Anda di halaman 1dari 3

UJIAN AKHIR SEMESTER

KAJIAN TAFSIR KLASIK


Dosen Pengampu: Hana Natasya, M.Ag
Siti Tsaltsa Khairiyah
20211506
IAT/4D
1. Perkembangan Penafsiran

a. Perkembangan penafsiran dari zaman Rasulullah SAW sampai pertengahan diawali


Periode pertama, zaman Rasul Allah s.a.w dan sahabat. Periode kedua, masa tabiin. Periode
ketiga, tafsir mamasuki zaman kodifikasi. Periode ini dimulai di akhir pemerintahan Bani
Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyah. Dan lanjut Perkembangan tafsir abad
pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu
pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age). Perkembangan penafsiran tidak lepas
dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat
dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang
mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
mazhab/aliran tertentu.

b. Tafsir abad ke-1 : periode penafsiran masa Rasulullah, Shabat dan Tabi’in

Tafsir abad ke-2 : Tafsir Ma’ani Al-Qur’an karya Al-Farra’

Tafsir abad ke-3 : Tafsir Jami’ Al-Bayan fii Tafsir Al-Qur’an karya At-
Thabari

Tafsir abad ke-4 : Tafsir Ma’allim At-Tanzil karya Al-Baghawi

Tafsir abad ke-5 : Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-zamakhsari

Tafsir abad ke-6 : Tafsir Mafatih Al-Gharib karya Fakhruddin Al-Razi.

c. Perbedaan model kitab tafsir klasik pertengahan dengan masa kontemporer sangat
terlihat. Pada kitab tafsir klasik Model penfsirannya yang sangat kaku dan gersang karena
penafsiran hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimat dari
segi I’rab, dan penjelasan lainnya yang menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat-ayat Al-qur’an. Ini berarti, para mufassir belum maksimal dalam menjadikan Al-
qur’an sebagai hudan karena uraian penafsiran dari kandungan ayat-ayat Al-qur’an relatif
sangat”dangkal” . sedangkan tafsir kontemporer metode penafsiran Al-qur’an yang berkembang
sudah sangat beragam.

2. Metode, corak, sistematika dan karakteristik dalam kitab-kitab tafsir

a. Tafsir Jam’I li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi. Merupakan kitab tafsir


yang bercorak fikih. Judul lengkap kitab tafsir ini adalah Al-Jami’ lil Ahkām al-Qur’ān wa al-
Mubīn Lima Tadammanhu min al-Sunnah wa ai al-Furqān, yang berarti kitab ini berisi himpunan
hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat
al-Qur’an. Latar belakang mengapa Al-Qurtubi menyusun kitab tafsir ini adalah semata-mata
karena dorongan hatinya, bukan atas permintaan seorang tokoh ataupun mimpi. Tafsir ini dikenal
dengan tiga macam sistematika (tartib), yakni Mushafi, Nuzuli dan Maudu’i.
b. Tafsir Al-Durr Al-mantsur fi Tafsir bi Al-Ma’tsur karya Assuyuti. Kitab tafsir
yang mengikuti metode tafsir bil ma’tsur. Al-Durr al-Mantsur menjelaskan isinya dengan
menggunakan metode muqorrin yaitu membandingkan ayat yang sebelumnya. digolongkan ke
dalam tafsir bi al-Ma’tsur. Hal ini disebabkan karena dalam kitabnya, as-Suyuthi memasukkan
berbagai jalur riwayat yang beliau dapatkan. Riwayat dari Nabi, Sahabat, maupun Tabi’in. Selain
itu, as-Suyuthi juga memasukkan beberapa jalur periwayatan yang ia dapat dari berbagai kitab
yang telah dikarang pada masa di atasnya.
c. Tafsir Al-Qur.an Al’Adzim karya Ibnu Katsir. kitab tafsir dengan corak otoritas
(al-laun wa al-ittijah) yaitu tafsir bil ma’tsur/tafsir bil riwayah, karena dalam tafsir tersebut sangat
dominan menggunakan riwayat/hadits, pendapat para sahabat, dan tabi’in. karakteristik banyak
dipengaruhi atau lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, golongan, mazhab,
ideology keilmuan, karena itulah diistilahkan era afirmatif dengan nalar ideologis. Sistematika
yang ditempuh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat- ayat al-Qur’an sesuai
susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, dimulai dengan surat
al-Fatihaḧ dan di akhiri dengan surat an-Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib
mushaf.
3. Ideologi dan madzhab fiqih As-Syaukani. Imam asy-syaukani bermadzhab Zaidi,
salah satu cabang dari paham Syi’ah dan biasa disebut dengan aliran Syi’ah Zaidiyah. Kelompok
ini memandang bahwa Imam Ali yang sebenarnya lebih berhak mengganti khalifah setelah
Rasulullah SAW wafat. Dalam bidang fiqh, madzhab Zaidi lebih dekat dengan fiqh Sunni
dibandingkan dengan madzhab fiqh Syi’ah. Menurut Abu Zahra, dalam bidang fiqh mu’amalahnya
ia mengikuti madzhab Hanafi, lantaran Abu Hanifah pernah berguru kepada Zaid. asy-Syaukani
berpandangan bahwa barang siapa yang mampu berijtihad maka baginya wajib berijtihad. Ia
mengkritik keras masalah taqlid karena dapat menyebabkan kemunduran dan kemandekan suatu
ilmu. Baginya, pemahaman hukum yang di dasarkan pada sumber hukum al Qur’an dan al Hadits,
bukan berarti menggali langsung dari sumbernya. Dalam istilah ushul fiqh sunni disebut muttabi’
bukan muqalid. Ia tidak mewajibkan seseorang untuk menjadi mujtahid, tetapi minimal
mengetahui dasar hukum yang diambil oleh seorang mujtahid yang akan diikutinya.
Ideologi dan Madzhab fiqih Al-Qurthubi. Imam alqurtubi mermazhab imam maliki dan
mengikuti aliran asyariyah. Ia tidak mempermasalahkan ideologinya yang terbukti dengan
kitabnya yang tidak contong bahkan kepada mazhab yang dianutnya.
Ideologi dan Madzhab Fiqih Al-Lusi. Imam Al-Lusi bermadzhab Hanafi. Awalnya
imam Al-Lusi mengikuti Maturidiah dan awal mula bermadzhab syafi’I. Namu, Imam Al-Lusi
berpindah Madzhab Hanafi di tahun1248 H.

Anda mungkin juga menyukai