Anda di halaman 1dari 6

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : Fiqih


B. Kegiatan Belajar : Konsep Pemerintahan Dalam Islam (KB 1)

C. Refleksi

N BUTIR
RESPON/JAWABAN

K O N S E P P E M E R IN T A H A N
O REFLEKSI
1 Konsep
(Beberapa
istilah dan
definisi) di Sistem Pemerintahan dalam Islam

D A L A M IS L A M
KB

Bentuk-bentuk Pemerintahan
dalam Islam

Hak dan Kewajiban Rakyat

Majlis Syura dan Ahlul Halli wal


‘Aqdi

A. Sistem Pemerintahan dalam Islam


1. Pengertian Pemerintahan dalam Islam
Secara etimologi, pemerintahan berasal dari: (a) Kata dasar
"pemerintah" berarti melakukan pekerjaan menyeluruh. (b)
Penambahan awalan "pe" menjadi "pemerintah" berarti badan yang
melakukan kekuasaan memerintah. (c) Penambahan akhiran "an"
menjadi "pemerintahan" berarti perbuatan, cara, hal atau urusan
dari pada badan yang memerintah tersebut.
Terdapat beberapa sistem ketatanegaraan yang
diselenggarakan oleh negara-negara di dunia ini.
 Pertama, negara teokrasi. Sistem ini terbentuk seiring adanya
keyakinan dari warga negaranya bahwa pemimpin tertinggi
negara merupakan utusan yang dikirim oleh Tuhan dan
mendapat mandat kepemimpinan.
 Kedua, sistem monarki. Sistem ini lahir dengan kekuasaan
absolut dan mutlak ada di tangan raja yang kelak kemudian, di
era modern, sistem ini berangsur berubah menjadi sistem
monarki moderat, walau kadang masih mempertahankan pola
keabsolutan itu.
 Ketiga, sistem autokrasi. Sistem ini hampir menyerupai sistem
monarki absolut, dengan kekuasaan mutlak ada di tangan
seseorang.
 Keempat, sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi,
kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat.
Pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW, konsep kekhalifahan
beberapa kali mengalami perubahan. Pengangkatan Khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq merupakan representasi dari pemerintahan yang
dibentuk atas dasar musyawarah mufakat (al-syura) sebagai cikal
bakal demokrasi.
Sementara itu pengangkatan khalifah kedua, yakni khalifah
Umar ibn Khathab, merupakan representasi dari sistem monarki
absolut, karena dilakukan melalui penunjukan dan penobatan.
Saat khalifah ketiga hendak diangkat, mulai muncul istilah ahl
al-halli wa al-'aqdi (AHWA) yang ditunjuk oleh sahabat Umar ibn
Khathab agar melakukan persiapan guna melangsungkan suksesi
kepemimpinan.
Jika ditelusuri lebih jauh, bahwa terpilihnya Sayyidina Utsman
ibn Affan ini, secara tidak langsung telah terjadi pergeseran kembali
pada sistem kekhalifahan yang asalnya dari Syura, berubah menjadi
monarki, lalu ke sistem perwakilan (Ahlul Halli wal Aqdi). Saat
Sayyidina Ali ibn Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sistem
pemerintahan kembali berubah menyerupai sistem teokrasi.
Dengan melihat pasang surut sejarah kekhalifahan ini, tidak
ada satu pun sistem ketatanegaraan di dunia ini yang bersifat baku,
khususnya dalam dunia Islam. Orientasi para sahabat dalam
mendirikan pemerintahan adalah semata karena memandang unsur
kemaslahatan atau kebaikan bagi masyarakat. Demikian pula
setelah generasi para sahabat hingga kemudian kemunculan
wacana nation-state.
Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga tujuan utama
pemerintahan dalam Islam.
 Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-
wenangan.
 Kedua, menegakkan sistem yang Islami melalui cara yang
dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkuasa untuk
menyebarkan kebaikan serta memerintahkannya (amar ma’ruf)
sejalan dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia.
 Ketiga, menumpas akar-akar kejahatan dan kemungkaran yang
merupakan perkara yang paling dibenci oleh Allah swt

Dalam konteks Indonesia, pemerintahan dalam Islam telah


sesuai dengan nilai-nilai yang telah diterapkan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, hal ini terbukti dari dasar negara
yang menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar
utama, dan dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan
kemerdekaannya karena berkat dan rahmat Tuhan yang maha
kuasa dan didorong oleh keinginan luhur Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila itulah representasi negara
berdasarkan nilai-nilai Islam karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan prinsip Tauhid dalam Islam. Karena Islam hanya
menawarkan nilai-nilai luhurnya untuk mengisi setiap sendi
perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni, dan lain-lain dalam
aktivitas masyarakat dan bangsa.

2. Dasar, Nilai dan Cara Pengangkatan Pemimpin dalam islam


Ayat al-Qur’an yang bersinggungan dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu (Ali Imran: 26; Al-hadid:5;
AlAn’aam:125 dan Yunus: 14; Ali Imran: 159 dan Al-Syura: 38; Al-
Nisa: 59; Al-Nahl: 90 dan Al-Nissa: 58; Al-Hujurat: 13; al-Baqarah:
256; Yunus: 99; Ali Imran: 64 dan Al-Mumtahanah: 8-9).
Adapun nilai-nilai dalam pelaksanaan sistem bernegara dan
bermasyarakat bagi seorang pemimpin adalah sebagai berikut:
a. Kejujuran, keikhlasan serta tanggung jawab.
b. Keadilan yang bersifat menyeluruh kepada rakyat
c. Ketauhidan (mengesakan Allah)
d. Adanya kedaulatan rakyat.
Sedangkan cara pengangkatan pemimpin dalam Islam ada
tiga, yaitu;
 Pertama pemilihan langsung yaitu rakyat langsung memilih
seorang pemimpin yang mereka inginkan.
 Kedua pemilihan tidak langsung yaitu berbentuk perwakilan
rakyat dan
 ketiga adalah pengangkatan pemimpin berdasarkan
keturunan yang disebut dengan sistem kerajaan.

B. Bentuk-bentuk Pemerintahan dalam Islam


Pemerintahan yang diharapkan masyarakat yaitu pemerintahan
yang dalam pelaksanaannya dan pengimplementasiannya memakai
sistem pemerintahan yang jujur, adil, dan harmonis. Pemerintahan yang
baik pada hakikatnya dapat diterima dari semua lapisan baik itu dari
lapisan masyarakat maupun lapisan dari pemerintah itu sendiri.
Pemerintahan Islam tidak secara rinci mengatur tentang bentuk
pemerintahan. Turki menggunakan sistem Republik dan Arab Saudi
menggunakan sistem kerajaan.
Pemerintahan Islam yang berlangsung sepeninggal Nabi, khususnya
pada masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman
ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib), barangkali sepadan dengan bentuk
republik dalam konsep politik modern.
Tetapi pada kurun berikutnya, sejak pemerintahan Umayyah,
Abbasiyyah, sampai dengan Turki Usmani, dan pemerintahan Islam di
wilayah yang lainnya, termasuk di Indonesia, adalah bercorak kerajaan
atau monarki (Muhammad Husein Haikal, 1983: 17-18).
Dengan demikian, suatu sistem pemerintahan atau negara untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat telah
diimplementasikan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berideologi Pancasila dengan Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
pancasila bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.
Sebab mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.

C. Hak dan Kewajiban Rakyat


Seorang pemimpin dan rakyatnya memiliki kewajiban untuk
membangun sebuah negara yang adil dan sejahtera. Hak dan kewajiban
itu dipegang dalam sebuah janji yang disebut dengan baiat.
Dalam baiat, rakyat berjanji setia untuk menaati kepala negara
selama pemimpin negara itu tidak melakukan sesuatu yang melanggar
syariat. Demikian juga kepala negara melaksanakan hak dan
kewajibannya yaitu melaksanakan undang-undang demi mewujudkan
keadilan.
Adapun baiat dalam konteks politik Islam Indonesia lebih terlihat
pada saat sumpah jabatan. Baik lembaga eksekutif, legislatif dan
yudhikatif saat mereka dilantik.
Berikut ini adalah hak-hak rakyat di satu sisi, tapi disisi lain
merupakan kewajiban pemerintah.
1. hak keselamatan jiwa dan harta.
2. hak untuk memperoleh keadilan hukum dan pemerataan.
3. Hak untuk menolak kezaliman dan kesewenang-wenangan.
4. hak berkumpul dan menyatakan pendapat.
5. hak untuk bebas beragama.
6. hak mendapatkan bantuan materi bagi rakyat yang lemah.

Sedangkan kewajiban Rakyat kepada Pemimpin (kepala negara)


meliputi;
1. Kewajiban taat kepada khalifah.
2. Kewajiban mentaati undang-undang dan tidak berbuat kerusakan.
3. Membantu pemimpin dalam semua usaha kebaikan.
4. Bersedia berkorban jiwa maupun harta dalam mempertahankan
dan membelanya.
5. Menjaga Persatuan dan Kesatuan.

D. Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi


1. Majlis Syura dalam Pemerintahan
Kata “majlis syura” terdiri dari dua kata yaitu kata majlis dan
kata syura. Majlis artinya tempat duduk syura artinya
bermusyawarah. Dengan demikian majlis syura secara bahasa
artinya tempat bermusyawarah (berunding).
Dikaitkan dengan sistem pemerintahan, majlis syura memiliki
pengertian tersendiri yaitu suatu lembaga negara yang terdiri dari
para wakil rakyat yang bertugas untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Majlis ini memiliki tugas utama yaitu
mengangkat dan memberhentikan khalifah.
2. Syarat-Syarat Menjadi anggota majlis syura
Imam al-Mawardi merumuskan beberapa syarat untuk menjadi
anggota majlis syura, antara lain:
a. Berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan.
b. Berilmu pengetahuan yang luas.
c. Memiliki kearifan dan wawasan yang luas.
3. Ahlul Halli wa al-Aqdi
Dalam ilmu fiqh Ahlul halli wal aqdi diartikan orang yang dipilih
sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani ummat. Ahlul
halli wal aqdi adalah orang-orang pilihan. Mereka terdiri dari
ulama, cerdik pandai dan pemimpin yang mempunyai kedudukan
dalam masyarakat. Ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang
menjadi anggota majlis syura. Mereka dipercaya oleh rakyat dan
keputusan mereka ditaati oleh rakyat.
Ahlul halli wal aqdi memiliki beberapa hak atau wewenang
sebagai berikut:
1. Ahlul halli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang
mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat khalifah.
2. Ahlul halli wal aqdi mempunyai wewenang mengarahkan
kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Ahlul halli wal aqdi mempunyai wewenang membuat undang-
undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal
yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Quran dan Hadist.
4. Ahlul halli wal aqdi tempat konsultasi khalifah di dalam
menentukan kebijakannya.
5. Ahlul halli wal aqdi mengawasi jalannya pemerintahan.

Berdasarkan pada hak-hak tersebut, hak-hak Ahlul halli wal


aqdi serupa dengan wewenang MPR dan DPR dalam pemerintahan
Indonesia.
Ahlul halli wal aqdi melaksanakan tugasnya dengan cara syuro’,
Syuro’ atau musyawarah merupakan landasan ideal bagi
pemerintah dalam menyelesaikan segala bentuk persoalan serta
dalam setiap keputusan, hal ini dikarenakan syuro’ memiliki
landasan yang kuat.
Kedudukan seorang pemimpin menurut konsep Ahlul halli wal
‘aqdi, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, pemimpin adalah sebagai pemangku kekuasaan tertinggi,
pemimpin memiliki kewenangan untuk mengambil segala
bentuk kebijakan, baik itu menyangkut produk hukum, militer,
pembangunan atau yang lainnya.
Kedua, keberadaan pemimpin tersebut merupakan pengangkatan
yang dilakukan oleh Ahlul halli wal aqdi yang berdasarkan atas
mandat dari rakyat, maka pemimpin harus bertanggung jawab
terhadap Ahlul halli wal aqdi ketika masa jabatannya berakhir.
Ketiga, kedudukan Ahlul halli wal aqdi hanya sebatas pemberi
masukan, saran dan konsultasi kepada pemimpin dalam rangka
sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan yang
berkaitan dengan berbagai bidang atau aspek keahlian yang
dimiliki oleh Ahlul halli wal aqdi.
Keempat, pengangkatan pemimpin yang dilakukan oleh Ahlul halli
wal aqdi sangat berpotensi meminimalisir kepentingan-
kepentingan segelintir orang yang menyampingkan
kepentingan umat, karena komposisi Ahlul halli wal aqdi itu
sendiri merupakan orang-orang profesional yang memiliki
kapabilitas di bidangnya masing-masing dan memiliki mandat
rakyat,
Kelima, pemimpin yang melakukan penyelewengan kekuasaan
(abuse of power), maka dalam penanganannya dilakukan oleh
Ahlul halli wal aqdi.

Daftar
materi pada Terjadinya pergeseran persepsi system pemerintahan dalam tiap
2 KB yang sulit melaksanakan system pemerintahan.
dipahami

Daftar
materi yang
sering
mengalami
3 System teokrasi dalam pemerintah sulit diwujudkan
miskonsepsi
dalam
pembelajara
n

Anda mungkin juga menyukai