PERANG KOREA
Bagian dari Perang Dingin
Marinir Amerika Serikat menyerbu pantai di Incheon.
Tanggal 25 Juni 1950 sampai gencatan senjata 27 Juli 1953. Karena belum ada perjanjian
perdamaian, secara teknis konflik ini masih berlanjut sampai sekarang.
Lokasi Semenanjung Korea
Hasil Gencatan senjata; dibuatnya Zona Demiliterisasi Korea
Perang Korea (bahasa Korea: 한국전쟁) adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea
Selatan yang terjadi sejak 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953. Perang ini juga disebut "perang
yang dimandatkan" (bahasa Inggris: proxy war) antara Amerika Serikat bersama sekutu PBB-
nya dengan komunis Republik Rakyat Tiongkok yang bekerja sama dengan Uni Soviet (juga
anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama
Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun
banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB. Sekutu Korea Utara, seperti
Republik Rakyat Tiongkok menyediakan kekuatan militer, sementara Uni Soviet yang
menyediakan penasihat perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok
dan Korea Utara.
LATAR BELAKANG
Terminologi
Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi polisional karena
tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS. Dalam bahasa sehari-hari, perang ini
juga sering disebut "perang yang terlupakan" atau "perang yang tidak diketahui", karena
dianggap sebagai urusan PBB yang berakhir dengan kebuntuan (stalemate), sedikitnya
korban dari pihak AS, dan kurang jelasnya isu-isu penyebab perang ini bila dibandingkan
dengan Perang Vietnam dan Perang Dunia II.
Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang 6-2-5 (yuk-i-o jeonjaeng) yang
mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni. Sementara itu, di Korea Utara,
perang ini secara resmi disebut choguk haebang chǒnjaeng ("perang pembebasan tanah air").
Perang Korea juga disebut Chosǒn chǒnjaeng ("Perang Joseon", Joseon adalah sebutan Korea
Utara untuk tanah Korea).
Perang Korea secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng (Perang Korea) di Republik
Rakyat Tiongkok. Kata "Chao Xian" merujuk ke Korea pada umumnya, dan secara resmi
Korea Utara.
Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran sebelum invasi maupun setelah
gencatan senjata dilakukan.
JALANNYA PERANG
Peran Joseph Stalin dan Mao Zedong
Professor Shen Zhihua, yang menggunakan dana pribadinya untuk membeli arsip-arsip Uni
Soviet, banyak menemukan telegram-telegram antara Moskwa dengan Beijing sebelum
perang dimulai. Berikut ini adalah ikhtisar singkat dari sejumlah telegram antara Mao dan
Stalin.
Pada 1 Oktober 1950 Kim Il-sung mengirim telegram ke Tiongkok, meminta
intervensi militer. Pada hari yang sama, Mao Zedong menerima telegram Stalin, yang
juga meminta Tiongkok mengirim pasukan ke Korea.
Pada 5 Oktober 1950, di bawah tekanan Mao Zedong dan Peng Dehuai, Komite Pusat
Komunis Tiongkok memutuskan untuk melakukan intervensi militer di Korea.
Pada 11 Oktober 1950 Stalin dan Zhou Enlai mengirim telegram yang ditandatangani
bersama kepada Mao, yang menyatakan:
Tentara Tiongkok yang dikirimkan kurang persiapan dan tidak dilengkapi tank dan
artileri; dibutuhkan waktu dua bulan sebelum bantuan perlindungan udara sampai di
sana.
Dalam jangka waktu satu bulan, tentara dengan perlengkapan memadai harus sudah
siap di posisinya masing-masing; bila tidak, maka pasukan AS akan berjalan lebih
jauh ke utara dan mengalahkan Korea Utara.
Pasukan dengan perlengkapan yang memadai harus dikirim ke Korea dalam jangka
waktu enam bulan, bila lebih, maka Korea Utara diperkirakan telah diduduki AS,
sehingga bantuan tentara akan sia-sia.
Pada 12 Oktober 1950, pukul 15:30 waktu Beijing, Mao mengirim telegram kepada
Stalin melalui duta besarnya: Saya setuju dengan keputusan Anda (Stalin dan Zhou).
Pada 12 Oktober 1950, pukul 22:12 waktu Beijing, Mao mengirim telegram lain: Saya
setuju dengan telegram 10 Oktober, pasukan saya akan tetap di tempatnya, saya telah
mengeluarkan perintah untuk menunda rencana ke Korea.
Pada 12 Oktober 1950, Stalin mengirim telegram ke Kim Il-sung, mengatakan: tentara
Rusia dan Tiongkok tidak akan datang.
Pada 13 Oktober, duta besar Rusia di Beijing mengirim telegram kepada Stalin,
mengatakan: Mao Zedong telah memberitahu kepadanya bahwa Komite Pusat
Komunis Tiongkok telah menyetujui keputusan pengiriman pasukan ke Korea.
Korea Utara menyerang (Juni 1950)
Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea Utara akan
melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada awal tahun 1950,
perwira CIA stasiun Tiongkok Douglas Mackiernan menerima ramalan intelejen
Tiongkok dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara Korut akan menyerang ke
Selatan.
Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara (tentara Korut)
menyebrangi paralel ke-38, dibantu tembakan artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni
1950.tentara Korut mengatakan bahwa pasukan Republik Korea (ROK), di bawah pimpinan
"bandit pengkhianat Syngman Rhee", telah menyebrangi perbatasan "terlebih dahulu", dan
mereka akan menangkap serta mengeksekusi Rhee. Pada tahun-tahun sebelumnya, kedua
Korea telah saling menyerang satu sama lain.
Beberapa jam kemudian kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam
invasi Korea Utara terhadap Republik Korea, melalui Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni
Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak Januari. Pada 27 Juni 1950, Presiden
Truman memerintahkan angkatan udara dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan.
Setelah memperdebatkan masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83
yang merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik
Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Wakil Menteri
Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea
Selatan.
Uni Soviet menentang legitimasi perang tersebut, karena (i) data intelejen tentara Korea
Selatan yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelejen AS; (ii) Korea Utara
(Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai anggota sementara PBB, yang
berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (iii) perang Korea berada di luar lingkup
Piagam PBB, karena perang perbatasan Utara-Selatan awalnya dianggap sebagai perang
saudara. Selain itu, perwakilan Soviet memboikot PBB untuk mencegah tindakan Dewan
Keamanan, dan menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum mengatakan bahwa untuk
memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5 anggota tetap DK PBB.
Korea Utara memulai "Perang Pembebasan Tanah Air" dengan melakukan invasi darat dan
udara dengan 231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek dan wilayah sesuai dengan
yang direncanakan seperti Kaesŏng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka
dapatkan setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat
pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.
Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114 pesawat tempur, 78 pesawat
pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan di Korea Utara.Di laut,
meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang kecil, juga terjadi pertempuran yang
cukup sengit antara keduanya.
Di pihak lain, tentara Korea Selatan masih belum siap. Pada South to the Naktong, North to
the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara Korea Selatan memiliki tingkat
kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni 1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki
98.000 tentara (65.000 tentara tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan
22 pesawat yang terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain
itu tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu - meskipun terdapat
pangkalan AS di Jepang.
Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea Selatan — yang kurang loyal
terhadap rezim Syngman Rhee — lari ke selatan atau malah berkhianat dan bergabung
dengan tentara Korea Utara.
Aksi Polisional: Intervensi Amerika Serikat
Jenderal MacArthur, UN Command CiC (duduk), mengamati penembakan laut di Incheon
dari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.
Infantri AS mengambil posisi, 1950–53.
Seorang anak Korea melintasi tank M-46.
Seorang infantri menghibur tentara lainnya.
Tank AS di Song Sil-li, Korea, 10 Januari 1952.
Meskipun terjadi demobilisasi besar-besaran pasca Perang Dunia II di tubuh sekutu, ada
sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang cukup besar di bawah pimpinan Jenderal
MacArthur. Mereka bisa melawan Korea Utara. Selain AS, di sana, Inggris juga memiliki
kekuatan tempur yang hampir sama besarnya.
Pada hari Sabtu, 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson memberi tahu
Presiden Harry S. Truman melalui telepon, "Bapak Presiden, saya memiliki berita yang
sangat serius. Korea Utara telah menyerang Korea Selatan." Truman dan Acheson
mendiskusikan sebuah serangan balasan sebagai respon yang akan diambil AS dengan
pimpinan departemen pertahanan, yang setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi
militer, lalu menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler pada tahun 1930 (yang ketika itu
didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang. Presiden Truman mengakui
bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah komunisme yang semakin
mengglobal:
"Komunisme sedang beraksi di Korea, sebagaimana yang dilakuan Hitler, Mussolini, dan
Jepang lakukan sepuluh, lima belas, dan dua puluh tahun yang lalu. Saya merasa yakin bila
Korea Selatan dibiarkan jatuh, pemimpin Komunis akan semakin melebarkan kekuasaannya
hingga ke negara dekat pantai kita sendiri. Jika komunis dibiarkan memaksakan kehendak
mereka di Republik Korea tanpa perlawanan dari dunia yang bebas, negara-negara kecil
lainnya akan kehilangan keberanian untuk melawan ancaman dan agresi dari tetangga
Komunisnya yang lebih kuat."
Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan "agresi yang tidak
diprovokasi" dan "bersemangat mendukung upaya dewan keamanan [PBB] untuk mengakhiri
pelanggaran serius terhadap perdamaian. Pada Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara
dengan mudah membujuk Kongres mengegolkan $12 miliar untuk menambah anggaran
militer di Asia yang penting untuk mencapai tujuan National Security Council Report 68
(NSC-68), penahanan global AS terhadap komunisme.
Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan Jenderal MacArthur mengirim
material kepada tentara Republik Korea dan memberikan perlindungan udara pada evakuasi
warga negara Amerika Serikat. Akan tetapi, presiden menolak mengebom Korea Utara secara
langsung. Selain itu, presiden juga memerintahkan Armada ke-7 AS untuk melindungi
Taiwan, yang meminta untuk ikut bertempur di Korea. Akan tetapi presiden menolak
permintaan itu dengan alasan dapat memancing kemarahan Tiongkok.
Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS dan Korea Utara di Perang
Korea. Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang Korea Utara di Osan, namun karena
tidak membawa senjata yang mampu menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal,
dengan total 180 orang tewas, terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan,
memaksa Divisi ke-24 AS mundur ke Taejeon, yang di kemudian hari juga berhasil dikuasai
Korea Utara pada Pertempuran Taejon; Divisi ke-24 menderita 3.602 tewas atau terluka dan
2.962 ditangkap—termasuk komandan divisi Mayor Jendral William F. Dean. Di udara,
Angkatan Udara Korea Utara menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29 pengebom AS;
sementara AS hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara.
Pada bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea Selatan dan tentara AS ke kota
Pusan, di Korea Tenggara.[8] Dalam serangan itu, Korea Utara menghabisi akademisi Korea
Selatan dengan membunuh pegawai negeri dan kaum intelektual.[8] Pada 20 Agustus,
Jenderal MacArthur memperingatkan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia
bertanggung jawab terhadap kekejaman tentara Korea Utara.[8][26] Hingga bulan September,
tentara PBB hanya bisa mengontrol pinggiran kota Pusan, atau hanya 10% dari wilayah
Korea.
ESKALASI
Perang udara: USAF menyerang Wonsan selatan rel kereta api, pantai timur Korea Utara.
Dalam keputusasaan di Pertempuran Perimeter Pusan (Agustus-September 1950), Angkatan
Darat Amerika Serikat menahan serangan tentara Korut yang bermaksud merebut kota. Tak
lama kemudian, USAF dapat menghambat logistik tentara Korut dengan menghancurkan 32
jembatan.[8]. USAF juga menghancurkan depot logistik, penyulingan minyak, dan pelabuhan
untuk menghambat pasokan material tentara Korut. Sebagai akibatnya, tentara Korut di
semenanjung Selatan tidak bisa mendapatkan pasokan.
Di saat yang sama, garnisun AS di Jepang terus-menerus mengirim tentara dan bahan untuk
memperkuat Perimeter Pusan.[8] Batalion tank dikerahkan ke Korea dari San Francisco (di
daratan Amerika Serikat); pada akhir Agustus, Perimeter Pusan memiliki sekitar 500 tank.
Pada awal September 1950, tentara Republik Korea dan pasukan komando PBB menyerang
balik 100.000 tentara Korut dengan 180.000 pasukan.
Pertempuran Incheon
Artikel utama: Pertempuran Incheon
Keadaan di Pusan Perimeter telah berbalik; tentara Korut mulai kekurangan orang dan
pasokan sementara di sisi Republik Korea pasukan telah mendapatkan tambahan senjata dan
amunisi.Untuk membantu pertahanan di Perimeter Pusan, Jenderal MacArthur
merekomendasikan sebuah pendaratan amfibi di Incheon, di belakang garis pertahanan Korut.
Pada 6 Juli, ia memerintahkan Mayor Jenderal Hobart Gay, komandan Divisi Kavaleri
pertama, untuk merencanakan pendaratan amfibi tersebut pada 12—14 Juli, Divisi Kavaleri
pertama berangkat dari Yokohama untuk membantu Divisi Invantri ke-24.
Operasi yang disebut sebagai Operasi Chromite ini dilaksanakan saat gelombang ombak
mengganas. Jenderal McArthur telah lama merencanakan penyerbuan ini, namun Pentagon
selalu mencegahnya. Ketika mendapatkan otoritas, ia mengerahkan pasukannya yang terdiri
dari 70.000 infantri Divisi Marinir Pertama, Divisi Infantri ke-7, dan 8.600 tentara Republik
Korea. Pada tanggal hari-h tanggal 15 September, tim penyerang menghadapi sedikit—
namun kuat—tentara Korut; intelijen militer, operasi psikologis, pengintaian, dan
pengeboman turut berperan dalam operasi ini. Pengeboman itu sendiri menghancurkan
sebagian besar kota Incheon.
Pendaratan Incheon memungkinkan Divisi Kavaleri Pertama untuk mulai menyerang ke
bagian utara. Mereka maju 106.4 mil ke dalam wilayah musuh dan kemudian bergabung
dengan Divisi Infantri Ke-7 di Osan. Perlahan-lahan mereka menghabisi tentara Korut, dan
mengepung yang masih tersisa di wilayah Korea Selatan; dengan cepat, Jenderal MacArthur
merebut kembali Seoul; namun tentara Korut yang nyaris terkepung berhasil kabur ke Utara
dengan hanya 25.000 hinga 30.000 pasukan tersisa.
Serangan PBB: Invasi ke Korea Utara (September–Oktober 1950)
Artikel utama: Serangan PBB, 1950
Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB mendorong tentara Korut hingga ke Utara,
melewati paralel ke-38, Republik Korea kemudian mengejar mereka masuk ke wilayah Korea
Utara. Enam hari kemudian, pada 7 Oktober, dengan otorisasi dari PBB, pasukan Komando
PBB mengikuti pasukan Republik Korea menyerang ke wilayah Utara.Angkatan Darat AS
kedelapan dan tentara Republik Korea menyerang ke bagian Barat Korea, dan berhasil
merebut Pyongyang, ibu kota Korea Utara, pada 19 Oktober 1950. Di akhir bulan, pasukan
PBB menahan 135,000 tawanan perang; dan mereka melihat adanya perpecahan di tentara
Korea Utara.
Jenderal MacArthur dan beberapa politisi Amerika sempat mengusulkan untuk menyerang
Komunis Tiongkok untuk menghancurkan depot Tentara Rakyat China yang memasok
kebutuhan perang Korea Utara, namun Presiden Truman tidak setuju, dan memerintahkan
Jenderal MacArthur tidak melewati perbatasan Tiongkok-Korea.
Pertempuran urban:Marinir Amerika Serikat bertempur untuk merebut ibu kota Korea Utara.
Intervensi Tiongkok
Pada 27 Juni 1950, dua hari setelah invasi terhadap Korut dan tiga bulan sebelum intervensi
Tiongkok untuk Perang Korea, Presiden Truman mengirimkan Armada 7 AS ke Selat
Taiwan, untuk melindungi Republik Nasionalis Tiongkok dari ancaman Republik Rakyat
Tiongkok (RRT).[41] Tanggal 4 Agustus 1950, Mao Zedong melapor kepada Politbiro bahwa
ia akan melakukan intervensi bila Tentara Relawan Rakyat (PVA) sudah siap untuk
dimobilisasi. Pada 20 Agustus 1950, Perdana Menteri Zhou Enlai menginformasikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa "Korea adalah tetangga Tiongkok... Rakyat Tiongkok
harus terlibat mencari solusi untuk masalah Korea "-dengan demikian, melalui diplomat dari
negara netral, Tiongkok memperingatkan AS, bahwa dalam menjaga keamanan nasional
Tiongkok, mereka akan melakukan intervensi terhadap Komando PBB di Korea.[8] Presiden
Truman menafsirkan pesan ini sebagai "sebuah usaha untuk pemerasan terhadap PBB", dan
mengabaikannya. Politbiro mengizinkan intervensi Tiongkok di Korea pada tanggal 2
Oktober 1950-sehari setelah tentara Republik Korea menyeberangi perbatasan 38-paralel.
Kemudian, Tiongkok mengklaim bahwa pesawat-pesawat pembom AS telah melanggar
wilayah udara nasional RRT dalam perjalanannya menuju Korea Utara-sebelum Tiongkok
melakukan invervensi di Korea Utara.
Senjata AS:Tentara Amerika Serikat mengawaki sebuah 105 mm howitzer, Uirson, Korea,
Agustus 1950.
Operasi sapu-bersih: Marinir pertama Divisi Infantri menahan tentara PVA di front tengah,
Hoengsong, Korea, 2 Maret 1951.
Pada bulan September, di Moskow, Perdana Menteri RRT Zhou Enlai menambahkan tekanan
diplomatik dan personal dalam telegram Mao kepada Stalin, meminta bantuan militer dan
material. Stalin menundanya; Mao dijadwalkan kembali meluncurkan "Perang Melawan Bala
Bantuan Amerika dan Korea" dari 13 ke 19 Oktober 1950. Uni Soviet hanya mau
memberikan bantuan serangan udara di bagian Utara Sungai Yalu. Namun Mao menganggap
bantuan itu tidak berguna karena pertempuran lebih banyak terjadi di sisi Selatan sungai
tersebut. Soviet juga membatasi bantuannya dan hanya mau mengirimkan material berupa
truk, senjata mesin, granat, dan sejenisnya.
Pada 8 Oktober 1950, sehari setelah tentara AS menyebrang ke wilayah Korea Utara, Mao
Zedong memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat Frontier Barat Laut direorganisasi ke
dalam People's Volunteer Army (PVA), yang sedang bertempur dalam "Perang Melawan
Amerika dan Membantu Korea." Mao menjelaskan kepada Stalin: "Bila kita membiarkan
Amerika Serikat menduduki seluruh Korea, kekuatan revolusioner Korea akan mendapatkan
kekalahan telak, penjajah Amerika akan merajalela dan memberikan efek negatif terhadap
seluruh Timur Jauh."
Pengintaian udara AS mengalami kesulitan menemukan unit PVA di siang hari karena
disiplin yang mereka miliki.[8] PVA bergerak dari "malam-ke-malam" (19.00-03.00) dan
membuat kamuflase agar tak terlihat dari udara pada jam 05.30. Di siang hari, mereka
mengirim tim untuk mencari lokasi istirahat dan mendirikan bivak. Bila pesawat melintas,
mereka diharuskan untuk diam tak bergerak hingga pesawat tersebut menghilang. Perwira
PVA diperbolehkan menembak pasukannya yang dianggap dapat mengancam keamanan
pasukan. Disiplin yang keras seperti itu membuat tiga divisi pasukan berjalan sejauh 286 mil
(460 km) dari An-tung, Manchuria, ke medan pertempuran dalam 19 hari; divisi lain yang
melewati daerah pegunungan berliku mampu berjalan rata 18 mil (29 km) setiap harinya
selama 18 hari.
Pada 10 Oktober 1950, Batalion Tank ke-89 digabungkan dengan Divisi Kavaleri Pertama,
menambah jumlah kendaraan baja yang tersedia untuk menyerang ke Utara. Pada 15 Oktober,
setelah menghadapi perlawanan Korut, Resimen Kavaleri ke-7 dan Charilie Company,
Batalion Tank ke-70 berhasil menguasai kota Namchonjam. Pada 17 Oktober, mereka
menyerang lewat arah kanan, menjauhi jalan utama, untuk menguasai Hwangju. Dua hari
kemudian, Divisi Pertama Kavaleri menguasai Pyongyang, ibu kota Korea Utara, sehingga
pada 19 Oktober 1950 tentara AS sepenuhnya menguasai Korea Utara.
Di tempat lain, 15 Oktober 1950, Presiden Truman dan Jen. MacArthur bertemu di Wake
Island di tengah Samudera Pasifik. Kepada Presiden Truman, Jen. MacArthur berspekulasi
bahwa kecil risiko China akan mengintervensi di Korea;[8] bahwa kesempatan tentara China
membantu Korut telah hilang; bahwa China memiliki 300.000 tentara di Manchuria, dan
sekitar 100.000-125.000 tentara di Sungai Yalu; dan menyimpulkan bahwa meskipun
setengah dari seluruh tentara menyebrang ke Selatan, mereka dapat dengan mudah
dihancurkan karena tidak memiliki perlindungan udara.
Peta Pertempuran Waduk Chosin
Setelah menghadapi dua pertempuran kecil pada 25 Oktober, pertempuran besar pertama
antara China-Amerika terjadi pada 1 November 1950; jauh di wilayah Korea Utara, ribuan
tentara China mengepung dan menyerang unit Komando PBB dalam Pertempuran Unsan.Di
Barat, akhir November, di sepanjang Sungai Chongchon, tentara China menyerang dan
mengalahkan beberapa divisi Korea Selatan, dan menghabisi tentara PBB yang
tersisa.Pasukan PBB dan tentara ke-8 AS berhasil bergerak mundur karena mendapat
dukungan Brigade Turki yang menahan serangan China selama 4 hari (26-30 November). Di
Timur, pada Pertempuran Waduk Chosin, dan Regimental Combat Team Divisi Infantri ke-7
(3000 tentara) dan divisi marinir (12.000—15.000 marinir) juga mundur setelah dikepung,
dengan total tewas secara keseluruhan 15.000 orang.
Awalnya, infantri tentara China di garis depan tidak memiliki persenjataan berat maupun
crew-served light infantry weapons, namun dengan cepat mereka menutupi kelemahan yang
mereka miliki; dalam How Wars Are Won: The 13 Rules of War from Ancient Greece to the
War on Terror (2003), Bevin Alexander melaporkan:
Metodenya adalah dengan menggabungkan unit-unit peleton yang terdiri dari 50 orang ke
dalam kompi yang berisi 200 orang, yang kemudian dibagi lagi menjadi beberapa unit kecil.
Satu tim memotong jalan lari tentara Amerika, yang lainnya menyerang baik dari arah depan
maupun samping secara bersamaan. Penyerangan berlanjut dari segala arah hingga pasukan
musuh dihancurkan atau terpaksa kabur.
Dalam South to the Naktong, North to the Yalu, R.E. Appleman menggambarkan taktik
menyerang tentara China:
Dalam Serangan Fase Pertama, tentara infantri ringan menjalankan taktik penyerangan,
umumnya tidak membawa senjata yang lebih besar dari mortar. Serangan mereka
menggambarkan betapa pasukan China sangat terlatih, disiplin, dan sangat ahli dalam
penyerangan di malam hari. Mereka ahli dalam seni kamuflase. Unit patroli ahli dalam
menemukan posisi musuh. Mereka merencanakan serangan mereka dari sisi belakang musuh,
memotong jalur mundur dan persediaan mereka, kemudian menyerang dari depan dan
samping untuk mengendapkan pertempuran. Mereka juga melakukan taktik yang mereka
sebut sebagai hachi Shiki, di mana mereka membentuk formasi-V dan membiarkan musuh
masuk ke formasi itu, kemudian memerintahkan pasukan lain menunggu di formasi V untuk
mencegat pasukan musuh lainnya yang berusaha menyelamatkan pasukan yang sedang
terkepung. Taktik ini berhasil di Onjong, Unsan, dan Ch'osan, namun tidak sepenuhnya
berhasil di Pakch'on dan Ch'ongch'on.
Di akhir November, tentara China berhasil mengusir pasukan Komando PBB dari timur laut
Korea Utara, hingga melewati perbatasan paralel ke-38. Pasukan PBB lari ke pantai timur
dan membangun pertahanan di kota pelabuhan Hungnam—dan menunggu bantuan di sana.
Pada Desember 1950, 193 kapal yang membawa 105.000 tentara, 98.000 penduduk sipil,
17.500 kendaraan, dan 350.000 ton suplai tiba di Pusan, di bagian selatan tanjung korea.
Sebelum kabur, pasukan Komando melakukan operasi untuk menghambat pergerakan
pasukan musuh dengan menghancurkan sebagian besar kota Hungam[40][52] dan, pada 16
Desember 1950, Presiden Truman mendeklarasikan keadaan kedaruratan nasional melalui
Proklamasi Presidensial No. 2914, 3 C.F.R. 99 (1953),[53] yang berlaku hingga 14
September 1978.
Menyeberangi paralel: Penyerangan Musim Dingin China (awal 1951)
USAF firepower: B-26 Invaders bomb logistics depots in Wonsan, North Korea, 1951.
Pada bulan Januari 1951, tentara Tiongkok dan Korut melaksanakan Penyerangan Fase
Ketiga (atau dikenal pula dengan sebutan "Penyerangan Musim Dingin Tiongkok")
menggunakan taktik serangan malam di mana tentara PBB secara diam-diam dikepung
kemudian diserang tiba-tiba. Penyerangan itu juga didukung oleh bunyi-bunyi trompet dan
gong dengan tujuan sebagai alat komunikasi kepada pasukan yang menyerang sekaligus
membuat pasukan musuh mengalami disorientasi secara mental. Pasukan PBB tidak memiliki
pengalaman menghadapi taktik seperti ini dan sebagai hasilnya beberapa pasukan langsung
lari meninggalkan persenjataannya ke arah Selatan.[8] Penyerangan Musim Dingin China ini
berhasil membuat pasukan PBB kewalahan. Tentara China dan Korut berhasil menguasai
Seoul pada 4 Januari 1951.
Selain kekalahan itu, tentara AS juga mengalami pukulan telak setelah Jendral Walker tewas
akibat kecelakaan mobil, yang membuat moral pasukan menurun. Kejadian ini hampir
memaksa Jendral MacArthur menggunakan bom atom untuk menyerang China dan Korut
serta memotong jalur persediaan mereka. Akan tetapi, dengan datangnya pengganti Walker,
Letnan-Jendral Matthew Ridgway, moral pasukan kembali meningkat.
Pasukan PBB di bagian barat mundur ke Suwon, di bagian tengah mundur ke Wonju, di
bagian timur mundur ke Samchok, di mana garis depan distabilisasi dan
dipertahankan.Tentara China mulai kehabisan logistik dan terpaksa membatalkan rencananya
menyerang lebih jauh; makanan, amunisi, dan material dibawa di malam hari, dengan
berjalan kaki atau sepeda, melewati Sungai Yalu. Pada akhir Januari, setelah menemukan
bahwa musuh telah meninggalkan garis pertempuran, Jendral Ridgway memerintahkan
operasi mata-mata yang dikenal sebagai Operasi Roundup (5 Februari 1951) yang
berlangsung secara bertahap sambil mempertahankan superioritas udara tentara PBB.[8]
Operasi ini sukses dan mengakibatkan tentara PBB mampu mencapai Sungai Han dan
menguasai Wonju. Pada pertengahan Februari, tentara China menyerang balik dengan
Penyerangan Fase Keempat, yang dilancarkan dari Hoengsong menghadapi tentara AS di
Chipyong-ni, di bagian tengah. Tentara AS dan Tentara Prancis berjuang menghadapi
serangan itu dalam sebuah pertempuran singkat namun cukup menghambat efektivitas
serangan China.
Pada dua minggu terakhir Februari 1951, Operasi Roundup diikuti oleh Operasi Killer
(pertengahan Februari 1951) yang dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata ke-8. Operasi
tersebut merupakan serangan berskala penuh untuk menewaskan sebanyak mungkin tentara
KPA dan PVA. Operation Killer berakhir dengan I Corps menduduki kembali wilayah di
sebelah selatan sungai Han, dan IX Corps merebut Hoengsong. Pada 7 Maret 1951, Angkatan
Bersenjata ke-8 melancarkan Operasi Ripper, dan berhasil mengusir PVA dan KPA dari ibu
kota Korea Selatan pada 14 Maret 1951.
Pada tanggal 11 April 1951, Kepala Komando Truman membebastugaskan Jendral
MacArthur, Panglima Tertinggi di Korea, karena dianggap melakukan pembangkangan dan
menunjuk Ridgway Jendral untuk menggantikannya.[8] Serangan-serangan berikutnya,
antara lain operasi Courageous (23-28 Maret 1951) dan Tomahawk (23 Maret 1951), berhasil
mendorong mundur tentara China dan Korut. Tentara PBB maju ke "Garis Kansas", bagian
utara paralel ke-38.
Hill 105: Tentara China terbunuh dalam pertempuran melawan Divisi Pertama Marinir,
Korea, 1951.
China melakukan serangan balasan pada bulan April 1951, dengan Penyerangan Fase Kelima
(dikenal pula sebagai "Penyerangan Musim Semi China") dengan tiga tentara lapangan (field
army) (sekitar 700.000 orang) Serangan utama terjadi di Sungai Imjin (22-25 April 1951) dan
Kapyong (22-25 April 1951), yang dipertahankan mati-matian oleh tentara AS dan
menumpulkan daya dorong Penyerangan Fase Kelima dan akhirnya berenti di No-name Line
di Utara Seoul. Pada tanggal 15 Mei 1951, tentara China di timur menyerang Tentara
Republik Korea dan Amerika Serikat, namun berhasil dihentikan tanggal 20 Mei. Pada akhir
bulan, Angkatan Darat Amerika Serikat melakukan serangan balasan dan merebut kembali
"Line Kansas", tepat di bagian Utara paralel 38. PBB kemudian menghentikan serangan dan
bertahan di sana, mengakibatkan keadaan kebuntuan hingga gencatan senjata tahun 1953.
Kebuntuan (Juli 1951—Juli 1953)
Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan China tetap berperang, namun perubahan
wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi kebuntuan. Sementara pengeboman
wilayah Korea Utara terus berlangsung, perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli
1951 di Kaesong. Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan tengah
berjalan; tujuan Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh Korea Selatan dan
menghindari kehilangan wilayah. Tentara China dan Korut juga melakukan operasi serupa
serta melakukan operasi-operasi psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam fase
ini antar alain Pertempuran Bloody Ridge(18 Agustus—15 September 1951)[8] dan
Pertempuran Heartbreak Ridge (13 September—15 Oktober 1951), Pertempuran Old Baldy
(26 Juni—4 Agustus 1952), Pertempuran White Horse (6–15 Oktober 1952), Pertempuran
Triangle Hill (14 Oktober—25 November 1952), dan Pertempuran Hill Eerie(21 Maret—21
Juni 1952), pengepungan Outpost Harry (10—18 Juni 1953), Pertempuran Hook (28—29
Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret—16 Juli 1953).
Pergolakan dan perubahan wilayah kekuasaan hingga mengalami kebuntuan.
Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun; di Kaesong (Korea Utara bagian
Selatan), kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea). Problem utama dari negosiasi
ketika itu adalah repatriasi tawanan perang. China, Korea Utara, dan tentara PBB tidak bisa
membuat kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara yang menolak kembali
ke Utara. Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir, sebuah Komisi Repatriasi Negara-
Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah tersebut.
Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal 29 November 1952, presiden
terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk mempelajari hal-hal yang mungkin
dapat mengakhiri perang Korea. Pada 27 Juli 1953, proposal gencatan senjata dari India
disetujui oleh Korea Utara, China, dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk
melakukan gencatan senjata dengan batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut
tertulis bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuaeh Zona Demiliterisasi Korea.
Tentara PBB, yang didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan China menandatangani
Perjanjian Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak untuk
menandatangani perjanjian itu, karenanya Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi
dalam perjanjian tersebut.
Buntut Pertempuran Chosin: Operasi Glory
Setelah perang, pasukan PBB menguburkan pasukannya yang tewas di pemakaman
sementara di Hŭngnam. Dengan Operasi Glory (Juli-November 1954), masing-masing pihak
saling bertukar mayat pasukannya. Mayat 4.167 angkatan darat dan Korps Marinir AS ditukar
dengan 13.528 mayat tentara China dan Korut. Sebanyak 546 penduduk sipil yang tewas di
kamp tahanan perang PBB diserahkan kepada pemerintahan Korsel. Setelah Operasi Glory,
416 "prajurit tak dikenal" dimakamkan di Punchbowl Cemetery, Hawaii.
Memorial Perang Korea dapat ditemukan di setiap markas PBB di negara-negara yang
terlibat dalam Perang Korea; pada gambar terlihat memorial yang terletak di Pretoria, Afrika
Selatan.
KORBAN PERANG
Tentara PBB dan AS menghitung jumlah tentara China dan Korea Utara yang tewas
berdasarkan laporan korban-tewas di lapangan, interogasi tahanan perang, dan intelejen
militer (dokumen, mata-mata, dan lain-lain). Korban tewas: AS: 36.940 terbunuh,
China:100.000—1.500.000 terbunuh; kebanyakan sumber memperkirakan 400.000 orang
yang terbunuh; Korea Utara: 214,000–520,000; kebanyakan sumber memperkirakan 500.000
orang yang terbunuh. Korea Selatan: Rakyat sipil: 245.000—415.000 terbunuh; Total rakyat
sipil yang tewas antara 1.500.000—3.000.000; kebanyakan sumber memperkirakan
2.000.000 orang tewas.
AKHIR PERANG
Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan
Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Syngman
Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan
senjata tersebut. Namun secara resmi, perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini.
SEJARAH PERANG DINGIN AMERIKA SERIKAT
Perang Dingin atau Cold War adalah masa-masa konflik antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet dengan sekutu mereka masing-masing yang tergabung ke Blok Barat dan Blok Timur.
Sejarah Perang Dingin dimulai pada tahun 1947 dan berakhir pada tahun 1991. Perang yang
lebih terlihat seperti persaingan ideologi antara sosialisme dan komunisme yang dipimpin
oleh Uni Soviet melawan liberalisme dan kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Persaingan ideologi ini kemudian diikuti oleh persaingan di aspek yang lain seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Daripada terlibat langsung, dua negara
adidaya ini berperang di wilayah negara klien.
TEMBOK BERLIN
Sejarah Perang Dingin diawali dengan didirikannya Tembok Berlin yang membagi Jerman
Barat dan Jerman Timur pada tahun 1946. Perdana Menteri Inggris, Winston Churcill,
menjuluki Tembok Berlin dengan Iron Curtain atau Tirai Besi. Tirai Besi tidak sekedar
membagi Jerman menjadi dua tapi juga membagi Eropa menjadi dua ideologi yaitu Kapitalis
dan Komunis. Tembok Berlin ini membuat rakyat Amerika Serikat mengutuk sikap Stalin
dan Uni Soviet. Pemerintah Amerika Serikat langsung bereaksi dengan cepat.
Tidak hanya Amerika Serikat, Uni Soviet juga bereaksi. Agen intelijen Uni Soviet di seluruh
dunia mulai membangkitkan komunisme dengan semangat perjuangan melawan kapitalis
barat. Para komunis di Perancis dan Italia mengungkap keinginan Amerika Serikat untuk
menguasai Eropa. Uni Soviet menekan Turki dan Iran yang pro Amerika Serikat. Perang
Saudara pecah di Cina dan Yunani. Sejak 1947, Uni Soviet sudah memperlihatkan
aktivitasnya untuk menyebarkan komunisme ke Eropa Barat. Di tahun itu, dimulailah
perseteruan dua negara adidaya yang menandai dimulainya Perang Dingin.