Nama tokoh satu ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah proses berdirinya Republik Indonesia. Sutan
Syahrir dikenal sebagai seorang pemikir dan juga perintis berdirinya Republik Indonesia. Ia dikenal
dengan julukan ‘Si Kancil’ dan juga ‘The Smiling Diplomat.’Beliau dikenal sebagai perdana menteri
pertama Indonesia ketika Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945. Berkat jasa-jasanya pula,
pemerintah Indonesia memberikan tanda kepada Sutan Syahrir sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Mengenai biografi, profil dari Sutan Syahrir sendiri, beliau lahir pada tanggal 5 maret 1909 di kota
padang panjang, Sumatera Barat. Ia mempunyai saudara perempuan bernama Rohana Kudus.
Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih
dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat.
Orang tua Sutan Syahrir merupakan orang yang terpandang di Sumatera. Ayahnya menjabat sebagai
penasihat Sultan Deli dannjuga kepala jaksa atau landraad pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Karena lahir di keluarga yang kondisi ekonominya berkecukupan, Sutan Syahrir masuk di sekolah
terbaik pada zaman kolonal Belanda ketika itu. Ia memulai pendidikannya di ELS (Europeesche
Lagere School) atau setingkat sekolah dasar.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama atau SMP. Disini ia kemudian banyak
membaca buku-buku asing terbitan eropa dan juga karya-karya sastra dari luar. Tamat dari MULO
pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare
School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.
Mulai Terjun ke Dunia Organisasi
Di AMS, ia menjadi siswa terbaik disana, Sutan Syahrir banyak menghabiskan waktunya dengan
membaca buku-buku terbitan Eropa dan juga mengikuti klub kesenian di sekolahnya. Ia juga aktif
dalam klub debat di AMS. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah bernama Tjahja Volksuniversiteit
(Cahaya Universitas Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dan dari keluarga yang
kurang mampu.
Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun kedalam dunia politik ketika itu.
Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai penggagas dalam berdirinya Jong Indonesië (himpunan
pemuda nasionalis) pada tanggal 20 februari 1927 yang kemudian mengubah nama menjadi Pemuda
Indonesia. Pemuda Indonesia kemudian menjadi penggerak dimulainya Kongres Pemuda Indonesia
yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 1928.
Sebagai seorang pelajar ketika itu, Sutan Syahrir kerap dikejar-kejar oleh polisi Belanda di Bandung
karena sering membaca berita mengenai pemberontakan PKI pada tahun 1926 yang ketika itu
terlarang untuk dibaca bagi pelajar sekolah. Sutan Syajrir juga merupakan pemimpin redaksi dari
Himpunan Pemuda Nasional yang kerap berurusan dengan kepolisian Bandung kerena kerap
mengkritik pemerintahan kolonial ketika itu.
Kuliah di Belanda dan Menjadi Aktivis Sosialis
Tamat dari AMS, ia kemudian berangkat ke Belanda dan melanjutkan kuliahnya disana. Ia kemudian
masuk fakultas hukum di Universitas Amsterdam, di Belanda. Disana, Sutan Syahrir banyak
mempelajari teori-teori sosialisme hingga kemudian ia dikenal sebagai seorang sosialis yang
cenderung ke ‘kiri’ dan bersikap radikal terhadap hal-hal yang berbau kapitalisme. Di Belanda, beliau
bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Disana juga ia kemudian berkenal dengan Salomon Tas yang merupakan Ketua Klub Mahasiswa
Sosial Demokrat, dan juga wanita bernama Maria Duchateau yang kelak menjadi istrinya yang ia
nikahi pada tahun 1932. Di Belanda juga, Sutan Syahrir bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI)
yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Khawatir akan pergerakan organisasi pergerakan pemuda Indonesia, kemudian pemerintah Belanda
dengan ketat mengawasi bahkan melakukan aksi razia seperti memenjarakan para pemimpin
pergerakan seperti Ir. Soekarno hingga kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh aktivis PNI
sendiri. Bersama dengan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir selalu menyerukan untuk melakukan
pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka menuangkan tulisan mereka melalui majalah
Daulat Rakjat yang dimiliki oleh Pendidikan Nasional Indonesia.
“Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan.” – Sutan
Syahrir.
Melihat menurunnya semangat pergerakan di Indonesia akibat pengawasan pemerintah kolonial
Belanda yang ketat membuat Sutan Syahrir pada 1931 memilih berhenti kuliah dan kemudian kembali
ke Indonesia untuk melanjutkan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia.
Pengalamannya dalam berorganisasi ketika masih menjadi pelajar dan juga ketika kuliah di Belanda
membuat ia segera bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang diketuainya pada
tahn 1932. Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosialis, Sutan Syahrir juga ikut tergabung dalam
pergerakan buruh. Tulisan-tulisan Syahrir tentang perburuhan kia tuangkan dalam majalan Daulat
Rakjat dan sering berbicara mengenai buruh di forum-frum politik sehingga membuat Sutan Syahrir
di daulat sebagai ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai diplomat muda yang ulung berkat pidatonya ketika ia
mewakili Indonesia di sidang umum PBB. Bahkan beberapa wartawan kemudian menyebut Sutan
Syahrir dengan julukan The Smiling Diplomat. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri,
Sutan Syahrir kemudian menjadi penasihat Presiden Soekarno dan juga sebagai Duta Besar untuk
Indonesia. Tahun 1948, Sutan Syahrir kemudian mendirikan Partai PSI (Partai Sosialis Indonesia)
yang berhaluan kiri dan berdasar atas ajaran Marx-Engels yang menjunjung tinggi persamaan derajat
manusia. Di tahun itu juga ia kemudian berpisah dengan Maria Duchateau.