Anda di halaman 1dari 10

Modul Pembelajaran Kelas Online

Ramadhan Tafsir al-Qur’an

WAWASAN PENGANTAR
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

Modul Pertemuan I

Penulis:

Tg. DR. H. Miftahur Rahman el-Banjary, MA


Alumni Prog. Doktoral di Institute of Arab League Cairo Egypt
Dosen Ilmu Tafsir al-Qur’an Prog. Pascasarjana
Bab I
Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Tafsir al-Qur’an
Perkembangan awal tafsir al-Qur’an sejatinya telah diawali semenjak
turunnya al-Qur’an itu sendiri. Nabi Muhammad Saw sebagai pengemban
risalah dakwah dalam posisinya sebagai objek penerima wahyu al-Qur’an
pada saat yang sama juga nabi Saw menempati peran sebagai penafsir dari
ayat-ayat suci kalam Allah Swt itu tersebut.

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah ‫ ﷺ‬masih hidup sering kali timbul
beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu
mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah ‫ﷺ‬.

Manakala para sahabat tidak memahami arti makna atau kandungan ayat
yang dimaksudkan oleh al-Qur’an, maka mereka pun masih dapat
mendatangi Rasulullah Saw secara langsung untuk bertanya dan meminta
penjelasan atas makna atau kandungan ayat yang belum mereka mengerti.

Sebagai contoh, ketika turunnya QS. al-An’am: 82 yang berbunyi:


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan
keimanannya dengan kezhaliman akan mendapatkan ketentraman dan
petunjuk dari Allah SWT.”

Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak
menzhalimi dirinya sendiri? Rasul menjawab: Bukan itu yang dimaksud ayat
tersebut. Kezaliman dalam ayat ini maknanya ialah kemusyrikan. Tidakkah
kalian mendengar firman Allah SWT: sesungguhnya kemusyrikan itu ialah
kezaliman yang besar (QS. Lukman: 13)”.

Sepeninggal Rasulullah Saw, para sahabat masih dapat bertanya dengan


para sahabat yang memiliki kapasitas dan keahlian di bidang penafsiran al-
Qur’an. Salah satu diantaranya, yaitu Ibn Abbas seorang ulama tafsir yang
pernah didoakan oleh Nabi Saw sewaktu kecilnya agar ia memperoleh
pemahaman yang luas dalam memahami ayat-ayat Allah di dalam al-
Qur’an.

Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat


Nabi ‫ ﷺ‬sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H),
‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di
antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain


empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit,
Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat
satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.

Selanjutnya pada masa tabi’en, upaya penafsiran terus berlangsung dan


terus mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan kaum
muslimin. Pada masa periode ini, sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an
telah mengkristal menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri yang baru dikenal
dengan metode penjelasan tafsir bil riwayah.

Tercatat paling tidak, di masa ini terdapat 3 corak aliran tafsir yang masing-
masing berkembang di Makkah, Madinah dan Irak.

1. Aliran Mekkah yang berkiblat pada Ibn Abbas. Diantara murid-murid Ibn
Abbas, yaitu Sa’id Ibn Jabr, Mujahid Ibn Jabir al-Makky, Atha Ibn Abi
Rab’ah, Ikrimah dll.
2. Aliran Madinah yang berkiblat pada Ubay bin Ka’ab. Diantara murid-
muridnya, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Zayd, dll.
3. Aliran Irak yang berkiblat pada Ibn Mas’ud. Diantara murid-murid Ibn
Mas’ud, yaitu: Qatadah dan Imam Hasan al-Bashri, dll.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-
masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika
datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab
tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika
pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga
menjadi kitab tersendiri.

Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu
Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode
pengumpulan inilah yang disebut Tafsir bil Ma`tsur. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan
metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar.

Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan


metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan
masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir bi ar-
Ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut
perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa
disebut sebagai Tafsir Isyari.

Pada masa perkembangan selanjutnya, ilmu tafsir terus menerus menjadi


perhatian khusus bagi kaum muslimin berabad-abad lamanya dari generasi
ke generasi hingga hari ini. Terkait periodesasi sejarah perkembangan ilmu
tafsir al-Qur’an, dapatlah kita bagi menjadi tiga periode, yaitu periode awal,
periode pertengahan dan periode masa modern saat ini.
Bab 2
Pengertian Tafsir al-Qur’an

Tafsir Al-Qur'an (bahasa Arab: ‫ )تفسير القرآن‬adalah ilmu pengetahuan untuk


memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan al-Qur'an dan
isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan
tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat
yang tidak di pahami dan samar artinya.

Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya


pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan
yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini
disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an
(ilmu-ilmu Al-Qur'an).

Pengertian Tafsir terambil dari akar kata [ ‫]فرس‬ “Fassara” yang berarti

menjelaskan atau menguraikan. Akar kata lain dari “Fassara”, yakni


kesungguhan membuka secara berulang-ulang. Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa kata “Tafsir” adalah upaya kesungguhan untuk
membuka penjelasan tentang makna dan hakikat yang tersembunyi di
dalam al-Qur’an.

Kata yang seringkali pula dipadankan dengan istilah “tafsir” adalah “takwil”.
Meskipun terdapat perbedaan pada definisinya, namun kedua kata ini atau
istilah ini seringkali digunakan secara bersamaan atau bergantian,
sehingga sulit bagi kebanyakan orang membedakan antara keduanya.

Kata “Ta’wil” terambil dari “Awwala-Yu’awwilu” yang berarti mengambil


pada makna dasar. Dalam pengertian yang lebih sederhana, aspek takwil
tidak hanya sekedar terfokus pada aspek “Tafsir” dalam upaya menjelaskan
atau menguraikan maknanya secara kebahasaan saja, melainkan juga ada
upaya untuk mengembalikan pada makna dasarnya secara simbolik atau
filosofis.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa “Tafsir” hanyalah upaya


menyingkap makna dari segi aspek-aspek lughawiyyah atau asepk
linguistiknya (kebahasaan) saja. Sedangkan “Takwil” lebih pada upaya
membangun pemahaman ulang atau pemahaman baru dalam membangun
makna baru dalam konteks yang lebih kompleks dan luas, baik itu dari segi
filosofis atau simboliknya.


Bab 3
Bentuk Penafsiran al-Qur’an

Dalam metode penafsiran al-Qur’an terdapat beberapa metode,


diantaranya:

1. Tafsir al-Qur’an bil Qur’an;


Upaya menafsirkan al-Qur’an dengan penjelasan dari ayat-ayat al-
Qur’an lainnya. Misalnya: tafsir tentang kisah peristiwa Nabi Adam dan
Siti Hawa terusir dari surga akibat memakan buah Khuldi pada surah al-
Baqarah dijelaskan pada surah lainnya, semisal sural al-‘Araf.

2. Tafsir al-Qur’an bil Hadits;


Upaya menafsirkan al-Qur’an dari penjelasan hadits-hadits Nabi Saw
yang hal ini biasa disebut dengan Tafsir bil Riwayah. Misalnya:
Larangan tentang Riba atau meminum minuman keras telah dijelaskan
melalui banyak hadits-hadits Nabi Saw.

3. Tafsir al-Qur’an bil Ra’yi;


Upaya menafsirkan al-Qur’an melalui penjelasan nalar logika yang
dibangun dari pemahaman keilmuan yang sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan seorang muafssir dalam berijtihad. Misalnya:ayat-ayat
yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Swt di dalam al-Qur’an yang
menjadi pembahasan utama oleh para ulama ahli ilmu kalam (teologis).

Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar


dapat dibagi menjadi tiga:

Dinamai dengan nama Tafsir bi al-Ma`tsur (dari kata atsar yang berarti
sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran
seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari
generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Saw. Berikut
penjelasannya:

• Tafsir bil Matsur

Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan


yang shahih yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, al-Qur'an
dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka
pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu
Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya
Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir
Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal
Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

• Tafsir bi ar-Ra'yi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir


karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka
tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan
tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah,
ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain
seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk
menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang
berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya
Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin
Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy,
Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

• Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin.
Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran
sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik
itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang
terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah
ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat.
Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau
bisikan batin

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah:


67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi
makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury,
Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.


Bab 4
Metode Penafsiran al-Qur’an

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili,


metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.

1. Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut
Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode
tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan
ayat Al-Qur'an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi
surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia
menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah,
dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari
ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak
dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan
metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman
akan kemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi
kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu
pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan
gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat


teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus
yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan
bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap
waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan


global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan
bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama
dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan
yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat


dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata.
Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas
sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat
menyelesaikan masalah secara tuntas.

3. Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat,


atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir
dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan
itu.

4. Metode Maudhu’i (Tematik)

Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Al-Qur'an untuk
kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema
tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema
tersebut.

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan
satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan
menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-
sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-
hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum
darinya.

Macam-Macam Tafsir Al-Qur'an

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung


dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih,
kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri sehingga tafsir yang
dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan
dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
“ Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya,
dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya,
maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat. ”

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah:

Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang


non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab
sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan
kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-
Qur'an di bidang ini.

Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan
kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya
penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya
menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.

Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi


maka muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur'an sejalan dengan
perkembangan ilmu yang terjadi.

Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-


mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan
kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka
terhadap ayat-ayat hukum.

Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula


tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.

Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh
Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-
Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-
usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan
petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.



Anda mungkin juga menyukai