Anda di halaman 1dari 11

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Nama Mahasiswa : Yoga Hartanto, S.Pd.I.


B. Judul Modul : PAI KONTEMPORER
C. Kegiatan Belajar : KB-4 (MODERASI BERAGAMA)

D. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN

1. Moderasi Beragama
Moderasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online
adalah pengurangan kekerasan, penghindaran
keekstreman. Moderasi dalam bahasa arab disebut
dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah. Secara etimologi,
kata wasatiyyah berasal dari bahasa Arab. Kata
wasatiyyah tersebut mengandung beberapa pengertian,
yaitu adaalah (keadilan) dan khiyar (pilihan terbaik) dan
pertengahan. Al-Qaradawi menyebut beberapa kosa kata
yang serupa makna dengannya termasuk kata tawazun,
i'tidal, ta'adul dan istiqamah.
Kata al-wasathiyah atau moderat yang mempunyai lebih
dari satu makna yang satu dengan lainnya saling
mendukung, yaitu (1) Tawassuth, berada pada posisi
tengah antara dua sisi yang berseberangan. Kedua titik itu
Konsep (Beberapa tidak dipertentangkan atau dibenturkan tetapi
1 istilah dan definisi) di dipertemukan pada posisi tengah. Moderasi antara sikap
ifrāth (berlebihan) dan tafrīth (mengabaikan), antara sikap
KB terlalu berpegang pada zhahir nash atau terlalu
memperhatikan jiwa nash. (2) Mulāzamatu al-Adli wa al-
‘Itidal, mempertahankan keseimbangan dan sikap yang
proporsional, sehingga permasalahan yang ada disikapi
dengan wajar. Memberi porsi yang wajar kepada ta’aqqul
(rasionalitas) dan ta’abbud (kepatuhan) yang tanpa
reserve. (3) Afdhaliyyah/Khairiyyah, memiliki sikap dan
posisi yang afdhal, tidak menegasikan sama sekali
pendapat-pendapat yang berlawanan, tetapi mengambil
sisi positif atau keunggulan dari semuanya. (4) Istiqāmah
ala al- Thorīq, konsisten di jalan yang lurus, karena posisi
tengah memberikan kestabilan dan kemantapan.
Wasathiyah berarti sikap Islam yang dipilih, terbaik, adil,
rendah hati, moderat, istiqamah, ikuti ajaran Islam, tidak
ekstrim untuk kedua ujung dalam hal-hal yang berkaitan
duniawi atau kehidupan setelah kematian, spiritual atau
jasmani tetapi harus seimbang antara keduanya. Oleh
karena itu, sikap moderat (wasatiyyah) merupakan
pendekatan yang diakui oleh Islam. Sebuah pendekatan
yang komprehensif dan terpadu yang mampu
memecahkan permasalahan umat, terutama dalam hal
manajemen konflik untuk memelihara perdamaian. Sikap
moderat dengan jalan tengahnya dapat menjadikan
kehadiran Islam di Indonesia sebagai agama rahmatan lil
alamin dan agama yang selamat.
Dari beberapa uraian di atas, moderasi beragama dapat
diartikan sebagai sebuah pandangan atau sikap yang
selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap
yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu
dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam
pikiran dan sikap seseorang.68 Moderasi beragama
berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian
moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang
tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani
ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya
disebut moderat.
2. Nilai-nilai Moderasi Beragama
Moderasi (wasathiyyah) merupakan prinsip dalam
beragama yang perlu diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Ada beberapa nilai moderasi yang
dapat diimplementasikan dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Nilai-nilai moderasi ini dipandang relevan
dengan ajaran agama Islam. Tujuh di antara sembilan nilai
itu dirumuskan oleh para ulama peserta KTT Bogor 2018.
Sementara itu, dua nilai tambahan (anti kekerasan dan
menghormati adat) berasal dari sumbang saran para ahli
kepada Kementerian Agama. Kesembilan nilai moderasi
tersebut adalah :
a. Tawassuth (mengambil jalan tengah)
Tawassuth atau wasathiyyah adalah memilih jalan tengah
di antara dua kutub ideologi keagamaan ekstrem
fundamentalisme dan liberalisme. Ciri sikap tawassuth ini,
antara lain: tidak bersikap ekstrem dalam
menyebarluaskan ajaran agama; tidak mudah
mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan
pemahaman agama; memposisikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh
prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasamuh);
hidup berdampingan dengan sesama umat Islam maupun
warga negara yang memeluk agama lain.
Ada sejumlah harapan yang dapat disemaikan melalui
pengetahuan nilai wasathiyyah, di antaranya:
a. Terus menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan
bangsa dengan berbagai suku bangsa yang mendiami
sejumlah pulau, dari Sabang hingga Merauke, dengan
perbedaan agama, ras, Bahasa, dan adat budaya.
Keberagaman ini dibingkai dalam konsep pemahaman
moderasi, cara pandang bangsa Indonesia terhadap
dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Terus menumbuhkan rasa memiliki dan patriotisme
untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Sikap dan perilaku patriotik dimulai dengan
hal-hal yang mendasar, yaitu: semangat gotong royong,
mewujudkan kerukunan umat beragama dan toleransi
dalam menjalankan ibadah menurut agama masing-
masing, saling menghormati, mengedepankan rasa damai
dan menjaga keamanan lingkungan.
c. Terus meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab
sebagai warga negara Indonesia yang menghormati umat
beragama di tanah air, antar umat beragama, dan antar
umat beragama dengan pemerintah, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (NKRI) untuk mematuhi.
b. I’tidal (adil tegak lurus).
Al-I’tidal adalah sikap tegak lurus dan adil, suatu tindakan
yang dihasilkan dari suatu pertimbangan71. Adil dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah
sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak
pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.
Sementara keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau
perbuatan atau perlakuan yang adil.
Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi dan
tidak dizalimi.” Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah
bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar
keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau
merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-
kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan
mendzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi
eksploitasi manusia atas manusia74. Dalam khazanah
islam yang lainnya, keadilan yang dimaksud adalah
keadilan ilahi, yaitu keadilan yang tidak terpisah dari
moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang
diwahyukan tuhan dan penerimaan manusia terhadap
nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban
I’tidal bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara
proporsional. I’tidal merupakan bagian dari penerapan
keadilan dan etika bagi setiap muslim. Tanpa mengusung
keadilan, nilai-nilai agama terasa kering dan tiada
bermakna, karena keadilan menyentuh hajat hidup orang
banyak. Karena itu, moderasi beragama juga harus
mendorong upaya untuk mewujudkan kemaslahatan
bersama (al mashlahah al-‘ammah)
c. Tasamuh (toleransi)
Pengertian Toleransi
Kata toleransi berasal dari toleran dalam KBBI diartikan
menenggang atau menghargai pendirian yang berbeda
atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam
bahasa Arab, toleran adalah “tasāmuh”, yang berarti sikap
baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan
dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan
keyakinannya. Umat manusia diciptakan dengan berbagai
ras, bangsa, suku, bahasa, adat, kebudayaan, dan agama
yang berbeda. Menghadapi kenyataan tersebut, setiap
manusia harus bersikap toleran atau tasāmuh. Dengan
sikap toleransi dan tasāmuh yang luas dan terbuka, maka
akan terbentuk suatu masyarakat yang saling
menghargai, menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang
harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara,
maupun dalam kehidupan secara umum. Kemudian
masyarakat yang harmonis cenderung akan
menghasilkan karya-karya yang besar yang bermanfaat
bagi manusia.
Ibnu Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian
berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi
kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang
lemah di antara mereka. Hendaklah kalian berbuat baik
dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat
adil”.78 Inilah toleransi yang diajarkan di dalam Islam.
Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk
bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun
demikian, sikap toleransi tidak boleh dipraktikkan dalam
hal yang menyangkut akidah. Inilah ketentuan syariat
yang berhubungan dengan toleransi.
Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam
Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
a) Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang
miskin maupun orang yang sakit, muslim atau non-
muslim, bahkan terhadap binatang sekalipun. Dari Abu
Hurairah, Nabi Saw bersabda:
“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi
makan minum) ada pahalanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lihatlah Islam mengajarkan peduli sesama.
b) Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau
saudara non muslim. Allah Swt telah berfirman dalam Q.S.
Luqman [31]: 15
Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak dipaksa syirik
oleh orang tua, namun tetap kita disuruh berbuat baik
pada orang tua. Lihat Asma’ binti Abi Bakr ra ketika ia
berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi Saw
dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada
Nabi untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau
menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa
tatkala itu turunlah ayat,
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….”
(Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)
c) Boleh memberi hadiah pada non-muslim. Islam
memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada
non-muslim, agar membuat mereka tertarik pada Islam,
atau ingin berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak
menyakiti kaum muslimin.
Toleransi Antar umat Beragama
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia
diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu/manusia
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani
kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu
akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan
kepercayaan/agama. Dalam menjalani kehidupan sosial
tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang
akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga
persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka
diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati,
sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian. Dalam pembukaaan UUD 1945
pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya". Sehigga kita
sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling
menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara
kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung
tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "tolerare"
yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi
pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku
atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, di
mana seseorang menghormati atau menghargai setiap
tindakan yang dilakukan orang lain.79 Toleransi juga
dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial
budaya yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap golongan-golongan yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas pada
suatu masyarakat. Misalnya toleransi beragama di mana
penganut agama mayoritas dalam sebuah masyarakat
mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi
toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap
manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai
keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia
yang beragama lain. Istilah toleransi juga dapat digunakan
dengan menggunakan definisi golongan/kelompok yang
lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik, dan
lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi
serta kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari
kaum konservatif maupun liberal. Pada sila pertama
dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertakwa kepada
tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing
merupakan hal yang mutlak. Karena Semua agama
menghargai manusia, oleh karena itu semua umat
beragama juga harus saling menghargai. Sehingga
terbina kerukunan hidup antar umat beragama.
d. Syura (Musyawarah).
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ مشاوزة‬. Ia adalah
masdar dari kata kerja syawara-yusyawiru, yang berakar
kata syin, waw, dan ra‟ dengan pola fa’ala. Struktur akar
kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan
menawarkan sesuatu” Dari makna terakhir ini muncul
ungkapan syawartu fulanan fi amri (aku mengambil
pendapat si Fulan mengenai urusanku).80
Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah
pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari
sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).
Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama
dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian
masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata
musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.
Melalui musyawarah setiap masalah yang menyangjut
kepentingan umum dan kepentingngau suatn rakyat dapat
ditemukan dalam satu jalan keluar yang sebaik baiknya
setelah semua pihak mengemukakan pandangan dan
pikir mereka wajib terdengan oleh pemegang negara
supaya ia dalam membuat suatu keputusan dapat
mencerminkan pertimbangan-pertimngandan bijak sna
untuk kepentingan umum.
Syura berarti mekanisme pengambilan keputusan yang
berlandaskan pada dialog, komunikasi, saling bertukar
pendapat mengenai sesuatu perkara. Mekanisme
musyawarah adalah salah satu ciri masyarakat beradab
dan demokratis, sehingga hak bersuara setiap warga
dijamin dan dilindungi secara sah. Pemahaman ini selaras
dengan firman Allah, sebagai berikut: “Dan bagi orang-
orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada
mereka”. (QS Al-Syura:38).
Begitu pentingnya musyawarah bagi kehidupan manusia,
maka Al-Qur‟an telah mengisyaratkan kepentingan
sebagai kewajiban bagi seorang muslim dan menjadikan
sistem ini sebagai salah satu undang-undang bagi hukum
Silam. Orgensi dari pembahasan dari masakah ini dapat
menyadarkan masyarakan untuk selalu mengambil segala
keputusan berdasarkan musyawarah agar mencapai
suatu mufakat dan tidak merugikan orang banyak atau
rakyat dan tentunya musyawarah rakyat indonesia selalu
merujuk pada kaidah-kaidah yang telah menjadi rebutan
buku yaitu pancasila, dalam Islam adalah Al-Qur‟an, dan
Hadist
e. Ishlah (Kreatif Inovatif).
Secara istilah, Ishlah adalah upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan terjadinya kerusakan, dan perpecahan
antara manusia dan melakukan perbaikan dalam
kehidupan manusia sehingga tercipta kondisi yang aman,
damai, dan sejahtera dalam kehidupan
masyarakat.Karena itu, dalam terminologi Islam secara
umum, Istilah dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang
ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk
menjadi keadaan yang baik.
Ishlah juga dapat difahami sebagai suatu tindakan atau
gerakan yang bertujuan untuk merubah keadaan
masyarakat yang rusak akhlak dan akidah, menyebar ilmu
pengetahuan dan memerangi kejahilan. Ishlah juga
menghapus bid’ah dan khurafat yang memasuki agama
dan mengukuhkan akidah tauhid. Dengan ini manusia
akan benar-benar menjadi hamba Allah Swt yang
menyembah-Nya. Masyarakat Islam juga menjadi
masyarakat yang memandu ke arah keadilan dan
persamaan.84
Menurut syariat Islam, tujuan Ishlah adalah untuk
mengakhiri konflik dan perselisihan sehingga mereka
dapat menciptakan hubungan dalam kedamaian dan
penuh persahabatan. Dalam hukum Islam, Ishlah adalah
bentuk kontrak yang secara legal mengikat pada tingkat
individu dan komunitas. Secara terminologis, istilah Ishlah
digunakan dengan dua pengertian, yakni proses keadilan
restoratif (restorative justice) dan penciptaan perdamaian
serta hasil atau kondisi aktual yang dilahirkan oleh proses
tersebut.
Ishlah bermakna mengutamakan prinsip kreatif inovatif
untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi
perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap
berpegang pada prinsip: al-muhafazah ‘ala al-qadimi al-
salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah.
f. Qudwah (teladan).
Menurut kamus lisan Al-Arab, qudwah berarti uswah, yaitu
ikutan (teladan). Maka dalam Islam sering digunakan
istilah Qudwah hasanah untuk menggambarkan
keteladanan yang baik, atau dima’rifatkan dengan al (kata
sandang) menjadi al-qudwah. Hal ini juga ditegaskan oleh
Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf bahwa qudwah
adalah uswah (Alifnya dibaca dhammah), artinya menjadi
(dia) contoh dan mengikuti.
Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang
sengaja diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh
peserta didik, seperti memberikan contoh membaca yang
baik dan mengerjakan shalat yang benar. Keteladanan ini
disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan
yang tidak disengaja ialah keteladanan dalam keilmuan,
kepemimpinan, sifat keikhlasan, dan sebagainya. Dalam
pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut
sama pentingnya
g. Muwathanah (menghargai negara-bangsa dan
warga negara).
Al-Muwathanah adalah pemahaman dan sikap
penerimaan eksistensi negara-bangsa (nation-state) dan
pada akhirnya menciptakan cinta tanah air (nasionalisme)
di mana pun berada. Al-Muwathanah ini mengedepankan
orientasi kewarganegaraan atau mengakui negara-
bangsa dan menghormati kewarganegaraan. Ramadhan
dan Muhammad Syauqillah (2018) dalam jurnal “An Order
to build the Resilience in the Muslim World against
Islamophobia: The Advantage of Bogor Message in
Diplomacy World & Islamic Studies”, mengutip pendapat
Yusuf Al-Qardhawi, mengartikan nasionalisme sama
dengan al-wathn (dan kebangsaan sama dengan al-
muwathanah yang harus dihormati, antar sesama umat
Muslim. Secara tekstual, Al-Qur’an tidak menyebutkan
cinta tanah air atau nasionalisme ada di dalamnya.
Dalam konteks al-muwathanah, Islam dan negara
memiliki keterkaitan dengan moderasi beragama,
menolak pengertian yang beranggapan bahwa agama
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan
tidak berkaitan dengan sistem ketatanegaraan.
Paradigma moderat justru berpendirian bahwa dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan yang mutlak
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara
h. Al-La ‘Unf (Anti- Kekerasan)
Anti kekerasan artinya menolak ekstremisme yang
mengajak pada perusakan dan kekerasan, baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap tatanan sosial.
Ekstremisme dalam konteks moderasi beragama ini
dipahami sebagai suatu ideologi tertutup yang bertujuan
untuk perubahan pada sistem sosial dan politik. Ini
merupakan upaya untuk memaksakan kehendak yang
seringkali menabrak norma atau kesepakatan yang ada di
suatu masyarakat.
Ciri-ciri dari anti kekerasan pada moderasi beragama ini
adalah mengutamakan cara damai dalam mengatasi
perselisihan, tidak main hakim sendiri, menyerahkan
urusan kepada yang berwajib dan mengakui wilayah
negaranya sebagai satu kesatuan. Sifat anti kekerasan
bukan berarti lemah/lembek, tetapi tetap tegas dan
mempercayakan penanganan kemaksiatan/pelanggaran
hukum kepada aparat resmi.
i. I’tiraf al-‘Urf (Ramah terhadap kebudayaan lokal)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Secara
terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,
istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
ataupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut
sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat).
Kata al-‘adah itu sendiri, disebut demikian karena ia
dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi
kebiasaan masyarakat.
Indikator ini untuk menakar sejauh mana “pemahaman”
keagamaan tertentu mampu berdialog dan
mengakomodasi praktik-praktik tradisi dan kebudayaan
lokal. Pemahaman keagamaan yang tidak kaku ditandai
dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku
yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran
paradigma keagamaan normatif, namun juga paradigma
kontekstualis yang positif.
3. Implementasi Moderasi Beragama
Moderasi beragama menjadi salah satu program yang
diprioritaskan pemerintah untuk membangun kehidupan
beragama yang harmonis dalam bingkai kehidupan
berbangsa dan bernegara (Pokja IMA: 2019, 27). Selain
untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis
melalui cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang
moderat, moderasi beragama juga menjadi dasar berpikir
dalam memahami substansi ajaran agama yang
mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan,
kebangsaan, kebhinnekaan, dan ketaatan pada konstitusi
yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sembilan nilai Wasathiyah al-Islam yang diuraikan di atas
dapat digunakan sebagai bahan penguatan moderasi
beragama, dengan penyesuaian secara luwes untuk
jenjang dan lingkungan yang berbeda. Penyesuaian dapat
berupa tata urutan nilai yang penyajiannya didahulukan
atau dikemudiankan, sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk
anak usia dini, dapat saja nilai yang didahulukan
penguatannya adalah toleransi (tasamuh). Sedangkan
untuk remaja, nilai yang didahulukan adalah ramah
budaya (i’tiraf al-‘urf).
Guru Pendidikan Agama Islam melakukan penanaman
nilai-nilai moderasi beragama secara langsung kepada
para siswa melalui berbagai “pintu” yang tersedia, seperti
pengembangan kurikulum, pengembangan bahan ajar,
dan strategi pembelajaran. Dalam kurikulum Pendidikan
Agama Islam, materi keagamaan yang diajarkan meliputi
aspek akidah, syariah, dan akhlak. Namun, rincian materi
pelajaran PAI kemudian dikembangkan dalam aspek
keilmuan Islam yang lebih luas meliputi bidang Akidah-
Akhlak, Al-Qur’an-Hadist, Fiqih, dan Sejarah Peradaban
Islam. Implementasi nilai-nilai moderasi di sekolah bisa
dilakukan dalam beberapa hal berikut ini:
1. Pengembangan PAI Berbasis Nilai-Nilai Moderasi
Beragama Melalui Budaya Sekolah
2. Penguatan Nilai Moderasi Beragama melalui Budaya
Kelas
3. Peran Guru PAI dalam Penguatan Moderasi Beragama
di Sekolah
4. Integrasi Moderasi Beragama dalam Materi PAI di
Sekolah
Secara umum capaian pembelajaran PAI pada masing-
masing jenjang yang dapat diintegrasikan dengan nilai-
nilai moderasi beragama adalah pada aspek yang
berhubungan dengan perilaku. Pada jenjang SD materi
tersebut berkaitan dengan sikap menghargai pendapat
yang berbeda, membangun suasana saling mengenal
antar sesama, memahami keragaman sebagai
sunnatullah, mengetahui pentingnya musyawarah, dialog
antar agama, dan membangun kesadaran bahwa
keragaman dapat dijadikan sebagai titik temu (kalimatun
sawa) untuk persatuan dan kerukunan.
1. Materi tentang Nilai-nilai Moderasi diantaranya
adalah Qudwah dan Muwathanah
Daftar materi pada KB
2 2. Implementasi Moderasi beragama dikehidupan
yang sulit dipahami
sehari-hari dan di lembaga pendidikan atau
sekolah

Daftar materi yang


1. Landasan dasar dari moderasi beragama
sering mengalami
3 2. Implementasi dari moderasi beragama
miskonsepsi dalam
2. Ciri-ciri anti kekerasan dalam moderasi beragama
pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai