Anda di halaman 1dari 2

Sutan Syahrir

Sutan Syahrir atau dalam ejaan lama Soetan Sjahrir lahir di Padang
Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909. lahir dari pasangan Mohammad Rasad
gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti
Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya
menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa di Medan. Sutan
Syahrir dikaruniai dua orang anak, yakni Kriya Arsyah dan Siti Rabyah Parvati,
dari pernikahannya dengan Siti Wahyunah, pada 1951. Sutan syahrir merupakan
perdana mentri pertama indonesia.
Sutan Syahrir mengenyam pendidikan di sekolah dasar (ELS) dan sekolah
menengah (MULO) terbaik di Medan. Pada 1926, ia selesai dari MULO dan masuk
sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat
itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia
(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Di kalangan siswa
sekolah menengah (AMS) Bandung, Sutan Syahrir menjadi seorang bintang.
Sutan Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan
pemuda nasionalis, Jong Indonesi. Perhimpunan itu kemudian berubah nama
jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda
Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sutan Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas
Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara
sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Selain menceburkan
diri dalam sosialisme,Sutan Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI)
yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Pengujung tahun 1931, Sutan
Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam
pergerakan nasional. Sutan Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai
Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Ia memuat
banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap
berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir
didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta
dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNInya yang mengandalkan mobilisasi massa. Karena takut akan potensi
revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda
menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa
pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di
Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa
pembuangan selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang,
Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin
Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan
mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Sutan
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk

memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah


menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan
aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Guna mendesak
lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus.
Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17
Agustus. Pada November 1945, Syahrir didukung kalangan pemuda dan ditunjuk
Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah
lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia,
sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan
Menteri Dalam Negeri.
Sutan Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan
dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang
Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat
pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah
badai revolusi.
Sutan syahri diculik pada tanggal 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok
oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat
merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Setelah kejadian penculikan
Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana
Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946,
Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat
melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15
November 1946.
Sjahrir pun dijuluki The Smiling Diplomat. Sejak akhir Januari 1950,
Sutan Sjahrir tidak lagi memegang suatu jabatan negara. Pada tahun 1955,
Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir gagal mengumpulkan suara dalam
pemilihan umum pertama di Indonesia. Sutan Sjahrir wafat dalam pengasingan
sebagai tawanan politik dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.

Daftar Pusaka:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Syahrir

Anda mungkin juga menyukai