Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN TERHADAP TAFSIR AL JAMI’ LI AHKAMI

AL QUR’AN KARYA AL QURTUBI


by sariono sby

PENDAHULUAN

Al Qur’an menyebutkan dirinya sebagai Hudan li al nas, petunjuk bagi segenap umat manusia. Akan
tetapi petunjuk Al Qur’an tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran.
Itulah sebabnya sejak Al Qur’an diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan
oleh para ulama tidak pernah ada henti-hentinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para
ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung di
dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang yang berlainan.
Tafsir biasa diartikan dengan Al idah wa al tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih
lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Allah dapat dipahami, menerangkan makna-
maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan
ilmu yang membahas Al Qur’an al Karim dari segi dilalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki
oleh Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikian tafsir secara sederhana dapat
dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami Al Qur’an.
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an karya Al
Qurthubi, sehingga tafsir ini sering disebut dengan nama tafsir Al Qurthubi.
Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an adalah sekian dari tafsir yang dalam penafsirannya menggunakan
metode analitik (tahlili). Dari penamaannya sudah terlihat bahwa tafsir ini lebih menitik beratkan pada
hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran, walaupun didalamnya terdapat pula masalah-masalah
linguistic dan sastra, sehingga dalam kitab Al Tafsir Wa Al Mufassirun tafsir ini dikelompokan dalam
Tafsir al Fuqaha. Al Qurthubi dikenal sebagai sosok pribadi yang saleh, mempunyai ilmu yang luas,
wara’ dan zuhud terhadap kehidupan dunia, beliau senantiasa disibukkan dengan hal-hal yang
bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya antara beribadah atau menulis.
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistimatika : Pertama, sistimatika Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf, dengan dimulai dari surat Al Fatihah, Al Baqarah dan seterusnya sampai surat An Nas. Kedua,
Sistimatika Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al
Qur’an, contoh mufassir yang memakai sistimatika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan
tafsirnya yang berjudul Al Tafsir al Hadits. Ketiga, sistimatika Maudhu’i, yaitu menafsirkan Al Qur’an
berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan
topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurthubi dalam menulis kitab tafsirnya, memulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat Al
Nas, dengan demikian tafsir Al Qurthubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi, yaitu
dalam menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an adalah sekian dari tafsir yang dalam penafsirannya menggunakan
metode analitik (tahlili). Dari penamaannya sudah terlihat bahwa tafsir ini lebih menitik beratkan pada
hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran, walaupun didalamnya terdapat pula masalah-masalah
linguistic dan sastra, sehingga dalam kitab Al Tafsir Wa Al Mufassirun tafsir ini dikelompokan dalam
Tafsir al Fuqaha. Al Qurthubi dikenal sebagai sosok pribadi yang saleh, mempunyai ilmu yang luas,
wara’ dan zuhud terhadap kehidupan dunia, beliau senantiasa disibukkan dengan hal-hal yang
bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya antara beribadah atau menulis.
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistimatika : Pertama, sistimatika Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf, dengan dimulai dari surat Al Fatihah, Al Baqarah dan seterusnya sampai surat An Nas. Kedua,
Sistimatika Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al
Qur’an, contoh mufassir yang memakai sistimatika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan
tafsirnya yang berjudul Al Tafsir al Hadits. Ketiga, sistimatika Maudhu’i, yaitu menafsirkan Al Qur’an
berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan
topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurthubi dalam menulis kitab tafsirnya, memulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat Al
Nas, dengan demikian tafsir Al Qurthubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi, yaitu
dalam menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Dalam menafsirkan Al Qur’an sudah barang tentu para ulama menggunakan metode-metode (manhaj)
dan dalam bentuk penafsiran tertentu tergantung dari kecenderungan mufassirnya. Mengambil istilah
yang disampaikan oleh Prof DR.H.M. Ridlwan Nasir, MA. dalam makalahnya bahwa tafsir Al Jami’ Li
Ahkami al Qur’an dalam penafsirannya menggunakan metode :
a. Segi sumber penafsirannya : Bi al Ma’tsur
b. Segi cara penjelasan : Muqarin
c. Segi keluasan penjelasan: Itnabi
d. Segi sasaran dan tertib ayat : Tahlili
Adapun dari sisi Ittijah-nya (kecenderungan) tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an beraliran Fiqhi.
Selanjutnya yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah seputar yang berkaitan
dengan tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an.

PEMBAHASAN
A. Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an
Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an adalah sekian dari tafsir yang dalam penafsirannya menggunakan
metode analitik (tahlili). Dari penamaannya sudah terlihat bahwa tafsir ini lebih menitik beratkan pada
hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran, walaupun didalamnya terdapat pula masalah-masalah
linguistic dan sastra, sehingga dalam kitab Al Tafsir Wa Al Mufassirun tafsir ini dikelompokan dalam
Tafsir al Fuqaha. Dalam pembahasan mengenai tafsir ini akan penulis sampaikan melalui beberapa
pembahasan yaitu :
1. Riwayat Hidup Pengarang
Tafsir ini ditulis oleh Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al Anshori Al
Khajraji Al Andalusi Al Qurthubi, seorang ulama ternama dikalangan Maliki. Beliau dilahirkan di
Kordova salah satu kota di Andalusia (Spanyol), dan tumbuh besar bersama orang tuanya, mengenai
tahun kapan belia dilahirkan sumber-sumber sejarah tidak ada yang menyebutkan tahun kapan Al
Qurthubi dilahirkan, namun semua sepakat tahun wafatnya yaitu pada malam senin, 9 Shawwal 671
H. Dalam Maktabah al Shamilah yaitu dalam biografi-biografi para ulama, penulis menemukan tahun
kelahirannya yaitu pada tahun 600 H./1273M. akan tetapi mengenai kebenaran tahun kelahirannya
ini, karena tidak disebutkannya sumber pengambilannya dan setelah penulis coba merujuk pada
kitab-kitab Ulum al Tafsir, ternyata tidak ada sama sekali yang menyebutkannya secara jelas kapan ia
dilahirkan. Hanya saja Muhammad Shafa Shaih Ibrahim Haqqi menukil dari gurunya Ali bin Sulaiman
al ‘Abid menyebutkan kapan Al Qurthubi dilahiran, tapi juga tidak rinci yaitu pada permulaan abad ke
tujuh Hijriyah, sehingga kejelasanya tetap masih merupakan misteri.
Al Qurthubi dikenal sebagai sosok pribadi yang saleh, mempunyai ilmu yang luas, wara’ dan zuhud
terhadap kehidupan dunia, beliau senantiasa disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi
kehidupan akhiratnya antara beribadah atau menulis. Al Qurthubi tinggal di kota Maniyyah Ibnu
Khashib sampi wafat dan dikuburkan di kota tersebut pada malam Senin, 9 Shawwal 671 H. Rahima
Allohu wa radiya ‘anhu.
a. Karya-Karya Al Qurtubi
Seperti dikatakan diatas bahwa Al Qurthubi dikenal sebagai orang yang saleh yang menghabiskan
waktunya untuk beribadah dan menulis. Oleh karenanya banyak karya yang telah beliau wariskan
yang sangat bermanfaat untuk generasi setelahnya. Karya-karya yang telah beliau tulis adalah :
§ Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an wa al-Mubayyin lima tadlammana min as-Sunnah wa Ay al-Furqan, ini
adalah karya beliau yang paling fenomenal dalam bidang tafsir, terdiri dari 12 jilid, didalamnya tidak
termuat tentang kisah-kisah dan sejarah, sebagai gantinya ia menjelaskan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al Qur’an dan bagaimana pengambilannya serta menyebutkan macam-macam Qira’at
dan I’rob serta Nasikh Mansukh. Al Qurthubi juga menulis tentang yang diberi judul
§ Al-Kitab al-Usna fi Asmaillah al-Husna berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah SWT,
tertulis dalam 2 jilid.
§ Al Tidhkar fi Afdal al-Adhkar berkisar tentang dzikir. Dalam penulisannya beliau menulisnya seperti
kitab Attibyan karya Al Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya.
§ Al Tadhkirah bi umûr al Akhirah dalam 2 jilid,
§ Syarh Al Taqassi
§ Qamh al-Hirs bi al-Zuhi wa al-Qana’ah
§ Dan beliau juga menulis rangkaian syair yang memuat nama-nama Nabi Muhammad SAW dan
beberapa karangan beliau yang lain.
b. Guru-Guru Al Qurthubi
Al Qurthubi berguru kepada Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi penulis kitab Al-
Mufhim fi Syarhi Shahihi Muslim, beliau menyimak darinya beberapa bagian kitab sharah tersebut,
dan beliau juga meriwayatkan beberapa hadits dari Al Hafidh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin
Muhammad al-Bakari dan Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Hafs al Yahshibi serta dari
beberapa orang selain keduanya.
c. Murid Al Qurthubi
Mengenai murid yang berguru kepada Al Qurthubi dalam sejarahnya tidak ada yang disebutkan
kecuali satu orang yaitu anaknya yang bernama Shihab al Din Ahmad, ini menarik sekali untuk dikaji,
seorang Al Qurthubi dengan kapasitas keilmuannya yang tidak diragukan lagi dilihat dari hasil karya-
karyanya terlebih Tafsirnya ini, sangat mustahil jika tidak mempuyai murid kalau tidak karena adanya
hal-hal tertentu. Penulis setuju dengan analisis yang dilakukan oleh Muhammad Sofa Shaih Ibrahim
Haqqi dalam menanggapi sementara alasan yang dikemukakan oleh sebagian para pembahas, yaitu
hal itu terjadi hanya mempunyai satu murid karena kesibukan dirinya dalam memperdalam ilmu di
depan para gurunya dan tercurahnya waktu beliau hanya untuk menulis kitab dan beribadah sehingga
tidak memungkinkan dirinya berkecimpung dalam pemerintahan maupun pendidikan. Alasan seperti
ini tidak menjadikan terang akan sejarahnya, bagaimana mungkin seorang yang sangat alim, salah
satu karyanya yaitu tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an sudah menunjukan akan kepakarannya dalam
ilmu-ilmu agama, ditinggalkan oleh para pencari ilmu dalam kurunnya, padahal orang-orang yang
sepertinya dalam kepandaiannya, para pencari ilmu siap antri di depan pintunya hanya demi
mendapatkan pelajaran atau hanya untuk mendengarkan satu hadits, bahkan ada sebagian dari
mereka yang rela melakukan sesuatu agar di penjara dan kemudian dapat bertemu seorang yang alim
yang telah dipenjarakan. Menurut analisis Muhammad Sofa Shaih Ibrahim Haqqi, hal itu tidak lepas
dari peran politik yang ada pada waktu itu. Kalau melihat bagaimana sikap Al Qurthubi terhadap
kaum-kaum Rafidhah khususnya mengenai pendapat-pendapat mereka yang dianggap melenceng
oleh Al Qurthubi, jelaslah sudah, Al Qurthubi sangat anti terhadap mereka, oleh karena itu Al Qurthubi
dilarang untuk mengembangkan ilmunya pada orang lain, dan kemudian diasingkan, bahkan bisa saja
karangan-karangan beliau dihasilkan ketika beliau dalam pengasingan itu.
2. Keistimewaan Tafsir Al Jami’ Li Ahkami Al Qur’an
Dalam Muqaddimah-nya Al Qurthubi menyampaikan beberapa catatan yang menurut hemat penulis,
merupakan suatu hal yang membedakan dari karya-karya tafsir lainnya. Hal ini tidak berlebihan
karena Al Qurthubi benar-benar konsisten dengan apa yang telah disampaikannya dalam Muqaddimah
tafsirnya. Secara ringkas akan penulis sampaikan kesimpulan dari muqaddimah-nya itu.
a. Menyandarkan semua perkataan pada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits
kepada pengarangnya. Dalam hal ini beliau menyampaikan sebuah prinsip
‫من بركة العلم ان يضاف القول الى قائله‬
Artinya : diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada yang mengatakannya. Dalam
hal ini tidak semua penulis memakai prinsip ini, sehingga merupakan prestasi tersendiri bagi Al
Qurthubi dalam Tafsirnya ini.
b. Menjelaskan Ayat-ayat Al Qur’an secara panjang lebar terlebih yang berkenaan dengan masalah
fiqih. Memang dalam penamaan tafsirnya sudah mengindikasikan kalau tafsirnya ini
berkecenderungan pada masalah fiqih, akan tetapi Al Qurthubi khusus untuk ayat yang berkenaan
dengan masalah fiqih beliau akan menafsirkannya lebih mendalam, sebagai contoh dapat dilihat ketika
ia menafsirkan surat al Fatihah. Al Qurthubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih, terutama yang
berkaitan denga kedudukan basmlah ketika dibaca dalam shalat, juga persoalan bacaan fatikhah
makmum ketika shalat Jahr. Terhadap ayat yang sama, para mufassir lain yang sama-sama dari
kelompok mufassir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakr al Jasshash. Ia tidak membahas ayat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah
bab yang diberi judul Bab Qira’ah al Fatihah fi al Shalah. Ibn al ‘Arabi juga tidak membahas surat ini
secara menyeluruh. Ia meninggalkan penafsiran ayat al Rahman al Rahim dan Malik Yaum al Din.
c. Walaupun beliau dikenal sebagai pemuka madhab maliki tapi beliau dalam tafsirnya tidak terlihat
fanatik terhadap madhabnya. Ketika menjelaskan ayat-ayat yang mengandung perselisihan pendapat
maka beliau mendiskusikan pendapat beberapa ulama dan kemudian beliau berpendapat secara
obyektif tanpa harus terikat dengan madhab yang dianutnya.
Sebagi contoh saat menafsirkan firman Allah,
ُ ‫ص َيام الرَّ َف‬
‫ث إِلَى ِن َسآ ِئ ُك ْم‬ ُ
ِ ِّ ‫أ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَ َة ال‬...
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; (Al Baqarah
: 187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan
perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan
karena lupa, dan mengutip pendapat imam Malik yang mengatakan batal dan wajib mengqadha’. Ia
mengatakan, “ Menurut pendapat selain imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang
makan karena lupa akan puasanya. Menurut pendapat saya pribadi, ia adalah pendapat yang benar
dan jumhurpun berpendapat sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib
mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada Hadis Abi Hurairah,
Rasulullah bersada “ jika seorang sedang berpusa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang
demikian adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya.”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakan itu Al Qurthubi tidak sejalan dengan
madhabnya sendiri. Ia berlaku adil terhadap madhab lain.
d. Gaya bahasanya halus dalam melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain.yang
dianggap pendapatnya melenceng dan sesat, seperti kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah, Rafidhah,
para filosof dan kaum sufi ekstrim. Karena kesantunannya ini beliau sempat mengkritik Ibn al ‘Arabi
karena ungkapan-ungkapan yang digunakannya kasar dan keras terhadap para ulama.
e. Banyak dan berkualitasnya referensi yang dipakai oleh Al Qurthubi dalam penafsirannya.
f. Al Qurthubi berusaha menghubungkan sebagian masalah-masalah ulumul Qur’an dengan kasus
yang terjadi
Tentang keistimewaan tafsir Al Qurthubi ini tentunya masih banyak lagi dengan melakukan penelitian
yang lebih seksama.
3. Sistimatika Tafsir Al Qurthubi
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistimatika : Pertama, sistimatika Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf, dengan dimulai dari surat Al Fatihah, Al Baqarah dan seterusnya sampai surat An Nas. Kedua,
Sistimatika Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al
Qur’an, contoh mufassir yang memakai sistimatika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan
tafsirnya yang berjudul Al Tafsir al Hadits. Ketiga, sistimatika Maudhu’i, yaitu menafsirkan Al Qur’an
berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan
topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurthubi dalam menulis kitab tafsirnya, memulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat Al
Nas, dengan demikian tafsir Al Qurthubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi, yaitu
dalam menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Adapun mengenai langkah-langkah Al Qurthubi dalam menafsirkan Al Qur’an dapat dijelaskan dengan
perincian sebagai berikut :
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai
dalil.
c. Mengutip pendapat para ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan
hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok pembahasan.
d. Menolak pendapat yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
e. Mendiskusikan pendapat para ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu ia melakukan
tarjih dan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh Al Qurthubi ini masih mungkin diperluas lagi dengan melakukan
penelitian yang lebih seksama terhadap tafsirnya itu.
4. Komentar Terhadap Tafsir Al Qurthubi
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang tafsir yang terbaik dari tiga tafsir yang disodorkan kepadanya;
Tafsir Al Zamakhsari, Al Qurthubi dan Al Baghawi. Ia menjawa : sungguh tafsir Al Qurthubi lebih baik
dari tafsirnya Al Zamakhsari, sebab tafsir Al Qurthubi lebih dekat dengan thariqoh Ahli al Sunah wa al
Jama’ah dan lebih jauh dari bid’ah.
Ibn al Khatib dalam kitabnya Al Furqon mengecualikan Al Qurthubi dari kebanyakan mufassir dalam
tidak memasukannya kisah-kisah israiliyat dalam tafsirnya itu dan ia menyatakan bahwa tafsir Al
Qurthubi adalah sebaik-baik kitab tafsir.
Al Hafidz Abd Karim: Al Qurthubi adalah hamba Allah yang shaleh, ulama yang arif dan wara’, serta
beliau adalah seorang zahid.
Al Dahabi menyataka Al Qurthubi adalah seorang yang dalam ilmunya, cemerlang akalnya dan penuh
keutamaan.
Al Qathtan mengemukakan Al Qurthubi dalam menafsirkan Al Qur’an tidak hanya ayat-ayat ahkam
saja, akan tetapi juga menjelaskan asbab al nuzul ,qira’at, i’rab, gharib alfad al Quran.
Menurut Muhammad Shafa Shaih Ibrahim Haqqi, merupakan kesalahan jika ada seorang yang
menolak ungkapan pencari ilmu “ cukuplah mempelajari tafsir Al Qurthubi dari lainnya ketika ingin
memahami isi kandungan Al Qur’an” karena memang keberadaan tafsir Al Qurthubi yang mecakup
aspek-aspek penafsiran, baik dari sisi bahasa, hukum-hukum dalam ayat-ayat Al Qur’an ataupun
mengenai ilmu Qira’at.
Masih mengenai keistimewaan tafsir Al Qurtubi, Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki berkata : “Kitab al
Jami’ Li Ahkami al Qur’an atau yang di kenal dengan tafsir al Qurhtubi adalah termasuk sebaik-
baiknya kitab tafsir karena didalamnya tercakup beberan yang luas mengenai makna-makna yang
terdapat dalam Al Qur’an, penjelasan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dan juga karena
didalamnya terdapat penjelasan tentang macam-macam Qira’at dan I’rob, shahid-shahid yang berupa
shi’ir, pembahasan kebahasaan dan penolakan terhadap pendapat-pendapat Ahl al Bida’ wa al Ahwa’.
Dari pernyataan-pernyataan para ulama mengenai keistimewaan tafsir Al Qurthubi tersebut kiranya
bisa penulis simpulkan bahwa keistimewaan tafsir al Qurtubi tersebut tidak lain karena keluasan
pembahasan yang ada di dalamnya dan penolakannya terhadap pendapat-pendapat Ahl al Bida’ wa al
Ahwa serta minimnya cerita-cerita israiliyat yang terdapat didalamnya.
Sesempurna apapun sebuah karya tentunya tidak lepas dari sisi-sisi kekurangan, begitu juga tafsir Al
Qurthubi, menukil dari apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki dalam karya
tahqiqnya terhadap tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an, ada beberapa yang perlu menjadi catatan
terhadapnya yaitu diantaranya :
a. Al Qurtubi meriwayatkan hadis dho’if bahkan hadis maudhu’ tanpa menjelaskan statusnya. Sebagai
contoh hadis yang terdapat dalam juz I hal 42
‫ والقرأن عربي وكالم أهل الج ّنة عربي‬, ّ‫ أل ّني عربي‬: ‫أحبّوا العرب لثالث‬
Cintailah orang arab karena tiga hal yaitu : saya orang arab, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab
dan bahasa ahli surga adalah bahasa Arab.
b. Melakukan penyendirian dalam penjelasan mengenai suatu lafal atau hadits. Contoh beliau
menyebutkan bahwa Nun yang terdaat dalam lafal ‫ ننج‬dalam surat yunus ayat 103
َ ‫نج ْالم ُْؤ ِمن‬
...‫ِين‬ َ ِ‫َك َذل‬
ِ ‫ك َح ّقا ً َعلَ ْي َنا ُن‬
Adalah dengan satu Nun, padahal semua ahli Qira’at sepakat bahwa lafal tersebut dengan dua Nun.
c. Mengikuti kesalahan-kesalahan (Auham) yang terdapat dalam sumber-sumber tafsirnya. sebagai
contoh, beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur ‘Amr bin Shu’aib dari
bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi membunuh seseorang di Al Qasamah, padahal dalam
sanad hadits ini terdapat kesalahan. Beliau mengikuti apa yang terdapat dalam Ahkam al Qur’an karya
Ibn al ‘Arabi (I/25) dan mengikuti Ibnu Abdi al Bar dalam al Tamhin-Nya (23/217). Yang benar adalah
“ dari ‘Amr bin Shu’aib dari Nabi SAW. hadits ini adalah termasuk hadits Mu’dhal.

KESIMPULAN
1. Al Qur’an yang berfungsi sebagai Hudan li al Nas tidak dapat berfungsi tanpa adanya penafsiran.
2. Tafsir Tahlili yaitu menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya baik yang
berkaitan dengan lafadh-lafadhnya maupun yang berkaitan dari sisi maknanya, sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir.
3. Salah satu tafsir yang dalam menafsirkan menggunakan metode tahlili adalah Tafsir Al Jami’ Li
Ahkami al Qur’an. Ditulis oleh Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al
Anshori Al Khajraji Al Andalusi Al Qurthubi, seorang ulama ternama dikalangan Maliki. Beliau
dilahirkan di Kordova salah satu kota di Andalusia (Spanyol), mengenai pada tahun berapa beliau
dilahrkan tidak ada sumber yang jelas akan hal itu. Adapu wafatnya di kota Maniyyah Ibnu Khashib
pada malam senin, tanggal 9 Shawwal 671 H.
4. Keistimewaan Tafsir Al Qurthubi
a. Menyandarkan semua perkataan pada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits
kepada pengarangnya.
b. Menjelaskan Ayat-ayat Al Qur’an secara panjang lebar terlebih yang berkenaan dengan masalah
fiqih.
c. Tidak terlihat fanatik terhadap madhabnya.
d. Gaya bahasanya halus dalam melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain yang
dianggap pendapatnya melenceng dan sesat.
e. Banyak dan berkualitasnya referensi yang dipakai oleh Al Qurthubi dalam penafsirannya.
f. Al Qurthubi berusaha menghubungkan sebagian masalah-masalah Ulum al Qur’an dengan kasus
yang terjadi.
5. Sistimatika yang digunakan Al Qurthubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi.
6. Berbagai macam komentar para ulama terhadap Tafsir Al Qurthubi kebanyakan menilai positif, hal
ini dilatar belakangi karena keluasan pembahasan yang ada di dalamnya dan penolakannya terhadap
pendapat-pendapat Ahl al Bida’ wa al Ahwa serta minimnya cerita-cerita israiliyat yang terdapat
didalamnya.

http://referensiagama.blogspot.com
 

Anda mungkin juga menyukai