Anda di halaman 1dari 27

Perang Korea (bahasa Korea: ) adalah sebuah konflik

antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni
1950 sampai 27 Juli 1953. ... Sekutu utama Korea Selatan adalah
Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun
banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB.
Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama
Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya,
meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB.
Sekutu Korea Utara, seperti Republik Rakyat Tiongkok menyediakan kekuatan
militer, sementara Uni Soviet yang menyediakan penasihat perang, pilot
pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok dan Korea Utara.

Terminologi[sunting | sunting sumber]


Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi
polisional karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS. Dalam
bahasa sehari-hari, perang ini juga sering disebut "perang yang terlupakan" atau
"perang yang tidak diketahui", karena dianggap sebagai urusan PBB yang
berakhir dengan kebuntuan (stalemate), sedikitnya korban dari pihak AS, dan
kurang jelasnya isu-isu penyebab perang ini bila dibandingkan dengan Perang
Vietnam dan Perang Dunia II.[5][6]

Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang 6-2-5 (yuk-i-o
jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni.
Sementara itu, di Korea Utara, perang ini secara resmi disebut choguk haebang
chnjaeng ("perang pembebasan tanah air"). Perang Korea juga
disebut Chosn chnjaeng ("Perang Joseon", Joseon adalah sebutan Korea
Utara untuk tanah Korea).

Perang Korea secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng (Perang Korea)
di Republik Rakyat Tiongkok. Kata "Chao Xian" merujuk ke Korea pada
umumnya, dan secara resmi Korea Utara.

Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran sebelum invasi


maupun setelah gencatan senjata dilakukan.[7]
Pendudukan Jepang (19101945)[sunting | sunting sumber]
Setelah mengalahkan Dinasti Qing Tiongkok pada Perang Tiongkok-Jepang
Pertama (189496), Kekaisaran Jepangmenduduki Kekaisaran Korea (1897
1910) yang dipimpin oleh Kaisar Gojong.[8] Satu dekade kemudian, saat
mengalahkanKekaisaran Rusia pada Perang Rusia-Jepang (1904
05), Jepang menjadikan Korea sebagai protektorat-nya melaluiPerjanjian
Eulsa pada tahun 1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian
Aneksasi Jepang-Korea pada tahun 1910.[9][10]

Sejak saat itu banyak kaum nasionalis dan intelektual yang melarikan diri.
Beberapa dari mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea, dipimpin
oleh Syngman Rhee, di Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi pemerintahan
dalam pengasingan yang hanya diakui oleh sedikit negara. Antara tahun 1919
hingga 1925, kaum komunis Korea memulai pemberontakannya terhadap
Jepang.[8][11]

Korea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama dengan


Taiwan, yang merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya; pada tahun 1937, Gubernur-Jenderal Minami Jiro memerintahkan
dilakukannyaasimilasi budaya Jepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni
dengan melarang bahasa, sastra, dan budaya Korea, dan menggantinya dengan
budaya Jepang, serta memerintahkan orang Korea mengganti nama mereka
menjadi nama Jepang. Pada tahun 1938, pemerintahan kolonial menjalankan
sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6 juta orang Korea bekerja di luar negeri
sebagai tenaga kerja paksa; pada tahun 1942, pria-pria di Korea dipaksa
menjadi tentara Jepang.

Sementara itu di Tiongkok, kelompok nasionalis Tentara Revolusi Nasional dan


kelompok komunis Tentara Pembebasan Rakyat mengorganisir (sayap-kanan
dan sayap-kiri) patriot Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis yang
dipimpin oleh Yi Pom-Sok bertempur di Pertempuran Burma (Desember 1941
Agustus 1945). Kelompok komunis, berada dibawah pimpinanKim Il-sung,
bertempur melawan Jepang di Korea.
Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan
logam dari Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea meningkat dari
46.000 (1941) ke 300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga merekrut paksa
2,6 juta tenaga kerja yang dikontrol oleh polisi kolaborasionis Korea; lebih dari
723.000 orang dikirim ke luar negeri dan juga ke kota-kota di Jepang. Pada
Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang Korea; pada Agustus
1945, ketika Amerika Serikatmenjatuhkan bom atom di Hirosima, 25% di antara
mereka tewas.[11] Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui oleh
negara kekuatan dunia pada akhir perang.

Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk
membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea saat itu
diwakili oleh kolonel Amerika Serikat Dean Rusk dan Charles Bonesteel.[12] Dua
tahun sebelumnya, di Konferensi Kairo (November 1943), Nasionalis Tiongkok,
Britania Raya, dan Amerika Serikat memutuskan bahwa Korea harus menjadi
negara merdeka, "pada waktunya"; Stallin pun setuju. Pada bulan Februari 1945,
di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian Korea sebagaimana
diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat Roosevelt dan
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.

Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan perang pembebasan


Korea dari Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada tanggal 10
Agustus, Tentara Merah berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan
pendaratan amfibi di bagian utara paralel ke-38. Soviet juga berhasil mengusir
tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria.[11][13] Tiga minggu kemudian, pada
8 September 1945, Letnan Jendral John R. Hodgedari Amerika Serikat tiba
di Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di wilayah Selatan paralel ke-
38.[14]
Pemisahan Korea (1945)
Pada Konferensi Potsdam (JuliAgustus 1945), Sekutu secara sepihak
memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak
Korea sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943),
ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Rooseveltmendeklarasikan
bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka.[8][14][15][16] Selain itu,
sebelumnya, Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin membangun
"zona penyangga" Eropa negara satelit yang berada di bawah Moskwa[17]
sebagai balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang
Pasifik melawan Jepang.[17]

Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian utara semenanjung


Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26 Agustus
berhenti di paralel utara ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu kedatangan
pasukan Amerika Serikat di Selatan.[8] Pada hari itu pula, dengan semakin
dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu Uni Soviet
akan mengakui peran mereka dalam "komisi bersama", perjanjian pendudukan
Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan sebelumnya, untuk memenuhi
persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel Dean Rusk dan Charles
Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di garis lintang 38
derajat setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit) memutuskan
bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua
pelabuhan.[14][18][19][20]

Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38) terlalu selatan,


Rusk mengatakan, "bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke utara daripada
yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam hal terjadi
perselisihan Soviet... kami merasa penting untuk menyertakan ibu kota Korea
sebagai tanggung jawab pasukan Amerika," terutama ketika "dihadapkan
dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor ruang dan
waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara
sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.[17] Pasukan Soviet setuju
dengan demarkasi itu.

Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R. Hodge secara


langsung mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 194548).[21] Ia memperkuat
kontrolnya dengan cara: pertama, mengembalikan kekuasaan administrator-
administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi kolabolatornya; kedua
menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik Rakyat Korea (Agustus
September 1945)pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di
semenanjung Koreakarena dianggap sebagai komunis. Kebijakan AS, yang
menolak pemerintahan populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam
masyarakat, dan mengakibatkan munculnya Perang Saudara Korea.[9] Pada 3
September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki, komandan, Tentara Wilayah ke-
17 Jepang, menghubungi Hodge, mengatakan bahwa tentara Soviet
mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong. Hodge
mempercayai keakuratan informasi itu.[14]

Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni


Soviet menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (Oktober 1945), lagi-
lagi tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara
tersebut akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan
perwalian.[8][22] Rakyat Korea marah dan memulai revolusi di Selatan, beberapa
hanya melakukan protes, sisanya mengangkat senjata;[9] untuk menahannya,
USAMGIK melarang demonstrasi (8 Desember 1945) dan mencabut
perlindungan hukum terhadap Pemerintahan Revolusioner dan Komite Rakyat
Republik Rakyat Korea pada 12 Desember 1945.

Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta api berunjuk


rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke seluruh
wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya.
Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa dalam
"Pemberontakan Daegu"; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi.
Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor
polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya;
di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang
pro-Jepang.[15] USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol
Korea Selatan.

Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh


nasionalis Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di Korea,
berpendapat bahwa setelah tiga puluh lima tahun (191045) dikuasai pemerintah
kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat Korea menolak dipimpin
pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Untuk mendapatkan
keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan
Moskwadan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS
juga melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni Soviet
untuk memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.[8][23][24][25]

Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang mengumumkan secara


resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih Syngman Rhee (20 July
1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan pada 15
Agustus 1948.[26] Demikian juga di Zona Pendudukan Rusia, Uni Soviet
mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara[8] yang dipimpin oleh Kim Il-
sung.[7] Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota
kelompok sayap kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut
haknya, mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang
gerilya melawan pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika
Serikat.[7]

Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung, bermaksud menyatukan
Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut masing-masing
pihak.[8] Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil
meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang setelah
sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea Selatan, dengan bantuan
terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya. Pada awal
masa Perang Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari
bangsa apapun adalah anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya
mendapat pengaruh dari pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap
perang sipil di Korea sebagai manuverhegemoni dari Uni Soviet.

Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949,[27] meninggalkan tentara Korea


Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet memberikan
bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan
mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.
Peran Joseph Stalin dan Mao Zedong[
Professor Shen Zhihua, yang menggunakan dana pribadinya untuk membeli
arsip-arsip Uni Soviet, banyak menemukan telegram-telegram antara Moskwa
dengan Beijing sebelum perang dimulai. Berikut ini adalah ikhtisar singkat dari
sejumlah telegram antara Mao dan Stalin.

Pada 1 Oktober 1950 Kim Il-sung mengirim telegram ke Tiongkok, meminta


intervensi militer. Pada hari yang sama, Mao Zedong menerima telegram
Stalin, yang juga meminta Tiongkok mengirim pasukan ke Korea.
Pada 5 Oktober 1950, di bawah tekanan Mao Zedong dan Peng Dehuai,
Komite Pusat Komunis Tiongkok memutuskan untuk melakukan intervensi
militer di Korea.
Pada 11 Oktober 1950 Stalin dan Zhou Enlai mengirim telegram yang
ditandatangani bersama kepada Mao, yang menyatakan:

1. Tentara Tiongkok yang dikirimkan kurang persiapan dan tidak dilengkapi


tank dan artileri; dibutuhkan waktu dua bulan sebelum bantuan
perlindungan udara sampai di sana.
2. Dalam jangka waktu satu bulan, tentara dengan perlengkapan memadai
harus sudah siap di posisinya masing-masing; bila tidak, maka pasukan
AS akan berjalan lebih jauh ke utara dan mengalahkan Korea Utara.
3. Pasukan dengan perlengkapan yang memadai harus dikirim ke Korea
dalam jangka waktu enam bulan, bila lebih, maka Korea Utara
diperkirakan telah diduduki AS, sehingga bantuan tentara akan sia-sia.
Pada 12 Oktober 1950, pukul 15:30 waktu Beijing, Mao mengirim telegram
kepada Stalin melalui duta besarnya: Saya setuju dengan keputusan Anda
(Stalin dan Zhou).
Pada 12 Oktober 1950, pukul 22:12 waktu Beijing, Mao mengirim telegram
lain: Saya setuju dengan telegram 10 Oktober, pasukan saya akan tetap di
tempatnya, saya telah mengeluarkan perintah untuk menunda rencana ke
Korea.
Pada 12 Oktober 1950, Stalin mengirim telegram ke Kim Il-sung,
mengatakan: tentara Rusia dan Tiongkok tidak akan datang.
Pada 13 Oktober, duta besar Rusia di Beijing mengirim telegram kepada
Stalin, mengatakan: Mao Zedong telah memberitahu kepadanya bahwa
Komite Pusat Komunis Tiongkok telah menyetujui keputusan pengiriman
pasukan ke Korea.[28]
Korea Utara menyerang (Juni 1950)
Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea Utara
akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada awal
tahun 1950, perwira CIA stasiun Tiongkok Douglas Mackiernan menerima
ramalan intelejen Tiongkok dan Korea Utara yang meramalkan bahwa tentara
Korut akan menyerang ke Selatan.

Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara


(tentara Korut) menyebrangi paralel ke-38, dibantu tembakan artileri, Minggu
pagi tanggal 25 Juni 1950.[8] tentara Korut mengatakan bahwa pasukan Republik
Korea (ROK), di bawah pimpinan "bandit pengkhianat Syngman Rhee", telah
menyebrangi perbatasan "terlebih dahulu", dan mereka akan menangkap serta
mengeksekusi Rhee.[14] Pada tahun-tahun sebelumnya, kedua Korea telah saling
menyerang satu sama lain.

Beberapa jam kemudian kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat
mengecam invasi Korea Utara terhadap Republik Korea, melalui Resolusi 82 DK
PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak
Januari.[29] Pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memerintahkan angkatan udara
dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan
masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang
merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada
Republik Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan
kepada PBB, Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika
memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan.[30]

Uni Soviet menentang legitimasi perang tersebut, karena (i) data intelejen tentara
Korea Selatan yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelejen AS;
(ii) Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai
anggota sementara PBB, yang berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (iii)
perang Korea berada di luar lingkup Piagam PBB, karena perang perbatasan
Utara-Selatan awalnya dianggap sebagai perang saudara. Selain itu, perwakilan
Soviet memboikot PBB untuk mencegah tindakan Dewan Keamanan, dan
menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum mengatakan bahwa untuk
memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5 anggota tetap DK
PBB.[31][32]

Korea Utara memulai "Perang Pembebasan Tanah Air" dengan melakukan


invasi darat dan udara dengan 231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek
dan wilayah sesuai dengan yang direncanakan
seperti Kaesng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka dapatkan
setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat
pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.[14]

Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114 pesawat tempur,
78 pesawat pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan di
Korea Utara.[14]Di laut, meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang kecil,
juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara keduanya.

Di pihak lain, tentara Korea Selatan masih belum siap. Pada South to the
Naktong, North to the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara
Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni 1950.
Tentara Korea Selatan hanya memiliki 98.000 tentara (65.000 tentara tempur,
33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan 22 pesawat yang terdiri dari
12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain itu tidak ada
pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu - meskipun terdapat
pangkalan AS di Jepang.[14]

Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea Selatan yang
kurang loyal terhadap rezim Syngman Rhee lari ke selatan atau malah
berkhianat dan bergabung dengan tentara Korea Utara.[8]
Aksi Polisional: Intervensi Amerika Serikat

Jenderal MacArthur, UN Command CiC (duduk), mengamati penembakan laut di Incheon


dari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.

Infantri AS mengambil posisi, 195053.


Seorang anak Korea melintasi tankM-46.

Seorang infantri menghibur tentara lainnya.

Tank AS di Song Sil-li, Korea, 10 Januari 1952.

Meskipun terjadi demobilisasi besar-besaran pasca Perang Dunia II di tubuh


sekutu, ada sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang cukup besar di
bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Mereka bisa melawan Korea
Utara.[8] Selain AS, di sana, Inggris juga memiliki kekuatan tempur yang hampir
sama besarnya.

Pada hari Sabtu, 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson memberi
tahu PresidenHarry S. Truman melalui telepon, "Bapak Presiden, saya memiliki
berita yang sangat serius. Korea Utara telah menyerang Korea
Selatan."[33][34] Truman dan Acheson mendiskusikan sebuah serangan balasan
sebagai respon yang akan diambil AS dengan pimpinan departemen pertahanan,
yang setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi militer, lalu
menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler pada tahun 1930 (yang ketika itu
didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang.[35] Presiden Truman
mengakui bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah
komunisme yang semakin mengglobal:

"Komunisme sedang beraksi di Korea, sebagaimana yang dilakuan


Hitler, Mussolini, dan Jepang lakukan sepuluh, lima belas, dan dua
puluh tahun yang lalu. Saya merasa yakin bila Korea Selatan
dibiarkan jatuh, pemimpin Komunis akan semakin melebarkan
kekuasaannya hingga ke negara dekat pantai kita sendiri. Jika
komunis dibiarkan memaksakan kehendak mereka di Republik
Korea tanpa perlawanan dari dunia yang bebas, negara-negara kecil
lainnya akan kehilangan keberanian untuk melawan ancaman dan
agresi dari tetangga Komunisnya yang lebih kuat."[36]

Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan "agresi


yang tidak diprovokasi" dan "bersemangat mendukung upaya dewan
keamanan [PBB] untuk mengakhiri pelanggaran serius terhadap
perdamaian.[37] Pada Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara dengan
mudah membujuk Kongres mengegolkan $12 miliar untuk menambah
anggaran militer di Asia yang penting untuk mencapai tujuan National
Security Council Report 68 (NSC-68), penahanan global AS terhadap
komunisme.[37]

Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan Jenderal


MacArthur mengirim material kepada tentara Republik Korea dan
memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara Amerika
Serikat. Akan tetapi, presiden menolak mengebom Korea Utara secara
langsung. Selain itu, presiden juga memerintahkan Armada ke-7 AS untuk
melindungi Taiwan, yang meminta untuk ikut bertempur di Korea. Akan tetapi
presiden menolak permintaan itu dengan alasan dapat memancing
kemarahan Tiongkok.[38]

Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS dan Korea


Utara di Perang Korea.[8] Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang
Korea Utara di Osan, namun karena tidak membawa senjata yang mampu
menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal, dengan total 180 orang
tewas, terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan, memaksa
Divisi ke-24 AS mundur keTaejeon, yang di kemudian hari juga berhasil
dikuasai Korea Utara pada Pertempuran Taejon;[8] Divisi ke-24 menderita
3.602 tewas atau terluka dan 2.962 ditangkaptermasuk komandan divisi
Mayor Jendral William F. Dean.[8] Di udara, Angkatan Udara Korea Utara
menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29 pengebom AS; sementara AS
hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara.

Pada bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea Selatan dan
tentara AS ke kota Pusan, di Korea Tenggara.[8] Dalam serangan itu, Korea
Utara menghabisi akademisi Korea Selatan dengan membunuh pegawai
negeri dan kaum intelektual.[8] Pada 20 Agustus, Jenderal MacArthur
memperingatkan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia bertanggung
jawab terhadap kekejaman tentara Korea Utara.[8][26] Hingga bulan
September, tentara PBB hanya bisa mengontrol pinggiran kota Pusan, atau
hanya 10% dari wilayah Korea.
Eskalasi

Perang udara: USAF menyerang Wonsan selatan rel kereta api, pantai timur Korea Utara.

Dalam keputusasaan di Pertempuran Perimeter Pusan (Agustus-September


1950), Angkatan Darat Amerika Serikat menahan serangan tentara Korut
yang bermaksud merebut kota. Tak lama kemudian, USAF dapat
menghambat logistik tentara Korut dengan menghancurkan 32 jembatan.[8].
USAF juga menghancurkan depot logistik, penyulingan minyak, dan
pelabuhan untuk menghambat pasokan material tentara Korut. Sebagai
akibatnya, tentara Korut di semenanjung Selatan tidak bisa mendapatkan
pasokan.

Di saat yang sama, garnisun AS di Jepang terus-menerus mengirim tentara


dan bahan untuk memperkuat Perimeter Pusan.[8] Batalion tank dikerahkan
ke Korea dari San Francisco (di daratan Amerika Serikat); pada akhir
Agustus, Perimeter Pusan memiliki sekitar 500 tank.[8] Pada awal September
1950, tentara Republik Korea dan pasukan komando PBB menyerang balik
100.000 tentara Korut dengan 180.000 pasukan.[8][14]
Pertempuran Incheon
Keadaan di Pusan Perimeter telah berbalik; tentara Korut mulai kekurangan
orang dan pasokan sementara di sisi Republik Korea pasukan telah
mendapatkan tambahan senjata dan amunisi.[8] Untuk membantu pertahanan
di Perimeter Pusan, Jenderal MacArthur merekomendasikan sebuah
pendaratan amfibi di Incheon, di belakang garis pertahanan Korut.[8] Pada 6
Juli, ia memerintahkan Mayor Jenderal Hobart Gay, komandan Divisi Kavaleri
pertama, untuk merencanakan pendaratan amfibi tersebut pada 1214 Juli,
Divisi Kavaleri pertama berangkat dari Yokohama untuk membantu Divisi
Invantri ke-24.[39]

Operasi yang disebut sebagai Operasi Chromite ini dilaksanakan saat


gelombang ombak mengganas.[8] Jenderal McArthur telah lama
merencanakan penyerbuan ini, namunPentagon selalu
mencegahnya.[8] Ketika mendapatkan otoritas, ia mengerahkan pasukannya
yang terdiri dari 70.000 infantri Divisi Marinir Pertama, Divisi Infantri ke-7, dan
8.600 tentara Republik Korea.[8] Pada tanggal hari-h tanggal 15 September,
tim penyerang menghadapi sedikitnamun kuattentara Korut; intelijen
militer, operasi psikologis, pengintaian, dan pengeboman turut berperan
dalam operasi ini. Pengeboman itu sendiri menghancurkan sebagian besar
kota Incheon.[8]

Pendaratan Incheon memungkinkan Divisi Kavaleri Pertama untuk mulai


menyerang ke bagian utara. Mereka maju 106.4 mil ke dalam wilayah musuh
dan kemudian bergabung dengan Divisi Infantri Ke-7 di Osan.[2] Perlahan-
lahan mereka menghabisi tentara Korut, dan mengepung yang masih tersisa
di wilayah Korea Selatan;[8] dengan cepat, Jenderal MacArthur merebut
kembali Seoul;[8] namun tentara Korut yang nyaris terkepung berhasil kabur
ke Utara dengan hanya 25.000 hinga 30.000 pasukan tersisa.[40]
Serangan PBB: Invasi ke Korea Utara (SeptemberOktober
1950)
Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB mendorong tentara Korut
hingga ke Utara, melewati paralel ke-38, Republik Korea kemudian mengejar
mereka masuk ke wilayah Korea Utara.[8] Enam hari kemudian, pada 7
Oktober, dengan otorisasi dari PBB, pasukan Komando PBB mengikuti
pasukan Republik Korea menyerang ke wilayah Utara.[8]Angkatan Darat AS
kedepalam dan tentara Republik Korea menyerang ke bagian Barat Korea,
dan berhasil merebut Pyongyang, ibukota Korea Utara, pada 19 Oktober
1950. Di akhir bulan, pasukan PBB menahan 135,000 tawanan perang; dan
mereka melihat adanya perpecahan di tentara Korea Utara.

Jenderal MacArthur dan beberapa politisi Amerika sempat mengusulkan


untuk menyerang Komunis Tiongkok untuk menghancurkan depot Tentara
Rakyat China yang memasok kebutuhan perang Korea Utara, namun
Presiden Truman tidak setuju, dan memerintahkan Jenderal MacArthur tidak
melewati perbatasan Tiongkok-Korea.[8]

Pertempuran urban:Marinir Amerika Serikat bertempur untuk merebut ibukota Korea Utara.
Intervensi Tiongkok

Pada 27 Juni 1950, dua hari setelah invasi terhadap Korut dan tiga bulan
sebelum intervensi Tiongkok untuk Perang Korea, Presiden Truman
mengirimkan Armada 7 AS ke Selat Taiwan, untuk melindungi Republik
Nasionalis Tiongkok dari ancaman Republik Rakyat Tiongkok
(RRT).[41] Tanggal 4 Agustus 1950, Mao Zedong melapor kepada Politbiro
bahwa ia akan melakukan intervensi bila Tentara Relawan Rakyat (PVA)
sudah siap untuk dimobilisasi. Pada 20 Agustus 1950, Perdana Menteri Zhou
Enlai menginformasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa "Korea adalah
tetangga Tiongkok... Rakyat Tiongkok harus terlibat mencari solusi untuk
masalah Korea "-dengan demikian, melalui diplomat dari negara netral,
Tiongkok memperingatkan AS, bahwa dalam menjaga keamanan
nasional Tiongkok, mereka akan melakukan intervensi terhadap Komando
PBB di Korea.[8] Presiden Truman menafsirkan pesan ini sebagai "sebuah
usaha untuk pemerasan terhadap PBB", dan mengabaikannya.[42] Politbiro
mengizinkan intervensi Tiongkok di Korea pada tanggal 2 Oktober 1950-
sehari setelah tentara Republik Korea menyeberangi perbatasan 38-
paralel.[43] Kemudian, Tiongkok mengklaim bahwa pesawat-pesawat pembom
AS telah melanggar wilayah udara nasional RRT dalam perjalanannya
menuju Korea Utara-sebelum Tiongkok melakukan invervensi di Korea
Utara.[44]

Senjata AS:Tentara Amerika Serikat mengawaki sebuah 105 mm howitzer, Uirson, Korea,
Agustus 1950.
Operasi sapu-bersih: Marinir pertama Divisi Infantri menahan tentara PVA di front tengah,
Hoengsong, Korea, 2 Maret 1951.

Pada bulan September, di Moskow, Perdana Menteri RRT Zhou


Enlai menambahkan tekanan diplomatik dan personal dalam telegram Mao
kepada Stalin, meminta bantuan militer dan material. Stalin menundanya;
Mao dijadwalkan kembali meluncurkan "Perang Melawan Bala Bantuan
Amerika dan Korea" dari 13 ke 19 Oktober 1950. Uni Soviet hanya mau
memberikan bantuan serangan udara di bagian Utara Sungai Yalu. Namun
Mao menganggap bantuan itu tidak berguna karena pertempuran lebih
banyak terjadi di sisi Selatan sungai tersebut.[45] Soviet juga membatasi
bantuannya dan hanya mau mengirimkan material berupa truk, senjata
mesin, granat, dan sejenisnya.[46]

Pada 8 Oktober 1950, sehari setelah tentara AS menyebrang ke wilayah


Korea Utara, Mao Zedong memerintahkan Tentara Pembebasan
Rakyat Frontier Barat Laut direorganisasi ke dalam People's Volunteer
Army (PVA),[47] yang sedang bertempur dalam "Perang Melawan Amerika dan
Membantu Korea." Mao menjelaskan kepada Stalin: "Bila kita membiarkan
Amerika Serikat menduduki seluruh Korea, kekuatan revolusioner Korea akan
mendapatkan kekalahan telak, penjajah Amerika akan merajalela dan
memberikan efek negatif terhadap seluruh Timur Jauh."

Pengintaian udara AS mengalami kesulitan menemukan unit PVA di siang


hari karena disiplin yang mereka miliki.[8] PVA bergerak dari "malam-ke-
malam" (19.00-03.00) dan membuat kamuflase agar tak terlihat dari udara
pada jam 05.30. Di siang hari, mereka mengirim tim untuk mencari lokasi
istirahat dan mendirikan bivak. Bila pesawat melintas, mereka diharuskan
untuk diam tak bergerak hingga pesawat tersebut menghilang. Perwira PVA
diperbolehkan menembak pasukannya yang dianggap dapat mengancam
keamanan pasukan.[14]Disiplin yang keras seperti itu membuat tiga divisi
pasukan berjalan sejauh 286 mil (460 km) dari An-tung, Manchuria, ke medan
pertempuran dalam 19 hari; divisi lain yang melewati daerah pegunungan
berliku mampu berjalan rata 18 mil (29 km) setiap harinya selama 18 hari.

Pada 10 Oktober 1950, Batalion Tank ke-89 digabungkan dengan Divisi


Kavaleri Pertama, menambah jumlah kendaraan baja yang tersedia untuk
menyerang ke Utara. Pada 15 Oktober, setelah menghadapi perlawanan
Korut, Resimen Kavaleri ke-7 dan Charilie Company, Batalion Tank ke-70
berhasil menguasai kota Namchonjam. Pada 17 Oktober, mereka menyerang
lewat arah kanan, menjauhi jalan utama, untuk menguasai Hwangju. Dua hari
kemudian, Divisi Pertama Kavaleri menguasai Pyongyang, ibu kota Korea
Utara, sehingga pada 19 Oktober 1950 tentara AS sepenuhnya menguasai
Korea Utara.

Di tempat lain, 15 Oktober 1950, Presiden Truman dan Jen. MacArthur


bertemu di Wake Island di tengah Samudera Pasifik.[8] Kepada Presiden
Truman, Jen. MacArthur berspekulasi bahwa kecil risiko China akan
mengintervensi di Korea;[8] bahwa kesempatan tentara China membantu
Korut telah hilang; bahwa China memiliki 300.000 tentara di Manchuria, dan
sekitar 100.000-125.000 tentara di Sungai Yalu; dan menyimpulkan bahwa
meskipun setengah dari seluruh tentara menyebrang ke Selatan, mereka
dapat dengan mudah dihancurkan karena tidak memiliki perlindungan
udara.[40][48]
Peta Pertempuran Chosin Reservoir

Setelah menghadapi dua pertempuran kecil pada 25 Oktober, pertempuran


besar pertama antara China-Amerika terjadi pada 1 November 1950; jauh di
wilayah Korea Utara, ribuan tentara China mengepung dan menyerang unit
Komando PBB dalam Pertempuran Unsan.[49] Di Barat, akhir November, di
sepanjang Sungai Chongchon, tentara China menyerang dan mengalahkan
beberapa divisi Korea Selatan, dan menghabisi tentara PBB yang
tersisa.[8] Pasukan PBB dan tentara ke-8 AS berhasil bergerak
mundur[50] karena mendapat dukungan Brigade Turki yang menahan
serangan China selama 4 hari (26-30 November). Di Timur,
pada Pertempuran Chosin Reservoir , dan Regimental Combat Team Divisi
Infantri ke-7 (3000 tentara) dan divisi marinir (12.00015.000 marinir) juga
mundur setelah dikepung, dengan total tewas secara keseluruhan 15.000
orang.[51]

Awalnya, infantri tentara China di garis depan tidak memiliki persenjataan


berat maupun crew-served light infantry weapons, namun dengan cepat
mereka menutupi kelemahan yang mereka miliki; dalam How Wars Are Won:
The 13 Rules of War from Ancient Greece to the War on Terror (2003), Bevin
Alexander melaporkan:

Metodenya adalah dengan menggabungkan unit-unit peleton yang


terdiri dari 50 orang ke dalam kompi yang berisi 200 orang, yang
kemudian dibagi lagi menjadi beberapa unit kecil. Satu tim memotong
jalan lari tentara Amerika, yang lainnya menyerang baik dari arah
depan maupun samping secara bersamaan. Penyerangan berlanjut
dari segala arah hingga pasukan musuh dihancurkan atau terpaksa
kabur.

Dalam South to the Naktong, North to the Yalu, R.E. Appleman


menggambarkan taktik menyerang tentara China:

Dalam Serangan Fase Pertama, tentara infantri ringan menjalankan


taktik penyerangan, umumnya tidak membawa senjata yang lebih
besar dari mortar. Serangan mereka menggambarkan betapa pasukan
China sangat terlatih, disiplin, dan sangat ahli dalam penyerangan di
malam hari. Mereka ahli dalam seni kamuflase. Unit patroli ahli dalam
menemukan posisi musuh. Mereka merencanakan serangan mereka
dari sisi belakang musuh, memotong jalur mundur dan persediaan
mereka, kemudian menyerang dari depan dan samping untuk
mengendapkan pertempuran. Mereka juga melakukan taktik yang
mereka sebut sebagai hachi Shiki, di mana mereka membentuk
formasi-V dan membiarkan musuh masuk ke formasi itu, kemudian
memerintahkan pasukan lain menunggu di formasi V untuk mencegat
pasukan musuh lainnya yang berusaha menyelamatkan pasukan yang
sedang terkepung. Taktik ini berhasil di Onjong, Unsan, dan Ch'osan,
namun tidak sepenuhnya berhasil di Pakch'on dan Ch'ongch'on.[14]

Di akhir November, tentara China berhasil mengusir pasukan Komando PBB


dari timur laut Korea Utara, hingga melewati perbatasan paralel ke-38.
Pasukan PBB lari ke pantai timur dan membangun pertahanan di kota
pelabuhan Hungnamdan menunggu bantuan di sana. Pada Desember
1950,[8] 193 kapal yang membawa 105.000 tentara, 98.000 penduduk sipil,
17.500 kendaraan, dan 350.000 ton suplai tiba di Pusan, di bagian selatan
tanjung korea.[8] Sebelum kabur, pasukan Komando melakukan operasi untuk
menghambat pergerakan pasukan musuh dengan menghancurkan sebagian
besar kota Hungam[40][52] dan, pada 16 Desember 1950, Presiden Truman
mendeklarasikan keadaan kedaruratan nasional melalui Proklamasi
Presidensial No. 2914, 3 C.F.R. 99 (1953),[53] yang berlaku hingga 14
September 1978.[54]
Menyeberangi paralel: Penyerangan Musim Dingin China
(awal 1951)

USAF firepower: B-26 Invaders bomb logistics depots in Wonsan, North Korea, 1951.

Pada bulan Januari 1951, tentara Tiongkok dan Korut


melaksanakan Penyerangan Fase Ketiga (atau dikenal pula dengan sebutan
"Penyerangan Musim Dingin Tiongkok") menggunakan taktik serangan
malam di mana tentara PBB secara diam-diam dikepung kemudian diserang
tiba-tiba. Penyerangan itu juga didukung oleh bunyi-bunyi trompet dan gong
dengan tujuan sebagai alat komunikasi kepada pasukan yang menyerang
sekaligus membuat pasukan musuh mengalami disorientasi secara mental.
Pasukan PBB tidak memiliki pengalaman menghadapi taktik seperti ini dan
sebagai hasilnya beberapa pasukan langsung lari meninggalkan
persenjataannya ke arah Selatan.[8] Penyerangan Musim Dingin China ini
berhasil membuat pasukan PBB kewalahan. Tentara China dan Korut
berhasil menguasai Seoul pada 4 Januari 1951.

Selain kekalahan itu, tentara AS juga mengalami pukulan telak setelah


Jendral Walker tewas akibat kecelakaan mobil, yang membuat moral pasukan
menurun.[8] Kejadian ini hampir memaksa Jendral MacArthur
menggunakan bom atom untuk menyerang China dan Korut serta memotong
jalur persediaan mereka.[55] Akan tetapi, dengan datangnya pengganti
Walker, Letnan-Jendral Matthew Ridgway, moral pasukan kembali
meningkat.[8]

Pasukan PBB di bagian barat mundur ke Suwon, di bagian tengah mundur


ke Wonju, di bagian timur mundur ke Samchok, di mana garis depan
distabilisasi dan dipertahankan.[8] Tentara China mulai kehabisan logistik dan
terpaksa membatalkan rencananya menyerang lebih jauh;[8] makanan,
amunisi, dan material dibawa di malam hari, dengan berjalan kaki atau
sepeda, melewati Sungai Yalu. Pada akhir Januari, setelah menemukan
bahwa musuh telah meninggalkan garis pertempuran, Jendral Ridgway
memerintahkan operasi mata-mata yang dikenal sebagai Operasi Roundup (5
Februari 1951) yang berlangsung secara bertahap sambil mempertahankan
superioritas udara tentara PBB.[8] Operasi ini sukses dan mengakibatkan
tentara PBB mampu mencapai Sungai Han dan menguasai Wonju.[8] Pada
pertengahan Februari, tentara China menyerang balik dengan Penyerangan
Fase Keempat, yang dilancarkan dari Hoengsong menghadapi tentara AS
di Chipyong-ni, di bagian tengah.[8] Tentara AS dan Tentara Perancis
berjuang menghadapi serangan itu dalam sebuah pertempuran singkat
namun cukup menghambat efektifitas serangan China.[8]

Pada dua minggu terakhir Februari 1951, Operasi Roundup diikuti


oleh Operasi Killer (pertengahan Februari 1951) yang dilancarkan oleh
Angkatan Bersenjata ke-8. Operasi tersebut merupakan serangan berskala
penuh untuk menewaskan sebanyak mungkin tentara KPA dan
PVA.[8] Operation Killer berakhir dengan I Corps menduduki kembali wilayah
di sebelah selatan sungai Han, dan IX Corps merebut Hoengsong.[8] Pada 7
Maret 1951, Angkatan Bersenjata ke-8 melancarkan Operasi Ripper, dan
berhasil mengusir PVA dan KPA dari ibukota Korea Selatan pada 14 Maret
1951.[8][56]

Pada tanggal 11 April 1951, Kepala Komando Truman membebastugaskan


Jendral MacArthur, Panglima Tertinggi di Korea, karena dianggap
melakukan pembangkangan[8] dan menunjuk Ridgway Jendral untuk
menggantikannya.[8] Serangan-serangan berikutnya , antara lain
operasi Courageous (23-28 Maret 1951) dan Tomahawk (23 Maret 1951),
berhasil mendorong mundur tentara China dan Korut. Tentara PBB maju ke
"Garis Kansas", bagian utara paralel ke-38.[8]

Hill 105: Tentara China terbunuh dalam pertempuran melawan Divisi Pertama Marinir,
Korea, 1951.

China melakukan serangan balasan pada bulan April 1951,


dengan Penyerangan Fase Kelima (dikenal pula sebagai "Penyerangan
Musim Semi China") dengan tiga tentara lapangan (field army) (sekitar
700.000 orang)[8] Serangan utama terjadi di Sungai Imjin (22-25 April 1951)
dan Kapyong (22-25 April 1951), yang dipertahankan mati-matian oleh
tentara AS dan menumpulkan daya dorong Penyerangan Fase Kelima dan
akhirnya berenti di No-name Line di Utara Seoul.[8] Pada tanggal 15 Mei
1951, tentara China di timur menyerang Tentara Republik Korea dan Amerika
Serikat, namun berhasil dihentikan tanggal 20 Mei.[8] Pada akhir bulan,
Angkatan Darat Amerika Serikat melakukan serangan balasan dan merebut
kembali "Line Kansas", tepat di bagian Utara paralel 38.[8] PBB kemudian
menghentikan serangan dan bertahan di sana, mengakibatkan keadaan
kebuntuan hingga gencatan senjata tahun 1953.
Kebuntuan (Juli 1951Juli 1953)
Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan China tetap berperang,
namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi
kebuntuan. Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus berlangsung,
perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951
di Kaesong.[8][8] Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan
tengah berjalan; tujuan Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh
Korea Selatan dan menghindari kehilangan wilayah.[8] Tentara China dan
Korut juga melakukan operasi serupa serta melakukan operasi-operasi
psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam fase ini antar
alain Pertempuran Bloody Ridge(18 Agustus15 September
1951)[8] danPertempuran Heartbreak Ridge (13 September15 Oktober
1951), Pertempuran Old Baldy (26 Juni4 Agustus 1952), Pertempuran
White Horse (615 Oktober 1952),Pertempuran Triangle Hill (14 Oktober25
November 1952), dan Pertempuran Hill Eerie(21 Maret21 Juni 1952),
pengepungan Outpost Harry (1018 Juni 1953), Pertempuran Hook (2829
Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret16 Juli 1953).

Pergolakan dan perubahan wilayah kekuasaan hingga mengalami kebuntuan.

Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun;[8] di Kaesong (Korea


Utara bagian Selatan), kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua
Korea).[8] Problem utama dari negosiasi ketika itu adalah repatriasi tawanan
perang.[8] China, Korea Utara, dan tentara PBB tidak bisa membuat
kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara yang menolak
kembali ke Utara.[57] Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir, sebuah
Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah
tersebut.[8][58]

Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal 29 November
1952, presiden terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk
mempelajari hal-hal yang mungkin dapat mengakhiri perang Korea.[8] Pada
27 Juli 1953, proposal gencatan senjata dari India disetujui oleh Korea Utara,
China, dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk melakukan gencatan
senjata dengan batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut tertulis
bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuaeh Zona Demiliterisasi
Korea. Tentara PBB, yang didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan
China menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan
Syngman Rhee menolak untuk menandatangani perjanjian itu, karenanya
Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.[59]
Buntut Pertempuran Chosin: Operasi Glory
Setelah perang, pasukan PBB menguburkan pasukannya yang tewas di
pemakaman sementara di Hngnam. Dengan Operasi Glory (Juli-November
1954), masing-masing pihak saling bertukar mayat pasukannya. Mayat 4.167
angkatan darat dan Korps Marinir AS ditukar dengan 13.528 mayat tentara
China dan Korut. Sebanyak 546 penduduk sipil yang tewas di kamp tahanan
perang PBB diserahkan kepada pemerintahan Korsel.[60] Setelah Operasi
Glory, 416 "prajurit tak dikenal" dimakamkan di Punchbowl Cemetery,
Hawaii.[61][62]
Memorial Perang Korea dapat ditemukan di setiap markas PBB di negara-negara yang
terlibat dalam Perang Korea; pada gambar terlihat memorial yang terletak
di Pretoria, Afrika Selatan.

Korban perang
Tentara PBB dan AS menghitung jumlah tentara China dan Korea Utara yang
tewas berdasarkan laporan korban-tewas di lapangan, interogasi tahanan
perang, dan intelejen militer (dokumen, mata-mata, dan lain-lain).[63] Korban
tewas: AS: 36.940 terbunuh, China:100.0001.500.000 terbunuh;
kebanyakan sumber memperkirakan 400.000 orang yang terbunuh; Korea
Utara: 214,000520,000; kebanyakan sumber memperkirakan 500.000 orang
yang terbunuh. Korea Selatan: Rakyat sipil: 245.000415.000 terbunuh;
Total rakyat sipil yang tewas antara 1.500.0003.000.000; kebanyakan
sumber memperkirakan 2.000.000 orang tewas
SEJARAH PERANG KOREA
MAKALAH

Anda mungkin juga menyukai