Anda di halaman 1dari 7

Nama : Bima Ferdihan Putri

Kelas : 5

PERANAN LAKSAMANA TADASHI MAEDA, MR. AHMAD


SOEBARDJO DAN SAYUTI MELIK DALAM PERUMUSAN NASKAH
PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI
A. Laksamana Muda Tadashi Maeda
Laksamana Muda Maeda
Tadashi (lahir
di Kagoshima, Jepang, 3
Maret 1898 meninggal 13
Desember 1977 pada umur 79
tahun) adalah seorang perwira
tinggi Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang di Hindia Belanda pada
masa Perang Pasifik. Selama
pendudukan Indonesia di bawah
Jepang, ia menjabat sebagai Kepala
Penghubung Angkatan Laut dan
Angkatan Darat Tentara Kekaisaran
Jepang. Laksamana Muda Maeda
memiliki peran yang cukup penting
dalam kemerdekaan
Indonesia dengah mempersilakan
kediamannya yang berada di Jl.
Imam Bonjol, No.1, Jakarta
Pusat sebagai tempat penyusunan
naskah proklamasi oleh Soekarno, Mohammad Hatta dan Achmad
Soebardjo, ditambah sang juru ketik Sayuti Melik. Selain itu, dia juga
bersedia menjamin keamanan bagi mereka. Kini, bekas kediamannya itu
menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

B. Sayuti Melik
Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (lahir
di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 meninggal di Jakarta, 27
Februari 1989 pada umur 80 tahun), dicatat dalam sejarah Indonesia
sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dia
adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis
perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan. Masa
Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias
Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa diSleman, Yogyakarta[1].
Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah

Ongko Loro (Setingkat SD) di desa


Srowolan, sampai kelas IV dan
diteruskan sampai mendapat Ijazah di
Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan
oleh

ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu


ayahnya menentang kebijaksanaan
pemerintah Belanda yang menggunakan
sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia
belajar nasionalisme dari guru sejarahnya
yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink.

Pada

usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik

membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo,


ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam,
memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang
penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama
dengan Bung Karno terjadi di Bandungpada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh
Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan
selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris,
dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris
ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang
Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat
dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938
mereka menikah.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga
kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil,
pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi
hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka
mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan
politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda
(PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan,
Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang
komunis.

Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin
Empat Sekawan Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas
Mansoer. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti,
lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa
Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan
Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung
Karno[2].

Anggota PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan
diketuai oleh Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21
orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6
orang termasuk didalamnya Sayuti Melik[3].

Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam
penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa
Rengasdengklok). Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni,
dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, membawa Soekarno (bersamaFatmawati dan Guntur yang baru
berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang [4].
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan
para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. [5] Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad
Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta [6]. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok [7]. Mereka
menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad
Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru
memproklamasikan kemerdekaan[8].

Naskah Proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad
Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda[9]. Wakil para pemuda, Sukarni dan
Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut
menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dinihari 17 Agustus 1945,
konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para

pemuda menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh


Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk
mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi
"Atas nama bangsa Indonesia".

Era Setelah Kemerdekaan


Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada
tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap
sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam
"Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia
dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR
sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan[10].

Menentang Sukarno
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung
Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya
memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang
gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan
mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi
"sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai
presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami
Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang [11].
Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno
dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak
membonceng kharisma Bung Karno.

Masa Orde Baru


Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi
anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Mangkat
Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit,
dan dimakamkan di TMP Kalibata

Penghargaan

Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden


Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

C. Dr. Ahmad Soebardjo


Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir
di Karawang, Jawa Barat, 23
Maret 1896 meninggal 15 Desember 1978pada
umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia adalahMenteri Luar Negeri Indonesia
yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki
gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh
diUniversitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23
Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, [1] masih keturunan
bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah
adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf
adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk
Jambe, Kerawang.[2] Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah.[2] Ia keturunan
Jawa-Bugis,[1] dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon. [2]
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya
memberinya nama Achmad Soebardjo. [1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya
sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3
Juli 1946".[3]
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de
Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada
tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi
seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan
Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad

Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa


"Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama
di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga
ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal
dari Asia dan Afrika.[4] Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lain,
membawa Soekarno dan Moh. Hattake Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. [5] Peristiwa ini
dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan
para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. [6] Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan
perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[7] Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk
mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. [8] Mereka menjemput
Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan
kemerdekaan.[9]
Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda.[10] Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.

Masa setelah kemerdekaan


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar
Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain
itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahuntahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah


Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas
Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978) di
Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor.[3] Pemerintah mengangkat almarhum
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai