Anda di halaman 1dari 4

NAMA : TRI JASA NURUL PAJRIAH

KELAS : X TKJ 3
PEMBAHASAN : Penegertian Iman, Ruang Lingkup Iman, Cerminan beriman
kepada Allah

MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH MELALUI ASMA’UL HUSNA

1. RUANG LINGKUP IMAN DAN ASMAUL HUSNA

A. Pengertian Iman Kepada Allah

Iman menurut bahasa adalah percaya, sedang menurut istilah yaitu keyakinan atau

kepercayaan seseorang yang diciptakan dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dibuktikan

melalui perbuatan.

Iman kepada Allah SWT adalah mempercayai, meyakini dan membenarkan dengan

sepenuh hati adanya Allah SWT sebagai pencipta alam semesta yang berkuasa atas segala

sesuatu. Bagi orang yang percaya adanya Allah, maka dalam hatinya terdapat keyakinan sebagai

berikut :

Allah itu ada karena Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu. Keberadaan dunia

seisinya dapat menjadi bukti adanya Allah, sesuai Q.S. az-Zariyat ayat 20-21.

Meyakini bahwa Allah bersifat Esa/Tunggal, Satu dan tidak berbilang. Keesaan Allah adalah

segala-galanya, baik dari zat, sifat, nama maupun perbuatan sehingga tidak ada menyamai dan

menandingi. Sesuai Q.S. Al Ikhlas ayat 1-4.

Meyakini bahwa Allah maha sempurna, tidak memiliki kekurangan, kelemahan dan

keterbatasan dalam segala hal, yang jauh berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Beriman kepada Allah SWT itu hukumnya wajib, karena termasuk dalam rukun iman.

Iman tersebut berfungsi sebagai dasar bagi setiap muslim dalam berbuat dan beramal sehingga

dapat diterima oleh Allah (mendapatkan ridho Allah).

B. Asmaul Husna dan Macamnya

Selain sifat jaiz, mustahil dan sifat wajib, Allah memiliki nama-nama yang baik dan

agung yang disebut Asmaul Husna. Jumlah Asmaul Husna ada 99. Yang dimaksud dengan

Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang mencakup keindahan dan keagungan sifat-Nya.

Sehubungan dengan Asmaul Husna Allah,

C. Ruang lingkup Iman

Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu
Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah
dalam Alquran:

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka
sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” [QS. Maryam: 65]

Perhatikan ayat di atas:

(1). Dalam firman-Nya (‫)و أاْل َ أرض الس َم َاوات َرب‬


َ (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi)
merupakan penetapan TAUHID RUBUBIYAH.

َ ‫ص‬
(2). Dalam firman-Nya (ُ‫طب أر فَا أعبُدأه‬ ‫( )لعبَادَته َوا أ‬maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan TAUHID ULUHIYAH.
(3). Dan dalam firman-Nya (‫سميّا لَهُ ت َ أعلَ ُم ه أَل‬
َ ) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama
dengan Dia?) merupakan penetapan TAUHID ASMA WA SHIFAT.

Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut:

1. Tauhid Rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan,
dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah.” [QS. Al- A’raf: 54]

2. Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah. Disebut Tauhid Uluhiyah karena penisbatanya kepada
Allah dan disebut Tauhid Ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun
maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya
yang berhak diibadahi. Allah Taala berfirman:

”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka
seru selain Allah adalah batil” [QS. Luqman: 30]

3. Tauhid Asma wa Shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-
nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu Penetapan dan
Penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia
tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu
yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak
boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-
Nya:

”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” [QS. Asy-Syuura: 11] [Lihat Al-Qaulul Mufiiid I/7-10]

Dinukil dari: https://muslimah.or.id/7017-pembagian-tauhid-dalam-al-quran.html

D. Cerminan perilaku beriman kepada Allah


1. AL MALIK ( Maha Merajai atau Menguasai )

Allah SWT memiliki nama ini karena Allah merupakan Raja dari segala raja yang ada di muka
bumi ini, Dia-lah yang mengatur sendiri kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.
DALIL NAQLI : Al-Mu’minun ayat 116

DALIL AQLI : Allah sebagai sang pencipta pasti menguasai segala yang diciptakannya termasuk
manusia, Allah mengatur segala takdir bagi manusia sehingga wajib bagi manusia untuk tunduk
kepada raja dari segala raja yaitu tidak lain adalah Allah.

PERILAKU YANG DAPAT DI TELADANI : Sebagai manusia yang beriman dalam


melaksanakan tugas kepemimpinan hendaknya meneladani sifat Allah ini dan menjadikan sifat
wajib rasul dan para khulafaur rasyidin sebagai pedoman dalam melaksana tugas
kepemimpinannya. Bagi manusia ini sangat perlu karena semua manusia merupakan khalifah
bagi dirinya sendiri dan khalifah di bumi.

2. AL-HASIB ( Maha Menjamin atau Memperhitungakan )

Allah SWT bernama Al-Hasib artinya maha menjamin, memberikan jaminan kecukupan
kepada seluruh hamba-Nya. Disini Al Hasib juga dapat diartikan Maha Memperhitungkan.
Segala amal manusia yang ada didunia akan dihitung dengan seteliti-telitinya dan seadil-adilnya,
karena dalam pengadilan Allah pasti keadilan pasti ditegakkan.

DALIL NAQLI: An-Najm, 53: 39-40

DALIL AQLI : disini Allah SWT sebagai yang menciptakan pasti akan menjamin kebutuhan
makhluknya, tapi terkadang terjadi kesalahpahaman, bahwa Allah tidak adil karena
kebutuhannya tidak terjamin, disini sesungguhnya Allah telah menjamin hanya saja makhluknya
saja yang tidak mau berusaha dalam memperolehnya.

PERILAKU YANG DAPAT DITELADANI : Kita sebagai mun’min harus senantiasa selalu
mengadakan perhitungan terhadap perilaku kita terhadap sesama makhluk (introspreksi diri).
Jika pada instroprksi itu ada perilaku yang memberikan manfaat maka hendaknya diteruskan
tetapi jika pada introspeksi diri itu ada perilaku yang memberikan kemudhorotan maka
hendaknya tidak dilakukan lagi.

Anda mungkin juga menyukai