Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah wahyu islam dan islam adalah agama Allah yang di fardlukan.
Pengetahuan tentang pokok-pokok dan dasar-dasar islam tidak akan tercapai jika Al-Qur’an
itu dipahami dengan bahasanya. Maka harus penaklukan islam pun mengembang kepada
bahasa- bahasa lain non arab, sehingga bahasa-bahasa itu diarabkan dengan islam. Adalah
suatu kewajiban bagi setiap orang bagi setiap orang yang masuk ke dalam naungan agama
baru ini, untuk menyambutnya dalam bahasa kitabnya secara lahir dan batin sehingga ia dapat
menjalankan kewajiban- kewajibanya, dan terjemahan qur’an tidak diperlukan lagi baginya
selama qur’an itu telah diterjemahkan bahasa dan kearabannya menjadi keimanan dan
keislaman.

Qur’anul karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan
kebahagian mereka tergantung pada pemahaman ma’nanya, pengetahuan rahasia-rahasianya
dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam
memahami lafadz dan ungkapan qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian
gamblang dan ayat- ayatnya pun sedemikian rinci. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an
mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam
rangka menafsirkan kata-kata ‫ب‬ ‫ ( غغرر ي‬aneh, ganjil ) atau mentakwilkan ‫ب‬
‫ي ب‬ ‫ ( غ‬susunan
‫ت يرركيي ب‬
kalimat ). Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya untuk
memahami Al-Qur’an. Yaitu kami akan memaparkan mengenai Tafsir.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir
2. Urgensi Ilmu Tafsir

3. Proses Tafsir Quran

4. Perkembangan Tafsir Quran

5. Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya


1
6. Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Jenisnya

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Tafsir
2. Untuk Mengetahui Urgensi Ilmu Tafsir

3. Untuk Mengetahui Proses Tafsir Quran

4. Untuk Mengetahui Perkembangan Tafsir Quran

5. Untuk Mengetahui Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya

6. Untuk Mengetahui Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Jenisnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Al-Quran

Kata tafsir diambil dari kata”fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti Keterangan atau


uraian. Al jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah “al-kasf
wa al-izhar” yang artinya menyikap atau membuka dan melahirkan. Pada dasarnya pengertian
tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al idha (menjelaskan, al-
bayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar(menampakan). Dan al-
ibanah(menjelaskan

Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah para ulama banyak memberikan


komentar antara lain sebagai berikut:

a. Menurut al-kilabi dalam atashil

Tafsir adalah menjelaskan Alquran menerangkan hubungan dalam menjelaskan apa


yang dikehendaki dengan dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya

b. Menurut Syekh Al jazairi dalam shahib at taujih.

Tafsir pada hakikatnya nya adalah menjelaskan lafaz yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan menegakkan lafaz sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau
dengan jalan menyambungkan salah satu lafaz tersebut.

c. Menurut abu hayyan

Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafaz lafaz alquran serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan kandungan hukum, dan makna makna yang
terkandung di dalamnya.

d. Menurut az-zarkasyi

Tafsir adalah ilmu yang di gunakan untuk memahami dan menjelaskan makna makna
kitab allah yang di turunkan kepada nabinya, muhammad saw, serta menyimpulkan
kandungan kandungan hukum dan hikmahnya.

3
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang di kemukakan para ulama tersebut, dapat
di tarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan,
penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikap nilai nilai samawi yang terdapat dalam Al-
Quran.

B. Perkembangan Tafsir Al-Quran

Siapa saja yang menelaah kitab-kitab hadits, ia pasti menemukan salah satu bab yang
khusus berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an. Pada bab itu dituturkan penafsiran-penafsiran
yang berasal dari Rasulullah SAW. diantaranya berikut ini.

a. Riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya dari Adi bin
Hayyan. Ia berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Yang dimaksud dengan
orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang-orang Yahudi, sedangkan yang
dimaksud dengan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasrani”.
b. Riwayat yang disampaikan oleh At-Tirmidzi dan Ibn Hibban, didalam Shahih-nya,
dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Yang
dimaksud dengan sholat wastha adalah sholat ashar”.
c. Riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari
Ibn Mas’ud yang menceritakan bahwa tatkala turun ayat QS. Al-An’am ayat 82 yang
artinya : “Orang-orang yang beriman dan yang tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik)”.
Para sahabat merasa kebingungan dan bertanya kepada Rasulullah : “Siapakah di
antara kami yang tidak pernah menzalimi diri sendiri ?”. Beliau menjawab : “Hal itu
bukanlah seperti yang kalian kira. Bukanlah kalian pernah mendengar perkataan
Luqman Al-Hakim, bahwa kemusyrikan itu merupakan kezaliman yang benar ? Itulah
maksudnya “.
d. Dan contoh-contoh penafsiran Nabi lainnya yang menjadi materi pokok dan landasan
utama kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur.

Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah. Rasulullah beserta para sahabatnya
mentradisikan, menguraikan, dan menfsirkan Al-Qur’an sesaat setelah turunnya. Tradisi itu
terus berlangsung sampai beliau wafat. Tafsir bi al-ma’tsur yang bersumber dari Nabi, para
sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in itu diturunkan ke generasi berikutnya melalui periwayatan.
Hal itu berlangsung sampai periode awal mengodifikasikan hadits, yang pada saat itu, tafsir
merupakan salah satu bagian kitab hadits itu. Pada saat itu, tafsir belum dikodifikasikan
4
secara khusus surat persurat dan ayat perayat dari awal hingga akhir Mushaf. Yang terjadi
adalah terdapat sebagian ulama yang berkeliling daerah untuk mengumpulkan hadits.
Bersamaan dengan hadits, dikumpulkan pula riwayat-riwayat tafsir yang dinisbatkan kepada
Nabi, atau sahabat atau tabiin.

Menjelang akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbas,
yakni tatkala terjadi pengodifikasian besar-besaran beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir
terpisah dari kitab hadits dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Disusunlah
kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan Mushaf. Pekerjaan ini mengalami
kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama seperti Ibn Majah (wafat 310 H) dan
An-Naisaburi (wafat 318 H). Hal itu berlangsung sampai sekarang.

Semenjak itu, tafsir berkembang dan tumbuh seiring dengan keragaman yang dimiliki
para mufassir sehingga sampai kepada bentuk yang kita saksikan sekarang ini.

C. Urgensi Ilmu Tafsir

Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling
mulia, karena kemuliaan sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya,
sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena
seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, seperti aqidah, fiqih, dan akhlak.
Disamping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayat Al-qur’an,
kecuali dengan mengetahui makna-maknanya. Dengan urgensi tafsir seperti itu, para ulama
bersepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayahdan merupakan salah satu dari tiga ilmu
syariat yang paling utama setelah hadist dan fiqih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena
ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran yang sangat dibutuhkan, akan tetapimempelajari
ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah kalamullah.

D. Klasifikasi Tafsir Al-Quran

 Klasifikasi Tafsir Berdasarkan Sumbernya

1. Tafsir bi Al-ma’tsur

Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur


5
“Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu
menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi
menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat karena merekalah yang
paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh
besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat”

Tafsir bi al-Ma’tsur (disebut pula bi Ar-riwayah dan An-naql) adalah penafsiran Al-
quran yang mendasarkan pada penjelasan Al-Quran sendiri, penjelasan rasul,para
sahabat melalui ijtihadnya dan aqwal tabi’in. Merujuk pada definisi tersebut ada 4
yang menjadi otoritas penafsiran bi al-Ma’tsur. Yakni :

1. Al-quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-quran sendiri.


Misalnya, penafsiran muttaqin pada surat Ali-Imran
2. Otoritas Hadis nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-
quran. Misalnya penafsiran Nabi terhadap kata ‘Az-Zulm’ pada surat Al-
a’nam
3. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak
mengetahui Al-quran misalnya, penafsiran ibnu Abbas terhadap kandungan
surat An-Nasr
4. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung
dengan sahabat, misalnya penafsiran tabi’in tentang surat Ash-shaffat.

Dalam pertumbuhan tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur menempuh 3 periode :

1. Masa Nabi,Sahabat, dan permulaan masa tabiin ketika tafsir belum tertulis
dan secara umum periwayatannya secara lisan (musyafahah)
2. Bermula dengan pengkodifikasian hadis secara resmi pada masa
pemerintahan ‘Umar bin Abd Al-Ziz’. Tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur ketika itu
ditulis bergabung dengan hadist dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadis
3. Dimulai dengan penyusunan kitab tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur itu yang beridi
sendiri.

Adapun diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi al-Ma’tsur adalah


:
1. Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-qur’an, karya ibn Jarir Ath-thabari
6
2. Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi
3. Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir ibn Abbas, karya Fairuz Zabadi
4. Al-Durr Al-mantsur fi At-tafsir bi Al-ma’tsur,karya Jalal Ad-Din As-suyuthi
5. Tafsir al-qur’an Al-Adzim, karya Ibnu Katsir

Meskipun terbilang sebagai tafsir yang paling di ridahi oleh para ulama,
tafsir al-ma’tsur (khususnya yang bersumber dari sahabat dan tabiin) memiliki

beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dantaranya adalah:

1. Banyaknya riwayat-riwayat palsu dalam tafsir ma’tsur.


2. Banyaknya riwayat-riwayat yang diselipkan oleh orang-orang yang benci kepada
Islam seperti orang-orang Yahudi
3. Fanatisme madzhab yang mempengaruhi penggunaan riwayat sebagai dalil atau
senjata untuk mengukuhkan posisi madzhabnya, seperti madzhab muktazilah
yang berkibar saat Dinasti ‘Abbasiyah berkuasa. Mereka memunculkan riwayat-
riwayat yang dinisbatkan pada sahabat Ibn Abbas sebagai upaya untu
melanggengkan pengaruh muktazilah dibawah pengaruh Muktazilah di bawah
kekuasaan Bani Abbasiyah.
4. Banyaknya riwayat-riwayat israiliyyat yang masuk, yang tidak dapat ditolerir
oleh syariat.
5. Pembuangan rantai sanad riwayat

2. Tafsir bi Ar-Ra’yi

Pengertian etimologi, “ra’yi” berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas) dan


ijtihad dan “ra’yi” dalam terminologi tafsir adalah ijtihad dengan demikian, tafsir bi
Ar-ra’yi disebut juga tafsir bi Al-dirayah.

sebagaimana di definisikan Husen Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasanya


diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu
mengetahuii bahasa Arab serta metodena, dalil hukum yang ditunjukan serta problema
penafsiran seperi asbab an-nuzul, nasikh- manskuh dan yang lainnya.

Al;Farmawi mendefinisikan “ menafsirkan Al-quran dengan ijtihad setelah


terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-
orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata-kosa kata arab beserta muatan-
muatan artinya untuk menafsirkan Al-qur’an dengan ijtihad si mufassir pun di bantu

7
dengan sy’ir jahilliyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh dan lainnya yang di
butuhkan oleh seorang mufasir. Sebagaimana diutarakan pada penjelasan tentang
syarat-syarat menjadi mufasir.

Tafsir bi Al-ra’yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah


tafsir bi A-ma’tsur muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah
digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-qur;an. Apalagi kalau kita tilik bahwa
salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Sebab munculnya
tafsir ini adalah semakin maju nya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan
kemunculan ragam disiplin-ilmu, karya-karya ulama, aneka warna metode penafsiran,
dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing.

Mengenai keabsahan tafsir bi Al-ra’yi para ulama terbagi ke dalam dua


kelompok, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan.

Adapun pendapat yang tidak memperbolehkan :

1. Tafsir adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang Allah Swt. Dengan
tanpa disertai ilmu yang memadai, penafsiran menggunakan akal sangat
dilarang oleh Islam. Mereka melandaskan Argumen ini dengan ayat:
(QS. Al- a’raf:33)
2. Yang berhak menafsirkan Al-Qur’an menurut mereka hanyalah Nabi
saw, bagi selainnya tidak ada ruang sedikitpun untuk menjelaskan
makna-makna yabg terkandung didalam Al-Qur’an. Dalil yang
digunakan untuk menguatkan argunen ini adalah ayat: (QS. Al-Nahl:44)
3. Mereka juga menguatkan pendapat mereka dengan mengambil hadis-
hsdis yang melarang melakukan penafsiran dengan akal, diantranya
adalah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

Pendapat yang memperbolehkan :


1. Di dalam al-qur;an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk
mendalami kandungan-kandungan Al-qur’an
2. Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan
nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-qur’an. Ini menujukan
bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum
dijelaskan nabi

8
3. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapai mengenai penafsiran suatu
ayat. Ini menunjukan bahwa merekapun menafsirkan al-qur’an

Selanjutnya, para ulama membagi corak tafir bi ar;ra’yi pada dua bagian ada tafir bi
ar-ra’yi yang dapat di terima dan ada yang ditolak/ tercela. Tafsir bi ar-ra’yi dapat
diterima selama menghindari hal-hal berikut :
1. Memkasakan diri mengetahui makna yang di kehendaki Allah pada suatu
ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
(otoriras Allah semata)
3. Menafsirkan Al-qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan
(menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan presepsinya)
4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah satu
dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar
5. Menafsirkan al-qur’an dengan memastikan bahwa makna yang di
kehendaki Allah adalah dengan demikian.

Selama mufassir bi ar-ra’yi mengehindari kelima hal di atas dengan disertai


niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan
pendapatnya di katakan rasional.
Adapun kitab-kitab yang terkenal dalam katagori Tafsir bi al-ma’tsur, antara
lain :
1. Jami’ al- Bayan fi Tafsir al-Qur’an : Abu Ja’far Muhammad Jarir At-
Thabari (w. 310 H/923 M).
2. Bahr al- ‘Ulum : Nashr bin Muhammad as- Samarqandi.
3. Al- Kassyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an : ‘Abu Ishaq as- Sa’labi.
4. Ma`alim at- Tanzil : Muhammad al- Husain al- Baghawy (w. 516 H/1122
M).
5. Al- Muharrir al- Wajiz fi Tafsir al- Kitab al- ‘Aziz : ‘Abu Muhammad al-
‘Andalusi.
6. Tafsir al–Qur’an al- `Adhim : Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M).

 Klasifikasi Tafsir Berdasarkan Metodenya

1. Metode Tahlili
9
Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan meneliti aspeknya dan
menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud
setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antarpemisah itu
(wajah Almunasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi
SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat
per ayat, dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan
kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian
kebahasaan dan materi- materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami
Al-Quran yang mulia ini.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode Ijmali yaitu menafsirkan Al-Quran secara global. Dengan metode ini, mufassir
berupaya menjelaskan makna-makna Al-Quran dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah
sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya
sampai orang yang berpengetahuan luas. Metode ini, sebagaimana metode tahlili, dilakukan
terhadap ayat per ayat dan surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf sehingga
tampak keterkaitan antara makna satu, ayat dan ayat yang lain, antara satu surat dan surat
yang lain.

Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosakata Al -Quran dengan
kosakata yang berada di dalam Al Quran sendiri sehingga para pembaca melihat uraian
tafsirnya tidak jauh dari konteks Al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung
dalam kosakata yang serupa dalam Al-Quran, dan adanya keserasian antara bagian Al-Quran
yang satu dan bagian yang. lain. Metode tafsir ini lebih Jelas dan chih mudah dipahanm oleh
para pembaca.

Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan AL Quran dcngan bantuan
sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis Nabi, atau pendapat ulama saleh.

Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:

a. Tafsir Al-Quran Al-Karim, karya Ustadz Muhammad Fari Wajdi.

b. Ar-Tafsir Al-Wasith, diterbitkan oleh Majma Al-Buhuts Al-Islamiyyah.

10
2. Metode Muqaran (Perbandingan/Komparasi)

Metode muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan merujuk kepada


penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan
metode ini adalah sebagai berikut:

a. mengumpulkan sejumlah ayat Al-Quran,

b. mengemukakan penjelasan para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan
khalaf, balik tafsirnya bercorak bi al-ma'tsur atau bi ar-ra’yi mengenainya, atau
membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing,

c. menjelaskan Siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi secara


subjektif oleh madzhab tertentu. Siapa di antara mereka yang penafsirannya
ditujukan untuk melegitimasi golongan tertentu atau madzhab tertentu. Siapa di
antara mereka yang penafsirannya sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin
ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fiqih, atau yang lainnya; Siapa di antara
mereka yang penafsirannya didominasi oleh uraian-uraian yang sebenarnya
tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan tidak didukung oleh
argumentasi naqliah, Siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi
paham-paham Asya’riyyah. Mu’tazilah, atau paham-paham tasawuf, teori-teori
filsafat, atau teori-teori ilmiah.

Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas,
yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang tema tertentu, atau
membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-badis Nabi, termasuk hadis-hadis yang
maknanya tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Quran atau membandingkan Al-Quran
dengan kajian-kajian lainnya.

3. Metode Maudhu'i (Tematik)

Metode Maudhu'i (tematik) dalam format dan prosedur yang jelas belum lama lahir.
Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini Al-lalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi,
ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar, langkahnya kemudian diikuti oleh teman-teman
dan mahasiswa-mahasiswanya.

Peosedur metode maudhu’i (tematik) adalah sebagai berikut:

l. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik),


11
2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut,

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan mana turunnya, disertai pengetahuan

tentang sebab an-nuzul,

4. Manahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing,

5, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempuma (out line) ,

6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan,

7. Mampelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat,


yang mempunyai pengertian sama, atau mengompromikan antara ayat yang am
(umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada
lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan.”

Metode Maudhu’i (tematik) ini terbilang baru di Fakultas Ushuludin, tetapi sekarang
banyak karya yang ditulis oleh pakar-pakar kenamaan dengan menggunakan metode ini.
Metode Maudhu'i (tematik) memiliki spesifikasi yang tidak dimiliki oleh metode-metode
tafsir lainnya. Setelah mengamati secara jelas urgensi serta prosedur metode maudhu'i
(tematik), siapapun tidak membantah bahwa metode ini merupakan yang terbaik untuk
menafsirkan Al-Quran. Al-Hatizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya berkata, “Jika ada seseorang
yang bertanya, “Manakah metode yang paling baik untuk menafsirkan Al-Quran?
Jawabannya adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran sendiri sebab kandungan yang
bersifat global suatu ayat akan dijelaskan oleh ayat lain..." Imam As-Suyuthi, di dalam
bahasan. Ma’rifat Syuruth AI-Mufassir wa Adabih, menceritakan bahwa para ulama berkata,
“Siapa saja hendak menafsirkan Al-Quran, carilah terlebih dahulu penafsiram nya di dalam
Al-Quran sendiri sebab kandungan yang global pada suatu tempat akan diperinci pada tempat
yang lain. Kandungan yang singkat pada satu tempat akan diuraikan pada tempat yang lain.”

Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Mahnan, “Akhir-akhir ini
banyak para peneliti yang menulis tafsir maudhu'i. Metode Maudhu’i (tematik) sebagaimana
diutarakan oleh Syaikh Syaltut, merupakan sebuah metode yang dapat mengantarkan manusia
pada macam-macam petunjuk Al-Quran. Harus diketahui oleh siapa saja bahwa tema-tema
Al-Quran bukanlah teori semata-mata yang tidak menyentuh persoalan-persoalan manusia.

12
E. Proses Tafsir Al-Qur ‘an

Sumber pengambilan tafsir diambil dari riwayah dan dirayah, yakni ilmu lughah,
nahwu, tafsir, balaghah, ilmu usul fiqh, ilmu asbab al-nuzul, dan nasikh wa al-mansukh.
Tujuan mempelajari tafsir ialah memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya,
akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuk yang lain untuk menjadi pedoman hidup dalam
rangka memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.

Maudhu’ atau pokok peembicaran ilmu Tafsir iyalah Al-Qur’an dengan hal-hal
berpautan berupa penjelasan dan penerangan serta pembahasan, baik mengenai tuturnya
(nazhamnya) maupun mengenai maknanya. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, pertama-
tama hendaklah mencari tafsirnya dari ayat-ayat Al-Qur,an sendiri. Karena kerap kali ayat-
ayat itu bersifat ringkas di sesuatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain.
Hendaklah ayat itu lebih dahulu ditafsirkan dengan ayat sendiri. Lantaran yang lebih
mengetahui kehendak Allah dengan ayat-ayat Al-Qur,an hanya Allah sendiri. Jika ada ayat
dapat dijadikan Tafsir bagi sesuatu ayat, di periksa dalam hadist, diharapakan di jumpai Tafsir
ayat tersebut dalam hadist, sebab hadist berfungsi sebagai bayan Al-Qur’an.

Selanjutnya diperhatikan penerangan sahabat, kerena mereka lebih mengetaui


maksud-maksud ayat, lantaran mereka mendengar sendiri dari Rosullah, mempersaksikan
sebab-sebab nuzulnya, dan mengetaui suasana yang mengelilingi turunnya ayat. Para sahabat
mengetahui benar-benar bahasa arab, menyaksikan sendiri qorinah dan keadaan, mempunyai
pendapat yang sempurna dan ilmu yang shahih. Pegangan dalam menafsirkan Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an, hadist dan atshar, jugsa berpegang pada kaidah bahasa arab baik
ulsub-ulsubnya maupun maknanya.

Adapun manfsirkan ayat Al-Qur’an berdasrkan pendapat para tabi’in, terdapat


ikhtilak, Ibnu taimiah perpendapat bahwa bila tidak mendapatkan Tafsir dalam Al-Qur’an dan
hadist, dan tidak mendapatkan Tafsir sahabat, maka kembalikan kepada pendapat para tabi’in.
Syu’ bah berpendapat, bahwa pendapat para tabi’in tidak menjadi hujjah dalam soal Tafsir,
namun jika mereka telah berijma, maka tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, jika mereka
berselisih, pendapat sebgian mereka tidak menjadi hujjah untuk menolak pendapat orang lain.

Tantang menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan ijtihad, tidak dibenarkan oleh Ibnu
taimiah. Hal tersebut tidak dipahami bila mengenai ayat itu ada hadist nabi SAW dan atsar
13
sahabat, jika tidak membolehkan orang memahamkan Al-Qur’an dengan kekuatan ijtihad,
krtika tidak ada hadist dan atsar, berarti menutup pintu orang memhamkan Al-Qur’an Al-
Ghzali membolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan ijtihad, dengan syarat tidak
terlalu mencari-cari menafsiran supaya sesuai dengan mahdzab yang dianut oleh penafsir,
baik mengenai pokok ataupun mengenai cabang. (Hasbi Ash-Shiddieqy:2012:160-164).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat samudera
tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus
berenang dan menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa
yang diinginkannya karena keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat
ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar telah banyak
menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di antaranya metode tahlily, ijmaly,
muqaran, dan maudhu’i.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Rosihi. 2005. Ulum Quran. Bandung: Pustaka setia.

2. AS, Mudzakir. 2013. Studi ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa.

3. Anwar, Rosihin. 2012. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka setia.

4. Adiwikarta, Endang Soetari. 2013. Pengantar Ilmu Tafsir Al-Quran. Bandung :


Yayasan Amal Bakti.

15

Anda mungkin juga menyukai