Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS BAHAN AJAR

Analisis yang saya lakukan terhadap sebuah judul skripsi karya Suparta dengan judul:

“PERSEPSI ULAMA BANGKA BELITUNG TENTANG TEORI KHILAFAH DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP UKLHWAH ISLAMIYAH DAN UKHUWAH BASYARIYAH DALAM KEUTUHAN NKRI

DI BANGKA BELITUNG”

1. Konsep materi

1. Implikasi Khilafah Islamiyah terhadap Ukhuwah Basyariyah

1. Islam Rahmatalil ‘Alamiin


Sebagian besar ulama bependapat bahwa komponan utama bagiagama Islam, sekaligus
sebagai nilai tertinggi dari ajaran agama Islam adalah: akidah, syariah dan akhlak. Penggolongan
ini didasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad kepada malaikat Jibril mengenai arti Iman,
Islam dan Ikhsan yang esensinya sama dengan akidah, syariah dan akhlak. Akidah menurut
pengertian etimologi adalah ikatan atau sangkutan. Dikatakan demikian karena ia mengikat dan
menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu.dalam pengertian teknis diartikan dengan
iman atau keyakinan, sehingga pembahasan akidah selalu berhubungan dengan rukun iman yang
menjadi asas seluruh ajaran Islam atau merupakan akidah Islam, yaitu: keyakinan kepada Allah,
keyakinan kepada malaikat- malaikat, keyakinan kepada kitab-kitab suci, keyakinan kepada rasul-
rasul, keyakinan kepada adanya hari kiamat dan keyakinan kepada qada’ dan qadar Allah SWT.
Yang dimaksud dengan Syariah menurut etimologi adalah jalan (ke sumber atau mata air) yang
harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Menurut istilah, syariah adalah sistem norma (kaidah)
Ilahi yang mengatur hubungan manusia tehadap dirinya sendiri dan hbungan manusia dengan
sesama makhluk. Kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut kaidah ibadah
atau kaidah Ubudiyah, sedang kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesama makhluk disebut kaidah
mu’amalah

2. Islam Wasathiyah lebih cocok untuk Indonesia

Menurut K.M Muhammad Tthoha ketua MUI Bangka Barat, ia mengatakan bahwa selama ini
di majelis Ulama Indonesia telah disepakati model Islam yang cocok di Indonesia adalah model
islam wasathiyah yakni model Islam pertengahan. Maksudnya adalah posisi Islam yang baik
adalah Islam yang mengedepankan kemaslahatan umat daripada kemudharatan bagi umat17.
Melalui model islam wasathan inilah akhirnya umat Islam bisa diterima dimana-mana dan bisa
berada dimana-mana dengan catatan jangan sampai sampai mengenyampingkan akidahnya.
Model ini khusus yang berkorelasi dengan masalah muamalah bukan masalah akidah.

3. Islam Nusantara Penyatu Umat di Indonesia


Kalau Majelis Ulama Indonesia mengedepankan prinsip Islam Wasathiyah maka Nahdhatul
Ulama lebih mengedepankan dengan istilah Islam Nusantara. Adapun yang dimaksud dengan
Islam nusantara menurut KH. Dedi Alwi adalah Islam di Indonesia yang telah diajarkan oleh para
wali songo sangat kental dengan berbasis budaya lokal19. Artinya Islam hadir di Indonesia
khususnya di Pulau Jawa diiringi dengan budaya yang ada di daerah masing-masing. Seperti
Sunan Kalijaga misalnya, ia berdakwah melalui pewayangan yang digubah materi wayangnya
dengan materi Dakwah

2.Implikasi Khilafah Islamiyah terhadap Ukhuwah Basyariyah

Menurut Sujoko salah satu Pimpinan Daerah Muhammadiyah mengatakan bahwa Khilafah
bisa berimplikasi positif dan juga bisa negatif 20. Berimplikasi positif bila khilafah ini sudah menjadi
kesepakatan ulama se-Indonesia, tidak ada perbedaan pendapat lagi dan didukung oleh pemerintah. Jika
demikian maka khilafah bisa serasi dengan ukhuwah basyariyah. Akan tetapi akan berdampak negatif
terhadap ukhuwah basyariyah jika khilafah ini ditegakkan ditengah-tengah perselisihan pendapat baik di
antara umat Islam maupun dalam pemerintahan. Terlebih lagi akan ditentang oleh umat beragama yang
lainnya. Jika hal ini terjadi maka khilafah bukan menjadi sumber yang berkah akan tetapi justru akan
menjadi sumber masalah dan sumber konflik

3.Implikasi Khilafah Islamiyah terhadap Ukhuwah Wathaniyah

Atas dasar beberapa wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama Di Bangka
Belitung pada dasarnya mengakui adanya khilafah akan tetapi ketika harus ditegakkan di Indoneisa maka
disinilah letak perbedaan paham dengan konsep khilafah yang ditawarkan oleh HTI. Hal ini disebabkan
para ulama Bangka Belitung masih berasumsi bahwa Khilafah belum cocok ditegakkan di Indonesia
karena Negara Indonesia sudah Final yakni sebagai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

2. Kontekstualisasi khilafah dengan realitas sosial

Kontekstualisasi khilafah dengan realitas sosial melibatkan pemahaman dan penafsiran konsep khilafah
dalam konteks masyarakat dan kondisi sosial saat ini. Khilafah adalah sistem politik dan pemerintahan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama Islam. Untuk memahami bagaimana khilafah dapat berbaur
dengan realitas sosial, penting untuk mempertimbangkan beberapa aspek:

1. Interpretasi dan Relevansi: Konsep khilafah memiliki interpretasi yang beragam dalam tradisi dan
pemikiran Islam. Beberapa melihat khilafah sebagai sistem pemerintahan yang relevan di semua
zaman, sementara yang lain menganggapnya sebagai institusi khusus dalam sejarah awal Islam.
Kontekstualisasi khilafah harus mempertimbangkan pandangan ini dan bagaimana relevansinya
dalam realitas sosial masa kini.

2. Prinsip-Prinsip Khilafah: Khilafah didasarkan pada prinsip-prinsip seperti keadilan, persatuan,


keamanan, dan kesejahteraan. Kontekstualisasi khilafah harus memperhatikan bagaimana
prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam konteks sosial yang beragam, termasuk kebutuhan
dan aspirasi masyarakat modern.

3. Negara dan Politik: Khilafah melibatkan struktur politik yang berpusat pada otoritas Islam.
Namun, konteks sosial modern sering kali melibatkan negara-negara yang memiliki sistem politik
sekuler atau campuran. Dalam konteks ini, kontekstualisasi khilafah melibatkan penafsiran
bagaimana prinsip-prinsip khilafah dapat diimplementasikan dalam kerangka negara modern
yang menghormati prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan individu.

4. Isu Multikulturalisme dan Pluralisme: Konteks sosial saat ini sering kali diwarnai oleh
keberagaman etnis, agama, budaya, dan pandangan politik. Khilafah sebagai konsep politik harus
mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas dan multikulturalisme
dalam masyarakat. Kontekstualisasi khilafah harus mencari cara untuk menciptakan inklusi dan
keharmonisan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

5. Tantangan Kontemporer: Tantangan seperti ekonomi global, perubahan iklim, terorisme, dan
konflik politik memiliki dampak pada realitas sosial. Kontekstualisasi khilafah harus
mempertimbangkan bagaimana sistem khilafah dapat memberikan tanggapan yang efektif
terhadap tantangan-tantangan ini dan berkontribusi pada stabilitas, perdamaian, dan
kesejahteraan masyarakat.

Kontekstualisasi khilafah dengan realitas sosial adalah suatu proses yang kompleks dan membutuhkan
pemahaman yang mendalam tentang sejarah, filsafat, dan prinsip-prinsip Islam, serta pengetahuan
tentang realitas sosial masa kini. Diskusi dan dialog terbuka antara pemikir, sarjana, pemimpin

3. Refleksi kontekstualisasi khilafah dengan realitas sosial

Kontekstualisasi khilafah dengan realitas sosial adalah refleksi yang penting untuk memahami bagaimana
konsep khilafah dapat relevan dan diimplementasikan dalam konteks sosial yang kompleks saat ini.
Dalam refleksi ini, beberapa pertimbangan mungkin muncul:

1. Pluralitas dan Kebebasan: Dalam masyarakat modern yang penuh dengan keberagaman etnis,
agama, budaya, dan pandangan politik, penting untuk mempertimbangkan bagaimana khilafah
dapat mengakui dan menghormati pluralitas tersebut. Refleksi ini melibatkan pertanyaan
tentang apakah khilafah dapat memberikan ruang bagi kebebasan beragama, hak asasi manusia,
dan kebebasan individu yang penting dalam masyarakat yang inklusif.

2. Sistem Politik dan Negara: Seiring dengan perkembangan sistem politik modern yang melibatkan
negara-negara dengan kerangka sekuler atau campuran, refleksi terkait dengan bagaimana
khilafah dapat berbaur dalam kerangka negara yang menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan
keadilan. Pertanyaan tentang bagaimana khilafah dapat diterjemahkan ke dalam struktur politik
yang responsif dan akuntabel mungkin muncul.

3. Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan: Dalam realitas sosial yang ditandai dengan tantangan
ekonomi global, refleksi tentang bagaimana khilafah dapat memberikan kontribusi positif
terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi relevan. Pertimbangan
tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam, redistribusi kekayaan, dan pengentasan kemiskinan dapat
menjadi bagian dari refleksi ini.

4. Konteks Global: Mengingat interaksi yang semakin erat antara masyarakat dalam skala global,
refleksi tentang bagaimana khilafah dapat berinteraksi dan berkontribusi dalam konteks global
menjadi penting. Pertanyaan tentang tata hubungan internasional, perdamaian, dan kolaborasi
internasional dalam kerangka khilafah mungkin perlu dipertimbangkan.

5. Tantangan Kontemporer: Refleksi terkait dengan tantangan kontemporer seperti perubahan


iklim, terorisme, dan konflik politik dapat membantu dalam pemahaman tentang bagaimana
khilafah dapat memberikan solusi atau respons yang relevan terhadap tantangan-tantangan
tersebut. Pertimbangan tentang pencegahan konflik, promosi perdamaian, dan keberlanjutan
lingkungan mungkin menjadi bagian dari refleksi ini.

Penting untuk diingat bahwa refleksi ini melibatkan diskusi, penelitian, dan dialog yang mendalam antara
pemikir, sarjana, pemimpin, dan masyarakat secara luas. Memahami realitas sosial saat ini dan
kontekstualisasi khilafah membutuhkan kerangka pemikiran yang komprehensif, terbuka, dan responsif
terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat modern.

mendeskripsikan penyebab terjadinya masalah yang telah diidentifikasi berdasarkan realitas empirik, 

 Mendeskripsikan berbagai kemungkinan penyebab terjadinya masalah berdasarkan hasil pengamatan


dan atau wawancara. Tuliskan sumber yang diamati dan atau diwawancarai sesuai kaidah ilmiah.

b.    Eksplorasi penyebab masalah ditulis minimal sejumlah paragraf yang sama dengan jumlah penyebab
masalah yang dieksplorasi.

A. Beberapa sumber yang saya dapatkan menurut 4 imam madzhab tentang mengangkat jari telunjuk
dan menggerakkannya:

Mengangkat Jari Telunjuk Saat Tahiyat Menurut 4 Imam Madzhab

Dalam salat, saat duduk tasyahud, kita pasti akan mengangkat jari telunjuk pada saat membaca lafal
“Ilallah” dan akan menurunkannya pada akhir tasyahud. Namun tak jarang kita juga melihat seseorang
yang mengangkat jarinya (saat duduk tasyahud) lalu menggerak-gerakkannya. Atau bahkan kita sendiri
melakukan hal tersebut, lalu bagaimana pandangan ulama empat mazhab terkait mengangkat jari saat
duduk tasyahud?

Ulama Mahzab Hanafi

Mengangkat jari telunjuk pada saat membaca lafal “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada
saat membaca lafal “Illallah”. Beberapa ulama Mahzab Hanafi menjelaskan bahwa mengangkat jari
telunjuk adalah tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan meletakkan jari telunjuk sebagai
tanda menetapkan ke-Esa-an Allah

Ulama Mahzab Maliki

Menurut para ulama Mahzab Maliki, menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk dan menggerak-
gerakkannya secara sedang ke arah kanan dan kiri secara terus menerus (dari awal hingga akhir
tasyahud).
Ulama Mazhab Syafi’i

Jari telunjuk diangkat saat membaca lafal “Illallah” sampai akhir duduk tasyahud. Menurut para ulama
Mazhab Syafi’i, menggerak-gerakkan jari telunjuk hukumnya makruh.

Ulama Mazhab Hanbali

Menekuk jari manis dan jari kelingking, lalu melinkarkan jempol dengan jari tengah. Jari telunjuk
diangkat setiap bertemu dengan lafal Allah tanpa menggerak-gerakkannya.

Menurut Gus Dewa, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Patemon, Probolinggo dalam unggahan
Facebook pribadinya (23/1/2022), tujuan dari diangkatnya jari telunjuk tidak lain adalah isyarat agar
terkumpulnya tauhid dalam diri seseorang. Baik secara lisan, keyakinan, maupun tindakan.

‫ فَيَ ْج َم ُع فِي ت َْو ِحي ِد ِه بَيْنَ ا ْعتِقَا ِد ِه َوقَ ْولِ ِه َوفِ ْعل‬، ‫ص ُد ِمنْ ا ْبتِدَاِئ ِه بِ َه ْمزَ ِة إاَّل هَّللا ُ َأنَّ ا ْل َم ْعبُو َد َوا ِح ٌد‬
ِ ‫َويَ ْق‬

“Dan berniatlah saat mengangkat jari telunjuk pada lafadz ‘Illallah’ (‫)ﺍﻻ ﻪﻠﻟﺍ‬, bahwa Dzat yang disembah
adalah Esa. Dengan demikian terkumpulah segala tauhid dalam dirinya baik antara keyakinan, ucapan
dan perbuatan.”

Penyebab terjadinya masalah dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud dan menggerakannya
menurut imam 4 madzhab

Menurut empat madzhab (Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi'i), tidak ada ketentuan khusus atau
penyebab yang dijelaskan secara spesifik mengenai masalah dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud
dan menggerakkannya. Namun, dalam praktik tasyahud, gerakan mengangkat telunjuk umumnya
dilakukan dengan mengacu pada hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, Nabi Muhammad SAW mengangkat jari
telunjuknya ketika berdoa atau tasyahud. Hal ini kemudian menjadi salah satu amalan yang dilakukan
oleh umat Islam saat melakukan tasyahud. Praktik ini diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Jika seseorang mengalami kesulitan dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud dan menggerakkannya
karena alasan kesehatan atau cedera fisik, maka individu tersebut dapat mengikuti aturan yang berlaku
dalam madzhabnya masing-masing. Dalam hal ini, berkonsultasilah dengan ulama, imam, atau tokoh
agama terpercaya dari madzhab yang dianut untuk mendapatkan arahan lebih lanjut mengenai tata cara
tasyahud yang sesuai dengan kondisi tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa tata cara tasyahud dapat bervariasi dalam praktik keagamaan berdasarkan
budaya dan adat istiadat setempat. Namun, prinsip utama adalah menghormati dan menghormati
amalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW serta mengikutinya sesuai dengan kemampuan dan
kondisi individu.

B. Eksplorasi penyebab terjadinya masalah


Terkait penyebab terjadinya masalah dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud dan menggerakkannya,
di bawah ini saya akan memberikan beberapa kemungkinan faktor yang mungkin memengaruhi:

1. Kondisi fisik: Masalah kesehatan fisik seperti cedera pada tangan, lengan, atau sendi jari,
arthritis, kelumpuhan otot, atau kondisi neurologis tertentu dapat menghambat kemampuan
seseorang dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud. Kondisi ini dapat menyebabkan kelemahan
otot, kekakuan sendi, atau gangguan motorik yang menghambat gerakan jari.

2. Ketidakfleksibelan: Beberapa orang mungkin memiliki ketidakfleksibelan alami pada sendi atau
otot-otot jari mereka. Ini bisa membuat gerakan mengangkat dan menggerakkan telunjuk
menjadi sulit atau tidak nyaman.

3. Kurangnya latihan atau kebiasaan: Jika seseorang jarang melakukan gerakan mengangkat dan
menggerakkan telunjuk secara teratur, otot-otot yang terlibat dalam gerakan tersebut dapat
menjadi lemah atau kaku. Kurangnya latihan atau kebiasaan dalam melakukan gerakan ini dapat
menyebabkan kesulitan saat tasyahud.

4. Faktor psikologis: Beberapa orang mungkin mengalami ketegangan atau kecemasan saat
melakukan ibadah, termasuk tasyahud. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk mengendalikan gerakan jari dan mengangkat telunjuk dengan lancar.

5. Usia: Proses penuaan dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi.
Seiring bertambahnya usia, seseorang mungkin mengalami kesulitan dalam mengangkat dan
menggerakkan telunjuk dengan mudah.

Setiap individu dapat memiliki penyebab yang berbeda-beda terkait masalah ini. Jika seseorang
mengalami kesulitan dalam mengangkat telunjuk saat tasyahud, penting untuk berkonsultasi dengan
tenaga medis atau ahli terkait untuk evaluasi lebih lanjut dan saran yang sesuai. Selain itu,
mendiskusikan masalah ini dengan seorang ustadz, imam, atau tokoh agama terpercaya juga dapat
memberikan wawasan dan bimbingan lebih lanjut dalam konteks keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai