
bila didahulukan fâ‟il-nya, maka menjadi ( ٕطٍك٠ ذ٠) ص. Dengan demikian kalimat
2. ) Mendahulukan musnad. Hal ini khusus untuk khabar yang bukan dari
fi‟il. Karena bila khabarnya didahulukan, maka mubtada’-nya berubah menjadi fâ‟il.
Seperti contoh : ( ٕفغ٠ ) اٌصذقmaka menjadi ( ٕفغ اٌصذق٠ ). Dan kalimat ini,
4
mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟il, dan sebagainya.
3
Ibid., h. 81
4
Ibid., h. 80-81
5
bagian, yaitu :
Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan
setelah diketahui bahwa pokok bahasan ini merupakan bab taqdîm dan ta‟khîr, maka
) 129 :20 / ٗ ( غّٝأعً ِغٚ ال وٍّخ عجمذ ِٓ سثه ٌىبْ ٌضاِبٌٛٚ
Artinya :
“ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah SWT yang telah terdahulu
atau tidak ada ajal yang telah ditentukan pasti ( azab itu ) menimpa
mereka ( Thaha / 20 : 129 ).
Menurut As-Suyûtî, bahwa ayat di atas masuk dalam bab taqdîm dan ta‟khîr,
dengan taqdîr ( ٌىبْ ٌضاِبّٝأعً ِغٚ ال وٍّخٌٛٚ ), dimajukan lafazh ( ) ٌىبْ ٌضاِب
dan diakhirkan lafazh ( ّٝأعً ِغٚ ) sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada
ketetapan dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka.
Ketetapan serta ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab.
5
Demikian taqdîm ayat di atas tanpa mengubah maksudnya.
( sesuatu yang tidak sama dengan maksud yang pertama ). Yaitu bahwa taqdîm yang
5
As-Suyûti, Al-Itqân îi Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut : Darul-Fikr Li at-Thabâ’ah Wa Nasyr Wa
al-Tawzi’, 1416 H / 1996 M ), Jilid ke-2, Cet. Ke-1, h. 33
6
kitabnya yang berjudul ( أعشاس األٌفبظ اٌّمذِخٝ () اٌّمذِخ فpembukaan tentang rahasia
oleh as-Sibawaih ( w. 181 H ) dalam kitabnya, dengan ungkapan, yaitu ( ِْٛمَذ٠ ُٙٔوؤ
ٕٝبٔٗ أػ١ُ٘ ثجٚ ُ٘بٔٗ أ١ ثٜ ) ) اٌزbahwa mereka mendahulukan lafazh-lafazh yang
didahulukannya lafazh Jalâlah ( Allah ) dalam persoalan yang sangat penting, dengan
ا اٌؼٍُ لبئّب ثبٌمغػٌٛٚأٚ اٌّالئىخٚ ٛ٘ ( ) هللا أٔٗ ال اٌٗ االAllah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakan keadilan. Para Malikat dan
orang-orang yang berilmu ). Tujuan dari taqdîm di atas, bahwa syahadat kepada
Allah lebih besar kedudukannya dari pada syahadat kepada Malaikat. Dan syahadat
kepada Malaikat lebih besar dari pada syahadat kepada para ulama, karena mereka
6
lebih dekat kepada Allah dan lebih ta’at.
Ibn Atsîr membagi taqdîm menjadi dua bagian, yaitu : pertama : sesuatu yang
khusus untuk penunjukan lafazh terhadap makna, ( ٕٝ اٌّؼٍٝخزص ثذالٌخ األٌفبظ ػ٠ ) ِب.
6
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 104-105
7
Meskipun itu telah diakhirkan, namun tidak mengubah maknanya sebagai taqdîm.
Yang kedua : sesuatu yang khusus untuk tingkatan taqdîm dalam penyebutan
( اٌزوشُٝ ف٠خزص ثذسعخ اٌزمذ٠) ِب. Dan menurut beliau, dalam bagian pertama bab
mendahulukan hâl terhadap ‘âmilnya. Dan taqdîm semacam ini bertujuan untuk
Contohnya, sebagaimana terdapat dalam surat Az-Zumar / 39 : 66( ِٓ ٓوٚ ثً هللا فبػجذ
ٓ٠ ( ) اٌشبوشKarena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah
kamu termasuk orang-orang yang bersyukur ). Disebutkan dalam ayat ( ) ثً هللا فبػجذ
dan tidak disebutkan ( ) ثً اػجذ هللا. Didahulukan maf‟ûl bih dengan tujuan
memberikan makna secara khusus terhadap perintah ibadah yang hanya kepada Allah
SWT semata dan tidak kepada selain-Nya. Meskipun kalimat ( ) ثً اػجذ هللاitu
dibenarkan, namun mendahulukan maf‟ûl-bih dari fi‟ilnya adalah lebih utama. Ibn
( Murâ‟atu Nazhm al-Kalâm ), dan surat Al-Fâtihah / 1 : 5 ( ٓ١بن ٔغزؼ٠اٚ بن ٔؼجذ٠) ا
( Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
8
keindahan susunan sajak yang diakhiri dengan huruf nûn, karena bila disebutkan
7
( ٕه١ٔغزؼٚ ) ٔؼجذن, maka akan hilanglah keindahan ( thalâwah ) kalimatnya. Dan
contoh lain dari murâ‟atu nazhm kalâm, seperti yang terdapat dalam surat Al-Hâqqah
/ 69 : 30-32, yaitu ;
) 32-30 : 69 / ٖ * ( اٌؾبلخٛفبعٍى
Artinya :
( Allah berfirman ): " Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya,
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. "
( Al-Hâqah / 69 : 30-32 )
Dalam hal lain, mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il, bukan bertujuan untuk
ikhtishâsh akan tetapi untuk menjaga keserasian susunan kalimat, seperti terdapat
ٌّغزمشٞاٌشّظ رغشٚ * ٍّْٛبس فبرا ُ٘ ِظًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍُ اٌٙ خ٠ءاٚ
ْٛ ػبد وبٌؼشعٝاٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصي ؽزٚ * ُ١ٍض اٌؼ٠ش اٌؼض٠ب رٌه رمذٌٙ
7
Ibid., h. 124-125
9
Artinya :
“ Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;
Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan
yang tua. “ ( Yâsin / 36 : 37-39 ).
Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) berkata, bahwa dalam ayat ( اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ ),
mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il tidak termasuk dalam kajian bab ikhtishâsh,
akan tetapi bagian dari bab murâ‟atu nazm kalâm. Juga dalam kalimat ( ِٕٗ ً ٔغٍخ١ٌٍا
بسٌٕٙ) ا. Kalimat ( ٞاٌشّظ رغشٚ ) dan kalimat ( ٖاٌمّش لذسٔبٚ ) semuanya untuk tujuan
8
terdapat dalam surat Ad-Dluhâ / 93 : 9-11, yaitu untuk keserasian susunan kalimat.
*أِب ثٕؼّخ سثه فؾذسٚ * شٕٙأِب اٌغبئً فال رٚ * شُٙ فال رم١ز١ٌفؤِب ا
bila suatu kalimat didahulukan itu baik, tetapi akan lebih baik bila diakhirkan. Seperti
8
Ibid., h. 26
10
9
contoh Ibn Atsîr menyebutkan sebuah syair :
ُؼ١ص٠ صش ٌد ِ ْشٛ ػَٕب ًّء * ثٌٝ َ ٓ١ ث- اٌ ًّّشهٚ - فم ْذ
َ ُ ُِٙه فِ َشال
Artinya :
“ ٍٍٍٍSungguh telah jelas keraguan itu setelah ada kesulitan bagiku, namun
begitu berpisah dengan cepatnya burung-burung ( berkepala ) besar itu
bersuara keras sambil menerkam burung-burung kecil itu “.
burung bersuara keras ketika berpisah, ketika telah jelas kesulitan bagiku datang ).
kata ( ُُ صش ٌد ) adalah burung yang berkepala besar bersuara keras dan memangsa
10
burung-burung yang lebih kecil.
tafsir jelas perbedaannya dengan beberapa metode sebelumnya, baik metode Ibn
Shâ’ig, metode ulama Balâghah maupun metode Ibn Atsîr. Metode Mufassirin
ini, tidak terlepas dari ketiga metode sebelumnya, dengan menggabungkan metode-
9
Ibid., h. 131
10
Ibid.,
11
metode sebelumnya. Maka metode ini memiliki kekayaan yang sangat tinggi dalam
keindahan susunan sajak ( husnu nazhm saj‟î ) sebagaimana yang dilakukan Ibn
Atsîr. Metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, landasannya adalah dua imam,
yaitu :
Beberapa contoh penafsiran dari metode Abu Su’ûd sebagaimana dalam surat
Al-Hajj / 22 : 23 ; yaitu :
libâs itu adalah pakaian yang biasa dan lazim dipakai oleh manusia, sedangkan
12
tahliyah suatu yang berbeda dan istimewa, sehingga menurut Abu Su’ûd pantas untuk
11
didahulukan, karena memiliki makna khusus.
tentang mendahulukan suatu cerita ( qishah ), terhadap kisah yang lainnya. Yaitu
شٖ أفال١ا هللا ِب ٌىُ ِٓ اٌٗ غَٚ اػجذٛبل٠ ِٗ فمبيٛ لٌٝؽب اٛٔ ٌمذ أسعٍٕبٚ
Artinya :
“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, ( karena ) sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa
( kepada-Nya ) ?" ( Al-Mu’minûn / 23 : 23 ).
Mendahulukan qishah Nabi Nuh As. terhadap qishah nabi-nabi yang lain,
beralasan karena kedudukan Nabi Nûh As itu lebih dahulu adanya sehingga sesuai
12
dengan urutan zamannya.
yang mendalam serta tidak terfokus kepada kaidah bahasa ( nahwu-sharf ) dan
11
Ibid., h. 135
12
Ibid., h. 138
13
Artinya :
“ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya ( binatang ternak ),
ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan “. ( An-Nahl / 16 : 6 ).
ا لبيٚا أرزخزٔب ٘ضٌٛا ثمشح لبٛؤِشوُ أْ رزثؾ٠ ِٗ اْ هللاٛ ٌمٝعِٛ ار لبيٚ
ٟ٘ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ) لب67( ٓ١ٍْ٘ ِٓ اٌغبٛر ثبهلل أْ أوٛأػ
ْٚا ِب رئِشٍٛٓ رٌه فبفؼ١اْ ثٛال ثىش ػٚ ب ثمشح ال فبسضٙٔي اٛم٠ ٗٔلبي ا
ب ثمشح صفشاءٙٔي اٛم٠ ٗٔب لبي اٌٙٔٛ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ) لب68(
اْ اٌجمشٟ٘ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ ) لب69( ٓ٠ب رغش إٌبظشٌٙٔٛ فبلغ
يٌٛب ثمشح ال رٙٔي اٛم٠ ٗٔ) لبي ا70( ْٚزذٌّٙ أب اْ شبء هللاٚ ٕب١ٍرشبثٗ ػ
ْ عئذ ثبٌؾك٢ا اٌٛب لبٙ١خ ف١ اٌؾشس ِغٍّخ ال شٟال رغمٚ ش األسض١رض
هللا ِخشط ِبٚ بٙ١ار لزٍزُ ٔفغب فبداسأرُ فٚ )71( ٍْٛفؼ٠ اِٚب وبدٚ ٘بٛفزثؾ
14
dimaksudkan ( taqdîr ) lain : ( ٖٛاظشثٚ ا ثمشحٛب فمٍٕب ارثؾٙ١ار لزٍزُ ٔفغب فبدسأرُ فٚ
بٙ) ثجؼع. “ Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu, lalu Kami berfirman : “ Sembelihlah seekor sapi
dan kemudian pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi itu ).
tentang Bani Israil tidak diceritakan sesuai dengan urutannya, karena setiap qishah
sangat ditentukan sesuai dengan batasan dan beratnya suatu kejahatan ( jinâyat ).
Karena itu qishah di atas dibagi menjadi kepada dua kelompok berdasarkan taqrî‟
sapi ( dzabhul baqarah ) terhadap pembunuhan yang diharamkan dalam ayat di atas,
penyembelihan sapi ) maka qishah-nya masih tetap sama tentang pembunuhan dan
tidak ada perbedaan, oleh karena itu tidak perlu pengelompokkan. Dan dibedakan
sesuai dengan kejahatan dan dikelompokkan dengan dua celaan ( taqrî‟ ) untuk
13
imam Al- Zamakhsyari .
13
Ibid., h. 143-144
16
B. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran
ayatnya.
didahulukan dengan makna tetap ( ٗ١ٍ ػٕٝاٌّؼٚ َِب لذ ), atau dengan kalimat lain
( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ال ػ٠رمذ ). Kita yakin bahwa terdapat sebab-sebab dan rahasia-
14
menyebutkan, dengan tujuannya sebagai berikut, yaitu :
beberapa ayat-ayat yang mendahulukan „asmâ Allah, yaitu dengan tujuan untuk
memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mencari berkah. Contohnya dalam surat
Ali-Imrân / 3 : 18,
ٛ٘ ا اٌؼٍُ لبئّب ثبٌمغػ الاٌٗ االٌٛٚأٚ اٌّالئىخٚ ٛ٘ ذ هللا أٔٗ ال اٌٗ االٙش
14
As-Suyûtî ( 911 H ), Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M
), cet. I, Jilid ke-2, h. 35-39 , Az-Zarkasyi ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar al-
Fikr, 1408 H / 1988 M ), cet. Ke I, h. 279
17
Artinya :
“ Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul….”
( Al-Anfâl / 8 : 41 ).
Didahulukan Lafazh Jalâlah dalam kedua ayat di atas, dengan alasan karena
lafazh Jalâlah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia. Dan tidak diragukan
persyaksian kepada Malaikat, dan persyaksian kepada Malaikat lebih tinggi dari para
15
ulama, maka didahulukan. Ibn Katsîr menafsirkan dalam ayat Ali Imrân / 3 : 18,
bahwa dalam kalimat ( ذا١ٙش ) menyatakan, tentang tingginya sifat yang dimiliki
Allah SWT itu benar-benar Maha saksi, serta Maha Adil dari segala perkatan yang
disampaikan melalaui rasul-Nya. Dan ayat ( ٛ٘ ) أٔٗ ال اٌٗ االmemiliki makna tauhid
ulûhiyyah, hanyalah Dia satu-satunya Tuhan untuk semua makhluk yang berhak
disembah. Di samping itu Dia sebagai Tuhan ( Khâliq ), dan semua makhluknya
persyaksiannya kepada Malaikat dan para ahli ilmi ( ulûl-Ilmi ), hal itu merupakan
pertanda salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada mereka, karena
kedudukannya yang mulia, memiliki sifat jujur dan benar dalam setiap hal. Kemudian
ayat di atas di akhiri dengan ( ُ١ض اٌؾى٠ ) اٌؼضyaitu bahwa, Allah SWT Maha Mulia
15
Op.cit., h. 104 , As-Suyûtî, op.cit., h. 35
18
dan Maha Agung serta Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam setiap tindakan-Nya.
16
Sedangkan dalam penafsiran ayat 42 surat al-Anfal, bahwa lafazh jalâlah dalam
ayat ( يٌٍٛشعٚ ٗ) فؤْ هلل خّغ adalah sebagai pembuka kalâm, sebagaimana Allah
berfirman ( األسضِٝب فٚ ادٚ اٌغّبٝ) هلل ِب ف, yaitu, bahwa Allah mendapat
seperlima ( khumûs ), juga rasulullah SAW seperlima dari pembagian harta rampasan
17
sebagai hasil peperangan.
surat An-Nisâ’ / 5 : 69 :
ٓ١١ُ ِٓ إٌجٙ١ٍٓ أٔؼُ هللا ػ٠ٌئه ِغ اٌزٚي فؤٛاٌشعٚ طغ هللا٠ ِٓٚ
Artinya :
“ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul ( Nya ), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-
orang saleh “. ( Al-Nisâ‟ / 5 : 69 ).
Dalam ayat di atas perintah ta’at kepada Allah didahulukan terlebih utama
sebelum perintah ta’at kepada rasul, karena Allah itu lebih Agung kedudukan-Nya
dan lebih besar dari semua makluk-Nya. Dan lafazh Jalâlah didahulukan menurut al-
16
Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, Muhamad Ali Shâbunî ( tahqiq ), ( Kairo : Dar
As-Shâbuni, t.th ), Jilid : 1, h. 272
17
Ibid, jilid ke-2. h. 106
19
Baidhawi, karena perintah ta’at kepada Allah adalah sebagai sugesti ( targhîb ) bagi
disebutkan dalam ayat, sesuai dengan janji-Nya, karena mereka memiliki ketinggian
akhlaq yang mulia. Yaitu para nabi ( nabiyyûn ) yang sukses dalam perjuangannya
sesuai dengan ilmu dan amal mereka dalam menegakkan kalimat tauhid. Juga orang-
orang yang jujur dan benar ( shiddîqun ) yang sangat tinggi derajat ketaqwaannya,
serta para ahli jihad yang mati syahid dalam menegakan agama Allah ( syuhadâ‟ )
dan juga para orang-orang shaleh ( shâlihîn ) yang diberi umur panjang serta harta
benda yang cukup yang digunakan untuk tujuan beribadah dan mencari keridha’an
Allah SWT semata. Mereka tergolong orang-orang yang diberi nikmat ( oleh Allah )
19
Ketiga : Untuk tujuan tasyrîf ( ف٠) اٌزشش yaitu untuk memulyakan. Ibn
Shâ’ig mengatakan, bahwa mendahulukan muzakkar ( laki-laki ) sebelum mu‟annats
18
Al-Baidlâwi, Tafsîr Al-Baidlâwi ( Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Beirut : Dar-al-
Fikr, 1416 H / 1996 M ), jilid ke-2, h. 214
19
Perbedaan antara ( ُ١ ) اٌزؼظdan ( ف٠ ) اٌزششyang artinya mengangungkan dan
memuliakan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, karena mempunyai kesamaan tujuan yaitu
penghormatan, namun dilihat dari penggunaan lafazh-lafazh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah SWT
mengunakan ta‟zhim sebagai penghormatan kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti ;
kedudukan Allah sendiri, para nabi-nabi dan malaikat dan sebagainya ( QS. 4 : 69 ). Sedangkan kata
tasyrif digunakan untuk penghormatan kepada yang lebih rendah kedudukannya, diantara makhluk-
20
( perempuan ) seperti yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb ayat 35, yaitu : ( ْا
اٌّئِٕبدٚ ٓ١ِٕاٌّئٚ اٌّغٍّبدٚ ٓ١ٍّاٌّغ ),( Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min ), bahwa laki-laki
( muzhakar ) itu lebih didahulukan dari pada perempuan ( mu‟unats ), karena
kedudukan laki-laki lebih dimuliakan. Dan Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat di
atas diawali dengan Islam, karena Islam mencakup di dalamnya makna iman yaitu
perbuatan yang diiringi dengan anggota badan. Kemudian disebutkannya kata
( imân ) dengan lafazh ( ِْٕٛ ) اٌّئyang merupakan kekhususan, yakni seorang
muslim yang memiliki keimanan yang sempurna. Sebagaimana juga didahulukan
lafazh al-Hurr ( orang merdeka ) sebelum al-abdu ( budak sahaya ) untuk
memuliakan orang yang merdeka, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 :
178,
“ Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. “ ( QS. Al-Baqarah / 2 : 178 ).
Didahulukan orang merdeka, karena ia lebih mulia dari pada hamba sahaya.
Ibn Katsîr menyatakan bahwa hukum pembunuhan yang dimaksud adalah qishas.
Hukum Islam pada awal Islam menetapkan, bahwa qishas bisa terjadi pada orang
yang merdeka membunuh budak, atau budak pria membunuh budak wanita,
makhluk-Nya, seperti Allah memulyakan bagi laki-laki dari wanita, atau memulyakan orang merdeka
dari budak sahaya, orang yang hidup dari yang mati, ( QS. 33 : 35 , QS. 2 : 178, QS. 30 : 19 ), Abdul
Azhîm Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 5-6
21
merdeka membunuh wanita budak sahaya, tetapi orang merdeka mengqishas orang
lelaki merdeka juga, sebagimana juga seorang wanita mengqishas seorang wanita
merdeka. Dan menurut pendapat yang diriwayatkan Abi Mâlik, bahwasanya ayat
20
tersebut telah di-nasakh ( diganti ) dengan ayat ( ) إٌفظ ثبٌٕفظ , sebagaimana
Artinya :
“ Dan telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya ( At Taurat )
bahwasanya jiwa ( dibalas ) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka ( pun ) ada
kishasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas ) nya, maka melepaskan
hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim. “ ( Al-Mâidah / 5 : 45 ).
Juga didahulukan kata khail ( kuda ) terhadap bighâl dan hamîr ( keledai ),
20
Op.cit, Ibn Katsir. h. 155-156
22
“ Dan ( Dia telah menciptakan ) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu
menungganginya dan ( menjadikannya ) perhiasan. Dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya. “ ( QS. An-Nahl / 16 : 8 ).
Tujuan didahulukannya khail terhadap bighâl karena khail ( kuda ) lebih baik
dari bighâl disebabkan banyak manfa’atnya. Dan juga lafazh al-Hayy ( yang hidup )
dan juga as-sama‟ ( pendengaran ) terhadap al-Bashar ( penglihatan ) dalam surat Al-
Artinya :
“ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati
dari yang hidup dan menghidupkan bumi yang sudah mati. Dan seperti itulah
kamu akan dikeluarkan dari kubur”. ( Ar-Rûm / 30 : 19 ).
karena orang hidup lebih mulia dari yang mati, sebagaimana juga terdapat dalam
surat Fâthir / 35 : 22
Artinya :
“ Dan tidak ( pula ) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang
mati. “ ( Fâthir / 35 : 22 ).
Adapun al-mayyit didahulukan dalam surat Al-Mulk / 67 : 2, sebab
Dan Allah menjadikan manusia dari yang asalnya tiada menjadi ada dengan
tujuan untuk menguji mereka, diuji siapa di antara mereka ( manusia ) yang paling
21
tafsirnya. Kemudian mendahulukan as-sama‟ dari al-bashar, sebagaimana dalam
Abdul ‘Azhîm Ibn Ibrâhim Muth’inî menulis dalam kitabnya, bahwa rahasia
dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, karena mendengar ( as-sama‟ ) itu lebih utama
dari melihat ( al-bashar ), karena setiap ilmu atau hal-hal lain berupa informasi
22
penglihatan. Dan al-qalb didahulukan dari pada sama‟ dan bashar dalam ayat di
atas, karena panca indra ( khawâs ) itu adalah alat pembantu hati yang paling utama.
Kita memahami bahwa hati adalah alat yang menerima segala apa saja hasil dari
21
Ibn Katsîr, op.cit., h. 527
22
Abdul ‘Azhîm bin Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 107
24
untuk menjaga, bila terdapat kejanggalan ( cacat ) dalam pendengaran atau karena
tersumbat, sehingga telinga tidak bisa mendengar dengan baik. Dan Allah SWT
mencela jika, dalam hal ini ia tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Allah SWT,
ٌُ ْصش ِغزىجشا وؤ٠ ُٗ ص١ٍ ػٍٝبد هللا رز٠غّغ ءا٠ ) 7( ُ١ً ٌىً أفبن أص٠ٚ
) 8-7 :45 / خ١ ( اٌغبص.بٙغّؼ٠
Artinya :
“ Kecelakaan yang besar bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi
banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya
kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak
mendengarnya. “ ( Al-Jâtsiyah / 45 : 7-8 ).
hati ( qalb ) dalam ayat, karena panca indra ( telinga dan mata ) yang merupakan alat
bantu tadi, dan tidak dapat menyampaikan hasil kerjanya dengan baik, karena terutup
dan juga tidak bisa menerima petunjuk, disebabkan banyaknya perbuatan dosa. Allah
SWT benci atas perbuatan mereka, sehingga menutupi hati mereka yang
menyebabkan hati mereka tidak bisa memberikan inspirasi dan berfikir dengan
25
baik,yang akhirnya tidak bisa mendengar hal-hal yang baik dan juga tidak bisa
23
melihatnya.
Sedangkan didahulukan kata ( ٝعِٛ ) terhadap ( ْٚ) ٘بس, karena Nabi Mûsa
As. lebih mulia dari Nabi Harûn As. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’râf /
7 : 122.
20 : 70, bertujuan untuk menjaga keserasian dan persamaan akhir ayat ( طِٚشاػبح سإ
24
خ٠) األ. , yaitu :
Artinya :
“ Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "
Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa ". ( Thâha / 20 : 70 ).
sebagai makhluk Allah yang paling mulia, sebagaimana dalam surat Al-Isrâ’ / 17 : 88,
23
Al-Quthubî, Al-Jâmi‟ li Ahkâmi Al-Qur‟an, ( Beirut : Daru al-Fikr, 1419 H / 1999 M ),
cet. I, Jilid ke-4, h. 16
24
Abdul Azhîm Muth’inî, of.cit., h. 116
26
ْٛؤر٠ ا ثّضً ٘زا اٌمشءاْ الٛؤر٠ ْ أٍٝاٌغٓ ػٚ لً ٌئٓ اعزّؼذ اإلٔظ
ُٔىٕٚزس٠ٚ ٟبر٠ىُ ءا١ٍْ ػٛمص٠ ُؤرىُ سعً ِٕى٠ ٌُا إلٔظ أٚ ٓبِؼشش اٌغ٠
ٍٝا ػٚذٙشٚ ب١ٔبح اٌذ١ُ اٌؾٙغشرٚ أٔفغٕبٍٝذٔب ػٙا شٌِٛىُ ٘زا لبٛ٠ ٌمبء
Artinya :
“ Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-
rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat
Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari
ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan
dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka
sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. “ ( Al-An’âm / 6 :
130 ).
Kemudian disebutkan dalam ayat yang lain, bahwa jin terlebih dahulu
Artinya :
27
“ Dan Kami telah menciptakan jin sebelum ( Adam ) dari api yang sangat
panas. “ ( Al-Hijr / 15 : 27 ).
Dan boleh didahulukan jin sebelum manusia, bukan karena ia terlebih dahulu
Artinya :
“ Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus ( melintasi )
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
melainkan dengan kekuatan.“ ( Ar-Rahmân / 55: 33 ).
indah ( jamâl ). Namun keindahan yang dimiliki kata ( ْٛؾ٠رش ) melebihi kata
( mar‟ah ) itu di sore hari, tentu dalam keadaan kenyang ( bithan ), dan hal itu lebih
melepaskannya menuju tempat pengembalaan ( di pagi hari, tentu tidak sama dengan
25
dimaksudkan as-Suyuti dalam kitabnya. Juga hal yang semisal dengan taqdîm
petir itu lebih dahulu dari pada harapan akan datangnya hujan. Tidak mungkin terjadi
hujan kecuali setela terjadi beberapa kali petir. Demikian pula didalahulukan kata
25
As-Suyutî, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Kairo : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet.
ke- 1, jilid ke-2, h. 36
29
/ ْاِب * ( اٌفشلبٛٓ رٌه ل١وبْ ثٚ اٚمزش٠ ٌُٚ اٛغشف٠ ٌُ اٛٓ ارا أٔفم٠اٌزٚ
) 67 :25
Artinya :
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan ( harta ), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak ( pula ) kikir, dan adalah ( pembelanjaan itu ) di
tengah-tengah antara yang demikian. “ ( Al-Furqan / 25 : 67 ).
“ Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu “
( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 ).
adalah lebih dahulu dari segalanya. Karena siyaqul kalâm ( konteksnya ) berkenaan
ُّٙوٕب ٌؾىٚ َٛٗ غُٕ اٌم١ اٌؾشس ار ٔفشذ فٟؾىّبْ ف٠ ّبْ ار١ٍعٚ دٚداٚ
Yang kedua : Penyesuaian lafazh baik untuk tujuan taqdim ataupun ta‟khir.
) 3 :57 /ذ٠ُ * ( اٌؾذ١ٍء ػٟ ثىً شٛ٘ٚ ٓاٌجبغٚ اٌظب٘شٚ خش٢اٚ يٚ األٛ٘
“ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu. “ ( Al-Hadîd / 57 : 3 ).
: 24, maka ia didahulukan terhadap ( ٓ٠ ) اٌّغزؤخشyaitu ; ( ُٓ ِٕى١ٌِمذ ػٍّٕب اٌّغزمذٚ
ٓ٠ٌمذ ػٍّٕب اٌّغزؤخشٚ ) dan juga dalam surat Al-Muddattsir / 73 : 34, ( ٌّْٓ شبء ِٕىُ أ
زؤخش٠ ٚزمذَ أ٠ ) yaitu didahulukan kata ( َزمذ٠ ), juga dalam surat Al-Qashâsh / 28 :
70, mendahulukan lafazh ( ٌٝٚ ) األdalam ayat ( خشح٢اٚ ٌٝٚ األٟ) ٌٗ اٌؾّذ ف, juga
dalam surat Al-Wâqi’ah / 56 : 39-40, didahulukan lafazh ( ٓ١ٌٚ ) األdalam dua ayat
26
ini ; ( ٓ١ٌٚ ) صٍخ ِٓ األdan ( ٓ٠خش٢صٍخ ِٓ اٚ ). Demikian selanjutnya. Az-Zarkasyi
26
Ibid ., h. 37
31
menamakan hal itu dengan sebutan mura‟atul isytiqâq lafazh ( menjaga keserasian
27
asal lafazh ).
menyepelekan. Contoh dari rahasia taqdîm ini sebagaimana dalam surat An-Nisâ’ / 4
ibu / bapak yang meninggal dunia, untuk mendorong berwasiat dan menjaga agar
tidak menyepelekan hak mereka, karena kebiasaan yang terjadi bahwa wasiat itu
28
disepelehkan sedang hutang-piutang didahulukan. Az-Zarkasyi ( w. 794 H )
syari’ah, bahwa wasiat itu berkenaan dengan warisan ( warasah ), dan cara
27
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 306
28
Abdul Azhim Muth’ini, op.cit., h. 118
32
wasiat. Sehingga digunakan kata auw (ٚ ) أdengan pengertian mempunyai kedudukan
29
yang sama dalam syari’at, keduanya wajib.
30
Allah SWT memerintahkan berbuat adil, karena umat pada masa jahiliyah
tidak mengetahui hukum dalam pembagian harta warisan ( mirâts ) bagi nishâb laki-
laki dan perempuan. Dan keduanya mempunyai hak yang sama, sebagiamana
ketentuan syari’at bagian anak laki-laki sama dengan dua anak ( perempuan ), karena
seorang pria itu memiliki tanggungjawab yang penuh untuk memberi nafkah kepada
anak dan istrinya, dan bagi anak perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari yang diwariskannya, dan seorang ibu / bapak yang ditinggalkan
seperenam atau sepertiga, dan hal itu dilakukan setelah urusan wasiat serta hutang-
31
piutangnya telah diselesaikannya. Juga taqdîm semacam ini, seperti mendahulukan
: 37, yaitu :
29
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf „an Haqâ‟iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil Fî
Wujûh at-Ta‟wîl, ( Beirut : Dar- Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M ), cet. Ke-1 h. 508,
30
“ Bahwa masyarakat jahiliyah, tidak memberikan yang senasab satu bapak, kecuali
mereka yang seibu dan sebapak dalam pembagian warisan “, Ibn Katsîr., op.cit., h. 363
31
Ibid., h. 363 - 364
33
8 / ُ ( األٔفبي١أْ هللا ػٕذٖ أعش ػظٚ الدوُ فزٕخٚأٚ ُاٌىِٛا أّٔب أٍّٛاػٚ
ِٓ اال ِٓ ءاٝ رمشثىُ ػٕذٔب صٌفٟالدوُ ثبٌزٚال أٚ ُاٌىِِٛب أٚ * ) 28 :
اٌغشفبدُٟ٘ فٚ اٍُّٛ عضاء اٌعؼف ثّب ػٌٙ ٌئهٚػًّ صب ٌؾب فؤٚ
* ) 37 : 34 / ْ ( عجؤِٕٛءا
Artinya :
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. “ ( al-Kahfi / 18 :
46 ). ( yaitu ) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna ( al-
Syua’ara / 26 : 88 ). Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar. ( al-Anfâl / 8 : 28 ). “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan ( pula )
anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah
yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi
( dalam surga). “ ( Saba’ / 34 : 37 ).
Rahasia didahulukan harta benda ( amwâl ), karena manusia dalam hidup ini
memiliki harta terlebih dahulu sebelum mempunyai anak, dan dengan harta dia
menikah dan mempunyai anak dan juga karena harta benda itu lebih bermanfaat,
32
demikian didahulukanya amwâl ( harta ) menurut ulama Balâghah.
kejadiannya lebih dahulu, seperti mendahulukan malam terhadap siang. Karena itu
para ulama ilmu falak mengawali dalam penetuan tanggal ( târikh ) pada malam hari.
32
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 147
34
( َٛٔ ), karena kebiasaan manusia sebelum tidur dimulai dengan merasa ngantuk,
sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 255, ( َٛٔ الٚ ال رؤخزٖ عٕخ ) ( tidak
mengantuk dan tidak tidur ). Demikianlah ayat datang dengan kalimat yang sesuai
33
Ibnu Katsîr, op.cit., h. 556
35
Sesuai dengan kewajiban dan taklîf ( beban ), seperti dalam surat Al-Hajj / 22
bilangan yang terendah, mastnâ ( dua ), tsulâsa ( tiga ), kemudian rubâ‟a ( empat ),
dalam surat An-Nisâ’/ 4 : 3, ( سثبعٚ صالسٚ ٕٝ) ِض, juga dalam surat Al-Mujâdilah / 58
: 7, berkenaan dengan nasehat dimulai dari yang lebih banyak, yang sederajat,
surat Saba’ / 34: 46, ( ا ِبٚ صُ رزفىشٜفشادٚ ٕٝا هلل ِضِٛٛاؽذح أْ رمٛلً أّب أػظىُ ث
kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
34
tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu ).
ض٠اٌؼضterhadap ( ُ١ ) اٌؾىdalam surat Ali-Imrân / 3 : 62, ( ٌٛٙ اْ هللاٚ ِب ِٓ اٌٗ اال هللاٚ
ُ١ض اٌؾى٠) اٌؼض, karena Dia Allah SWT adalah Azîs ( Maha Mulia ), maka Dia menjadi
surat Al-Baqarah / 2 : 22 ( ُ١ُ اٌؾى١ٍا عجؾبٔه ال ػٍُ ٌٕب اال ِب ػٍّزٕب أه أٔذ اٌؼٌٛ) لب,
karena adanya hukum dan kemapanan ( itqân ) keduanya timbul dan berkembang
34
As-Suyûtî, op.cit., h. 37-38 , Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit, h. 119
36
dengan adanya ilmu ( ilm ). Sedangkan mendahulukan ( ُ١ ) اٌؾىterhadap ( ُ١ٍ) اٌؼ
dalam surat Al-An’âm / 6 : 83 ( ُ١ٍُ ػ١) ٔشفغ دسعبد ِٓ ٔشبء اْ سثه ؽى, dan 128
( ُ١ٍُ ػ١ب اال ِب شبء هللا اْ سثه ؽىٙ١ٓ ف٠) خبٌذ, dan 139 ( ُ١ٍُ ػ١ُ أٗ ؽىٙصفٚ ُٙ٠غض١) ع,
lafazh ( ) ٔؼجذsebelum lafazh ( ٓ١) ٔغزؼ, dalam surat Al-Fâtihah / 1 : 5, karena ibadah
dalam surat Al-Baqarah / 2 : 222 ( ٓ٠شٙؾت اٌّزط٠ٚ ٓ١اثٛؾت اٌز٠ ) اْ هللا, juga
mendahulukan ifk ( dusta ) terhadap itsm ( dosa ) dalam surat Jâtsiyah : 7 ( ًً ٌى٠ٚ
ُ١) أفبن أص, karena kebohongan itu adalah sebab adanya dosa. Dalam hal ini terdapat
35
kesamaan pendapat antara Ibn Atsîr dengan Ibn Shâ’ig .
terhadap yang sedikit, sebagaimana Allah SWT mendahulukan orang kafir terhadap
* ش١ْ ثصٍّٛهللا ثّب رؼٚ ِِٕٓىُ ِئٚ خٍمىُ فّٕىُ وبف شٞ اٌزٛ٘
Artinya :
35
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 119-120, As-Suyûtî, opcit., h. 38
37
“Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan
di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. “ ( At-Taghâbun / 64 : 2 )
kafir, dengan bukti bahwa Allah SWT telah menyatakan dalam surat yang lain, surat
Dan banyak manusia yang menjadi kafir, meskipun dengan usaha keras untuk
mengajak mereka beriman, mereka tidak akan beriman, karena keimanan itu tidak
bisa dipaksakan. Demikian juga dengan ayat lain dalam surat Fâthir / 35 : 32, dengan
) 32 :35 /ش ( فبغش١ اٌفعً اٌىجٛ٘ شاد ثبرْ هللا رٌه١ُ عبثك ثبٌخِٕٙٚ
Artinya :
“ Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri
mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.“ ( Fâthir / 35 : 32 )
38
Juga sama halnya dalam ayat lain yang mendahulukan ( ٟشم )( yang
sengsara ) terhadap ( ذ١ ( ) عؼyang bahagia ) dalam surat Hûd / 11 ; 105, yaitu :
) 105 : 11 / دٛ٘ ( * ذ١عؼٚ ُٟ شمّٕٙؤد ال رىٍُ ٔفظ اال ثبرٔٗ ف٠ َٛ٠
Artinya :
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia. ( Hûd / 11 : 105 )
ض٠هللا ػضٚ ّب عضاء ثّب وغجب ٔىبال ِٓ هللاٙ٠ذ٠ا أٛاٌغبسلخ فبلطؼٚ اٌغبسقٚ
) 38 : 5 / ُ * ( اٌّبئذح١ؽى
Artinya :
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ ( Al-
Mâidah / 5 : 38 )
dilakukan kebanyakan oleh kaum pria dari pada kaum wanita. Hal ini tentu
disebabkan karena persoalan tanggung jawab mencari nafkah dipikul oleh kaum pria,
dan pencurian itu terjadi sesuai batas kemampuan seseorang dalam mencari nafkah.
39
Maksud dari hukuman tersebut, bahwa seoarang pencuri dipotong apabila mencapai
ukuran tertentu ( nishâb ), sehingg nabi bersabda dalam hal ini, tidaklah dipotong
seseorang yang mencuri kecuali telah mencapai seperempat dinar atau lebih,
demikian hukuman tersebut dijelaskan oleh Allah Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
36
Dan didahulukan ( خ١ٔ ( ) اٌضاwanita perzina ) dari pada ( ٝٔ ( ) اٌضاpria pezina ),
) 2 :24 /سٌّٕٛب ِبئخ عٍذح ( إِٙ اؽذٚ ًا وٚ فبعٍذٟٔاٌضاٚ خ١ٔاٌضا
Artinya :
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,. “ ( An-Nûr / 24 : 2 )
Alasan Abu Su’ud dalam tafsirnya, karena kaum wanita kebanyakan yang
mengajak kepada perbuatan zina, dengan prilaku cara berpakaian, tanpa menutup
aurat, sehingga mengundang syahwat. Sedangkan dalam surat An-Nûr ayat 3, tidak
sama dengan taqdîm di atas, lafazh ( ٟٔ ) اٌضاdidahulukan terhadap ( خ١ٔ) اٌضا, karena
persoalannya berbeda, kaum pria lebih berhak untuk mengajukan lamaran dengan
ayat di atas, bahwa bahwa Al-Qur’an menjelaskan kepada kita, tentang ketentuan
hukuman seorang pelaku zina baik itu bikr ( yang belum menikah ), atau muhsin
36
Ibid., h. 515
40
( telah menikah ), dan apabila dia seorang bikr, maka had ( ketentuan ) hukumannya
dengan cambukan 100 kali kemudian diasingkan dari tempatnya menurut jumhur
ulama, sedangkan bagi yang telah menikah hukumannya adalah dirajam ( dilempari
37
dengan batu ). Bunyi ayatnya yaitu :
ِششنٚب اال صاْ إٔٙىؾ٠ خ ال١ٔاٌضاٚ ِششوخٚخ أ١ٕٔىؼ اال صا٠ الٟٔاٌضا
Artinya :
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. “ ( An-Nûr / 24 : 3 )
Ibn Hajib berpendapat bahwa hal itu disebabkan, karena istri-istri yang
menjadi musuh lebih banyak terjadi dari pada anak-anak. Allah SWT menerangkan
hal itu untuk menjadi peringatan bahwa kecintaan itu akan membuat seseorang lupa
untuk beribadah kepada Allah SWT. Demikian rahasia didahulukan kata azwâj dalam
37
Ibid., As-Suyûtî, h. 38, Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 120-121, Ibid ., h. 580-581
41
ayat di atas. Demikian juga didahulukan lafazh ( ايِٛ ) األterhadap ( الدٚ ) األdalam
Artinya :
“ Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena
dia melihat dirinya serba cukup “. ( Al-„Alaq / 97 : 6-7 ).
Lafazh awlâd ( anak-anak ) tidak didahulukan dalam ayat di atas, karena tidak
semua awlâd itu menjadi penyebab datangnya fitnah, sebagai peringatan dari Allah
SWT terhadap makhluk-Nya siapa yang ta’at dan siapa yang ingkar kepadaNya.
dengan konteks ( siyâqul kalam ), yaitu sesuai dengan sifat yang dimiliki Allah yang
Maha Kuasa untuk memberi azab atau Maha Pengampun dan Maha Bijaksana
38
terhadap hamba-Nya, sebagaimana Allah berfirman :
38
As-Suyuti., Al-Itqan Fi Ulumil-Qur‟an, op.cit., h. 39
42
/ ُ* ( اٌّبئذح١ض اٌؾى٠ُ فبٔه أٔذ اٌؼضٌٙ اْ رغفشٚ ُ ػجبدنُٙٔ فبٙاْ رؼزث
) 118 :5
Artinya :
“ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-
hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ ( Al-Mâidah / 5 :
118 )
Kesembilan : Dimulai dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi
( ٍٝ األػٌٝ اٝٔ ِٓ األدٝ) اٌزشل, seperti mendahulukan kaki ( ً ) ُِ سعterhadap tangan
َب أْٙ ثٚجصش٠ ٓ١ُ أػٌٙ َب أْٙ ثٛجطش٠ ذ٠ُ أٌٙ َب أْٙ ثّٛش٠ ًُ أسعٌٙأ
) 195 : 7 / ( األػشاف
Artinya :
“Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan,
atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras,
atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai
telinga yang dengan itu ia dapat mendengar ? Katakanlah: "Panggillah
berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah
tipu daya (untuk mencelakakan) ku, tanpa memberi tangguh ( kepada ku ).“
( Al-‘Arâf / 7 : 195 )
43
Dalam ayat di atas, mendahulukan lafazh dari tingkatan yang rendah kepada
tingkatan yang tinggi. Seperti dimulai lafazh ( ًأسع ) sebelum ( ذ٠) أ, dengan tujuan
peningkatan derajat ( ٝ) اٌزشل. Yaitu karena derajat tangan itu lebih mulia dari pada
kaki, dan mata ( ain ) lebih mulia dari pada tangan ( yad ), dan pendengaran ( sama‟ )
lebih mulia dari pada penglihatan ( bashar ). Juga contoh, seperti mendahulukan
:19 / ُ٠ب ( ِش١ال ٔجٛوبْ سعٚ أٗ وبْ ِخٍصبٝعِٛ اٌىزبةٟاروش فٚ
) 51
“ Dan ceritakanlah ( hai Muhammad kepada mereka ), kisah Musa di dalam
Al-Kitab ( Al Qur'an ) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan
seorang rasul dan nabi.” ( Maryam / 19 : 51 ).
Artinya :
“ Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ( pula ) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya ". ( Al-Kahfi / 18 ; 49 )
39
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 121
44
Allah menerangkan setiap perbuatan buruk sekecil apapun apalagi yang besar,
atau perbuatan baik, maka Allah SWT akan membalasnya sesuai dengan catatannya.
besar ), karena kesalahan yang kecil itu lebih ringan dan lebih sedikit ( dosa )nya dari
pada kesalahan yang besar ( شح١وج ). Yang kecil itu tentu lebih tinggi ( tingkatan )
An-Nisâ’ / 4 : 172,
Karena tingkatan Al-Masih lebih tinggi dari Malaikat dalam hal ketaatan
menurut Ibn Shâ’ig. Menurut sebagian ulama, suatu kalimat yang tingkatannya lebih
berjalan dengan dua kaki, kemudian yang berjalan dengan empat kaki, sebagaimana
ٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُِٕٙٚ ٕٗ ثطٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُّٕٙهللا خٍك وً داثخ ِٓ ِبء فٚ
) 45 : 24/ سٌٕٛ أسثغ ( اٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُِٕٙٚ ٓ١ٍسع
45
Artinya :
“ Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan
dengan dua kaki, sedang sebagian ( yang lain ) berjalan dengan empat kaki.
“ ( An-Nûr / 24 : 45 )
kemampuannya dan menakjubkan dibanding dengan hewan yang berjalan dengan dua
kaki, dan yang berjalan dengan dua kaki tidak lebih mampu dibanding dengan yang
berjalan dengan empat kaki. Contoh taqdîm ini didasarkan kepada kemampuan dan
Artinya :
“ Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua
bertasbih bersama Daud. “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 )
burung dalam ayat di atas, adalah karena dalam penciptaan gunung-gunung ( jibal )
itu serta cara bertasbihnya lebih mengherankan dari pada kemampuan burung-burung,
karena benda padat berbeda kemampuannya dengan burung sebagai hewan natiq
40
( yang berbicara ). Karena itu didahulukan.
40
As-Suyûtî, op.cit., h. 39-40
46
Artinya :
“ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat". “ ( An-Nûr / 24 : 30 ).
( syahwat ), sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan ibn Mâjah ( ْب١ٕٔبْ رض١اٌؼ
ٗىزث٠ ٚصذق رٌه أ٠ اٌفشطٚ ) ( kedua mata berzina, dan farj membenarkannya atau
menjaga pandangan serta menjaga kehormatan dari apa yang diharamkan Allah. Hal
41
hambaNya.
41
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 293 , Ibnu Katsîr, op.cit., h. 598
47
ٌٝىُ ا٠ذ٠أٚ ُ٘ىٛعٚ اٍٛ اٌصالح فبغغٌٝا ارا لّزُ إِٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan kedua mata kaki “
( Al-Mâidah / 5 : 6 )
membasuh muka dan kedua tangan hingga kedua siku, juga larangan melihat ke kiri
diperintahkan tartîb ( berurutan ) dalam pelaksanaan wudhu’. Karena itu Imam Asy-
Syafi’i mewajibkan tartib. Juga dengan alasan, bahwa huruf ( fâ‟ ) dalam kalimat
anggota-anggota wudhu’ lainnya, dan hal ini sebagai bukti bahwa pelaksanaannya
membasuh muka dan kedua tangan sebagai bukti diwajibkannya tertib. Maksud ayat
adalah bahwa perintah berwudhu’ bagi yang berhadats sebelum sholat adalah dengan
membasuh muka, setelah niat, kemudian membasuh kedua tangan hingga kedua siku,
membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Demikian penjelasan tertib dari ayat wudhu’
42
di atas.
orang miskin ( ٓ١اٌّغبو ) serta Ibnussabîl ( ً١اثٓ اٌغج ), dalam hal pemberian
ِٝزب١ٌاٚ ٝ اٌمشثٌٞزٚ يٌٍٛشعٚ ٗء فؤْ هلل خّغٟا أّٔب غّٕزُ ِٓ شٍّٛاػٚ
kemudian para miskin dan seterusnya untuk tujuan ihtimâm ( perhatian ) bagi atau
43
oleh mukhâtab, karena mereka lebih diutamakan dan lebih membutuhkan.
Taqdîm dan ta‟khîr yang kedua : ialah mendahulukan suatu kata, sedangkan
niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan )( ش١خ ثٗ اٌزؤخ١ٌٕاٚ َ ) ِبلذatau dengan kalimat lain
( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ػ٠رمذ ), seperti mendahulukan khabar terhadap mubtada’. Dalam
42
Az-Zarkasyi, op.cit., h.317, Ibn Katsîr, op.cit., h. 488-489
43
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 309
49
taqdîm bentuk ini terdapat rahasia dan sebab-sebab, sebagaimana disebutkan oleh
maksud lain yaitu ( ش١ اٌزؤخٚ ُ٠ِب أشىً ِؼٕبٖ ثؾغت اٌظب٘ش فٍّب ػشف أٔٗ ِٓ ثبة اٌزمذ
() ارعؼsesuatu yang belum jelas maknanya secara zhahir, namun setelah diketahui
bahwa hal itu termasuk taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas maksudnya ). Seperti
Tujuannya untuk memberitahukan kepada umat, bahwa hamba Allah yang paling
takut kepada-Nya adalah para ulama. Demikian juga dalam ayat ini ( ُ١٘ اثشٍٝار اثزٚ
sebagai fâ‟il. Yang bertujuan bahwa penyebutan Ibrâhim karena beliau sebagai imam,
maka didahulukannya lebih baik, dan juga untuk memberitakan kepada manusia
44
bahwa ia sebagai manusia yang mulia. Juga mendahulukan maf‟ûl tsâni ( ٌٗٙ) ا
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ). Asal taqdîrnya
44
Ibid., h. 319
50
yaitu ( ٌٗٙاٖ اٛ٘ ذ ِٓ ارخز٠ ) أفشأyang menjadikan berhala atau hawa nafsu sebagai
sesembahan. Juga contoh taqdîm ini terdapat dalam surat Al-Qamar / 54 : 1, yaitu :
( ( ) أشك اٌمّشterbelahnya bulan ), yang asal taqdîrnya adalah ( الزشثذٚ أشك اٌمّش
merupakan tanda datangnya hari kiamat, dan langit serta bumi akan hancur sa’at itu.
Karena itu didahulukan lafazh ( الزشثذ اٌغبػخ ) meskipun maknanya adalah sebagai
45
keserasian akhir kalimat ( murâ‟atul fashilah ). Dan mendahulukan maf‟ûl dalam
ٌّغزمشٞاٌشّظ رغشٚ *ٍّْٛبس فبرا ُ٘ ِظًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍُ اٌٙ خ٠ءاٚ
ْٛ ػبد وبٌؼشعٝاٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصي ؽزٚ * ُ١ٍض اٌؼ٠ش اٌؼض٠ب رٌه رمذٌٙ
45
Ibid., h. 325
51
“ Dan suatu tanda ( kekuasaan Allah yang besar ) bagi mereka adalah
malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta
mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,
sehingga ( setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir ) kembalilah dia
sebagai bentuk tandan yang tua. “ ( Yâsîn / 36 : 37-39 )
Didahulukan maf‟ul dalam ayat ( اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ ) dengan tujuan menjaga
( بسًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍ ) ا, kemudian ayat berikutnya ( ٞاٌشّظ رغشٚ ), maka terlihat
( اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ ), semuanya tersusun dengan satu keserasian ( nazhm ). Dan
jika dikatakan ( لذسٔب اٌمّش ِٕبصيٚ ), maka hilang keindahan serta keserasian susunan
kalimat ( nazm ). Maksud ayat, bahwa apabila berganti siang kemudian berpindah
menjadi malam, maka ia menjadi gelap gulita, dan matahari berhenti dari
peredarannya pertanda datangnya hari Kiamat, maka tidak ada keputusan, tiada gerak,
demikian ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan kami
jadikan bulan berjalan sesuai dengan waktunya, maka terlihatlah cahaya malam dan
matahari berputar pada waktunya, maka terlihatlah cahaya siang, dan apabila bulan
pada malam pertamanya, terlihat sedikit cahaya, dan setiap berpindah manâzil
( tempat ), maka bertambah cahaya, hingga sempurna cahaya pada malam ke-14,
kemudian berkurang sedikit demi sedikit hingga akhir bulannya, maka akan tampak
52
seperti ( urjûn yang tua ). Demikian Allah tentukan setelah itu awal bulan yang lain.
46
/ 64 : 1, yaitu ; ( ٌٗ اٌؾّذٚ ٌٗ اٌٍّه )( hanya Allahlah yang mempunyai semua
kerajaan dan semua puji-pujian ). Yaitu segala bentuk kekuasaan atau kerajaan ( al-
Mulk ) yang haqiqi hanyalah Allah SWT pemilikNya. Begitu pula dengan segala puji-
pujian yang merupakan sumber asalnya dari-Nya, oleh karena itu segala bentuk
47
kerajaan dan segala pujian dikhususkan hanya untuk Allah SWT semata.
46
Muhamad Syeikhûn, Dirâsah Fî Lughah Al-Arabiyah Wa Adâbuha, ( Kairo : Maktabah
Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, 1417 H / 1996 M ), h. 142, Ibn Katsîr, op.cit., h. 162-163
47
Mohamad Syaikhûn, op.cit., h. 142,
53
C. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Ilmu Qirâ’at dan tafsiran
ayat-ayatnya.
terhadap ( اٍٛلزٚ ) dalam ayat ( اٍٛلزٚ اٍٛلبر )( yang berperang dan yang terbunuh ),
ُ ثؼعىٝ أٔضٚغ ػًّ ػبًِ ِٕىُ ِٓ روش أ١ ال أظُٟٔ أُٙ سثٌٙ فبعزغبة
اٍٛلبرٚ ٍٟ١ عجٟا فٚرٚأٚ ُ٘بس٠ا ِٓ دٛأخشعٚ اٚٓ ٘بعش٠ِٓ ثؼط فبٌز
اثبٛبس صٙٔب األٙ ِٓ رؾزُٞ عٕبد رغشٍٕٙألدخٚ ُٙئبر١ُ عٕٙا ألوفشْ ػٍٛلزٚ
Artinya :
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya ( dengan berfirman ),
" Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, ( karena ) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah,
yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-
kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik." ( Ali-Imran / 3 : 195 )
Maksud ayat di atas adalah jawaban atas pertanyaan, tentang apakah akan dihapus
SAW menjawabnya, ya, karena itu Allah berfirman : ( ٍُٕٙألدخٚ ُٙئبر١ُ عٕٙأوفشْ ػ
بسٙٔب األٙ ِٓ رؾزٞ) عٕبد رغش, bahwa Allah SWT akan menghapuskan kesalahan
susu, madu dan yang lainnya, yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah
terdengar oleh telinga, dan tidak pernah tersirat dalam sanubari. Demikian itu,
sungguh karena besarnya kekuasaan Allah serta balasan-Nya yang tiada terbilang.
derajat orang-orang yang berperang di jalan Allah SWT apapun resikonya membunuh
48
atau terbunuh. Demikian menurut Ibn Katsir dalam kitabnya.
ً ثٝرٌّٛ وٍُ ثٗ اٚ لطؼذ ثٗ األسض أٚشد ثٗ اٌغجبي أ١ أْ لشءأب عٌٛٚ
ؼب١ّ إٌبط عٜذٌٙ شبء هللا٠ ٌٛ ْا إِٔٛٓ ءا٠ؤط اٌز١٠ ٍُؼب أف١ّهلل األِش ع
48
Ibn Katsir, op.cit., h. 348-349, Alamudin Ramadhan Al-Jundy, et. al., Al-Ghayah fi Al-
Qira‟at Asyar lil Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Husein bin Mahran Al-Ashbahani ( w 371 H ), ( Saudi
Arabiyah : Darussyawaf li Nasyr Wa Tawzi’, 1411 H / 1990 M ), cet. ke-2, h. 221
55
ُ٘جب ِٓ داس٠ رؾً لشٚا لبسػخ أُٛ ثّب صٕؼٙج١ا رصٚٓ وفش٠ضاي اٌز٠ الٚ
)31 :13 /ؼبد ( اٌشػذ١ٌّخٍف ا٠ ػذ هللا اْ هللا الٚ ٟؤر٠ ٝؽز
Artinya :
Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu
gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh
karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, ( tentu Al Qur'an
itulah dia). Sebenarnya segala itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah
orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah
menghendaki ( semua manusia beriman ), tentu Allah memberi petunjuk
kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa
bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat
tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya
Allah tidak menyalahi janji. ( Ar-Ra‟d / 13 : 31 )
ظ٠ْؤ٠ ). Kedua bacaan tersebut dibenarkan ( shahihah ), menurut Imam Qalun ( 120-
205 H ) dan Imam Warsy ( 110- 197 H ). Dalam dua qira‟at di atas ( أط
ِ َُْٟ ٠َ )
atau ( ظ٠ْؤ٠ ), adalah menjelaskan tentang iman umat terdahulu mengetahui dan
membuktikan, bahwa Zabur adalah bukan sekedar hujjah ( dalil ) atau mu’jizat, akan
tetapi dirasakan serta masuk akal, karena bukti-bukti dapat diterima dengan baik dan
sempurna. Dan semua kitab-kitab yang diturunkan kepada umatnya, serta mukjizat
yang terdapat didalamnya, selesai dengan kematian para Nabinya, akan tetapi kitab
56
Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW sebagai kitab mukjizat, tetap
49
abadi dan menjadi panutan bagi umat islam hingga hari kiamat.
dalam bacaan ( ٍََُُْٛ ْمز٠َٚ ٍََُُْٛ ْمز١َ () فmereka membunuh dan terbunuh ), Dan Hamzah
bentuk maf‟ul terhadap bentuk fa‟il. Sebagaimana dalam surat At-Taubah / 9 : 111,
yaitu :
ً١ عجْٟ فٍٛمبر٠ ُ اٌغٕخٌٙ ُْ ثؤٌٙاِٛأٚ ُٙٓ أٔفغ١ِٕ ِٓ اٌّئٜاْ هللا اشزش
ِٓٚ ْاٌمشءاٚ ً١اإلٔغٚ ساحٛ اٌزٟٗ ؽمب ف١ٍػذا ػٚ ٍْٛمز٠ٚ ٍْٛمز١هللا ف
ُ١ص اٌؼظٛ اٌفٛ٘ رٌهٚ ٗؼزُ ث٠ ثبٞؼىُ اٌز١ا ثجٚذٖ ِٓ هللا فبعزجششٙ ثؼٝفٚأ
kepada maksud ayatnya, karena menurut Ibn Katsir bahwa huruf wawu ( ٚاٚ ) tidak
49
Ibid., Jilid ke-2, h. 282
57
bertujuan untuk tartib ( urutan ), akan tetapi untuk persamaan ( taswiyah ), karena itu
baik didahulukan atau sebaliknya, maka balasan dari perbuatan tersebut ( membunuh
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an.
Demikianlah janji Allah bagi orang-orang yang beriman atas suatu kemenangan yang
50
sangat besar.
Taqdîm dan ta‟khîr yang ketiga : ialah mendahulukan kalimat dalam suatu
( ٝش االصطالؽ١ُ غ٠) اٌزمذ. Dalam hal ini terdapat sebab-sebab serta rahasia khusus,
ٓ١ٌّ ) هلل سة اٌؼبdan diakhirkan dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 36 yaitu ( فٍٍٗ اٌؾّذ
surat Al-Jâtsiyah adalah sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, yang seakan-akan
ada pertanyaan, “ Untuk siapa semua puji-pujian itu ? ( ) ٌّٓ اٌؾّذ ؟. Dan siapa
50
Al-Baidhâwi ( w. 791 H ), Tafsir Al-Baidhâwi ( Anwârut Tanzîl Wa Asrârut Ta‟wîl ),
( Libnani, Dârul Fikr, 1416 H / 19 96 ), Jilid ke-3, h. 174
58
milik Allah SWTlah segala puji-pujian itu ). Yaitu bahwa Allahlah penguasa bagi
yang ada di langit dan di bumi. Dan contoh semacam ini, juga diungkap dalam
pada hari ini? ). Dan sebagai jawabannya adalah (بسٙاؽذ اٌمٌٛ () هلل اKepunyaan Allah
51
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan ).
dari gerbang sambil membungkuk dan makanlah dari hasil buminya ) dan diakhirkan
dalam surat Al-A’râf / 7 : 161 ( ا اٌجبة عغذاٍٛادخٚ ا ؽطخٌٛٛلٚ ) ( Dan makanlah dari
hasil buminya dan masukilah dari pintu gerbangnya sambil membungkuk ). Para
ulama balaghah dan ulama lainya seperti Az-Zamakhsyari dan Abû Su’ûd tentang
taqdîm dan ta‟khîr ini, berpendapat bahwa perintah dalam dua ayat di atas adalah
dengan menggabungkan maknanya, yaitu baik ( ي ثبٌؾطخٛ ) اٌمatau ( ٓ٠ي عبعذٛ) اٌذخ
tanpa harus berurutan di antara keduannya, dengan membolehkan mana yang harus
didahulukan. Dan As-Suyûtî berpendapat, meskipun ada perbedaan dalam dua ayat
tersebut, namun tujuannya adalah untuk keindahan dalam kefasihan ( tafannûn fil
51
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 329, Ibn Katsîr, op.cit., h. 314
59
52
fashîhah ). Maksud surat Al-Baqarah / 2 : 58, bahwa Allah memerintahkan kepada
Bani Israil memasuki ardhul muqaddas ( Baitul Maqdis ) ada yang mengatakan
Ariha’, karena pertolongan Allah dan keluar dari tîh selama 40 tahun setelah
pembukaan maka diperintahkan untuk bersujud ( baca : bersyukur ) kepada Allah atas
kemenangan dan pembukaan kota baru, dan beristigfar, maka Allah akan
53
mengampuni kesalahan dan ditambahkan segala kebaikan.
An’âm dan Al-Isra’ dengan redaksi yang berbeda. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 151
berbunyi :
ُ وبْ خطئبٍٙبوُ اْ لز٠اٚ ُٙخ اِالق ٔؾٓ ٔشصل١الدوُ خشٚا أٍٛال رمزٚ
) 31 : 17 / شا * ( اإلعشاء١وج
Artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. “ ( Al-Isra‟ /
17 : 31 )
52
Ibid., h. 332, Abdul Azhm Muth’inî, op.cit., h. 150-151
53
Ibn Katsîr, op.cit., h. 68
60
/ 6 : 151 dan tidak didahulukan dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, dengan khîtab pada
ayat Al-An’âm ditujukan kepada orang-orang miskin ( ) اٌفمشاء. Ini dibuktikan dengan
dalil ( ) ِٓ اِالق, yaitu karena kemiskinan. Dan kemiskinan itu bagi orang-orang
miskin, tentu telah terjadi. Maka janji Allah untuk memberikan rejeki bagi orang-tua
mereka lebih penting dari pada anak-anak mereka, karena itu didahulukan dlamîr kum
dlamîr ( ُ٘ )( ُٙ ) ٔشصلyang ditujukan kepada orang-orang kaya ( بء١ٕ) أغ, dengan
dalil ( خ اإلِالق١ () خشtakut kemiskinan ). Dan kata “ khasyiah “ adalah sebagai bukti
adanya kekhawatiran mereka akan kemiskinan, yakni mereka takut bila terjadi
terhadap anak-anak mereka. Dengan demikian rejeki bagi anak-anak mereka lebih
penting, maka janji Allah untuk pemberian rejeki bagi anak-anak mereka diutamakan
Melihat dua redaksi ayat yang berbeda di atas, Ibn Katsir menjelaskan dalam
kitabnya tentang surat Al-An’âm / 6 : 151, bahwa Allah SWT melarang pembunuhan
yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya disebabkan kemiskinan yang tidak
dapat memberikan nafkah ( rejeki ) dengan baik terhadap anak-anak mereka. Maka
janji Allah untuk mengutamakan rejeki bagi mereka ( orang-tua ) karena rejeki bagi
61
mereka lebih penting. Sedangkan maksud larangan Allah atas pembunuhan yang
terdapat dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, ditujukan kepada selain orang miskin ( baca :
orang kaya ), akan tetapi orang kaya takut jatuh miskin di suatu hari dan hal itu bisa
mereka adalah lebih penting dari pada rejeki orang tua mereka. Karena itu Allah
bagi anak-anak mereka lebih penting. Demikian maksud Allah dalam dua ayat di atas,
54
karena Allah SWT Maha Penyayang terhadap hambaNya.
yang sebenarnya ). Terdapat redaksi yang berbeda antara surat Al-Baqarah / 2 : 120
ٛ٘ هللاُٜ لً اْ ٘ذٙ رزجغ ٍِزٝ ؽزٜال إٌصبسٚ دٛٙ١ٌ ػٕه اٌٝٓ رشظٚ
) 120 : 2 / ( اٌجمشح. ٜذٌٙا
Artinya :
“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka “. ( Al-Baqarah / 2 : 120 )
54
Abdul Azhîm Ibrâhim Al-Muth’inî, op.cit., h. 183, Az-Zarkasyi, op.cit., h. 330, Ibn Katsîr
, op.cit., h. 375
62
dengan redaksi yang berbeda, dengan mendahulukan ( ٜذٌٙ ) اdari pada ( هللاٜ) ٘ذ
) 73
Artinya :
“ Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu, katakanlah : “ sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti )
adalah petunjuk Allah “. ( Ali-Imrân / 3 : 73 )
bahwa didahulukan ( هللاٜ ) ٘ذdalam dua tempat ( surat Al-Baqarah / 2 : 120 dan
petunjuk yang sebenarnya ( ٜذٌٙ اٛ٘ هللاٜ) ٘ذ, sebagai bantahan atas pengakuan
bahwa petunjuk itu dari mereka. Dengan adanya pengakuan itu, seakan-akan mereka
tidak setuju kepada umat saat itu kecuali mengikuti dan membenarkan petunjuk
mereka ( ٜال إٌصبسٚ دٛٙ١ٌ ػٕه اٌٝٓ رشظٚ ). Dan dalam hal ini, seakan-akan
mereka menolak semua petunjuk kecuali dari mereka. Oleh karena itu Allah SWT
redaksi ( ٜذٌٙ اٛ٘ ) لً اْ ٘ذىبهلل, yang maksudnya bahwa tidak ada petunjuk kecuali
Ali Imrân : 73, karena umat belum terlihat nampak keingkaran mereka dengan adanya
petunjuk Allah SWT, bahkan mereka menyetujuinya dengan tujuan ingin memfitnah
karena itu datang nash dengan redaksi ( هللاٜ ٘ذٜذٌٙلً اْ ا ), bantahan jelas,
orang mu’min. Maka kata ( ٜذٌٙا ) dalam ayat Ali-Imrân / 3 : 73 ini, ditambah
dengan alif dan lam, dan menjadi pokok pembicaraan, bahwa maksud dari
( هللاٜ ) ٘ذadalah sama dengan ( ٜذٌٙ ) اdengan alif dan lam. Sebagaimana bunyi
ayatnya :
أؽذ ِضً ِبٝئر٠ ْ هللا أٜ ٘ذٜذٌٕٙىُ لً اْ ا٠ا اال ٌّٓ رجغ دِٕٛال رئٚ
هللاٚ , شبء٠ ِٓ ٗ١ذ هللا ثئر١ لً اْ اٌفعً ث, ُوُ ػٕذ سثىٛؾبع٠ ٚزُ أ١رٚأ
Artinya :
“ Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu. Katakanlah: " Sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti ) ialah
petunjuk Allah, dan ( janganlah kamu percaya ) bahwa akan diberikan
kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan ( jangan pula
kamu percaya ) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu
64
Dan kesimpulan bahwa maksud ayat Al-Baqarah / 2 : 120, bahwa ayat ini
ditujukan kepada Nabi SAW dan pengikutnya untuk meninggalkan petunjuk Yahudi
dan Nasrani dan menerima petunjuk Allah SWT dalam hal perintah berdakwa yang
jelas-jelas nyata kebenarannya. Maka dengan ayat ( ٜذٌٙ اٛ٘ هللاٜ) لً اْ ٘ذ
mengutusmu ke jalan yang lurus ( agama yang lurus ), dan jika kamu mengikutinya
setelah datangnya ilmu ( Al-Qur’an ), maka Allah tidak bisa melindungi dan menjadi
penolong. Sedangkan maksud dalam Ali Imrân / 3 : 73, bahwa orang-orang mu’min
hidayah Allah yang memberikan petunjuk ke dalam hati setiap mu’min dengan
55
petujuk rasul-Nya dan dengan ayat-ayat-Nya.
ungkapan ( ta‟bîr ) al-Qur’an yang berbunyi ( ش هللا١ِب أً٘ ٌغٚ ) ( yang disembelih
atas nama selain Allah SWT ). Dalam tiga tempat didahulukan ungkapan ( ش هللا١) ٌغ
55
Abdul Azhîm Ibrîhim Muth’inî, op.cit., h. 114 dan 292
65
ٚزخ أ١ِ ْٛى٠ ْطؼّٗ اال أ٠ ُ غبػٍٝ ِؾشِب ػٌٟ اٟؽٚ ِب أٟلً ال أعذ ف
6 /َش هللا ثٗ ( األٔؼب١ فغمب أً٘ ٌغٚش فبٔٗ سعظ أ٠ ٌؾُ خٕضٚؽب أٛدِب ِغف
) 145 :
Artinya :
“ Katakanlah : " Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi -karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah “. ( Al-An’âm / 6 : 145 )
/ ًش هللا ثٗ * ( إٌؾ١ِب أً٘ ٌغٚ ش٠ٌؾُ اٌخٕضٚ َاٌذٚ زخ١ٌّىُ ا١ٍأّب ؽشَ ػ
) 115 :16
66
Artinya :
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu ( memakan ) bangkai,
darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah .“ ( Al-Nahl / 16 : 115 )
ٖب٠ا هلل اْ وٕزُ اٚاشىشٚ ُجبد ِب سصلٕبو١ا ِٓ غٍٛا وِٕٛٓ أ٠ب اٌزٙ٠ب أ٠
ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ ش٠ٌؾُ اٌخٕضٚ َاٌذٚ زخ١ٌّىُ ا١ٍْ * أّب ؽشَ ػٚرؼجذ
Dari empat nash di atas, terdapat tiga redaksi yang berulang-ulang dengan
ungkapan ( ٗش هللا ث١ِب أً٘ ٌغٚ ), sebagaimana dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3, surat
( ش هللا١) ٌغ, karena dhamîr dalam ( ٗ ) ثkembali kepada mâ ( ) ِب, dan ( ش هللا١) ٌغ
tidak terlepas maksudnya dari ( ً٘) أ, sebagai shilah dari maushûl. Dan hal ini,
diungkap dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173, dengan ungkapan ( ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ ).
67
Dari empat nash di atas terdapat rahasia sebab-sebab didahulukan atau diakhirkannya,
yaitu :
kepada Ahli Makkah, yang mayoritas saat itu belum beriman kepada Allah SWT.
Madinah yang kita ketahui mayoritas mereka telah beriman. Dan mereka bukan
penyembah berhala, juga bukan kafir tetapi untuk mencegah kemusyrikan, dan juga
Karena itu awal ayatnya dimulai dengan ungkapan ( إِٛٓ آ٠ب اٌزٙ٠بأ٠ ) ( wahai orang-
An’âm : 145, An-Nahl : 115, serta surat Al-Mâidah : 3 ), untuk tujuan ta‟kîd
didahulukan lafadz ( ش هللا١) ٌغ, karena sangatlah penting. Sedangkan dalam surat Al-
68
Baqarah : 173 sesuai dengan asalnya ( ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ ), dengan memajukan
lafazh ( ٗ) ث, kerena sebagian mereka telah beriman, maka diakhirkan kalimat ( ش١ٌغ
56
) هللاkarena tidak dibutuhkan penekanan ( ta‟khîd ).
Maksud ayat di atas, bahwa Allah SWT memberitakan kepada seluruh umat
Islam tentang mengharamkan bangkai, darah, daging babi, serta penyembelihan yang
disebutkan selain nama Allah SWT, karena memakan makanan yang baik ( tayyib )
adalah syarat diterimanya do’a dan amal ibadah, sedangkan memakan makanan yang
SAW, “ Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik, maka Dia tidak akan menerima
kecuali yang baik juga “ ( HR. Muslim ). Sedangkan kepada yang terpaksa Allah
( keringanan ) dari Allah SWT, karena Dia Maha pengampun dan lagi Maha
57
penyayang. Demikian maksud ayat-ayat di atas menurut ulama tafsir.
keadilan karena Allah ) terhadap ( ذاء ثبٌمغػٙ ( ) شmenjadi saksi dengan adil )
56
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 162-163
57
Ibid., h. 150, 478, 626, 350
69
benar-benar penegak keadilan ) terhadap ( ذاء هللٙ ( ) شmenjadi saksi karena Allah )
َٛغشِٕىُ شٕآْ ل٠ الٚ ذاء ثبٌمغػٙٓ هلل ش١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠
* ٍّْٛش ثّب رؼ١ا هللا اْ هللا خجٛارمٚ ٜٛ ألشة ٌٍزمٛ٘ اٌٛا اػذٌٛ أال رؼذٍٝػ
) 8 :5 / ( اٌّبئذح
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan ( kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( Al-Mâidah / 5 : 8 )
ٚ أٔفغىُ أٍٝ ػٌٛٚ ذاء هللٙٓ ثبٌمغػ ش١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب ا ٌزٙ٠بأ٠
ْ أٌٜٛٙا اّٛب فال رزجؼٙ ثٌٝٚشا فبهلل أ١ فمٚب أ١ٕىٓ غ٠ ْٓ ا١األلشثٚ ٓ٠اٌذٌٛا
:4 /شا * ( إٌغبء١ْ خجٍّٛا فبْ هللا وبْ ثّب رؼٛ رؼشظٚا أٍٚٛاْ رٚ اٌٛرؼذ
) 135
Artinya :
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjaan. “ ( An-Nisâ‟ / 4 : 135 )
70
sebagaimana disepakati jumhur ulama, namun ayat al-Maidah berkenaan dengan ayat
ini, terdapat perselisihan pendapat. Dan disepakati ulama ( ijma’ ), bahwa Al-Maidah
atau An-Taubah surat yang turun terakhir dari Al-Qur’an. Sebagaimana Az-Zarkasyi
58
Suyuti mengatakan dalam kitabnya. Dan dari taqdîm dan ta‟khîr kedua ayat di
secara mutlak menjadi penegak keadilan. Dan perintah tersebut ditunjukan bagi
135. Diriwayatkan bahwa turunnya ayat ini, sebagaimana dikutip oleh Al-Wâhidi
dalam kitabnya ( asbâbu an-nuzl ). Diriwayatkan oleh Abi Hâtim dari as-Sa’dy
bahwa ayat ini turun kepada Nabi SAW, tentang pesengketaan di antara orang kaya
dan orang miskin, dan menjelaskan orang miskin tidak akan berbuat zhalim terhadap
orang kaya. Maka kata Nabi, tidaklah Allah menghukum terhadap perkara mereka
58
Ibid.,h. 165
71
keculi dengan adil. Maka turunlah ayat ini ( ٓ ثبٌمغػ١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠ )
sampai ( ّبٙ ثٌٝٚشا فبهلل أ١ فمٚب أ١ٕىٓ غ٠ ْ) ا.
ditujukan kepada orang-orang beriman secara khusus dan semua manusia secara
umum. Karena ayat ini, sebagaimana menurut ijma’ ulama turun di saat haji wada’
dan dia adalah surat yang terakhir turun dari Al-Qur’an. Oleh karena itu Ahli-Makkah
termasuk dalam khitâb ayat ini. Dengan demikian ayat ini, sebagai ayat nasehat
terhadap umat manusia pada umumnya. Kerena itu didahulukan ( ٓ هلل١ِاٛا لٛٔٛ) و,
karena perintah menegakan kebenaran karena Allah adalah bukan hanya tanggung
59
jawab mukhâtab akan tetapi ditujukkan kepada sebagian umat muslim lainya.
mu’min berlaku adil, baik terhadap diri sendiri, terhadap kedua orang tua atau
kerabat, kaya atau miskin dengan ikhlas karena Allah SWT, karena yang demikian itu
lebih mendekati kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Nya karena Dia Maha
60
mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya.
59
Ibid., h. 166
60
Ibid., h. 447-447 dan 494-495
72
/ شا ( اإلعشاء١شا ثص١ٕىُ أٗ وبْ ثؼجبدٖ خج١ثٚ ٟٕ١ذا ث١ٙ ثبهلل شٝلً وف
) 96 :17
Artinya :
“ Katakanlah : " Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu
sekalian. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya ". “ ( Al-Isrâ‟ / 17 : 96 )
ٓ٠اٌزٚ األسضٚ ادّٛ اٌغٟؼٍُ ِب ف٠ ذا١ٕٙىُ ش١ثٚ ٟٕ١ ثبهلل ثٝلً وف
Artinya :
“Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia
mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya
kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang
merugi. “ ( Al-Ankâbut / 29 : 52 ).
1. Didahulukan ( ذا١ٙ ) شdalam surat Al-Isra’, karena bila kita amati sikap
penolakan kafir Quraisy terhadap Rasululullah SAW sungguh telah sampai kepada
puncak keingkarannya. Dibuktikan dengan ayat 90-93 dalam surat Al-Isrâ’ ini, yaitu :
رغمػ اٌغّبء وّبٚشا * أ١ب رفغٌٙبس خالٙٔػٕت فزفغش األٚ ً١ِٓ ٔخ
73
ٖٕب وزبثب ٔمشإ١ٍ رٕضي ػٝه ؽز١ٌٓ ٔئِٓ ٌشلٚ اٌغّبءٟ فٝ رشلٚصخشف أ
Artinya :
“Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga
kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai
sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah
kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas
kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-
malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah
rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan
mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab
yang kami baca " ( Al-Isrâ‟ / 17 : 90-93 )
Karena ayat ini bercerita tentang pengingkaran kafir Quraisy terhadap Rasul yang
masih bersifat umum. Redaksi ayat Al-Ankâbut / 29 : 50-51, itu adalah sebagai
berikut :
ش٠أّب أٔب ٔزٚ بد ػٕذ هللا٠٢بد ِٓ سثٗ لً أّب ا٠ٗ ءا١ٍال أٔضي ػٌٛ اٌٛلبٚ
رٌه ٌشؽّخُٟ اْ فٙ١ٍ ػٍٝز٠ ه اٌىزبة١ٍُ أٔب أٔضٌٕب ػٙىف٠ ٌُٚٓ* أ١ِج
( saksi ) terhadap ( ٕخ١ () اٌجbukti ). Dan hal ini terbukti bahwa dakwah yang
disampaikan oleh para rasul dan keingkaran mereka terhadap dakwah tersebut tidak
menyampaikan dakwah ini kepada mereka, dan engkau, ya Allah telah mengetahui
apa yang aku sampaikan “. Hal ini diisyaratkan dengan adanya bukti saksi dengan
ayat ( شا١شا ثص١ ( ) أٗ وبْ ثؼجبدٖ خجSesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi
didahulukan zharaf ( ُٕى١ثٚ ٕٝ١ ) ثterhadap lafazh ( ذا١ٙ ) شuntuk tujuan takhshis
pengkhususan ( األسضٚ ادٚ اٌغّبٝؼٍُ ِب ف٠ ذا١ٕٙىُ ش١ثٚ ٟٕ١ ثبهلل ثٝ) لً وف, takdirnya
( ُشو١ٓ أؽذ غ١ٕىُ أٔزُ ال ث١ثٚ أٔبٕٝ١) ث. Dan kekhususan itu terletak hanya pada ilmu
Allah, yaitu ilmu Allah terhadap hamba-Nya. Karena itu didahulukan zharaf untuk
61
tujuan kekhususan ( takhshîsh ). Dan maksud ayat di atas bahwa Allah SWT
memberi pelajaran kepada Nabi SAW tentang hujjah terhadap kaumnya, bahwa
61
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 171-173
75
segala yang disampaikannya itu benar, dan Allah menjadi saksi terhadap Nabi-Nya
62
dan juga terhadap kaumnya.
Surat Al-Baqarah / 2 : 35 :
ال رمشثبٚ ش شئزّب١ب سغذا ؽِٕٙ والٚ عه اٌغٕخٚصٚ بآدَ اعىٓ أٔذ٠ لٍٕبٚ
Artinya :
“ Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga
ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja
yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan
kamu termasuk orang-orang yang zalim. “ ( Al-Baqarah / 2 : 35 )
Surat Al-Baqarah / 2 : 58 :
ا اٌجبة عغذاٍٛادخٚ ش شئزُ سغذا١ب ؽِٕٙ اٍٛخ فى٠ا ٘زٖ اٌمشٍٛار لٍٕب ادخٚ
Artinya :
62
Ibn Katsîr, op.cit. h. 401 dan h. 41
76
Apa rahasia taqdîm dan ta‟khîr dari kedua redaksi ayat di atas ?. Rahasianya :
ditujukan terhadap Nabi Adam As dan Siti Hawa’ agar masuk surga dan memakan
makanan di dalamnya dengan suka hati dan banyak. Karena itu didahulukan
didulukannya makanan itu lebih penting bagi keduanya. Sedangkan makna yang
terkandung dalam ( ش شئزّب١ؽ ), bahwa Adam dan Hawa’ di dalam surga berada
dalam keadaan tenteram dan damai tidak ada tekanan dan ganngguan apapun.
( b ). Sedangkan didahulukan ( ُش شئز١) ؽ, karena khitâb Allah itu ditujukan
kepada Bani Isrâil ketika memasuki kota Ariha dan di dalamnya terdapat banyak
kalimat ( ُش شئز١ؽ ), adalah bahwa suatu tempat ( kota besar ), jika banyak
dibutuhkan usaha keras untuk mencari rejeki dan juga sebagai tempat tinggal yang
63
layak. Maka mendahulukan ( ُش شئز١ ) ؽlebih penting bagi mereka. Tafsir ayat
63
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit.,h . 188
77
mereka bersujud kecuali Iblîs, dan Allah SWT memberikan kebebasan memakan
sesukanya ( ragadan ), kemudian Allah SWT menguji Adam dan istrinya dengan
keduanya melanggar larangan Allah, karena itu Allah menyuruh mereka keluar dari
surga tersebut hingga datangnya waktu kiamat. Sedangkan dalam ayat Al-Baqarah / 2
: 58, perintah Allah ditujukan kepada Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdîs
64
Allah, lalu Allah menambahkan nikmat-Nya.
redaksi yang sama tetapi kata “ syafâ‟ah “ didahulukan dalam suatu ayat dan
ئخز٠ الٚ ب شفبػخِٕٙ ًمج٠ الٚ ئب١ ٔفظ ػٓ ٔفظ شِٞب ال رغضٛ٠ اٛارمٚ
Artinya :
“ Dan jagalah dirimu dari ( `azab ) hari ( kiamat, yang pada hari itu )
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan ( begitu
pula ) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka
akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 48 )
64
Ibn Katsîr, op.cit., h.54-55, dan 68
78
بٙال رٕفؼٚ ب ػذيِٕٙ ًمج٠ الٚ ئب١ ٔفظ ػٓ ٔفظ شِٞب ال رغضٛ٠ اٛارمٚ
Artinya :
“ Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat
menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu
tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa`at sesuatu syafa`at
kepadanya dan tidak ( pula ) mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 123 )
manfi ( ًمج٠ ) الdan lafazh ( ) اٌؼذيmenjadi nâib fâ‟il dari fi‟il ( ئخذ٠ ) ال.
terhadap ( ) اٌشفبػخ, sedangkan lafazh ( ) اٌؼذيmenjadi nâib-fâ‟il dari fi‟il yang manfi
yang menjadi musnad ( predikat ) lafazh ( ) اٌؼذيdalam ayat pertama, yaitu fi‟il
kepada jiwa ( nafs ) karena ayat ini berbicara tentang mereka yang tidak bisa
memberikan pertolongan kepada orang lain, juga tidak diterima syafa’at dan juga
tebusan. Karena itu jika kembalinya dhamîr ( بِٕٙ ) dalam ayat di atas bukan kepada
jiwa ) orang yang berbuat dosa ), maka redaksi ayat seharusnya seperti ini ( ًمج٠ الٚ
ب شفبػخٙ١) ف. Jika kembalinya dhamir pertama kepada nafs ( orang yang berbuat dosa
yang tidak bisa memberi pertolongan ), maka kembalinya dhamir dalam ( ئخز٠ الٚ
ب ػذيِٕٙ ) kepada jiwa juga. Dengan demikian ayat Al-Baqarah / 2 : 48, mempunyai
makna bahwa seorang mu’min tidak bisa memberikan pertolongan kepada orang lain,
dan yang mendapatkan syafa’at tidak dapat memberikan syafa’at kepada orang lain,
atau pemberian syafa’atnya itu ditolak. Jika dimintakan ganti dari syafa’at kepada
tebusan, maka tebusan itu juga ditolak. Ayat Al-Baqarah / 2 : 123 menjelaskan,
bahwa di akhirat itu semua hubungan kehidupan sosial terputus ( baik kepada kedua
orang tua, anak, saudara, ataupun istri ). Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat
An-Najm / 53 : 39 yaitu :
“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. “ ( An-Najm / 53 : 39 )
Dengan demikian jelas kembalinya dlamîr kepada ayat-ayat ( ٜ) ال رغض, ( ال
kembali kepada jiwa orang kedua yang berbuat maksiat. Dengan maksud bahwa
orang-orang yang berbuat maksiat pada hari kiamat tidak bisa digantikan sedikitpun,
tebusan maka tebusan itu tidak diterima, dan apabila memberikan syafa’at kepada
( raja‟ ), terhadap jiwa seseorang di hari Kiamat, dan menyatakan penolakan terhadap
Bani Israil meskipun bapak-bapak mereka adalah para nabi, sehingga mereka mengira
65
akan mendapatkan syafa’at dari bapak-bapak mereka di hari Kiamat. Demikianlah
Dalam hal ini terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an, didahulukannya ( ) اٌٍؼت
*ٍْْٛ أفال رؼمٛزم٠ ٓ٠ش ٌٍز١خشح خ٢ٌٍذاس اٚ ٌٛٙٚ ب اال ٌؼت١ٔبح اٌذ١ِب اٌؾٚ
) 32 : 6/ َ( األٔؼب
65
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 189-194
81
Artinya :
“ Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ? “ ( Al-An‟âm / 6 : 32 ).
ُغؤٌى٠ الٚ ُسوٛئرىُ أع٠ اٛرزمٚ إِٛاْ رئٚ ٌٛٙٚ ب ٌؼت١ٔبح اٌذ١أّب اٌؾ
ايِٛ األٟرىبصش فٚ ُٕى١رفبخش ثٚ ٕخ٠صٚ ٌٛٙٚ ب ٌؼت١ٔبح اٌذ١ا أّٔب اٌؾٍّٛاػ
Artinya :
“ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. “ ( Al-Hadîd /
57 : 20 ).
82
اَٛ ٕٔغبُ٘ وّب ٔغٛ١ٌب فب١ٔبح اٌذ١ُ اٌؾٙغشرٚ ٌؼجبٚ اٌٛٙ ُٕٙ٠ا دٚٓ ارخز٠اٌز
Artinya :
“ ( Yaitu ) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai senda
gurau dan main-main, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka
pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka
melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Kami. “ ( Al-A‟râf / 7 : 51 ).
اٛٔ وبٌٛ ْاٛ١ اٌؾٌٟٙ خشح٢اْ اٌذاس اٚ ٌؼتٚ ٌٛٙ ب اال١ٔبح اٌذ١ِب ٘زٖ اٌؾٚ
Artinya :
“ Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui. “ ( Al-Ankabût / 29 : 64 )
( ٌٍٛٙ ( ) اsenda-gurau ) sering terjadi di masa dewasa ( syabbab ). Waktu sibâ’ lebih
83
dahulu datangnya dari pada masa syabab. Sedangkan alasan mendahulukan ( ٌٍٛٙ) ا
terhadap ( ) اٌٍؼت, dalam surat Al-A’râf menurut beliau, karena senda gurau akan
berakhir setelah datangnya hari Kiamat dan juga dimulai dengan dua masa tadi, yaitu
masa shibâ’ dan masa shabab. Dan dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 64 didahulukan
( ٌٍٛٙ) ا, karena masa-masa syabab ( muda ) lebih banyak senda-guaru dibanding pada
masa shibâ’. Dan didahulukan (ٌٍٛٙ ) اdimaksudkan juga, untuk memberi isyarat
bahwa kehidupan di dunia lebih cepat dan tidak kekal ( fana’ ) dibanding dengan
66
sebagaimana diungkap oleh Abdul Azhîm Muth’inî dalam kitabnya.
Setelah melalui proses panjang pembahasan tentang taqdîm dan ta‟khîr ini,
ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan bacaan umat Islam dan menjadi pedoman
hidup. Untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an tersebut dengan benar tentu kita
harus memahami jalan atau cara untuk mencapai tujuan tersebut, tentu dalam hal ini
berkenaan dengan beberapa syarat serta kaidah yang diperlukan bagi seorang
kajian ilmu-ilmu bahasa ( nahwu-sharf, balaghah dan sastra, ) dan ilmu-ilmu lainya
66
Ibid., h. 194 –195,
84
yang mendukungnya, seperti ; ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mantiq, nasikh-mansukh,
Sedangkan kajian taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu dari sekian banyak cara
untuk memahami isi dan rahasia kandungan Al-Qur’an. Dan bila dilihat dari
definisinya, sebagaimana dibahas dalam bab II taqdîm dan ta‟khîr itu merupakan
kaidah dasar ilmu bahasa, sebagaimana dipahami dalam pandangan ulama nahwu,
ulama balaghah serta ulama lainnya. Menurut ulama nahwu, sebagaimana diungkap
sebagai mahkûm bih ( predikat ) dan kedua bentuk tersebut terkadang didahulukan
atau diakhirkan sesuai kehendak pembicara. Sedangkan menurut yang lain, seperti
ulama balaghah dan tafsîr misalnya, az-Zarkasyi ( w. 794 H ), bahwa taqdîm dan
pemakaian kata-kata atau kalimat sehingga menjadi susunan kalimat yang indah dan
menarik. Di anrata taqdîm dan ta‟khîr ini, seperti mendahulukan khabar terhadap
seperti taqdîm dan ta‟khîr dalam balaghah dan sastra umpamanya mendahulukan
dengan macam bentuk-bentuk taqdîm dan ta‟khîr dalam al-Qur’an. Juga metode ini
85
berkembang dimulai dari ulama balaghah yang dipelopori oleh Abdul Qâhir Al-
lagi oleh ulama tafsir dan ulama-ulama lainnya, seperti ; Ibnu Shâ’ig dan diterusakan
lainnya, seperti Abu Su’ûd dan al-Zamakhsyari dan sebagainya. Dan dari perbedaan
macam bentuk taqdîm dan ta‟khîr serta metode yang dikembangkan masing-masing
Dari urgensi ( tujuan ) taqdim menurut ulama balaghah di atas terdapat tujuan
secara khusus dan juga secara umum. Tujuan secara khusus, seperti untuk tujuan
takhsis, dan sebagainya dan tujuan secara umum seperti untuk ihtimâm terhadap yang
fâ‟ilnya. Macam taqdim yang lain, seperti mendahulukan tidak bertujuan ta‟khîr,
Menurut pandangan ulama bahasa, dalam taqdîm dan ta‟khir terdapat banyak
perbedaan pendapat, seperti pendapat ulama Bashrah dan Kufah dalam ilmu nahwu
diungkap dalam pembahasan bab III. Dengan demikian taqdîm dan ta‟khîr bukan saja
86
ilmu yang tersusun dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga
seni bahasa dalam rangka menyusun bentuk kalimat yang indah yang tidak terikat
dengan kaidah-kaidah tertentu yang telah dikembangkan oleh ulama balaghah dan
taqdîm dan ta‟khîr terdapat juga bentuk taqdîm dan ta‟khîr secara istilah dan juga
secara bukan istilah. Taqdîm dan ta‟khîr semacam ini, dikenal dengan istilah ulama
balaghah, ulama sastra dan juga ulama tafsir, dengan bentuk taqdîm dalam suatu ayat
dan takhîr dalam ayat yang lain. Ini banyak dicontohkan dalam Al-Qur’an dengan
taqdîm bukan istilah ( taqdîm gharu istilahi ). Demikian taqdîm dan ta‟khîr dalam al-
Qur’an. *
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karîm
Akhdhori, Imâm, Ilmu Balâghah ( al-Ma’ni, Bayn, Badî’ ) ( terj. ), Jauhar Al-
Al-Baili, Ahmad, Al-Ikhtilaf Baina Al-Qirâ‟at, Bairut : Dârul Jail, 1408 H / 1988 M,
Athief Zein, Sâmih, Majma‟ Al-Bayân Al-Hadîts ( Tafsir Mufradât Li Al-Alfâzd Al-
Dayyab, Hifni Bek, ( ed. ), Kaidah Tata Bahasa Arab terjemahan Prof. Dr. Chatîbul
Echols, M. John, ( et.al ), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Hasan, Abbâs, An-Nahwu Al-Wâfi‟, Kairo : Dar- Al-Ma’ârif, t.th, cet. Ke- 11
88
Ibn Aqîl, Jamâluddin, Syarkh Ibn Aqîl, ( tahqiq HA. Fahuri ), Beirut : Dar Al-Jeil t.th,
cet. ke-1
Ibn Katsîr, Mukhtasyar Ibn Katsîr, ( Tahqiq : Muhamad Ali Shâbuni ), Kairo : Dar
As-Shâbuni, t.th
Jârim, Ali, Al-, dan Mustafa Amîn, Al-Balâghah Al-Wadhihah ( terj. ) Bandung :
Jurjâni, Abdul Qâhir Al-, Dala‟il I‟jâz, Beirut : Dar-Al-Kutub al-Ilmiyah, t.th,
Jurjâni, Muhamad Al-, ( w. 471 H ), Kitab Asrârul Balâghah, Kairo : Mathba’ah Al-
Khifnî, Abdul Mun’im Al, Dr. , Kitab At-Ta‟rifat, Kairo : Dar Al-Rasyad, 1991
Muth’inî, Abdul Azhîm bin Ibrâhim Al-, Khasa‟is At-Ta‟bir Al-Qur‟ani Wa Simatuhu
Qâbil Nasr, Athiah, Al-Qabsul Jâmi‟ Li Qira‟ati Nafi‟ Min Tharîq Al-Syâtibiyah,
Qattân, Manna’ Khalîl, Al-, Nuzul Al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahrufin, Kairo : Maktabah
Qazwaini, Khatîb, Al-, Al-Idhâh Fî Ulûmi al-Balâghah, Beirut : Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, t.th
Sakkaki, Al-, Miftâhul Ulûm, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1403 H / 1993
Sibawaih, Abu Basyar bin Usman bin Qanbar, ( tahqiq : Abdul Salam Muhamad
Harun, Kitab Sibawaih, Beirut : Dar Al-Jeil, t.th, Jilid ke-1, cet. Ke- 1
Suyuti, Imâm Jalâluddin, Al-, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, Beirut : Dar Al-Fikr, 14 16
Shihâb, Quraish, Dr. , Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 1992, cet. Ke- 2
90
Zamakhsyari, Abu Qâshim Mahmûd bin Umar, Al-, Asas al-Balâghah, Beirut : Dar
Zarkasyi, Imam Badrudin bin Muhamad Abdullah, Al-, Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an,
Zarqâni, Syeikh Muhamad Abdul Azhîm, Al-, Manâhil Irfân Fi Ulûmil Qur‟an,
Hasbullah Diman, lahir di Jakarta, 5 Juni 1968 dari pasangan Bapak H. Diman
( Jakarta ) dan Hj. Asmanih ( Jakarta ) kedua sudah Al-Marhum dan Al-Marhumah.
Dengan Pendidikan Dasar SDN 07 Pulo Gebang Jakarta Timur ( 1981 ), dan SMP
Negeri 138 Cakung Jakarta-Timur ( 1983 ), KMI Pondok Moden Gontor Ponorogo,
Jawa-Timur ( 1990 ).
Bahasa Arab, Cairo-Mesir ( 1999 ). Dan pernah mengecap pendidikan SMA As-
hingga selesai. Pernah menjadi staff pengajar di KMI Pondok Modern Arisalah,
Bakalan, Ponorogo ( 1990 ), pengajar di KMI Majlis Qurra’ Wal Huffadz Tuju-tuju-
92
Kairo-Mesir.
dan Ta‟khîr Dalam Al-Qur‟an “ ( Analisis Kebahasaan dengan Tafsir Terhadap Ayat-
Dan kegiatan sehari-hari menjadi staf pengajar di Ma’had Da’wah dan Ilmu
Istri tercinta Hj. Barkah dan kedua-anak, Asyrof Arobi ( 5,1 tahun ) dan Sofwatun
Nada’ ( 2,10 tahun ). Dan didampingi oleh seorang ibunda mertua tercinta. ***
93