Anda di halaman 1dari 41

FIQH

A. Hukum Islam
Para ulama bersepakat bahwa sumber hukum Islam yang
utama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah; sedangkan Ijtihad (penalaran
atau akal pikiran) sebagai alat untuk memahami al-Quran dan al-
Sunnah. Ketentuan ini sesuai pula dengan agama Islam itu sendiri
sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT. Yang penjabarannya
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. (Abuddin Nata,1998:66). Di
dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 156 kita dianjurkan agar mentaati
Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (pemimpin). Ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya ini mengandung konsekuensi ketaatan kepada
ketentuan-Nya yang terdapat di dalam al-Quran dan ketentuan Nabi
Muhammad SAW. yang terdapat dalam haditsnya. Selanjutnya
ketaatan kepada ulil amri atau pemimpin sifatnya kondisional, atau
tidak mutlak, karena betapapun hebatnya ulil amri, ia tetap manusia
yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Atas dasar
inilah mentaati ulil amri bersifat kondisional. Jika produk dari ulil amri
tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya maka wajib
diikuti; sedangkan jika produk dari ulil amri tersebut bertentangan,
maka tidak wajib mentaatinya.
1. Al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan
pendapat di sekitar pengertian al-Quran baik dari segi bahasa
maupun istilah. Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang
dikemukakan oleh Subhi Shalih, al-Quran berarti bacaan. Ia
merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qaraá (fiil madli)
dengan arti ism al- mafúl, yaitu maqru’ yang artinya dibaca.(Al-
Quran dan Terjemahnya,1990:15). Pengertian ini merujuk pada Al-
Quran surat al-Qiyamah: 17-18 :

1
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.”

Adapun pengertian dari segi istilah al-Quran didefinisikan


sebagai berikut.
Manna ál-Qaththan (tt:21) secara ringkas mengutip pendapat para
ulama pada umumnya yang mengatakan bahwa al-Quran adalah
firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian
senada dengan yang diberikan al-Zarqani (tt:21). Menurutnya al-
Quran adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW mulai dari awal surat al-Fatihah, sampai dengan akhir surat
al-Nas. Pengertian al-Quran yang lebih lengkap dikemukakan oleh
Abd. Al-Wahhab al-Khalaf (1972:23). Menurutnya, al-Quran adalah
firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad
bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan lafadz bahasa
Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul,
bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi
manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana
untuk mendekatkan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita
secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan
maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.

Dari beberapa kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa


al-Quran adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah,
turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawanya Nabi
Muhammad SAW., susunannya dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat al-Nas, bagi yang membacanya bernilai
ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat
atas kerasulan Nabi Muhammad SAW., keberadaannya hingga kini
masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya
dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi lain
dengan tulisan maupun lisan.
Berkenaan dengan definisi tersebut, maka berkembanglah
studi tentang al-Quran baik dari segi kandungan ajarannya yang
menghasilkan kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan

2
baerbagai pendekatan, maupun dari segi metode dan corak yang
sangat bervariasi sebagaimana yang kita jumpai saat ini. (Abuddin
Nata: 2003:69).
Sehubungan dengan itu pula terdapat para ulama yang
secara khusus mengkaji metode menafsirkan al-Quran yang
pernah digunakan oleh para ulama, mulai dari metode
tahlili(analisis ayat per ayat) sampai dengan metode maudui atau
tematik.
Selain itu ada pula yang meneliti al-Quran dari segi latar
belakang sejarah dan sosial mengenai turunnya yang selanjutnya
menimbulkan apa yang disebut Ilmu Asbab al-Nuzul.
Selanjutnya ada pula para ulama yang secara khusus
meneliti kemukjizatan dan keistimewaan al-Quran dari berbagai
aspeknya. Mulai dari segi keluasan kandungannya yang tidak akan
habis-habisnya digali, susunan kalimatnya yang mengandung
unsur balaghah dan santra yang tnggi serta tidak dapat ditandingi
oleh karya-karya manusia, pengaruhnya yang mendalam bagi
orang yang membacanya.
Selain itu ada pula ulama yang mengkhususkan diri
mengkaji petunjuk cara membaca al-Quran yang selanjutnya
menimbulkan ilmu qiraat termasuk pula Ilmu Tajwid. Dan ada pula
ulama yang mengkaji al-Quran dari segi sejarah penulisannya,
nama-namanya dan masih banyak lagi. Semua itu dilakukan para
ulama dengan maksud agar umat Islam dapat mengenal secara
menyeluruh berbagai aspek yang berkenaan dengan al-Quran.
Sebagai sumber hukum Islam yang utama al-Quran diyakini
berasal dari Allah SWT dan mutlak benar. Keberadaan al-Quran
sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mutazilah dijumpai
pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Quran bagi manusia,
karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat
memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. (Harun

3
Nasution,1980:80). Bagi Mutazilah al-Quran berfungsi sebagai
konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan
sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh akal.
Di dalam al-Quran terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal
walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang
menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh
hadits.
Bila dilihat dari segi jelas tidaknya, para ulama
mengelompokkan ayat-ayat al-Quran kepada dua bagian: ayat-ayat
yang cukup jelas (muhkamat), dan ayat-ayat yang membutuhkan
penjelasan lebih lanjut yang disebut ayat-ayat mutasyabihat. Oleh
karena itu dalam memahami al-Quran, para ulama memerlukan
perangkat lain untuk memudahkannya, lebih-lebih dari sebagian
ayat ada pula yang masih bersifat umum atau global. (Atang AH &
Jaih, 2006:77).
Adanya ayat-ayat al-Quran yang masih memerlukan
penjelasan, maka memberikan peluang berkembangnya ilmu tafsir.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan ( al-idlah
wa al-bayan) (Muhammad Husaeni al-Dzahabi,1976:13). Di
samping itu, ia pun berasal dari wazan tafil dari kata fassara yang
berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang
maqul.(Manna’al-Qathathan,1981:227).
Secara istilah, ilmu tafsir, menurut Abu Hayan, ialah ilmu yang
membahas cara melafalkan lafad-lafad al-Quran serta menerangkan
makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang
zhahir sebatas kemampuan manusia. Oleh karena itu ilmu tafsir
berusaha mencoba menjelaskan kehendak Allah dalam batas
kemampuan para mufasir.(Abd al-Hayyi al-Farmawi,1977:16).
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai masa Nabi
Muhammad SAW sampai masa kini. Pada masa Nabi, pemegang

4
otoritas penafsiran al-Quran adalah Nabi sendiri sehingga segala
persoalan yang muncul selalu dikembalikan kepadanya. Namun
setelah beliau wafat, otoritas itu ada pada sahabat, tabiin dan tabiit
tabiin yang telah memenuhi persyaratan. (Atang AH & Jaih, 2006:78).
Quraish Shihab (1995:71-72) membagi periode tafsir kepada
dua bagian. Pertama, periode nabi, sahabat dan tabiin sampai kira-
kira tahun 150 H. Kelompok tafsir periode ini disebut tafsir bi al-
ma’tsur. Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah,
penafsiran sahabat, dan penafsiran tabiin.
Para ahli tafsir pada masa sahabat yang terkenal di
antaranya al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat, Ibnu Mas'ud, Abd
Allah bin Abbas (68 H), Ubay bin Ka'ab (19 H), Zaid bin Tsabit, Abu
Musa al-Asy'ary, dan Abd Allah bin Zubair. Diantara mereka yang
paling terkenal ialah Abd Allah bin Abbas.
Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh para
murid-muridnya (tabi'in) sehingga lahirlah thabaqat al-mufassirin
(tingkatan para penafsir). Di Mesir muncul thabaqat yang tafsirnya
merujuk pada tafsir Abd Allah bin Abbas. Di Madinah muncul
thabaqat lain, seperti Zaid bin Tsabit, Abd al-Rahman bin Salam,
dan Imam Malik bin Anas. Di Kufah muncul thabaqat yang
bersumber dari Ibnu Mas'ud.
Dari masa tabi'in beralih ke masa tabi' tabi'in. Di antara
mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun,
Syu'bah bin Hajjaj, dan Waqi al-Jarrah sampai akhirnya muncul Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabarani (w.310 H) dengan karya
tafsirnya Jami'at al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang merupakan tafsir
bi al-ma'tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar
luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah
masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum
terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para

5
mufasir mulai berijtihad. Kegiatan ijtihad pada mulanya masih
terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna kosakata. Namun,
sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam
berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya
berbeda dengan tafsir corak pertama (M.Quraish Shihab: 1995;
72). Periode kedua disebut oleh Departemen Agama Republik
Indonesia sebagai Periode Muta'akhirin yang berlangsung antara
abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah.
Corak tafsir yang muncul pada peiode kedua di antaranya
sebagai berikut.
a. Corak kebahasaan, artinya Al-Qur'an ditafsirkan melalui
pendekatan gaya dan keindahan bahasa, seperti Tafsir al-
Kasysyaf yang ditulis oleh Zamaksyari. Masih tafsir yang
bercorak kebahasaan, tetapi melalui pendekatan tata bahasa
adalah Tafsir Ma'ani al-Qur’an dan Tafsir al-Bahr al-Muhith yang
secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahadi dan Abu
Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
b. Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah
umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsalabi, 'Alaudin bin
Muhammad al-Bagdadi.
c. Corak fikih dan hukum, seperti Tafsir Jami' al-Qur'an, Ahkam al-
Qur'an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-
Qurtubhi, Ibnu 'Arabi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
d. Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur'an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah Swt, seperti Tafsir Mafatih al-Ghaib
karya Imam al-Razi (w. 610 H).
e. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang
berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh
Abu Muhammad Sahi bin Abd Allah al-Tsauri.

6
f. Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian),
seperti tafsir yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi,
yaitu Mu'jam Garib al-Qur'an.
Di samping keenam corak tafsir di atas, M. Quraish Shihab
(1995; 72-73) memasukkan corak tafsir yang lain, yaitu tafsir
bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir
yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik
(maudlu'i), dan tafsir ilmi.
Masih dalam periode kedua atau periode mutaakhirin, lahir
pula tafsir dari kalangan Muktazilah dan Syiah. Tafsir dari kalangan
Muktazilah di antaranya ialah Tanzih al-Qur’an 'an al-Mata'in karya
Abd al-Qasim al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqa'iq al-Tanzil wa al-
Uyun al-Aqwal fi Wujud al-Ta'wil karya Abu al-Qasim Muhammad
bin Umar al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis banyak
kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi
Thalib.
Departemen Agama Republik Indonesia masih menambah
satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode
ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-9 M. Dalam
sejarah perkembangan pemikiran umat Islam, periode ini dikenal
dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul
tokoh-tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhadap karya tafsir
mereka. Tafsir yang ditulis pada periode ini di antaranya al- Manar
yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalu diselesaikan oleh
muridnya, Rasyid Ridha, Tafsir Mahasin al- Ta'wil karya Jamal al-
Din al-Qasimi, dan Tafsir Jawahir karya Thanthawi Jauhari.
Dilihat dari keterlibatan akal (ra'yn) dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur'an, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al- ma'tsur dan
tafsir bi al-ra'y. Tafsir kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-

7
Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya al-Thabari, Bahr al-'Ulum karya
Nashr bin Muhammad al-Samarkand, al-Kasyf wa al-Bayan 'an
Tafsir al-Qur'an karya Abu Ishaq al-Tsalabi, Ma'alim al-Tanzil karya
Muhammad al-Hasan al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajizfi Tafsir al-
Kitab al-'Aziz karya Muhammad al-Andalusi.
Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra'y) di antaranya al-
Bahrnl al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur'an wa Raghib al-
Furqan karya Nizamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-
Qur'an al-'Azhim wa al-Sab'a al-Matsani karya al- 'Allamah al-Lusi,
dan Mafatih al-Gharib karya Fakhr al-Din al-Razi.
Jenis tafsir, baik bi al-mat’sur maupun bi al-ra’y, sebetulnya
masih banyak. Sekadar contoh, penulis rasa cukup seperti
disebutkan di atas. Tafsir-tafsir yang berbahasa Arab itu
selanjutnya ada yang dialihbahasakan ke bahasa lain, seperti
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

2. Hadits
Kedudukan Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam selain
didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits juga
didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni
seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah beliau wafat.
Dalam literature hadits dijumpai beberapa istilah lain yang
menunjukkan penyebutan Al-Hadits, seperti al-sunnah, al-khabar,
dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut menurut
kebanyakan ulama hadits adalah sama dengan terminologi Al-
Hadits (Mahmud Al-Thahan, 1985: 15-16 dan Fathurrahman, 1974:
28), meskipun ulama lain ada yang membedakannya .

8
Agar tidak membingungkan dan tidak terjebak dalam
kesalahpahaman, ada baiknya dipaparkan dulu makna beberapa
istilah di atas, baik secara etimologi maupun secara terminologi.
Menurut ahli bahasa, Al-Hadits adalah Al-Jadid (baru), Al-
Khabar (berita), dan Al-Qarib (dekat) (lihat Muhammad Ajaj Al-
Khatib, 1971: 20 dan Endang Soetari Ad, 1984:1). Hadits dalam
pengertian Al-Khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat Al-
Thur (52) ayat 34, surat Al-KAhfi (18) ayat 6, dan surat Al-Dluha
(93) ayat 11.
Dalam mengartikan Al-Hadits secara istilah atau terminologi,
antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi berbeda pendapat.
Menurut ulama hadits, arti hadits adalah :

ِ ‫ف اِلَى النَّبِ ِّي صلَّى اهلل َعلَْي ِه وسلَّم ِمن َقوٍل اَوِف ْع ٍل اَوَتْق ِريْ ٍر اَو‬
‫صَف ٍة‬ ِ ُ‫ماا‬
َ ‫ضْي‬
ْ ْ ْ ْ ْ َ ََ ُ َ َ
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat. (Mahmud Al-Thahan,
1985:15).

Sedangkan menurut ulama ahli ushul fiqh mengatakan


bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah :

ُ ِّ‫اَق َْوالُهُ َواَ ْف َعالُهُ َوَت ْق ِرْي َرتُهُ الَّتِ ْي ُتثَب‬


‫ت اْالَ ْح َك َم‬
Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. yang berkaitan
dengan penetapan hukum.

Al-Sunnah dalam pengertian etimologi adalah :

ً‫ت اَ ْوقَبِْي َحة‬


َ ْ‫سنَةً َكان‬ َ َ‫لس ْي َرةُ َوالطَّ ِرْي َقةُ ال ُْم ْعت‬
َ ‫ادةُ َح‬ ِّ َ‫ا‬
Jalan dan cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau yang
jelek. (Nur Al-Din Al-‘Athar, 1979:27).

Al-sunnah dalam pengertian etimologi, dapat dilihat dalam Al-


Qur'an surat al-Kahfi (18) ayat 55; surat Fathir (35) ayat 43; surat
al-Anfal (8) ayat 38; surat al-Hijr (15) ayat 3; dan surat al-Ahzab
(33) ayat 38 dan ayat 62. Adapun pengertian Al-Sunnah secara

9
istilah (terminologi), seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-
Khatib (1981: 89), adalah :

‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِم ْن َق ْو ٍل اَ ْوفِ ْع ٍل اَ ْوَت ْق ِريْ ٍر‬ َ ‫الر ُس ْو ِل‬ َّ ‫ُك ُّل َما اُثِ َر َع ِن‬
َ ِ‫ص َف ٍة َخل ِْقيَّ ٍة اَ ْو ُخلُ ِقيَّ ٍة اَ ْو ِس ْي َرٍة اَ َكا َن ذل‬
‫ك َق ْب َل الْبِ ْعثَ ِة اَ ْم َب ْع َد َها‬ ِ ‫اَو‬
ْ
Segala yang bersumber dari Rasulullah SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah
maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat
menjadi rasul.

Al-Khabar secara bahasa berarti al-naba (berita); sedangkan


al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai'). Arti
terminologi al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama, memiliki
arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama
Khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf (disandarkan kepada
sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu' (disandarkan kepada
Nabi). Oleh karena itu, baik al-hadits, al-sunnah, al-khabar, maupun
al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu',
mauquf, dan maqthu' (disandarkan kepada tabi'in).
Terhadap keempat pengertian istilah di atas al-hadits, al-
sunnah, al-khabar dan al-atsar terutama aspek makna terminologi-
nya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang
membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah
tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang san-
darannya adalah Nabi Muhammad SAW.; sedangkan al-sunnah
adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad
SAW., tetapi juga sahabat dan tabi'in. (Nur al-Din 'Athar, 1979: 29).
Adanya perbedaan makna terminologi keempat istilah di
atas, menurut Fathurrahman (1974: 28), tidaklah prinsipil. Pendapat
senada, juga dikemukakan oleh Utang Ranuwijaya dan Munzir
Suparta (1996: 15) yang mengatakan bahwa sebetulnya keempat
istilah tersebut mengacu pada pengertian yang sama, yaitu segala

10
sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir.
a. Posisi dan Fungsi Hadits
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber
ajaran Islam kedua setelah Al-Qur'an. Kesepakatan mereka
didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an
maupun hadits. Dalam Al-Qur'an, umpamanya, disebutkan
dalam surat al-Nisa (4) ayat 59, surat al-Ma'idah (5) ayat 92,
dan surat al-Nur (24) ayat 54. Adapun dalil hadits adalah sabda
Nabi SAW. ketika beliau hendak mengutus Mu'adz bin Jabal ke
Yaman. Inti hadits tersebut adalah Nabi bertanya kepada
Mu'adz dalam hal penetapan hukum. Saat itu Mu'adz menjawab
bahwa dia akan menetapkan hukum berlandaskan urutan Al-
Qur'an, hadits, dan ijtihad. Hadits dipergunakan apabila tidak
ditemukan ketetapan hukum di dalam Al-Qur'an, sedangkan
ijtihad digunakan jika tidak ditemukan ketetapan hukum, baik
dalam Al-Qur'an maupun hadits. Mendengar jawaban Mu'adz,
Nabi SAW. menepuk-nepuk bahu Mu'adz sebagai tanda
persetujuannya. (Abu Dawud bin Sulaiman bin al-Asy'ari al-
Sijistani, t.th: 302).
Dalam hadits lain, Nabi SAW. bersabda (lihat Jalai al-Din
Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, t.th: 505):

ِ ‫ كِتَ اب‬: ‫س ْكتُم بِ ِهم ا‬ ِ ِ ِ ُ ‫َت رْك‬


‫اهلل‬ ُ َ ْ َّ ‫ت ف ْي ُك ْم اَ ْم َريْ ِن لَ ْن تَض لُّ ْوا اَبَ ًدا ا ْن تَ َم‬ َ
‫َو ُسنَّةُ َر ُس ْولِ ِه‬
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan
sesat selamanya apabila berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.

َّ ‫اش ِديْ َن ال َْم ْه ِد ِّي ْي َن تَ َم‬


‫س ُك ْوابِ ِه َما‬ َّ ‫سنَّتِى َو ُسن َِّة اْل ُخلَ َف ِاء‬
ِ ‫الر‬ ِ
ُ ‫َعلَْي ُك ْم ب‬
Jalanilah sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang
mendapat petunjuk serta pegang teguhlah kedua sunnah itu.
(Abu Dawud bin Sulaiman bin al-Asy'ari al-Sijistani, t.th: 281) .

11
Lafad athi'u al-rasid (taatilah Rasul) dalam Al-Qur'an
(Q.S. Ali Imran (3): 32 dan 132; al-Nisa (4): 59; al-Anfal (8): 1,
20, dan 46), dan lafad fa rudduh ila Allah wa al-rasul
(kembalikanlah kepada Allah dan rasul) (Q.S. al-Nisa (4): 59),
memberikan pengertian tentang kewajiban menaati sekaligus
menjalankan apa yang dibawa oleh Rasul, yaitu hadits. Dengan
demikian, hadits menempati posisi kedua setelah Al-Qur'an.
Keberadaan hadits sebagai sumber hukum kedua
setelah Al- Qur'an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari
ayat-Nya secara tersirat juga merupakan ijma' (konsensus)
seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Misalnya,
penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara
duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW. Begitu juga, Umar bin Khathab mencium Hajar Aswad
karena mengikuti jejak Rasul. Ketika berhadapan dengan Hajar
Aswad, ia berkata, "Saya tahu engkau adalah batu. Jika tidak
melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu." Janji
Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah
Rasul yang ia ikrarkan ketika disumpah (bni'ah) menjadi khalifah
(Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal, t.th: 213 dan 378). Itulah
sebagian contoh dari ijmak.
Menurut T.M. Hasybi al-Shiddieqi sebagaimana dikutip
oleh Endang Soetari Ad (1994: 111-128) dan Mundzir Suparta
(1996: 49-56), dan Fathurrahman (1974: 65) fungsi hadits
terhadap Al-Qur'an itu sebagai penjelas (al-bayan). Mereka
kemudian membagi al-bayan kepada beberapa kategori sesuai
dan mengikuti kategorisasi yang diajukan oleh ulama salaf.
Malik bin Anas dan al-Syafi'i menyebut lima kategori, sedangkan
Ahmad bin Hanbal menyebutnya empat kategori. Lima kategori
al-bayan menurut ulama yang disebut pertama ialah bayan al-

12
taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-basth, dan
bayan al-tasyri'. Lima kategori al-bayan menurut ulama kedua
ialah bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta'yin, bayan
al-tasyri', dan bayan al-naskh. Adapun empat kategori menurut
ulama terakhir ialah bayan al-ta'kid, bayan al- tafsir, bayan al-
tasyri', dan bayan al-takhshis.
Fathurrahman (1974: 65-68) "tampaknya" menyimpulkan
penjelasan serta kategori al-bayan ke dalam tiga hal: pertama,
hadits berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum
yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Fungsi ini mengacu pada
bayan al-taqrir versi Imam Malik dan bayan al-ta'kid versi
Ahmad bin Hanbal. Contohnya, ada kewajiban berpuasa jika
melihat bulan (Q.S. al-Baqarah (2): 185) lalu dikuatkan dengan
hadits yang disampaikan oleh Abu al-Husain Muslim bin al-
Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (1992: 481) yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Berpuasalah jika
kamu melihat bulan; dan berbukalah, jika melihatnya."
Hadits berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat
Al-Qur'an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan
(taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Di samping itu, ia pun
berfungsi mengkhususkan (tahkshish) terhadap ayat-ayat yang
bersifat umum ('am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil
versi Imam Malik dan Imam Syafi'i, serta bayan al-takhshish
versi Imam Syafi'i dah Imam Ahmad, juga bayan tafsir.
Contohnya dalam sabda Nabi Muhammad berikut:

ِ
َ ُ‫صلُّ ْوا َك َما َراَْيتُ ُم ْونى ا‬
‫صلِّى‬ َ
Shalatlah seperti halnya engkau melihat aku shalat.

Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang


tidak didapat di dalam Al-Qur'an. Fungsi ini mengacu pada
bayan al- tasyri' versi Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Ahmad bin

13
Hanbal. Contohnya hadits yang menerangkan tidak
dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan.
Contoh-contoh hadits yang dikemukakan di atas
merupakan sebagian hadits yang menempati posisi dan
fungsi tertentu di samping Al-Qur'an. Hadits-hadits lainnya
yang berhubungan dengan fungsi hadits terhadap Al-Qur'an
sesungguhnya masih banyak; untuk mengetahuinya lebih
jauh, dapat dilihat di dalam kitab-kitab hadits dan 'ulumul
hadits.

b. Sejarah dan Kodifikasi Hadits


Penulisan resmi hadits dalam kitab-kitab hadits, seperti
dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu
pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi
(kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya
perintah dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar
hadits untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadits
yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar
tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
Namun, untuk melihat sejarah perkembangan hadits dari waktu
ke waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin.
Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan
hadits secara periodik.
Para ulama hadits tidak sependapat dalam menentukan
jumlah periodisasi hadits. Ada yang membaginya menjadi tiga
periode, lima periode, bahkan tujuh periode (Kafrawi Ridwan
dkk., 1994: 42-48; Endang Soetari Ad, 1994: 34-61, dan Munzir
Suparta, 1996: 57). Di bawah ini adalah periodisasi hadits
secara garis besar.
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa
Wahyu dan Pembentukan (''ashr al-wahy wa al-takwin). Pada

14
periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadits, karena
di samping adanya rasa takut bercampur antara hadits dan Al-
Qur'an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-
Qur'an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada
juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan.
Pada masa ini, para sahabat menerima hadits dari Nabi melalui
dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
lansung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian,
atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada
Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari
sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik
utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah
yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya
para sahabat dalam menerima hadits dan menyalinnya secara
sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadits dan
menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan.
Para sahabat yang banyak menerima hadits ialah khulafa
rasyidun, Abd Allah bin Mas'ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik,
Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman khulafa rasyidun. Masa ini
dikenal dengan periode pembatasan hadits dan penyedikitan
riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-
usaha para sahabat di dalam membatasi hadits dilatarbelakangi
oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran
muncul karena suhu politik umat Islam secara internal mulai
labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu
menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para
sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan
hadits. Mereka melakukan periwayatan hadits dengan dua cara:
lafdzi dan ma'nawai. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi
hadits yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang

15
disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma'nawi ialah
redaksi hadits yang diriwayatkan berbeda dengan yang
disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadits ke berbagai
wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang
berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada
masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak,
Mesir, Persia, Samarkand, dan Sepanyol. Bertambah luasnya
wilayah berdampak kepada menyebarnya hadits ke wilayah-
wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke
wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru
(pengajar) di sana. Di antara tokoh-tokoh hadits pada masa ini
ialah Sa'id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi
Rabi'ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha'i di Kufah, Muhammad bin
Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib
di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan
pembukuan hadits secara resmi ('ashr al-kitabat wa al-tadwin).
Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar
bin Abd al- 'Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia
adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm, Gubernur
Madinah untuk menulis hadits. Bunyi instruksi itu secara
lengkap, seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib (1981:
229), adalah :

‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم فَ ا ْكتُُب ْوهُ فَ ِانِّى‬ ِ


َ ‫ث َر ُس ْو ِل اهلل‬ َ ْ‫اُنْظُ ُرْوا َح ِدي‬
‫ص لَّى‬َ ‫ث النَّبِ ِّي‬ َ ْ‫ َوالََت ْقبَ ْل اِالَّ َح ِدي‬،‫اب اَ ْهلِ ِه‬ ِ ِ ‫ت ُدرو‬
َ ‫س الْعل ِْم َوذ َه‬ َ ْ ُ ُ ‫خ ْف‬
ِ
‫اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
Perhatikanlah atau periksalah hadits-hadits Rasul Allah SAW.,
kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan

16
meninggalnya para ulama; dan janganlah engkau terima kecuali
hadits Rasul Allah SAW.

Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan


untuk mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits
sahih dengan hadits palsu, di samping rasa takut dan khawatir
lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama
dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa
Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti
Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam
Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan
Abd al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula
sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama, baik berupa al-
Jami', al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad
karya Imam Syafi'i, al-Musnaf karya al-Auza'i, dan al-
Muwaththa' karya Imam Malik yang disusun atas perintah
khalifah Abu Ja'far al-Mansur.
Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi
betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan
fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi'in, atau hadits marfu', mauquf,
dan maqthu' di samping juga hadits palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan
penyempurnaan ('ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang
berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah.
Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-
Ma'mun sampai al-Mu'tadir (2011-300 H). Pada masa ini, para
ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan
pengklasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan
hadits marfu' dari hadits mauquf dan maqthu'. Hasil dari gerakan ini
adalah lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti
Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab musnad. Kitab Shahih adalah

17
kitab atau buku hadits yang hanya memuat hadits-hadits yang
sahih. Kitab Sunan ialah kitab hadits yang mengoleksi hadits-hadits
sahih dan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah (dha'if). Adapun
Kitab Musnad adalah kitab hadits yang mengoleksi segala macam
hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di
samping juga tidak menerangkan derajat hadits.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang
bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
1) Al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H);
2) Al-Jami' al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H);
3) Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H);
4) Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H);
5) Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H); dan
6) Al-Sunan karya bin Majah (207-273 H).
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan, dan penghimpunan ('ashr al-tahzib wa al-tartib
zva al- istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua
setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan
abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan
Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima.
Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadits
yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab
Athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami'. Kitab Syarah ialah
kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits
tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits
sebelumnya. Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode
pengumpulan haditsnya dengan cara mengambil hadits dari
ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri
yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab Athraf

18
ialah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits,
tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrak ialah kitab
yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat
Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari
keduannya. Kitab Jami' ialah kitab yang memuat hadits-hadits
yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur
pada periode ini di antaranya ialah berikut ini.
1) Sulaiman bin Ahmad al-Thabari. Kitab karyanya ialah al-
Mu'jam al-Kabir, al-Mu'jam al-Ansath, dan al-Mu'jam al-
Shagir.
2) 'Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni. Kitab
karyanya ialah Sunan al-Daruquthni.
3) Abu Awanah Ya'kub al-Safrayani. Kitabnya ialah Shahih
Awanah.
4) Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq yang menulis kitab
Shahih Ibnu Khuzaimah.
5) Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi yang menulis
kitab al-Sunan al-Kubra.
6) Majuddin al-Harrani yang menulis kitab Muntaq al-Akbar.
7) Al-Syaukani yang menulis kitab Nail al-Authar sebagai syarh
kitab Muntaq al-Akbar.
8) Al-Munziri yang menulis kitab al-Taqrib wa al-Tahrib.
9) Al-Shiddiqi yang menulis kitab Dalil al-Falihin.
10)Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl
al-Shalihin.
Periode ketujuh adalah periode persyarahan,
penghimpunan, dan pentakhrijan ('ahd al-syarh wa al-jamu' wa
al-takhrij wa al-bahts). Periode ini ini merupakan kelanjutan
periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan
pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai

19
mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun,
memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi
hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun
hadits sesuai dengan topik pembicaraan.

c. Unsur-unsur Hadits
Sebagai gambaran umum, hadits itu mempunyai tiga
unsur pokok yaitu sanad, matan, dan rawi. Pemaparan unsur-
unsur pokok hadits secara luas dapat dibaca dalam kitab-kitab
ilmu hadits ('ulum al-hadits).

3. Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini
beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata
ini pun berarti kesanggupan (al-wus'), kekuatan (al-thaqah), dan
berat (al-masyaqqah) (Ahmad bin Ahmad bin 'Ali al-Muqri al-
Fayumi, t.th: 112, dan Elias A. Elias dan Ed. E. Elias, 1982: 126).
Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam
mengartikan kata ijtihad secara bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali
al-Muqri al- Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara
bahasa adalah :

‫ص ُل اِلَى نِ َهايَتِ ِه‬


ِ ‫ف طَلَبِ ِه لِي ْبلُ َغ م ْخ ُهو َدهُ وي‬
ََ ْ َ َ
ِ ‫ب ْذ ُل وس ِع ِه وطَاقَتِ ِه‬
َ ُْ َ
Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan
pencarian snatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.

Menurut al-Syaukani (t.th: 250), arti etimologi ijtihad adalah :

‫ي فِ ْع ٍل‬
َِّ َ‫استِ ْف َر ِاغ ال ُْو ْس ِع فِى ا‬ ِ
ْ ‫عبَ َارةُ َع ِن‬
Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan
apa saja.

20
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian jahada terdapat di
dalam Al-Qur'an surat al-Nahl (16) ayat 38, surat al-Nur (24) ayat
53, dan surat Fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus'i wa
al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-
mubalaghat fi al-yamin).
Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi
yang artinya "pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam
berdoa (fajtahidu fi al-du’a). Dan hadits lain yang artinya "Rasul
Allah SAW. bersungguh-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadan)."
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijthad secara
bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya
secara istilah (terminologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa tasyri' dan masa sahabat. Perbedaan
ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al- Qur'an,
ijtihad dengan al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash.
(Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33).
Menurut Abu Zahrah (t.th: 379), secara istilah, arti ijtihad ialah:

‫ص ْيلِيَّ ِة‬ َّ ‫اط اْالَ ْح َك ِام ال َْع َملِيَّ ِة ِم ْن اَ ِدلَّتِ َها‬


ِ ‫الت ْف‬ ِ ‫ف استِْنبب‬
ََ ْ
ِ ‫ب ْذ ُل الْ َف ِقي ِه وسعه‬
َُْ َ ْ َ
Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan
hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

Menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978:


480), ijtihad ialah :

‫الش ْر ِعيَّ ِة‬


َّ ‫ب الظَّ ِّن ِم َن اْالَ ْح َك ِام‬ ِ ‫اِستِ ْفرغُ الْوس ِع‬
ِ َ‫ف طَل‬ ُْ َ ْ
Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang
zhanni dari hukum-hukum syarak.

Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa


ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang
berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu,

21
menurut ulama fikih, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan
tasawuf Di samping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil zhanni,
sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath'i. Hal ini senada
dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1989: 33), yang mengatakan bahwa cakupan
ijtihad hanyalah bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan,
pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad secara istilah juga
berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan.
Berbeda dengan Hosen, Harun Nasution menjelaskan
bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fikih adalah ijtihad
dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga
berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi
(1983: 9) mendefinisikan ijtihad sebagai :

‫ص ْوِد‬ ِ ِ ‫ب ْذ ُل ال‬
ُ ‫ْج ْهد لَن ْي ِل ال َْم ْق‬
ُ َ
Pengerahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud.

Tidak hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi, Fakhruddin al-


Razy, Ibnu Taimiyah dan Muhammad al-Ruwaih pun tidak
membatasi ijtihad pada bidang fikih saja. Menurut Fakhruddin,
ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk memikirkan apa saja
yang tidak mendatangkan celaan. (Jalaluddin Rakhmat; 1989; 33).
Sebagian ulama ada yang mempersamakan ijtihad dengan
qiyas; ada pula yang mempersamakannya dengan ra'y. Akan tetapi,
pendapat ini ditolak oleh Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa
ijtihad itu lebih umum daripada qiyas. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 481).
Dari definisi ijtihad seperti digambarkan di atas terlihat bebe-
rapa persamaan dan perbedaan. Adapun perbedaannya adalah
pertama, terletak pada penggunaan bahasa; sebagian menggu-
nakan kata istifrag dan sebagian lagi menggunakan kata badzl.
Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian ada yang dinisbatkan

22
kepada mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak
hanya bidang fikih, tetapi juga menyangkut berbagai persoalan.
Ketiga, terletak pada metode ijtihad. Ada yang menggunakan
metode manquli (dari Al-Qur'an dan al-Sunnah), yaitu metode yang
mengikuti (ittiba') metode Rasul Allah SAW., yang selalu menunggu
wahyu dalam menyelesaikan setiap persoalan (Q.S. al-Najm (53):
3-4). Sebagian lagi menggunakan metode ma'quli (berdasarkan ra'y
dan akal), yaitu metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah
SAW. diperbolehkan melakukan ijtihad (Q.S. al-Hasyr (59): 2).
Adapun persamaan-persamaannya adalah: pertama, hukum
yang dihasilkan bersifat zhanni; dan kedua, objek ijtihad berkisar
seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang berkenaan dengan amaliah
ibadah. (Muhaimin, dkk: 1994; 188-189).
Sedangkan menurut Atjep Djazuli dan I Nurol Aen (1966:
69), ijtihad dibagi dua bagian: pertama, ijtihad dalam istinbath
hukum dan penjelasannya (istinbath al-ahkam wa bayanuh); dan
kedua, ijtihad dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
a. Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur'an
dan al-Sunnah. Di antara ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar
ijtihad adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat. (Q.S. al-Nisa (4): 105).

... sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar


terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. al-
Rum (30): 21)

Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya


hadits 'Amr bin al-'Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim,
dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

23
‫اجَت َه َد‬ ِ ِ ِ ‫اِذَّاح َكم ال‬
ْ َ‫اح َك َم ف‬
َ َ‫اب َفلَ هُ اَ ْج َران َواذ‬
َ ‫ص‬َ َ‫اجَت َه َد فَا‬
ْ َ‫ْح اك ُم ف‬
َ َ َ
ِ ‫ثُ َّم اَ ْخطََأ َفلَه اَجرو‬
‫اح ُد‬ َُ ْ ُ
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan
tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala. (Muslim, II, t.th: 62).

Hadits lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadits Mu'adz


bin Jabal ketika ia diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai hakim:

‫اب‬ِ َ‫ فَ ِا ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى كِت‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫اهلل‬ِ ‫اب‬ ِ َ‫ بِ َما فِى كِت‬:‫ال‬ َ َ‫ضى؟ ق‬ ِ ‫بِم َت ْق‬
َ
‫ فَ ِا ْن لَ ْم تَ ِج ْد‬:‫ال‬ ِ ‫ض ى بِ ِه رس و ُل‬
َ َ‫ ق‬،‫اهلل‬ ْ َُ َ َ‫ْض ى بِ َماق‬ ِ ‫ اَق‬:‫ال‬ َ َ‫اهلل؟ ق‬ ِ
‫ْح ْم ُد لِلَّ ِه‬
َ ‫ اَل‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫ اَ ْجتَ ِه ُد بِ َرْأيِى‬:‫ال‬ ِ ‫ض ى بِ ِه رس و ُل‬
َ َ‫اهلل؟ ق‬ ْ َُ َ َ‫فِ ْي َماق‬
‫الَّ ِذ ْي َوفَّ َق َر ُس ْو َل َر ُس ْولِ ِه‬
"Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz?" Mu’adz
menjawab: "Dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah."
Nabi bersabda: "Kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitab
Allah?" Mu’adz menjawab: "Saya akan memutuskannya dengan
sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah." Nabi berkata:
"Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan
oleh Rasul Allah?" Mu’adz menjawab: "Saya akan berijtihad
dengan pikiran saya." Nabi bersabda: "Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan dari rasul-Nya." ('Ali Hasab
Allah, 1971: 82).

b. Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui
cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum
syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan
beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtahid,
ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad, yaitu
sebagai berikut.

24
1) Al-waqi', yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan
terjadi yang tidak diterangkan oleh nas.
2) Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang
mempuyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-
syarat tertentu.
3) Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali
(itaklifi).
4) Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih
(Nadiyah Syafari al-Umari, t.th: 199-200).
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali (t.th: 350), syarat-syarat bagi mujtahid ada dua.
Pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan
dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya
didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya
diakhirkan. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat
merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima
fatwa dan pendapatnya. Syarat- syarat yang diajukan al-Ghazali
itu masih bersifat umum sehingga memerlukan rincian, terutama
syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang
dimaksud adil pada syarat kedua.
Menurut Fakkhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-
Husain al-Razi (1988: 496-7), syarat-syarat mujtahid adalah
sebagai berikut.
1) Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat
melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab
pertama terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau
tidak.

25
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1),
syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama, memahami tujuan-
tujuan syara (maqashid al-syari'ah), yaitu dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan
jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-'aql),
pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan harta
(hifzh al-mal); hajiyyat, dan tahsiniyyat. Kedua, mampu
melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab
dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin
'Ali bin Muhammad al-Syaukani (t.th; 250-252) menyodorkan
syarat- syarat mujtahid sebagai berikut.
1) Mengetahui Al-Qur'an dan al-Sunnah yang bertalian dengan
masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam
Al-Qur'an sekitar 500 ayat.
2) Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat
yang menyalahi ijmak ulama.
3) Mengetahui bahasa Arab karena Al-Qur'an dan al-Sunnah
disusun dalam bahasa Arab.
4) Mengetahui ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu ter-
penting bagi mujtahid karena membahas dasar-dasar serta
hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5) Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau
berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun syarat-syarat mujtahid yang dikemukakan oleh
Muhammad Abu Zahrah (t.th: 250-2) adalah sebagai berikut.
1) Mengetahui bahasa Arab, karena Al-Qur'an diturunkan
dalam bahasa Arab. Al-Sunnah, sebagai penjelas Al-Qur'an,
juga ditulis dalam bahasa Arab.
2) Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur'an.

26
3) Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun
penetapan.
4) Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
5) Mengetahui qiyas.
6) Mengetahui maqashid al-syari'ah.
7) Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahm) yang
karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq.
8) Memiliki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Hampir sama dengan syarat-syarat yang diajukan oleh
Abu Zahrah, Wahbah al-Zuhaili (1977: 487-492) mengajukan
syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1) Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur'an, baik secara bahasa maupun secara istilah.
Mujtahid tidak mesti hafal, tetapi cukup mengetahui tempat-
tempatnya sehingga memudahkan baginya dalam
menggunakan ayat-ayat hukum tersebut.
2) Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa dan
istilah. Mujtahid tidak harus hafal, tetapi cukup mengetahui
tempat hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab induk hadits,
seperti Shahih al-Bukhari, Shahih al-Muslim, Sunan Abi
Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i, dan Sunan Ibn
Majah.
3) Mengetahui nasikh-mansukh, baik dari Al-Qur'an maupun
Sunnah.
4) Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat
yang menyalahi ijmak terdahulu.
5) Mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya yang disepakati,
karena qiyas merupakan salah satu metode ijtihad; rincian
hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.

27
6) Mengetahui ilmu bahasa Arab, seperi nahwn, sharaf, ma'ani,
dan bayan, karena Al-Qur'an dan Sunnah disusun dalam
bahasa Arab.
7) Mengetahui ilmu ushul fiqh karena di dalamnya dibahas
dasar- dasar dan rukun ijtihad.
8) Mengetahui maqashid al-syari'at dalam penetapan hukum,
karena mujtahid wajib mengetahui rahasia-rahasia hukum di
samping dilalat al-alfazh (penunjukan makna-makna lafad).
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujahid itu cukup banyak. Maka menurut Muhaimin dkk.
(1994: 198-199), sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya,
mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-
tingkatan itu ialah mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab.
Mujtahid muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali
hukum-hukum agama dari sumbernya. Di samping itu, ia pun
mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijti-
hadnya. Mujtahid muthlaq terbagi menjadi dua tingkatan.
Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam
ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun
sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan
metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab
tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh
mazhab fikih terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi'i, dan Imam Hanbali. Kedua, mujtahid muthlaq muntasib,
yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil
tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri. Mujtahid kelompok
ini tidak taklid kepada imamnya tanpa dalil dan keterangan; ia
menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan
sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, al-Muzani dari
mazhab Syafi'i dan al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.
Mujtahid fi al-madzhab ialah mujtahid yang mampu

28
mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum
dikeluarkan oleh mazhab nya dengan cara menggunakan
metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya,
Abu Ja'far al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok
mujtahid ini terbagi dua: (1) mujtahid takhrij; dan (2) mujtahid
tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.
Melihat begitu banyak dan beragamnya syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mujtahid, tampaknya untuk masa
sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh karena itu, menurut pe-
nulis, ijtihad tidak hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad
fardiah), tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad
jamai'). Artinya, sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang
berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.

c. Lapangan Ijtihad (Majal Al-Ijtihad)


Lapangan atau wilayah ijtihad atau majal al-ijtihad adalah
masalah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya
dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ilmu
ushid fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali (t.th: 354), lapangan ijtihad adalah setiap
hukum syara' yang tidak memiliki dalil qath'i.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara
dlarurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan
akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah
al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan dalil qath'i al-tsubut wa datalah tidaklah termasuk
lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma 'ulima
min al-din bi al-dlarurah, di antaranya kewajban salat lima
waktu, puasa pada bulan Ramadan, zakat, haji, keharaman
zina, pencurian, dan meminum khamar.

29
Secara lebih jelas, Wahbah al-Zuhaili (1978: 497)
menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi
Muhammad Saw dalam Al-Qur'an dan al-Sunnah (ma la nashafi
ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil
zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-
tsubut atau zhanni al-dalalah).

d. Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum syara', maka hukum ijtihad bagi
orang itu bisa wajib 'ain, wajib kifayah, sunat, atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria
mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja
tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa
yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad
menjadi wajib 'ain. Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi
kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa
yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan
selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad
menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada
yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya
berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan
ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka. Ketiga,
hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-
persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, hukum ijtihad
menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah
jelas hukumnya secara qathi', baik dalam Al-Qur'an maupun al-

30
Sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan
Muhaimin, dkk., 1994: 189).

e. Ijtihad Nabi SAW


Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah di kalangan
para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara
umum, mereka menyepakati ijtihad Rasul SAW. dalam urusan-
urusan kemaslahatan yang bersifat keduniawian (al-mashalih al-
dunyawiyah), pengaturan taktik dan strategi peperangan
(tadabir al-hurub), dan keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan persengketaan (al-aqdhiyah wa al-khushumah). Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasul Saw
dalam urusan hukum-hukum agama (al-ahkam al-syari'ah).
(Wahbah al- Zuhaili, 1978: 499; al-Syaukani, t.th: 234).
Dalam menanggapi boleh-tidaknya Rasul berijtihad dalam
urusan hukum-hukum agama, ulama berbeda pendapat. Pertama,
kebanyakan para ahli ushul fiqh membolehkan. Menurut mereka,
ini pernah dilakukan oleh Rasul SAW. Kedua, para pengikut Abu
Hanifah (Hanafiah) berpendapat bahwa Rasulullah SAW.
diperintahkan untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu
untuk menyelesaikan suatu peristiwa yang terjadi, dan beliau
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu saja. Ketiga,
kebanyakan pengikut Asya'riah, ahli kalam, dan kebanyakan
pengikut Muktazilah tidak menyetujui ijtihad Rasulullah dalam
urusan hukum-hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
(Q.S. Ali Imran (3): 13).

31
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang- orang yang mempunyai pandangan. (Q.S. al-
Hasyr (59): 2).
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
(Q.S. Yusuf (12): 111).
Kata-kata ulu al-abshar, ulu al-albab, dan 'ibrah pada
ayat-ayat terdahulu tidak hanya berlaku bagi khithab ketika ayat
itu diturunkan, tetapi berlaku juga bagi Rasul SAW. karena
beliaulah sesungguhnya yang lebih tepat disebut ulul-abshar
dan ulul-albab. Kata-kata tersebut menggambarkan suatu
perintah untuk memprediksi masa depan dengan cara
perbandingan, atau dalam istilah ushul adalah qiyas, sedangkan
qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.
Dalam ayat lain, surat Ali Imran (3): 159, Allah SWT.
Berfirman :
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."

Menurut kelompok ini, lafad wa syawirhum fi al-amr


dalam ayat di atas mengisyaratkan adanya ijtihad, karena
musyawarah hanya berlaku untuk menyelesaikan urusan-
urusan yang hukumnya tidak ditunjuk secara jelas oleh nas.
Ulama yang menolak adanya ijtihad Rasul SAW., juga
menjadikan Al-Qur'an sebagai dalil:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapkanlah itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. al-Najm (53): 3-4).

32
Katakanlah, "Tiada patut bagiku menggantikannya dari
pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku." (Q.S. Yunus (10): 15)

f. Ijtihad: Sumber Dinamika


Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah
peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang
saksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk oleh
nas. Di balik itu, kata Roter Garaudy, yang dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1989: 39), tantangan umat sekarang ada
dua macam, taklid kepada Barat dan taklid kepada masa lalu.
Taklid model pertama muncul karena ketidakmampuan dalam
membedakan antara modernisasi dan cara hidup Barat;
sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan
dalam membedakan antara syariat yang merupakan wahyu dan
pandangan fuqaha masa lalu tentang syariat itu.
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut
untuk keluar dari kemelut itu, yaitu dengan cara melakukan
ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting meskipun
tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya
itu disebabkan oleh hal-hal berikut.
1) Jarak antara kita dengan masa tasyri' semakin jauh. Jarak
yang jauh ini memungkinkan terlupakannya beberapa nas,
khususnya dalam al-Sunnah, yaitu masuknya hadits-hadits
palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas. Oleh
karena itu, para mujtahid dituntut secara bersunguh-sungguh
menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2) Syariat disampaikan dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara
komprehensif; memerlukan penelaahan dan pengkajian
yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat yang 'am dan
khas, muthlaq dan muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh

33
dan mansukh, serta yang lainnya yang memerlukan
penjelasan para mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur
kreativitas pribadi atau kelompok dalam merespons peristiwa
yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Di samping
itu, ijtihad pun memberi tafsiran kembali atas perundang-
undangan yang sifatnya insidental sesuai dengan syarat-syarat
yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar prinsip-
prinsip umum, dalil-dalil kidly dan maqashid al-syari'at yang
merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-
dalil yang zhanni al-iournd atau zhani al-dalalah. Penjelasan
terhadap dalil-dalil tersebut merupakan kerja ijtihad dalam
rangka menyelesaikan persoalan kehidupan manusia yang
senantiasa berubah dalam nuansa perkembangan.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam
yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan,
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran Islam,
mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan
kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi keunggulan Islam
atas agama-agama lainnya (ya'lu wa la yu'la 'alaih).

B. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Wakaf yang bentuk jama'-nya auqaaf berasal dari kata benda
abstrak (masdar) atau kata kerja (fi'il) yang dapat berfungsi sebagai
kata kerja transitif (fi'il muta'addi) atau kata kerja intransitif (fi'il lazim),
berarti menahan, atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.
Dalam literatur fiqih dikenal juga istilah al-habsu yang juga berarti
menahan (Zaini Abdul Malik dan Lalu Rus'an Sujak, 2001). Dalam
pengertian istilah, wakaf didefinisikan sebagai menahan harta yang

34
mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak
bendanya dan digunakan untuk kebaikan (ash-Shan'ani, tt). Sayyid
Sabiq (Fiqlms Siinnah, 1968) mengartikan wakaf sebagai menahan
harta dan mengambil manfaatnya untuk digunakan di jalan Allah. Abu
Bakr Jabil al-Jazzairi (2000) menambahkan pengertian menahan itu
tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dihibahkan.
M.A. Mannan (2001) menambahkan pula bahwa yang dimaksud
dengan wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan
dan penyerahan aset di mana seseorang dapat memanfaatkan atau
menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut
masih ada. Dengan demikian, setiap harta yang diwakafkan itu keluar
dari kepemilikan orang yang mewakafkan (wakif) dan barang tersebut
secara hukum dianggap milik Allah.
Bagi wakif, terhalang memanfaatkannya untuk kepentingan
dirinya dan wajib mendermakan hasilnya sesuai dengan tujuannya.
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 jo pasal 1 (1) PP No.
28/1977, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya, sesuai
dengan ajaran Islam (Ahmad Rafiq: 491).
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapatlah di-
ketahui bahwa unsur-unsur wakaf itu terdiri dari beberapa hal
berikut.
1) Orang yang berwakaf (wakif) yaitu pemilik harta benda yang
diwakafkan.
2) Harta yang diwakafkan (mauquf’bihi).
3) Tujuan wakaf atau yang berhak menerima, yang disebut
mauquf'alaihi.
4) Pernyataan wakaf dari wakif yang disebut shighat atau ikrar
wakaf.

35
2. Perbedaan Antara Wakaf, Sedekah, dan Hibah
M.A. Mannan (2001) menyatakan bahwa dilihat dari tata
cara transaksinya, wakaf dapat dipandang sebagai salah satu
bentuk amal yang mirip dengan sedekah. Yang membedakannya,
dalam sedekah, baik substansi (aset) maupun hasil/manfaat
yang diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya
dipindahtangankan kepada yang berhak menerimanya,
sedangkan pada wakaf, yang dipindahtangankan hanya
hasil/manfaatnya, sedangkan substansi/asetnya tetap
dipertahankan. Berbeda dengan wakaf, dalam hibah,
substansi/aset dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada
orang lain tanpa ada persyaratan, sedangkan wakaf ada
persyaratan penggunaan yang telah ditentukan wakif. Namun,
tujuannya sama-sama dilandasi semangat keagamaan.

3. Landasan Hukum Wakaf


Para ulama mengemukakan beberapa ayat yang bersifat
umum yang dijadikan landasan adanya syariat wakaf, antara lain
sebagai berikut.

‫آم ُن ْوا اُ ْرَكعُ ْوا َواُ ْس ُج ُدوا َوا ْعبُ ُدوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُ وا الْ َخ ْي َر‬ ِ َّ
َ ‫ين‬َ ‫يَ ا َُّأي َه ا الذ‬
﴾٧٧﴿ ‫ن‬ َ ‫لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو‬
“Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj; 77).

"Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengeta-
huinya." (Ali Imran: 92).

36
Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Thalhah, ketika
mendengar ayat tersebut, mewakafkan hartanya yang sangat
dicintainya berupa sebidang kebun kurma.

"...kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-


saudaramu (seagama)...." (al-Ahzab: 6).

Rasulullah SAW. bersabda,


"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal
perbuatannya, kecuali tiga, sedekahjariyah, ilmuyang
dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR Muslim
dari Abu Hurairah).

Para ulama menafsirkan kata-kata sedekah jariyah (sedekah


yang akan terus mengalirkan pahala) dalam hadits tersebut,
dengan wakaf.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa yang membeli sumur raumah, maka baginya surga".
(HR Bukhari, Tirmidzi, dan Nasa'i dari Utsman bin Affan).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa Utsman bin Affan


membeli sumur di Madinah, kemudian ia wakafkan untuk
kepentingan umum, dan beliau sendiri menggunakannya juga untuk
kepentingan sehari-hari.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar,
"Ia berkata, 'Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia
datang kepada Rasulullah saw. meminta untuk mengolahnya,
sambil berkata, Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di
Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku
harus berbuat?” Nabi bersabda, “Jika engkau menginginkannya
tahanlah tanah itu sedekahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh
dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.' Maka ia
menyedekahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak
belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus
harta tersebut untuk menggunakan sekadar keperluannya tanpa
maksud memiliki harta itu." (HR Muttafaq 'Alaih).

Hadits tersebut merupakan nash yang sharih (jelas) yang


secara khusus dijadikan landasan utama adanya syariat wakaf.

37
4. Hikmah dan Manfaat Wakaf
Banyak hikmah dan manfaat yang dapat diambil dari
kegiatan wakaf, baik bagi wakif maupun bagi masyarakat secara
lebih luas, antara lain sebagai berikut.
1) Menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap
kebutuhan masyarakat.
2) Keuntungan moral bagi wakif dengan mendapatkan pahala
yang akan mengalir terus, walaupun wakif sudah meninggal
dunia.
3) Memperbanyak aset-aset yang digunakan untuk kepentingan
umum yang sesuai dengan ajaran Islam.
4) Merupakan sumber dana potensial bagi kepentingan pe-
ningkatan kualitas umat, seperti pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan hikmah dan manfaat wakaf, A.A. Mannan
(2001) menulis bahwa sepanjang sejarah Islam wakaf telah
memerankan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan
kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat
Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi
para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana
yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat
mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.
Kenyataan menunjukkan institusi wakaf telah menjalankan
sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementerian-
kementerian khusus seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan,
dan Sosial. Kita memiliki bukti-bukti yang mendukung pernyataan
bahwa sumber-sumber wakaf tidak hanya digunakan untuk
membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk
membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk jasa-
jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.

38
Dalam usahanya untuk memotivasi riset, program pe-
nerjemahan juga ditunjang dari hasil-hasil wakaf. Banyak sekali
buku-buku yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana dan
ilmuwan muslim didanai oleh wakaf. Riset-riset, baik yang
menggunakan metode empiris maupun scientific terus dikem-
bangkan dan didukung pendanaannya oleh wakaf.
Keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu bagi
pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-
fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan seperti: pem-
bangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri
di bidang obat-obatan serta kimia. Penghasilan wakaf bukan hanya
digunakan untuk mengembangkan obat-obatan dan menjaga
kesehatan manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Manusia
dapat mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan
mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana
hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pendidikan medis kini tidak
hanya diberikan di sekolah-sekolah medis dan rumah sakit, tetapi
juga telah diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas
seperti universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil
pengelolaan aset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah
sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal dari
hasil pengelolaan aset wakaf.
Pada periode Abbasiyah, dana hasil penyusun pengelolaan
aset wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni
dan telah sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam,
terutama arsitektur dalam bangunan masjid, sekolah, dan rumah
sakit.

5. Wakaf Tunai (Wakaf Uang)


Pembahasan ulama tentang wakaf, sesungguhnya telah
cukup maju. Banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah

39
mengantisipasi perkembangan zaman. Ulama mazhab Maliki
misalnya membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk
dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Ulama
mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali berpendapat bahwa baik harta
bergerak, seperti mobil dan hewan, maupun harta tidak bergerak,
seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan (Menteri Agama RI,
pada pembukaan Workshop Wakaf Produktif, Batam, 2002).
Beberapa ulama terdahulu seperti az-Zuhri (wafat tahun 124
H) berpendapat bahwa boleh mewakafkan dinar dan dirham.
Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal
usaha (dagang) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai
wakaf. Menurut mazhab Hanafi (Wahbah az-Zuhaily, 1997) bahwa
uang yang diwakafkan dapat dijadikan modal usaha dengan sistem
mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi
hasil itu diberikan untuk kepentingan umum.
Meski beberapa ulama tidak menyetujui wakaf tunai dengan
uang, seperti Ali Abidin (Anwar Ibrahim, 2002), penulis berpendapat
bahwa wakaf tersebut dibenarkan secara syariat, dengan catatan
uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara, misalnya disimpan di
Lembaga Keuangan Syariah yang amanah dan profesional.
Banyak sasaran yang dapat dicapai dengan wakaf tunai,
dikemukakan A.A. Mannan (2001) seperti yang dikutip oleh Didin
Hafidhuddin (2003: 125-126) yang telah berhasil mengembangkan
sertifikat wakaf tunai di Bangladesh.
1) Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan
wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2) Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan
menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati
orang tua yang telah meninggal, anak-anak, dan mempererat
hubungan kekeluargaan orang-orang kaya.

40
3) Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan
tabungan masyarakat menjadi modal.
4) Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama
golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang
diambilkan dari golongan kaya.
5) Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung
jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6) Membantu pengembangan Social Capital Market.
7) Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum
dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan
kesejahteraan masyarakat.

41

Anda mungkin juga menyukai