Anda di halaman 1dari 4

TOKOH PEJUANG SAYUTI MELIK

Nama kelompok:
- Adhelia Grace Pakiding
- Aurelian Valdis Matangkin
- Christian Irgi
- Nadine Juaneta
- Prisca Windy Aprili Lumme

1. IDENTITAS TOKOH PEJUANG SAYUTI MELIK


Nama Lengkap : Sayuti Melik ( Mohamad Sayuti Melik)
Tempat/Tanggal Lahir : Kadilobo, Rejodani, Sleman,Jogja, 25 November 1908
Nama Ayah : Abdul Mu’in
Nama Ibu : Sumilah
Nama Istri : Surastri Karma Trimutri
Nama Anak : - Moesafir Karma Boediman
-Heru Baskoro
Pendidikan : Sekolah Guru di Solo
Pekerjaan : Wartawan Politisi
Perjuangan Tokoh : Mengetik naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia

2. Kisah Sayuti Melik


Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (22 November 1908 – 27
Februari 1989), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang
wartawati dan aktivis perempuan pada zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Masa Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito,
seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.[1] Sedangkan ibunya bernama
Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai
kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu
ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk
ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang
berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca
majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri.
Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi
perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya
yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada
tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven
Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun.
Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta,
dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam
berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu
dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu
terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi
dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam
pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul
selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti
ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat
Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu
Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta
untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat
Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus
berada di sisi Bung Karno.[2]

Anggota PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir.
Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan
Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.[3]

Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno
dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan)
dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang.[4]
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang
telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[5] maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. [6] Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan
para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.[7]

Teks Proklamasi

Teks asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional


Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda.[1] Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-
masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan
para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat
oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani
Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung
Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil
bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".

Era setelah kemerdekaan


Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada
tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap
sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam
"Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia
dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR
sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.[8]

Menentang Soekarno
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Hal ini terbukti dengan dirinya yang
menjadi anggota PNI.[9] Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam
suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang
gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom
menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang
pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar
Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang.
[10]
Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno
dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng
kharisma Bung Karno.

Masa Orde Baru


Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR,
mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Kematian
Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan
di TMP Kalibata.

Penghargaan
Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang
Mahaputera Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

Anda mungkin juga menyukai