Anda di halaman 1dari 6

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : Fiqih


B. Kegiatan Belajar : Konsep Bank, Rente dan Fee dalam Islam (KB 3)

C. Refleksi

BUTIR
NO RESPON/JAWABAN
REFLEKSI
1 Konsep
(Beberapa Bank
istilah dan
definisi) di
KB
Konsep
Islam

Rente Fee

A. Konsep Bank dalam Ajaran Islam


1. Pengertian Bank
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan
tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau
orang lain. Dari pengertian ini maka bank memiliki dua arti penting,
yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Ada dua jenis Bank di Indonesia, yaitu bank konvensional dan
bank syariah. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya
terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
2. Bank Syariah
Bank Syariah adalah sebuah Lembaga keuangan yang
melakukan penghimpunan dana nasabah dan menginvestasikannya
dengan tujuan membangkitkan ekonomi masyarakat muslim dan
merealisasikan hubungan kerja sama Islami berdasarkan syariah
Islam. Diantara konsep paling penting adalah menjauhi transaksi
ribawi dan akad-akad yang dilarang.
Adapun prinsip-prinsip syariah yang dikembangkan dalam
rangka menghindari bunga bank adalah sebagai berikut:
Pertama, wadiah yaitu titipan uang, barang dan surat-surat
berharga. Dalam operasinya bank Islam menghimpun dengan
cara menerima deposito berupa uang, benda dan surat berharga
sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank
Islam.
Kedua, mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan
pelaksana). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan
tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya
dengan perjanjian bagi hasil, baik untung maupun rugi sesuai
dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.
Ketiga, musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak bank dan
pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha
patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola usaha
patungan itu dan menanggung untung rugi bersama atas dasar
perjanjian profit and loss sharing.
Keempat, murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas
dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Syarat
murabahah antara lain bahwa pihak bank harus memberikan
informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga
pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plusnya.
Kelima, Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat
memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang
baik terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank
Islam.
Keenam, Ijarah, yaitu akad sewa-menyewa antara satu atau dua
orang, atau antara satu lembaga dengan lembaga lain
berdasarkan prinsip syariah.
Ketujuh, Hiwalah, yaitu akad perpindahan utang dari si A kepada B
atau C yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Bank Islam boleh mengelola zakat di negara yang


pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank
Islam juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul
untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum.
Islam mendorong praktik bagi hasil yang dilakukan oleh bank
syariah serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi
keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat nyata.
B. Rente atau Bunga Bank
1. Pengertian Rente atau Bunga Bank
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang
berarti bunga. Fuad Muhammad Fachruddin mendefinisikan bahwa
rente ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena
jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang
yang meminjam.
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan
satu tingkat atau prosentase modal yang berkaitan dengan itu dan
biasa dinamakan suku bunga modal.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah sistem yang
diterapkan oleh bank- bank konvensional (non Islam) sebagai suatu
lembaga keuangan yang mana fungsi utamanya menghimpun dana
untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana
(pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna
untuk investasi produktif dan lain-lain.
Ketentuan batas maksimum bunga bank sebenarnya tidak
memberatkan dan tetap dalam batas kewajaran. Ketentuan
semacam ini tidak termasuk riba ad’afan mudha’afah sebagaimana
yang disingung dalam al-Qur’an. Bunga bank dengan ketentuan
semacam ini jika dilihat asbabun nuzul ayat-ayat tentang riba dalam
al-Qur’an tidak termasuk riba, sehingga sejauh ini bunga bank masih
menjadi diskursus yang multi tafsir dalam ajaran Islam.
2. Hukum Rente atau Bunga Bank
Sebagian masyarakat terjebak dalam praktek pinjam meminjam
uang dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para
rentenir. Berbeda dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering
disebut “lintah darat” itu sering menimbulkan kegelisahan di
masyarakat.
Keharaman rentenir jelas karena termasuk kategori riba yang
diharamkan, di dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak
peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan
tertindas. Jika kelebihan dalam batas kewajaran dan tidak
merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang
diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275.
syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi menyatakan bahwa
bunga deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar
persentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam.
Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam
Tafsit al-Manar, “Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan
kepada orang lain uang untuk diinvestasikan sambil menentukan
baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi
semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal.
Sedangkan riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak
tanpa alasan serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”
3. Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Konsep bunga bank terdapat perbedaan sikap para ulama dalam
menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat
empat kelompok ulama tentang hukum bunga bank.
Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang
menghukuminya haram secara mutlak).
Kedua, kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif.
Ketiga, muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan
keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat.

Berikut ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti


dimaksud:
1. Kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la al-
Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid
Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad
Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba
nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam
tidak boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem
bunga, kecuali dalam keadaan darurat.
2. Kelompok yang antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau
berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat
konsumtif seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai
bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda
yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram.
3. Kelompok antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat
bahwa bunga bank (rente) seperti yang berlaku di Indonesia
bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat
ganda
4. Keempat, kelompok Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
muktamar di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang
diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya
termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
C. Konsep Riba dalam Ajaran Islam
1. Pengertian, Jenis dan Hukum Riba
Hukum riba secara jelas adalah haram. Keharaman riba, pada
hakekatnya adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan
keadilan dalam ekonomi. Penghapusan riba dalam ekonomi Islam
dapat dimaknai sebagai penghapusan riba yang terjadi dalam jual
beli dan hutang-piutang. Dalam konteks ini, berbagai transaksi yang
spekulatif dan mengandung unsur gharar harus dilarang.
riba nasiah mengandung tiga unsur.
 Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau modal yang
dipinjamkan.
 Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari
tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
 Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian
piutang dan tenggang waktu.

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau


tindakan terpuji. Menurut mereka tambahan pembayaran hutang
yang termasuk riba jika tambahan tersebut disyaratkan pada waktu
aqad. Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada
tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela
karena ada kezaliman dan pemerasan. Sedangkan tambahan yang
terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan itu
diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang
sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih
kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.
Adapun hukum keharaman riba, sikap semua agama samawi
(Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba
karena dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.
2. Tahapan Pengharaman Riba
Secara rinci, keharaman riba dalam al-Qur’an secara bertahap,
sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti
pelarangan minuman keras.
Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama, bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari
keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan
keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39).
Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk
dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu.
Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan
orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak
dengan siksa Allah yang pedih (QS. An-Nisa’: 120-161).
Tahap ketiga, keharaman riba dikaitkan pada suatu tambahan
yang berlipat ganda (QS. Ali Imran: 130). Ayat ini turun setelah
perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49),
istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat
sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang
berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram,
melainkan sifat riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah
berlipat ganda.
Tahap keempat merupakan tahap terakhir yang dengan tegas
dan jelas Allah mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang
jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar
menghapuskan seluruh hutang-pihutang yang mengandung riba
(QS. Al-Baqarah: 278-279).
3. Hikmah Keharaman Riba
Wahbah Zuhaili juga mengungkapkan hikmah keharaman riba
yaitu mengakibatkan kesusahan bagi orang-orang yang
membutuhkan, mematikan unsur-unsur kasih sayang dan rahmat
bagi manusia, menghilangkan nilai tolong-menolong dalam
kehidupan, eksploitasi orang kaya terhadap orang miskin, dan
menyebabkan mudharat yang besar bagi masyarakat. Jika uang telah
menjadi barang komersial dengan tambahan tambahan ribawi baik
secara tunai maupun tidak, maka rusaklah sistem penilai barang-
barang yang seharusnya bersifat terbatas dan tetap, tidak naik dan
tidak turun.
Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan
kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba
maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan
terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan
di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan
manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang
menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin tertindas
D. Konsep Fee dalam Ajaran Islam
1. Pengertian dan Hukum Fee
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah
bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas,
biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada hakikatnya bisa
dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa
dipersamakan dengan hukum bunga bank. Untuk menjawab
masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat ulama tentang
hukum bunga bank itu sendiri.

Daftar materi Mebedakan peminjam (nasabah) yang kebutuhan konsumtif dengan buat
pada KB
2
yang sulit
modal usaha menjadikan bias hukum karena meskipun beda keperluan
dipahami sama-sama melalui system bank konvensional yang sdh berlaku.

Daftar materi
yang sering
mengalami Perbedaan bank konvensional dengan bank Syariah dalam bentuk yang
3
miskonsepsi sering kali ada kesamaan dalam praktiknya.
dalam
pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai