Anda di halaman 1dari 6

PENCULIKAN 7 JENDRAL LUBANG BUAYA 30 S PKI

A. Pemberontakan
Peristiwa sejarah terbunuhnya tujuh jendral TNI Angkatan Darat akibat pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga kini masih menyisakan sejumlah tanya. Buntut dari
kejadian yang dikenal dengan G30SPKI itu juga mengakibatkan tewasnya ratusan ribu penduduk
Indonesia yang diduga penganut paham ataupun keturunan komunis.
Pemberontakan yang menurut versi Orde Baru disebut-sebut sebagai sebuah peristiwa yang
merusak keutuhan Pancasila dimana terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap 7 orang
jenderal yaitu Jendral TNI Ahmad Yani, Letjen TNI MT Haryono, Letjen TNI S Parman, Letjen
TNI Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo, Mayjen TNI DI Panjaitan dan Jenderal AH Nasution yang
berhasil lolos sehingga ajudannya Letnan Pierre Tandean yang diculik oleh gerombolan PKI.
Selang hanya satu hari yaitu pada 1 Oktober 1965 para pelaku pemberontakan itu berhasil
diringkus dan ke 7 korban penculikan dan pembunuhan berhasil ditemukan di kawasan Lubang
Buaya, Halim, Jakarta Timur dibawah komando seorang perwira tinggi yang lolos dari target
penculikan dan pembunuhan yaitu Mayjen TNI Soeharto.

B. Penculikan
pada tanggal 30 September 1965 meletuslah pemberontakan PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965
dini hari menjelang subuh, PKI mengadakan penculikan terhadap perwira-perwira Angkatan
Darat dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi. Penculikan-penculikan itu dilakukan oleh
beberapa anggota pasukan Cakrabirawa (Barisan Pengawal Presiden) di bawah pimpinan
Kolonel Untung. Mereka menculik dan menyiksa para perwira Angkatan Darat tanpa mengenal
perikemanusiaan.

Setelah itu jasad para perwira tadi dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya di Jakarta.
Adapun beberapa perwira TNI Angkatan Darat yang diculik tersebut adalah:
1. Letnan Jenderal Akhmad Yani
2. Mayor Jenderal Suprapto
3. Mayor Jenderal M.T. Haryono
4. Mayor Jenderal S. Parman

5. Brigadir Jenderal Panjaitan


6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Kemudian usaha penculikan terhadap diri Jenderal A.H. Nasution gagal, tetapi ajudannya Lettu
Pierre Tendean berhasil diculik dan dibunuh di Lubang Buaya juga. Bahkan putri tercinta A.H
Nasution, Ade Ima Suryani yang baru berusia 5 tahun juga menjadi korban keganasan para
penculik PKI.

Peltu Polisi Karel Sasuit Tubun juga gugur dalam melawan gerombolan penculik yang sedang
memasuki halaman rumah Leimena. Disamping itu, pembunuhan juga berlangsung di berbagai
daerah. Di Yogyakarta kaum pemberontak telah menculik Kolonel Katamso dan Letkol
Sugiyono.

Kemudian kesepuluh perwira di atas, oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan
Revolusi.

Melihat keadaan yang cukup gawat itu, maka Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima
KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), segera mengambil tindakan tegas. Tanggal 1
Oktober 1965 keadaan ibu kota sudah dapat dikuasai. Kemudian untuk menumpas kekuatan G 30
S/PKI di berbagai daerah di kirimkanlah pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo
Edi. Dalam waktu singkat PKI dapat dilumpuhkan. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap. Sedang
D.N Aidit yang merupkan pimpinan utama PKI tertembak mati di daerah Surakarta. Dengan
demikian keadaan keamanan dapat dipulihkan.

C. Peristiwa G 30 S/PKI
Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional. Pada hari itu Dasar Negara
Pancasila akan diganti komunisme oleh PKI. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, maka ABRI dan rakyat di bawah pimpinan Mayor
Jenderal Soeharto dapat menggagalkan usaha PKI. Pancasila tetap kokoh sebagai dasar negara
RI.

Oleh karena itu, maka pada setiap tanggal 1 Oktober kita peringati sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. PKI merupakan partai yang mendapat dukungan dari Soekarno begitupun sebaliknya
PKI sangat mendukung kepemimpinan Soekarno yang anti Amerika dan pro kepada Uni Soviet

dimana politik sosialis demokratik dan azas pemerataan diutamakan itulah yang membuat PKI
merasa sangat berkepentingan untuk mencegah pemberontakan dewan jenderal tersebut. Setelah
melakukan pertemuan-pertemuan diantara petinggi PKI akhirnya disepakati bahwa aksi
penumpasan dewan jenderal akan dilakukan pada tanggal 30 September 1965. Dalam rapat-rapat
yang dilakukan para pimimpin PKI tidak disinggung sedikitpun tentang Soeharto meskipun
termasuk seorang perwira berpangkat tinggi tapi mungkin dianggap tidak membahayakan
kepentingan mereka.
Hingga pada tanggal 30 September 1965 pukul 4 pagi dilaksanakanlah aksi penumpasan
para jenderal dengan menculik 7 jendral yang dijadikan target PKI. Para jenderal tersebut
kemudian dibawa ke lubang buaya dimana disana telah menunggu massa pendukung PKI,
mereka telah berkumpul sejak tanggal 29 September sore. Massa pendukung PKI diberikan
kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap ketujuh orang jenderal tersebut yang dianggap
telah menyengsarakan rakyat. Sebelum melakukan penyiksaan dan pembunuhan mereka
bernyanyi-nyanyi dan berpesta pora di lubang buaya tersebut.
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera
bertindak cepat, penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut telah membuat lumpuhnya
TNI Angkatan Darat. Dan sesuai kebiasaan yang berlaku bahwa apabila Menteri/Panglima
Angkatan Darat berhalangan maka Penglima Kostrad yang mewakilinya sehingga untuk
sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto. Berdsarkan
laporan lengkap yang disampaikan oleh Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya yang saat itu
dijabat Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah maka diambil langkah-langkah
mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan yang berada di Jakarta, kecuali Angkatan Udara yang
ternyata panglimanya adalah salah seorang pendukung G 30 S/PKI tersebut.
Setelah dilakukan penelitian dan penilaian maka Panglima Kostrad mengambil
kesimpulan sebagai bahwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal merupakan bagian
daripada usaha perebutan kekuasaan pemeritah; pimpinan Angkatan Udara terlibat dalam
membantu usaha tersebut; pasukan-pasukan Batalyon 454/Para Divisi Diponegoro dan Batalyon
530/Para Divisi Brawijaya yang berada di lapangan Merdeka, berdiri di pihak yang melakukan
perebutan kekuasaan. Kedua pasukan ini di datangkan ke Jakarta dalam rangka hari ulang thaun
ABRI
5
Oktober
1965.
TNI dibawah komando Soeharto pada 1 Oktober berhasil menguasai pangkalan udara Halim
Perdanakusumah dan Lubang Buaya, kemudian keesokan harinya yaitu tanggal 2 Oktober 1965
jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang Buaya dan dimakamkan bertepatan
dengan ulang tahun ABRI yaitu tanggal 5 Oktober 1965 di TMP Kalibata. Beberapa orang yang
terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI kemudian melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau
Jawa termasuk Letkol Untung yang akhirnya berhasil ditangkap di Tegal pada tanggal 11
Oktober 1965, D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI waktu itu ditangkap di Surakarta pada 22
November 1965 dan tokoh-tokoh PKI lainnya.
Tuntutan untuk membubarkan PKI, bubarkan kabinet seratus menteri dan turunkan harga
kemudaian dikumandangkan oleh para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi hingga
salah seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia Arif Rahman Hakim tewas dalam aksi

demonstrasi tersebut yang kemudian mendapat gelar pahlawan amanat penderitaan rakyat
(Ampera). Gejolak politik yang terjadi pada saat itu membuat Soekarno mengeluarkan surat
perintah yang dibuat pada tanggal 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal dengan Supersemar,
isinya memberikan amanat kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan demi
mencapai keamanan dan ketenangan. Supersemar ini merupakan titik awal berdirinya rezim Orde
Baru karena pada tanggal 12 Maret 1966 PKI dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh
Indonesia, semua orang yang diindikasikan terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI dibersihkan dari
kabinet dan berdirilah kabinet Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun.

D. Proses Penculikan Para Jendral


Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang rumah, yang kedua
menjaga didepan rumah, dan group ketiga dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan dan Sersan
Dua Raswad, memasuki perkarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka berdua menyapa
pasukan penjaga bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden Sukarno. Melihat
seragam Tjakrabirawa mereka tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian diikuti oleh group
penyerang dengan cepatnya melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan dipintu, pembatu
rumah tangga membuka pintu, dan secepatnya didorong kesamping. Setelah mereka masuk
kedalam rumah, group yang dipimpin oleh Sersan Raswad menjumpai anak laki berumur 7
tahun; Eddy putra Jenderal Yani yang sedang mencari Ibunya.
Eddy diminta membangunkan Jenderal Yani, kemudian keluar mengenakan pakaian
pajama, Raswad mohon agar Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani
meminta tunggu untuk mandi, akan tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu
tukar pakaian. Karena sadar apa yang terjadi kemudian Jenderal Yani memukul salah satu
prajurid, dan masuk kedalam kamarnya secepatnya untuk mengambil senjata, dan menutup pintu
berjendela gelas dibelakangnya. Raswad kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan
tembakan. Sejumlah 7 peluru menembus pintu dan menewaskan Jenderal Yani saat itu juga.
Sebagian dari group, yang terdiri dari Raswad dan Gijadi, juga Korporal Djamari, Prajurid
Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu Sudijono, menyeret jenasahnya keluar dan melemparkan
kedalam salah satu bus yang sedang menunggu. Kemudian mereka semua kembali melalui
Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana Mukidjan melaporkan hasil tugasnya kepada Doel
Arief.
Penculikan terhadap Jenderal Soeprapto: Karena rumah Jenderal Soeprapto tidak dijaga,
maka hanya diperlukan pasukan dalam jumlah kecil. Dengan menggunakan pasukan yang
dimuati dalam satu Toyota Truk dibawah pimpinan Sersan Dua Sulaiman dan Sukiman. Jumlah
mereka sebanyak 19 orang, dipersenjatai dengan Sten guns, Garrand, dan Senapan Chung.
Walaupun Letnan Doel Arief sudah membawa Sersan Sulaiman malam sebelumnya
dimana lokasi rumah ini, namun menyasar 2 kali kealamat yang salah di Jalan Besuki. Regu
kecil ditempatkan dikiri dan kanan rumah, sementara regu utama memasuki halaman rumah.
Kemudian pecah menjadi 3 kelompok, yang pertama dan kedua menjaga pintu masuk utama, dan
garasi. Lalu yang ketiga memasuki rumah dipimpin oleh Sulaiman.

Malam itu Jenderal Soeprapto tidak dapat tidur, dan diganggu oleh suara anjingnya, lalu
Soeprapto berjalan keluar dengan T-Shirt, sarung, dan sandal jepit. Korporal Dua Suparman
menjawab sapaan Jenderal Soeprapto, dengan memberikan salut dan katakan Presiden ingin
temui dirinya. Tanpa memberi kesempatan untuk berpakaian, menutup pintu secepatnya
Suparman menyeret Jenderal Soeprapto ke Toyota Truk. Istri dari Jenderal Soeprapto yang
menyaksikan kejadian itu melalui jendela sangat kaget dan kecewa, dan percaya bahwa
suaminya ditahan. Kemudian mencoba menghampiri suaminya namun dihalangi oleh pasukan
pimpinan Sersan Dua Sulaiman, yang membawa Soeprapto ke Lubang Buaya.
Penculikan terhadap Jenderal Parman: Pagi itu kira-kira jam 4:00 pagi, ketika satu group
dengan jumlah 20 tentara muncul diluar rumah Parman dijalan Serang. Mendengar suara diluar,
Jenderal Parman dan istri yang sedang bergadang keluar kehalaman kebun mereka, mengira ada
maling dirumah tetangga. Kemudian melihat group dari Tjakrabirawa didalam halamannya, lalu
bertanya; ada apa?
Mereka katakan diperintahkan untuk menjemput untuk menemui Presiden. Tanpa curiga
dan tanpa berikan tanda kecurigaan, Parman masuk kedalam rumah diikuti oleh sebagian
Tjakrabirawa dan berhasil ganti pakaian dinas Walaupun sebagai istri sangat tersinggung dan
merasa mereka sangat kurang sopan, namum Parman diberikan kesempatan untuk ganti pakaian
dinas, sebelum jalan membisikan istrinya untuk hubungi Jenderal Yani secepatnya. Jenderal
Parman berpikir dirinya ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Tapi begitu mereka akan pergi
salah satu anggota Tjakrabirawa mencabut dan membawa telephone rumahnya.
Walaupun Jenderal Parman sadar apa yang terjadi namum tidak melakukan perlawanan
dalam perjalanan ke Lubang Buaya. Lima belas menit kemudian Ibu Harjono datang menangis
mengatakan suaminya telah ditembak mati, menyadarkan apa yang telah terjadi. Namum, istri
dari Jenderal Parman terganggu oleh anggota Tjakrabirawa yang sering kali menjemput
suaminya pada waktu diluar jam kerja, yang menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat Intelijen
atas perintah Presiden tidak sadar apa yang terjadi saat itu.
Penculikan terhadap Jenderal Sutoyo Siswomiharjo: Pasukan penyerang dipimpin oleh
Sersan Mayor Surono yang menerima perintah langsung dari Doel Arief secara pribadi.
Kelompok ini memulai dengan menutup jalan Sumenep dimana korban tinggal. Ketika itu
kebenaran ada Hansip yang sedang patrol, senjata mereka dilucuti satu persatu. Kemudian seperti
halnya dengan modus operandi terhadap penculikan Jenderal lainnya, group ini dibagi tiga
squads, yang pertama menempatkan diri didepan, yang kedua dibelakang rumah dan yang ketiga
melakukan penculikan. Dengan membujuk Jenderal Sutoyo membuka pintu kamarnya dengan
alas an akan memberikan surat dari Presiden. Kemudian mengikat tangannya dibelakang kepala
dan menutup kedua matanya lalu mendorong kedalam truk yang sedang menunggu, kemudian
mereka mencapai Lubang Buaya secepatnya.
Penculikan terhadap Jenderal Pandjaitan: Tidak seperti para Jenderal lainnya, Pandjaitan
tinggal di Kebayoran Baru, didaerah Blok M, dijalan Hasanudin. Rumahnya seperti typical
model Kebayoran, mempunyai 2 lantai, tidak seperti rumah yang model klasik di Menteng.
Kamar keluarga Pandjaitan semuanya berada dilantai 2. Disebelah rumah tapi dalam satu
komplek, terdapat ruangan kecil dimana ada 3 saudara laki-laki yang tinggal. Dua truk penuh

dengan tentara muncul dijalan Hasanuddin, dan yang satu memarkir didepan dan yang kedua
dibelakang.

Setelah melewati pagar besi disekitar rumah, pasukan penculik memasuki ruangan
dibawah tangga, membanguni pembantu rumah tangga yang sudah tua. Sangat ketakutan
mengatakan majikan tidur diatas. Keributan didalam rumah telah membuat seluruh keluarga
bangun, mengira rumahnya sedang dikunjungi oleh pencuri lalu merampas pistol dari para
penculik. Mereka segera ditembak oleh pasukan penculik. Salah satunya Albert Silalahi,
kemudian tewas di rumah sakit dari luka tembakan. Sementara itu dilantai dua istri Jenderal
Pandjaitan dalam kepanikannya bertanya apakah hal ini semacam latihan? Tapi mengatakan hal
ini bukan latihan sama sekali.
Melihat seragam Tjakarabirawa dilantai satu, dirinya mengira pasti ada pesan dari Istana,
tetapi ancaman yang berlangsung meyakinkan bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat janggal.
Prajurid dibawah sangat nervous untuk tidak naik kelantai dua, lalu berteriak dan memerintahkan
Jenderal Pandjaitan untuk turun kebawah, tapi ditolaknya. Pertama Jenderal Pandjaitan mencoba
menghubungi Polisi, tetangga, kemudian Kolonel Samosir, tapi gagal. Karena telephone line
sudah dipotong. Lalu mencoba menggunakan Stengun untuk menghalau penyerang, tapi
senjatanya macet.

Anda mungkin juga menyukai