A. Pendahuluan
Penafsiran terhadap al-Qur’an sudah sejak lama dilakukan, bahkan sejak pertama kali
al-Qur’an diturunkan. Seiring dengan telah dilakukannya penafsiran oleh Nabi Saw, dan para
sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir sudah berjalan kala itu. Dengan bergulirnya
masa dan rentang waktu yang panjang hingga sekarang, tafsir sebuah hasil dialektika antara
teks yang statis dan konteks yang dinamis memang harus mengalami perkembangan dan
bahkan perubahan, hal ini merupakan konsekuwensi logis. Dengan meminjam istilahnya
Mohammad Arkoun bahwa al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak
terbatas. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti
dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Mengikuti alur pikir ini, model perkembangan tafsir seperti diatas terus berkembang,
mulai dari model menggunakan penafsiran disepakati ulama klasik, seperti bima’tsur, hingga
yang dalam sejarah perkembangan tasir persinggungan kondisi dan teks inti (al-Qur’an) tidak
terelakkan lagi. Dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dialognya dengan teks
pihak lain memicu pada corak tafsir dari masa-kemasa yang beragam. Dimana dalam hal ini
tafsir al-Kahzin ikut berperan serta dalam kronologis perkembangan pemikiran al-Qur’an
pada umumnya dan tafsir khususnya. Melalui karyanya tafsir luba>b al-ta’wil fi ma’a>ni al-
tanzi>l beliau berpendapat bahwa sarana dalam memahami al-Qu’ran bisa melalui kisah-
kisah isra’iliyyat, terlepas disaat itu pro-kontra dalam penggunaan isra’iliyyat. Dalam
makalah ini sedikit banyaknya akan difokuskan pada penjelasan al-Khazin tentang al-Qur’an,
tafsir dan ta’wil, serta corak dominasi dalam penafsirannya.
1
B. Sketsa Kehidupan al-Khazin
Beliau bernama lengkap ‘Ala al-Din Abu Hasan ‘Ali Abu Muhammad bin Ibrahim
bin Umar bin Khalil al-Syaikhi al-Baghdadi al-Syafi’i al-Kha>zin. Bahkan dikalangan ulama
mufassir ia lebih dikenal dengan sebutan al-Kha>zin (yang berarti penjaga)1. Ada juga yang
berpendapat bahwa gelar itu didapat karena beliau menjadi penjaga buku-buku Khanaqah
(majlis tasawwuf) al-Samaisatiyyah di Damaskus. Ketika beliau bekerja menjaga
perpustakaan beliau banyak membaca berbagai kitab tafsir, beliau mengagumi beberapa buah
buku tafsir dan mencoba menulis suatu tafsir yang ia sarikan dari hasil bacaan yang ia
dapatkan dari beberapa tafsir yang ia baca2. Yang jelas ia merupakan tokoh mufassir yang
disegani dikalangan para ulama, hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Qadi Syah}bah yang
menyatakan bahwa al-Kha>zin merupakan seorang yang intelektual yang mumpuni dalam
berbagai bidang, ini terlihat dalam berbagai karya-karya yang ia telurkan. Ia dilahirkan di
Baghdad pada tahun 678 H, yang pada saat itu Baghdad berada dalam kekuasaan raja ke dua
dinasti Ilkhaniyyah setelah Hulagu, yaitu Abaqa (memerintah tahun 663-680 H), sedangkan
Damaskus berada dalam kekuasaan Bani Saljuk. Beliau adalah orang yang baik perawakan
dan pengasih dan beliaupun dikenal sebagai tokoh sufi.
Dalam perjalanan menuntut ilmu, ia banyak berguru pada para ulama di berbagai
tempat, seperti ketika masih berada di Baghdad, beliau belajar kepada Ibn Al-Dualibi dan di
daerah Damaskus ia belajar belajar kepada al-Qa>sim bin Muzaffar dan Ummu Abdillah
wazirah binti Umar bin Asad. Hingga ia paham akan keilmuan Tafsir, Hadis serta ilmu-ilmu
lain. Beliau berkonsentrasi terhadap banyak cabang ilmu, juga seorang penulis yang
produktif. Diantara karya beliau adalah Tafsir Al-Kha>zin yang berjudul tafsir luba>b al-
ta’wil fi ma’a>ni al-tanzi>l, sebuah ringkasan dari kitab tafsir al-Baghawi “Ma’alim al-
Tanzi>l”. Selain perhatiannya pada tafsir ia juga konsen dalam bidang hadis, ini terbukti dari
munculnya kitab karangannya yaitu kitab Maqbul al-Manqul dalam 10 jilid, yang didalamnya
terhimpun Musnad Imam Ahmad, Musnad Al-Shafi’i, Kutub al-Sittah, al-Muwatta’ Imam
Malik dan Sunan al-Daruqutni dengan tersusun secara sistematis, beliau juga mengarang
kitab sejarah “Sirah Nabawiyyah” dengan format besar, dengan demikian ia juga bisa disebut
1
Hasan Yunus Abudi, Dira>sat wa Maba>hits fi Tarikh al-Tafsir wa Mana>hij al-Mufassiri>n,
(Kairo: Al-Azhar University, 1991), hlm. 144. Lihat juga di Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-
Mufassiru>n, I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), hlm. 220.
2
Husein Muhammad az-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an, terj,
Hamim Ilyas&Machun Husein, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 27.
2
intelektual yang multitalenta, mahir dalam ilmu tafsir juga paham akan ilmu hadis dan ilmu
dibidang lain. Karena ia juga disebut sebagai ulama sufi yang tentunya memiliki kepribadian
yang baik. Beliau wafat pada tahun 741 H di kota Halb (Aleppo)3.
3
Hasan Yunus Abudi, Dirasat wa Mabahits fi Tarikh...hlm. 145. Kota Heleb(Halb) atau Aleppo dalam
bahasa Italia, English, German disebut dengan kota Aleppo. Kota ini Dahulunya bernama Halb, konon alasan
penamaannya dengan Halab (Aleppo) adalah karena Nabi Ibrahim a.s. ketika lewat di daerah Irak menuju
Kan’an beliau memerah susu (dalam bahasa Arab halab = memerah) seekor sapi kepala putih di sebuah bukit di
lokasi benteng Aleppo. kota Aleppo berhasil ditakhlukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun
16H/636M dengan mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah untuk berangkat ke daerah Syam. Kota ini dalam sejarah
cukup penting, karena sempat dibwaha pemerintah Umayyah, Romawi, Fatimiah dan Seljuk, hingga Perancis.
Lebih lengkap lihat B. Lewis, J.Schacht, V.L. Menage, dkk. The Ensiklopedia of Islam, Vol III ( Leiden;
E.J.brill, 1960), hlm. 85-88.
4
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin al-musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, (Beirut: Daar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), hlm. 5.
5
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun...hlm. 221.
3
Tentang al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf dan pendapat-pendapat seputar
masalah tersebut
Terakhir menjelaskan tentang makna tafsir dan ta’wil, dan mulai menafsirkan al-
Qur’an, dari ta’awwuz hingga akhir Surat an-Nass6.
Bila dilihat penafsiran yang dilakukan al-Kha>zin, dilihat dari tertib ayatnya,
menempuh sistematika tartib mushafi (urutan ayat dan surat), sedangkan metodenya ialah
metode tahlili yaitu menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an
dengan mengungkapkan segenap pengertian yang ditujunya. Sedangkan corak penafsirannya
ialah tafsir bira’yi yang mahmudah.
6
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin,..hlm.5-18.
7
Mana’ al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Hidayah : Surabaya, tt), hlm. 21.
8
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin..., hlm. 7.
4
warnanya untuk menunjukkan adanya penyakit bagi si sakit” maka kita dihadapkan pada dua
perkara yaitu, pertama materi yang diamati dokter untuk menyingkapkan penyakit, yang
disebut tafsirah. Dan kedua adalah tindakan yang memungkinkannya untuk meneliti materi
dan menyingkapkan penyakit9.
Tidak jauh berbeda dengan al-Asfahani, al-Kha>zin juga memberikan pengertian
tafsir bila jika ditarik dari asal katanya yaitu dapat diartikan ”fasara”, yang berarti menguak,
menyibak, mengungkapkan apa yang tidak terbaca, terlihat, atau tertutup. Atau dalam arti
bahwa tafsir tersebut ialah suatu proses adanya upaya dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan makna yang rasio, maka penjelasan tersebut dan makna-makna yang terkandung
dalamnya itulah yang bisa disebut dengan tafsir. Selain pengertian tersebut tafsir juga bisa
mengandung arti bahwa adanya upaya untuk mengungkap makna-makna mufradat (kata) dan
yang mengandung arti asing (gharib). Untuk mempermudah pemahaman mengenai defenisi
tafsir al-Khazin mengumpamakan seperti ketika seseorang berupaya melakukan penafsiran
maka sama halnya seorang penyembuh dalam usahanya menemukan atau menyembuhkan
gejala penyakit yang diderita seseorang Oleh karenanya seorang penafsir juga adanya usaha
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan kisah-kisah yang terdapat didalamnya.10
Dengan demikian, tafsir menurut bahasa berasal dari makna memperlihatkan dan
menyingkapkan. Menurut bahasa ia berasal dari masdar tafsirah, yaitu sedikit air yang
dipakai dokter untuk sampel. Dengan pengamatannya itu ia dapat menemukan penyakit
pasien. Demikian pula seorang mufassir yang menyingkapkan masalah ayat, cerita, dan
maknanya, serta penyebab turunnya. Dengan demikian, tafsir adalah penyingkapan maksud
yang terkunci lewat kata serta mengeluarkan sesuatu yang tertahan untuk dipahami.
Selanjutnya ta’wil. Akar kata “ta’wil” berasal dari kata al-awal yang berarti
kembali/pulang-ruju’ ‘ala, ya’ulu, awlan, ma’alan berarti raja’a. Bagi al-Khazin ia
membedakan antara pengertian tafsir dan ta’wil tersebut. Ia mendefenisikan ta’wil sebagai
ُ )الرُّ جُوmakna pada proposisi yang sesungguhnya, dalam
kembali atau mengembalikan (ُع
artian mengembalikan pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang
dimaksudkan oleh lafaz ayat-ayat tersebut11. Dalam arti luas dapat didefenisikan bahwa
kembali pada asal-usul sesuatu tujuan, dengan menjelaskan makna ayat tersebut. Kata ta’wil
ini muncul dalam al-Qur ‘an sebanyak 17 kali12, sementara kata tafsir muncul hanya sekali13.
9
al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut:Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 394.
10
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin...hlm. 18.
11
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin...hlm. 18.
12
Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, ( Yogyakarta : LkiS, 2003), hlm. 192. Lihat juga
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2002), hlm.61
5
Tentunya ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih populer dalam bahasa pada umumya, dan
dalam teks khususnya, daripada kata tafsir, walaupun dikalangan ulama masih ada yang
menyamakan antar tafsir dan ta’wil dan ada juga yang berpendapat tafsir lebih umum dari
pada ta’wil14.
Sebagai contoh mempermudah pemahaman dalam membedakan antara tafsir dan
ta’wil penulis menggambarkan dalam ayat al-Qur’an, yaitu :
ُ …ُُُُُ…
”...Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati...” (Q.S. al-Imron: 27)
Disini Jika dikehendaki itu mengeluarkan burung dari telur maka dinamailah tafsir.
Jika yang dimaksud dengan mengeluarkan yang hidup dari yang mati, mengeluarkan orang
mukmin dari orang kafir atau mengeluarkan orang pandai dari orang yang kurang pandai
maka itu dinamakan ta’wil.
Setelah mengetahui pengertian antara “tafsir” dan “ta’wil’ menurut bahasa, terdapat
perbedaan yang penting antara keduanya tercermin dalam kenyataan bahwa proses “tafsir”
membutuhkan “tafsirah“, yaitu medium yang dicermati mufassir sehingga ia dapat
menyingkapkan apa yang dikehendakinya. Sementara “ta’wil” merupakan proses yang tidak
selalu membutuhkan medium ini, bahkan kadang-kadang berdasarkan pada gerak mental
dalam menemukan asal mula dari sebuah gejala, atau dalam mengamati akibatnya. Dengan
kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara “zat/subjek”
dan “objek”, sementara hubungan ini dalam proses “tafsir” bukanlah hubungan langsung
tetapi hubungan melalui medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu yang
bermakna15.
Perbedaan antara tafsir dan ta’wil bukanlah dalam arti paradoksial, namun dilihat dari
sisi spesifikasi, perbedaan dari segi sifat keduanya16. Disini al-Kha>zin tidak menjelaskan
ُ 13 ُ ُ
ُ
ُ
ُ
ُ ُ
ُ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (Q.S.al-Furqon : 33).
14
Muhammad Abdul ‘Azim az-Zarqani, Manahil ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Beirut: Daar Kitab
Ilmiyyah, 1996), hlm. 7.
15
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- konsep Kunci
(Jakarta: Pramadina, 2002). hlm.
16
Disini ada perbedaan pendapat, ada yang menyebutkan bahwa tafsir sama dengan ta’wil (ini
dikalangan mutaqaddimin). Ada juga yang memedakan diantara keduany; 1). Tafsir tersebut berbeda dengan
ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus, tafsir lebih umum dari pada ta’wil. Ta’wil
biasanya bermain diwilayah ayat-ayat mustasyabihat, jadi menta’wilkan ayat-ayat yang mutasyabihat disebut
tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut ta’wil. 2). Tafsir menerangkan makna lafaz (ayat) melalu
6
secara rinci perbedaan antar tafsir dan ta’wil. Baginya tafsir ialah penjelasan makna yang
didapatkan dari al-Qur’an sedangkan ta’wil hanya berkisar atau terbatas pada pemahaman
yang benar dari redaksi ayat tersebut.
pendekatan riwayat, sdangkan ta’wil melalui pendekatan dirayah, 3). Tafsir menerangkan makna-makna yang
diabil dari bentuk yang tersurat, sedangkan ta’wil dari yang tersirat. Selengkapnya lihat Muhammad Abdul
‘Azim az-Zarqani, Manahil ‘Irfan...hlm. 7-8.
17
Lebih lengkap Subhi menyebutkan bahwa al-Khazin lebih banyak menyertakan riwayat-riwayat
tanpa menyebut isnad-isnadnya. Lihat Subhi as-Shalih Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, (Beirut: Daar Ilmi
limaliyin, 1985), hlm. 388.
7
isra’iliyyat.18 Ia juga menyertakan cerita-cerita atau kisah yang ganjil, hanya saja tidak
berkaitan dengan akidah19.
Senada dengan al-Maraghi, Husein az-Zahabi ia mengemukakan bahwa al-Khazin
banyak menggunakan kisah-kisah israiliyyat tanpa penelitian yang kritis dan mendalam,
diantara tafsir-tafsir lain yang bercorak ra’yi. Juga al-Khazin dalam mengemukakan riwayat-
riwayat yang isra>’iliyya>t tidak menyertai sanad, terkadang memberi isyarat terhadap
kelemahannya, dan ketidak sahihannya, namun terkadang tidak memberikan penilaian sama
sekali, walaupun riwayat tersebut bertentangan dengan ajaran syari’at.
Sebagai contoh penafsiran isra’iliyyat al-Khazin ialah ketika ia menafsirkan surat al-
Kahfi ayat 10 ;
ُ ُُُُُُُُُُُُُُُُ
”(ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu
mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)." (Q.S. al-
Khafi : 10)
Dalam ayat ini ia mengemukakan kisah Asha>bul Kahfi dan sebab-sebab mereka
keluar menuju gua dengan sangat panjang. Riwayat kisah ini ia dapatkan dari Muhammad ibn
Ishaq dan Muhammad Ibn Yasar. Dalam kisah itu al-Kha>zin mengemukakan jumlah
pemuda itu 9 orang dan yang kesepuluh adalah anjingnya 20. Walaupun riwayat tersebut
panjang, namun ia tidak menyebutkan sanadnya secara lengkap, dan berhenti pada
meriwayatkannya saja tanpa memberikan suatu komentar dan penilaian terhadap kualitas dan
validitas terhadap riwayat tersebut baik dari aspek sanad maupun isi dari kisah diatas21.
Dengan demikian bisa dibilang status hadis baik dari sanad bisa di verifikasi atau diteliti
kembali.
Contoh lain misalnya dalam surat S}had22 : 21-24 ;
18
Ahmad Musthfa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mat’ba’ah al-Babi al-Halabi, 1962). hlm.
11.
19
Muhammad Husein Zahabi, Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadis, (Bogor: Litera Nusantara, 1993),
hlm. 167.
20
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Jilid 4, hlm. 149-159.
21
Suryadi. “Karakteristik Cerita Israiliyyat dalam Tafsir al-Khazin”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu
Ushuluddin Esensia, Vol. 7. No.2, Juli 2006, hlm. 172.
22
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Jilid 5, hlm. 304-312.
8
ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ
ُُ ُ ُ ُ ُُ ُ ُ ُُ ُ ُ ُ ُ ُ
ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُُ ُ
ُُ ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُ ُُُ ُ ُ
ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ
ُ ُُُُُُ
”Dan Adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka
memanjat pagar?. (22). ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena
kedatangan) mereka. mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (Kami) adalah
dua orang yang berperkara yang salah seorang dari Kami berbuat zalim kepada yang
lain; Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang
dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus. (23). Sesungguhnya saudaraku
ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor
saja. Maka Dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan Dia mengalahkan
aku dalam perdebatan". (24). Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui
bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertaubat”. (Q.S. S}had : 21-24)
Ia mengemukakan kisah-kisah yang mirip dengan kisah khurafat, yang berkaitan
dengan ismah (terpeliharanya) Nabi Dawud. Kisah ini seperti kisah setan yang menyerupai
seekor burung merpati emas kepada Nabi Dawud. Burung itu mempunyai warna yang sangat
indah, sayapnya dari mutiara dan zamrud. Kemudian burung itu terbang dan jatuh pada kedua
kaki Nabi Dawud, sehingga burung itu melupakan Nabi Dawud untuk beribadah (shalat).
Juga kisah istri Uriya terhadap Nabi Dawud, ia (Dawud) kagum akan kecantikan istri Uriya,
kemudian ia berusaha mencari akal agar suaminya terbunuh dengan harapan agar wanita itu
diserahkan kepadanya, karena ia sangat mencintainya. Dan cerita-cerita lainnya yang secara
9
logika memang bisa diterima, namun riwayat-riwayat tersebut ganjil untuk disertakan dalam
penafsiran dan kebanyakan dari cerita-cerita tersebut tidak memiliki sanad, dan semuanya ia
kemukakan dalam tafsirnya.
Kemudian dalam menanggapi kisah tersebut ia menyatakan bahwa Nabi Dawud
memiliki sifat ke-ma’suman dan suci dari segala hal yang tidak layak di sematkan pada dia,
selanjutnya maka wajarlah jika shalawat dan salam semoga terlimpah kepadanya. Selanjutnya
dalam hal ini kemudian ia menguraikan segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat
ma’sumnya Nabi Dawud.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kuantitas riwayat yang dijadikan sumber interpretasi
sangat sedikit dibanding hanya kritik isi (seperti dalam Q.S. Shad diatas). Contoh kecil lain
dalam kaitannya misalnya ketika menafsirkan ayat pertama surat al-Fatihah (ُ بسم ُهللا ُالرحمن
)الرحيم, al-Khazin menyediakan lebih dari 5 halaman untuk membahas huruf, makna kata, asal
kata (mushtaq) disertai pendapat-pendapat seputarnya, pembahasan Qira’at dengan menukil
beberapa riwayat dan ditambah dengan hikmah membacanya23. Hal ini berlaku pada seluruh
ayat dalam surat ini, kecuali ketika menafsirkan kata ُالمغضوب,ُ الذين ُانعمت ُعليهمdan الضالين.
Dalam ketiga kata tersebut, al-Khazin menggunakan riwayat Ibn Abbas ra. dan ‘Adi bin
Hatim, juga ketika menafsirkan آمين. Dengan demikian, dari 11 halaman yang disediakan
untuk menafsirkan surat al-Fatihah, al-Khazin menempatkan setidaknya 5 halaman lebih
penjelasan yang bukan bersumber pada riwayat.
23
Al-Khazin, Tafsir al-Khazin,Jilid I, hlm. 23-27
24
Abi Muhammad al-Husein bin Mas'ud Al-Baghawi, al-Tafsir al-Baghawi al-Musamma al-Ma’alim
al-Tanzil, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1993). hlm. 471.
25
al-Baghawi, Tafsir Ma’alim al-Tanzil…hlm. 9.
26
Seperti contoh kecil, al-Khazin memaparkan dengan jelas mengenai kata zaujaha dalam Q.S. an-
Nisa>’ [4]; 1. Kendati pada intinya diakhir kesimpulannya sama dengan penafsiran al-Baghawi, yaitu “Hawa”.
10
Disini atensi al-Khazin terhadap penjelasan tafsir dan ta’wil kurang begitu luas, hal
ini disinyalir akan pengaruh kondisi ketika tafsir itu muncul. Pertama tafsir ini muncul kurang
lebih pada abad ke-8H27, dimana pada masa itu kondisi sosio- budaya, dan perkembangan
ilmu pengetahuan semakin berjalan pesat dan kapasitas dalam penggunaan rasio, ijtihadpun
tidak dapat dibendung, lebih jauhnya lagi nuansa infiltrasi ideologi dan kontroversi pemikiran
sudah menjalar di kalangan ulama, Hal ini beimplikasi pada corak atau model tafsir yang
muncul, sehingga bila dipetakan dalam perkembangan epistemlogi tafsir, dan berdasarkan
teori “the theory of idea of Qur’anic interpretation” yang dapat dikelompokkan pada era
formatif (klasik), era afirmatif (pertengahan), dan terakhir periode modern- kontemporer atau
yang disebut dengan era reformatif, maka tafsir al-Khazin ini bisa digolongkan pada era
afirmatif. Karena penafsiran tersebut tidak lain lebih dikembangkan untuk memberi
dukungan terhadap penafsiran yang sudah ada/sebelumnya.
Kedua bila dilihat kapasitas normal sciencenya, penulis beranggapan bahwa al-
Khazin tidak lebih dari hanya sekedar ”meng-update/meresume” dari penafsiran-penafsiran
yang dilakukan oleh al-Baghawi, ini juga di nyatakan oleh Ibn Taimiyyah dalam
muqaddimah fi Ushul al-Tafsir bahwa tafsir al-Kha>zin ini merupakan ikhtisar dari kitab
Tafsir Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi, dan lebih jahnya lagi tafsir al-Baghawi
merupakan ikhtisar dari tafsir al-Kasyaf wa al-Bayan ’an Tafsir Qur’an karya al-Sa’labi28.
Sehingga bobot pemikiran penafsirannya hanya sekedar nukilan dan menyeleksi pokok-
pokok dari tafsir al-Baghawi. Hal ini diakui oleh al-Kha>zin dalam muqaddimahnya, ia
menyatakan bahwa apa yang ia lakukan bukanlah merefleksi dari pemikirannya, namun
hanya sekedar mensarikan, menukil atau menyeleksi dari kitab tafsir yang ia anggap
memiliki kualifikasi yang bagus yaitu tafsir al-ma’alim al-tanzil karya al-Baghawi.
Walaupun sesungguhnya terkadang tidak seluruh dari ayat-ayat al-Qur’an, masih didapati
penafsiran orisinil dari al-Kha>zin.
Demikian juga pemikiran al-Kha>zin akan sangat membantu para pengkaji al-Qur’an
terutama orang awam dalam memahami al-Qur’an, terlebih dari kisah-kisah isra>’iliyya>t
yang masih dalam bingkai dapat diketahui keshahihannya, karena adanya informasi dari
sabda Nabi Saw atau dikuatkan oleh syariat. Namun keterpengaruhan al-Kha>zin terhadap
penafsiran dari al-Baghawi cukup mendominasi. Dalam tafsirnya al-Baghawi, isra>’iliyya>t
Namun paling tidak penjelasan yang dipaparkan oleh al-Khazin memberi wawasan keilmuan lebih yang tidak
didapat dalam tafsir al-Baghawi.
27
Suryadi, “ Lubab al-ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil Karya al-Khazin”, dalam Muhammad Yusuf,dkk,
Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 101.
28
Suryadi, “ Lubab al-ta’wil,...hlm. 105.
11
tetap dipakai, tetapi ia masih selektif dalam menggunakannya, dan juga menyertakan sanad-
sanda dari riwayat isra>’iliyya>t tersebut. Lain bagi al-Kha>zin dalam menggunakan
isra>’iliyya>t, ia tidak menyertakan sanad secara lengkap cukup banyak, dan terkadang tidak
menunjukkan kelemahannya atau menyatakan dengan tegas ketidak shahihannya, bahkan
tidak ada kritikan, kendati riwayat yang dibawannya itu bertentangan dengan syariat Islam.
Disinilah barangkali salah satu perbedaan mendasar bagi al-Kha>zin dan al-Baghawi dalam
menyertakan riwayat isra>’iliyya>t kedalam penafsiran mereka. Dengan demikian model
penafsiran al-Kha>zin dalam menjelaskan ayat-ayat tentang kisah, dengan menggunakan
sumber riwayat-riwayat isra>’iliyya>t maka lebih terkesan penafsiran yang bi ma’tsur29, hal
ini mengingat bahwa ia menyusun tafsir ini tidak lebih dari resume dari tafsir al-Baghawi,
namun juga terkesan bi ra’yi, jadi pada dasarnya bira’yi (mengingat banyaknya kalangan
ulama merekomendasikannya dalam penafsiran bersorak ra’yi) yang cenderung bi ma’tsur.
Dikalangan mufassir atau intelektual Qur’an didapati adanya pro-kontra dalam
menerima isra>’iliyya>t dalam suatu penafsiran. Namun demikian isra>’iliyya>t memberi
pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan studi tafsir. Bila dilihat dari aspek
historis kita memahami bahwa Islam mengalami akulturasi budaya dan intelektual dengan
umat penganut agama-agama terdahulu, yang ada juga diantara mereka yang dipercaya oleh
Nabi beritanya karena kecerdasan intelektual. Dari akulturasi ini secara positif juga
berdampak pada Islam terutama dari sisi kekayaan khazanal intelektualnya. Karena
bagaimanapun juga, memang ada beberapa kesamaan isi al-Quran dengan kitab-kitab Nabi
terdahulu, sehingga ”pergesekan” dengan mereka menjadi keniscayaan.
Disamping itu, dengan mengenal ciri-ciri isra>’iliyya>t, kaum muslim pada
umumnya dan intelektual Qur’an khususnya dapat lebih selektif memilih cerita maupun yang
akurat dan yang tidak, sehingga aspek-aspek negatif yang dapat ditimbulkan kaum muslim
dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.Wallahu’alam.
G. Kesimpulan
29
Suryadi. “Karakteristik Cerita Israiliyyat...hlm, 174. atau Suryadi, “ Lubab al-ta’wil, hm. 108.
12
tafsir al-Baghawi, dimana menurutnya al-Baghawi memiliki integritas keilmuwan yang
mapan dalam bidang al-Qur’an.
Selain itu al-Khazin lebih mencurahkan pemikirannya dalam penggunaan kisah-kisah
isra’iliyyat yang dapat disayangkan penggunaan isra’iliyyat tersebut rata-rata tidak
menyertakan sanad secara utuh dan ia terkesan hanya menjabarkan tanpa adanya komentar
terhadap kisah tersebut. Dalam artian hanya sekedar deskrptif tanpa analisis. Akhirnya
pemikiran al-Khazin hanya berkisar pada penggunaan isra’iliyyat, tanpa ikurt serat dalam
penjelsan tentang al-Qur’an, tafsir, dan ta’wil secara jelas dan panjang.
DAFTAR PUSTAKA
13