Anda di halaman 1dari 14

Al-Qur?

an adalah
kalamullah, kitab suci
umat islam yang Allah
percayakan
dan wahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Allah menurunkan Al-
Qur?an
kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat
jibril yang digunakan
sebagai
petunjuk dan pedoman
hidup bagi seluruh umat

1
manusia. Kitab suci ini
memiliki
kekuatan luar biasa yang
berada diluar kemampuan
seluruh mahluk Allah
SWT.
Seperti yang terkandung
dalam QS.al-Hasyr 21 yang
berbunyi
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa
al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Al-jurjani bahwa kata tafsir menurut
pengertian bahasa adalah Al kasf wa al-izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan
melahirkan.[1] Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi
dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan
hukum-hukumnya. Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa tafsir adalah
menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an. Didalam Al-Qur’an
disebutkan tentang makna tafsir :

2
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Adapun pendapat yang lain tentang makna tafsir menurut istilah adalah :
 Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-Tashil adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan. 
  Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar
seperti tafsir pada hakikatnya dalah menjelaskan lafadzh yang sukar diahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafadzh makna yang mendekatinya , atau dengan
jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut. 
 Menurut Abu Hayyan tafsir adalah mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta
cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hokum dan makna yang
terkandung didalamnya. 
 Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan
menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW,
serta menyimpulkan kandungan hukum dan hikmahnya .
B. Pengertian Ta’wil
Secara lughowi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl artinya kembali atau dari
kata al ma’al  artinya tempat kembali, al- iyalah  yang berarti al –siyasah yang berarti
mengatur.
Secara Terminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut: 
 Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh
dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.” 
 Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqih yaitu Menurut Wahab Khalaf  takwil yaitu “memalingkan
lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.” 
 Menurut Abu Zahra takwil adalah “mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir
kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya.”
        Macam-macam ta’wil
 Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak
mempunyai dalil yang terendah sekalipun. 
 Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta
diduga sebagai makna yang benar.

3
C. Pengertian Terjemah
 Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan terjemah Al-Qur’an adalah seperti yang dikemukakan oleh Ash-
Shabuni yaitu memindahkan Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan
mencetak terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah. Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua
arti
Terjemah Maknawiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat
pembicaraaan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau
memperhatikan susunan klimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan aslinya.
Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam
lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib
bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
 Terjemah harfiyyah dibagi menjadi dua:Terjemah Harfiyyah bi l-misli
 Yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan sinonimnya
(murodifnya) ke dalam bahasa baru dan terikat aslinya. Terjemah harfiyyah bi dzuni al-
mitsli Yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli ke dalam beberapa bahasa lain
dengan memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa
baru serta kemampuan penerjemahnya.
D. Sejarah singkat Tafsir Al-Quran
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw. yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-
Quran Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin
Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.

4
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-
sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir
bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan
tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun
150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini,
hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan
lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi
Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu
kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan
bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti
dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut
yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia
akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-
Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal."
Macam-macam tafsir
 Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernyaBerdasarkan sumber penafsirannya, tafsir
terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi.
 Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah
sebagai sumber penafsirannya. 
 Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber
penafsirannya. 
      2. Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya   
Metode Tahlily (metode Analisis)Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis

5
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai
dengan bidang keahlianmufassir tersebut.
 Metode Ijmaly (metode Global)Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa
uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
 Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)Tafsir dengan metode muqaran
adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian
mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para
ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.
 Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran
tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang
membicarakan tema tersebut.
E.       Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
        Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa
berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa
Al-Qur’an yang aslinya bahasa Arab ke bahasa non Arab.
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir dan takwil:
 Menurut Abu Ubaidah: “Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para
ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury 
 Menurut Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai
mengenai kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai  makna
dan susunan kalimat. 
 Menurut setengah ulama : “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima
selain dari satu arti. Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu
lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang
menghendakinya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan  bahwa perbedaan tafsir dan takwil yaitu:
 Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya,
sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah. 
 Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan
takwil pda umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
  Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang
kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang

6
menunjukan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat
berdasarkan makna yang kuat. 
 Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang
berdasarkan riwayah, dan takwilberdasarkan dirayah.
Adapun metode tafsir diantaranya yaitu : Ulama selalu berusaha untuk memahami
kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama
perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan
corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama mencoba
membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-beda antara yang satu
dengan yang lainnya. Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan
makna ayat-ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam
yaitu:
 Tahlili 
 Muqarran 
 

 Ijmali 
 Maudhu’i

Dan didalam tafsir pun terdapat corak sebelum itu kita harus mengetahui tafsir. Tafsir
merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin ilmu yang
ditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai  berbagai corak
pemikiran dan madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori  atau pemikiran tasawuf, baik
tasawuf teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam menjelaskan suatu ayat,
mufassir merujuk pendapat filosof. Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat
dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih, diantara isi kandungan al-Qur’an adalah
penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain lebih
banyak berbincang mengenai persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh ta’asub

7
(fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir
fiqhi hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains  eksakta. Tafsir ini
selalu mengutiip teori-teori ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang ditafsirkan. 
Seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan lain-lain. Contoh
tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-karim karya Thanthawi
Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-Thib Wa Al-Qur’an
karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Corak Al-Adabi WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial. Dengan corak ini mufassir
mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an yang meliputi aspek balagah, mukjizat,
makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan
sistem sosial yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan
kemanusiaan pada umumnya dan umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an.

8
Fungsi Tafsir, Ta’wil Dn Terjemah
A. Fungsi Tafsir
a. Alat atau sarana untuk memahami al-quran
b. Pemberdayaan masyarakat agar daerahnya menjadi qoryah thayyi-bah dan
baladanaminnan
c. Berguna bagi kaum muslimin untuk melahirkan berbagai penafsiran yang benar dan
baik
d. Menghindarkan diri mereka dari kemungkinan terjebak dalam penafsiran-penafsiran
yang salah, buruk, dan bahkan susah-menyesatkan.
B. Fungsi Ta’wil
a. Untuk menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an
b. Menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat
kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.
C. Fungsi Terjemah
a. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa
lainya
b. Menafsirkan suatu kalimat dengan menerangkat maksud yang terkandung dalam
bahasa yang dipahami.
Hikmah Mempelajari tafsir, ta’wil dan terjemah
Adapun hikmah mempelajari tafsir, ta’wil dan terjemah antara lain sebagai berikut:
1. Memperjelas makna Al-Qur’an
2. Mempermudah memahami isi dan makna Al-Qur’an
3. Lebih teliti mengartikan Al-Qur’an
4. Agar dalam mengamalkan Al-Qur’an tidak asal-asalan, karena dimana jika kita sudah
memahami tulisan Al-Qur’an serta terjemahannya akan lebih mudah untuk
mengamalkannya.
Syarat-syarat dan kaedah dalam pen-ta’wilan
Ketika seorang mu’awwil ataupun mufassir berhadapan dengan ayat yang maknanya
memerlukan pemahaman khusus dan lengkap, maka ia dibolehkan menta’wilkan ayat jika
tafsir dianggap belum mampu dipakai secara sempurna. Namun tidak semua ayat dapat
dita’wilkan, karena dalam ta’wil harus memperhatikan syarat serta kaedah yang berlaku di
dalamnya. Jika memenuhi syarat maka berlakulah ta’wil, namun jika ternyata syaratnya tidak
terpenuhi maka mengalihkan lafazh kepada suatu makna tidak boleh dilakukan karena
bertentangan dengan maksud ayat itu sendiri. `Ta’wil terhadap teks-teks suci al-Qur’ān tidak
9
boleh dilakukan secara serampangan. Selain harus memperhatikan makna lain yang
terindikasi dari tiga komponen makna asal, yakni bahasa (lughawi), kebiasaan penggunaan
(‘urfiy), dan kebiasaan pemikik syara’ (syar’i), muawwil ketika ingin beralih dari makna
zhahir sebuah lafazh kepada makna lain juga harus memperhatikan syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Syarat yang paling penting adalah makna lafazh muawwal adalah termasuk
makna yang memang dikandung oleh lafazh itu sendiri, dan ditunjukkan dengan satu
dilalahnya, baik secara verbal (manthuq) maupun konseptual (mafhum), dan dalam waktu
yang sama harus sesuai dengan makna asal peletakan bahasa, kebiasaan dan syara’. Dalam
masalah aturan dan syarat-syarat sahnya ta’wil, para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah
ta’wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut :
1. Lafazh yang ingin dita’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil. Oleh karena itu lafazh
mufassar dan lafazh muhkam tidak bisa di ta’wil karena keduanya telah memiliki makna
yang jelas.37 Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan(ditakhshish),
atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang
dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta’wil dilakukan
pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.
2. Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan
pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir.
3. Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau
makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. AlBaqarah: 228) dengan
arti haid atau suci adalah ta’wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`.
Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar’i, atau urf, tidak diterima,dan jika memang tidak
ditemukan salah satu dari tanda yang tiga tersebut, maka diharuskan untuk mempergunakan
lafazh dari segi kosakata dan rangkaianya yang sesuai dengan maknananya yang zhahir, dan
tidak diperbolehkan mengira-ngirakan adanya lafazh yang dibuang (mahdzuf ), atau majaz,
atau saling mendahulukan dan mengakhirkan (taqdimta’khir), atau yang mengkhususkan
yang umum, atau bentuk-bentuk lain yang keluar dari makna hakikat kebahasaan, hanya
karena alasan prasangka ta’wil. Sebab hal tersebut akan melampaui batas makna yang
ditunjukkan lafazh zhahir.
4. Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang
diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS.An-Nisa’: 2 dan ayat 6.
Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak),
yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat
ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta
10
anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita’wil
dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.
5. Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan salah satu
metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa
mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. AlMaidah: (kemudian dibaca kasrah
oleh) kalangan Syi’ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf. Hal ini
akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam
wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama, menggugurkan
hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap
kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi tidak
berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.
6. Orang yang hendak melakukan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki
bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’I serta pemilik jiwa keilmuan yang telah
matang. Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya karena akan
terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.
7. Jika ta’wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama
Syafi’iyah. Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi
perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki
(al-’abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan. Sedangkan
qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i’tibar
al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum
dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila
dibandingkan dengan anggur.
8. Dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah, selain
memperhatikan dalil dan indikasi dari makna lughawi, urf , dan syar’I juga harus
mengembalikan kepada makna yang dekat dengan berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga
macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya; pertama, Mengalihkan kepada yang
terdekat. Seperti lafazh 6, kata ‫ القيام‬dalam ayat ini dita’wilkan (diartikan) ketika hendak dan
ingin melaksanakan Shalat. Kedua, Mengalihkan kepada yang jauh, k hal ini tidak boleh
dilakukan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh
tersebut adalah makna yang jauh. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dipahami
bahwa ta’wil adalah metode khusus dalam memahami semantik makna tertentu. Namun,
ta’wil memiliki metodologi yang mengikat berupa aturan-aturan baku yang tidak bisa
dilanggar secara serampangan. Oleh karenanya, metode yang berlaku pada ta’wil akan sangat
11
sulit didapatkan jika disamakan dengan metode semantik lainya. Dalam hal ini, hermeneutika
yang diidentikkan dengan ta’wil, terlihat Jelaslah perbedaan keduanya, khazanah historisitas
antara keduanya sangat jauh berbeda. Di mana ta’wil lahir sebagai taqwim terhadap makna,
bukan untuk melepaskan makna menjadi liar sehingga melanggar batas-batas qoth’iyyah dan
tsubutiyyah sebagaimana yang terjadi pada hermeneutika. Kelahiran ta’wil walaupun banyak
perdebatan di dalamnya, namun hal tersebut sebagai upaya ri’ayah terhadap teks al-Qur’an.
Dan ketika ta’wil mulai dirasakan manfaat kehadiranya, tetap saja para ulama yang
menggunakanya memiliki visi kemantapan dalam setiap memahami maksud ayat yang akan
dita’wilkan. Motif dan visi nya dalam rangka penjagaan terhadap asholah teks al-Qur’an. Dan
hasilnya, pemahaman yang lahir betul-betul menugatkan bangunan pemikiran yang telah
disusun secra rapi dalam khazanah pengetahuan dan peradaban Islam.

12
BAB II
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Berdasarkan pengertian-pengertian pendapat para ulama  dapat disimpulkan bahwa:


“Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-
nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.
   “Takwil” adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui
pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
“Terjemah” adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa
‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti
bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Dalam hal ini terdapat bentuk, metode, dan corak penafsiran, Adapun bentuk
penafsirannya yaitu:
       1.      Al-Ma’tsur
       2.      Al-Ra’y
Metode penafsiran:
       1.      Tahlili (analisis)
       2.      Muqarran (perbandingan)
       3.      Ijmali (global)
       4.      Mawdhu’i (tematik)
Corak penafsiran:
      1.      Tafsir shufy
      2.      Tafsir falsafi
      3.      Tafsir fiqhi
      4.      Tafsir ‘ilmi
      5.      Al-Adabi wa al-Ijtima’i

 SARAN
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki
makalah yang selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir al-maudhu’I,maktabah Al Jumhurriyyah,


Mesir t.tAhmad KamalAl-Mahdi, Ayat Al-Qasamfi Al-Qur’an.Al-Bukhari,Ash-Shahih Al-
Bukhari,juz iV,DarAlFikr,Beirut,t.t.BasuniFaudah, Tafsir-tafsirAl-Quran ,
terj.,Pustaka,Bandung,1987Lihat Manna’Al-Qaththan, Mahabbitsfi Ulum Al-Quran, 
Mansyurat Al-Asyhr Al-Hadits ,1973

14

Anda mungkin juga menyukai