Anda di halaman 1dari 13

Tafsir al-Qur’an

Oleh:
Habibur Rahman, M.Pd.
Pengertian Tafsir
• Secara bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fassara, yang
berarti menjelaskan (al-bayân) dan menyingkapkan (al-kasyf), atau
menampakkan (al-izh-hâr).
• Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi, antara lain:
– Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsir
adalah “ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah
(kosakata), nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ’ât
(bacaan al-Qur’an). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb an-
nuzûl, serta nâsikh dan mansûkh.”
– Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), tafsir adalah: “ilmu untuk
memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad Saw dengan
menggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa
maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baik untuk memahami
pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal),
yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian mengggali
(istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap
tempat dan waktu.”
Pentingnya Tafsir
1. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan
segala macam kekayaan bahasanya.
2. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan mengenai
dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas
perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam
berpikir dan beramal, namun tidak diberikan perincian-
perincian dalam masalah-masalah itu.
3. Apalagi di dalam al-Qur’an sering digunakan susunan
kalimat yang singkat namun luas pengertiannya.
Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian
banyak makna.
4. Karena itulah diperlukan penjelasan yang berupa
Tafsir Al-Qur'an
Tafsir = Takwil ?
• Tafsir (tafsîr) dan takwil (ta’wîl) menurut ulama
mutaqaddimin (terdahulu), seperti Ibnu Jarir Ath-
Thabari (w. 310 H), maknanya sama, sedangkan
menurut ulama muta’akhirin (terkemudian),
seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H), pengertian
keduanya berbeda.
• Menurut Az-Zarkasyi, pendapat yang tepat ialah
yang membedakan keduanya.
– Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil.
– Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum
sebagai penjelasan ayat al-Qur’an (bayân ayat al-
Qur’ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya.
• Takwil (ta’wîl), secara bahasa berasal dari akar
kata awl, yang berarti kembali ke asal (ar-rujû’),
atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-
mashîr).
• Sedangkan secara istilah, adalah:
– menurut al-Jurjani (w. 816 H), takwil adalah
“mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menuju
makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang
sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah.”
– Menurut Al-Amidi, takwil adalah “mengartikan kata
dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang
masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil
yang menghendakinya.”
Ruang Lingkup Ta’wîl
• Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan
bahwa ada 2 (dua) ruang lingkup takwil (majâl al-ta’wîl), yaitu:
1. Masalah-masalah furû’ (cabang), yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Dalam ruang lingkup ini takwil tidak
diperselisihkan lagi kebolehannya di kalangan ulama.
2. Dalam masalah-masalah ushûl (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan
akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah SWT, bahwa Allah itu mempunyai
yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya (Az-Zuhaili, 2001: 314).
• Takwil di bidang akidah, menurut Asy-Syaukani, terdapat tiga mazhab:
1. Nash tidak boleh ditakwil dan harus dipahami secara lahiriahnya. Inilah pendapat
Musyabihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
2. Nash akidah ada takwilnya, tetapi yang tahu takwilnya hanya Allah saja (Qs. Ali-
Imran [3]: 7). Jadi nash tidak boleh ditakwilkan seraya tetap memurnikan akidah
dari tasybîh (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thîl
(meniadakan sifat-sifat Allah).
3. Nash akidah boleh ditakwilkan. Inilah mazhab al-Maturidiah, Ibn al-Jauzi, dan al-
Ghazali.
• Ibn Burhan memandang mazhab pertama adalah batil, sedangkan madzhab
kedua dan ketiga diriwayatkan keberadaannya dari para sahabat. Mazhab
kedua disebutnya mazhab salafush shâlih, sedang mazhab ketiga
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu
Salamah (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176; Al-Husaini, Zubdah al-
Itqân, hlm. 74-75).
Syarat-Syarat Ta’wîl
1. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna
syariat, atau makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab).
• Misalnya, takwil kata qurû’ (dalam Qs. al-Baqarah [2]: 228) dengan arti “haid”
atau “suci” adalah sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk qurû’.
Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau ‘urfi, tidak diterima (Asy-
Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 177).
2. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat).
• Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus
(takhshîsh), atau memberikan batasan (taqyîd) nash mutlak berdasarkan dalil
yang men-taqyîd-kan. Karena itu, takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi
dalilnya marjûh (lemah), atau musawi (sederajat kekuatannya) dengan kata yang
ditakwil, tidak diterima (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38).
3. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil li at-ta’wîl).
• Misalkan, kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat
diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna
majazi (metaforis). Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan
nash umum), tidak diterima (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/314).
4. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil.
• Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau
ilmu-ilmu syariat (al-ma’ârif al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima. Orang yang
melakukan takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu
bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/314).
• Berdasarkan syarat-syarat takwil di atas, maka jika suatu
penakwilan ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil
tersebut maka takwil yang dihasilkan adalah tidak sahih
alias batil.
– Misalnya pendapat Muhammad Abduh tentang hakikat malaikat
dalam kitabnya Tafsîr al-Manar (I/267-269), yang ditakwilkannya
sebagai kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa
manusia.
– Juga tidak benar pendapat Al-Maraghi dalam Tafsîr al-Maraghi
(X/243-244) tentang burung Ababil yang ditakwilkannya sebagai
penyakit campak dan cacar. Demikian pula pendapat Al-
Maraghi (Tafsîr al-Maraghi, IV/175) yang mengingkari Adam a.s.
sebagai Bapak Manusia (Abu al-Basyar) karena dianggapnya
berlawanan dengan teori ilmiah modern.
• Semua itu adalah takwil batil, karena tidak ada dalil atau
qarînah (indikasi) yang mendasarinya. Ini bukan sekadar
kebodohan, tetapi bahkan dapat membawa pada
kekufuran.
Terjemah (Translate)
• Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu
bahasa kepada bahasa yang lain.
• Terjemah dibagi dua yaitu: secara harfiah (litterlijk) dan secara
tafsiriyyah (ma’nawiyah).
– Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk
orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari
bahasa.
– Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah
terjemahan yang tafsiriyaah (ma’nawiyah).
• Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara
harfiyah adalah :
– “Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-
papan dan paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai
balasan bagi orang-orang yang tidak dipercayai”
– maka terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa
dipahami. Maka terjemahan yang baik adalah secara ma’nawiyyah,
yaitu :
• “Dan kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari)
papan-papan dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat
itu). Ia (kapal itu) berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran
bagi orang-orang yang tidak dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya,
yakni kaum Nabi Nuh).
Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah

1. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan


takwil mengacu pada makna lain yang bukan
makna lahiriah yang masih dapat dikandung
ayat berdasarkan dalil.
2. Tafsir merupakan penjelasan apa yang
dimaksud oleh kata (bayân al-murâd bi al-
lafzh), sedangkan takwil merupakan penjelasan
apa yang dimaksud oleh makna (bayân al-
murâd bi al-ma’na).
3. Terjemah adalah memindahkan kalam dari
suatu bahasa kepada bahasa yang lain.
Contoh Tafsir dan Takwil
1. Surah al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada
keraguan di dalamnya).
• Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),”
maka ini adalah tafsir.
• Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman”
maka ini adalah takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/15-
16).
2. Surah al-An’âm [6] ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-
mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati).
• Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa)
dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir.
• Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau
orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At-Ta‘rifât,
hlm. 50-51).
3. Surah al-Fajr [89] ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil
mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi).
• Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para
hamba-Nya, maka itu tafsir.
• Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah
meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil
(As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173).
Sejarah Tafsir
(Masa Nabi saw)
• Pada masa Rasulullah SAW sering timbul perbedaan pemahaman
tentang makna sebuah ayat. Pada masa ini ada tiga sumber yang
digunakan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
1. Al-Qur'an sendiri; karena terkadang satu hal yang dijelaskan
secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci
di ayat lain.
2. Rasulullah SAW; para sahabat dapat bertanya langsung pada
Nabi SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka
pahami atau mereka perselisihkan.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri; karena mereka adalah
orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna
perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya.
– Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai
tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada
Rasulullah SAW terutama pada masalah asbabun nuzul.
Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya
terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada
Rasulullah SAW.
Masa Sahabat & Tabi’in
• Sahabat yang banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat
khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
• Generasi tabi’in belajar Islam melalui para sahabat di wilayah
masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an
, yaitu Mekkah (Ibn Abbas), Madinah (Ubay ibn Ka’ab), dan Irak
(Ibn Mas’ud).
• Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Usaha
pemisahan antara kandungan hadits dan tafsir menjadi kitab
tersendiri dilakukan oleh para ulama sesudahnya, seperti Ibn Jarir
at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi. Metode
pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Ma’tsur.
• Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah
menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan
unsur ijtihad yang lebih besar sehingga melahirkan apa yang
disebut sebagai tafsir bi al-ray.
• Ketika ajaran tasawuf berkembang pesat, maka lahirlah sebuah
tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.

Anda mungkin juga menyukai