B. Kegiatan Belajar : Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur’an (KB 2)
C. Refleksi
NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN
Pendekatan Penafsiran Al-Qur’an Pengertian
Adalah contoh, acuan, ragam, macam (W.J.S.
Poerwadarminta 1991: 653) atau cara pandang yang terdapat dalam bidang ilmu tafsir yang selanjutnya digunakan dalam memahami Islam.
Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam
menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan kepada penjelasan- penjelasan yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun atsar, termasuk ayat-ayat Al-Qur’an yang lain.
Pendekatan tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa cara dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut: Konsep (Beberapa istilah 1 dan definisi) di KB a) Penafsiran ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.
b) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw
Ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak yang bersifat global (mujmal) daripada yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami kandungannya tidak bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di sinilah hadis Nabi Saw berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya, ayat tentang perintah salat disampaikan dalam Al-Qur’an secara umum tanpa menyertakan penjelasan tata caranya.
c) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan keterangan sahabat
Nabi saw dan tabi’in. Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis, kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in. Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.
Tafsir bi al-Ra'yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra'yi
adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang kompeten keilmuannya dan telah dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyara-
yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti pula menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Al- Qur’an dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352).
Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat
diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian
tekstual) Al-Qur’an. 2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya. 3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Metode Penafsiran Al-Qur’an
a. Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan
ayat Al-Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dalam mushaf, dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek- aspek yang ingin disampaikan. Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya. b. Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan
ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna secara global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami.
c. Metode Muqaran (Komparatif)
Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan
Al-Qur’an adalah metode maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu.
Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-
langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai berikut:
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas;
Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat; 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; 3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu- ilmu lain yang mendukungnya; 4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat; 5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line); 6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan; dan 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan makna. Pendekatan Penafsiran Alquran
a. Tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam
menafsirkan Alquran yang didasarkan kepada penjelasan- penjelasan yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun atsar, termasuk ayat-ayat Alquran yang lain. Oleh karena itu, tafsir bi al-ma’tsur disebut juga tafsir bi al-riwayah.
Secara rinci, pendekatan tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa
cara dalam menafsirkan ayat Alquran, yaitu;
1. Penafsiran ayat dengan ayat Alquran yang lain. Suatu ayat
dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al- Ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al-Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain.
2. Penafsirat ayat Alquran dengan hadis Nabi Saw. Ayat-ayat
Daftar materi pada KB Alquran lebih banyak yang bersifat global (mujmal) daripada 2 yang sulit dipahami yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami kandungannya tidak bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di sinilah hadis Nabi Saw berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Alquran.
3. Penafsirat ayat Alquran dengan keterangan sahabat Nabi
saw. dan tabi’in.
4. Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis,
kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in. Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana Alquran itu diturunkan.
b. Tafsir bi al-Ra’y atau tafsir bi al-Dirayah.
Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra’y
adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompeten keilmuannya dan telah dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari.
Tafsir Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyara- yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti pula menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Alquran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352). Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih tafsir isyari berarti menjelaskan kandungan Alquran melaui takwil dengan cara menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat
diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian
tekstual) Alquran. 2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya. 3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Metode Penafsiran Alquran
a. Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Alquran dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.
b. Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Alquran dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar. Metode ini seperti yang lazim dilakukan oleh Jalal al- Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dalam Tafsir Alquran al-Azhim. c. Metode Muqaran (Komparatif) Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan Alquran adalah metode maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan mengambil suatu tema tertentu. Kelebihan metode ini mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhannya, serta memberikan pemahaman Alquran tentang satu tema menjadi utuh. Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi ayat- ayat setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan yang akhirnya membatasi pemahaman ayat.
Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-
langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai berikut:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu- ilmu lain yang mendukungnya. d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat. e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna. f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan makna. Bi al-ra’y dalam kitab tafsirnya adalah Abd al-Qasim Mahmud al-Zamakhsari. Dalam melakukan penafsirannya, ia mengemukakan pemikirannya namun tetap didukung dengan dalil-dalil hadis atau ayat Alquran, baik riwayat yang berhubungan dengan sabab al-nuzul atau makna ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, jika ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan merujuknya dan jika tidak, ia akan tetap konsisten dengan hasil penalarannya (Alfiyah, 2018). Selain al-Zamakhsari, mufassir yang juga menggunakan pendekatan ini adalah Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib dan al-Baidhawi dalam Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil.
Contoh yang tampak dari tafsir dengan pendekatan bi al-
ra’y adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Zilal al-Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (QS 1: 4).
Ayat tersebut termasuk akidah pokok yang fundamental
dalam keyakinan umat Islam yakni mempercayai hari akhirat. Kata "yang menguasai atau penguasa" menunjukkan derajat Daftar materi yang sering kuasa yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari 3 mengalami miskonsepsi penentuan balasan di akhirat. Banyak orang yang dalam pembelajaran mempercayai ketuhanan Allah dan percaya bahwa Ia pencipta alam semesta, namun tidak sedikit dari mereka yang tidak percaya kepada hari Pembalasan.
Kepercayaan terhadap hari pembalasan dapat meletakkan
pandangan dan hati manusia pada sebuah alam yang lain setelah tamatnya alam dunia. Pandangan ini mampu menjadi kontrol cara berkehidupan di dunia agar tidak melupakan untuk mempersiapkan diri di kehidupan setelah hari pembalasan.
Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’y di
atas menjadi jelas bahwa para mufassir tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan Alquran dengan pendapatnya sendiri. Sama halnya dengan tafsir bi al-ma’tsur yang tentu tidak berdasar riwayat an sich, melainkan tetap melibatkan penalaran. Maka dari itu, faktor yang membedakan antara tafsir bi al-ra’y dan tafsir bi al-ma’tsur adalah aspek dominannya.