Anda di halaman 1dari 11

Madzahib At-Tafsir: Tafsir Periode Pertengahan

Kelompok VI
Azis Setyawan 1860301221025
Dena Muchtar Islamudin 1860301223129
Muhammad Iqbalul Fahmi 1860301222079
Zainal Fahmi 1860301222058

A. Sejarah Singkat
Tradisi terhadap penafsiran Al-Qur’an terus berkembang mengikuti perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan. Munculnya kitab-kitab tafsir yang beragam corak yang mewarnai
kandungannya menjadi bukti bahwa Al-Qur’an semakin berkembang, terutama pada masa akhir
dinasti Bani Umayyah dan awal dari masa Dinasti Abbasiah dimana mereka memberikan
perhatian khusus terhadap ilmu pengetahuan, seperti pembukuan karya penafsiran Al-Qur’an
kemudian ada perubahan corak penafsiran yang sebelumnya hanya berdasarkan riwayat.
Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-12
sampai abad ke-18 Masehi, periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran
yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Pada masa inilah
islam memimpin peradaban dunia yang dalam sejarah peta pemikiran islam dikenal sebagai
zaman keemasan. Menurut Manna’ al-Qattan periode ini juga menjadi awal timbul banyak
pendapat, bercampurnya ilmu filsafat dengan ilmu riwayat, terutama terjadinya kefanatikan
terhadap kelompok yang dianut.
Secara garis besar, tafsir Al-Qur’an pada periode pertengahan ini diklasifikasikan
menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode I, pada zaman Bani Mu’awiyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
2. Periode II, telah dilakukan pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah
menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat di bawah ayat
tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir al-Tabari, Abu Bakar al-Naisaburi, Ibnu Abi
Hatim, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai Rasulullah, sahabat,
dan tabi’in.
3. Periode III, membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para
ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan dha’if yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini
tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.
4. Periode IV, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam,
sehingga pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassirnya.
5. Periode V, tafsir maudhu’i yaitu: tafsir dibukukan menurut suatu pembahasan tertentu sesuai
disiplin bidang keilmuan, seperti yang ditulis oleh Ibn Qayyim dalam bukunya al-Tibyan fi
Aqsam Al-Qur’an, Abu Ja’far al-Nukhas dengan Nasikh wa al-Mansukh, Al-Wahidi dengan
Asbabun Nuzul, dan Al-Jassas dengan Ahkam Al-Qur’annya.

B. Karakteristik Penafsiran Priode Pertengahan

Pada periode petengahan ini terdapat enam karakteristik, yaitu:

1. Pemaksaan gagasan pribadi kepada Al-Qur’an


Maksudnya bahwa pada zaman ini banyak kitab tafsir dibuat untuk kepentingan sendiri.
Sehingga adanya beberapa ayat yang tidak berhubungan dipaksakan kedalam satu konteks.
Sebagai contoh, penafsiran dari al-jashshash yang menghubungkan Qs. Yusuf: 26 (berbicara
tentang pengalaman pribadi Nabi Yusuf) dengan Qs. an-Nisa: 80 (berbicara tentang harta
rampasan perang).
2. Bersifat Ideologis
Maksudnya penafsiran didasarkan kepada paham, aliran atau sekte keagamaan.
Contohnya yaitu pada tafsir Mafatih al-Ghaib karangan Fakhruddin ar-Razi tentang hak
kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad terdapat dalam Qs. Al-Fatihah
ayat 6-7.
3. Bersifat Repetitif
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata
urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari
penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat
dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana
terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang
sehingga terkesan berlebihan.
4. Bersifat Parsial
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga
kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu
tema tertentu.
5. Banyak pengulangan penjelasan
Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Prof.
Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang sering
mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat.
Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang
sehingga terkesan berlebihan.
6. Terpisah dengan Hadis
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum memisahkan secara
spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis, pengkodifikasiannya pun belum ada. Pada
periode tengah ini, mulai banyak bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan
pembahasan hadis. Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang tidak berhubungan
dengan tafsir mereka.

C. Corak Tafsir
Corak tafsir adalah ciri kekhususan suatu penafsiran yang merupakan kecenderungan atau
fokus seorang mufassir dalam menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Macam-macam
corak tafsir pada periode pertengahan dibagi menjadi lima corak, yaitu:

1. Tafsir linguistik (tafsir al-Lughawi) yaitu tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an lebih
yang mendalami penguraian dari segi kebahasaan. Dikarenakan dalam Al-Qur’’an terdapat
bacaan-bacaan yang Gharib dan majaz serta ada juga lafadz lainnya yang sulit untuk
dipahami, sehingga untuk dapat memahami hal tersebut dibutuhkan ilmu bahasa Arab.
Bahkan pengetahuan terkait ilmu bahasa Arab pun termasuk syarat mutlak bagi seorang
mufassir. al-Zamakhsyari adalah satu tokoh mufassir yang dalam karyanya menjelaskan
tentang corak kebahasaan dalam Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam karya tafsirnya yang
berjudul al-Kasyaf pada Q.s al-Baqarah ayat 266:

‫ايود احدكم ان تكون له جنة من نخيل واعناب تجري من تحتها األنهار له فيها من كل الثمرات‬

Artinya: “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma
dan anggur yang mengalir di bawahnya sungaisungai; dia mempunyai dalam kebun itu
segala macam buah-buahan.”

Pada tafsir diatas beliau mengemukakan pendapat bahwa seandainya kurma dan anggur
merupakan hasil ladang yang mulia maka penyebutannya akan dikhususkan.
2. Tafsir bercorak fiqih, merupakan corak tafsir yang memfokuskan ayat-ayat Al-Qur’an yang

mengandung permasalah-permasalahan terkait hukum fiqih. Hal ini disebabkan karena


setelah Nabi SAW wafat dan hukum yang dihasilkan ijma’ ulama sangat terbatas maka
diperlukan ijtihad para ulama. Salah satu tokoh mufassir yang bercorak fiqih ialah al-
Qurthubi yang dalam karya tafsirnya berjudul Tafsir Li Ahkam Al-Qur’an, salah satu
penjelasannya mengenai hukum fiqih yaitu tentang Q.s al-Baqarah ayat 43:

‫واقيموا الصالة وءاتوا الزكوة واركعوا‬

Artinya: Dan laksanakan shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

Ada pembahasan yang cukup menarik, beliau menjelaskan tentang kebolehan anak kecil
yang menjadi imam sholat dan beliau memaparkan bahwa anak kecil tidak boleh menjadi
imam sholat.

3. Tafsir corak falsafi yaitu karya-karya tafsir yang memiliki unsur falslafah atau menafsirkan
Al-Qur’an menggunakan teori filsafat. Menurut al-Dhahabi tafsir bercorak falsafi ini
merupakan penafsiran ayatayat Al-Qur’an berdasarkan pemikiran falsafi, adapun ulama yang
mempunyai karya tafsir yang bercorak falsafi ialah Al-Farabi. Dalam karyanya yang berjudul
Fushus al-Hikam dalam Q.s al-Hadid ayat 3:

‫هو األول وآلخروالظاهر والباطن‬

Artinya: “Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”

Beliau menafsirkan dengan melihat pandangan Aristoteles bahwa pada lafadz Huwal al-
awwalu Allah lah yang menjadikan awal mula terciptanya alam semesta ini. Jelas bahwa
keberadaan Tuhan Mahakuasa di atas segala sesuatu di bumi. Di samping itu lafaz wa al-
akhiru berarti akhir yang disengaja dari sesuatu bahwa Tuhan akan mengakhiri setiap zaman
dan tidak ada apa-apa zaman atau periode yang berakhir kecuali Tuhan mengakhirinya.

4. Tafsir bercorak t'tiqad (teologis) ini muncul karena hal tersebut Al-Qur'an memuat berbagai
ajaran seperti: seperti akidah, hukum, akhlak dan lain-lain. Al-Qur'an sebagaimana adanya
memberikan ruang atau kesempatan kepada pembaca memberikan atau mengungkapkan
pendapatnya tentang arti Yang yang tertuang dalam Al-Qur’an menurut pengertiannya atau
bisa juga disebut tafsir bi al-ra’yi. Salah satu tokoh tafsir corak i'tiqadi (teologis) adalah
imam al-Qadhi Abdul Jabbar dalam karya tafsir berjudul Tafasir al-Mu'tazilah dalam Qs. al-
Anfal ayat 178 Yang pada ayat ini beliau menjelaskan serta mengemukakan pandangannya
dan meyakini bahwa manusialah yang dapat menciptakan sebuah hidayah atau petunjuk dan
begitu juga kesesatan.
5. Tafsir yang bercorak sufistik dimana para mufassir menafsirkan Al-Qur’an dengan tujuan
untuk menguatkan teori-teori sufistik dengan cara mentakwil sebuah makna ghaib atau mistis
dari ayat-ayat All-Qur’an yang tidak dilakukan oleh para mufassir non sufi. Tokoh corak
tafsir sufistik ialah Abduh Karim Ibn Hawazan Ibn Abdul Malik Ibn Thalhah Ibn Muhammad
al-Qusyairi di dalam karya tafsirnya yang berjudul lathaiful Isyarat. Dalam karyanya beliau
menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang yang didapatkan oleh para mukmin
dari para kafir setelah menjalankan peperangan atau sebuah jihad, disini beliau memaparkan
bahwa jihad terbagi menjadi dua bagian yaitu Jihad zahir (jihad kecil) yang dimana jihad ini
berbentuk melawan kaum yang musyrik, dan yang kedua yaitu Jihad Batin (jihad besar)
merupakan jihad yang bentuknya melawan hawa nafsu.
6. Tafsir corak ‘ilmi ialah penafsiran yang bertujuan untuk meneliti secara detail teori-teori
ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat Al-Qur’an, menurut Fadh Abdul Rahman corak
ini bertujuan untuk menampakkan kemukjizatan yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Imam
ar-Razi merupakan salah satu tokoh yang terkenal pada periode pertegahan. Beliau
menguraikan pada karyanya Mafatih al-Gharib dalam Q.s an-Nahl ayat 68-69 bahwa Allah
Swt. menciptakan alam semesta ini manfaat dan rezeki yang banyak dan bisa dinikmati
semua makhluk-Nya, lebah yang bisa membangun rumah semenatara manusia saja tidak bisa
membangun rumah seperti layaknya lebah. Adapun madu yang dihasilkan oleh lebah dan
dikumpulkannya oleh lebah yang dimana madu tersebut dapat berguna bagi manusia.
Sungguh, melihat tafsir beliau dalam ayat ini sangat menggambarkan bahwa Allah Maha
Bijaksana dan Maha Kuasa.
D. Tokoh Tafsir Periode Pertengahan
a) Ibnu Katsir
i. Biografi
Ibn Katsīr yang menjadi objek dalam pembahasan ini, ulama yang juga biasa di kenal
dengan nama Abu al-Fida’ ini lahir di Basrah desa Mijdal pada tahun 700 H/1300 M.
Nama lengkapnya adalah Imam ad-Dīn Abu al-Fida’ Ismail bin al-Khatib Syihab ad-Din
Abi Hafsah Umar bin Katsir al-Quraisy Asy-Syafi’i. Dalam literature-literatur yang lain
juga disebutkan nama Ibn Katsir dengan gelar al-Bushrawi dibelakang namanya, hal ini
berkaitan dengan tempat ia lahir yaitu di Basrah, begitu pula dengan gelar al-Dimasyqi,
hal ini dikarenakan kota Basrah adaalah bahagian dari kawasan Damaskus. Maka dari itu
sering juga disebutkan dengan nama Imad al-Din Ismail bin Umar Ibn Katsir al-Quraysi
al-Dimasyqi. Sejak umur tujuh tahun (ada juga pendapat yang menyebut tiga tahun) Ibnu
Katsir sudah ditinggal oleh ayahnya yang meninggal dunia. Sejak saat itu, ia diasuh oleh
kakaknya (Kamal al-Din Abd Wahhab) di Damaskus. Dari sinilah Ibnu Katsir memulai
pengembaraan keilmuannya dengan banyak bertemu dengan para ulama-ulama besar
pada saat itu, termasuk Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, dan juga Baha al-Dīn al-Qasimy
bin Asakir (w. 723), Ishaq bin Yahya al-Amidi (w. 728). Ibnu Katsīr juga banyak
mendalami ilmu-ilmu keislaman lainnya, selain dalam bidang tafsir Ibnu Katsir juga
sangat menguasai bidang hadis, fiqih, dan sejarah. Hal itu dibuktikan dengan banyak
karya-karyanya yang berkaitan dengan hal tersebut. Maka dari itu, sangat wajar jika dia
diberi gelar sebagai mufassir, muhaddits, faqīh, dan muarrikh. Karir intelektual Ibn Katsīr
mulai menanjak setelah ia banyak menduduki jabatan-jabatan penting sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Misalnya dalam bidang hadis, pada tahun 748 H/1348 M, Ibn
Katsīr menggantikan gurunya Muhammad Ibn Muhammad al-Zahabi (1284-1348 M) di
Turba Umm Salih (lembaga Pendidikan), dan pada tahun 756 H/1355 M diangkat
menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (lembaga pendidikan Hadis) setelah
meninggalnya Hakim Taqiyuddin al-Subki (683-756 H/1284-1355 M). kemudian tahun
768 H/1366 M diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid
Umayah Damaskus. Dan pada akhirnya pada tahun 774 H di usia 74 tahun, Ibn Katsīr
meninggal dunia dan dimakamkan disamping Ibnu Taimiyah (gurunya) Karya-karya yang
pernah dihasilkan oleh Ibnu Katsir adalah: Dalam bidang Sejarah, Ibnu Katsir menulis
beberapa kitab antara lain al-Bidāyah wa al-Nihāyah (yang terdiri dari 14 jilid), al-Fusūl
fī Sirah al-Rasūl, Thabaqāt asy-Syafi’iyyah, Qasas al-Anbiya, dan Manaqib al-Imām al-
Syafi’I. Dari ketiga buku tersebut, al-Bidāyah wa al-Nihāyah adalah karya
monumentalnya dalam bidang sejarah. Kitab ini sampai sekarang masih menjadi kitab
rujukan primer dalam kajian sejarah Islam. Dalam bidang hadis, Ibn Katsīr menulis
sejumlah kitab diantaranya Kitab jami al-Masānid wa al-Sunan, al-Kutub al-Sittah, al-
Takmīlah fī Ma’rifat al-Siqāt wa al-Du’afā wa al-Mujāhal, alMukhtasar sebagai
ringkasan kitab Muqaddimah li ‘Ulum al-Hadīs karya Ibn Salah, dan Adillah al-Tanbih li
‘Ulum al-Hadīs. Disamping itu, Ibnu Katsir juga mensyarahi kitab Shahih Bukhāri yang
penyelesaiannya dilanjut oleh Ibn Hajar al-Asqalāni. Dalam bidang fiqih, karyanya tidak
terselesaikan. Ia berencana untuk membuat sebuah kitab fiqih yang berlandaskan al-
Qur’ān dan al-hadis, tetapi hanya satu bab yang mengenai ibadah dalam persoalan haji
yang ditulis dalam satu bab. Dalam bidang tafsir ia menulis kitab tafsir 30 juz yang
berjudul Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm atau yang disebut juga Tafsīr Ibnu Katsīr
Dalam meliahat periode munculnya tafsir Ibn Katsīr, penulis membacanya
dengan periodesasi penafsiran yang dibuat oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya
Dinamika Sejarah Tafsir alQur’ān. Yang juga dari periodesasi itu dimungkinkan juga bisa
membaca karakteristik penafsiran pada era pertengahan. Berdasarkan periodesasi tersebut
maka Tafsir Ibn Katsīr dapat digolongkan ke dalam tafsir era peretngahan. atau dalam
buku lain yang juga ditulis oleh Abdul Mustaqim diistilahkan dengan era afirmatif
dengan nalar ideologis. Karakteristik penafsiran di era tersebut menurut Abdul Mustaqim
adalah banyak dipengaruhi atau lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik,
golongan, mazhab, ideology keilmuan, karena itulah diistilahkan era afirmatif dengan
nalar ideologis. Namun menurut hemat penulis karakteristik tiap periode ini agaknya
tidak juga bisa digeneralisasikan bahwa semua tafsir di era peretngahan sarat dengan
kepentingan-kepentingan politik atau golongan. Tafsir Ibnu Katsir misalnya ketika
menafsirkan ayat tentang antropomorphisme, Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “ِ ” َ‫يُد َّ لال‬
dalam surat al-fath ayat 10, hal itu tidak sama sebagaiman asy’ariyah menafsirkan
kalimat itu, padahal mazhab yang dianut oleh Ibnu Katsir sendiri adalah Ahlusunnah wal
Jama’ah. Ibn Katsīr menafsirkan surat al-fath ayat 10 itu, ia mengatakan:

}‫ فهو تعالى هو‬،‫ ويعلم ضمائرهم وظواهرهم‬،‫ هو حاضر معهم يسمع أقوالهم ويرى مكانهم‬:‫ق َأ ْي ِدي ِه ْم } اي‬
َ ‫يَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ْو‬
‫المبايع بواسطة رسول‬
Tuhan berada bersama mereka, Allah mendengarkan perkataan mereka, allah
mengetahui yang nampak dan tersembunyi. Dialah Allah sebagi tempat berbaiat dengan
perantaraan rasulNya.
Dengan melihat penafsiran tersebut, menurut penulis Ibnu Katsir dalam konteks
ini tidak berada pada posisi sebagai asy’ariyah dan juga tidak berada dalam posisi
mu’tzailah21, Ibnu katsir menafsirkan ِ ‫ َ ” لال َّ دُي‬tidak berarti kekuasaan seperti yang
ditafsirkan oleh kalangan Mu’tazilah dan juga tidak menafsirkan sebagai tangan tuhan
yang tidak bisa digambarkan atau didefenisikan seperti prinsip/ ajaran yang dibawa oleh
asy’ariyah. Ibnu katsir mencoba keluar dari kedua pandangan itu dengan mencoba
menakwilkan seperti yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, bahwa tafsir Ibn
Katsīr terpengaruh dari kepentingan-kepentingan golongan, hal itu mungkin tidak dalam
konteks ini. Berkaitan dengan kecenderungan/metodologi yang digunakan oleh Ibn Katsīr
dalam tafsirnya, penulis akan menguraikan satu per satu yang berkaitan dengan
komponen internal tafsir Ibnu Katsīr yang terdiri dari bentuk tafsir dan metode tafsir
dengan menggunakan pemetaan dari Nasharuddin Baidan.

ii. Bentuk tafsir


Mengenai bentuk tafsir, berdasarkan pemetaan oleh Nasharuddin Baidan bahwa
bentuk tafsir ada dua yakni tafsir bil ma’tsūr (berdasarkan riwayat), dan yang kedua tafsir
bil ra’yi (akal). Dengan melihat sejarah penafsiran al-Qur’ān, bentuk tafsir bil ma’tsūr
bisa dikatakan adalah bentuk yang pertama lahir dalam penafsiran al-Qur’an, hal ini
menurut penulis lebih dikarenakan masa yang tidak terlalu jauh dari Nabi sehingga
penafsiran-penafsirannya lebih banyak melihat hadis-hadis Nabi (selaku penafsir pertama
al-Qur’ān) dan pendapat-pendapat para sahabat dan para tabi’in (dalam ilmu Hadis
disebut hadis mauqūf dan maqhtu’). walaupun kemudian masa pertengahan adalah masa
pergeseran dari bil ma”tsūr ke tafsir bil ra’yi. Jika melihat Tafsir Ibn Katsīr walaupun
masuk kedalam era pertengahan, dimana era ini tafsir bil ra’yi sudah sedikit
mendominasi, akan tetapi tafsir Ibn Katsīr kecenderungannya lebih menggunakan bentuk
tafsir bil ma’tsūr , menurut Adz-Zahabi Tafsir Ibn katsīr, menggunakan metode
menafsirkan al-Qur’ān dengan alQur’ān, menafsirkan al-Qur’ān dengan hadis,
menafsirkan al-Qur’ān dengan melihat ijitihad-ijtihad para sahabat dan tabi’in, menurut
Ibn Katsīr dalam muqaddimah tafsirnya menyebut bahwa metode tersebut adalah metode
yang terbaik dalam penafsiran al-Qur’an. Metode menafsirkan al-Qur’ān dengan al-
Qur’ān, al-Qur’ān dengan hadis dan seterusnya adalah merupakan prinsip-prinsip yang
dipakai pada bentuk tafsir bil ma’tsur. Walupun sebenarnya tidak menutup kemungkinan
ada bentuk-bentuk bil ra’yi dalam penafsirannya, sebagai contoh penakwilannya tentang
ayat antropomorphisme di atas menunjukkan bahwa Ibn Katsīr juag menggunakan ra’yu
dalam penafsirannya. Akan tetapi dengan melihat tafsirannya secara keseluruhan, bentuk
bil ma’tsūr lebih mendominasi. Hal itu dibuktikan banyaknya hadis-hadis yang
digunakan oleh Ibn Katsīr dalam penafsirannya. Hal ini bisa jadi, dikarenakan bahwa Ibn
Katsīr adalah seorang yang pakar dibidang hadis (dan diberi gelar sebagai muhaddis).
iii. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah berkaitan dengan model penyajian. Nasaruddin Baidan
membagi metode tafsir dalam empat bagian yaitu metode global (Manhaj Ijmāli) ,
Metode Analitis (Manhaj Tahlīli), Metode Tematik (Manhaj Mawdhu’i), dan Metode
Komparatif (Manhaj Muqāran). Dalam penyajian tafsir Ibn Katsīr ini, menggunakan
metode analitis (tahlili). Ibn Katsīr dalam tafsirnya menyajikannya secara runtut mulai
dari surat al-Fatihah, al-Baqarah sampai al-Nas sesuai dengan mushaf Usmani. Dengan
tidak mengabaikan aspek asbāb al-nuzūl dan juga munasabat ayat atau melihat hubungan
ayat-ayat al-Qur’ān antara satu sama lain. Namun demikian, metode penafsiran kitab ini
juga bisa dikatakan semi temati, karena dalam pembahasannya mengelompokkan
ayatayat (sesuai urutan ayat) yang dianggap memiliki keterkaitan, kadang dua ayat,
kadang tiga ayat dan kadang pula empat ayat.

b) Imam Fakhruddin ar-Rāzī


i. Biografi
Imam Fakhruddin ar-Rāzī Beliau bernama Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Umar arRāzī yang mempunyai laqob atau gelar sebagai Fakhruddin. Ar-Rāzī lahir di Ray
1 pada tanggal 15 Ramadhan tahun 554 H, dan wafat di harat tahun 606 H. Beliau Berasal
dari keluarga yang berpendidikan, sehingga tidak aneh jika sewaktu kecil Fakruddin ar-
Rāzī telah bergelut dengan ilmu berbagai agama. Ayahnya bernama Dhiya‟uddin Umar
seorang Ulama bermadzhab Syafi’iyyah adalah guru utamanya. Dibawah bimbingan ayah
sekaligus gurunya, Fakruddin ar-Rāzī memperoleh banyak pengetahuan diantaranya di
bidang Fikih, Ushul Fikih, dan Ilmu Kalam. Disamping itu Fakhruddin ar-Rāzī juga
belajar kepada beberapa ulama seperti Majdi al-Jaili sehingga memperoleh ilmu Teologi
dan Filsafat, sedangkan ilmu Fikih dan Ushul Fikih didapat dari al-Kamal as Sam’ani.
ii. Karya-karya
Fahruddin ar-Rāzī Imam Fahruddin ar-Rāzī telah mewariskan perbendaharaan
keilmuan yang besar dengan karya-karyanya yang bermanfaat semasa hidupnya dan
setelah wafatnya, disambut baik oleh banyak orang. Mereka mempelajarinya,
memanfaatkan peniggalan Ulama besar itu yang karangannya mencapai 200 kitab. Di
antara karya-karya Imam Fahruddin ar-Rāzī yang terkenal ialah:
a. At-Tafsīr al-Kabīr li al-Qur’an al-Karīm (Mafātīḥ al-Gaib)
b. Asrātut Tanzil wa Anwārut Ta’wil
c. Ihkamul Ahkam
d. Al-Muhassal Fi Usulil Fiqih
e. Al-Burhan Fi Qira’atil Qur’an
iii. Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib Karya Fahruddin ar-Rāzī
Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib Kitab Tafsīr Maftīḥ al-Gaib atau sering disebut at-Tafsīr
Kabīr terdiri dari 16 jilid. Dalam tafsir ini ar-Razi berupaya mencurahkan segenap
ilmunya, sehingga tafsir ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir
lainnya. Ayat-ayat yang berkaitan dengan filsafat, beliau tuangkan bahasan-bahasan yang
bersifat falsafi. Sementara ayat-ayat yang menyentuh bidang teologi beliau curahkan
segala kemampuannya dalam bidang teologis meskipun pada prinsipnya cenderung
membela paham Ahlus Sunnah, sedangkan untuk ayat-ayat yang berhubungan dengan
fikih beliau berusaha menyajikan perbincangan-perbincangan mengenai fikih dan
cenderung membela madzhab Syafi‟i, demikian pula dengan ayat-ayat yang menyangkut
bidang kesehatan, kedokteran, fenomena fisika, dan sebagainya ar-Rāzī berupaya
mengungkapkannya berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikinya.
iv. Corak Penafsiran Fakhruddin ar-Rāzī dalam Kitab Tafsīr Mafātīīḥ al-Gaib
Imam Fakhruddin ar-Rāzī pemilik kitab Tafsīr Mafātīḥ alGaib, yang kemudian
lebih populer dengan nama At Tafsīr al-Kabīr, telah menerapkan ilmu pengetahuan yang
bercorak saintisis dan pemikiran yang dilahirkan oleh lingkungan Islam untuk memahami
ayat-ayat al-Qur‟an. Sehingga ada sebagian ulama yang berkomentar: “Al-Fakhruddin ar-
Rāzī telah memaparkan segala hal dalam kitab tafsirnya, kecuali tafsir itu sendiri. Berikut
ini merupakan bebeberapa corak penafsiran ar-Razi dalam kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib
antara lain yaitu:
1. Penafsirannya banyak mengarah kepada ilmu kealaman, ilmu pasti dan filsafat.
2. Dalam penafsiran mengenai persoalan kalam ar-Rāzī cenderung membela paham asy’
ariyah (Ahlus Sunnah). Untuk kepentingan ini ar-Razi menguraikan berbagai
pendapat ahli kalam dan kemudian membantahnya dengan pendapat Asy’ari.
v. Metode Penafsiran kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib berikut ini merupakan metode penafsiran
ar-Rāzī dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib diantaranya ialah:
1. Fakhruddin ar-Rāzī dalam kitab tafsirnya mencurahkan perhatian untuk menerangkan
korelasi Munasabah antara ayat dan surat alQur’an,
2. Fakhruddin ar-Rāzī banyak menguraikan ilmu Eksakta , Fisika , Falak , filsafat 1, dan
kajian-kajian masalah ketuhanan menurut metode dan argumentasi para filosof yang
rasional,
3. Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib dalam penafsirannya menggunakan metode tahlilī,
yakni menafsirkan al-Qur‟an ayat-ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai
dengan susunan ayat dan surat dalam al-Qur‟an mushaf Utsmany.
4. Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib, merupakan produk tafsir yang mengambil bentuk
penafsiran bi-Ra’yi (rasio).

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Qurrotul. "Biografi Imam Ar-Razi." Repostory IAIN Kudus, 2022: 43-51.
Huda, Nana Najatul. "Analisis Sistematis Corak-corak Tafsir Periode Pertengahan antara." Gunung Djati
Conference Series, 2022: 4-11.
Maliki. " TAFSIR IBN KATSIR: METODE DAN BENTUK PENAFSIRANNYA." El-Umdah, 2018: 74-
85.
Maulana, Muhammad Erpian. "Corak Tafsir Periode Pertengahan." Bayani: Jurnal Islam, 2021: 1-3.

Anda mungkin juga menyukai