Anda di halaman 1dari 11

TEMPLATE PROBLEM BASED LEARNING

Nama Mahasiswa : Zubaidah,S.Pd.

Kelompok Mapel : PAIS 4

Judul Modul : PAI Kontemporer

Judul Masalah : Kecendrungan Radikalisme dikalangan Mahasiswa

No Komponen Deskripsi
1. Identifikasi Masalah
(berbasis masalah yang Kecendrungan radikalisme dapat dianalisis menggunakan
ditemukan di lapangan) Teori Reasoned Action (TRA) yang dikemukakan oleh
Fishbein dan Ajzen (1975). TRA dirumuskan pada tahun
1967 untuk memberikan konsistensi dalam studi
hubungan antara perilaku dan sikap, (Fishbein dan Ajzen
1975; Werner 2004). Teori ini disusun menggunakan
asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara
yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi
yang tersedia. Model ini menggunakan pendekatan
kognitif, dan didasari ide bahwa “…humans are
reasonable animals who, in deciding what action to make,
systematically process and utilize the information
available to them…”. TRA merupakan teori perilaku
manusia secara umum, aslinya teori ini dipergunakan di
dalam berbagai macam perilaku manusia, khususnya
yang berkaitan dengan permasalahan sosial-psikologis.
TRA menjelaskan bahwa niat seseorang untuk
melakukan sesuatu perilaku menentukan akan dilakukan
atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut,
Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak
melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua
penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap
(attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan
dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective
norms). Teori ini menghubungkan keyakinan (beliefs),
sikap (attitude), kehendak/intensi (intention), dan
perilaku (behavior). Untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan seseorang, cara terbaik untuk meramalkannya
adalah mengetahui intensi orang tersebut dan pengaruh
norma subjektif yang berlaku. Dari dua kasus disertai
jawaban peserta FGD yang telah dibahas pada dua sub
bab sebelumnya, kita dapat melaihat bahwa
kencendrungan radikalisme sudah mulai tampak. Hal ini
terlihat dari jawaban 2 orang peserta yang menganggap
bahwa melakukan tindakan kekerasan untuk
mempertahankan ideology bukanlah tindakan yang
negative. Jawaban ini diteruskan dengan diskusi melalui
kasus kedua dimana organisasi ekstra kampus yang
mereka ikuti tidak menunjukkan penghargaan terhadap
nilai-nilai humanis. Untuk memperkuat analisis, maka
fasilitator FGD kembali melemparkan kasus ketiga yang
secara spesifik menjurus kepada fenomena radikalisme di
propinsi Aceh. Kasus yang dilemparkan yaitu mengenai
adanya aksi teror (teroris) dalam bentuk pelatihan militer
di desa Jalin kecamatan Jantho Aceh Besar pada tahun
2010. Pelatihan terorisme di Jalin itu ditaksir sebagai
pelatihan militer terbesar para jihadis di Asia Tenggara.
Pelatihan itu juga melibatkan putra-putra terbaik asal
Aceh. Putra Aceh yang terlibat pelatihan di Jalin
memiliki latar belakang yang beragam, seperti
wiraswasta sebanyak 5 orang, petani 5 orang, eks
kombatan GAM 1 orang, PNS 2 orang, guru pesantren 3
orang, dan nelayan 1 orang. Atas kasus ini, fasilitator
memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan Beliefs,
attitude, intention, dan behaviour peserta.

Keyakinan (Beliefs) sendiri Menurut Fishbein & Ajzen


(1975) adalah kemungkinan subjektif dari sebuah
hubungan antara objek keyakinan (belief) dengan objek
nilai, nilai dan atribut lain. Fisbhen & Ajzen (1975)
mengatakan bahwa informasi yang menghubungkan
objek belief dengan objek, nilai, konsep atau atribut lain
diperoleh melalui observasi langsung. Artinya seseorang
yang melakukan observasi terhadap suatu perilaku
tersebut ditampilkan, atau dengan kata lain, orang
tersebut dapat memasangkan atribut penyebab yang
berbeda- beda terhadap perilaku yang sedang diobservasi
(Fishbhen & Ajzen, 1975. Fasilitator FGD
mengemukakan 3 pertanyaan yang berkaitan dengan
beliefs yaitu bagaimana pendapat peserta tentang aksi
terorisme? Bagaimana pendapat peserta tentang aksi
kekerasan yang mengatasnamakan agama? Serta
bagaimana pendapat peserta tentang penyebab seseorang
memiliki kecendrungan radikal? 20 peserta FGD
berpendapat bahwa aksi terorisme merupakan tindakan
keji yang tidak berprikemanusiaan. Aksi ini jelas
mengabaikan nilai-nilai humanis yang seharusnya
dimiliki setiap warga Negara. Penggunaan agama sebagai
alasan melakukan kekerasan juga diyakini sebagai bentuk
penyimpangan yang bertentangan tidak hanya dengan
agama itu sendiri, tapi juga dengan ajaran pancasila. 4
peserta lainnya berpendapat bahwa terorisme harus
dipahami dari alasan pelaku yang tidak sepenuhnya salah.
4 peserta menganggap bahwa agama merupakan
keyakinan masing-masing individu yang harus
diperjuangkan. Selanjutnya 24 peserta menjelaskan
bahwa kecendrungan radikalisme muncul karena rasa
kecewa terhadap suatu hal. Baik itu sistem politik
maupun diskriminasi agama atau ideologi tertentu. Jika
dipandang dari konteks beliefs,setiap peserta memiliki
keyakinan masingmasing. Secara teoritis, belief dapat
terbentuk melalui tiga hal. Yang pertama adalah (a)
Descriptive Belief, yaitu keyakinan yang dibentuk
melalui pengalaman langsung individu dengan objek
terkait. (b) Inferential Belief, yang dibentuk melalui
proses penarikan kesimpulan dan bukan melalui
pengalaman langsung. Dan yang terakhir adalah (c)
Informational Belief, yaitu keyakinan yang dibentuk
melalui proses penerimaan informasi dari diri individu.
Dari jawaban 24 peserta dapat disimpulkan bahwa
keyakinan yang mereka miliki terbentuk melalui
inferential beliefs dan informational beliefs. Inferential
Beliefs mereka dapatkan bukan melalui pengalaman
langsung. Menurut Bruner (dalam Fishbhen & Ajzen
(1975), terdapat dua cara untuk membentuk keyakinan
ini. Pertama, individu kemungkinan menghubungkan
suatu kejadian dengan sesuatu yang sudah dipelajari.
Kedua, dengan cara yang disebut formal coding system,
dimana keyakinan dibentuk dengan menghubungkan dua
kejadian yang tidak bersamaan. Sedangkan Informational
Belief mereka dapatkan melalui penerimaan
informasidari lingkungan sosial dan keluarga. Tidak ada
satupun yang menunjukkan descriptive belief karena
mereka mengaku belum pernah melakukan, ataupun
menjadi target terorisme. Sikap (Attitude) Sikap
(Attitude) didefinsikan sebagai sebuah disposisi atau
kecendrungan untuk menanggapi hal-hal yang bersifat
evaluative, disenangi atau tidak disenangi terhadap objek,
orang, institusi atau peristiwa. Karakteristik paling utama
yang membedakan sikap dengan variable lain dalah
bahwa sikap bersifat evaluative atau cendrung afektif
(Fishbhen & Ajzen 1975). Berkaitan dengan sikap,
pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana perasaan
peserta ketika mendengar/membaca berita tentang adanya
aksi radikal baik dalam bentuk terorisme/ sparatisme/
ataupun kekerasan lain? Apa yang akan peserta lakukan
jika melihat/ mengalami radikalisme tersebut? 24 peserta
menjawab bahwa mereka merasa sedih dan prihatin jika
mendengar berita yang berkaitan dengan aksi
radikalisme. Selanjutnya 21 peserta melakukan
penolakan keras terhadap radikalisme. Sementara 3
peserta ragu-ragu dan memilih tidak menjawab. Ajzen
(2006:50) menambahkan sikap terhadap tingkah laku
ditentukan oleh keyakinan (belief) akan akibat dari
tingkah laku yang akan dilakukan. Keyakinan ini disebut
dengan behavioral belief. Dimana setiap behavioral belief
menghubungkan tingkat laku dengan konsekwensi
tertentu dari munculnya tingkah laku tersebut. Intensi
(Intention) dan Prilaku (Behaviour) Intensi (Intention),
intensi adalah kemungkinan seseorang melakukan
sesuatu tingkah laku. Pertanyaan terkait intensi yang
diajukan adalah bagaimana pendapat peserta tentang
memperjuangkan ideology dengan segala cara?
Bagaimana pendapat anda tentang kelompok/ individu
yang berniat menggantikan pancasila/ sistem politik
dengan yang baru? 20 peserta menjawab bahwa ideology
merupakan keyakinan yang menjadi dasar bagi seseorang
untuk bertingkahlaku. Memperjuangkan ideology adalah
hal yang harus dilakukan oleh seorang warga Negara,
namun tidak harus dengan cara kekerasan. Penggunaan
soft power yang mengedepankan win-win solution lebih
baik dilakukan daripada harus menempuh jalan kekerasan
dan merugikan orang lain. 4 peserta lainnya sepakat
untuk mempertahankan ideology meskipun harus
menempuh jalan kekerasan. Selanjutnya, 20 orang
peserta secara umum berpendapat bahwa pancasila
sebagai ideology Negara adalah harga matiyang tidak
dapat digantikan oleh ideology lain. Namun demikian,
sistem politik boleh diganti atau di konstruksi ulang
apabila ditemukan kegagalan dalam pelaksanaanya.
Mengganti sistem politik juga tidak harus dengan
kekerasan dan mereka sepakat bahwa menjaga stabilitas
sistem politik adalah tanggungjawab bersama, sehingga
apabila terjadi kegagalan, maka semua masyarakat harus
bersatu untuk memperbaikinya. 3 peserta lainnya ragu-
ragu untuk menjawab, dan 1 orang menjawab setuju
untuk mengganti ideology Negara apabila tidak memberi
kesejahteraan bagi rakyatnya. Menurut Ajzen (1998)
intensi dapat digunakan untuk memprediksi seberapa
kuat individu untuk menampilkan tingkah laku
(Behaviour) dan seberapa banyak usaha yang
direncanakan atau dilakukan individu untuk melakukan
tingkah laku tersebut. Ajzen (2005) menjelaskan intensi
yang telah dibentuk akan tetap menjadi disposisi tingkah
laku sampai pada waktu dan kesempatan yang tepat,
dimana sebuah usaha dilakukan untuk merealisasikan
intensi tertentu menjadi tingkah laku tersebut. Dalam hal
ini, setiap intensi yang ditunjukkan diatas bisa jadi
berhenti sampai di tingkatan intensi saja, atau berlanjut
sampai ke tahapan tingkahlaku tergantung dari interaksi
dengan lingkungan sosial yang dialami oleh individu.
Intensi ini menjadi hasil dari proses yang dibentuk dari
keyakinan dan sikap sehinga menghasilkan sebuah
instensi yang mungkin akan mengarah kepada tingkah
laku radikalisme
2. Penyebab Masalah
(dianalisis apa yang Radikalisme merupakan permasalahan serius yang tengah
menjadi akar masalah yang menjadi perhatian bangsa Indonesia. Selain dapat
menjadi pilihan masalah) mengganggu stabilitas keamanan Negara, radikalisme
menjadi salah satu penyebab munculnya disintegrasi
bangsa. Kemunculan radikalisme sendiri dapat
disebabkan oleh dua hal yaitu faktor non ideologis dan
faktor ideologis. Faktor non-ideologis dapat menjadi
pemicu lahirnya radikalisme yang disebabkan oleh
kekecewaaan terhadap sistem politik tertentu,
kemiskinan, ataupun rasa tidak puas hati dengan
kebijakan pemerintah. Pada dasarnya, factor non
ideologis lebih mudah untuk di identifikasi dan
ditemukan solusinya. Sebagai contoh, ketika suatu
kelompok melakukan aksi radikal karena kecewa terhdap
sistem politik tertentu, maka solusi yang dapat
ditawarkan adalah memperbaiki sistem. Begitu juga
kemiskinan, maka solusi nya adalah meningkatkan taraf
hidup masyarakat untuk menjauhkannya dari radikalisme.
Sedangkan factor kedua yaitu factor ideologis merupakan
permasalahan yang kompleks dan rumit. Biasanya,
ideology sering berkaitan erat dengan agama.
Radikalisme yang dipicu oleh faktor ideologis memiliki
pola penyebaran yang khas. Individu yang melakukan
kontak secara intens dengan penyebar paham radikal
akan melakukan proses tukar pendapat yang berimplikasi
kepada transfer paham radikal dari penyebar kepada
penerima. Dengan demikian, individu yang sudah terkena
paham radikalisme akan memiliki keyakinan yang kuat
disertai emosi keagamaan yang kuat pula. Efeknya adalah
ia akan melakukan apapun bahkan rela mengorbankan
nyawanya, menggunakan cara-cara kekerasan, atau
melenyapkan orang lain demi mempertahankan
keyakinannya. Tindakan inilah yang disebut dengan
radikalisme. Tidak dapat dipungkiri, radikalisme sangat
berkaitan erat dengan emosi keagamaan sehingga sering
dilabel sebagai terorisme. Meskipun tidak semua
tindakan radikal dipicu oleh fantisme terhadap agama.
Dalam konteks nasional Indonesia, paham radikalisme
sudah mulai tersebar melalui organisasi-organisasi
radikal yang kemunculannya menghkawatirkan banyak
pihak. Akar radikalisme di Indonesia sendiri bukanlah a-
historis. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa
radikalisme sudah mulai ada setelah Indonesia merdeka.
Ini dibuktikan dengan muncul gerakan-gerakan untuk
mendirikan Daulah Islamiyah seperti DI/TII yang
akhirnya bertransformasi menjadi beberapa organisasi
keislaman seperti FPI, MMI, HTI,FKAWJ, dan FPIS
(Maftuh & Abeveiro, 2004). Namun demikian, gerakan-
gerakan tersebut bukan muncul secara natural sebagai
produk asli bangsa Indonesia. Artinya gerakan-gerakan
tersebut lahir setelah adanya kontak dengan Negara-
negara luar seperti Timur Tengah. Beberapa tahun
terakhir, kasus radikalisme sering dikaitkan dengan
beberapa organisasi radikal seperti Laskar Jihad, Jemaah
Islamiyah, NII, maupun ISIS. Dalam perkembangannya,
radikalisme mulai membidik mahasiswa sebagai target
penyebaran ideologinya. Alasannya adalah mahasiswa
dipandang sebagai elemen Macro Level Meso Level
Micro Level masyarakat yang paling kritis sehingga
dapat menyuarakan tuntutan masyarakat. Mahasiswa
tergolong kedalam usia produktif yang secara psikologis
masih berada pada tahapan mencari jati diri. Proses
mencari jati diri ini sering diimbangi dengan kegelisahan
mental dan spiritual. Dalam kondisi ini, maka melakukan
kontak secara intens dengan orang-orang yang salah akan
mempermudah penyebaran paham radikalisme. Propinsi
Aceh merupakan daerah yang rentan terhadap masuknya
paham radikalisme. Pelatihan militer yang dilakukan di
desa Jalin Jhanto pada tahun 2010 menjadi peringatan
keras bagi pemerintah dan masyarakat Aceh untuk
mewaspadai masuknya paham radikalisme. Pelatihan
militer ini dinilai sebagai bentuk terorisme dan disebut
sebagai pelatihan militer terbesar para jihadis di Asia
Tenggara (FKPT, 2017 dalam Ilyas, 2017). Selama ini,
pemberitaan di berbagai media hanya mengangkat isu
radikalisme di propinsi Aceh secara umum. Namun
belum ada penelitian yang menjelaskan tentang
masuknya paham radikalisme ke universitas-universitas
di Aceh. Untuk menilai level radikalisme di kalangan
mahasiswa di propinsi Aceh, maka teori radikalisme
karya Schmid (2013) dapat digunakan sebagai alat
analisis.

Radikalisme berpotensi menuju kepada terorisme. Setiap


individu yang telah terpapar paham radikalisme akan
melewati level-level diatas sebelum sampai ke tahap
terorisme. Ketiga level diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut: a) Micro-Level, yaitu tingkat individu, yang
dimana prosesnya adalah melibatkan masalah identitas
yang meliputi gagal integrasi, perasaan terasing,
marginalisasi, diskriminasi, deprivasi relatif, penghinaan,
stigmatisasi dan penolakan, sering dikaitkan dengan
moral dan perasaan serta perasaan ingin balas dendam. b)
Meso-Level, yaitu proses radikalisme yang di hasilkan
dari lingkungan radikal yang lebih luas. Lingkungan yang
mejadikan sebagai wadah dalam menyampaikan ide-ide
secara meluas. Proses ini berpeluang untuk menjadikan
dan merekrut kelompok pemuda dalam meradikalisasi
sehingga dalam proses jangka panjang akan sangat
berpeluang terjadi pembentukan organisasi teroris, Marc
Sageman (2004:133). c) Macro-Level, yaitu proses
dimana antara para pihak berhubungan dengan luar
negeri, hal ini dapt berhubungan dengan radikalisasi
opini publik dan partai politik, ketegangan antara
mayoritas-minoritas, hal ini mengarah kepada mobilisasi
dan radikalisasi secara meluas, beberapa di antaranya
mungkin mengarah bentuk terroris, konsep radikal Milieu
dalam Schmid (2013:4). Dari tiga tingkat analisis dapat
diambil satu kesimpulan tentang penyebab radikalisasi,
dalam bereskalasi menjadi terorisme. Merujuk kepada
pembahasan hasil FGD seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, radikalisme dikalangan mahasiswa
propinsi Aceh masih berada pada tahapan micro level
yaitu tahapan terendah dalam hierarki radikalisme. Secara
umum, dari 24 orang peserta FGD terdapat 4 orang
dengan jawaban yang mengarah kepada kecendrungan
radikalisme. Hal ini terlihat dari beliefs, attitude, intensi,
dan behaviour yang ditunjukkan saat menjawab
pertanyaan FGD. Jawaban mereka memiliki pola
tersendiri yang berbeda dengan jawaban peserta lainnya.
Tahapan micro level menjelaskan adanya kecendrungan
radikalisme yang dimana prosesnya adalah melibatkan
masalah identitas yang meliputi gagal integrasi, perasaan
terasing, marginalisasi, diskriminasi, deprivasi relatif,
penghinaan, stigmatisasi dan penolakan, sering dikaitkan
dengan moral dan perasaan serta perasaan ingin balas
dendam. Ini terlihat dari pola jawaban 4 orang peserta
FGD yang cendrung membenarkan tindakan radikal
dengan alasan mempertahankan ideologi atau sesuatu
yang mereka yakini sebagai kebenaran. Setelah dianalisa
lebih jauh, ternyata jawaban ke 4 peserta ini berkaitan
dengan masalah identitas yang merasa tidak puas dengan
jalannya pemerintahan selama ini. Banyaknya kasus
korupsi, pelecehan agama dan sebagainya dianggap
sebagai pemicu untuk membenarkan tindakan radikal
dengan dalih untuk membela sesuatu yang benar.
Radikalisme tidak hadir dalam ruang kosong, ada
beberapa konteks dan keadaan yang turut melahirkan
fenomena radikalisme seperti kondisi ekonomi yang tidak
adil, kondisi sosial yang penuh dengan ketidakpastian,
kondisi hukum yang penuh dengan penyimpangan,
kekumuhan politik yang terus dibayangi dengan penyakit
korupsi, kesalahan dalam pemhaman agama pada
masyarakat menyebabkan masyarakat rentan terhadap
pengaruh paham radikal (Darraz, 2013; 155). Meskipun
masih berada pada tingkatan micro level, namun
kecendrungan ini harus tetap diwaspadai dan diberi
perhatian lebih. Tujuannya adalah agar micro level tidak
berkembang dan naik tingkat menjadi meso level dan
macro level yang pada akhirnya menuju tindakan
terorisme.

3. Solusi
a. Dikaitkan dengan Berdasarkan pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa
teori/dalil yang relevan radikalisme merupakan ancaman serius yang mulai
b. Sesuaikan dengan membidik kalangan mahasiswa. Dalam hal ini diperlukan
langkah/prosedur yang upaya-upaya pencegahan yang dapat menangkal
sesuai dengan masalah masuknya radikalisme. Penelitian ini merekomendasikan
yang akan dipecahkan dua program deradikalisasi yang harus menjadi perhatian
bagi stakeholder kampus. Dua program tersebut yaitu
monitoring organisasi ekstra kampus dan pembentukan
karakter kebangsaan melalui kurikulum yang dapat
dijelaskan sebagai berikut: Program monitoring
organisasi ekstra kampus dalam skala kecil dapat
dilakukan melalui program studi yang berkoordinasi
dengan pihak fakultas. Monitoring dapat dilakukan
dengan melakukan observasi organisasi ekstra kampus
dengan meninjau program organisasi, kegiatan
organisasi, dan interaksi organisasi dengan pihak-pihak
tertentu. Organisasi yang baik akan memperlihatkan
program dan kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pemahaman, pengamalan, serta
pengembangan nilainilai moral keagamaan yang benar
dan humanis. Apabila ditemukan nilai-nilai serta kegiatan
organisasi yang mengarah kepada radikalisme maka
organisasi tersebut wajib di tinjau ulang untuk segera
dihentikan. Ini merupakan langkah preemtive agar
pengaruh radikalisme tidak semakin menyebar. Selain
program monitoring organisasi ekstra kampus, program
pembentukan karakter mahasiswa juga perlu dilakukan
melalui kurikulum khusus. Dalam hal ini, setiap fakultas
memiliki wewenang untuk merevisi kurikulum dan
menambahkan matakuliah yang berkaitan dengan
pembentukan karakter bernegara. Dalam setiap
matakuliah pun, dosen dapat menyelipkan pembahasan
nilai-nilai etika kebangsaan ketika menyampaikan materi.
Peneliti meyakini bahwa setiap rumpun ilmu pada
dasarnya memiliki nilai-nilai universal yaitu humanis,
toleransi, perdamaian, saling membutuhkan dan saling
ketergantungan satu sama lain. Namun, seringkali nilai-
nilai universal tersebut tidak disampaikan secara efektif
dan terintegrasi sehingga radikalisme dapat muncul di
kalangan mahasiswa. Pembentukan karakter
menempatkan dosen sebagai pemegang peran penting.
Dimana seorang dosen hendaknya memiliki wawasan
keilmuan tentang bernegara dan menjauhkan diri dari
sifat arogansi keilmuan. Tidak hanya dosen dan
mahasiswa, seluruh civitas akademika hendaknya
bersikap proaktif dalam mendukung program
deradikalisasi ini.
. Allah berfirman dalam QS. AlBaqarah: 256; َ ‫اس َ ت آل‬
‫َ ب َ الطن اغو و َت َ ي َ ؤ َ م َ ن َ ب َ اللنو َ ف َق َد‬
‫نَّي الر َشد ََ م َ َ ن َ ال غ َي ََ ف َم َ ن َ ي َ َكف َر‬
َ ‫َس َ إ َك َ َكر َ اه َ ق َن ََدي ال ََف ت َد َ َ ب‬
‫و ا َ اللنو ََس َ يع َ ع َ ل َ يم َ َ ﴿ ب الع َ ر َ و َ ة َ م‬
َ ‫﴾ الو َ ق ث ان ََل َى َف َص َ ام َ ََل‬٢۵٦ Tidak ada
paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan
jalan yang sesat.Barang siapa yang ingkar kepada Thagut
dan beriman kepada Allah, maka sungguh,dia telah
berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.
Dalam ayat ini Dia menegaskan tentang larangan
melakukan kekerasan dan paksaan bagi umat Islam
terhadap orang yang bukan muslim untuk memaksa
masuk agama Islam. Tidak dibenarkan adanya paksaan
untuk menganut agama Islam. Kewajiban kita hanyalah
menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara
yang baik dan penuh kebijaksanaan, serta dengan
nasihatnasihat yang wajar, sehingga mereka masuk
agama Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri (an-
Nahl/16: 125). Apabila kita sudah menyampaikan kepada
mereka dengan cara yang demikian, tetapi mereka tidak
juga mau beriman, itu bukanlah urusan kita, melainkan
urusan Allah. Kita tidak boleh memaksa mereka.

Anda mungkin juga menyukai