Anda di halaman 1dari 8

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : RADIKALISME


B. Kegiatan Belajar : Pengertian radikalisme, sejarah radikalisme dan
Indikator radikalisme (KB 1)

C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


A. Pengertian Radikalisme
Secara etimologi, radikalisme dengan kata dasar
radikal berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”.
Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang
sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi,
kelembagaan, atau nilai. Terminologi radikalisme agama
sampai saat ini belum ditemukan secara pasti dalam
kamus-kamus bahasa Arab. Sehingga sering dikaitkan
dengan fundamentalisme Islam yang berasal dari teori
Barat.
Dalam perkembangan bahasa arab kontemporer,
radikalisme pada akhirnya disamakan arti dengan
beberapa istilah, antara lain: al-tatharruf, al-‘unf, al-guluww,
al-irhab, dan tasyaddud.
Kata at-tatharruf secara bahasa berasal dari kata
al-tharf yang berarti ujung atau pinggir. Maksudnya berada
di ujung atau pinggir, baik di ujung kiri maupun kanan.
Konsep (Beberapa istilah Karenanya, kata al-tatharruf bermakna konotasi
1
dan definisi) di KB ekstrimisme, radikalisme, melampaui batas, keterlaluan,
berlebih-lebihan.
Al-‘unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti
lemah lembut dan kasih sayang. Abdullah an-Najjar
mendefiniskan al-‘unf dengan penggunaan kekuatan
secara illegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan
kehendak dan pendapat.
Term ghuluww, berasal dari kata ghalā yaghlû
yang berarti melampaui batas (tajāwuz al-hādd). Di dalam
al-Qur’an hanya ditemukan dalam bentuk kata kerja di dua
ayat, yaitu Q.S an-Nisā’ [3]: 171 dan Q.S al-Maā’idah [5]
:73.8 Pada zaman Rasulullah Saw., kata ghuluww ini
digunakan untuk menyebut praktek pengamalan agama
yang ekstrim sehingga melebihi kewajaran semestinya.
Menurut hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW
pernah berkata kepada kepada Ibnu ‘Abbās di Muzdalifah
saat Haji Wada’. Saat itu Rasulullah saw. minta kepada
Ibnu ‘Abbas agar memunguti kerikil kecil untuk melempar
jumrah. Begitu Ibnu ‘Abbas meletakkan kerikil itu di tangan
Rasul, beliau bersabda, “Ya, yang seperti itu, jangan
berlebihan (guluw) dalam beragama...”. Substansi hadis ini
sangat penting dalam mempraktikkan ajaran Islam yang
rahmatan li al- ‘alamin.
Kata al-irhāb dalam al-Mu‘jam al-Wasīt memiliki
definisi “sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh
kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan politik. Sedangkan al-irhab dalam pengertian
negatif 8 kali penyebutan kata al-irhāb di dalam al-Qur’an
selalu bermakna positif. Jadi apabila dalam bahasa arab
kontemporer menggunakan kata al-irhab untuk menyebut
kata teror, menurut penulis itu merupakan perluasan
makna kata dan bukanlah berdasar dari al-Qur’an.
Term tasyaddud, dalam bentuknya yang
mengindikasikan sikap radikalisme tidak ditemukan dalam
al-Qur’an. Bentuk lain yang merupakan derivasi dari kata
tasyaddud ditemukan dalam alQur’an ; syadīd, syidād,
asyiddā’, dan asyad. Semua kata tersebut hanya menunjuk
kepada kata dasarnya yakni keras dan tegas, dan tidak
ada satupun yang bisa disamakan dengan makna radikal
atau ekstrim.
Dikarenakan belum adanya kesepakatan di antara
para ahli untuk menggambarkan gerakan radikal sehingga
memunculkan banyak terminologi lain, antara lain Neo-
Khawarij, Khawarij abad ke-2014.
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan
bentuk ekstrim dari revivalisme. Revivalisme merupakan
intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam
(inward oriented), dengan artian pengaplikasian dari
sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi.
Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi
keluar (outward oriented) kadang dalam penerapannya
cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut
fundamentalisme.

B. Akar Sejarah Radikalisme Agama Islam


Allah mengingatkan agar manusia senantiasa
menjaganya dengan tidak melakukan perilaku-perilaku
menyimpang, seperti tidak berlaku adil, tidak jujur, dan
kecurangan-kecurangan lainnya. Rasulullah juga melarang
umatnya untuk tidak terlalu berlebihan meski dalam
menjalankan agama sekalipun. Beberapa gambaran
prinsip keseimbangan inilah yang biasa dikenal dengan
moderasi yang biasa diistilahkan wasiat atau wasatiyah.
Berangkat dari uraian di atas, sejak awal Islam
sejatinya memang lahir dengan asas keadilan,
kemanusiaan dan sarat dengan ajaran yang moderat,
seperti dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 143. Islam
moderat artinya Islam yang tidak terlalu kanan, maupun
kiri. Tidak keras namun juga tidak lemah. Islam sebagai
agama rahmatan lil ‘alamin haruslah senantiasa
menyebarkan kedamaian tanpa adanya paksaan seperti
yang telah diajarkan Rasulullah saw. Namun citra Islam
yang penuh kemudahan dan kedamaian tersebut, juga
tidak bisa diartikan bahwa Islam merupakan agama yang
sepele. Islam sebagai agama yang memiliki dasar hukum
yang tertulis bisa dilihat dari berbagai sudut pandang,
sehingga melahirkan beragam penafsiran.
Dalam perkembangan sejarahnya, setelah jauh dari
zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat, penafsiran
cenderung semakin beragam dan harus disesuaikan
dengan konteks yang ada. Fanatisme menimbulkan
persoalan yang cukup serius mengingat tak jarang ada
berbagai kepentingan di balik penafsiran.
Realita teks keagamaan yang multitafsir
memberikan peluang kepada siapa saja yang mempunyai
kepentingan khusus untuk menafsirkan teks keagamaan
sesuai dengan ideologi maupun kepentingannya masing-
masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
kelompok yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai
alat untuk melegalkan aksi-aksi kekerasan atas nama
agama.
Dalam konteks sejarah Islam, tidak dipungkiri
adanya peperangan yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. Tercatat tidak kurang dari 19 sampai 21
kali terjadi ghazwa (perang besar) atau perang yang
langsung dipimpin oleh Rasulullah saw. Selain dalam
bentuk ghazwa, ada pula istilah lain dalam sejarah Islam
yaitu disebut dengan sariyyah (perang yang tidak dipimpin
oleh Rasulullah Saw.) atau perang kecil yang terjadi
hampir 35 sampai 42 kali. Menurut Gamal al-Banna, usaha
untuk memahami ayat qitâl, dan bagaimana bentuk
penerapannya, tidak akan tercapai dengan baik tanpa
memahami kondisi dan sebab-sebab yang melatar
belakangi ayat tersebut diturunkan.
Dalam sejarah peperangan masa Rasulullah,
perlawanan yang dilakukan kaum muslim bukanlah
termasuk tindakan radikalisme. Sebab mereka lebih
memberikan perlawanan setelah mendapatkan serangan
musuh, dan tidak menyerang dengan membabi buta tanpa
alasan.
Beberapa literatur menerangkan gerakan
radikalisme Islam dimulai pada masa Kalifah Ali bin Abi
Thalib, yakni munculnya kaum Khawarij. Langkah radikal
mereka diabsahkan dengan semboyan laa hukma illā li
Allah (tidak ada hukum kecuali milik Allah) dan la hukama
illa Allah (tidak ada hakim selain Allah) yang dielaborasi
berdasar Q.S. al-Ma’idah [5]: 44: “...Barangsiapa tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir”
Selain sejarah Khawarij, di sepanjang sejarah Islam
banyak ditemukan fenomena pemasungan teks-teks
keagamaan (al-Qur’an) untuk kepentingan politik, yang
ujung-ujungnya memicu tindakan radikalisme agama.
Sebagai contoh lain adalah peristiwa mihnah yang terjadi
pada masa pemerintah khalifah al-Ma’mun (813-833 H).
Dalam peristiwa tersebut, terjadi pemaksaan pendapat
oleh golongan Mu’tazilah.
Gerakan kaum Khawarij yang muncul di akhir masa
pemerintah Ali bin Abi Thalib dan gerakan kaum Mu’tazilah
ini yang kemudian sering dijadikan contoh gerakan
fundamentalisme klasik yang melegalkan praktik radikal.
Dalam sejarah Islam gerakan-gerakan tersebut menandai
terbentuknya gejala takfirisme dalam Islam.
Pada masa pra-modern, gerakan fundamentalisme
radikal muncul pada abad 12 H di Semenanjung Arabia di
bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-
1792) yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi.
Gerakan Wahabi ini terinspirasi dari pemahaman doktrin-
doktrin yang diajarkan Ibnu Taimiyah yang bertujuan untuk
memurnikan ajaran Islam serta mengajak kembali kepada
ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw., gerakan ini
melakukan tindak kekerasan dengan membunuh orang-
orang yang dianggap bid’ah, tahayul khurafat.
Dari paparan historis di atas, dapat dikatakan
bahwa radikalisme dan fundamentalisme Islam,
sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain,
memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya
dengan kelompok lain.
Pertama, skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan
tekstual atas ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme
yang dianggap akan merusak kesucian teks.
Ketiga, penolakan terhadap pendekatan historis dan
sosiologis yang dipandang akan membawa manusia
melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci.
Keempat, memonopoli kebenaran atas tafsir agama, di
mana mereka menganggap dirinya yang paling berwenang
dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang
lainnya sebagai kelompok yang sesat.
Jadi berdasarkan definisi secara etimologi maupun
terminologi, radikalisme agama adalah suatu paham yang
menghendaki adanya perubahan yang mendasar
(fundamental) sesuai dengan interpretasi ideologi yang
dianutnya dimana dalam penerapannya cenderung
menggunakan tindak kekerasan sampai tindakan yang
tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Untuk menangkal gerakan radikal, salah satu
langkah yang diperlukan adalah pemahaman yang benar
dan komprehensif atas tek-steks keagamaan.
C. Indikator Islam Radikal
1. Takfiri
Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim
yang menuduh Muslim lainya sebagai kafir dan
murtad. Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari
kata kafir (kaum tidak beriman), dan disebutkan
sebagai “orang yang mengaku seorang Muslim tetapi
dinyatakan tidak murni Islamnya dan diragukan
keimanannya”.
Tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan
mengkafirkan Muslim lain kian marak dengan
merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di
Timur Tengah, khususnya setelah pecahnya Perang
Saudara Suriah pada 2011.
Dalam Islam, Ulama mengklasifikasikan
kekufuran menjadi dua kategori :
a. Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari
Islam.
b. Kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam,
meskipun diistilahkan kufur.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Ash-Shalâh. Beliau menuturkan, kufur terbagi
(menjadi) dua jenis, :
1) Kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau
menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman
dalam semua aspek. Misalnya mencaci Allah,
memaki Nabi-Nya, menyakiti Nabi, bersujud
kepada kuburan dan patung, melemparkan
mushaf ke tempat kotor. Orang yang terjerumus
dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai
kafir.
2) Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama.
Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai
tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan
maksiat. Jika meyakini perbuatan maksiat ini
halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan
menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan
secara hati).
2. Al-Walâ’ dan Barâ’
Al-Walâ’ artinya loyalitas dan kecintaan. Wala’
adalah kata mashdar dari fi’il, waliya yang artiannya
dekat. Wala’ di sini adalah dekat kepada kaum
muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan
menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan
berlokasi tinggal bersama mereka.
Al-Bara', artinya berlepas diri dan kebencian.
Bara’ adalah mashdar dari bara’ah yang berarti
memutus atau memotong. Maksudnya, ialah memutus
hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir,
sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan
menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Walâ’
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa
yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan,
perbuatan, kepercayaan, dan orang yang
melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah
mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa
yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua
itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang
yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta
membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang
kafir.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa
yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan,
perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang.
Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang
dibenci Allah secara terusmenerus dan penuh
komitmen.
Walâ’ wal barâ’ merupakan salah satu di antara
tuntutan syahadat yang diikrarkan oleh seorang
mukmin. Ia adalah bagian dari makna kalimat tauhid,
yaitu berlepas diri dari setiap sesuatu yang diibadahi
selain Allah. Bagi seorang mukmin, ikatan walâ’ wal
barâ’ merupakan ikatan iman yang paling kokoh yang
dimiliki oleh dirinya. Sebagaimana yang ditegaskan
oleh Nabi Saw dalam sabdanya: “Sungguh ikatan
keimanan yang paling kokoh adalah kamu mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR.
Ahmad) Namun sayangnya, sebagian umat Islam
masih ada yang salah kaprah dalam menerapkan
konsep akidah yang satu ini.
Di antara penyebabnya adalah munculnya
penyempitan makna wala’ wal bara’ oleh sebagian
kelompok. Siapa pun yang berada dalam jamaahnya
maka harus didekati dan dicintai. Sebaliknya, siapa
pun yang berada di luar jamaahnya maka berhak
untuk dimusuhi dan dijauhi.
3. Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri merupakan sebutan atas
tindakan yang dilakukan seseorang yang meledakkan
dirinya dengan menggunakan bom. Bunuh diri/intihar
menurut bahasa berasal dari kata naharahu yang
berarti menyembelihnya, dan Intahara ar-rajulu berarti
seseorang menyembelih diri sendiri. Yang dimaksud
adalah seseorang melakukan bunuh diri.
Adapun menurut istilah syar’i adalah “orang
yang membunuh dirinya sendiri dengan
menghilangkan ruhnya, melalui salah satu cara yang
mengakibatkan kematian, dikarenakan tertimpa
musibah yang tidak kuat ia tanggung, atau tertimpa
ujian yang ia tidak sabar menghadapinya.”
Imam al-Qurtubi mendefinisikan intihar adalah
seseorang yang membunuh diri sendiri dengan
sengaja, untuk menghilangkan kerakusan terhadap
dunia dan harta sampai mendorongnya pada bahaya
yang membawa pada kehancuran, atau mungkin saja
dikatakan pada ayat “Dan janganlah kamu membunuh
dirimu” (Q.S. an-Nisa [4] ayat 29) dalam keadaan
panik atau marah.
Bunuh diri atau intihar adalah tindakan yang
dilarang oleh agama. Istilah lain bunuh diri adalah al-
mughammarah (mengorbankan diri), juga bisa berarti
as-syiddah (kekerasan).
Al-Mughammir berarti orang yang terjun dalam
kekerasan atau hal-hal yang mencelakakan. Maka
alMughammir (orang yang berkorban) ialah orang
yang menceburkan dirinya dalam bahaya, atau orang
yang berani mengarungi kerasnya kematian (Syuja’
Mughammir).
Serangan bunuh diri adalah suatu serangan
yang dilakukan (para) penyerangnya dengan maksud
untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan
bermaksud untuk turut mati dalam proses
serangannya, misalnya dengan sebuah ledakan bom
atau tabrakan yang dilakukan oleh si penyerang. Di
zaman modern, serangan seperti itu seringkali
dilakukan dengan bantuan kendaraan atau bahan
peledak seperti bom (bom bunuh diri) atau keduanya
(misalnya kendaraan yang dimuati dengan bahan
peledak). Bila semua rencana berjalan mulus, si
penyerang akan terbunuh dalam tabrakan atau
peledakan. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kalian
membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha
menyayangi kalian.” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang
bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di
dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada
hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang
dilakukan oleh sebagian orang dengan
mengatasnamakan jihad adalah sebuah
penyimpangan atau pelanggaran syari’at. Apalagi
dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum
muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh
pemerintah muslimin tanpa ada alasan yang
dibenarkan syari’at. Allah berfirman: “Dan janganlah
kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali
dengan cara yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin
akibat tindakan bom bunuh diri, ini jelas tidak termasuk
pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak
bisa dibenarkan dengan alasan jihad. Ulama
Ahlussunah tidak merestui aksi terorisme dalam
bentuk apapun, dan tidak ada satu pun ulama yang
merestui perbuatan demikian.
Adapun yang difatwakan sebagian ulama
mengenai bolehnya melakukan aksi bom bunuh diri itu
dalam kondisi peperangan atau di medan perang
melawan kuffar, bukan dalam kondisi aman atau di
negeri-negeri yang tidak sedang terjadi peperangan
atau yang orang-orang kafir dijamin keamanannya di
sana.
Syekh Al-Qardhawi mengkategorikan bahwa
perjuangan rakyat Palestina dengan meledakkan
dirinya sebagai tindakan pengorbanan (‘amaliyyat
fida’iyyah), ketimbang bunuh diri. Meskipun seringkali
sasaran pengeboman adalah warga sipil, tetapi Al-
Qardhawi memakai kaidah hukum al-dharûrât tubîh al-
mahdzûrât (keadaan darurat membolehkan yang
diharamkan) atas konsekuensi tersebut. Pernyataan
Syekh Al-Qardhawi ini memicu beragam respon dari
berbagai kalangan termasuk di antaranya adalah
Professor Hashim Kamali, Hashim Kamali menyatakan
bahwa terlalu simplistik menfatwakan tindakan bom
bunuh diri warga Palestina dan juga dimanapun
daerah tinggalnya, disamakan dengan jihad dan
pelakunya dihukumi sebagai mati syahid. Hal ini
karena tindakan tersebut menyalahi dua prinsip
fundamental ajaran Islam: pertama keharaman bunuh
diri secara mutlak dan kedua haramnya membunuh
orang-orang sipil yang tidak bersalah.

1. Beberapa istilah, antara lain: al-tatharruf, al-‘unf, al-


Daftar materi pada KB guluww, al-irhab, dan tasyaddud, al-mughammarah
2
yang sulit dipahami (mengorbankan diri)
2. Makna wala’ wal bara’ oleh sebagian kelompok.

1. Dengan dalih untuk memurnikan ajaran Islam serta


mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Saw, kemudian mengkafir-kafirkan orang lain yang
tidak sealiran.
2. Pelaku bom bunuh diri oleh sebagian orang dengan dalih
jihad adalah sebuah penyimpangan atau pelanggaran
Daftar materi yang sering
syari’at. Apalagi dengan aksi itu menyebabkan
3 mengalami miskonsepsi
terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang
dalam pembelajaran
dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa ada alasan
yang dibenarkan syari’at. Masih banyak jihad yang bisa
dilakukan dalam rangka mensyiarkan agama Islam seperti
menjadi guru, menjadi ustadz di TPQ dll.
3. Hukum al-dharûrât tubîh al-mahdzûrât (keadaan darurat
membolehkan yang diharamkan)

Anda mungkin juga menyukai