Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI

RADEN EDDY MARTADINATA

Disusun oleh :

LIDIA RATNA RAMAWATI

KELAS

Mata Pelajaran Bahasa Indonesia


Guru Mata Pelajaran

SMA PGRI 01 NANGA PINOH


TAHUN PELAJARAN 2018 / 2019
Jejak Tragis Sang Nakhoda R.E. Martadinata

Pahlawan Nasional, R. E. Martadinata. FOTO/Istimewa

Hari-hari awal Oktober 1965 waktu itu begitu mencekam. Ibu kota bergolak, hawa
panas menjalar ke mana-mana. Ratusan massa dan mahasiswa yang terlanjur kalap mulai
bergerak. Pada 8 Oktober 1965, markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta
dibakar.
Beberapa hari sebelumnya, R.E. Martadinata yang kala itu menjabat
Menteri/Panglima Angkatan Laut, mempersilakan massa mahasiswa dan kaum santri
untuk menyapu bersih orang-orang yang terlibat organisasi PKI. Ia sempat berucap saat
menghadiri pemakaman Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution yang menjadi korban
gerakan 30 September 1965.
John Huges dari Christian Science Monitor melaporkan, R.E. Martadinata
memberikan jaminan. “Mereka (massa) bisa pergi keluar dan membersihkan komunis
tanpa halangan dari militer.”
Dengan kata lain, tentara, setidaknya Angkatan Laut di bawah kendalinya, tidak
akan menghalang-halangi aksi massa untuk mengganyang PKI. Setelah momentum itu,
Presiden Sukarno kala itu mencopot R.E. Martadinata dari kursi Menteri/Panglima
Angkatan Laut. Pada Februari 1966, ia dikirim ke Pakistan, menjalani peran barunya
sebagai Duta Besar Luar Biasa Indonesia untuk Pakistan yang sedang rawan konflik.
Perjalanan karier pemuda asal Jawa Barat ini awalnya bermula dari laut dan menentukan
perjalanan hidupnya.
Dari Pelaut Menjadi Menteri
Lahir di Bandung pada 29 Maret 1921, dengan nama lengkap Raden Eddy
Martadinata memang sudah berminat pada sektor kelautan. Setelah lulus dari sekolah atas
di Jakarta, ia meneruskan studinya di sekolah pelayaran milik pemerintah Hindia Belanda,
Zeevaart Technische School, pada 1941.
Sayangnya, Martadinata tidak sempat lulus karena menyerahnya Belanda kepada
Jepang pada 1942. Selanjutnya, ia mengikuti pendidikan pelayaran diselenggarakan oleh
pemerintah militer Jepang di Indonesia hingga diangkat sebagai nakhoda kapal latih Dai28
SakuraMaru.
Martadinata memiliki peran yang cukup penting dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu penggagas dibentuknya Barisan Banteng Laut
di Jakarta. Barisan ini berhasil merebut kapal-kapal milik Jepang di kawasan Pelabuhan
Tanjung Priok.
Barisan Banteng Laut yang beranggotakan para pemuda-pelaut termasuk
Martadinata sebagai salah satu tokoh sentralnya juga menjalin komunikasi intensif dengan
laskar-laksar pemuda lainnya dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan seiring dengan
kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya (Ismail & Sanna, Siapa Laksamana R. E.
Martadinata, 1977: 55). Hingga akhirnya, Sukarno-Hatta menyatakan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Karier Martadinata di Angkatan Laut cukup mulus--bermula dari BKR-Laut yang
dibentuk pada 1945). Ia berkali-kali memimpin dan turut terlibat dalam aksi militer untuk
meredam berbagai pergolakan yang terjadi di Tanah Air selama masa mempertahankan
kemerdekaan, hingga menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut sejak Juli 1959.
Martadinata ditunjuk menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, menggantikan
Laksamana Subiyakto. Penunjukan Martadinata didasarkan atas rekomendasi para perwira
angkatan laut karena sosoknya dinilai berada di pihak yang netral, terutam terkait konflik
di Angkatan Laut (AL).
Konflik di internal AL itu disebut-sebut ada kaitannya dengan perbedaan
pandangan politik, juga idealisme, di kalangan para perwiranya. Pada masa itu, militer
memang menjadi ajang adu kekuatan yang hebat antara pelbagai golongan politik (Denys
Lombard, Nusa Jawa: Jaringan Asia, 1996:100). Selain itu, ia terkenal sebagai sosok yang
dekat dengan Sukarno.

Akhir Tragis Sang Loyalis


Martadinata adalah perwira yang loyal kepada Presiden Sukarno. Ia juga dikenal
aktif di Badan Pendukung Sukarnoisme atau BPS (Aco Manafe, Reveals PKI's Betrayal in
1965 and The Trial of The Perpetrators, 2008:24). Sehingga nama Martadinata
dimasukkan ke dalam Dewan Revolusi Indonesia oleh Bagian Penerangan Gerakan 30
September (Sukri Abdurrachman, dkk., Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis
Nasional, 2012:202).
Dikutip dari Maulwi Saelan (Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa, 2008:209), Gerakan 30 September menyebut bahwa Dewan
Revolusi dibentuk demi “menyelamatkan Republik Indonesia atas perbuatan-perbuatan
jahat Dewan Jenderal dan kaki-tangannya agar dapat melaksanakan amanat penderitaan
rakyat dalam arti yang sesungguhnya.”
Martadinata yang merasa tidak pernah terlibat dengan Dewan Revolusi membantah
klaim dari Gerakan 30 September 1965 pimpinan Letkol Untung itu. Belakangan diketahui
bahwa nama-nama dalam Dewan Revolusi tersebut dicantumkan begitu saja tanpa
meminta persetujuan (Bustam & Prasetyo, Dari Kamp ke Kamp, 2016).
Namun soal seruannya soal PKI kepada massa mahasiswa dan kalangan santri
menjadi tonggak kariernya selama-lamanya. Tindakannya tidak berkenan di hati Sukarno,
sosok presiden yang sangat dikaguminya. Pada 21 Februari 1966, Presiden Sukarno
mengumumkan reshuffle Kabinet Dwikora. Sejumlah nama menteri pun dicopot, termasuk
Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan,
2005:12). Selain itu, setelah didepak dari pemerintahan dan "didubeskan".
Tugas itu pun diembannya, hingga pada awal Oktober 1966, Martadinata dipanggil
pulang ke Tanah Air. Presiden Sukarno memberinya kenaikan pangkat Laksamana dalam
peringatan hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober 1966. Selain itu, Martadinata juga diminta
untuk mendampingi tiga tamu kenegaraan dari Angkatan Laut Pakistan.
Sehari kemudian, 6 Oktober 1966, Martadinata mengajak tiga tamunya berkunjung
ke Puncak, Bogor, dengan menumpang helikopter yang dipiloti oleh Letnan Laut Charles
Willy Kairupa. Menjelang kembali ke ibukota, Martadinata menawarkan diri untuk
mengambil-alih kemudi helikopter berjenis Alloute A IV 422 itu.
Malang bagi Martadinata dan tamunya, dalam perjalanan pulang, cuaca tiba-tiba
memburuk. Helikopter yang dikemudikan Martadinata hilang kendali dan menabrak tebing
di Riung Gunung. Helikopter itu meledak hancur berkeping-keping, seluruh
penumpangnya tewas, termasuk R.E. Martadinata yang saat itu masih berusia 45 tahun.

Anda mungkin juga menyukai