Anda di halaman 1dari 17

Desi Tri Rahmawati

1198010044
2A/ Administrasi Publik
Tugas Rangkuman Materi Ulumul Qur’an

PERTEMUAN KE 1
Orientasi Umum Ulumul Qur’an
1. Arti Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu ulum
dan Al-Qur’an. Kata ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Ilmu yang
sebagaimana didefinisikan oleh Abu Syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang
dibatasi kesatuan tema atau tujuan, sedangkan Al-Qur’an didefinisikan ulama ushul,
ulama fiqih, dan ulama bahasa, adalah “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya
Muhammad, yang lafazh-lafazh nya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai
nilai ibadah yang diturunkan secara mutawir, dan yang ditulis pada mushaf mulai dari
surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas.
Secara bahasa , Ulumul Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan) yang
berkaitan denga Al-Quran. Secara istilah, para ulama telah merumuskan berbagai definisi
tentang ulumul qur’an, salah satunya menurut Al-Zarkasyi, ulumul qur’an yaitu beberapa
pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim, dari segi turunnya,
urutannya, pengungkapan, penulisan, bacaan, penafsiran, mukzizat, nasikh-mansukh,
penolakan terhadap hal-hal yang menimbulkan keraguan terhadapnya.
2. Objek Pembahasan Ulumul Qur’an
Objek Pembahasan Ulumul Qur'an dibagi menjadi tiga bagian besar :
a. Sejarah & Perkembangan Ulumul Qur'an
Meliputi : Sejarah rintisan ulumul quran di masa Rasulullah SAW, Sahabat,
Tabi'in, dan perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan
karangannya di bidang ulumul quran di setiap zaman dan tempat.
b. Pengetahuan tentang Al-Quran
Meliputi : Makna Quran, Karakteristik Al-Quran, nama-nama al-Quran,
Wahyu, Turunnya Al-Quran, Ayat Mekkah dan Madinah, Asbabun nuzul, dst.
c. Metodologi Penafsiran Al-Quran
Meliputi : Pengertian Tafsir & Takwil, Syarat-syarat Mufassir dan adab-
adabnya, Sejarah & Perkembangan ilmu tafsir, Kaidah-kaidah dalam penafsiran
Al-Quran, Muhkam & Mutasyabih, 'Aam & Khoos, Nasikh wa Mansukh, dst.
3. Sejarah dan Latar Belakang
Sejarah kemunculan istilah 'Ulumul Qur'an:
 Pendapat Asy-Suyuthi dalam pengantar kitab Al-Itqan : Ulum Al-qur'an muncul
pada abad VI H. oleh Abu Al-Farj bin Al-Jauzi.
 Pendapat Az-Zarqani: Ulumul Qur'an muncul pada awal abad V H. melalui
tangan Al-Hufi (w. 430 H.) dalam karyanya yang berjudul Al-Burhan fi Ulumul
Qur'an.
 Pendapat Abu Syahbah: istilah Ulumul Qur'an muncul dengan ditulisnya kitab Al-
Mabani fi Nazhm Al-Ma'ani yang ditulis tahun 425 H. (abad V H.).
 Pendapat Subhi Ash-Shalih: Istilah Ulumul Qur'an sudah muncul semenjak abad
III H., yaitu ketika Ibn Al-Mazuban menulis kitab yang berjudul Al-Hawi fi
Ulumul Qur'an.
4. Perkembangan Ulumul Qur’an
A. Fase Sebelum Kodifikasi (Qabl ‘Ashr At-Tadwin)
Pada fase sebelum kodifikasi, Ulumul Qur’an kurang lebih sudah
merupakan benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih
ada. Ditandai dengan adanya kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-
Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Kegairahan para sahabat untuk mempelajari dan mengamalkan Al-Qu’ran
tampaknya lebih kuat lagi ketika Nabi hadir di tengah-tengah mereka. Hal inilah
yang kemudian mendorong Ibn Taimiyyah untuk mengatakan bahwa Nabi telah
menjelaskan apa saja yang menyangkut penjelasan Al-Qur’an kepada para
sahabatnya. Salah satu riwayat dibawah ini membuktikan adanya penjelasan Nabi
kepada para sahabat menyangkut penafsiran Al-Qur’an:
Riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya dari ‘Adi bin
Hayyan, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Yang artinya: “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai oleh Allah
adalah orang-orang Yahudi, sedangkan yang dimakdsud dengan orang-orang yang
tersesat adalah orang-orang Nashrani.”
B. Fase Kodifikasi
Pada fase sebelum kodifikasi, Ulumul Qu’an dan juga ilmu-ilmu yang
lainnya belum dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya
yang sudah dikodifikasikan saat itu hanyalah Al-Qur’an. Fenomena itu terus
berlangsung sampai ketika ‘Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad
Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Pengodifikasian itu semakin marak dan
meluas ketika islam berada pada tangan pemerintah Bani Umayyah dan Bani
‘Abbasiah pada periode-periode awal pemerintahannya. Pada fase ini ada
sembilan perkembangan yang dimulai dari perkembangan Ulumul Qur’an pada
abad ke- II H sampai abad ke- XIV H.

PERTEMUAN KE 2
Mengetahui Tentang Al-Qur’an
1. Makna Al-Qur’an
Secara bahasa, Al-Quran berasal dari kata kerja qară’a yang berarti
“mengumpulkan atau menghimpun”, dan qiră’ah yang berarti menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi”.
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman dan
petunjuk hidup seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Al-Quran merupakan kitab
suci terakhir dan terbesar yang diturunkan Allah SWT kepada manusia setelah Taurat,
Zabur, dan Injil yang diturunkan kepada para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Al-
Quran merupakan kitab suci yang istimewa karena tidak hanya mempelajari dan
mengamalkan isinya saja yang menjadi keutamaan, tetapi membacanya saja sudah
bernilai ibadah.
Hal ini sesuai dengan beberapa defenisi Al-Quran yang diungkapkan para ulama,
diantaranya Usatdz Muhammad Ali Ash-Shabuni. Menurutnya, Al-Quran adalah firman
Allah Swt yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup
para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf
yang kemudia disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan
mempelajarinya merupakan ibadah, dimulai dengan Surah Al-Fatihah [1] dan ditutup
dengan Surah An-Nas [114].
Oleh karena itu, istilah qur’an paling umum diterjemahkan sebagai “bacaan” atau
“tilawah” (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan
qeryana (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan dalam ritual
keagamaan) dalam bahasa Suriah, dan miqra’ dalam bahasa Ibrani (pembacaan suatu
kisah, Kitab Suci). Sebagian mufasir juga berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari
bentuk fu’lan, qur’an membawa konotasi “bacaan sinambung” atau “bacaan abadi”, yang
dibaca dan didengar berulang-ulang.
Al-Quran dikhususkan sebagai nama kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, sehingga Al-Quran menjadi nama khas kitab tersebut, yaitu sebagai
nama diri, termasuk juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Sebagai sebuah nama, Al-Quran
merujuk pada wahyu (tanzil) yang “diturunkan” (unzila) oleh Allas Swt kepada Nabi
Muhammad saw dalam rentang waktu hampir 23 tahun. Dalam konotasi yang lebih
universal, ia adalah ekspresi diri Ummul Kitab sebagai paradigma komunikasi Ilahiah
(QS. Al-Ra’d [13]:39).
2. Nama dan Sifat-Sifat Al-Qur’an
Allah menamakan al-Qur’an dengan beberapa nama, diantaranya:
a. Al-Qur’an: “Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (al-Israa’:
9)
b. Al-Kitab: “Telah Kami turunkan kepadamu al-Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-
sebab kemuliaan bagimu.” (al-Anbiyaa’: 10)
c. Furqaan: “Mahasuci Allah Yang telah menurunkan al-Furqaan kepada hamba-Nya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.” (al-Furqaan: 1)
d. Dzikr: “Sesunggguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (Qur’an) dan
sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
e. Tanzil: “Dan Qur’an ini Tanzil [diturunkan] dari Tuhan semesta alam.” (asy-Syu’ara’:
192)
Allah telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, di antaranya:
a. Nuur (Cahaya): “Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebearan dari Tuhan-mu,
dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (an-Nisaa’: 174)
b. Huda (petunjuk), Syifa’ (obat), Rahmah (rahmat) dan Mau-idhah (nasehat): “Wahai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu dan obat bagi
yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(Yunus: 57)
c. Mubiin (Yang menerangkan): “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah
dan Kitab yang menerangkan.” (al-Maa-idah: 15)
d. Mubaarak (yang diberkati): “Dan al-Qur’an ini adalah Kitab yang telah Kami berkahi,
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya….” (al-An’am: 92)
e. Busyraa (khabar gembira): “….yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan
menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah:
97)
f. ‘Aziz (yang mulia): “Mereka yang mengingkari adz-Dzikr (al-Qur’an) ketika al-Qur’an
itu datang kepada mereka, [mereka pasti celaka]. Al-Qur’an adalah kitab yang mulia.”
(Fushshilat: 41)
g. Majiid (yang dihormati): “Bahkan yang mereka dustakan adalah al-Qur’an yang
dihormati.” (al-Buruuj: 21)
h. Basyiir (pembawa khabar gembira) dan Nadziir (pembawa peringatan): “Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui;
yang membawa khabar gembira dan membawa peringatan.” (Fushshilat: 3-4)
3. Perbedaan dengan Hadits Nabawi dan Hadits Kudsi
Hadits nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi yaitu, yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia
menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun
kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan
kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya,
meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi yaitu, yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap
Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan
pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh
wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang
membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Sedangkan Hadits qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada
Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari
Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah
SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab
seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara
hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang,
serta membacanya pun diangggap ibadah.
4. Karakteristik Al-Qur’an
Dr. Yusuf Qaradhawi memaparkan beberapa karakteristik Al-Quran dalam
kitabnya ” Kaifa Nata’amal ma’al al-Quran “,( Bagaimana berinteraksi dengan Al-
Quran), secara singkatnya sebagai berikut :
a. Al-Quran adalah Kitab Ilahi
Al-Quran berasal dari Allah SWT, baik secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh
Allah SWT kepada Rasul dan Nabi-Nya; Muhammad saw melalui ‘wahyu al-jaliy’
wahyu yang jelas. Yaitu dengan turunnya malaikat utusan Allah, Jibril a.s untuk
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW yang manusia, bukan melalui jalan
wahyu yang lain ; seperti ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa, mimpi yang benar atau
cara lainnya.
ٍ ِ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﻟَﺪ ُْﻥ َﺣ ِﻜ ٍﻴﻢ َﺧﺒ‬
‫ﻴﺮ‬ ْ َ ‫ﺼﻠ‬ ْ ‫ﺍﻟﺮ ِﻛﺘَﺎﺏٌ ﺃُﺣْ ِﻜ َﻤ‬
ِّ ُ‫ﺖ ﺁَﻳَﺎﺗُﻪُ ﺛُ َّﻢ ﻓ‬
Artinya : Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha tahu ( Huud 1)
b. Al-Quran adalah Kitab Suci yang terpelihara
Diantara karakteristik Al-Quran yang lainnya adalah ia merupakan kitab suci yang
terpelihara keasliannya. Dan Allah SWT sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta
tidak membebankan hal itu pada seorang pun. Tidak seperti yang dilakukan pada kitab-
kitab suci selainnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT :
ِ ‫ﺏ ﻪَّﻠﻟﺍ‬
ِ ‫ﺑِ َﻤﺎ ﺍ ْﺳﺘُﺤْ ﻔِﻈُﻮﺍ ِﻣ ْﻦ ِﻛﺘَﺎ‬
Artinya: “…. disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah …” (Al-
Maidah 44)
c. Al-Quran adalah Kitab suci yang menjadi Mukjizat
Diantara karakteristik Al-Quran adalah kemukjizatannya. Ia adalah mukjizat terbesar
yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga bangsa arab hanya menyebut-
nyebut mukjizat itu saja, tidak yang lainnya, meskipun dari beliau terjadi mukjizat yang
lain yang tidak terhitung jumlahnya.
d. Al-Quran adalah Kitab Suci yang menjadi Penjelas dan dimudahkan Pemahamannya
Al-Quran adalah kitab yang memberi penjelasan dan mudah dipahami. Tidak seperti
kitab filsafat, yang cenderung untuk menggunakan simbol-simbol dan penjelasan yang
sulit, tidak pula seperti kitab sastra yang menggunakan perlambang-perlambang, yang
berlebihan dalam menyembunyikan substansi, sehingga sulit dipahami akal.
Allah SWT menurunkan Al-Quran agar makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-
hukumnya dapat dimengerti, rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat
ditadabburi. Oleh karena itu Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan jelas dan
memberi penjelasan, tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah SWT :
‫َﻭﻟَﻘَ ْﺪ ﻳَﺴَّﺮْ ﻧَﺎ ْﺍﻟﻘُﺮْ ﺁَﻥَ ﻟِﻠ ِّﺬ ْﻛ ِﺮ ﻓَﻬَﻞْ ِﻣ ْﻦ ُﻣ َّﺪ ِﻛ ٍﺮ‬
Artinya : Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka
Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Al-Qomar 17)
e. Al-Quran adalah Kitab Suci yang Lengkap
Al-Quran adalah kitab agama yang menyeluruh, pokok agama dan ruh wujud islam.
Darinya disimpulkan konsep akidah Islam, tatacara ibadah, tuntutan akhlak, juga pokok-
pokok legislasi dan hukum. Allah SWT berfirman :
ٍ‫َﺎﺏ ﺗِ ْﺒﻴَﺎﻧًﺎ ﻟِ ُﻜ ِّﻞ َﺷ ْﻲﺀ‬ َ ‫ﻚ ْﺍﻟ ِﻜﺘ‬ َ ‫َﻭﻧَ َّﺰ ْﻟﻨَﺎ َﻋﻠَ ْﻴ‬
Artinya : ..dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu (An-Nahl 89)
f. Al-Quran adalah Kitab Suci Seluruh Zaman
Makna Al-Quran sebagai kitab keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi,
bukan kitab bagi suatu masa tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya.
Maksudnya, hukum-hukum Al-Quran, perintah dan larangannya, tidak berlaku secara
temporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.
g. Al-Quran adalah Kitab suci bagi Seluruh Umat Manusia
Al-Quran bukanlah kitab yang hanya ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak
kepada bangsa yang lain, tidak juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau suatu
wilayah tertentu. Tidak juga hanya bagi kalangan yang rasional, dan tidak menyentuh
mereka yang emosional dan berdasarkan intuisi.Tidak juga hanya bagi rohaniawan,
sementara tidak menyentuh mereka yang materialis. Al-Quran adalah kitab bagi seluruh
golongan manusia. Allah SWT berfirman :
َ‫ﺇِ ْﻥ ﻫ َُﻮ ﺇِﺎَّﻟ ِﺫ ْﻛ ٌﺮ ِﻟ ْﻠ َﻌﺎﻟَ ِﻤﻴﻦ‬
Artinya : Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta (At-Takwir 27)
PERTEMUAN KE 3
Sejarah Turunnya Al-Qur’an dan Kodifikasi Al-Qur’an

1. Sejarah Turunnya Al-Qur’an


Al Qur’an di turunkan melalui perantara malaikat Jibril yang menyampaikan
langsung kepada Nabi Muhammad. Proses turunnya Al-Qur’an berlangsung selama 22
tahun , 2 bulan dan 22 hari secara berangsur-angsur. Wahyu pertama yang turun adalah
Surat Al ‘Alaq ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun pada tanggal 17 Ramadhan di
Gua Hira. Wahyu yang selanjutnya di turunkan jedanya selama 3 tahun. Adapun urutan
ayat dan surat yang ada di dalam Al-Qur’an saat ini bukanlah berdasarkan diturunkannya
ayat dan surat tersebut.
Adapun lokasi penurunannya di bagi menjadi dua, yaitu di Makkah dengan
jumlah 86 surat yang diturunkan selama 13 tahun, dan digolongkan ke dalam surat
Makiyyah. Serta di Madinah dengan jumlah 28 surat yang diturunkan selama 10 tahun
dan di golongkan ke dalam surat Madaniyyah.
a. Periode Diturunkannya Al-Qur’an
Periode Makkah pertama selama 4 sampai dengan 5 tahun. Pada masa ini, dakwah
Islam masih terbatas pada ruang lingkup yang kecil, dan ayat yang diturunkan pun pada
umumnya membahas tentang pelajaran bagi Rasulullah untuk membentuk
kepribadiannya, pembahasan tentang dasar-dasar akhlak Islamiyah, pengetahuan tentang
sifat Allah serta bantahan mengenai pandangan hidup di masyarakat Jahiliyah kala itu.
Periode Makkah kedua selama 4 sampai dengan 9 tahun. Pada masa ini dakwah
Islam sudah mulaiterbuka. Masyarakat Makkah sudah mulai berfikir untuk menghalangi
dakwah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa ini umumnya tentang kewajiban sebagai
seorang muslim, pembaasan tentang ke esaan Allah, pembahasan tentang hari kiamat,
serta ancaman dan kecaman kepada orang musyrik yang mempunyai prilaku buruk.
Periode Madinah selama 10 tahun. Rasulullah mulai hijrah dari Makkah ke
Madinah, dan masyarakat sekitar mulai terbentuk keimanannya. Disana, masyarakat
Yahudi dan Islam hidup berdampingan, namun seiring berjalannya waktu, kaum Yahudi
pun mulai ikut menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.
b. Awal Mula Dibukukannya Al-Qur’an
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur. Pada saat itu, kertas belum ada di Arab, meskipun sudah
ditemukan di China. Karena Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis, maka
ketika menerima Wahyu, beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabat. Para
sahabat lalu menghafalkannya di luar kepala. Bagi yang bisa menulis, diminta untuk
menuliskannya di atas kulit pohon, batu, kain, kulit hewan dan lain sebagainya.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun malaikat Jibril bersama
Rasululah selalu mengulang hafalan Al-Qur’an. Bahkan di tahun terakhir menjelang
wafatnya, Nabi Muhammad bersama malaikat jibril mengulangi hafalannya sebanyak dua
kali. Pembukuan Al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
atas usulan dari Umar bin Khaththab. Hal ini terjadi karena Umar khawatir atas
kemurnian Al-Qur’an karena tidak sedikit dari para penghafal yang mati Syahid karena
ikut berperang.
Pembukuan itu dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dengan cara mengumpulkan ayat-
ayat yang sudah pernah dituliskan oleh para sahabat di batu, kain, kulit pohon, kulit
hewan dan lain sebagainya. Hasil dari hall tersebut adalah pembukuan resmi Al-
Qur’an yang pertama kalinya. Al-Qur’an yang sudah disatukan menjadi buku tersebut
lalu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Setelahnya, di simpan oleh
Umar sampai ia meninggal, dan diteruskan oleh anaknya yaitu Hafsah.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Al-Qur’an pertama kalinya di gandakan
dan di distribusikan. Hal ini terjadi karena Islam sudah tersebar luas sampai ke Iran.
Setelah itu, penggandaan dan pendistribusian Al-Qur’an kembali dilanjutkan oleh
Huzaifah bin Yaman.
2. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Nabi dan Sahabat
a. Pada Masa Nabi
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam
bentuk hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi
yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman,
‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Al-Walid, dan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi sangat sederhana, mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang
belulang, dan kayu.
Diantara faktor yang yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
adalah:
 Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
 Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak
dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka sudah wafat
Karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi yaitu Al-Qur’an tidak ditulis pada
satu tempat saja, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya
bertolak dari dua alasan berikut:
1. Proses penuruan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang
turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah
turun terdahulu.
2. Menertibkan ayat dan surat-surat dan surat-surat Al-Qur’an tidak bertolak dari
kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat
lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lainnya. Oleh karena itu,
terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis terlebih dahulu
dibandingkan ayat atau surat yang turun pertama.
b. Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin
a) Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada periode Abu Bakar Ash-Shiddiq, terjadi banyak kekacauan, terutama
kekecauan yang dipimpin oleh Musailamah al-Khadzdzab bersama para pengikutnya.
Salah satunya adalah Perang Yamamah yang terjadi pada 12 H, tercacat sekitar 70
penghafal Al-Qur’an dari para sahabat gugur. Bahkan ada riwayat lain yang
menyebutkan sekitar 500 orang, dan mengakibatkan al-Qur’an musnah.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Umar bin Khattab mengusulkan kepada
Abu Bakar untuk mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an dalam sebuah mushaf.
Umar khawatir bahwa Al-Qur’an akan hilang jika hanya mengandalkan para
penghafal Al-Qur’an, terlebih ketika semakin banyaknya para penghafal Al-Qur’an
yang gugur dalam peperangan.
Pada mulanya, Abu Bakar menolak usulan Umar dengan alasan bahwa Nabi
tidak pernah melakukan sebelumnya. Selanjutnya, Abu Bakar menceritakan
kekhawatiran Umar kepada Zaid bin Tsabit. Respon Zaid pun tak jauh berbeda
dengan Abu Bakar, bahkan Zaid mengungkapkan “seandainya aku diperintahkan
untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidak lebih berat bagiku daripada
mengumpulkan al-Qur’an yang engkau perintahkan.”
Namun, setelah mempertimbangkan perihal kebaikan dan manfaatnya, Abu
Bakar dan Zaid pun menyetujuinya. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid untuk
menuliskan Al-Qur’an, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan,
pemahaman, kecerdasan, serta kehadirannya dalam pembacaan terakhir kali. Setelah
Abu Bakar wafat pada 13 H, mushaf tersebut berpindah ke tangan Umar hingga
beliau wafat. Setelahnya, berpindah lagi ke tangan Hafsah, putri Umar yang pernah
menjadi istri Nabi yang juga hafidzah dan pandai baca tulis, atas wasiat Umar.
b) Pada Masa Usman bin ‘Affan
Pada periode Usman bin’ Affan, wilayah penyebaran Islam semakin luas, para
pengajar Al-Qur’an pun diperlukan lebih. Huzdzaifah bin Yaman, seorang pemimpin
prajurit Islam di perbatasan Azerbaijan dan Armenia, melihat perbedaan di kalangan
umat Islam dalam membaca Al-Qur’an. Beliau khawatir jika perbedaan tersebut
lambat laun akan mengancam kesatuan Al-Qur’an dan persatuan umat Islam di
kemudian hari.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Huzdzaifah segera pergi menemui
Usman dan berkata, “aku telah memberikan peringatan secara terbuka, karena itu
dimohon kepada khalifah untuk menemui umat Islam.” Menurut beberapa riwayat,
Usman mengadakan pertemuan dengan para sahabat, setelah menerima laporan
tersebut. Hasil akhirnya adalah dengan menyeragamkan umat Islam pada satu mushaf
sehingga tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan.
Lebih lanjut, Usman bin ‘Affan mengambil beberapa langkah sebagaimana
terkandung dalam riwayat Bukhori;
Pertama, meminjam mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa Abu
Bakar kepada hafsah untuk disalin ke dalam beberapa mushaf.
Kedua, membentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Ketiga, setelah panitia selesai melakukan tugasnya, maka mushaf-mushaf tersebut
dikirim ke berbagai pusat negeri Islam.
Keempat, memerintahkan kepada kaum Muslim di seluruh negara Islam untuk
membakar semua mushaf dan catatan-catatan al-Qur’an yang tidak sesuai dengan
mushaf yang telah mereka terima.
3. Penyempurnaan Penulisan dan Rasm Al-Qur’an
a. Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yamg tujuh. Ketika banyak orang non-
Arab yang memeluk Islam, mereka kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan
bertitik itu. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf
ini telah dimaklumi oleh para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula
penyempuranaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam
dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w.
95 H). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan
alif sebagai pengganti huruf yang dibuang. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan
terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf jadi
lebih mudah
Penyempurnaan ini tidak berlangsung sekaligus, tetapi secara bertahap dan
dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M). Ketika proses
penyempurnaan mushaf ‘Utsmani selesai dilakukan terdapat tiga nama yang disebut
sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ini, tiga orang
tersebut ialah Abu Al-Aswad Ad-Da’uli, Yahya’ bin Ya’mar (45-129 H), dan Nashr bin
‘Ashim Al-Laits (w. 89 H). Adapun orang yang disebut meletakan hamzah, tasyid, al-
raum, dan al-isymam pertama kali yaitu Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang
diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H).
Pertama kali Al-Qur’an dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi setelah
selesai dicetak penguasa gereja mengeluarkan peraturan dan perintah untuk
memusnahkan kitab suci agama islam. Kemudia atas usaha seorang Jerman bernama
Hinkelman pada tahun 1694 M di Hamburg (Jerman). Kemudian disusul oleh Marracci
pada tahun 1698 M di Padoue. Tetapi tidak ada satupun cetakan Al-Qur’an dari cetakan
pertama, kedua, maupun ketiga yang tersisa, dan sayangnya perintis penerbit Al-Qur’an
pertama ini bukan dari kalangan muslim.
Penerbitan Al-Qur’an dengan label islam baru dimulai pada tahun 1787 M. yang
menerbitkannya yaitu Maulaya ‘Utsman di Saint-Petersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni
Soviet sekarang.
b. Rasm Al-Qur’an
Secara terminologi rasm berasal dari kata rasama, yarsamu,
rasman yang berarti gambar atau coretan atau bentuk tulisan. Kata
rasm juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut
aturan. Jadi rasm adalah bentuk penulisan yang mempunyai aturan
tertentu.
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus
dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul ‘Utsmání lil Mushaf (penulisan mushaf
Utsmani), dengan dinisbahkan kepada Utsman.
Majma’ al-Buhus al-Islamiyat dalam Ichwan mengemukakan bahwa rasm Al-
Qur’an (rasm al-mushaf) adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin
Affan bersama sahabat-sahabatnya dalam penulisan Al-Qur’an, berkaitan dengan susunan
huruf-hurufnya yang terdapat dalam mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan kota
serta mushaf imam yang berada di tangan Utsman bin Affan sendiri. Rosihon Anwar juga
menjelaskan bahwa rasm Al-Qur’an ialah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang
ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasm Al-Qur’an atau
Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani adalah tata cara penulisan kalimat-kalimat dan
huruf-huruf Al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan kaidah yang
disetujui oleh Utsman bin Affan. Sedangkan mushaf yang berhasil dikodifikasi ini
disebut mushaf al-Imam.
PERTEMUAN KE 4
Asbabun Nuzul
1. Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala
fenomena melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam
pemakaiannya, ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-
sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang
secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits. Banyak pengertian
terminologi yang dirumuskan oleh para ulama diantaranya:
a. Menurut Az-Zarqani, asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada
hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi.
b. Menurut Ash-Shabuni, asbabun nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan
peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa, pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
atau kejadian yang berkaitan dengan agama.
2. Macam-macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat dibagi menjadi:
a. Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang
wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab, misalnya turunnya Q.S.
Al-Ikhlas: 1-4, yang berbunyi:

Artinya: “Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di
peranakkan. Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan dia.
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang-orang
musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di
madinah setelah hijrah.
Contoh yang lain: “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha.
Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.
Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa sebab berikut;
Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi saw. Shalat dzuhur di waktu hari yang
sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat. Maka turunnlah
ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi saw.. Shalat dzuhur di waktu yang sangat
panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya.
Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk berdagang.
Maka turunlah ayat tersebut diatas
(HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir).
Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orangorang yang
suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat meraka shalat. Maka
turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR.
Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan ibnu majah).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakapcakap di waktu
shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya(di
waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya
khusyuk ketika shalat.
b. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid
Satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat. Contoh: Q.S. Ad-dukhan/44:
10,15 dan16, yang berbunyi:

Artinya: maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.

Artinya: “sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit
sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.
Artinya:“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.
Sesungguhnya kami memberi balasan”.
Asbab an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika
kaum Quraisy durhaka kepada nabi saw.. Beliau berdo’a supaya mereka mendapatkan
kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman nabi yusuf. Alhasil
mereka menderita kekurangan, sampaisampai merekapun makan tulang, sehingga
turunlah (QS. Ad-dukhan/44: 10). Kemudian mereka menghadap nabi saw untuk
meminta bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan. Akhirnya
hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya (QS. Ad-dukhan/44: 15), namun setelah
mereka memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan
durhaka) maka turunlah ayat ini (QS. Ad-dukhan/44: 16) dalam riwayat tersebut
dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang badar.
3. Ungkapan Redaksi Asbabun Nuzul
Ungkapan-ungkapan yang di gunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan
turunnya al-qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar di
kelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
a. Sarih (jelas)
Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas menunjukkan asbab annuzul dengan
indikasi menggunakan lafadz (pendahuluan).
“sebab turun ayat ini adalah...”
“telah terjadi..... maka turunlah ayat…..”
“rasulullah saw pernah di tanya tentang ....... maka turunlah ayat…..” Contoh lain:
QS. Al-maidah/5, ayat 2 yang berbunyi:

Artinya: “hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu melanggar shi’ar-shi’ar


Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qala-id, dan jangan pula
mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhoannya dari tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjid al-
haram, mendorongmu membuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah
kamu dalam(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah sangat berat siksa-Nya ”.(Q.S. almaidah : ayat 2).

b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)


Ungkapan “mutammimah”adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan
asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat berupa ungkapan
sebagai berikut:
...“ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”
“saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...........”
“saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan.....”
Contohnya: QS. Al-baqarah/2: 223

Artinya: “istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, mak
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik)untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-
orang yang beriman.”(QS. Al-baqarah/2: 223).

4. Urgensi Mempelajari Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan al-qur’an. Seseorang


tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab an-nuzul
suatu ayat. Al-Wahidi (W.468H/1075M.). Seorang ulama klasik dalam bidang ini
mengemukakan; “pengetahuan tentang tafsir dan ayatayat tidak mungkin, jika tidak
dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan dengan turunnya suatu
ayat. Sementara ibnu daqiq al-id menyatakan bahwa penjelasan asbabun nuzul.
Merupakan salah satu jalan yang baik dalam rangka memahami Al-Qur’an.
Pendapat senada di ungkapkan oieh ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab annuzul akan
menolomg seorang dalam upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan
melahirkan pengetahuan tentang akibat. Pemahaman asbabun nuzul akan sangat
membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk
menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya
kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat asbabun nuzul.
Muhammad chirzin dalam bukunya: Al-Qur’an dan ulum Al-Qur’an menjelaskan,
dengan ilmu asbabun nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui hikmah di balik syariat
yang di turunkan melalui sebab tertentu.Kedua, seorang dapat mengetahui pelaku atau
orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat.Ketiga, seorang
dapat dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan dalam
keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat menyimpulkan
bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan selalu bersama para
hamba-Nya.
Study tentang asbabun nuzul akan selalu menemukan relevansinya sepanjang
peradaban perjalanan manusia, mangingat asbabun nuzul manjadi tolak ukur dalam upaya
kontekstualisasi teks-teks Al-Qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psiko-sosio-
historis yang menyertai derap langkah kehidupan manusia.
Lebih lanjut sebagaimana dijelaskan oleh manna khalil al-qattan dalam bukunya
mabahith fi ulum Al-Qur’an diantara faedah ilmu asbabun nuzul dalam dunia pendidikan,
para pendidik megalami banyak kesulitan dalam penggunaan media pendidikan yang
dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran
dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan
dan mengikuti pelajaran.
REFERENSI
http://majlisilmuquran.blogspot.com/2012/07/objek-pembahasan-ulumul-quran.html
https://web.facebook.com/TAHDIS/posts/pengertian-ulumul-quran-dan-sejarah-
perkembangannyaa-pengertian-ulumul-quranulum/485875924860660/?_rdc=1&_rdr
https://halaqohdakwah.wordpress.com/2009/06/10/makna-al-quran/
http://jurnal.dharmawangsa.ac.id/index.php/almufida/article/download/107/102

https://www.academia.edu/6508587/RASM_AL_QURAN

https://islami.co/sejarah-al-quran-periode-nabi-muhammad-saw-dan-khulafaur-rasyidin/

http://kedesa.id/id_ID/sejarah-singkat-bagaimana-diturunkannya-al-quran/

https://wakidyusuf.wordpress.com/2016/04/14/pengertian-al-quran-karakteristik-perbedaannya-
dengan-hadits/
https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1147101616-apakah-hadits-nabawi-hadits-qudsi.html
https://alquranmulia.wordpress.com/2016/03/05/nama-dan-sifat-al-quran/
Subhi Ash-Shalih, Mabahits ff ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Bairut, 1988.
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya, 1993.

Anda mungkin juga menyukai