Anda di halaman 1dari 8

Biografi KH.

Zainul Arifin Pohan - Pahlawan Kemerdekaan


Nasional
Terlahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909, Kiai Haji Zainul
Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU)
terkemuka yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan
NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963

Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan


Lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Ayahnya bernama Sultan Ramali bin
Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dan ibundanya adalah bangsawan asal Kotanopan,
Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Kedua orang tuanya bercerai Ketika Zainul masih balita
sehingga memaksa ibunya membawa pindah Zainul Arifin ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci,
Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru,
Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah di surau dan
saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif
dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain
biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern
Indonesia.

Dari Gemeente ke GP Ansor


Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke Batavia (Jakarta) dan sempat diterima bekerja di
pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di
Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena
PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda.
Selepas bekerja Gemeente kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan
pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis
(Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang
membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum
namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara
musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok
samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab
bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam
kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang
ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda. Pengetahuan agama dan ketrampilan
berdakwahnya sebagai muballigh muda semakin meningkat selama menjadi anggota GP Ansor, hal
ini disebabkan oleh pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat
dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor
termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam
beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya
sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di perusahaan air minum (PAM) pemerintah
kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara
dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara
bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung
dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU,
mula-mula sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul
NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

Menjadi Panglima Hizbullah Masyumi


Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah, hal itu ia lakukan
Selama era pendudukan militer Jepang. Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan,
organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam
pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk
model kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk
pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas,
Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut
lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima
Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat
Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik,
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta
Paska Proklamasi Kemerdekaan

Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan
Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain
mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin
juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama
Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi
atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi
Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan
Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat
sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Tugas utama Zainul
melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah
komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu
wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk
Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan
tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan
Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur
politik.

Berkiprah di Legislatif dan Eksekutif


Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian
wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun
1952. Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil
perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh
(1953-1955). Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu
hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai
tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan
Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama
dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang
berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud. Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang
berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi
NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai wakil
ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga
lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD
baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi
Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk
menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai
agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.
Karier politik

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR. Hingga akhir
hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian partai NU setelah NU
keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana
menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan
eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-
Afrika di Bandung pada 1955. Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota
Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR
Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis
Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul
Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang
pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden. Kiai Haji Zainul Arifin meninggal di
Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama
sepuluh bulan. Ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 4 Maret 1963 Keppres No. 35
Tahun 1963.

(Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia)

Nama : Qonita Islami Safitri


KUTIPAN-KUTIPAN KAHAZA:
"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan
dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama.
Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus
menuntut dan mempertahankan Kemerdekaan. Jika perlu
dengan jiwa raganya."

(13 September 1944, Rapat Umum Umat Islam di Taman


Raden Saleh Jakarta)
Sumber: Harian TJAHAJA, 15 September 1944, p.1

"Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya


sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan
sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk
menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu
kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita
membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan
Jawa.
(30 Juli 1944, Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 Ulama)
Sumber: Harian SINAR BAROE, 1 Agustus 1944, p.3.

"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan


dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama.
Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus
menuntut dan mempertahankan Kemerdekaan. Jika perlu
dengan jiwa raganya."
(13 September 1944, Rapat Umum Umat Islam di Taman Raden Saleh Jakarta)
Sumber: Harian TJAHAJA, 15 September 1944, p.1.
By : qonitaislamisafitri

Anda mungkin juga menyukai