Anda di halaman 1dari 44

BAB II

AQIDAH

A. Iman Kepada Allah SWT.


1. Pengertian
Iman kepada Allah artinya meyakini adanya Allah dengan
sepenuh hati tanpa adanya keraguan sedikitpun, karena Dia lah
yang kita sembah, Yang Maha Esa lagi Maha Pencipta, Yang
pertama lagi permulaan, Yang akhir tanpa penghabisan, pemilik
keagungan dan kesempurnaan.
Pada hakekatnya keimanan kepada Allah itu sudah terjadi
sejak sebelum manusia itu dilahirkan, dan sebelum rokh bersatu
dengan jasadnya dalam kandungan (rahim) ibunya (QS. 7 Al A’araf
ayat 172).
Asma’ul husna menurut etimologi berasal dari kata al-asma’
dan al-husna, al-asma yang berarti nama sedangkan husna
merupakan mu’annats dari al-Ahsan berarti baik. Jadi al-asma’ al-
husna yaitu nama-nama yang baik. Menurut istilah yakni Allah
memiliki asma-asma yang baik yang sembilan puluh sembilan
sebagaimana disebutkan dalam hadits. Selain itu menurut Quraish
Shihab asma’ul husna memiliki suatu pengertian, yaitu dengan
mengingatkan bahwa ada fitrah insting keberagamaan dalam diri
seorang insan.
Asmaul Husna berarti dari segi bahasa adalah nama-nama
Allah yang baik, mulia dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya.
Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan Allah,
sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta beserta segala
isinya.

1
Pembahasannya merupakan pendekatan yang disesuaikan
dengan konsep akal kita yang sangat terbatas ini. Semua kata yang
dilekatkan pada Allah harus dipahami perbedaannya dengan
penggunaan wajar kata-kata itu.
Memahami Asmaul Husna bukan saja sebatas
menghafalnya melalui lantunan yang indah. Akan tetapi lebih dari
itu kita harus mampu memahami makna kebesaran Allah SWT..
melalui Asmaul Husna tersebut. Pada akhirnya kita harus mampu
berbuat sesuai dengan perintah-Nya.

2. Dalil Asmaul Husna


Berikut adalah beberapa dalil yang terkandung di dalam Al-
Qur'an dan Hadis tentang Asmaul Husna :
a. "Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Dia memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang
baik)." - (Al-Quran, Surat Thaa-Haa: 8).
b. Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia memiliki al
asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam Shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" -
(Al-Quran.Surah Al Israa ': 110).
c. Dari Abu Huraira R.A.: Nabi saw. bersabda: "Allah itu memiliki
sembilan puluh sembilan nama yang bagus. Barang siapa yang
mampu menghafalnya, maka dia akan masuk surga.
Sesungguhnya Allah itu ganjil [esa] dan Dia menyukai [jumlah]
yang ganjil." - Sahih Bukhari.

3. Makna Asmaul Husna


a. Al-Karîm
Al Karim adalah yang mulia dalam segala hal, yang amat
banyak pemberian dan kebaikannya, baik ketika diminta

2
maupun tidak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Nama Allah al-Karîm mencakup makna
kedermawanan, juga makna kemuliaan dan keluhuran, serta
bermakna kelembutan dan memberi kebaikan”
Nama al-Karîm menunjukkan kesempurnaan kemuliaan
Allah Azza wa Jalla dalam zat dan segala sifat serta perbuatan-
Nya:
1) Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam dzat-Nya. Tidak ada
cacat sedikit pun dalam dzat Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya dzat Allah k Maha Indah.
2) Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam segala sifat-Nya.
Tidak ada sifat jelek pun pada Allah. Sesungguhnya sifat-
sifat Allah amat sempurna dalam segala maknanya.
3) Allah Azza wa Jalla juga Maha Mulia dalam segala
perbuatannya. Tidak ada cacat dalam perbuatan Allah Azza
wa Jalla. Sesungguhnya segala perbuatan Allah Azza wa
Jalla penuh dengan berbagai hikmah yang luas.
Dengan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-
Karîm akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri
seorang muslim, di antaranya:
1) Menanamkan sifat mulia dalam diri seorang muslim,
karena Allah Maha Mulia dan mencintai orang yang
bersifat mulia.
2) Menanamkan sifat pemurah dalam diri seorang muslim.
Karena diantara makna al-Karîm adalah Maha Pemurah.
Tentu Allah Azza wa Jalla amat mencintai orang yang
bersifat pemurah. Dan Allah Azza wa Jalla membenci orang
yang bersifat kikir. Sebagaimana dalam FirmanNya:
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk
menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara
kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia

3
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang
Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang
berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya
Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan
mereka tidak akan seperti kamu ini”. [Muhammad/47:38]
3) Menumbuhkan rasa cinta yang dalam pada diri seorang
muslim kepada Allah Azza wa Jalla . Karena Allah Azza wa
Jalla bersifat Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla memberi
nikmat tanpa batas kepadanya meskipun tanpa diminta.
4) Wajibnya memuliakan kitab Allah Azza wa Jalla, al-Qur’ânul
Karîm. Karena, al-Qur’ân adalah kalam Allah Azza wa Jalla
yang mulia, yang diturunkan melalui perantara malaikat yang
mulia kepada Rasul yang mulia.
5) Wajibnya memuliakan malaikat-malaikat Allah Azza wa Jalla,
diantaranya malaikat Jibril. Barang siapa yang
membencinya, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla.
(QS. al-Baqarah/2:98
6) Wajibnya mencintai para rasul Allah Azza wa Jalla.
Barangsiapa yang membenci salah seorang diantara
mereka, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla, sesuai
dengan kandungan ayat di atas.
7) Menumbuhkan sifat suka memuliakan tetangga dan tamu,
sesuai anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
8) Menumbuhkan sifat suka pemaaf, karena Allah Azza wa
Jalla menyukai sifat pemaaf.
9) Mendorong kita untuk selalu berdoa kepada Allah Azza wa
Jalla. Karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah terhadap
hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla malu mengembalikan
tangan hamba yang diangkat saat berdoa dalam keadaan
kosong. Karena nama Allah al-Karîm bergandengan dengan
nama Allah Azza wa Jalla al-Hayiyyu.

4
b. Al-Mukmin
Al-Mukmin adalah nama Allah. Ketika kita akan menyeru
dan berdoa kepada Allah dengan nama-Nya Al-Mukmin, kita
berarti memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah,
bencana dan siksa. Karena Dialah Yang Maha Memberikan
keamanan, Dia yang Maha Pengaman. Dalam nama Al-Mu’min
terdapat kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Disitu ada
pertolongan dan perlindungan, ada jaminan(insurense), dan ada
bala bantuan.

Tauladan Al-Mu’min
Ketika kata “Al-Mu’min” dipakai untuk sebutan hamba
Allah yang beriman, berarti hamba itu telah mencontoh dan
menauladani nama Al-Mu’min. Mengapa orang yang beriman
disebut Al-Mu’min? karena kata lisan, kata hati dan
perbuatannya singkron. Hatinya telah membenarkan apa yang
datang dari Allah, kemudian mengamalkannya. Dia telah
menemukan hakikat kebenaran, dia telah mendapatkan
kekuatan dirinya yang bersumber dari nama Allah “Al-
Mu’min”. Kekuatan itu adalah “keyakinan dan optimisme”
yang kemudian melahirkan kreatifitas dan inovasi. Keyakinan
ini tidak boleh dikotori oleh prasangka buruk atau keragu-
raguan kepada Allah.
Orang beriman yang telah menauladani nama Allah Al-
Mu’min disebut abdul mu’min. Dia adalah hamba Allah yang
hidup jejak-jejaknya, hidup penglihatanya, hidup
pendengarannya, hidup niatnya, hidup amalnya, sehingga
mampu menangkap makna yang tersirat dibalik tirai hijab
kehidupan.

5
c. Al-Hakim
Al-Hakim berarti Mahabijaksana. Kebijaksanaan Allah
SWT.. mencakup segala hal yang ada di alam semesta ini.
Sebagai contoh, Allah SWT. menciptakan tubuh kita ini dengan
bentuk yang sangat indah dan sempurna. Allah SWT.
menciptakan segala benda dan peristiwa di dunia dengan
hikmah dan tujuan tertentu. Misalnya, ada suatu peristiwa yang
sekilas kita rasakan sebagai sebuah musibah. Akan tetapi, di
baliknya ada hikmah yang bisa kita petik atau menjadi pelajaran
bagi orang lain.

d. Al-Wakil
Beberapa tafsiran ulama tentang tawakal: Pertama,
kepasrahan hati di hadapan Allah seperti pasrahnya mayat di
hadapan orang yang memandikannya. Tahu tak apa yang
dilakukan orang yang memandikan mayat? Ia membolak-balik
tubuh mayat itu seenaknya. Begitulah tawakal. Kita katakan
pada Allah, “Ya Allah, lakukan semua yang Kau kehendaki, aku
pasrah dengan seluruh keberadaanku, aku redha dengan apa
yang akan Kau lakukan, aku bertawakal padaMu, kerana aku
yakin Kau tidak akan menjerumuskanku menuju kemudharatan.”
Kedua, biarkanlah Allah untuk berbuat sekehendakNya. Kita
berposisi sebagaimana Allah memposisikan kita, kita redha dan
senang dengan ketetapanNya, kita katakan, “Ya Allah, apa yang
datang dariMu aku senang menerimanya, aku yakin Engkau
tidak akan menelantarkanku dalam kemudharatan.” Ketiga, kita
menyempurnakan “sebab” dengan anggota badan, dan
memutuskan “sebab” dari hati kita. Sebagai contoh, kita ingin
menghadiri temuduga kerja. Hati kita terus menerus bergantung
harapan pada Allah. Itulah tawakal kita. Tapi anggota kita

6
menyempurnakan ‘sebab’ dengan beradab, menggunakan
bahasa yang sopan dengan interviewer, mengikut etika
interview yang seharusnya. Pergaulilah manusia dengan adab
kita, dan ambillah ‘sebab’, tetapi putuskanlah hati kita dari
‘sebab’. Itulah yang dinamakan tawakal Keempat, kita rela Allah
menjadi wakil kita. Relakah kita, Allah menjadi wakil kita?
Bukankah ketika kita ditimpa musibah, kita akan bersandar pada
manusia. Ya! Kita akan bersandar pada manusia, tetapi itu
sebatas dengan anggota badan. Kalau kita bersandar pada
manusia dengan hati, ini jelas sebuah kesalahan. Inilah tawakal.
Kita rela Allah menjadi tempat bersandar. Kita katakana, “Aku
serahkan semua urusanku padaMu, wahai Rabbku”

e. Al-Matin
Al-Matin Artinya Dzat yang sangat kokoh, yaitu Dia
sangat kokoh dan berkekuatan yang tidak pernah luntur. Kokoh
diatas segala-galanya diseluruh kekuasaan-Nya.
Allah adalah Maha Sempurna dalam kekuatan dan
kekukuhan-Nya. Kekuhan dalam prinsip sifat-sifatnya, tidak
akan Allah melemahkan suatu sifatnya, sebagaimana manusia...
Maha Sempurna Allah dari sifat manusiawi. Allah juga maha
kukuh dalam kekuatan kekuatannya oleh karena itu Sifat Al-
Matin adalah kehebatan perbuatan yang sangat kokoh dari
kekuatan yang tidak ada taranya.
Kekukuhan Allah yang memiliki rahmat dan azab terbukti
ketika Allah memberika rahmat-Nya kepada hamba hamba-Nya
tidak ada apapun yang dapat menghalangi rahmat ini untuk tiba
kepada sAsharannya.
Demikian juga tidak ada kekuatan yang dapat mencegah
pembalasan-Nya. Kemurkaan dan azab-Nya akan mengenai
sAsharan tanpa meleset sedikitpun atau sekali pun.

7
Seorang hamba harus mengharapkan agar semua
kebaikan dan keindahan datng dari Allah dan hanya takut
kepada azab Allah. Dengan demikian semua rasa takut yang
lain hilang dari hati hamba hambanya yang telah tertambat
kepada Tuhan mereka.
Hamba Al-Matin adalah hamba yang dikaruniai dan
diberikan oleh Allah mengetahui rahasia sifat kekuatan dan
kekukuhan ALlah yang meliputi segala Kekuatan. Hal tersebut
membuatnya berpegang teguh pada tali agamanya dan tidak
ada sesuatupun yang dapat membuatnya berpaling. Tidak ada
kesuliatan yang melelahkannya dan tidak ada yang dapat
memisahkannya dari Yang Maha Benar, dan dalam membela
kebenaran tiak ada seorangpun yang dapat mengancam atau
membuatnya diam.
Seorang hamba yang menemukan kekuatan dan
kekukuhan Allah akan membuatnya menjadi manusia yang
tawakal. memiliki kepercayaan dalam jiwanya dan tidak merasa
rendah di hadapan manusia lain, ia akan selalu merasa rendah
di hadapan Allah SWT.,  Hanya Allah yang maha mennilai, oleh
karena itu, Allah melarang manusia bersikap atau merasa lebih
dari saudara nya karena hanya Allah yang Maha Mengetahui
baik buruknya seorang hamba. Allah juga menganjurkan
manusia bersabar.. karena Allah Maha tahu apa yang terbaik
untuk hamba-Nya karena kekuatan dan kekukuhan-Nya yang
tidak terhingga .. tidak terbayangkan oleh manusia yang lemah
dan tidak memiliki daya upaya.

f. Al-Jamil
Makna secara bahasa; Ibnu Fâris rahimahullah
menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua
makna, salah satunya adalah indah/bagus [2]. Adapun al-Fairûz

8
Abâdi rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa asal kata
nama ini mengandung pengertian keindahan dalam tingkah laku
dan rupa. [3] Sementara itu, pakar bahasa yang lain yang
bernama Ibnu Atsir rahimahullah lebih lanjut menjelaskan bahwa
al-Jamîl berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan
sempurna sifat-sifat-Nya [4].

Penjabaran Makna Nama Allah Al-Jamil


Nama Allah Azza wa Jallaal-Jamîl ini menunjukkan
kesempurnaan keindahan Allah Azza wa Jalla pada semua
nama, sifat, dzat dan perbuatan-Nya.[5] Imam Nawawi
rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas dengan
mengatakan, “Semua urusan Allah Azza wa Jalla itu indah dan
baik, dan Dia Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang Maha
Indah serta sifat-sifat yang Maha Bagus dan Sempurna”.[6]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini
secara lebih terperinci pada keterangan berikut, “Keindahan
Allah Azza wa Jalla ada empat tingkatan;
 Pertama : keindahan dzat,
 Kedua : keindahan sifat,
 Ketiga : keindahan perbuatan dan
 Keempat : keindahan nama.
Atas dAshar itu, semua nama Allah Azza wa Jalla Maha
Indah, seluruh sifat-Nya Maha Sempurna, dan semua
perbuatan-Nya mengandung hikmah, kemaslahatan (kebaikan)
dan keadilan serta rahmat (kasih sayang). Adapun
keindahan dzat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah
perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain Allah
Azza wa Jalla. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan
tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia

9
Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba
yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga
dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan
tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits
Rasulullâh dari Allah Azza wa Jalla(hadits qudsi): “Kebesaran itu
adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-
Ku…”[7]. Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan
yang dibalut dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan
kemuliaan?
Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian dari arti
keindahan dzat-Nya, karena seorang hamba akan terus
meningkat pengetahuannya tentang Allah Azza wa Jalla, mulai
dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya meningkat menjadi
mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya
meningkat menjadi mengenal dzat-Nya. Jika dia menyaksikan
sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan
perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai
(argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya,
kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (landasan)
yang menunjukkan keindahan dzat-Nya.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa segala pujian hanya
milik Allah Azza wa Jalla. Tidak ada seorang makhluk-pun yang
mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya. Dia adalah
seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah
yang berhak diibadahi, dicintai dan disyukuri karena dzat-Nya,
dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri.
Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan
pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya
merupakan pujian, sanjungan, cinta dan tauhid
(yang sebenarnya). Maka Allah Azza wa Jalla adalah seperti
pujian yang ditujukan untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian

10
yang ditujukan para makhluk kepada-Nya; dan Dia Azza wa
Jalla dicintai dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun di antara
obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya.
Namun, tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci
dan dimurkai. Tidak ada satu pun di alam ini yang dicintai, dipuji
karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla.
Semua yang dicintai selain Allah Azza wa Jalla, jika
kecintaan tersebut mengikuti kecintaan kepada-Nya Azza wa
Jalla, yaitu mencintainya karena Allah Azza wa Jalla, maka
kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu
adalah kecintaan yang batil (salah). Inilah hakikat ilâhiyyah
(penghambaan diri kepada-Nya). Karena itu, dzat yang
diibadahi dengan sebenarnya, dialah yang dicintai dan
dipuji dzat-Nya. Terlebih lagi, jika semua itu dihubungkan
dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat,
kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-
Nya.
Untuk itu, hendaknya seorang hamba meyakini bahwa
tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla,
kemudian mencintai dan memuji-Nya karena dzat dan
kesempurnaan-Nya. Selanjutnya, hendaknya dia meyakini
bahwa pada hakekatnya tidak ada yang memberikan
kebaikan berupa berbagai macam kenikmatan, yang lahir
maupun dan batin, kecuali Allah Azza wa Jalla. Karena itu, dia
mencintai-Nya dan serta memuji-Nya atas semua itu. Dengan
itu, dia mencintai Allah Azza wa Jalla dari kedua segi itu secara
bersamaan.
Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai
Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti
kecintaan kepada selain-Nya. Kecintaan yang disertai

11
ketundukan itulah (hakekat) penghambaan diri kepada-Nya,
yang merupakan tujuan penciptaan makhluk-Nya.
Karena ubûdiyyah (penghambaan diri) merupakan bentuk
kecintaan yang utuh, disertai ketundukan yang sempurna, yang
tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla.
Sehingga, menyekutukan Allah Azza wa Jallatermasuk
perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah Azza wa Jalla
dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya”[8].
Di tempat lain, beliau t berkata, “Kecintaan itu memiliki
dua sebab yang membangkitkannya, yaitu keindahan dan
pengagungan, dan Allah Azza wa Jallamemiliki kesempurnaan
yang mutlak pada semua itu karena Dia Maha Indah dan
mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-
Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga
tidak ada sesuatu pun yang berhak untuk dicintai dari semua
segi karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla”[9].

Hikmah Mengimani Nama Allah Al Jamil


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Di
antara bentuk pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal
sifat Allah Azza wa Jallaal-jamâl (Maha Indah). Ini adalah
pengetahuan istimewa yang dimiliki hamba-hamba Allah Azza
wa Jalla. Semua dapat manusia mengenal-Nya dengan satu
sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna
pengetahuannya (tentang Allah Azza wa Jalla) adalah yang
mengenal-Nya dengan sifat kesempurnaan, keagungan
dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya dalam semua sifat-Nya.
Seandainya semua makhluk memiliki rupa yang
paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin itu
dibandingkan dengan keindahan Allah Azza wa Jalla, maka

12
sungguh (perbandingannya) lebih rendah daripada
perbandingan pelita yang redup cahayanya dengan (terangnya
cahaya) lingkaran matahari. Cukuplah (yang
menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua
keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk
jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan dzat
yang bersumber dari-Nya (semua) keindahan ini?”[10].
Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah Azza
wa Jalla yang Maha Agung ini sebenarnya dapat kita ambil
melalui penjelasan makna hadits di atas.
Sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan”
mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu
pengetahuan tentang sifat Allah Azza wa Jalladan pengamalan
konsekuensi sifat tersebut. Yang pertama, kita mengenal Allah
Azza wa Jalla dengan sifat Maha Indah yang tidak diserupai
oleh satu makhluk-pun, kemudian yang kedua kita
beribadah kepada Allah Azza wa Jalladengan sifat indah yang
dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.
Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba yang
menghiasi ucapannya dengan kejujuran, menghiasi hatinya
dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal
kepada-Nya, menghiasi anggota badannya dengan ketaatan
kepada-Nya, dan menghiasi tubuhnya dengan memperlihatkan
nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya, seperti
dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran,
memotong kuku, dan sebagainya. Jadi, hamba yang dicintai
Allah Azza wa Jalla adalah hamba yang mengenal Allah Azza
wa Jalla dengan sifat-Nya yang Maha Indah, selanjutnya
beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada
pada agama dan syariat-Nya.

13
Pengertian hadits di atas, selain keindahan pada pakaian
dan alas kaki yang ditanyakan oleh Sahabat di atas, secara
umum juga menyangkut keindahan pada segala sesuatu.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫لى َع ْب ِد ِه‬ ِِ ِ ِ
ُ ‫ِإ َّن اهللَ يُح‬
َ ‫ب َأ ْن ُي َرى َأَث ُر ن ْع َمته َع‬
Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat
(yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya. [11]

Allah Azza wa Jalla suka melihat terlihatnya bekas nikmat


yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya, karena ini termasuk
keindahan yang dicintai-Nya, dan ini juga termasuk bentuk
syukur kepada-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan batin.
Karena itu, Allah Azza wa Jalla suka melihat keindahan lahir
yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-
Nya.
Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menurunkan
pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk
memperindah penampilan lahir mereka, dan Dia Azza wa Jalla
memerintahkan mereka agar bertakwa, karena ini akan
memperindah batin mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan
pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang lebih
baik [al-A'râf/7:26]

g. Al-Adl
Kata ini adalah kata dAshar, di mana Allah menyifatkan
diri-Nya sebagai sifat mubalaghah, yakni bersifat adil yang
sempurna. Dia bersih dari sifat aniaya, baik dalam hukum-Nya
maupun dalam perbuatan-Nya. Di antara hukum-Nya mengenai
hak hamba-hamba-Nya adalah, bahwasanya tidak ada bagi
manusia itu kecuali apa yang dia usahakan, dan bahwa hasil
dari segala usahanya itu akan dilihatnya. Sesungguhnya orang-

14
orang yang saleh berada di dalam surga yang penuh dengan
kenikmatan, dan bahwa orang-orang durhaka akan dimasukkan
ke dalam api neraka jahanam, harus adil, tidak memihak untuk
menyesuaikan dengan benar, untuk membuat bahkan untuk
meluruskan, memperbaiki, menegakkan keadilan untuk
menyeimbangkan, mengimbangi, untuk membuat yang sama,
seragam untuk mengaktifkan salah satu dari sesuatu, benar
langsung untuk membuat nyaman dengan apa yang
benar:“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan ...” (an-Nahl: 90) “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil”. (al-Ma’idah: 8).
Alhasil, semua sifat Allah, selain sifat berkuasa (al-
qudrah) dan mengetahui (al-‘ilm). Sifat-sifat Allah terdiri dua
jenis; (a) sifat-sifat yang tidak dapat terpisah dari Zat-Nya,
seperti sifat mengetahui, berkuasa, dan hidup; (b) sifat-sifat
yang ada pada Zat-Nya namun dapat dipisahkan dari-Nya.
Seperti Mahapencipta. Dalam hal ini, kita dapat
menggambarkan bahwa Allah itu eksis (ada) namun tidak
menciptakan sesuatu. Sebaliknya, kita tidak dapat
menggambarkan bahwa Allah itu eksis tetapi tidak berkuasa,
berilmu, dan hidup.
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala –
ya‘dilu – ‘adlan –  wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (– ً‫َع َد َل – َيعْ ِد ُل – َع ْدال‬
ً _َ‫ َو َعداَل‬- ً‫)و ُع_ ُد ْوال‬
‫_ة‬ َ . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf  ‘ain (
‫)د‬, dan lâm (‫)الَم‬, yang makna pokoknya adalah ‘al-
‫)عيْن‬, dâl (‫َال‬
َ
istiwâ’’ (‫اَاْل ِ ْس___ت َِواء‬ = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (‫اَاْل ِعْ ِو َج___ اج‬ =
keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut
mengandung makna yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau
‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama,
kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi,

15
seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda.
‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang
menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang
yang berselisih, dan pada dAsharnya pula seorang
yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus mem peroleh haknya.
Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak
sewenang-wenang.
Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti
‘memberi pembagian yang sama’. Se mentara itu, pakar lain
men definisikan kata‘adl  dengan ‘penempatan sesuatu pada
tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan
bahwa  ‘adl  adalah ‘memberikan hak kepada pemilik nya
melalui jalan yang terdekat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-
Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan
‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.
Kata ‘adl (‫دْ ل‬++‫ ) َع‬di dalam berbagai bentuk nya terulang
sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebut
kan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123, dan 282
(dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali)
dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90,
QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek
yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut
mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut
penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat
makna keadilan.
Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’. Pengertian ini yang
paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS.
An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-

16
Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]:
9. Kata ‘adldengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat
tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di
dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegas kan, Wa izâ
hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl ( ْ‫اس اَن‬ ِ ‫َوا َِذا َح َك ْم ُت ْم َبي َْن ال َّن‬
ْ ‫ُ__وا ِب ْال َع‬
‫__د ِل‬ ْ ‫ َتحْ ُكم‬ = Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl  di
dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang men cakup sikap dan
perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan.
Yakni, me nuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang
bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat
duduk, penyebut an nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, ke sungguh an
mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya,
yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Al-Baidhawi bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di per
tengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dike muka
kan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan
di sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti
menetapkan hukum (me mutuskan perkara) berdAsharkan apa
yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini,
Sayyid Quthub menyatakan bahwa dAshar persamaan itu
adalah sifat ke manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini
berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh
karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan
adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai
manusia dan sifat ini menjadi dAshar keadilan di dalam ajaran-
ajaran ketuhanan.
Kedua, ‘adl di dalam arti ‘seimbang’. Pengertian ini
ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr
[82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya

17
َ ‫اَلَّذِىْ َخلَ َق‬
dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka (‫ك‬
َ َ‫ك َف َع___ َدل‬
‫ك‬ َ ‫ َف َس___ َّوا‬ = Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan men jadi kan [susunan
tubuh]mu seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
keseimbangan ditemu kan pada suatu kelompok yang di dalam
nya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpun nya syarat yang ditetapkan, kelompok itu
dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan ke hadir an nya.
Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia
berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya
maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan
di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan
bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui
mencipta kan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran,
kadar, dan waktu tertentu guna men capai tujuan. Keyakinan ini
nantinya meng antarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi.
Ketiga, ‘adl di dalam arti ‘perhatian ter hadap hak-hak
individu dan memberi kan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’.
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan
sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat’. Lawannya adalah ‘kezaliman’,
yakni pelanggar an terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini
disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum
َ _‫و ِا َذا قُ ْل ُت ْم َفاعْ _ ِدلُ ْوا َولَ ْو َك‬ =
fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (‫_ان َذاقُ__رْ َبى‬ َ Dan
apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil
kendatipun dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini
me lahirkan keadilan sosial.
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang dinisbah kan kepada
Allah’. ‘Adl di sini berarti ‘me me lihara kewajaran atas ber
lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan

18
perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke mungkinan untuk
itu’. Jadi, keadilan Allah pada dAsharnya merupakan rahmat dan
kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan dung konsekuensi bahwa
rahmat Allah SWT.. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh
makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan
QS. ‫آ‬li ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah SWT..
sebagai Qâ’iman bi al-qisth (‫ َقاِئمً___ا ِب ْالقِ ْس___ط‬ = Yang menegakkan
keadilan.
Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam
berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’, seperti di dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandar kan perbuatan kepada selain
Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam
QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau
mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-
An‘âm [6]: 1 dan 150; (4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]: 70.
Adl/Al-‘Adl (‫دْ ل‬++++‫ ) َع‬merupakan salah satu al-asmâ’ al-
husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam
kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan
untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan
dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan,
Allah adalah Al-‘Adl (‫اَ ْل َع ْدل‬ = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia
adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam pada itu, M. Quraish Shihab me negaskan bahwa
manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (‫) َع ْدل‬
ini—setelah meyakini keadilan Allah—dituntut untuk me negak
kan ke adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya,
bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per tama yang
dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni

19
dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai
tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan
menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan
agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
Dari akar 'adl yang memiliki konotasi Arab klasik berikut:
Untuk bertindak adil, adil Istilah 'Adl tidak secara khusus
digunakan sebagai Nama Indah dalam Al Qur'an.
Contoh perbuatan yang mencerminkan Al’adl
Tidak membedakan-bedakan sesuatu, memberi tugas
dengan adil dalam menghadapi masalah harus diselesaikan
dengan melihat yang salah dan benar, dalam membagi sesuatu
harus adil, dll.
Cara kita untuk mewujudkanya adalah dengan
melakukan sesutu dengan sebaik mungkin dan selalu ingat
Allah SWT.  serta jangan mementinkan kelompok tertentu saja
tanpa memikirkan mana yang harusnya dilakukan.

h. Al-Akhir
Makna Al-Akhir adl Dzat yg tiada sesuatu setelah-Nya.
Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menunjukkan keabadian-
Nya dan kekekalan-Nya. Dan ini menunjukkan bahwa Dia
merupakan tujuan dan tempat bergantung yg seluruh makhluk
menuju kepada-Nya dgn ibadah harapan rasa takut dan seluruh
keperluan mereka.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan:
“Dan janganlah dipahami bahwa ini menunjukkan batasakhir-
Nya. Karena ada juga hal-hal yg abadi namun berupa makhluk
seperti al-jannah dan an-nar . Atas dAshar itu maka Al-Akhir
mengandung makna bahwa Ia meliputi segala sesuatu tiada
kesudahan bagi keakhiran-Nya.

20
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan:
“Perhatikanlah makna-makna yg agung ini yg menunjukkan
keesaan Rabb Yang Maha Agung dlm hal kesempurnaan dan
liputan-Nya yg mutlak. Baik yg berkaitan dgn liputan waktu yaitu
pada nama-Nya Al-Awwal dan Al-Akhir maupun yg berkaitan
dgn tempat yaitu pada nama-Nya Azh-Zhahir dan Al-Bathin.
Ibnul Qayyim menjelaskan:
Ke awalan Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului ke
awalan segala sesuatu dan keakhiran-Nya tetap setelah
keakhiran segala sesuatu. Sehingga makna ke awalan-Nya adl
kedahuluan-Nya atas segala sesuatu dan makna keakhiran-Nya
adl kekekalan-Nya setelah segala sesuatu Poros empat nama
ini adl pada makna liputan yaitu dua liputan yg berkaitan dgn
waktu dan tempat maka segala yg mendahului itu berakhir pada
kedahuluan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala yg berakhir
mk kembali kepada keakhiran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga dua nama tersebut meliputi segala sesuatu yg awal
dan akhir.. Tiada sesuatu yg awal melainkan Allah mendahului
dan tiada sesuatu yg akhir melainkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala setelahnya. Sehingga Al-Awwal arti kedahuluan-Nya dan
Al-Akhir arti keabadian-Nya.”
Konsekuensi Keimanan Hamba Terhadap Nama Al-
Awwal dan Al-Akhir pada jiwa seseorang dua nama tersebut
akan menimbulkan pengaruh sebagaimana yg dikatakan Ibnul
Qayyim rahimahullahu: “Manakala seorang hamba mengimani
nama tersebut mk perhatikanlah buah ibadah dari dua nama ini
dan bagaimana kedua mengharuskan pasrah yg sempurna
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata serta membuahkan
rasa butuh yg terus menerus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
tanpa selain-Nya dan bahwa semua urusan bermula dari-Nya
dan kembali kepada-Nya.”

21
i. Al-Hakim
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras juga
menyebutkan makna Al-Haakim, yang berarti Yang memiliki
hukum yakni yang menetapkan sesuatu bahwa ini harus
demikian atau tidak demikian. Atau bermakna Al-Muhkim, yakni
Yang mengokohkan sesuatu.” (Syarh Al-Qashidah An-Nuniyah
karya Muhammad Khalil Harras, 2/81)
Buah Mengimani Nama Al-Hakim
Di antara buah mengimani nama ini adalah bahwa kita
harus mensyukuri nikmat Allah, yang memberikan hidayah
kepada kita untuk menjalankan agama ini. Karena ternyata
seluruh ajarannya penuh dengan hikmah. Juga kita harus
bersyukur dan sabar terhadap semua ketentuan Allah l, karena
semua ketentuannya juga penuh dengan hikmah. Sebagaimana
juga membuahkan ketundukan kita kepada Allah, karena kita
semua berada di bawah hukum-Nya.

j. Al-Alim
Al-Alim, ‫العليم‬, Maha Mengetahui Segala Sesuatu
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan
mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui
(cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan”
Bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Serapat-rapat
manusia menyimpan rahasia, Allah pasti mengetahuinya.
Sekelebat mata yang berkhianat, Allah mengetahuinya. Niat hati
yang tersimpan rapi, Allahpun mengenalinya. Lebih jauh dari itu,
rahasia di balik rahasiapun, diketahui-Nya. Sesuatu yang sudah
mengendap lama atau yang telah terlupakan oleh manusia,

22
serta segala yang kini telah berada di bawah sadarnya, Allah
tetap mengetahuinya. Dia berfirman :
“Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia
(mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi (dari rahasia).” (QS. Thaaha: 19).

Lalu, dapatkah kita bersembunyi dari pantauan-Nya? Dapatkah


kita merahasiakan sesuatu di hadapan Allah? Dapatkah kita
keluar dari monitoring-Nya?
Sungguh, Allah bahkan telah mengetahui segala sesuatu
sebelum terjadi, karena Dialah yang membuat rencana, Dia pula
eksekutornya. 
“Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakan-Nya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS. Al-Hadid: 22).
Tidak hanya itu, bahkan Allah-lah sumber dari segala
sumber ilmu. Dia tidak saja sekadar tahu, tapi Dia adalah
sumber pengetahuan. Perlu diketahui bahwa ilmu Allah itu
bukan hasil dari sesuatu, tapi segala sesuatu yang ada dan
terjadi di dunia ini merupakan hasil dari ilmu-Nya. Allah
berfirman: “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-
Baqarah: 255).
Meskipun demikian, Allah tidak mau memonopoli ilmu-
Nya sendiri. Dia mau berbagi kepada makhluk-Nya, terutama
kepada manusia. Khusus dalam hal ini, manusia dibebaskan
menyandang gelar aliim bagi mereka  sampai pada kualifikasi
tertentu. Orang yang berpengetahuan boleh disebut aliim, sama
dengan Asma yang disandang Allah. Akan tetapi harus disadari
bahwa ilmu manusia tetaplah tak sebanding dengan ilmu Allah,

23
bahkan tidak ada apa-apanya. “Tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa: 85).
Untuk menggambarkan betapa sedikitnya ilmu manusia,
Al-Qur’an menegaskan: “Katakanlah, sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS.
Al-Kahfi: 109).
Itulah sebabnya Rasulullah diperintahkan agar
senantiasa berdo’a agar diberi tambahan ilmu. “Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaaha: 114)
Ilmu yang diharap tentu saja ilmu yang menimbulkan
dampak positif dalam kehidupan, yaitu ilmu yang melahirkan
amal shalih yang sesuai dengan petunjuk Ilahi. Ilmu inilah yang
akan menimbulkan kesadaran tentang jatidiri manusia yang
merasa dhaif di hadapan Allah SWT.. Dalam pandangan islam,
ilmu yang hakiki adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya
kepada iman, dan ketundukan kepada Allah SWT.. 
Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.
Mereka berkata, Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti terlaksana. Dan mereka menyungkur atas
muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu’.” (QS. Al-Israa: 107-109).

k. Al-Wahab
Al Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang memiliki
Arti Maha Pemberi Karunia. Al Wahhab adalah salah satu sifat
Allah yang memiliki Arti Maha Pemberi Karunia. Karunia
merupakan hadiah yang bebas dari imbalan dan kepentingan.

24
Makna lafazh 'Al Wahhab' menekankan bahwa pada
hakikatnya tidak mungkin tergambar dalam benak, mengenai
adanya yang memberi, siapapun yang membutuhkannya tanpa
mengharapkan imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi,
kecuali Allah SWT.. Karena siapa yang memberi disertai dengan
tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian,
meraih persahabatan, menghindari celaan atau mendapatkan
kehormatan, dia bukanlah 'Wahhab'. Makhluk tidak mungkin
memberi secara berkesinambungan sedang Allah dapat
memberi secara berkesinambungan dan tanpa batas.
Al-Qur’an menyebut al-Wahhab semua menunjuk kepada
sifat Allah. Dari tiga ayat itu, hanya satu yang dirangkai dengan
nama Allah yang lain, yaitu Al-Aziz (Maha Perkasa)
sebagaimana yang terdapat dalam surat Shaad ayat 9,
sedangkan dua lainnya berdiri sendiri. Al-Wahhab merupakan
Asma Allah yang berarti Maha Memberi. Dia memberikan
rahmat kepada makhlukNya tanpa pamrih, karena Dia tak
membutuhkan apapun kepada makhlukNya.
Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang sedikitpun
juga jika sekiranya semua manusia ingkar kepadaNya.
Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak
bertambah sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia tunduk
patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan ucapan terima kasih,
tak juga tepuk tangan atas semua kebaikanNya.
Tak sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa
memenuhi kebutuhan makhlukNya tanpa diminta. Dia
memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan
manusia tidak memintanya. Dia juga menurunkan hujan,
walaupun manusia tidak berdoa untuknya. Sinar matahari
dicurahkan setiap hari, walaupun banyak manusia tidak

25
menyadarinya. Siapakah yang menyediakan air, udara, dan
energi ? Tanpa diminta, Allah telah menyiapkannya.
Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab,
sebab semua manusia senantiasa mengharapkan imbalan
ketika bekerja, apalagi ketika memberi sesuatu kepada
sesamanya. Ada tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya,
baik yang bersifat materi maupun yang berbentuk spiritual, baik
yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Itulah sebabnya, ketika al-Ghazali menjelaskan tentang
Al-Wahhab, ia berkomentar bahwa hanya Allah saja yang patut
menyandang sifat itu. Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada
pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah Subhanahu
Wata'ala Setiap manusia pasti berpengharapan atas semua
perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih persahabatan,
mendapatkan kehormatan, atau paling tidak menghindari
celaan.
Seseorang ‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah
juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan surga atau
terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah
demi meraih cinta dan syukur kepadaNya belum sepenuhnya
terhindar dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Itulah
sebabnya, Allah tetap memberi toleransi kepada manusia
sepanjang mereka tetap dalam koridor ibadah yang ikhlas
semata karena Allah SWT.. Dia membolehkan manusia
beribadah karena mengharapkan surgaNya atau terhindar dari
nerakaNya, karena memang hanya sampai di situ batas
kemampuan manusia.
Hanya Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab
hanya Dia yang tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya.
Karenanya, hanya Dialah yang pantas menyandang nama Al-

26
Wahhab, Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pemberi
tanpa pamrih, Maha Pemberi tanpa menagih.
Walaupun demikian, kita bisa meneladani sifat mulia itu
sebatas kemampuan kita sebagai makhlukNya. Dalam hal ini
kita bisa meminimalkan harapan atau pamrih kita, paling tidak,
ketika kita memberikan sesuatu, janganlah kita berharap
mendapatkan imbalan yang berlebihan, yang demikian itu
disebut riba, sebagaimana firmanNya :
“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak
harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah”.
(QS. Ar-Ruum: 39).

Itulah sebabnya, sejak awal, ketika Rasulullah menerima


wahyu yang ketiga, Allah sudah mengingatkan: “Jangan
memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak”. (QS.
Al-Muddatstsir: 6)
Dalam prakteknya, kita boleh saja menanti ucapan
terimakasih dari orang yang kita beri, tapi mengabaikannya jauh
lebih mulia dan derajatnya lebih tinggi, sebagaimana firman
Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima
kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Nilai-nilai yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat
penting diterapkan oleh para pemimpin. Setiap pemimpin
haruslah memiliki sifat pemurah, suka memberi kepada
bawahannya. Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak disukai
anak buahnya. Sebaliknya, pemimpin yang murah hati dan suka
memberi pasti mendapatkan simpati, disukai, dan dicintai
rakyatnya.

27
B. Iman Kepada Malaikat
1. Pengertian
Malaikat adalah suatu alam yang halus, termasuk hal-hal
yang gaib, tidak dapat dicapai oleh pancaindera. Jadi mereka tidak
termasuk dalam golongan makhluk yang wujud jasmaniahnya
dapat dilihat, didengar, diraba, dicium dan dirasakan. Mereka hidup
dalam suatu alam yang berbeda dengan kehidupan alam semesta
yang kita saksikan ini, oleh sebab itu tidak dapat dicapai oleh
pandangan kita. Yang mengetahui perihal dan hakikat mereka yang
sebenarnya hanayalah Allah Taala sendiri. Malaikat disucikan dari
dorongan syahwat hewani, terhindar dari keinginan-keinginan hawa
nafsu, terjauh dari perbuatan-perbuatan dosa dan salah. Mereka
tidak seperti manusia yang suka makan, minum, tidur, berjenis
lelaki atau wanita.
Jadi mereka memang mempunyai suatu alam yang
tersendiri, berdiri dalam bidangnya sendiri, bebas menurut hal-
ihwalnya sendiri, tidak dihinggapi oleh sifat yang biasa diterapkan
terhadap manusia, misalnya hubungannya dengan kebendaan
(materi keduniaan), juga mereka mempunyai kekuasaan dapat
menjelma dalam rupa manusia atau lain bentuk yang dapat dicapai
oleh rasa dan penglihatan. Hal ini jelas sebagaimana kedatangan
Jibril a.s. ke tempat Sayidah Maryam saat ia menjelmakan dirinya
dalam bentuk manusia seperti yang disebut dalam Al-Quran,
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam (yang tersebut) dalam Al-Quran,
ketika ia berangkat meninggalkan keluarganya ke suatu tempat
yang terletak di sebelah timur. Ia membuat tabir (yang
melindunginya) dari mereka. Kemudian Kami (Allah) mengutus Ruh
Kami (Jibril) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya
(sebagai seorang) manusia yang sebenarnya.” (Q.S. Maryam:16-
17).

Ada kisah lain yang menyebutkan bahwa sekelompok


malaikat datang di tempat Nabi Ibrahim a.s. dan mereka menjelma
sebagai manusia. Kedatangannya membawa berita gembira. Oleh

28
Nabi Ibrahim a.s. yang menyangka bahwa mereka adalah tamu-
tamu manusia biasa, lalu diberi hidangan makanan. Peristiwa ini
tercantum dalam Al-Quran, yaitu, “Niscaya telah datang utusan-
utusan Kami (malaikat) kepada Ibrahim dengan membawa berita
kegembiraan.
Mereka mengucapkan padanya, ‘Salam (damai)’ Ibrahim
menjawab, ‘Selamat.’ Sejurus kemudian dihidangkanlah daging
sapi yang dibakar. Setelah dilihat oleh Ibrahim bahwa tangan
mereka tidak menjamah makanan itu, ia pun mulai curiga dan
merasa takut. Mereka berkata, ‘Jangan engkau takut,
sesungguhnya kami dikirim untuk kaum Luth.’ Dan istrinya berdiri
dengan tersenyum, lalu kami sampaikan berita gembira berupa
akan dilahirkannya Ishak dan di belakang Ishak nanti, lahir pula
Yakub. Istrinya berkata, ‘Aduhai! Apakah aku akan melahirkan
anak, sedang aku adalah wanita yang sudah tua sekali dan ini
suamiku sudah tua pula? Bukankah ini suatu peristiwa yang ganjil
sekali.’ Mereka mengatakan, ‘Apakah engkau heran terhadap
keputusan Allah. Rahmat dan berkah Allah untukmu, hai penghuni
rumah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Terpuji dan Termulia.”
(Q.S. Hud:69-73) .

2. Dari Apa Malaikat Diciptakan


Allah SWT.. menciptakan malaikat dari nur (cahaya),
sebagaimana Dia menciptakan Nabi Adam a.s. dari tanah liat, juga
sebagaimana menciptakan jin dari api.
H.R. Muslim dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala
api dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan padamu
semua.”
Tempat kediaman malaikat ada di langit, tetapi mereka dapat
pula turun dari langit dengan perintah Allah Taala.

29
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
bahwa Rasulullah SAW. bertanya kepada Jibril a.s., sabdanya,
“Apakah yang menghalang-halangi Tuan jika berziarah kepada
kami, lebih banyak lagi dari yang biasa Tuan lakukan?” Jibril a.s.
menyampaikan ayat yang artinya, “Dan kami (Jibril) tidaklah turun
melainkan dengan perintah Tuhanmu, bagi-Nyalah apa yang ada di
hadapan kita, apa yang di belakang kita dan apa yang ada di
antara keduanya itu. Tuhanmu bukanlah pelupa.” (Q.S. Maryam:64)
Allah Taala menciptakan malaikat lebih dahulu daripada
manusia. Sebelum itu Allah Taala memang telah memberitahukan
kepada seluruh malaikat bahwa manusia hendak diciptakan untuk
dijadikan sebagai khalifah (pengganti) di atas permukaan bumi.
Firman Allah, “Dan di kala Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak membuat khalifah di bumi.’
Malaikat lalu berkata, ‘Apakah Engkau akan membuat di bumi
orang yang hendak membuat kerusakan serta menumpahkan
darah (bunuh-membunuh), sedang kita memahasucikan dengan
memuji syukur pada-Mu serta mensucikan-Mu.’ Allah lalu berfirman,
‘Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu semua tidak
mengetahuinya.’” (Q.S. Al-Baqarah:30).

3. Manusia Lebih Utama Dari Malaikat


Yang terang dan jelas ialah bahwa manusia lebih utama dan
lebih mulia daripada malaikat, sebagaimana yang nyata tentang
kelemahan malaikat menjawab berbagai pertanyaan yang
dikemukakan oleh Allah SWT.. kepada mereka mengenai nama-
nama benda yang tertentu, sedangkan Adam a.s. dapat
memberikan jawabannya dengan tepat dan benar. Jadi Allah Taala
telah memuliakan manusia dengan mengaruniakan ilmu
pengetahuan yang tidak diberikan kepada malaikat, juga manusia
diberi keistimewaan untuk mengenal dan mengetahui bermacam-

30
macam benda dan barang. Selain itu Allah Taala pernah
memerintahkan kepada malaikat untuk memberi penghormatan
kepada Adam a.s. Hal ini rasanya cukup sebagai bukti bahwa Allah
Taala sengaja menunjukkan bahwa memang manusia yang lebih
utama dan lebih mulia daripada malaikat sendiri.
Allah SWT.. Berfirman:
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam akan beberapa
nama, kemudian Allah memperlihatkan semuanya (benda-
bendanya) kepada malaikat, kemudian Dia berfirman,
‘Beritahukanlah pada-Ku nama-nama semuanya ini, jika kamu
semua benar!’ Malaikat berkata, ‘Maha Suci Engkau, kita tidak
mengetahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kita,
sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui lagi Bijaksana.”
Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama semuanya itu.’ Setelah Adam memberitahukan semua
nama-namanya, Allah lalu berfirman, ‘Bukankah sudah Kukatakan
padamu semua bahwa sesungguhnya Aku mengetahui kegaiban-
kegaiban di langit dan bumi, juga Aku mengetahui apa yang kamu
semua tampakkan dan yang kamu semua sembunyikan.’
Maka di kala itu Kami berfirman kepada malaikat, ‘Berilah
penghormatan kepada Adam.’ Kemudian mereka pun menghormat
padanya selain iblis. Ia enggan dan menyombongkan diri dan ia
termasuk dalam golongan orang-orang yang kafir (tidak beriman).”
(Q.S. Al-Baqarah:31-34)
Dari sudut lain, kita dapat mengetahui bahwa ketaatan yang
diberikan oleh malaikat adalah suatu hal yang terjadi secara
otomatis (dengan sendirinya), juga mereka meninggalkan
kemaksiatan pun tidak perlu dengan menekan jiwa atau
diusahakan dengan sesungguh-sungguhnya. Jadi tanpa dipaksa
pun sudah dapat menghindarkan diri dari kemaksiatan, karena
memang tidak ada syahwat mereka. Oleh sebab itu, mana pun

31
yang dapat dinamakan keutamaan bagi golongan malaikat dalam
hal ketaatan dan kebaktian, juga dalam meninggalkan
kemaksiatan, sedangkan kedua hal tersebut mereka laksanakan
sebagai suatu hal yang sudah semestinya berjalan demikian. Jadi
tidak ubahnya dengan berkembang-kempisnya jantung
mengalirkan darah dan gerakan kedua paru-paru ketika bernafas.
Sedangkan manusia tidak seenak itu dalam beribadah, berbakti
serta meninggalkan kemaksiatan dan berbuat dosa. Ia harus
berjuang dengan segenap tenaga dan jiwa melawan kehendak
hawa nafsu, memerangi ajakan setan, memaksakan diri untuk
melakukan ketaatan dan bekerja keras guna menyempurnakan
kesucian jiwa meluhurkan ruh dan membersihkan hati, baik ia
melakukannya dengan senang hati atau hanya terdorong oleh rasa
takut kepada siksaan. Di sinilah letak perbedaan yang jelas, bahwa
manusia memang lebih mulia daripada malaikat.

4. Tabiat Malaikat
Tabiat malaikat ialah secara sempurna berbakti kepada
Allah, tunduk dan patuh pada kekuasaan dan keagungan-Nya,
melaksanakan semua perintah-Nya dan mereka pun ikut mengatur
alam semesta menurut kehendak dan iradah Allah Taala. Jadi Allah
Taala dalam mengatur dan menertibkan segenap isi kerajaan-Nya
ini menggunakan tenaga malaikat dan malaikat tidakuasa
melakukan sesuatu yang timbul dari kemauannya sendiri.
Dalam Al-Quran disebutkan, “Malaikat itu takut kepada
Tuhannya yang berkuasa di atas mereka dan mengerjakan apa
saja yang diperintahkan.” (Q.S. An-Nahl:50)
Ada pula ayat lain yang berbunyi, “Bahkan malaikat adalah
para hamba Allah yang dimuliakan. Mereka tidak mendahului Allah
dengan perkataan dan mereka mengerjakan sesuai dengan
perintah-Nya. Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka

32
dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka juga tidak dapat
memberikan pertolongan, melainkan kepada orang yang disukai
oleh Allah dan mereka pun selalu berhati-hati karena takut kepada-
Nya.” (Q.S. Al-Anbiya:26-28)
Ada lagi firman Allah, yaitu, “Malaikat tidak bermaksiat
kepada Allah mengenai apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya
kepada mereka dan tentu mengerjakan apa-apa yang
diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim:6)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, “Apabila Allah menentukan suatu keputusan di langit,
maka semua malaikat memukulkan sayap-sayapnya karena tunduk
pada firman-Nya seolah-olah sebagai suatu bunyi-bunyian yang
nyaring di atas sebuah batu yang licin. Selanjutnya apa bila telah
lenyap ketakutan itu dari hati mereka, mereka pun berkata, ‘Apakah
yang diucapkan oleh Tuhanmu?’ Jawabnya, ‘Kebenaran dan Dia
adalah Maha Luhur lagi Maha Besar.”

5. Perbedaan Malaikat
Malaikat dalam penciptaannya ada perbedaannya,
sebagaimana juga perbedaan mereka dalam hal kedudukan,
pangkat dan sebagainya, itu semua hanya dimaklumi oleh Allah
SWT.. sendiri.
Allah Taala berfirman,
“Segenap puji bagi Allah, Maha Pencipta langit dan bumi, yang
membuat malaikat sebagai utusan-utusan yang mempunyai sayap-
sayap, ada yang dua, tiga atau empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Fathir:1)

Maksudnya bahwa Allah Taala menciptakan malaikat berupa


makhluk yang bersayap dan di antaranya ada yang bersayap dua
buah, tiga buah, empat buah dan ada pula yang lebih dari itu.
Semua ini menunjukkan nilai dan perbedaan pangkat di sisi Allah

33
Taala, juga tentang kekuasaannya cepat atau lambatnya dalam
berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Masud r.a.,
demikian, “Rasulullah SAW. melihat Jibril a.s. dan ia mempunyai
enam ratus buah sayap.” Banyaknya sayap adalah sebagai tanda
lebih cepat menunaikan perintah-perintah Allah Taala serta
menyampaikan risalah-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan, “Tiada
seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai
kedudukan yang tertentu. Sesungguhnya kami bershaf-shaf (dalam
menunaikan perintah Allah) dan sesungguhnya kami benar-benar
bertasbih (mensucikan Tuhan).” (Q.S. Ash-Shaffat:164-166)
Inti dari ayat-ayat di atas menunjukkan pengakuan seluruh
malaikat yang mengatakan kami semua bershaf-shaf dengan rapi
dan teratur kemudian bersama-sama memahasucikan Tuhan
dengan mengucapkan tasbih serta mengagungkan-Nya dari segala
sifat kekurangan dan kami semua adalah hamba-hamba-Nya,
membutuhkan kepada-Nya dan tunduk serta patuh pula pada
perintah-Nya.
Perlu dimaklumi bahwa perihal sayap malaikat, termasuk
soal gaib yang kita diwajibkan untuk mempercayainya, tetapi tanpa
membahas bagaimana keadaan, sifat, bentuk, warna dan lain-
lainnya sebab memang kita tidak diperintah untuk mengetahui hal-
hal seperti itu, sedangkan Rasulullah SAW. sendiri pun tidak
memberitahukan sedikit pun mengenai hal ini.
Perihal tempat malaikat, Ibnu Katsir berkata, “Tidak satu
malaikat pun melainkan ia pasti mempunyai sebuah tempat yang
khusus di langit, juga kediaman tertentu untuk melaksanakan
ibadah kepada Tuhan. Tempat kediaman ini tidak akan dilaluinya
atau dilewati dari batas yang dikhususkan tadi.”
Ibnu Asakir berkata dalam biografinya dengan sanad dari
Muhammad bin Khalid dari Abdurrahman bin Ala bin Sa'din dari

34
ayahnya yang termasuk salah seorang yang mengucapkan baiat
pada hari pembebasan kota Mekah, bahwa Rasulullah SAW.
pernah bersabda pada suatu hari kepada sahabat-sahabatnya,
“Langit bergerak dan sudah dipastikan ia akan bergerak. Tidak ada
setapak kaki pun melainkan di atasnya ada malaikat yang rukuk
atau sujud.” Beliau lalu membaca ayat di atas yang artinya, “Tiada
seorang pun dari kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan
yang tertentu. Sesungguhnya kami bershaf-shaf dan sesungguhnya
kami benar-benar bertasbih.” (Q.S. Ash-Shaffat:164-166).

6. Tugas Malaikat Dalam Alam Ruh


Tugas malaikat yang ada di dalam alam Ruh dapat
disimpulkan sebagai berikut: Bertasbih (memahasucikan serta
patuh dan tunduk sepenuhnya kepada Allah.

7. Memberi Salam Kepada Ahli Surga


Sebagaimana firman-Nya,
“Dan para malaikat masuk menemui mereka (ahli surga) dari segala
pintu. Mereka mengucapkan, ‘Salam (damai) atas tuan-tuan sekalian,
karena tuan-tuan telah berteguh hati.’” (Q.S. Ar-Ra'd:23-24).

8. Malaikat Pembawa Wahyu


Adapun malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu ialah
Jibril a.s. sebagaimana Q.S. Al-Baqarah:97,
“Katakanlah! Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka
sesungguhnya Jibril menurunkan wahyu ke dalam hatimu dengan izin
Allah, membenarkan wahyu yang terdahulu daripadanya untuk
menjadi petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”

Jibril a.s. juga diberi nama Ruhul Amin (yang terpercaya)


sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya wahyu, diturunkan dari Tuhan seru sekalian alam,
yang membawanya turun ialah Ruhul Amin, pada kalbunya, supaya
engkau dapat memberi peringatan (kepada manusia)” (Q.S. Asy-
Syu'ara, 192-194)

35
Juga diberi nama Ruh Kudus (yang suci), sebagaimana
firman-Nya, “Katakanlah! Wahyu diturunkan oleh Ruh Kudus dari
Tuhanmu dengan benar.” (Q.S. An-Nahl:102)
Ada pula nama lain untuk Jibril a.s. yaitu Namus
sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Waraqah bin Naufal
kepada Rasulullah SAW. pada pertama kalinya menerima wahyu,
yaitu, “Tuan telah didatangi oleh Namus yang pernah diturunkan
oleh Allah kepada Musa.” Perihal kedatangan Jibril a.s. sendiri
adakalanya dengan menjelma dalam bentuk manusia, tetapi
kadang-kadang juga sebagai bunyi nyaring dari sebuah lonceng
(bel).

9. Tugas Malaikat di Dunia Yang Berhubungan dengan Manusia


Malaikat juga mempunyai pekerjaan dalam mengatur alam
semesta ini, seperti mengirimkan angin dan udara, menggiring
awan dan mega, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
lain-lain yang termasuk dalam golongan pekerjaan yang tidak dapat
disaksikan oleh mata dan tidak mungkin pula dapat dicapai oleh
pancaindra lainnya. Mereka senantiasa menyertai manusia
sepanjang hidup dan bahkan setelah meninggalnya sebagaimana
sabda Rasulullah SAW.,
“Sesungguhnya ada makhluk yang menyertai kamu semua dan
tidak memisahkan diri daripadamu melainkan di waktu kamu semua
berada di tempat sunyi (buang air besar atau kecil), juga ketika
bersetubuh, dari itu hendaklah kalian malu kepada mereka dan
muliakanlah mereka.” (Makhluk yang dimaksud ialah para
malaikat).

Menguatkan rohani yang ada dalam diri manusia dengan


mengilhamkan kebaikan dan kebenaran.

36
10. Doa Malaikat Untuk Orang Mukmin
Allah SWT.. karena sangat pengampun dan juga karena
sangat cinta kepada hamba-hamba-Nya mengilhamkan kepada
para malaikat supaya mereka merendahkan diri kepada-Nya guna
memanjatkan doa serta memohon dengan rahmat-Nya yang
meluas pada seluruh apa-apa yang maujud, juga dengan
pengetahuan-Nya yang merata atas segala sesuatu yang ada ini
agar supaya Allah mengaruniakan pengampunan kepada orang-
orang yang suka bertobat dan supaya dimasukkan dalam golongan
hamba-hamba-Nya yang saleh.

11. Malaikat Mengaminkan Bersama Orang Yang Shalat


Malaikat pun mengaminkan bersama orang-orang yang
Shalat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW.
bersabda,
“Jika imam mengucapkan, ‘Ghairil maghdluubi 'alaihim waladh
dhaalliin,’ maka ucapkanlah, ‘Amin.’ Karena sesungguhnya malaikat
pun mengucapkan, ‘Amin.’ Sesungguhnya imam pun
mengucapkan, ‘Amin.’ Maka barangsiapa yang membaca amin
bersamaan dengan bacaan amin malaikat, maka dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasai.


Maksudnya supaya bacaan amin makmum dibuat bersamaan
benar dengan amin imam. Karena itu imam akan lebih baik
mengeraskan suara amin.

12. Kehadiran Malaikat Ketika Shalat Shubuh Dan Ashar


Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah SAW. bersabda,
“Keutamaan Shalat jemaah (bersama-sama) melebihi Shalat
sendirian dengan selisih dua puluh lima derajat. Malaikat malam
dan malaikat siang berkumpul pada waktu Shalat fajar (Shubuh).”
Abu Hurairah lalu mengatakan, “Bacalah sekehendakmu ayat yang

37
artinya, ‘Dan (dirikanlah Shalat) Shubuh, sesungguhnya Shalat
Shubuh disaksikan (oleh malaikat).’” (Q.S. Al-Isra:78).

13. Malaikat Turun Di Waktu Ada Bacaan Al-Quran


Malaikat turun ketika ada bacaan Al-Quran untuk ikut
mendengarnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim (dengan lafal Muslim) demikian, “Diceritakan
dari Abu Said Khudri r.a. bahwa Usaid bin Hudair pada suatu
malam sedang membaca Al-Quran di suatu tempat dekat kandang
kudanya, tiba-tiba kudanya melompat. Ia diam lalu membaca lagi
dan kuda itu melompat pula. Sekali lagi ia diam, lalu membaca lagi
dan sekali lagi kuda itu melompat. Usaid yang membaca Al-Quran
itu berkata, “Oleh karena kuda itu melompat-lompat, maka saya
takut kalau-kalau nanti menginjak kawanku yang bernama Yahya.
Kemudian saya berdiri dan mendekati tempat kuda itu. Tiba-tiba
ada suatu benda bagaikan naungan (awan) yang ada di atas
kepalaku, di dalamnya tampak bagaikan beberapa pelita bercahaya
yang terus naik ke atas hingga saya tidak dapat melihatnya lagi.
Paginya saya mendatangi tempat Rasulullah SAW. dan berkata,
“Ya Rasulullah! Semalam saya membaca Al-Quran di suatu
tempat dekat kandang kudaku, tiba-tiba kudaku melompat.
Rasulullah SAW. bersabda, “Baca terus, hai anak Hudair.” Usaid
berkata, “Saya terus membaca, tetapi kudaku melompat lagi.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Baca terus, hai anak Hudair.” Usaid
berkata, “Saya terus membaca lagi, tetapi kudaku melompat pula.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Baca terus, hai anak Hudair.” Usaid
berkata, “Tidak, lalu saya bangkit, sebab Yahya tidur di dekat kuda
itu dan saya takut kudaku itu menginjaknya.
Selanjutnya saya melihat seolah-olah seperti naungan
(awan) yang di dalamnya ada beberapa pelita bercahaya, naik ke
atas hingga saya tidak dapat melihatnya lagi.”

38
Rasulullah SAW. lalu bersabda, “Itu adalah malaikat yang
mendengarkan bacaanmu. Andaikata engkau membacanya terus
sampai pagi, niscaya orang-orang dapat melihat sesuatu yang
hingga kini masih terselubung bagi mereka itu.”

14. Kehadiran Malaikat Dalam Majelis Dzikir


Mala selalu mencari majelis zikir untuk mengingat kepada
Allah Taala, berupa pengajian agama dan sebagainya.
Kepentingannya ialah untuk memberikan dorongan semangat
kepada para hadirin dengan kekuatan rohaniah.

15. Membawa Berita Gembira


Adakalanya malaikat juga membawakan berita gembira
kepada orang tertentu, seperti disebutkan dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi saw.,
sabdanya, “Ada seorang lelaki berziarah kepada saudaranya yang
berdiam di sebuah desa. Kemudian Allah menurunkan malaikat
untuk menghadangnya di jalan. Setelah orang ia datang di tempat
malaikat itu, malaikat itu pun bertanya, ‘Hendak ke mana engkau
pergi?’ Orang tadi menjawab, ‘Saya hendak pergi ke tempat
saudaraku yang berdiam di desa ini.’ Malaikat bertanya lagi,
‘Apakah ada suatu nikmat dari saudaramu yang diberikan padamu
yang kau anggap baik’ (maksudnya, Apakah engkau hendak
membalas jasa yang sudah diberikan olehnya, sehingga engkau
harus pergi ke tempatnya itu?) Orang itu menjawab, ‘Tidak, hanya
saya mencintainya karena mengharapkan keridaan Allah SWT..’
Malaikat itu lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
untuk menemuimu guna menyampaikan bahwa sesungguhnya
Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu.”

39
16. Mencatat Amal Perbuatan
Di antara malaikat-malaikat ada yang bertugas mencatat
amal perbuatan seluruh manusia. Mereka perhitungkan dalam
catatannya secara teliti sekali, kebaikan-kebaikan atau kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Dalam hal ini Allah
Taala berfirman,
“Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan manusia dan Kami
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat
padanya dari urat lehernya sendiri. Ingatlah ketika disambut oleh
dua malaikat penyambut. yang seorang duduk di kanan dan yang
seorang lagi duduk di sebelah kiri. Tidak sebuah kata pun yang
diucapkan oleh manusia itu, melainkan di dekatnya ada pengawas,
yakni malaikat Raqib (pencatat kebaikan) serta Atid (pencatat
kejahatan).” (Q.S. Qaf:16-18).

17. Memantapkan Hati Kaum Mukminin


Sebagian malaikat ada yang bertugas meneguhkan kaum
mukminin agar mantap apa yang ditanam dalam hati sanubari
mereka sebagaimana firman Allah Taala, “Ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku (Allah)
bersama kamu semua, maka perkokohlah pendirian orang-orang
yang beriman.’” (Q.S. Al-Anfal:12).

18. Malaikat Pencabut Nyawa


Allah Taala berfirman, “Kemudian apabila seseorang dari
kamu semua itu telah didatangi oleh kematian, maka ia pun
diwafatkan oleh utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat). Mereka
tidaklah melalaikan kewajibannya.” “(Q.S. Al-An'am:61).
Juga firman-Nya, “Katakanlah! Malaikat maut yang diserahi
untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu.” (Q.S. As-
Sajdah:11).
Di samping itu para malaikat juga memberikan
penghormatan yang baik sekali kepada orang-orang yang baik

40
amal perbuatannya di waktu hendak mencabut nyawa mereka ini.
Allah Taala berfirman,
“Orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik,
malaikat itu mengucapkan, ‘Salam (damai) untukmu semua.” (Q.S.
An-Nahl:32)

Mereka memberi kegembiraan dengan mengingatkan akan


surga, sebagaimana firman Allah Taala,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kita adalah
Allah’, kemudian mereka berpendirian teguh, maka para malaikat
akan turun kepada mereka dan berkata, ‘Jangan kamu takut,
jangan pula berdukacita, bergembiralah untuk memperoleh surga
yang telah dijanjikan kepadamu semua.’ Kamilah pelindung kamu
semua dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Di sana kamu semua
akan memperoleh apa saja yang menjadi keinginan hatimu dan di
sana kamu semua juga akan memperoleh apa saja yang kamu
semua minta. Yaitu hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun
lagi Penyayang.” (Q.S. Fushshilat:30-32).

C. Tanda-tanda Beriman kepada Malaikat


Secara etimologi, kata malaikat berasal dari bahasa Arab, yaitu
Malaikah yang merupakan jamak dari malakun, artinya risalah atau
utusan.
Adapun menurut istilah, malaikat merupakan makhluk Allah
yang diciptakan dari nur (cahaya) dan bersifat gaib, selalu taat dan
patuh terhadap semua perintah Allah serta tidak pernah sekalipun
melakukan kedurhakaan terhadap Allat SWT.
Beriman kepada malaikat merupakan rukun iman kedua yang
hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan al-qur’an surah al-Baqarah (2)
ayat 285, yaitu sebagai berikut :

‫ين‬ ِ َ ِ‫ذَل‬
ِ ‫ْكتَاب الَ ريب فِ ِيه ه ًدى لِّل‬
﴾٢﴿
َ ‫ْمتَّق‬
ُ ُ َ َْ ُ ‫ك ال‬
”Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya
(al-qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan Rasul-rasul-Nya.”

41
Berdasarkan firman Allah tersebut, manusia harus beriman
kepada malaikat, baik dalam hati maupun diwujudkan dalam
perbuatan. Malaikat yang diciptakan Allah jumlahnya banyak dan
memiliki tugas yang berbeda satu sama lain. Adapun malaikat yang
dapat diketahui :

No Malaikat Tugasnya
1. Jibril Menyampaikan wahyu
2. Mikail Membagikan rizki
3 Israfil Meniup sangkakala
4. Izrail Mencabut nyawa
5. Munkar Menanyai manusia dialam barzah
6. Nakir Menanyai manusia dialam barzah
7. Rokib Mencatat amal kebaikan manusia
8. Atid Mencatat amal keburukan manusia
9. Malik Menjaga neraka
10. Ridwan Menjaga surga

D. Penghayatan Keimanan Kepada Malaikat


Malaikat merupakan hamba Allah SWT.. Yang terbuat dari nur
dan selalu mematuhi perintah Allah SWT., berbeda dengan syetan
yang merupakan makhluk Allah yang selalu durhaka. Adapun jin dan
manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki dua kemungkinan,
yaitu taat dan durhaka.
Adapun jin dan manusia merupakan makhluk Allah yang
memiliki dua kemungkinan, yaitu taat dan durhaka. Diantara semua
makhluk Allah SWT..yang paling baik, paling sempurna kejadiannya,
dan paling mulia adalah manusia, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam surah al-Isra ayat 70 yaitu sebagai berikut :

ِ ‫اهم ِّمن الطَّيِّب‬ ِ َ‫آدم وحملْن‬


‫ات‬ َ َ ُ َ‫اه ْم في الَْب ِّر َوالْبَ ْح ِر َوَرَزقْن‬ ُ َ َ َ َ َ ‫َولََق ْد َك َّرْمنَ ا بَنِي‬
﴾٧٠﴿ ً‫ضيال‬ ِ ‫اهم َعلَى َكثِي ٍر ِّم َّمن َخلَ ْقنَا َت ْف‬ َّ َ‫َوف‬
ْ ْ ُ َ‫ضلْن‬

42
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu adam, dan Kami
angkut mereka didarat dan dilaut, dan kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang
Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

Dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw Bersabda:


“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dana
adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepadamu.”
Malaikat merupakan makhluk yang selalu taat terhadap perintah
Allah. Malaikat diciptakan untuk berbakti kepada Allah. Mereka tidak
mempunyai hawa nafsu untuk berbuat durhaka, dengan demikian sangat
wajar mereka memiliki tugas khusus yang tidak sama dengan manusia.
Allah kepada nabi dan rasul, manusia pilihan Allah. Selain itu,
ada juga malaikat yang bertugas menurunkan hujan, mencatat amal
baik dan amal buruk dll.
Beriman kepada malaikat merupakan keharusan setelah beriman
kepada Allah. Artinya termasuk kafir seseorang yang menyatakan
beriman kepada Allah, tetapi tidak beriman kepada malaikat.
Beriman tidak hanya ditunjukan adanya keyakinan dalam hati,
dan pengucapan dengan lisan, tetapi juga harus dibuktikan dengan
penghayatan melalui perilaku sehari-hari.

E. Perilaku Beriman Kepada Malaikat


Bentuk prilaku yang mencerminkan keimanan kepada malaikat,
adalah :
1. Meningkatnya keimanan dan ketaqwaan
Seseorang yang memahami tugas-tugas para malaikat, akan
semakin yakin betapa Mahabesar dan Mahakuasa Allah SWT. Yang
telah menciptakan semua makhluk-Nya, termasuk malaikat.
2. Meningkatnya amal saleh
Seseorang yang memahami bahwa setiap amal manusia akan
dicatat dan diberikan balasan sesuai dengan amal perbuatannya,
akan senantiasa meningkatkan amal salehnya.

43
3. Selalu berhati-hati
Seseorang yang memahami bahwa para malaikat selalu memantau
perbuatan manusia, akan selalu berhati-hati sehingga tidak terjebak
dalam perbuatan dosa.
4. Tidak sombong
Seseorang yang memahami bahwa setiap manusia akan mati dan
masuk kealam barzah serta akan ditanya oleh malaikat Munkar dan
Nakir, tidak akan berbuat sombong.
5. Tenang dan tentram jiwanya
Seseorang yang memahami bahwa setiap perbuatan manusia akan
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akan menjadi tenang dan
tentram jiwanya. Apapun yang terjadi ia akan mampu mengambil
hikmah dari setiap kejadian yang menimpa dalam kehidupannya.

44

Anda mungkin juga menyukai