Anda di halaman 1dari 7

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : PAI KONTEMPORER


B. Kegiatan Belajar : MODERASI BERAGAMA (KB. 4)
C. Refleksi Pribadi :

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN

PETA KONSEP
MODERASI BERAGAMA

Peta Konsep
(Beberapa istilah
1
dan definisi) di
modul bidang studi

A. Pengertian Moderasi Beragama


Moderasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online adalah pengurangan
kekerasan, penghindaran keekstreman. Moderasi dalam bahasa arab
disebut dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah.
Secara etimologi, kata wasatiyyah berasal dari bahasa Arab. Kata
wasatiyyah tersebut mengandung beberapa pengertian, yaitu adaalah
(keadilan) dan khiyar (pilihan terbaik) dan pertengahan.65 Al-Qaradawi
menyebut beberapa kosa kata yang serupa makna dengannya termasuk
kata tawazun, i'tidal, ta'adul dan istiqamah
Moderasi antara sikap ifrāth (berlebihan) dan tafrīth (mengabaikan),
antara sikap terlalu berpegang pada zhahir nash atau terlalu
memperhatikan jiwa nash. (2) Mulāzamatu al-Adli wa al-‘Itidal,
mempertahankan keseimbangan dan sikap yang proporsional, sehingga
permasalahan yang ada disikapi dengan wajar. Memberi porsi yang wajar
kepada ta’aqqul (rasionalitas) dan ta’abbud (kepatuhan) yang tanpa
reserve. (3) Afdhali mengambil sisi positif atau keunggulan dari
semuanya. (4) Istiqāmah ala alThorīq, konsisten di jalan yang lurus,
karena posisi tengah memberikan kestabilan dan kemantapan.67
yyah/Khairiyyah, memiliki sikap dan posisi yang afdhal, tidak
menegasikan sama sekali pendapat-pendapat yang berlawanan, tetapi
B. Nilai-nilai Moderasi Beragama
Moderasi (wasathiyyah) merupakan prinsip dalam beragama yang perlu
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa nilai
moderasi yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat.
Sementara itu, dua nilai tambahan (anti kekerasan dan menghormati adat)
berasal dari sumbang saran para ahli kepada Kementerian Agama.
Kesembilan nilai moderasi tersebut adalah tengah-tengah (tawassuth),
tegak-lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), reformasi
(ishlah), kepeloporan (qudwah), kewargaan/cinta tanah air
(muwathanah), anti kekerasan (la ’unf) dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf).
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah)
Tawassuth atau wasathiyyah adalah memilih jalan tengah di antara
dua kutub ideologi keagamaan ekstrem fundamentalisme dan
liberalisme. Ciri sikap tawassuth ini, antara lain: tidak bersikap
ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran agama; tidak mudah
mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman agama;
memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan
senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan
toleransi (tasamuh); hidup berdampingan dengan sesama umat Islam
maupun warga negara yang memeluk agama lain
2. I’tidal (adil tegak lurus).
Al-I’tidal adalah sikap tegak lurus dan adil, suatu tindakan yang
dihasilkan dari suatu pertimbangan. Adil dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) online adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.
Sementara keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau perbuatan atau
perlakuan yang adil.
Sedangkan menurut bahasa Arab, adil di sebut dengan kata ‘adlun
yang berarti sama dengan seimbang, dan al’adl artinya tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak
sewenang-wenang, tidak zalim, seimbang dan sepatutnya. Menurut
istilah, adil adalah menegaskan suatu kebenaran terhadap dua
masalah atau beberapa masalah untuk dipecahkan sesuai dengan
aturan- aturan yang telah ditetapkan oleh agama.
Terminologi keadilan dalam Alquran disebutkan dalam berbagai
istilah, antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd, atau variasi ekspresi
tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah
zulm, itsm, dhalal, dan lainnya. Setelah kata “Allah” dan
“Pengetahuan” keadilan dengan berbagai terminologinya merupakan
kata yang paling sering disebutkan dalam Alquran.
3. Tasamuh (toleransi)
a. Pengertian Toleransi
Kata toleransi berasal dari toleran dalam KBBI diartikan
menenggang atau menghargai pendirian yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab,
toleran adalah “tasāmuh”, yang berarti sikap baik dan berlapang
dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan orang lain yang tidak
sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.
Toleransi dalam masalah ibadah dan akidah tertolak sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy
yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul
Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah
seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami
beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah
kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih
baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan
amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih
baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.
b. Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam
Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
1) Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin
maupun orang yang sakit, muslim atau non-muslim, bahkan
terhadap binatang sekalipun. Dari Abu Hurairah, Nabi Saw
bersabda:

“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi


makan minum) ada pahalanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lihatlah Islam mengajarkan peduli sesama.
2) Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara
non muslim. Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. Luqman
[31]: 15

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan


dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Q.S. Luqman [31]:
15). Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak dipaksa syirik
oleh orang tua, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada
orang tua.
3) Boleh memberi hadiah pada non-muslim. Islam
memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada
nonmuslim, agar membuat mereka tertarik pada Islam, atau
ingin berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak menyakiti
kaum muslimin. Dari Ibnu ‘Umar ra, beliau berkata:

Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun


berkata pada Nabi shallallahu Saw, “Belilah pakaian seperti ini,
kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang
mendatangimu.” Nabi Saw pun berkata, “Sesungguhnya yang
mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian
sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah Saw didatangkan
beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada
‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya
sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian
seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi Saw menjawab,
“Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau
tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian
tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut
masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619).
Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada
saudaranya yang non-muslim.
c. Toleransi
Antar umat Beragama Manusia merupakan makhluk individu
sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan
individu/manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam
menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu
akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda
dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan/agama.
mbulkan pertikaian. Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat
2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya".
Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling
menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita
demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap
saling toleransi antar umat beragama. Toleransi berasal dari
bahasa latin dari kata "tolerare" yang berarti dengan sabar
membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah
suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari
aturan, di mana seseorang menghormati atau menghargai setiap
tindakan yang dilakukan orang lain.
4. Syura (Musyawarah).
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ مشاوزة‬. Ia adalah masdar dari
kata kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra‟
dengan pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok
“menampakkan dan menawarkan sesuatu” Dari makna terakhir ini
muncul ungkapan syawartu fulanan fi amri (aku mengambil pendapat
si Fulan mengenai urusanku)
Kata “syura” atau dalam bahasa Indonesia menjadi “Musyawarah”
mengandung makna segala sesuatu yang diambil atau dikeluarkan
dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal
ini semakna dengan pengertian yang mengeluarkan madu yang
berguna bagi manusia82. Dengan demikian, keputusan yang diambil
berdasarkan Syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi
kepentingan kehudupan manusia. Musyawarah merupakan esensi
ajaran Islam yang wajib ditetapkan dalam kehidupan sosial umat
Islam.
5. Ishlah (Kreatif Inovatif).
Secara istilah, Ishlah adalah upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan terjadinya kerusakan, dan perpecahan antara
manusia dan melakukan perbaikan dalam kehidupan manusia
sehingga tercipta kondisi yang aman, damai, dan sejahtera dalam
kehidupan masyarakat.Karena itu, dalam terminologi Islam secara
umum, Istilah dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang ingin
membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan
yang baik.
Ishlah bermakna mengutamakan prinsip kreatif inovatif untuk
mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan
kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum
(mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip: al-
muhafazah ‘ala al-qadimi alsalih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah.
6. Qudwah (teladan).
Menurut kamus lisan Al-Arab, qudwah berarti uswah, yaitu ikutan
(teladan). Maka dalam Islam sering digunakan istilah Qudwah
hasanah untuk menggambarkan keteladanan yang baik, atau
dima’rifatkan dengan al (kata sandang) menjadi al-qudwah. Hal ini
juga ditegaskan oleh Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf bahwa
qudwah adalah uswah (Alifnya dibaca dhammah), artinya menjadi
(dia) contoh dan mengikuti.
Abdullah Nashih Ulwan mengartikan Uswah Hasanah sebagai
keteladanan, yakni dengan pendidikan dengan keteladanan
merupakan metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling
berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral,
spiritual, dan etos sosial. Mengingat pendidik adalah seorang figur
terbaik dalam pandangan anak, yang tindak tanduk, akhlaknya,
disadari atau tidak, akan ditiru dan dicontoh mereka. Muhammad
Abu Fath Bayanuni, dosen pendidikan dan dakwah di Universitas
Madinah mengatakan bahwa menurut teorinya, Allah menjadikan
konsep Qudwah ini sebagai acuan manusia untuk mengikuti. Qudwah
atau Uswah dalam konteks ini adalah Rasulullah SAW dan orang-
orang saleh.
7. Muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara).
Al-Muwathanah adalah pemahaman dan sikap penerimaan eksistensi
negara-bangsa (nation-state) dan pada akhirnya menciptakan cinta
tanah air (nasionalisme) di mana pun berada. Al-Muwathanah ini
mengedepankan orientasi kewarganegaraan atau mengakui negara-
bangsa dan menghormati kewarganegaraan. Ramadhan dan
Muhammad Syauqillah (2018) dalam jurnal “An Order to build the
Resilience in the Muslim World against Islamophobia: The Advantage
of Bogor Message in Diplomacy World & Islamic Studies”, mengutip
pendapat Yusuf AlQardhawi, mengartikan nasionalisme sama dengan
al-wathn (dan kebangsaan sama dengan al-muwathanah yang harus
dihormati, antar sesama umat Muslim. Secara tekstual, Al-Qur’an
tidak menyebutkan cinta tanah air atau nasionalisme ada di
dalamnya.
Dari uraian di atas dapat ambil simpulakan bahwa al-muwathanah
tersebut menunjukkan bahwa mencintai tanah air atau nasionalisme
dan mengakui kedaulatan negara lain adalah bagian dari prinsip
menjalankan Islam yang moderat. Agama dalam pembangunan cinta
tanah air (nasionalisme Indonesia) memiliki peranan yang sangat
penting
8. Al-La ‘Unf (Anti- Kekerasan)
Anti kekerasan artinya menolak ekstremisme yang mengajak pada
perusakan dan kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap tatanan sosial. Ekstremisme dalam konteks moderasi
beragama ini dipahami sebagai suatu ideologi tertutup yang
bertujuan untuk perubahan pada sistem sosial dan politik.
Ciri-ciri dari anti kekerasan pada moderasi beragama ini adalah
mengutamakan cara damai dalam mengatasi perselisihan, tidak main
hakim sendiri, menyerahkan urusan kepada yang berwajib dan
mengakui wilayah negaranya sebagai satu kesatuan. Sifat anti
kekerasan bukan berarti lemah/lembek, tetapi tetap tegas dan
mempercayakan penanganan kemaksiatan/pelanggaran hukum
kepada aparat resmi.
9. I’tiraf al-‘Urf (Ramah terhadap kebudayaan lokal)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi, seperti dikemukakan
AbdulKarim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi
bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan ataupun
perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan
pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Kata al-‘adah itu sendiri,
disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
C. Implementasi Moderasi Beragama
Moderasi beragama menjadi salah satu program yang diprioritaskan
pemerintah untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis
dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara (Pokja IMA: 2019, 27).
Selain untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis melalui cara
pandang, sikap, dan praktik beragama yang moderat, moderasi beragama
juga menjadi dasar berpikir dalam memahami substansi ajaran agama
yang mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan,
kebhinnekaan, dan ketaatan pada konstitusi yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sembilan nilai Wasathiyah al-Islam yang
diuraikan di atas dapat digunakan sebagai bahan penguatan moderasi
beragama, dengan penyesuaian secara luwes untuk jenjang dan
lingkungan yang berbeda. Penyesuaian dapat berupa tata urutan nilai
yang penyajiannya didahulukan atau dikemudiankan, sesuai kebutuhan.
Misalnya, untuk anak usia dini, dapat saja nilai yang didahulukan
penguatannya adalah toleransi (tasamuh). Sedangkan untuk remaja, nilai
yang didahulukan adalah ramah budaya (i’tiraf al-‘urf).
Implementasi nilai-nilai moderasi di sekolah bisa dilakukan dalam
beberapa hal berikut ini:
1. Pengembangan PAI Berbasis Nilai-Nilai Moderasi Beragama Melalui
Budaya Sekolah
2. Penguatan Nilai Moderasi Beragama melalui Budaya Kelas
3. Peran Guru PAI dalam Penguatan Moderasi Beragama di Sekolah
4. Integrasi Moderasi Beragama dalam Materi PAI di Sekolah

Daftar materi
bidang studi yang - Batas batas toleransi banyak iktilaf seperti mengucapkan selamat natal
2
sulit dipahami pada - Konsep Kreatif dan inovatif dalam Islam
modul

- Miskonsepsi bahwa urf dan ‘adah adalah sama:


Perbedaanya :
Daftar materi yang - ‘Urf : Adat memiliki makna yang lebih sempit, Terdiri dari ‘urf shahih dan
sering mengalami fasid, ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak.
3
miskonsepsi dalam - ‘Adah : Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas, Adat tanpa melihat
pembelajaran apakah baik atau buruk, Adat mencakup kebiasaan pribadi, Adat juga
muncul dari sebab alami, Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan
kerusakan akhlak

Anda mungkin juga menyukai