Anda di halaman 1dari 6

Pertempuran Laut Karang 4 Mei – 8 Mei 1942

Pertempuran Laut Karang atau Pertempuran Laut Koral 4 Mei-8 Mei 1942 adalah pertempuran
laut besar di medan Perang Pasifik. Antara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang melawan angkatan laut
dan angkatan udara Sekutu dari Amerika Serikat dan Australia.

Pertempuran ini merupakan pertempuran laut pertama antara dua armada yang melibatkan
kapal induk, dan dicatat sebagai pertempuran laut pertama dalam sejarah yang melibatkan kapal-
kapal perang kedua belah pihak yang tidak saling menembak secara langsung dari kapal ke kapal.

Latar Belakang terjadinya Pertempuran Laut Karang

Pada 7 Desember 1941, kapal-kapal induk Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika Serikat
di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan tersebut menghancurkan atau melumpuhkan sebagian besar
kapal-kapal tempur Armada Pasifik Amerika Serikat, sekaligus mengawali perang terbuka antara
kedua negara. Dalam perang ini, pemimpin-pemimpin perang Jepang berusaha melenyapkan
ancaman dari armada Amerika, merampas wilayah-wilayah jajahan Sekutu yang kaya sumber alam,
dan menguasai pangkalan militer strategis untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang yang
semakin besar.

Pada saat yang hampir bersamaan dengan Pengeboman Pearl Harbor, Jepang menyerang
Malaya hingga menyebabkan Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru bergabung dengan Amerika
Serikat sebagai Sekutu dalam perang melawan Jepang.

Sesuai dengan “Perintah Rahasia Nomor Satu” tertanggal 1 November 1941 yang dikeluarkan
Armada Gabungan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, tujuan awal Jepang dalam perang adalah
“(melumpuhkan) kekuatan Inggris dan Amerika dari Hindia Belanda dan Filipina, (serta) menetapkan
kebijakan kemerdekaan ekonomi dan swasembada secara otonom.

Dalam usaha mencapai tujuan akhir perang, dalam beberapa bulan pertama tahun 1942,
tentara Jepang menyerang dan berhasil mengambil alih Filipina, Thailand, Singapura, Hindia Belanda,
Kepulauan Wake, Britania Baru, serta Kepulauan Gilbert dan Guam. Dalam proses pengambilalihan
wilayah-wilayah tersebut, Jepang mengakibatkan kerugian besar bagi kekuatan darat, laut dan udara
pihak Sekutu.

Negara-negara taklukan Jepang menurut rencana akan dipakai sebagai pertahanan garis luar
bagi Kekaisaran Jepang. Sekaligus melancarkan taktik perang menghabiskan tenaga lawan dalam
usahanya mengalahkan atau menghabisi serangan balasan Sekutu.

Tidak lama setelah perang berlangsung, Staf Umum Angkatan Laut mengeluarkan
rekomendasi untuk menginvasi Australia sebagai tindakan pencegahan. Agar Australia tidak dipakai
sebagai pangkalan militer yang mengancam pertahanan garis luar Jepang di Pasifik Selatan. Namun
rekomendasi ini ditolak Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang mengemukakan alasan bahwa
Jepang tidak memiliki kapasitas kapal dan kekuatan militer yang cukup.

Pada saat yang bersamaan, komandan Armada IV Angkatan Laut Jepang Laksamana Madya
Shigeyoshi Inoue mengusulkan pendudukan Tulagi yang berada di tenggara Kepulauan Solomon dan
Port Moresby di Papua Nugini. Usulannya membuat bagian utara Australia berada dalam jangkauan
pesawat-pesawat terbang Jepang yang berpangkalan di darat.
Sebagai pimpinan Armada IV yang juga disebut Armada Laut Selatan, Inoue membawahi
unit-unit angkatan laut di kawasan Pasifik Selatan. Ia percaya bahwa pendudukan dan penguasaan
lokasi-lokasi tersebut akan menjamin keamanan dan pertahanan bagi pangkalan utama Jepang di
Rabaul, Britania Baru.

Staf Umum Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menerima proposal Inoue
dan merencanakan operasi-operasi lanjutan. Dalam operasi lanjutan, lokasi-lokasi yang diusulkan
Inoue akan dijadikan pangkalan militer pendukung dalam usaha berikutnya merebut Kaledonia Baru,
Fiji, dan Samoa yang bila berhasil akan memutuskan jalur komunikasi dan perbekalan antara
Australia dan Amerika Serikat.

Pada April 1942, angkatan laut dan angkatan darat menyusun rencana yang diberi nama
Operasi MO. Menurut rencana ini, Port Moresby akan diserang dari laut dan harus dapat diamankan
sebelum 10 Mei 1942. Rencana yang sama juga mencantumkan pengambilalihan Tulagi pada 2-3 Mei
1942.

Angkatan Laut akan menjadikan Tulagi sebagai pangkalan bagi pesawat amfibi yang akan
menyerang teritori dan tentara Sekutu di Pasifik Selatan. Setelah Operasi MO selesai disusun,
angkatan laut menyusun rencana lain untuk Operasi RY yang bertujuan merebut Nauru dan
Kepulauan Banaba yang kaya dengan fosfat pada 15 Mei 1942.

Operasi RY akan dilancarkan memakai kapal-kapal yang berpangkalan di lokasi yang telah
direbut dalam operasi MO. Operasi militer berikutnya yang disebut Operasi FS bertujuan merebut
Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru, dan akan disusun setelah operasi MO dan RY selesai.

Pada Maret 1942 pesawat-pesawat Sekutu yang berpangkalan di kapal induk dan di darat
menyerang kapal-kapal perang Jepang yang melakukan invasi. Pada saat itu akan ke kawasan Lae-
Salamaua dan mengakibatkan kerugian bagi Jepang.

Oleh karena itu, Inoue meminta Armada Gabungan untuk mengirimkan kapal induk
sebagai perlindungan dari udara bagi kekuatan militer Jepang dalam Operasi MO. Inoue terutama
menyatakan kecemasannya terhadap pesawat pengebom Sekutu yang berpangkalan di Townsville
dan Cooktown, Australia. Kedua pangkalam militer Sekutu tersebut berada di luar jangkauan
pesawat pengebom Jepang yang berpangkalan di Rabaul dan Lae.

Komandan Armada Gabungan Jepang, Laksamana Isoroku Yamamoto secara bersamaan


menyusun operasi militer untuk bulan Juni 1942 yang dimaksudkan agar kapal-kapal induk Amerika
Serikat yang belum hancur di Pearl Harbor masuk perangkap dan bertemu dengan armadanya dalam
pertempuran menentukan di Samudra Pasifik dekat Atol Midway.

Sebagai dukungannya terhadap Operasi MO, Yamamoto mengerahkan beberapa kapal perang
besar, termasuk dua kapal induk, satu kapal induk ringan, sebuah divisi kapal penjelajah, dan dua
divisi kapal penjelajah, serta menunjuk Inoue sebagai komandan armada.

Pada Maret 1942, Amerika Serikat untuk pertama kalinya menangkap pesan Jepang yang
menyebut soal Operasi MO. Amerika Serikat pada 5 April menangkap sandi Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang yang ditujukan ke sebuah kapal induk dan kapal-kapal perang berukuran besar
lainnya yang sedang menuju kawasan operasi Inoue.

Pada 13 April, Inggris menguraikan sandi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang memberi tahu
Inoue tentang Divisi Kapal Induk Kelima yang terdiri dari kapal induk Shōkaku dan Zuikaku sedang
menuju armada Inoue, diberangkatkan dari Formosa melewati pangkalan utama AL Kekaisaran
Jepang di Truk.

Pihak Inggris meneruskan pesan ini kepada pihak Amerika Serikat berikut kesimpulan mereka
bahwa Port Moresby kemungkinan besar adalah target Operasi MO.Komandan baru Sekutu di Pasifik
yang baru diangkat, Laksamana Chester Nimitz dan para staf membahas tentang pesan Jepang yang
bocor dan sepakat pihak Jepang mungkin sedang memulai operasi besar-besaran di Pasifik Barat
Daya pada awal Mei dan kemungkinan Port Moresby merupakan target.

Sekutu menganggap Port Moresby sebagai pangkalan kunci untuk serangan balasan yang
dipimpin Douglas MacArthur terhadap kekuatan militer Jepang di kawasan Pasifik. Staf Laksamana
Nimitz juga menyimpulkan kemungkinan operasi militer Jepang mencakup serangan udara dari kapal
induk terhadap pangkalan Sekutu di Samoa dan Suva.

Setelah berkonsultasi dengan Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest
King, Nimitz memutuskan untuk melawan Jepang dengan cara mengerahkan seluruh kapal induk
(empat kapal induk) armada Pasifik ke Laut Koral. Pada 27 April, pesan-pesan Jepang yang berhasil
ditangkap pihak intelijen Amerika Serikat memastikan sebagian besar rincian dan target Operasi MO
and RY.

Pada 29 April 1942, Nimitz mengeluarkan perintah memberangkatkan empat kapal induk
bersama kapal-kapal perang pendukung menuju Laut Koral. Di bawah komando Laksamana Muda
Fletcher, Gugus Tugas 17 (TF17) terdiri dari kapal induk Yorktown dengan kawalan tiga kapal
penjelajah dan empat kapal perusak, serta dukungan logistik dari dua kapal tanker sudah berada di
Pasifik Selatan.

Dukungan logistik diberangkatkan dari Tongatabu pada 27 April, dan sudah menuju ke Laut
Koral. Gugus Tugas 11 (TF11) di bawah komando Laksamana Muda Aubrey Fitch terdiri dari kapal
induk Lexington yang dikawal dua kapal penjelajah dan lima kapal perusak sudah berada di antara
Fiji dan Kaledonia Baru.

Gugus Tugas 16 (TF16) terdiri dari dua kapal induk, Enterprise dan Hornet berada di bawah
komando Laksamana Madya William F. Halsey. Mereka baru tiba di Pearl Harbor setelah dipakai
dalam Serangan Doolittle di Pasifik tengah sehingga tidak diberangkatkan karena tidak akan sampai
tepat waktu di Pasifik Selatan untuk turut serta dalam pertempuran.

Nimitz menunjuk Fletcher sebagai komandan armada laut Sekutu di kawasan Pasifik Selatan
hingga Halsey tiba bersama TF16. Walaupun kawasan Laut Koral masih di bawah komando
MacArthur, Fletcher dan Halsey sewaktu berada di kawasan Laut Koral diperintahkan untuk langsung
melapor ke Nimitz, dan bukan ke MacArthur..

Jalannya Pertempuran

Sepanjang akhir April, kapal selam Jepang RO-33 dan RO-34 memata-matai kawasan yang akan
dijadikan tempat pendaratan tentara Jepang. Kapal-kapal selam Jepang juga memeriksa Kepulauan
Rossel dan teluk-teluk di Kepulauan Deboyne yang berada di Gugus Kepulauan Louisiade, Selat
Jomard, dan jalur pelayaran ke Port Moresby dari sebelah timur.
Setelah tidak menemui satu pun kapal Sekutu, mereka kembali ke Rabaul pada 23 April dan 24
April.Laksamana Muda Kōsō Abe memimpin invasi Jepang ke Port Moresby dengan mengerahkan 12
kapal angkut yang membawa sekitar 5.000 prajurit dari Detasemen Laut Selatan Angkatan Darat
Jepang, ditambah sekitar 500 prajurit dari Pasukan Khusus Pendaratan Angkatan Laut III Kure.

Kapal angkut Jepang dikawal Kesatuan Serang Port Moresby yang terdiri dari satu kapal
penjelajah ringan dan enam kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda Sadamichi Kajioka.
Kapal-kapal Abe berangkat dari Rabaul menempuh perjalanan sejauh 840 mil laut (1.556 km) dengan
kecepatan 8 knot (15 km/h) menuju Port Moresby pada 4 Mei.

Pada hari berikutnya, kapal-kapal Abe bergabung dengan kapal-kapal pengawal di bawah
komando Kajioka. Armada Jepang melaju dengan kecepatan 8 knot (15 km/h) dengan rencana
transit di Selat Jomard di Louisiade, dan melewati sekitar ujung selatan Pulau Nugini sebelum tiba di
Port Moresby pada 10 Mei.

Garnisun Sekutu di Port Moresby berjumlah sekitar 5.333 prajurit, namun jumlah pasukan
infanteri hanya setengah dari jumlah total, dan semuanya dilengkapi persenjataan yang buruk dan
kurang latihan.Kapal-kapal dalam Grup Perlindungan yang dipimpin Gotō diberangkatkan dari Truk
pada 28 April, berlayar melalui Kepulauan Solomon antara Kepulauan Bougainville dan Kepulauan
Choiseul sebelum diposkan dekat Kepulauan New Georgia.

Kapal-kapal dalam Kesatuan Perlindungan yang dipimpin Marumo diberangkatkan dari Irlandia
Baru pada 29 April menuju Teluk Thousand Ships, Kepulauan Santa Isabel, sebelum diposkan sebagai
pangkalan pesawat amfibi pendukung invasi Tulagi pada 2 Mei. Kesatuan invasi di bawah komando
Shima diberangkatkan dari Rabaul pada 30 April.

Kesatuan Serbu Kapal Induk Jepang berintikan kapal induk Zuikaku dan Shōkaku, serta dua
kapal penjelajah berat dan enam kapal perusak yang diberangkatkan dari Truk pada 1 Mei. Kesatuan
Serbu ini berada di bawah komando Laksamana Madya Takeo Takagi (sebagai kapal komando adalah
kapal penjelajah Myōkō) bersama Laksamana Muda Chūichi Hara yang berkedudukan di atas Zuikaku
sebagai komandan taktis pesawat kapal induk.

Mereka berlayar melewati sisi timur Kepulauan Solomon dan memasuki Laut Koral dari
selatan Guadalkanal. Setelah berada di Laut Koral, kapal-kapal induk ditugaskan untuk memberi
perlindungan udara bagi pasukan Jepang yang melakukan invasi, menghancurkan kekuatan udara
Sekutu di Port Moresby, dan mencegat serta menghancurkan semua kekuatan angkatan laut Sekutu
yang memasuki Laut Koral untuk melakukan serangan balasan.

Dalam perjalanan menuju Laut Koral, kapal-kapal induk Takagi ditugaskan untuk mengantar
sembilan pesawat tempur Zero ke Rabaul. Namun cuaca buruk selama dua kali usaha mengantarkan
pesawat Zero pada 2 Mei dan 3 Mei memaksa pesawat-pesawat tersebut kembali ke kapal induk
yang berada di posisi 240 nautical mile (444 km) dari Rabaul.

Salah satu pesawat Zero bahkan terpaksa mendarat di laut. Setelah dua kali usaha pengantaran
gagal, Takagi dalam usaha menjaga jadwal Operasi MO, terpaksa membatalkan usaha pengantaran
pesawat Zero. Kapal-kapal diperintahkannya menuju ke Kepulauan Solomon untuk mengisi bahan
bakar.

Sebagai pemberi peringatan dini, Jepang telah mengerahkan kapal selam I-22, I-24, I-28, dan I-
29 yang membentuk jaringan pengintai sekitar 450 nautical mile (833 km) barat daya Guadalkanal.
Namun armada Fletcher sudah lewat lebih dulu dan memasuki Laut Koral sebelum kapal-kapal selam
Jepang berada di pos masing-masing.
Hal ini menyebabkan Jepang tidak tahu akan keberadaan armada Sekutu di bawah komando
Fletcher. Satu kapal selam Jepang, I-21 yang dikirim untuk mengintai sekitar Nouméa diserang oleh
pesawat-pesawat dari Yorktown pada 2 Mei.

I-21 tidak mengalami kerusakan, namun sepertinya tidak sadar bahwa serangan berasal dari
pesawat yang berpangkalan di kapal induk. Kapal selam RO-33 dan RO-34 juga dikerahkan sebagai
usaha Jepang memblokade Port Moresby, dan tiba di lepas pantai pada 5 Mei. Keduanya tidak
bertemu dengan kapal-kapal Sekutu selama pertempuran berlangsung.

Pasca Pertempuran

Pada 9 Mei, TF17 mengubah haluan ke timur dan keluar dari Laut Koral melalui rute selatan
Kaledonia Baru. Nimitz memerintahkan Fletcher untuk mengembalikan Yorktown ke Pearl Harbor
secepat mungkin setelah mengisi bahan bakar di Tongatabu.

Sepanjang hari itu, pesawat pengebom Angkatan Darat Amerika Serikat menyerang Deboyne
dan Kamikawa Maru, namun kerusakan yang ditimbulkan tidak diketahui. Sementara itu, Crace yang
tidak mendapat berita apa pun dari Fletcher menyimpulkan TF17 telah meninggalkan lokasi
pertempuran.

Pukul 01.00 tanggal 10 Mei, setelah tidak mendapat berita lebih lanjut tentang pergerakan
kapal-kapal Jepang menuju Port Moresby, Crace berputar menuju Australia dan tiba di Cid Harbor,
130 nautical mile (241 km) utara Townsville pada 11 Mei.

Pada pukul 22.00 tanggal 8 Mei, Yamamoto memerintahkan kapal-kapal Inoue untuk berbalik,
menghancurkan sisa kapal-kapal Sekutu, dan menyelesaikan invasi ke Port Moresby. Inoue tidak
membatalkan penarikan mundur konvoi invasi, namun memerintahkan Takagi dan Gotō untuk
mengejar sisa kapal-kapal Sekutu di Laut Koral.

Persediaan bahan bakar kapal-kapal perang Takagi sudah kritis, dan menghabiskan hampir
sepanjang hari 9 Mei mengisi bahan bakar dari tanker Tōhō Maru. Larut malam 9 Mei, Takagi dan
Gotō berlayar ke tenggara, dan lalu ke barat daya menuju Laut Koral.

Pesawat-pesawat amfibi dari Deboyne membantu Takagi mencari armada TF17 pada pagi 10
Mei. Namun kapal-kapal Fletcher dan Crace sudah meninggalkan lokasi. Pukul 13.00 tanggal 10 Mei,
Takagi berkesimpulan musuh sudah pergi dan memutuskan untuk kembali ke Rabaul.

Yamamoto setuju dengan keputusan Takagi dan memerintahkan Zuikaku kembali ke Jepang
untuk dilengkapi kembali dengan pesawat-pesawat. Pada saat yang bersamaan, Kamikawa Maru
juga meninggalkan Deboyne.

Pada siang 11 Mei, satu pesawat PBY Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang berpatroli
dari Nourma melihat Neosho sedang terapung-apung di (15°35′LU 155°36′BT15,583°LS 155,6°BT).
Pada hari itu juga, kapal perusak Amerika Serikat Henley bertindak dan menyelamatkan 109 awak
Neosho dan 14 awak Sims yang selamat, dan lalu menenggelamkan Neosho dengan tembakan
torpedo.

Pada 10 Mei, Operasi RY dinyatakan berakhir. Setelah kapal penyebar ranjau Okinoshima yang
dijadikan kapal komando ditenggelamkan oleh kapal selam Amerika Serikat S-42 pada 12 Mei
(05°06′LU 153°48′BT5,1°LS 153,8°BT), pendaratan pasukan ditunda hingga 17 Mei.

Sementara itu, armada TF16 di bawah pimpinan Halsey mencapai Pasifik Selatan dekat Efate,
dan pada 13 Mei berlayar ke utara untuk mencegat kapal-kapal Jepang yang mendekati Nauru dan
Kepulauan Ocean. Setelah mendapat laporan intelijen tentang operasi berikutnya Armada Gabungan
Jepang ke Midway.

Nimitz pada 14 Mei memerintahkan Halsey untuk memastikan pesawat pengintai Jepang dapat
melihat kapal-kapal Halsey pada hari berikutnya. Nimitz setelah itu segera kembali ke Pearl Harbor.
Pada 10.15 tanggal 15 Mei, pesawat pengintai Kawanishi dari Tulagi melihat TF16 di 445 nautical
mile (824 km) timur Kepulauan Solomon. Gerak tipu kapal-kapal Halsey berhasil.

Setelah mencemaskan serangan udara kapal induk Amerika Serikat terhadap pasukan invasi
Jepang, Inoue segera membatalkan Operasi RY. Kapal-kapal diperintahkannya untuk kembali ke
Rabaul dan Truk. Pada 19 Mei, TF16 yang kembali ke kawasan Efate untuk mengisi bahan bakar, dan
berbelok menuju Pearl Harbor. TF16 tiba di Pearl Harbor pada 26 Mei, sementara Yorktown tiba
pada hari berikutnya.

Shōkaku tiba di Kure, Jepang, pada 17 Mei. Dalam perjalanan, kapal induk ini hampir terbalik
akibat kerusakan yang diderita selama pertempuran. Zuikaku tiba di Kure pada 21 Mei, setelah
berhenti sebentar di Truk pada 15 Mei.

Berbekal sinyal intelijen, Amerika Serikat mengerahkan delapan kapal selam di sepanjang rute
yang diperkirakan akan dilewati kapal-kapal induk Jepang sewaktu kembali ke Jepang. Namun, kapal-
kapal selam tersebut tidak berhasil melakukan serangan.

Staf Umum Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memperkirakan perlu waktu dua hingga tiga bulan
untuk memperbaiki Shōkaku dan melengkapi kembali skuadron udaranya. Oleh karena itu, Shōkaku
dan Zuikaku keduanya tidak dapat ikut serta dalam operasi Yamamoto yang berikutnya di Midway.

Shōkaku dan Zuikaku bergabung kembali dengan Armada Gabungan pada 14 Juli dan berperan
utama dalam pertempuran antarkapal induk yang berikutnya melawan Amerika Serikat. Lima kapal
selam kelas I yang mendukung Operasi MO dialihkan untuk mendukung penyerangan ke Pelabuhan
Sydney.

Tiga minggu kemudian sebagai bagian dari usaha mengganggu jalur logistik Sekutu. Dalam
perjalanan ke Truk, I-28 terkena tembakan torpedo dari kapal selam Amerika Serikat Tautog dan
tenggelam berikut semua awaknya.

Anda mungkin juga menyukai