Anda di halaman 1dari 9

Korea Utara 

dan Korea Selatan terbentuk setelah Perang Dunia II, di awal Perang Dingin antara
Blok Barat pimpinan AS dan Blog Timur di bawah Uni Soviet. Sejak 1910 hingga kekalahan
Jepang pada akhir Perang Dunia II pada 1945, seluruh Semenanjung Korea telah dicaplok dan
diduduki oleh pasukan Jepang.
Di tengah ketidak sepakatan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Semenanjung Korea
terpecah. Terbagi menjadi wilayah Utara di bawah pengelolaan Uni Soviet, dan wilayah Selatan
yang diperintah AS. Pada 9 September 1948, Republik Demokratik Rakyat Korea lahir di
wilayah Utara, dipimpin oleh anggota Partai Pekerja Korea dan mantan pejuang gerilya Kim Il
Sung.
Kim pertama adalah pemimpin abadi Korea Utara. Dia memerintah Korea Utara selama empat
setengah dekade dengan tangan besi. Pertama sebagai perdana menteri dan kemudian sebagai
presiden. Partai Buruh tetap menjadi satu-satunya partai politik di negara ini.
Saat yang paling menentukan bagi kedua Korea adalah perang 1950-1953. Berawal saat Korea
Utara mencoba untuk menyerang Selatan. Invasi Korut berhasil dibendung Korsel, namun
meninggalkan bekas luka yang dalam di antara dua tetangga.
Perang Korea diakhiri bukan dengan perjanjian damai, melainkan kesepakatan gencatan senjata
antara AS dengan Korut. Perbatasan bersama kedua Korea, DMZ alias Zona Demiliterisasi,
merupakan pengingat permusuhan keduanya secara fisik.
Permusuhan itu diturunkan hingga putra Kim Il Sung, yakni Kim Jong Il, mengambil alih
kekuasaan di Korea Utara pada1994 setelah kematian ayahnya. Kim Jong Il masih harus
berurusan dengan isolasi di saat negara belum berkembang pasca runtuhnya Uni Soviet dan
berakhirnya Perang Dingin. China menjadi satu-satunya pendukung utama Pyongyang.
Kim Jong Il meninggal pada Desember 2011, meninggalkan putranya Kim Jong-un untuk
mengambil kendali atas negara terkucil yang penuh misteri, berpopulasi sekitar 25 juta orang.
Sosok Kim Jong-un sendiri masih misteri. Dia diperkirakan masih berusia 20-an akhir ketika
dilimpahi mandat untuk memimpin Korut. Di bawah pemerintahan Kim III atau Kim Jong-un,
Korut kian meningkatkan uji coba rudal dan nuklir yang meningkatkan kekhawatiran kalangan
internasional akan pecahnya Perang Dunia III.
Perang kata-kata Presiden AS Donald Trump kian memperuncing keadaan sebelum akhirnya
bertekuk lutut dalam rangkulan Presiden Korea Selatan Moon Jae In. Dalam pertemuan dengan
Moon pada 27 April lalu, Kim Jong-un menyatakan bersedia melucuti senjata nuklir atau
denuklirisasi. Menjelang pertemuan dengan Trump, Korut tampak menghancurkan beberapa
instalasi nuklirnya disaksikan awak media internasional.
(CNN Indonesia, Juni 2018, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180611095318-113-
305134/menilik-sejarah-terbentuknya-korea-utara )
Negara yang beribu kota di Pyongyang ini merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72
atau tepat pada tanggal 9 September 1948 dengan nama Democratic People’s Republic of Korea
(DRRK). Korea Utara pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Semenanjung Korea yang
merupakan wilayah yang diduduki oleh Dinasti Kerajaan atau Kekaisaran yang dimana Kaisar
Gojong merupakan Kasiar terakhir Korea yang memerintah pada tahun 1897-1910 (History,
2019).
Semenanjung Korea kemudian diduduki oleh Jepang setelah perang Russia-Jepang pada
tahun 1905 dan setelah jatuhnya kekuatan kekaisaran dan permainan politik Jepang dan berdasar
traktat aneksasi Jepang-Korea, Korea menjadi sepenuhnya milik Jepang 5 tahun kemudian, dan
Korea menjadi daerah yang berada di bawah kekuasaan kolonial Jepang selama 35 tahun.
Kemudian pada 1943, diadakan konferensi di Kairo membahas Perang Dunia ke 2 yang terjadi di
Asia, yang kemudian menyepakati bahwa jika Jepang kalah pada Perang Dunia ke 2, Maka
Jepang wajib mengembalikan seluruh wilayah jajahannya dan mendukung kemerdekaan Korea.
Setelah Sekutu berhasil membuat Jepang menyerah tanpa syarat dengan dijatuhkannya
bom Hiroshima dan Nagaski, Jepang harus menyetujui Deklarasi Postdam yang juga
menyinggung hasil dari Konferensi Kairo tentang dihapusnya kekuasaan Jepang atas
Semenanjung Korea. Tepat setelah bom Nagasaki dijatuhkan pada 9 Agustus 1945, Soviet
menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerang wilayah-wilayah yang diduduki Jepang
salah satunya adalah Korea. Pernyataan perang dari Soviet ini terjadi setelah 3 bulan
kemenangan sekutu di medan pertempuran Eropa pada April 1945.
Pada saat itu, pasukan Soviet sudah memobilisasi pasukannya ke medan pertempuran
pasifik dan Amerika sangat gelisah karena khawatir Soviet akan menguasai seluruh Korea.
Sehingga pada 10 Agustus 1945, Amerika menawarkan kepada Soviet pembagian Korea
berdasarkan garis pararel ke-38 dengan Korea Utara diberikan kepada Soviet dan Korea Selatan
diberikan kepada Amerika Serikat. Soviet menerima baik tawaran ini dan pada 14 Agustus 1945,
Soviet sudah berada di Korea Utara dan dengan cepat menguasai Timur Laut. Pada 24 Agustus
1945, Pasukan Merah sudah menduduki Pyongyang.
Soviet kemudian mendirikan Komite Rakyat dengan menunjuk Cho Man Sik sebagai
ketuanya dan beberapa pejabat Soviet termasuk di dalamnya. Pasukan Amerika Serikat mendarat
di Selatan garis pararel ke 38. Pada 27 Desember 1945, melalui Konferensi Moskow, Soviet
menyetujui tawaran Amerika untuk membangun sebuah wilayah Perwalian PBB dalam kurun
waktu 5 tahun dalam rangka Kemerdekaan Korea. Pada tahun 1946-1947, Komite gabungan
Amerika dan Soviet berusaha menciptakan suatu kesatuan pemerintahan, namun gagal karena
meningkatnya ketegangan Perang Dingin dan penolakan rakyat Korea atas perwakilan PBB.
Karenanya, perbedaan kedua negara ini menjadi sangat jauh, karena kebijakan yang berbeda
diantara kedua negara dan menjadikan polarisasi politik. Kemudian pada Mei 1946, perpindahan
penduduk melalui garis pararel ke-38 tanpa izin adalah illegal.
Dengan kegagalan komisi gabungan untuk menghasilkan keputusan, Amerika membawa
masalah ini ke PBB pada September 1947, Soviet menolak keterlibatan PBB karena Amerika
memiliki pengaruh lebih besar di PBB ketimbang Soviet. Kemudian PBB memberikan resolusi
pada 14 November pada 1947 untuk segera mengadakan Pemilihan umum, Tentara asing ditarik
dan Komisi PBB sementara untuk Korea segera dibuat. Tetapi, Soviet memboikot voting
tersebut, dan menilai voting tersebut mengikat dan PBB tidak menjamin kejujuran Pemilihan
Umum tersebut. Karena tidak adanya kooperasi dari pihak Soviet, ditentukan bahwa pemilihan
umum hanya dilaksanakan di Korea Selatan saja. Karena pemilihan yang terpisah ini, banyak
warga Korea yang tidak senang karena melihat keputusan ini karena menggangap awal dari
terpisahnya permanen negara tersebut.
Gerakan protes pun terjadi pada Februari 1948- 3 April 1948 yang terjadi di pulau Jeju
dan tentara Korea Selatan dikirim untuk meredam kerusuhan tersebut. Pada 10 Mei 1948, terjadi
pemilihan umum di Korea Selatan meskipun terjadi banyak kerusuhan dan boikot yang terjadi.
Akhirnya pada 15 Agustus 1945 Republik Korea mengambil alih Korea Selatan dari Amerika
dengan Syngman Rhee sebagai presiden pertama. Disebelah utara, Republik Rakyat Korea
dibentuk pada tanggal 9 September 1948 dengan Kim Ill Sung sebagai perdana Menteri.
Pada 9 September 1948, Kim Il Sung menjadi perdana Menteri yang merupakan anggota
Partai Pekerja Korea dan mantan pejuang gerilya. Tanggal 9 September juga selalu diperingati
setiap tahun sebagai Hari Yayasan Republik (matamatapolitik, 2018). Kim Il Sung memimpin
Korea Utara untuk empat setengah decade dengan tangan besi. Kim Il Sung menjadi perdana
Menteri kemudian menjadi Presiden. Partai Buruh menjadi partai politik satu-satunya di negara
ini. Pada awalnya, Kim Il Sung menjadi pemimpin partai komunis Chosun yang kokoh dan
memegang kekuatan politik yang besar. Organisasi itu kemudian dibentuk kembali dan menjadi
Partai Buruh Korea Utara. Partai ini kemudian memperkokoh landasan sebagai negara komunis,
lewat pelaksanaan nasionalisasi tanah pertanian dan industri di negara tersebut.
Di tahun 1946, sekitar 96,5 persen perusahaan berada dibawa sektor swasta, namun pada
1958 semuanya telah berada di bawah apa yang disebut “sektor sosialis” (Lee, 1964:224). Selain
di bidang perekonomian, Kim juga memfokuskan pandangannya pada bidang militer. Langkah
pertama yang dia ambil ialah membuat unsur-unsur dalam bidang tersebut loyal kepadanya.
Indoktrinasi politik diberlakukan pada setiap tentara, baik prajurit maupun Jenderal agar mereka
setia pada komunisme. Untungnya, hampir semua perwira tinggi tentara merupakan bekas anak
buahnya ketika bergerilya dahulu (Lutz, 2015:30), sehingga usahanya dipermudah dengan
kehadiran mereka. Setelah militer loyal kepadanya, barulah ia memperkuat militernya.
Dengan bantuan dari Soviet, militer Korea Utara dapat mengalahkan saudaranya sendiri
di selatan. Hal tersebut terbukti pada awal perang korea dimana 90% wilayah Korea Selatan
jatuh dibawah kekuasaan Utara (Lankov, 2002:61). Namun cita-citanya untuk menyatukan korea
dibawah panji komunisme pada akhirnya kandas setelah perang tersebut mengalami stagnan
hingga gencatan senjata diberlakukan.
Selepas perang tersebut merupakan masa-masa rekontruksi besar untuk membangun
Kembali negara yang hancur pasca perang. Selain negara, sang generalismo juga berusaha
membangun kembali citra ia di mata rakyatnya. Diperlukan sekitar 10 tahun untuk memperbaiki
negara tersebut dari ambang kehancuran. Ia meniru model Soviet dan China pada penerapan
kebijakan ekonomi dan menerapkan gerakan Chollima (mirip dengan Great Leap Forward Mao
di China), Korea Utara berhasil mengembalikan perekonomiannya.
Kemudian pada 1967, ideologi Junche diperkenalkan kepada publik melalui pidatonya di
parlemen. Paham ini mengusung semangat Chaju (penentuan nasib sendiri), Charip (kemandirian
ekonomi), dan Chawi (menjaga kedaulatan negara). Tahun 1972, diresmikanlah paham ini
sebagai ideologi negara (Lee, 2003:105). Semenjak perang saudara tersebut, Kim Il Sung
menjadi pemimpin tertinggi Republik Demokratik Rakyat Korea hingga kematiannya pada 1994.
Akan tetapi keluarganya hingga kini masih berkuasa dan dipuja bagaikan dewa di negara yang
dikenal sebagai “Hermit Kingdom”.
(Fidel Satrio, September 2020, https://kumparan.com/onderhistoria/mengintip-sejarah-
berdirinya-korea-utara-1uARe90b5VJ/full )
Kim Il-sung juga merumuskan sendiri ideologi Korea Utara yang bernama Juche. Dan pada
1965, Juche diumumkan secara internasional di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta.
Juche atau chuch’e  (bisa diartikan sebagai berdikari) merupakan ideologi resmi Korea Utara.
Menjadi pandangan hidup orang Korea Utara serta digunakan sebagai identitas politik negeri itu.
Gagasan politik Juche secara bertahap memasukan empat konsep yakni chuch’e, chaju, charip,
dan chawi. Keempat konsep tersebut dikembangkan sejak 1950 hingga 1960-an.
Konsep “chuch’e dalam pemikiran” muncul pertama kali pada Desember 1955 dalam pidato Kim
Il-sung tentang “Menghilangkan dogmatisme dan formalisme dan membangun juche [chuch’e]
dalam kerja ideologis”. Ia menyebutkan istilah chuch’e untuk pertama kalinya dan menunjukan
perlawanannya pada kebijakan Soviet yang dipimpin Nikita Khrushchev.
“Ia menggunakan chuch’e sebagai konsep untuk melawan hegemoni Soviet. Dengan kata lain,
benih ide chuch’e ditanam selama perpecahan Soviet-Korea Utara,” sebut Jae-Cheon Lim
dalam Kim Jong Il’s Leadership of North Korea.
Konsep chuch’e digunakan untuk menghilangkan budaya Soviet yang membanjiri Korea Utara
sejak 1945. Juga diharapkan dapat membangkitkan kesadaran identitas nasional Korea Utara.
Kim Il-sung juga memanfaatkan gagasan chuch’e untuk membersihkan lawan-lawan politiknya
yang ia cap dogmatis atau kutu busuk.
Pada 1956, pemerintah Korea Utara mengangkat slogan “Mari wujudkan Chuch’e!”. Rakyat
Korea Utara didorong untuk tidak bergantung pada pengalaman revolusi negara lain tetapi atas
dasar sejarah revolusioner Korea Utara sendiri, prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme, dan
kebijakan partai yang dikembangkan secara kreatif.
“Substansi utama ‘chuch’e dalam pemikiran’ pada saat itu adalah untuk merebut kembali Korea
dan menerapkan prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme ke realitas Korea dengan cara yang
kreatif,” tulis Lim.
Konsep chaju (penentuan nasib sendiri) muncul berikutnya. Konsep ini terkait dengan urusan
luar negeri Korea Utara. Kim mulai menggunakan chaju dalam hubungan diplomatik setelah
menghadiri peringatan 40 tahun revolusi Soviet pada Desember 1957. Prinsip-prinsipnya antara
lain kesetaraan, penghormatan terhadap integritas wilayah, kemerdekaan nasional, dan non-
intervensi.
Kemudian dalam pidato peringatan ulang tahun ke-15 Tentara Rakyat Korea pada 1963, Kim Il-
sung secara khusus berbicara tentang chaju. Ia mengatakan bahwa tanpa chaju, seorang politisi
tidak dapat bekerja untuk rakyat, melainkan hanya menjilat orang lain dan menjadi tangan
negara-negara besar serta menjadi konspirator dengan menjual negaranya.
Elemen ketiga yakni charip (kemandirian) dalam ekonomi. Konsep ini berkaitan dengan strategi
yang memprioritaskan industri militer. Menurut Kim, intervensi Krushchev dalam perekonomian
Korea Utara telah mendorong perlunya charip ekonomi.
Sebelumnya, pada Konferensi Partai Pertama 1958, Kim telah menyinggung
bahwa charip ekonomi bertujuan untuk membangun ekonomi mandiri, di mana Korea Utara
dapat mencari nafkah sendiri dan mendukung diri sendiri.
“Belakangan, Kim merinci hubungan antara chaju politik dan charip ekonomi.
Tanpa charip ekonomi, chaju politik tidak dapat dipertahankan –hanya keduanya yang bisa
menjamin kemerdekaan nasional,” jelas Lim.
Konsep terakhir yang diperkenalkan namun tak kalah penting adalah chawi (pertahanan diri)
dalam pertahanan nasional. Kim mengembangkan kebijakan baru pasca pengurangan bantuan
militer Soviet di awal 1960-an. Pada Oktober 1963, chawi dalam pertahanan nasional
diumumkan melalui pidato upacara wisuda ketujuh Akademi Militer Kim Il-sung. Akhirnya,
jelas Lim, gagasan chuch’e yang berisi empat konsep
yakni chuch’e, chaju, charip dan chawi diumumkan secara internasional di Akademi Ilmu Sosial
Aliarcham, Jakarta pada April 1965.
Pada kesempatan itu, Kim Il-sung menjelaskan bahwa “mendirikan chuch’e” adalah prinsip
“pemecahan bagi semua masalah revolusi dan konstruksi sesuai dengan kondisi suatu negara dan
terutama dengan upaya sendiri”.
Kuliah Kim Il-sung yang disampaikan di akademi yang didirikan Partai Komunis Indonesia
(PKI) itu berjudul On Socialist Construction and the South Korean Revolution in the Democratic
People’s Republic of Korea.
Kim Il-sung menyebut bahwa chuch’e telah ditetapkan sejak 1955 dan terus menerus
diperjuangkan secara enerjik agar terwujud. Sejak itu pula, ia mengklaim telah memulai
pertarungan melawan revisionisme modern yang muncul dalam kubu sosialis. “Kami telah
dengan penuh semangat melakukan pekerjaan ideologis di antara para kader dan anggota partai
sehingga mereka semua dapat berpikir sehubungan dengan niat partai, membuat studi mendalam
tentang kebijakan partai, bekerja sesuai dengan kebijakan ini dan dengan penuh semangat
berusaha untuk penerapannya,” jelas Kim Il-sung dalam kuliahnya seperti termuat dalam Juche!
The Speeches and Writings of Kim Il Sung.
Kim Il-sung juga berulang kali mempertegas ajakan persatuan di antara negara-negara sosialis,
negara-negara yang baru merdeka serta negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk
menyingkirkan imperialisme. “Perjuangan Komunis dan rakyat Indonesia yang anti-imperialis,
anti-kolonialis konduktif bagi perjuangan bersama rakyat Asia. Rakyat Korea sangat menghargai
ikatan dan persatuan mereka dengan Komunis Indonesia dan rakyat Indonesia, dan secara aktif
mendukung perjuangan revolusioner mereka,” ujarnya.
Dengan mengibarkan panji revolusi, kata Kim Il-sung, “kaum Komunis dan rakyat kedua negara
kita akan setiap saat bertarung dalam persatuan yang teguh untuk kemerdekaan nasional,
sosialisme, dan perdamaian, melawan kekuatan agresi imperialis yang dipimpin oleh
imperialisme A.S.”
(Andri Setiawan, Mei 2020, https://historia.id/politik/articles/ideologi-juche-korea-utara-
DB8n5/page/1 )
Korea Utara merupakan negara komunis yang dikuasai oleh satu partai yaitu Front Demokratik
untuk Reunifikasi Tanah Air atau Democratic Front for the Reunification of the Fatherland
(DFRF). Pada dasarnya Front Demokratik untuk Reunifikasi Tanah Air merupakan koalisi 1
partai besar yaitu Partai Buruh Korea (Korean Worker Party) yang dipimpin oleh Kim Jong Un
dan 2 Partai kecil yang masih dibawah kendali Partai Buruh Korea, kedua partai tersebut adalah
Partai Demokratik Sosial Korea (Social Democratic Party) dan Partai Chongu Chondois
(Chondoist Chongu Party).
Dengan Sistem Pemerintahan Komunis ini, Kepala Negaranya adalah Pemimpin tertinggi Partai
yang saat ini dijabat oleh Kim Jong Un. Sedangkan Kepala Pemerintahannya adalah Perdana
Menteri yang pilih secara tidak langsung melalui pemilihan di Majelis Tertinggi Rakyat. Ideologi
yang dianut oleh Korea Utara adalah Ideologi Juche yang digagas oleh mantan pemimpin
tertinggi Kim Il Sung pada tahun 1972. Ideologi Juche adalah Ideologi yang menyatakan percaya
dan tergantung pada kekuatan sendiri.  Ibukota Korea Utara adalah Pyongyang.
Korea Utara adalah negara yang menyatakan secara sepihak sebagai negara Juche (percaya dan
bergantung pada kekuatan sendiri). Kim Il-sung memerintah negara ini dari 1948 sampai
kematiannya pada Juli 1994, memegang kantor Sekretaris Jenderal WPK dari 1949 hingga 1994
(disebut sebagai Ketua dari 1949 hingga 1972), Perdana Menteri Korea Utara dari 1948 hingga
1972 dan Presiden dari 1972 hingga 1994. Dia digantikan oleh putranya, Kim Jong-il. Sejak
muda, Kim telah ditunjuk untuk menjadi penerus ayahnya sejak 1980-an, itu membawanya tiga
tahun untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Dia ditunjuk untuk mengisi posisi lama ayahnya
sebagai Sekretaris Jenderal pada tahun 1997, dan pada tahun 1998 menjadi ketua Komisi
Pertahanan Nasional, yang memberinya kekuasaan atas angkatan bersenjata.
Pemujaan kepribadian terhadap Kim II Sung dan Kim Jong-il dilakukan secara terorganisasi.
Setelah meninggalnya Kim II Sung pada tahun 1994, ia tidak digantikan, melainkan memperoleh
gelar "Presiden Abadi", dan dimakamkan di Istana Memorial Kumsusan di Pyongyang pusat.
Meskipun kedudukan presiden dipegang oleh Kim II Sung yang telah meninggal, kepala negara
de facto adalah Kim Jong-il, yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pertahanan Nasional
Korea Utara. Badan Legislatif Korea Utara adalah Majelis Tertinggi Rakyat, kini diketuai oleh
Kim Yong-nam. Tokoh pemerintahan senior lainnya adalah Kepala Pemerintahan Kim Yong-il.
Selain Kim II Sung dan Kim Jong-il Terdapat beberapa keunikan yang menunjukkan pemujaan
terhadap Kim Jong Un. Mendengar bagaimana ketatnya aturan di Korea Utara bahkan potongan
rambut warganya pun diatur. Ada 28 gaya rambut yang diperbolehkan disana, dimana laki-laki
bisa memilki 10 gaya rambut sementara wanita diperbolehkan memilih 18 gaya rambut. Dan
untuk gaya rambut yang dimilki Kim Jong Un, tidak ada satupun yang diperbolehkan menirunya.
Bahkan pada tahun 2005, pilihan gaya rambut ini disiarkan di TV sebagai pedoman rakyat
setempat.
Korea Utara adalah negara yang menganut sistem satu partai. Partai yang memerintah
adalah Front Demokratik untuk Reunifikasi Tanah Air, sebuah koalisi Partai Buruh Korea dan
dua partai kecil lainnya, Partai Demokratik Sosial Korea dan partai Chongu Chondois. Partai-
partai ini mengajukan semua calon untuk menempati posisi pemerintahan dan memegang semua
kursi di Majelis Tertinggi Rakyat.
Ekonomi Utara yang tersentralisasi belum pulih dari tumbangnya Uni Soviet, pendukung
ekonomi dan militer Pyongyang selama Perang Dingin. Hal itu diikuti oleh kelaparan parah
tahun 1990an yang menewaskan sekitar 800.000 sampai 1,5 juta orang, ketika perempuan mulai
menjual jamur dan potongan kabel tembaga untuk memberi makan keluarga mereka. Keadaan ini
menjadikan warga semakin beralih ke ekonomi informal untuk menyokong keluarga mereka, dan
perempuan memainkan peran aktif.
Dalam hal politik, perempuan memiliki hak sama seperti laki-laki yang mana pada prakteknya
pemilihan umum. Seluruh warga Korea Utara tidak terbatas itu perempuan atau laiki-laki berhak
memilih. Namun Suara perempuan tidak begitu didengar di negara ini, karena perempuan hanya
dianggap sebagai penyokong ekonomi negara.
(Zulaikha F, Desember 2018,
https://www.kompasiana.com/zulaikhafm/5c18207043322f65063fce22/pemerintahan-korea-
utara )

Anda mungkin juga menyukai