Anda di halaman 1dari 553

Pengayaan Materi Sejarah

Pengayaan Materi
Sejarah

Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya


Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2015

i
Pengayaan Materi Sejarah

Pengayaan Materi Sejarah


Pengarah : Riset Ilustrasi :
1. Kacung Marijan 1. Isak Purba
Direktur Jenderal Kebudayaan 2. Tirmizi
2. Nono Adya Supriyatno 3. Agus Widiatmoko
Plt. Direktur Sejarah 4. Budi Harjo Sayoga
5. Hermasari Ayu Kusuma
Narasumber : 6. Esti Warastika
1. Taufik Abdullah 7. Dwi Artiningsih
2. Susanto Zuhdi
8. Maemunah
3. Mukhlis PaEni

Editor : Tata Letak & Grafis :


1. Kasijanto Sastrodinomo Agus Antoso
2. Amurwani Dwi Lestariningsih
Penerbit :
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
Penulis : Direktorat Jenderal Kebudayaan
1. Taufik Abdullah Kementerian Pendidikan dan
2. Linda Sunarti Kebudayaan
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan
3. G. Ambar Wulan Jakarta 10270
4. Suharto Telp./Fax . : 021-5725044
5. Saleh As’ad Djamhari
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
6. Rudy Gunawan Dilarang mengutip seluruh atau sebagian
7. Abdurakhman isi buku tanpa izin dari penerbit
8. Asep Suryana
Cetakan : Tahun 2015
ISBN : 978-602-1289-24-2

ii
Pengayaan Materi Sejarah

SAMBUTAN
Plt. DIREKTUR SEJARAH DAN
NILAI BUDAYA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memudahkan
kami dalam menyusun buku pengayaan materi sejarah. Isi buku ini
merupakan pengembangan dari silabus peminatan untuk kelas XII
tingkat Sekolah Menengah Atas yang mengkhususkan belajar sejarah
sebagai peminatan dalam kurikulum 2013.

Materi-materi yang terkandung di dalamnya mendorong pemahaman


yang lebih luas, kaya dan kritis terhadap peristiwa-peristiwa sejarah.
Wawasan tersebut membawa para pembaca mendekati sejarah dalam
perspektif keilmuan, yaitu kritis dan obyektif. Sejarah tidak lagi
dinterpretasikan secara tunggal, tetapi multiinterpretasi selama ada
sumber sahih yang memperkuatnya.

Buku ini ditulis oleh tim sejarawan dari berbagai perguruan tinggi.
Materinya meliputi Dunia pada Masa Perang Dingin; Perjuangan
Mempertahankan Integritas NKRI; Masa Demokrasi Parlementer; Masa
Demokrasi Terpimpin; Masa Orde Baru; Masa Reformasi; Globalisasi dan
Revolusi Teknologi.

iii
Pengayaan Materi Sejarah

Akhir kata, segenap kesempurnaan milik Tuhan Yang Maha Esa. Kami
menerima segala masukan dan saran untuk perbaikan penyusunan buku
ini di masa mendatang.

Plt. Direktur Sejarah dan Nilai Budaya

Nono Adya Supriyatno


NIP. 19580805 198503 1 002

iv
Pengayaan Materi Sejarah

SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan


manusia dalam masyarakat melalui dimensi ruang dan waktu memiliki
kedudukan penting sebagai sarana pendidikan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Secara filosofis, tujuan mempelajari sejarah antara lain adalah
untuk membuka kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa; memenuhi
dorongan keinginan tahu dan memberikan kesenangan manusia melalui
seni sastra; memperoleh pengetahuan yang dalam tentang makna,
arah atau petunjuk kehidupan di muka bumi; dan belajar dan
mengambil manfaat dari pengalaman manusia dari masa lampau.

Sejarah merupakan Guru Kehidupan. Sejarah mengajarkan kesadaran


akan waktu: adanya masa lampau, masa kini dan masa yang akan
datang. Sejarah mengajarkan kesadaran akan adanya apa yang telah
terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Sejarah memperkenalkan
segala pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan berfikir manusia dari
masa ke masa sehingga mampu mengajarkan daya kritis fikir kita dalam
membedakan mana yang faktual (historis) dan mana yang fiksi (mitos),
mana yang subyektif dan mana yang obyektif, mana yang sahih dan
mana yang tidak sahih. Sejarah suatu Bangsa juga menanamkan
kesadaran dan penghargaan terhadap mereka yang berjiwa pecinta

v
Pengayaan Materi Sejarah

tanah air (patriot) dan pahlawan bangsa (hero), dan mereka yang tidak
setia dan menjadi pengkhianat bangsa (traitor).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya sejarah dipelajari oleh generasi muda.
Bicara tentang pembelajaran, terkait erat dengan kurikulum. Kurikulum
2013 patut diapresiasi karena telah memberi lebih banyak jumlah jam
pelajaran bagi mata pelajaran Sejarah, yang terdiri dari “sejarah wajib
dan peminatan”, di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebijakan
ini memperlihatkan pentingnya sejarah dalam meningkatkan kecerdasan
dan kearifan bangsa.

Mata pelajaran “Sejarah Indonesia wajib” menekankan pada tujuan


membangun karakter bangsa sedangkan “sejarah Indonesia peminatan”
agar siswa berpikir (kritis) sejarah (historical thinking) dan
berketerampilan sejarah (historical skill). Jadi penekanan kompetensi
untuk peminatan lebih pada sejarah sebagai ranah “ilmu”.

Dan buku Pengayaan Materi Sejarah ini dimaksudkan sebagai bahan


bacaan (reader) dalam pembelajaran sejarah sebagai peminatan pada
kelas XII. Semoga buku ini dapat memberikan wawasan sejarah yang
kritis dan mendorong untuk mendalami sejarah sehingga menghasilkan
kearifan bangsa.

Direktur Jenderal Kebudayaan


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kacung Marijan
NIP. 1964.0325.198901.1.002

vi
Pengayaan Materi Sejarah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................... iii


SAMBUTAN .............................................................................. v
DAFTAR ISI .............................................................................. vii
P E N D A H U L U A N .............................................................. 1

BAB I. DUNIA PADA MASA PERANG DINGIN :


KEBANGKITAN ASIA AFRIKA DAN PERUBAHAN POLITIK GLOBAL
1.1. Asal Mula Perang Dingin ................................................... 36
1.1.1. Perlombaan Senjata .................................................. 43
1.1.2. Sistem Aliansi ............................................................ 44
1.1.3. Kegiatan Spionase .................................................... 45
1.1.4. Perlombaan Teknologi Ruang Angkasa ...................... 45
1.2. Kebangkitan Asia Afrika ....................................................... 46
1.2.1. Latar belakang Sejarah Cita Cita Bandung ................. 46
1.2.2. Konferensi Asia Afrika ............................................... 49
1.2.3. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika ............................ 56
1.2.4. Gerakan Non Blok ..................................................... 63
1.3. Kerja Sama Ekonomi Regional dan Internasional ................ 69
1.3.1. ASEAN ...................................................................... 69
1.3.2. AFTA/Asean Free Trade Area ..................................... 75
1.3.3. Uni Eropa (UE) ......................................................... 77
1.3.4 GATT dan WTO ......................................................... 80
1.3.5. APEC/Asia Pasific Economic Cooperation .................... 85
1.4. Berakhirnya Perang Dingin .................................................... 89
1.4.1. Runtuhnya Uni Soviet ................................................. 90
1.4.2. Reunifikasi Jerman ...................................................... 95

vii
Pengayaan Materi Sejarah

BAB II. PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN NKRI


2.1. Revolusi Indonesia dan Perjuangan
Bagi Eksistensi Republik ..................................................... 109
2.1.1. Krisis Awal Dalam Republik Baru ............................... 111
2.1.2. Tindakan Belanda Dalam Upaya
Rekolonisasi Indonesia .............................................. 116
2.1.3. Perjuangan Diplomasi dan Kembali
Ke Negara Kesatuan RI ............................................. 123
2.1.4. Munculnya Konsep Federalisme Dalam
Perundingan Belanda dan RI ..................................... 124
2.1.5. Perbedaan Pandangan Belanda dan Indonesia
Terhadap Federalisme ............................................... 140
2.1.6. Dari Konferensi Inter Indonesia Menuju KMB ............. 151
2.1.7. KMB, RIS, dan Kembali ke Negara Kesatuan RI .......... 157
2.1.8. Sebuah Refleksi Historis ............................................. 167

BAB III. MASA DEMOKRASI PARLEMENTER


3.1. Pendahuluan .................................................................. 175
3.2. Terbentuknya Kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia .......................................................... 176
3.3. Kabinet Jatuh Bangun .................................................... 184
3.3.1. Kabinet Sebelum Pemilihan Umum 1955 ............ 184
3.3.2. Kabinet Setelah Pemilihan Umum 1955 .............. 190
3.4. Menghadapi Pemberontakan-pemberontakan
pada Awal Tahun 1950-an Bangun ............................... 194
3.4.1. Pemberontakan APRA ....................................... 194
3.4.2. Peristiwa Andi Azis ........................................... 196
3.4.3. Pemberontakan RMS ........................................ 198
3.4.4. Pemberontakan DI/TII ....................................... 202
3.4.5. Peristiwa 17 Oktober 1952 .............................. 211
3.5. Konferensi Asia Afrika .................................................... 214
3.6. Pemilihan Umum Tahun 1955 ....................................... 224
3.7. Deklarasi Djuanda (Juanda) ............................................ 225
3.8. Pemberontakan PRRI dan Permesta ................................ 229
3.9. Kembali ke UUD 1945 ................................................... 231
3.10. Penutup ......................................................................... 233

viii
Pengayaan Materi Sejarah

BAB IV. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)


4.1. Pengantar ....................................................................... 235
4.2. Konsepsi Demokrasi Terpimpin
dan Revolusi Soekarno ................................................... 236
4.3. Oposisi dan Konflik ....................................................... 245
4.4. Kudeta Gerakan 30 September/PKI yang Gagal ............ 257
4.5. Konflik Pasca Kudeta G-30 S/PKI .................................. 266
4.6. Pemerintahan ............................................................... 287
4.7. Ilmu Pengetahuan dan Budaya ..................................... 307
4.8. Angkatan Bersenjata ..................................................... 307

BAB V. INDONESIA MASA ORDE BARU


5.1. Supersemar .................................................................... 343
5.2. Dualisme Kepemimpinan ............................................... 345
5.3. Lahirnya Orde Baru ....................................................... 348
5.4. Politik Indonesia Masa Orde Baru ................................... 349
5.5. Pemilihan Umum Masa Orde Baru ................................. 353
5.6. Rencana Pembangunan Lima Tahun .............................. 364
5.7. Orde Pembangunan ....................................................... 375
5.8. Keberhasilan Orde Baru ................................................. 379
5.9. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ................ 382
5.10. Kejatuhan Orde Baru .................................................... 383
5.11. Masa Transisi Orde Baru ke Orde Reformasi .................. 387
5.12. Refleksi ....................................................................... 388

BAB VI. MASA REFORMASI (1998 – SEKARANG)


6.1. Pendahuluan ................................................................. 393
6.2. Tuntutan dan Agenda Reformasi .................................... 394
6.3. Perkembangan Politik, ekonomi, sosial budaya dan
pendidikan di Era Reformasi ........................................... 400
6.3.1. Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie............. 400
6.3.2. Masa Presiden Abdurrahman Wahid .................. 412
6.3.3. Masa Presiden Megawati Soekarno Putri ............ 421
6.3.4. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ....... 431
6.4. Refleksi .......................................................................... 439

ix
Pengayaan Materi Sejarah

BAB VII. MEMBALIKAN STIGMA KOLONIAL SEPEREMPAT MANUSIA:


INDONESIA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
DAN REVOLUSI TEKNOLOGI

7.1. Konsep, Ciri-ciri, dan Alih Teknologi ............................. 448


7.2. Dampak Revolusioner Teknologi ................................... 461
7.3. Teknologi Modern: Ciri dan Evolusinya ......................... 466
7.4. Globalisasi sebagai Deteritorialisasi .............................. 471
7.5. Teknokrat Orde Baru dan Konteks Alih Teknologi ......... 481
7.6. Revolusi Hijau dan Swasembada Beras ......................... 493
7.7. Alih Teknologi Dirgantara Nasional dan Industri
Pesawat Terbang Nurtanio ........................................... 499
7.8. Globalisasi Ekonomi dan Perusahaan
Multinasional ............................................................. 507
7.9. Penutup ....................................................................... 515

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 525

x
Pengayaan Materi Sejarah

Pendahuluan
Historiografi Dalam Denyut Sejarah Bangsa

Cuplikan kisah dari kelampauan.1


Dalam sekian banyak tulisan tentang perkembangan historografi
Indonesia peristiwa ini telah terlupakan atau bahkan mungkin sekali
terabaikan saja. Tetapi kalau saja teks-teks yang bernuansa renungan
historis sempat diperhatikan maka tampaklah bahwa kritik pertama
tentang penulisan sejarah dari wilayah yang kini bernama Indonesia
dilancarkan oleh seorang putra bangsa yang sedang belajar di negeri
asing—di negeri dari bangsa yang sempat berhasil menjadikan dirinya
sebagai yang dipertuan di tanah air tercinta ini. Kritik ini dilancarkan
Muhammad Hatta (1902-1980), ketua Perhimpoenan Indonesia, pada
tahun 1927 di pengadilan Den Haag ketika dihadapkan ke pengadilan
Belanda. Ia dihadapkan ke pengadilan karena ia dan tiga orang
kawannya telah dituduh merencanakan ―persekongkolan‖ anti
pemerintah Belanda. Dalam pidato pembelaannya yang berjudul
Indonesie Vrij ( Indonesia Merdeka), Hatta tidak sekedar membantah
tuduhan palsu yang diarahkan padanya dan kawan-kawannya tetapi
juga memaparkan kisah sejarah dari tumbuhnya cita-cita nasionalisme
Indonesia. Tidak kurang pentingnya Hatta, yang resmi masih berstatus
sebagai mahasiswa fakultas ekonomi dari Rotterdam, bukan saja
menguraikan landasan historis dari perjuangan organisasinya tetapi juga
membayangkan masa depan bangsa yang sedang diperjuangkannya
bersama-sama teman-temannya setanah air. Dalam konteks pembelaan
perjuangan inilah ia mengecam pelajaran sejarah yang bercorak
kolonial, yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah di tanah
kelahiranya, Indonesia. Pelajaran sejarah yang diberikan itu hanya sibuk
berkisah tentang aktivitas para pedagang dan penakluk Belanda, tetapi
sama sekali mengaburkan kehadiran historis anak negeri. Mereka—para
pelajar di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial—seakan-

1
Pengayaan Materi Sejarah

akan disuruh dan dibujuk ―untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-


pahlawan kemerdekaan Eropah, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi,
Willem van Oranye dan banyak lagi. Sebaliknya sejarah Tanah Airnya
sendiri dilukiskan sebagai sejarah Hindia Belanda, yang mulai dengan
datangnya tuan Houtman di Teluk Banten‖. Anak-anak sekolah, kata
Hatta selanjutnya ― diharuskan membeo guru-gurunya dan
menganggap pahlawan-pahlawan Indonesia seperti Diponegoro,
Tuanku Imam Bonjol, dan Teuku Umar dan banyak lagi yang lain
sebagai pemberontak, pengacau, bandit dan entah apa lagi. Pada hal
mereka adalah juga pahlawan-pahlawan seperti halnya Willem van
Oranje, Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi dan sebagainya. Kepada mereka
kami semua merasa berhutang budi‖.
Secara keseluruhan pidato Hatta tidak terlupakan dalam uraian
sejarah pergerakan kebangsaan, tetapi protes dan keluhan Hatta
tentang pengajaran sejarah ternyata dibiarkan berlalu saja dalam
tinjauan perkembangan historiografi Indonesia. Mungkin karena yang
menjadi pokok uraian Hatta adalah haknya dan kawan-kawannya untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan membela harkat bangsa
sehingga hal yang dianggap bersifat sampingan dibiarkan terlewatkan
saja.
Jadi bisalah dipahami juga kalau kritik atas historiografi kolonial
biasa juga dimulai dengan tinjauan terhadap buku Geschiedenis van
Nederlandsch Indie, yang diedit oleh Stapel. Gara-gara buku yang
sedemikian asyik berkisah tentang aktivitas dan pengalaman orang
Belanda di tanah jajahan yang disebut ―Hindia Belanda‖ ini van Leur ,
seorang ilmuwan muda, kaget setengah mati. Mencapai kedewasaan
intelektual ketika pergerakan nasional Indonesia telah merupakan
realitas keseharian dari zaman kolonial ia merasa heran juga dengan
orientasi buku lima jilid yang diterbitkan seacar resmi. Bayangkan saja
untuk mengisahkan pemakaman seorang mantan Gubernur Jenderal
saja buku yang diedit Stapel ini menghabiskan berpuluh-puluh halaman,
sedangkan realiats dan dinamika kehidupan anak negeri hanya dilihat
―dari dek kapal, lantai atas benteng dan gallery dari rumah niaga‖ saja.
Kalau memang telah begini halnya dengan karya yang dianggap sebagai
―buku standard‖ sejarah Hindia Belanda ini, maka seperti apakah hasil
kegiatan akademis yang berusaha mengadakan rekonstruksi peristiwa
masa lalu dari kepulauan Indonesia berdasarkan sumber-sumber sejarah
lainnya?

2
Pengayaan Materi Sejarah

Jawab atas pertanyaan hipotetis ini tidak mungkin didapatkan,


karena tidak lama setelah kritik pedas itu dilancarkan van Leur, Perang
Dunia II, yang bermula di Eropa, telah melebarkan sayapnya ke Asia
dan menjadi Perang Pasifik yang dahsyat juga. Van Leur sendiri tewas
dalam perang yang terjadi di Laut Jawa. Dalam suasana perang inilah
―Hindia Belanda‖ akhirnya dipaksa takluk pada kehebatan militer dan
semangat bushido balatentara Dai Nippon (1942). Setelah tiga setengah
tahun mengalami penderitaan fisik dan ekonomi di bawah kekuasaan
militerisme Jepang, tetapi sempat juga ditempa oleh semangat
kemiliteran, ―fajar kemerdekaan pun menyingsing‖ (jika gaya bahasa di
masa itu boleh ditiru juga). Setelah lebih dulu memperdebatkan
berbagai hal tentang landasan filosofis dan konstitusional dari negara –
bangsa yang ―dijanjikan Dai Nippon‖, akhirnya –tanpa pertolongan bala
tentara Jepang-- Proklamasi Kemerdekaan pun dikumandangkan.
Tidak lama kemudian bangsa Indonesia pun dengan penuh
percaya diri bergumul dalam perjuangan ―hidup dan mati‖ ketika
Revolusi Nasional telah dicanangkan. Bukankah Proklamasi
Kemerdekaan bangsa, yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945,
harus dipertahankan dengan ―darah dan air mata‖ ? Tiba-tiba Surabaya
bukan lagi sekedar nama sebuah kota yang terletak di pantai Utara Jawa
Timur dan bahkan tidak pula hanya diketahui sebagai nama kota nomer
dua terbesar di Indonesia tetapi telah menjadi simbol dari aktualitas
semboyan ―merdeka atau mati‖. Dalam masa penuh gejolak hasrat
kemerdekaan ini kekuatan kolonialisme berhasil juga membentuk
sekian banyak apa yang disebut ―negara-bagian‖ – kesemuanya tampil
sebagai antitesis terhadap kehadiran Republik Indonesia. Di suatu saat
hampir semua pucuk pimpinan Republik—berada dalam tawanan
tentara Belanda. Tetapi untung juga Sjafruddin Prawiranegara berhasil
mendirikan dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatra Barat .
Di saat perjuangan gerilya telah semakin memperlihatkan harga
dirinya Dewan Keamanan, PBB, akhirnya berhasil membujuk Republik
Indonesia dan kerajaan Belanda untuk duduk di meja perudingan demi
terwujudnya perdamaian. Setelah mengadakan perundingan
pendahuluan maka Konferensi Meja Bundar (KMB) pun diadakan di
Den Haag. Akhirnya-- pada tanggal 27 Desember 1949-- apa yang
secara resmi disebut ―souvereniteit overdragt‖ –penyerahan kedaulatan-
- tetapi dipopulerkan Presiden Sukarno sebagai ―pengakuan

3
Pengayaan Materi Sejarah

kedaulatan‖ , terjadi. Maka Indonesia pun telah tampil sebagai sebuah


negara merdeka yang berdaulat.
Ketika suasana sosial-politik telah mulai agak tenang dan para
ilmuwan telah pula mulai menyesuaikan diri dengan situasi baru maka
perdebatan tentang penulisan sejarah pun dimulai kembali. Prof.
Coolhaas, guru besar dari Utrecht, seorang ahli sejarah kolonial Belanda,
Dr. de Graaf, ahli sejarah kesultanan Mataram, dan ilmuwan
warganegara Indonesia, Prof.Resink, ahli hukum internasional dan
sejarah kolonialisme, kembali mempersoalkan penulisan sejarah
Indonesia. Tetapi lebih dari sekadar masalah metodologi dan
pendekatan teoretis G. Resink, guru besar Universitas Indonesia,
mengingatkan dua hal yang penting. Pertama, pernyataan yang sering
diulang-ulang, baik oleh tokoh politik dan malahan juga oleh guru-guru
sejarah bahwa Indonesia pernah berada di bawah penjajahan Belanda
selama ―350 tahun‖ adalah sebuah mitos kesejarahan yang
menyesatkan. Kalau hukum internasional dipakai sebagai landasan
dalam penentuan hak dan kedaulatan politik maka kekuasaan Belanda
yang mencakup semua wilayah yang disebut ―Hindia Belanda‖ itu hanya
berlangsung sekitar 37 tahun saja. Dengan kata lain Belanda
memerlukan waktu sekitar 300 tahun untuk bisa menguasai seluruh
wilayah yang akhirnya disebut Nederlandsch Indie itu. Tetapi, kedua,
di saat semangat menggebu-gebu dengan konsep Indo-sentris, Resink
mengingatkan, jangan sampai sikap ini tergelincir pada ―regio-
sentrisme‖ –ketika kajian kesejarahan telah dipusatkan pada daerah
tertentu dan menjadikannya sebagai representasi dari Indonesia secara
keseluruhan.
Para ilmuwan tentu bisa berdebat tentang berbagai corak
pendekatan akademis dalam mengadakan rekonstruksi dan analisis
sejarah dari zaman yang telah berlalu. Mereka bisa juga memasalahkan
landasan teori, bahkan etis, dari penulisan yang berkisah tentang
peristiwa kesejarahan yang pernah terjadi di bumi Nusantara, wilayah
yang dalam kesadaran nasionalisme telah disebut ―Indonesia‖ ini.
Bukankah sejarah pada dasarnya memang bersifat kontroversial?
Semuanya telah berlalu dan tidak bisa diulang kembali untuk
mengetahui apa dan bagaimana kesemua itu terjadinya. Kalau begitu
bagaimanakan sejarah masa lalu dari kesatuan-kesatuaan etnis yang
akhirnya berhasil membentuk sebuah ―kesatuan bangsa‖ yang disebut
―Indonesia‖ini? Seperti apakah sejarah bangsa baru yang akhirnya

4
Pengayaan Materi Sejarah

mendapatkan kemerdekaannya --dengan ―darah dan air mata‖ --


harus disampaikan kepada generasi mudanya? Langsung ataupun tidak
para guru sejarah di awal tahun 1950-an mengikuti saja pandangan
historis para pemimpin pergerakan kebangsaan. Bukankah Belanda,
sang penguasa kolonial, yang telah pula menguasai landasan ideologis
dari penulisan sejarah, bahkan juga—dan lebih penting—menetukan
pilihan tentang peristiwa apa yang harus dikisahkan, bertolak dari
kesadaran kolonialisme yang ingin mendapatkan keabsahan yang abadi
atas wilayah dan rakyat yang telah dikuasainya? Jadi seperti apakah
sejarah bangsa yang harus diajarkan?
Peralihan landasan nilai dan bahkan ideologis dari penulisan
sejarah adalah yang paling awal yang dilakukan. Di samping Hatta yang
pernah memperkenalkan Diponegoro, Imam Bonjol, dan Teuku Umar
sebagai ―pahlawan bangsa‖ dalam pidato pembelaannya di pengadilan
Den Haag, bukankah Ir. Sukarno (1901-1970) telah pula tampil
dengan konsep ―trilogi sejarah‖ ketika ia—seperti juga Hatta dua tahun
sebelumnya—mengucapkan pidato pembelaannya di pengadilan
kolonial di kota Bandung. (Indonesia Menggugat/Indonesia klaagt
aan,1930)? Tokoh pergerakan nasional yang terkemuka dan pemimpin
Partai Nasional Indonesia (PNI) ini tampil dengan ―rekonstruksi‖ yang
membayangkan ―masa lalu yang gemilang‖, ―masa kini yang gelap
gulita‖, dan ―masa depan yang penuh harapan‖—ketika gilirannya telah
datang untuk diadili pengadilan kolonial? Kemerdekaan , katanya
selanjutnya, adalah ―jembatan emas‖ untuk mencapai masa depan
yang gemilang itu. Dalam alam pemikiran kesejarahan yang romantik
inilah pula Mr. Mohammad Yamin (1903-1962) memperkenalkan
kisah-kesejarahan yang menonjolkan bukan saja peristiwa dan tokoh
sejarah yang inspiratif, tetapi juga peristiwa di masa lalu yang
membanggakan. Ia bukan saja menulis cerita-sandiwara tentang Ken
Arok dan Ken Dedes tetapi juga buku biografi Diponegoro dan Gajah
Mada. Adalah pula Yamin yang mengadakan rekonstruksi sejarah
Merah Putih – simbol kebangsaan, yang dikatakannya telah berumur
6000 tahun.
Dalam suasana yang telah semakin diwarnai semangat
nasionalisme inilah para guru sejarah dan penulis buku pelajaran sejarah
mengubah landasan normatif dari peristiwa dan tokoh sejarah—
―jelek‖, kata Belanda, ―bagus‖, kata kita dan sebaliknya. Dalam suasana
inilah pula Yamin, yang sejak muda mendendangkan cinta tanah air –

5
Pengayaan Materi Sejarah

bermula dengan sajak-sajak remaja yang mendendangkan kecintaan


pada ―Sumatraku, sayang. Bukit barisan.‖ tetapi mencapai kedewasaan
ketika ―tanah airku, Indonesia‖ telah dikumandangkan, menampilkan
diri sebagai seorang pemimpin pergerakan kebangsaan yang
menjadikan kisah-kisah sejarah sebagai sumber inspirasi dalam
pergerakan nasional. Maka ketika kemerdekaan telah dicapai bangsa
Yamin pun memperkenalkan ―lima periode sejarah Indonesia‖—mulai
dari ―zaman prasejarah‖ dan mencapai puncaknya dengan ―Abad
Proklamasi‖. Biarlah nanti dipikirkan apakah ―abad Proklamasi‖
sesungguhnya berarti juga sebagai the end of history ataukah hanya
penamaan pada sebuah episode yang paling menentukan. Yamin ,
seperti halnya dengan Bung Karno, adalah seorang pemikir kesejarahan
bangsa yang ―romantis‖. Bagi mereka sejarah tanah air bukan saja
kisah yang memantulkan kejayaan yang pernah dimiliki bangsa tetapi
adalah pula petunjuk jalan ke masa depan yang penuh harapan.
Tetapi bukankah sejarah tidak bisa disamakan saja dengan
romantisme yang terpancar dalam kenangan tentang masa lalu?
Bukankah kisah sejarah adalah rekonstruksi peristiwa yang dihasilkan
oleh kajian kritis atas bahan–bahan otentik yang yang tersedia dinamika
dan peristiwa yang terjadi dalam perjalanan waktu bisa ―direkonstruksi‖
dalam bentuk kisah-sejarah? Kisah sejarah barulah bisa dianggap sah
kalau rekonstruksi yang disampaikan itu bertolak dari kecermatan dan
ketelitian penelitian yang ―jujur dan tepat‖ dari peristiwa yang pernah
terjadi. Otentisitas atau keabsahan dari kisah-sejarah tidak bisa
dipertanggungjawabkan seandainya rekonstruksi peristiwa di
kelampauan yang disampaikan itu hanyalah pantulan dari visi
romantik tentang dinamika sosial-kultural bangsa dalam perjalanan
sejarah. Tetapi andaikan memang demikianlah halnya, maka seperti
apakah rangkaian atau rentetan peristiwa di masa lalu itu seharusnya
direkonstruksi dan diajarkan? Bagaimanakah sejarah dari sebuah
wilayah yang kini disebut Indonesia sebaiknya atau bahkan seharusnya
dikisahkan? Bagaimanakah keterpisahan dan bahkan kelainan
pengalaman daerah-daerah yang kini telah membentuk suatu kesatuan
bangsa dan secara emosional dikatakan pula satu ―tanah air‖ bisa
dikisahkan dalam suatu helaan nafas sebagai ―sejarah nasional‖?

6
Pengayaan Materi Sejarah

Seminar Sejarah Nasional dan Demokrasi Terpimpin


Dalam suasana pergumulan antara visi romantik kesejarahan
dengan keabsahan sejarah yang otentik secara akademis dan etik inilah
Seminar Sejarah Nasional diselenggarakan. Diadakan pada 14-18
Desember 1957 di kampus UGM, Yogyakarta, seminar sejarah yang
pertama ini tampil sebagai sebuah panorama dari berbagai visi
nasional kesejarahan yang tidak mudah terlupakan. Bagaimanakah
pengkisahan sejarah yang terikat erat pada keharusan akademis dan etik
keilmuan bisa saling mendukung tetapi terlepas dari genggaman visi
kolonial? Bagaimanakah sejarah kritis yang otentik dengan visi yang
menghembuskan nafas kebangsaan bisa didapatkan? Berbagai
pandangan dan beragam pemikiran kesejarahan, bahkan ideologis,
yang disampaikan para peserta, yang terdiri atas para cendekiawan,
ilmuwan, guru-sejarah, bahkan juga para politisi dari berbagai partai
politik dengan ideologi yang berbeda-beda, disampaikan dalam seminar
sejarah nasional yang pertama ini.
Tetapi ketika kini kesimpulan akhir dari seminar dibaca kembali
maka mungkin akan terasa sebagai hal-hal yang sederhana saja.
Semuanya kini mungkin sekali terasa sebagai hal yang sudah sewajarnya
saja—sesuatu yang bisa dianggap sebagai hal yang sudah ― taken for
granted‖ saja. Sejarah nasional ialah hasil penelitian yang berdasarkan
prinsip yang sederhana tetapi memerlukan pengerjaan kesejarahan
yang bersungguh-sungguh. Prinsip dasar itu disebut sebagai penulisan
sejarah akademis yang bersifat Indonesia-sentris Prinsip ini bukanlah
berarti sekadar pembalikan landasan nilai etis-- dari yang bersifat
kolonial menjadi nasional—dan tidaklah pula sekedar terlepas dari apa
yang disebut sebagai Neerlando-sentris. Rekonstruksi kesejarahan
adalah hasil usaha objektif dan kreatif yang berkisah tentang rangkaian
pergumulan anak bangsa dengan nasibnya dan tentang perjuangannya
dalam usaha mencapai tatanan sosial-politik yang diidam-idamkan.
Maka adalah suatu kemestian untuk mendapatkan pengenalan akan
corak dari struktur kemasyarakatan serta dinamika kehidupan anak
bangsa, baik dalam kesendirian masing-masing unsur bangsa dan
hubungan dengan unsur lain, maupun ketika masing-masing unsur
atau dalam kebersamaan berhadapan dengan dunia luar. Indonesia-
sentris bukanlah sebuah landasan teori, yang bergumul dengan masalah
historical causality ( sebab-akibat dalam sejarah) dan sebagainya, tetapi
pantulan hasrat normatif untuk memahami corak dan bentuk dinamika

7
Pengayaan Materi Sejarah

kehidupan bangsa dalam rentangan perjalanan waktu. Konsep


Indonesia-sentris bertolak dari sikap akademis bahwa yang menjadi
perhatian utama adalah dinamika perjalanan kesejarahan anak bangsa
serta peralihan struktural yang mungkin terjadi dalam arus dan
gelombang peristiwa kesejarahan. Bagaimanakah anak bangsa, baik
secara keseluruhan ataupun sebagai kesatuan-kesatuan etnis tertentu
ataupun sebagai wilayah tertentu mengayuh biduk kehidupan ketika
mengharungi gelombang dan ombak dinamika sejarah. Bagaimanakah
pula corak dan irama serta arus dinamika sejarah yang dialami bangsa,
baik secara keseluruhan maupun sebagai kesatuan-kesatuan etnis atau
lokalitas tertentu, ketika menghadapi berbagai halangan struktural
ataupun kultural demi tercapainya pantai harapan yang dicita-citakan?
Sekian puluh tahun telah berlalu dan berbagai corak
pengalaman kesejarahan telah pula dialami bangsa dan bahkan tolehan
reflektif ke belakang –-ke masa lalu yang telah ditinggalkan--telah pula
sangat biasa dilayangkan. Seketika tolehan ini telah dilakukan maka
tampaklah betapa Seminar Sejarah Nasional yang pertama ini adalah
kesempatan terakhir bagi para ilmuwan, cendekiawan, dan politisi
untuk bertukar pikiran yang reflektif dan bebas tentang dinamika dan
alur kehidupan bangsa secara terbuka. Tidak lama setelah Seminar
Sejarah Nasional berakhir maka periode suasana konflik politik dan
ideologi telah semakin berkecamuk. Suasana ini terjadi di sidang-
sidang parlemen dan Dewan Konstituante—dua lembaga demokrasi
hasil Pemihan Umum yang umum dinilai demoktratis dan relatif bersih.
Dalam suasana ini pula berbagai corak keresahan sosial-politik daerah
telah pula semakin meluas dan mendalam.
Segala corak kegelisahan dan bahkan perlawanan yang terjadi di
beberapa daerah serta berbagai gejolak sosial politik yang seperti
enggan untuk berhenti akhirnya disudahi saja dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 1 Juli 1959. Dijadikan sebagai landasan hukum yang
baru di saat Indonesia telah berada dalam naungan S.O.B.-- undang-
undang negara dalam bahaya perang—berarti kemungkinan untuk
menolak dekrit yang mengingkari UUD1950 ini telah pula tertutup.
Maka begitulah dengan dekrit Presiden ini Republik Indonesia pun
secara resmi dinyatakan ―kembali ke UUD 1945‖. Dengan kembalinya ke
UUD 1945 ini maka Presiden bukan lagi hanya berfungsi sebagai Kepala
Negara, sebagaimana yang ditentukan oleh UUD Sementara 1950,
tetapi adalah pula Kepala Pemerintahan. Kekuasaan pun secara

8
Pengayaan Materi Sejarah

konstitusional telah kembali terpusat di tangan Presiden. Dalam


kedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan inilah
Presiden Sukarno memperkenalkan Manipol-USDEK ( Manifesto Politik --
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin) sebagai
landasan kebijaksanaan politik negara. Ajaran NASAKOM (Nasionalisme,
Agama, Komunisme) pun menjadi lambang kesatuan bangsa. Dengan
landasan konstitusional dan ideologis yang baru ini Republik Indonesia
pun memasuki zaman sebagaimana dikatakan Bung Karno (dengan
mengutip ucapan seorang ilmuwan asing) ‖a summary of many
revolutions in one generation‖. Diskusi dan eksplorasi intelektual secara
terbuka pun mulai dihambat oleh dinding ideologis yang telah didirikan
oleh sistem kekuasaan, yang didukung ideologi serba-revolusioner
meskipun tetap melandaskan diri pada konsep ―kepribadian –bangsa‖
yang cenderung bernuansa arkais.
Ironis mungkin, tetapi ketika dominasi ideologi negara telah
mulai menghambat sifat keterbukaan dari kemerdekaan berfikir di saat
itu pula usaha pendalaman pengetahuan pengetahuan tentang sejarah
bangsa semakin meluas. Jika secara resmi dan terbuka sejarah—sebagai
hasil rekonstruksi kritis tentang peristiwa di masa lalu— telah semakin
banyak ditampilkan sebagai alat untuk memperkuat semangat
konfrontatif yang revolusioner dalam berhadapan dengan kekuatan
yang disebut Old Established Forces, secara diam-diam latihan
akademis serta pemantapan landasan intelektual untuk mendapatkan
histoire–realite‘ berdasarkan keharusan etik dan keilmuan terjadi juga.
Kajian sejarah yang menuntut sikap keilmuan yang objektif dan
didukung oleh kejernihan konsep serta ketelitian teknis , baik dalam
menghadapi sumber-sumber primer maupun sekunder, yang mungkin
tertulis dalam bahasa asing yang beragam-ragam, telah pula mulai
diusahakan dan dilakukan. Dalam masa inilah pula satu-dua universitas
mulai menghasilkan sarjana dalam ilmu sejarah yang relatif muda usia.
Segelintir kecil dari mereka kemudian mendapat kesempatan belajar ke
luar negeri.
Di tahun 1966, ketika Sartono Kartodirdjo menyelesaikan
disertasinya yang berjudul The Peasant‘s Revolt of Banten in 1888 di
Universitas Amsterdam, maka Indonesia pun mempunyai seorang
pemegang gelar akademis tertinggi--doktor dalam ilmu sejarah. Ironis
mungkin, tetapi bisa jugalah dikatakan bahwa di saat Republik
Indonesia mulai memasuki periode baru dalam sejarah kontemporernya,

9
Pengayaan Materi Sejarah

maka di waktu itu pula ―episode baru‖ dalam perkembangan ilmu dan
kajian sejarah bermula.
Orde Baru : ―kebebasan akademis‖ dalam ―dominasi Negara‖
Sejak mulai resmi berkuasa di tahun 1959—ketika Presiden
Sukarno mengeluarkan ―dekrit Presiden‖ yang menyatakan Indonesia
kembali ke UUD 1945-- rezim Demokrasi Terpimpin setapak demi
setapak semakin mengalami keterpencilan internasional. Di saat
―konfontasi Malaysia‖—yaitu usaha negara untuk mengahalangi
berdirinya Malaysia, yang akan menggabungkan Tanah Semenanjung,
Serawak dan Borneo Utara (mula-mula juga termasuk Singapore)-- tidak
mendapat simpati dunia, Indonesia bukan bukan saja meninggalkan
Olimpiade Tokio tetapi juga keluar dari P.B.B. Meskipun membayangkan
hubungan yang semakin akrab dengan RRT, tetapi Indonesia semakin
terpencil juga dari pergaulan dunia. Di saat keterpencilan ini sedang
mencapai puncaknya maka ketika itu pula malapetaka sosial dan politik
yang teramat tragis datang menerpa kehidupan bangsa dan negara.
Ketika waktu sedang menjelang subuh pada tanggal 1 Oktober 1965
enam orang jenderal, pimpinan Angkatan Darat, dan seorang letnan
muda dibunuh oleh segerombolan tentara yang menyebut dirinya
Gerakan 30 September. Seketika usaha telah menampilkan diri sebagai
bagian dari coup d‘etat maka di saat itu gerakan itu mengalami
kelumpuhan. Tetapi sejak itu pula konflik internal bermula—di Jakarta
dan bahkan kemudian nyaris persada tanah air. Tiba-tiba semboyan
―ganyang Malaysia‖–salah satu program ―anti-Nekolim‖ utama dari
Demokrasi Terpimpin -- membalik menjadi tusukan ke dalam kehidupan
bangsa sendiri.
Setelah sekian lama mengalami gerakan ―anti sepihak‖, yang
mengancam tanah warisan dan bahkan nyawa sang pemilik serta
semakin mendalamnya perasaan tersingkirkan dalam konstelasi politik
NASAKOM yang revolusioner, golongan sosial yang merasa sekian lama
terpinggirkan dalam konstelasi politik dan sistem wacana yang serba
revolusioner, tiba-tiba seakan-akan begitu saja bisa tampil dengan
agresif. Dibantu dan bahkan dipimpin oleh AD, yang telah kehilangan
para jenderal mereka kini tampil ke depan dan tidak jarang sebagai
―pembalas dendam‖ atas penghinaan yang telah dialami. Maka dengan
tiba-tiba saja Indonesia telah berada dalam suasana krisis sosial dan
tragedi kemanusiaan yang bahkan diselimuti pula oleh suasana

10
Pengayaan Materi Sejarah

kebencian yang mendalam. Entah berapa puluh atau bahkan ratus ribu
anak bangsa, yang dituduh pengikut komunis, kehilangan nyawa.
Entah berapa pula banyaknya mereka yang dicurigai itu diperlakukan
sebagai ―pariah‖ dalam konstelasi kenegaraan dan bahkan juga dalam
pergaulan sosial yang terbuka. Setelah sekian banyak korban berjatuhan
dan sekian parah pula kebebasan yang telah terampas akhirnya
ketenteraman relatif mulai kembali dirasakan. Hal ini terjadi setelah
Presiden Sukarno mengeluarkan apa yang disebut ―SUPERSEMAR‖ ( 11
Maret 1967). Tetapi sejak itu pula kewibawaan sang Presiden
meluncur dengan deras dan Indonesia mulai mengetuk pintu periode
baru dalam sejarahnya.
Ketika akhirnya (Maret, 1968) Presiden Sukarno, yang
jabatannya sebagai Presiden Seumur Hidup telah dicabut MPR ,
meletakkan jabatan sebagai Kepala Negara dan–tentu saja juga sebagai
Pemimpin Besar Revolusi‖, maka rezim Orde Baru pun menyatakan
kehadiran dirinya. Bertolak dari janji kesetiaan pada Pancasila dan UUD
1945, Orde Baru, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, meninggalkan
―revolusi‖ dan menjadikan ―pembangunan nasional‖ sebagai
semboyan dan usaha utama. Hanya saja dalam perkembangannya Orde
Baru—setelah melalui proses penguatan kekuasaan yang memberi
kebebasan relatif dari sistem wacana selama beberapa tahun--
melanjutkan tradisi yang telah dirintis Demokrasi Terpimpin. Setahap
demi setahap Orde Baru pun, seperti halnya dengan rezim Demokrasi
Terpimpin yang telah digantikannya, semakin menjadikan dirinya
sebagai sebuah ―negara serakah‖, yang menguasai nyaris kesemuanya--
mulai dari kekuasaan politik dan ekonomi sampai penguasaan makna
dalam sistem wacana. Dengan landasan program, bahkan ―ideologi‖
nasional yang berbeda—suasana serta sistem wacana serba ―revolusi‖
yang dipelihara Demokrasi Terpimpin, kini telah digantikan dengan
―pembangunan‖. Maka begitulah dalam perjalanan sejarahnya Orde
Baru semakin lama semakin memperlihatkan dirinya sebagai
penyambung yang otentik dari tradisi otoritarianisme yang sentralistis
dari rezime yang telah digantikannya.
Ironis mungkin, tetapi di masa awal dari pertumbuhan
kekuasaan Orde Baru ini pula Seminar Sejarah Nasional II, diadakan
(Agustus 1970). Hanya saja kini para politisi dan opinion makers telah
tersingkir. Seminar Sejarah Nasional II adalah pentas yang memberi
kesempatan bagi para profesional dari dunia kajian sejarah untuk tampil

11
Pengayaan Materi Sejarah

ke depan. Maka bisalah dibayangkan bahwa praktis semua makalah


yang diajukan dalam seminar ini bernafaskan hasrat dan usaha
melakukan rekonstruksi kesejarahan dari peristiwa–peristiwa tertentu
yang telah dijadikan sebagai pilihan. Atau berusaha memberikan
pemahaman dan interpretasi baru tentang peristiwa sejarah yang telah
menjadi accepted history. Pertemuan ilmiah nasional ini menghasilkan
dua putusan penting, yaitu pembentukan M. S. I. (Masyarakat
Sejarawan Indonesia) dan penulisan Sejarah Nasional Indonesia (S.N.I),
yang terdiri atas 6 jilid . Entah direncanakan, entah tidak, tetapi
memang komposisi pimpinan organisasi (MSI) dengan team editor dari
S.N.I adalah para ilmuwan yang sama. Prof. Sartono dipilih sebagai
ketua M.S.I dan sekali gus ia adalah pula Editor Umum dari S.N.I
Tetapi ketika periode perubahan kepengurusan MSI telah datang,
sebuah ―tragedi‖ (ataukah lebih baik disebut saja ―kemelut integritas
keilmuan‖?) terjadi pada S.N.I. Semua penulis jilid V (zaman
pergerakan kebangsaan) kecuali asisten kelompok, mencoret nama
mereka, meskipun tulisan mereka tetap diterbitkan. Suasana ini
berlanjut juga karena pada cetakan yang ketiga Prof. Sartono, sang
pencetus ide dan ketua dewan redaksi , juga mengahapus namanya.
Terlepas dari segala kritik etis dan perdebatan akademis di
sekitar buku yang dikatakan ―standard‖ ini, S.N.I. mengalami ulang
cetak dan revisi beberapa kali. Hanya saja kalau direnungkan bukankah
masa lalu , yang dikenang dan direkonstruksi sejarah itu, adalah pula
pentas tempat terjadinya segala macam corak ironi? Maka bisalah
dikatakan bahwa betapapun kritik atas usaha Orde Baru untuk
menguasai ingatan dan pengetahuan sejarah secara sah bisa
dilayangkan, tetapi zaman di masa rezim Orde Baru baru
menginjakkan kaki kekuasaannya adalah pula sesungguhnya masa
ketika ilmu sejarah dan studi sejarah tanah air tumbuh dan berkembang
dengan cukup baik. Ironis, mungkin, tetapi ternyata Orde Baru hanya
ingin menguasai rekonstruksi dari peristiwa-peristiwa tertentu dalam
sejarah tanah air dan corak interpretasi tentang beberapa peristiwa
sejarah lain.
Tetapi bagaimanapun juga dalam masa pemerintahan Orde Baru
ini berbagai macam peristiwa dan kejadian dan berbagai corak dinamika
sejarah yang terjadi di hampir semua wilayah tanah air–mulai dari
sejarah revolusi di daerah, kota-kota penting di daerah, pergerakan
nasional, riwayat hidup para tokoh dan pergerakan nasional dan

12
Pengayaan Materi Sejarah

revolusi dan sebagainya—ditulis dan dipelajari. Bahkan di masa


pemerintahan Orde Baru ini pula Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menerbitkan buku-buku tentang berbagai kejadian dan
peristiwa dari sejarah lokal. Di masa inilah pula sejarah pergerakan
kebangsaan, sejarah revolusi di daerah-daerah dan demikian pula
sejarah sosial-ekonomis dari sekian banyak kota diteliti dan diterbitkan.
Tidak kurang pentingnya ialah penerbitan riwayat hidup para pahlawan
atau mereka yang dianggap masyarakat daerah sebagai tokoh
kebanggaan. Betapapun mungkin dari sudut pendalaman teoretis dan
akademis semua aktivitas penulisan kesejarahan ini tidak begitu banyak
memberi sumbangan yang berarti, tetapi apa yang telah disajikan itu
berhasil juga merekam berbagai corak pengalaman kesejarahan yang
dialami anak bangsa di hampir semua propinsi.
Kegiatan studi kesejarahan semakin meriah juga karena sejak
tahun 1970 boleh dikatakan secara teratur setiap empat tahun sekali
Seminar--kemudian disebut Konferensi--Sejarah Nasional diadakan.
Ketika konferensi telah berakhir maka berarti sekian jilid buku yang
berisikan makalah–makalah tentang berbagai peristiwa kesejarahan
tanah air diterbitkan. Lebih daripada itu tidak pula jarang berbagai
seminar nasional dan bahkan lokal diadakan dengan acara khusus
menjelajahi masalah teori penulisan sejarah dan mencoba membuka
vista baru dalam studi kesejarahan bangsa.
Jika rezim Demokrasi Terpimpin cenderung mencurigai kajian
akademis tentang masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan para
ilmuwan yang berasal dari negara yang dianggap termasuk barisan Old
Established Forces, maka tidak demikian halnya dengan Orde Baru.
Sejak awal kehadirannya Orde Baru memperlihatkan sikap yang relatif
lebih terbuka pada dunia luar, meskipun curiga juga pada negara-
negara komunis, terutama RRT. Maka bisalah dipahami kalau di waktu
inilah pula hasil studi tentang berbagai aspek dan peristiwa
kesejarahan—entah yang bersifat politik, ekonomi, antropologis, dan
sebagainya—karya ilmuwan asing semakin banyak memasuki pasaran
akademis Indonesia. Studi-studi ilmuwanasing ini bukan saja dapat
menambah ilmu pengetahuan tetapi tidak jarang pula memberi inspirasi
akademis, bahkan mungkin juga pengaruh akademis, pada ilmuwan
sosial dan sejarawan muda Indonesia. Di samping itu selama beberapa
tahun—sejak tahun 1970 sampai 1980--LIPI mengadakan kerjasama
dengan lembaga ilmiah Belanda, KITLV, untuk menerjemahkan dan

13
Pengayaan Materi Sejarah

menerbitkan hampir seratus artikel bernuansa kesejarahan yang


berbahasa Belanda yang dinilai penting bagi perkembangan ilmu
pengetahuan sosial dan kemanusiaan tanah air.
Begitulah ketika kedewasaan akademis dan intelektual telah
semakin menampakkan diri maka di waktu itu pula rasa-hayat
kesejarahan yang bernuansa Indonesia-sentris semakin diperlakukan
sebagai anjuran akademis untuk memperdalam pengetahuan tentang
struktur kemasyakatan dan corak proses dan dinamika sejarah yang
pernah dan mungkin masih dialami masyarakat bangsa. Kebenaran
historis dan ketepatan analisis dari masalah dan peristiwa sejarah telah
semakin menjadi perhatian utama. Betapapun kecintaan pada tanah air
tidak berkurang dan betapapun pula hasrat untuk mendapatkan hikmah
dari pengalaman bangsa di kelampauan tetap besar, namun ternyata
juga para sejarawan telah semakin menjadikan diri mereka sebagai
bagian dari dunia ilmu pengetahuan yang secara akademis merelatifkan
batas-batas politik dan geografis. Dalam situasi akademis inilah pula
disiplin-disiplin keilmuan lain, terutama sosiologi, antropologi dan ilmu
politik dan bahkan ekonomi ―melakukan penetrasi akademis‖ ke dalam
alur analisis dan bahkan corak rekonstruksi peristiwa kesejarahan. Dalam
suasana inilah pula kesempitan wilayah perhatian, ketika aktor-sejarah
terpaku pada aktivitas bangsa sendiri, mulai melonggar pula. Meskipun
dalam kenyataan harian tampak juga bahwa perhatian utama para
sejarawan ialah dinamika kehidupan masyarakat bangsa sendiri,
bukannya masyarakat dan budaya ―orang asing‖, tetapi jika
diperhatikan lebih mendalam maka tampaklah bahwa faktor utama
yang semakin menentukan corak pilihan ialah hasrat untuk
mendapatkan pemahaman akademis yang mendalam tentang dinamika
dan problematik kesejarahan yang bisa jadi bersifat universal..
Sejak kembali ke tanah air, Sartono Kartodirdjo, yang telah lebih
dulu diangkat sebagai guru besar sejarah di Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, mulai memperkenalkan
pendekatan yang dinamakannya ―multidimensional‖. Dengan
pendekatan ini maka studi sejarah tidak lagi terpaku hanya pada
dinamika peristiwa berdasarkan urutan kejadian saja, tetapi juga pada
struktur sosial-kultural yang merupakan wadah dari rangkaian peristiwa
yang terjadi itu. Dengan pendekatan ini maka sejarawan mulai
membiasakan diri untuk mengikuti dinamika yang terjadi dalam
wilayah ilmu-ilmu sosial yang lain. Sosiologi, khususnya sosiologi-

14
Pengayaan Materi Sejarah

pedesaan, bagi Prof. Sartono sangat penting, ketika ia harus


menerangkan ―bagaimana ―( how) dan ―mengapa‖ ( why) suatu
peristiwa – yang berkisah tentang ―Siapa (who) melakukan apa ( what)
di mana (where) dan bila (when).
Kecenderungan akademis ini bisa dipahami juga karena Sartono
telah lebih dulu mementingkan usaha pemahaman tentang struktur dan
proses sejarah masyarakat desa – masyarakat yang biasanya berada di
luar perhatian sejarawan, yang biasa sekali terpukau dengan berbagai
corak aktivitas dan dinamika politik . Hanya saja seketika sosiologi atau
ilmu sosial lainnya telah ikut bermain dalam usaha rekonstruksi sejarah
dan dalam usaha memberikan keterangan (explanationi) sejarah, maka
ketika itu pula pancingan bagi terjadinya pergumulan teori tidak
selamanya bisa terhindarkan.
Dalam suasana akademis inilah jumlah sarjana dan pascasarjana
tamatan universitas dalam negeri bertambah banyak. Bahkan jumlah
M.A. dan Ph.D. hasil pendidikan luar negeri pun menaik pula.
Meskipun perhatian dan studi tentang masa lalu wilayah Jawa masih
dominan, tetapi tidak lagi menjadi pemegang monopoli perhatian para
sejarawan. Hanya saja perhatian para calon doktor sejarah lebih
banyak tertuju pada masyarakat desa atau kota kecil. Menjelang akhir
abad ke-20 jumlah Dr/Ph.D. sejarah sudah mencapai sekian puluh
orang—lebih dari 50% dari mereka adalah hasil universitas Amerika
Serikat, Australia, Belanda dan satu-dua dari Jerman dan Prancis.2
Sejak awal tahun 1970-an bukan saja jumlah sejarawan yang
memegang gelar akademis tertinggi telah bertambah, hubungan
akademis yang bersifat internasional pun mulai semakin intensif pula.
Pada tahun 1972 beberapa orang sejarawan menghadiri
konferensi IAHA (International Association of Historians of Asia) di
Manila. Ketika itulah Indonesia dipilih—bahkan diminta--secara aklamasi
untuk menjadi tuan rumah konferensi IAHA berikutnya dan Prof.
Sartono pun secara otomatis dipilih sebagai Presiden IAHA. Didukung
oleh LIPI , maka UGM pun tampil sebagai tuan rumah konferensi
reguler International Association of Historians of Asia (1975) ini.
Konferensi internasional, yang dihadiri oleh para sejarawan dari U.S.A,
Belanda, Rusia, Inggris sampai dengan beberapa negara Asia ini, dibuka
secara resmi oleh Wakil Presiden R.I., Sri Sultan Hamengkubono IX.
Sedangkan mantan Wakil Presiden, Bung Hatta, tampil sebagai

15
Pengayaan Materi Sejarah

keynote speaker. Dalam konferensi ini beberapa orang sejarawan muda


Indonesia ikut juga menyajikan makalah mereka. Maka bolehlah
dikatakan bahwa IAHA adalah pengalaman internasional pertama bagi
sebagian besar sejarawan muda.
Hubungan studi kesejarahan yang bersifat internasional
bertambah kuat juga ketika para ilmuwan Belanda dan Indonesia yang
bertemu pada IAHA, Yogyakarta bersepakat untuk mengadakan
konferensi kesejarahan secara berkala. Mereka setuju untuk konferensi
sejarah Indonesia-Belanda diadakan sekali dua tahun secara bergantian,
dengan ―tema utama‖ yang berbeda-beda. Dalam konferensi ini batas-
batas yang keras antara sejarah dan arkaelogi dan bahkan filologi
dikaburkan saja. Meskipun memakai sumber utama yang berbeda-
beda—arkaelogi mempelajari inskripsi kuno yang ternukil di batu-batu
sedangkan sumber utama sejarah adalah tulisan tertulis di atas kertas
atau hasil wawancara—tetapi bukankah kedua cabang ilmu ini
mempelajari dinamika dan peristiwa yang terjadi di masa lalu?
Konferensi Sejarah Indonesia-Belanda yang pertama diadakan di
Noordwijkerhout (1976). Dibuka resmi oleh Prof. A.Teeuw, yang lebih
dikenal di Indonesia sebagai ahli sastra Indonesia Modern dan Melayu
serta Jawa klasik, konferensi sejarah ini menampilkan Prof. Wesseling,
ahli sejarah maritim Eropa, sebagai pembiacara kunci. Konferensi
sejarah Belanda-Indonesia yang kedua diadakan di Makassar (1978),
dengan pembicara kunci Mr.Mohammad Roem. Sedangkan seminar
ketiga diadakan di Leiden (1980), dengan pembicara kunci Taufik
Abdullah, yang kebetulan sedang menjadi visiting fellow di NIAS
(Netherlands Institute for Advance Studies in Social Sciences and
Humanities), Wassenaar. Konferensi yang kelima diadakan di
Yogyakarta (1982). Tetapi setelah konferensi ini hubungan akademis
Indonesia-Belanda menjadi renggang--gara-gara J. Pronk, seorang
menteri dari kabinet Belanda, tidak henti-hentinya mengecam
pendudukan Indonesia atas Timor Timur dan krisis bersenjata yang
disebabkannya. Ketika hubungan akademis masih berjalan baik sekian
banyak mahasiswa sejarah Indonesia sempat belajar di Belanda dan
sebagian mereka pun sempat juga mendapatkan gelar akademis
tertinggi dalam ilmu sejarah.
Meskipun secara langsung tidak begitu banyak melibatkan para
sejarawan muda tetapi Yogyakarta-New Delhi-Leiden–Cambridge
Comparative Studies on India and Indonesia yang mengadakan seminar

16
Pengayaan Materi Sejarah

secara bergantian di keempat kota ini menjadi perangsang juga dalam


dinamika hubungan keilmuan internasional. Memang secara resmi
Yogyakarta hanya diwakili oleh dua orang ilmuwan (Sartono dan
Taufik), tetapi setiap pertemuan selalu dihadiri ilmuwan-ilmuwan lain
dari keempat negara. Akhirnya bolehlah dikatakan bahwa sejak
keikutsertaan Indonesia dalam IAHA 1972 di Manila keterlibatan dalam
berbagai corak pertemuan internasional telah semakin merupakan hal
yang rutin bagi sebagian-- andaikan masih belum bersifat umum--
sejarawan Indonesia.
Sekian banyak aktivitas akademis domestik dan internasional
yang lain tentu bisa juga diungkapkan. Tetapi hal-hal di atas telah
membayangkan betapa perkembangan ilmu sejarah di tanah air telah
semakin meningkat juga. Dalam beberapa kali kesempatan–pada hari
pembukaan Konferensi Sejarah Nasional, pengurus MSI secara resmi
memberi penghargaan kepada cendekiawan yang telah menyumbang
dalam perkembangan pengetahuan sejarah tanah air, meskipun secara
―formal‖ mereka bukanlah sejarawan. Jenderal Nasution, yang telah
menulis beberapa jilid Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, Ali
Hasymi (penyair-ilmuwan yang juga mantan Gubernur Aceh) yang
banyak menulis tentang berbagai aspek dari sejarah Aceh, Rusli Amran,
yang telah menulis tiga jilid ( meskipun dengan judul yang berbeda-
beda) tentang Perang Padri (1803-21 & 1821-37) dan sejarah
Minangkabau di peralihan abad 19 dan 20, Resink, yang benyak
menulis tentang aspek hukum internasional dari dinamika sejarah
Indonesia, dan Rosihan Anwar, seorang wartawan senior, bukan saja
menulis sejarah pers, tetapi juga berbagai kisah sejarah dari zaman
kolonial dan masa awal kemerdekaan, adalah beberapa tokoh yang
dengan resmi mendapat pengakuan dari MSI.
Maka sebuah pertanyaan sensitif pun akhirnya tertanyakan juga.
Bukankah Orde Baru, seperti halnya dengan Demokrasi Terpimpin,
adalah juga sesungguhnya ―negara serakah‖, yaitu suatu sistem
kekuasaan yang ingin menguasai nyaris kesemua dimensi kehidupanan
sosial-politik? Tampaknya benar demikianlah halnya, tetapi sikap –
hegemoni Orde Baru terhadap penelitian dan penerbitan kisah sejarah
boleh dikatakan ―selektif‖ dan bahkan cenderung pula bercorak gradasi.
Ada peristiwa yang secara total harus dikuasai sang penguasa atau
wakil Orde Baru, tetapi ada juga peristiwa yang terkena penguasaan
yang selektif saja dan – untungnya—banyak juga yang dibiarkan

17
Pengayaan Materi Sejarah

sepenuhnya berada ― di tangan‖ para sejarawan. Karena itu janganlah


heran kalau ukuran dari semua ini berkaitan dengan rekonstruksi dari
peristiwa apa yang disebut G-30-S/PKI. Rekonstruksi dan interpretasi
tentang sebab-proses-dan akibat dari peristiwa yang terjadi pada tahun
1965 ini boleh dikatakan total berada dalam dominasi penguasa. Jadi
bisalah dimaklumi juga kalau sedikit sekali studi yang menyangkut krisis
kemanusiaan yang terjadi di berbagai wilayah pedesaan di saat
peralihan kekuasaan menjadi objek penelitian. Andai pun ada – dan
memang ada juga satu dua—studi itu dikerjakan sebagai tesis di
universitas luar negeri. Di samping itu nasib mereka yang terkena
―golongan A, B, bahkan juga C‖, juga berada di luar wilayah penelitian
akademis yang terbuka. Maka janganlah heran kalau studi atau usaha
rekonstruksi tentang peristiwa-peristiwa yang ingin dikuasai negara itu
jatuh ke tangan para peneiliti asing. Ilmuwan Indonesia praktis hanya
dimungkinkan untuk memperdebatkan – setuju atau tidak—hasil karya
peneliti asing itu.
Selain kejadian-kejadian di sekitar peristiwa G-30-S/PKI itu ada
kejadian di masa revolusi yang berada di bawah penguasaan sang
penguasa. ―Peristiwa 1 Maret, 1949‖ (ketika Soeharto memimpin
penyerbuan ke Yogyakarta di pagi hari) di masa Agresi Kedua
(Desember1948-Juni1949), umpamanya, jangan sampai terlupakan
dalam kisah tentang ―perang kemerdekaan‖. Di samping itu ada juga
kejadian dan peristiwa yang sesungguhnya bisa dianggap sebagai
kebanggaan bangsa tetapi rezim penguasa –entah sengaja, entah
kebetulan saja--cenderung melupakannya— sejarah PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) umpamanya. Meskipun Pemerintah Darurat
ini adalah lembaga resmi yang menyambung legitimasi kehadiran R.I.
sebagai sebuah negara, setelah Presiden, Wakil Presiden dan sekian
banyak para menteri berhasil ditangkap dan ditawan Belanda, tetapi
baik Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru cenderung bersikap
―pura-pura lupa‖ saja. Bukankah yang tampil sebagai tokoh utama
dalam peristiwa ini adalah Mr. Sjafrudin Prawiranegara? Ia adalah
―Ketua PDRI‖, yang praktis telah menjalankan tugas kepresidenan, tetapi
kemudian dicurigai secara politik.
Ada juga memang berbagai aspek dari sejarah modern yang
menjadi lapangan ―persaingan yang terbuka‖. Orde Baru yang berada
di bawah dominasi militer cenderung melihat rangkaian peristiwa
yang biasa disebut pengamat asing ―national revolution‖, sebagai

18
Pengayaan Materi Sejarah

―sejarah perang Kemerdekaan‖. Dengan penamaan ini maka implikasi


ideologis dan politiknya pun jelas pula. Ketika kata ‖perang‖ telah
dikatakan bukankah ―tentara ― telah diakui sebagai aktor utama? Orde
Baru memang bisa juga dilihat sebagai rezim yang mengembangkan
tradisi penulisan sejarah militer, meskipun pelopornya, Jenderal
Nasution, disingkirkan secara politik.
Jadi mudahlah dipahami mengapa dalam situasi otoriter yang
bersifat ―pilih-kasih‖ ini majalah MSI, Jurnal Sejarah, bisa terbit tanpa
sedikitpun mendapat gangguan politik. Majalah ini hanya terganggu
oleh ―kelalaian‖ para pengelola. Kadang-kadang majalah terbit dengan
isi yang bernas, tetapi kadang-kadang kehadiran majalah menjadi tanda
tanya juga. Jika dibiarkan saja tanpa ditegur sejarawan mungkin juga
bukanlah pengelola majalah yang bisa diandalkan.
Sementara itu IAIN pun mengalami perubahan. Konsep studi
Islam tidak lagi sekadar melakukan modernisasi sistem pendidikan
pesantren tetapi juga berarti keharusan memperdalam pengetahuan
dalam ilmu sosial dan kemanusiaan. Satu-dua dan kemudian bertambah
banyak juga sarjana IAIN, kemudian menjadi UIN ( Universitas Islam
Negeri) yang mendapat gelar akademis M.A. dan Ph.D. di beberapa
universitas dunia Barat. Hal ini diperkuat pula oleh bantuan Canada
untuk penyelenggaraan hubungan kerjasama Departemen Agama
dengan McGill University (Montreal, Canada). Ketika masih
dimungkinkan untuk aktif Biro Studi Indonesia, yang berpusat di Leiden,
bekerjasama dengan Universitas Leiden , juga menyelenggarakan
program pascasarjana untuk kajian Islam. Maka begitulah di samping
beberapa universitas di Amerika Serikat serta McGill di Canada Leiden
juga menghasilkan doktor dalam berbagai aspek dari sejarah Islam di
Indonesia. Sementara itu IAIN/UIN Jakarta berhasil juga menerbitkan
majalah ilmiah internasional, dengan mutu yang meyakinkan, Studia
Islamika. Bisalah dipahami juga kalau studi tentang sejarah
perkembangan dan pemikiran Islam di Indonesia mendapat jatah yang
besar juga dalam setiap nomer penerbitan.
Ketika masanya telah sampai maka semuanya pun harus
berakhir juga. Seperti tiba-tiba saja krisis moneter yang hebat datang
melanda tanah air yang tercinta ini. Seketika itu pula bukan saja
ekonomi negara menghadapi krisis yang cukup serius, landasan
ideologis kekuasaan Orde Baru pun memperlihatkan betapa landasan

19
Pengayaan Materi Sejarah

kehadirannya telah pula mulai goyah. Krisis ekonomi dan politik pun
tidak terelakkan. Akhirnya Presiden Soeharto, seperti halnya dengan
Bung Karno, melakukan lengser keprabon, meletakkan jabatan, tanpa
usaha perlawanan sedikitpun. Begitulah pada bulan Maret 1998 Orde
Baru mengakhiri karirnya. Indonesian pun memasuki zaman
Reformasi—kehidupan politik yang demokratis pun kembali bermula,
tetapi tantangan baru harus juga dihadapi. Tidak lama kemudian abad
21 pun mulai dimasuki.

―Reformasi‖ : sistem politik baru dan abad baru


Sesuai dengan keharusan UUD 1945, yang mengatakan
bilamana Presiden tidak lagi bisa berfungsi dalam masa
kepresidenannya, maka Wakil Presiden berhak untuk menggantikannya.
Tetapi seketika sumpah jabatan sebagai Presiden baru telah
diucapkannya maka B.J. Habibie dengan begitu saja harus menghadapi
berbagai macam tantangan yang datang menyerangnya. Sementara itu
Suharto, sang mantan Presiden, yang telah dianggapnya sebagai paman
tercinta, telah pula menjauhinya. Tetapi meskipun menghadapi berbagai
hambatan politik dan psikologis yang berat Presiden Habibie tetap
menjalankan tugasnya dan berusaha membawa Indonesia kembali ke
suasana yang diharapkan UUD 1945. Dalam waktu kurang dari dua
tahun Presiden Habibie berhasil menerbitkan sekian banyak undang-
undang yang memperkenalkan kembali desentralisasi dan otonomi
daerah, kemerdekaan berserikat, kemerdekaan pers dan sebagainya. Ia
mempersilahkan Timor Timur, wilayah bekas jajahan Portugis yang
diduduki Indonesia, untuk menentukan pilihan –―merdeka‖ atau
―otonomi khusus‖. Habibie harus membayar mahal kesemuanya ketika
ia memutuskan mengadakan Pemilihan Umum, sebelum masa jabatan
Presiden Soeharto secara resmi berakhir. MPR, hasil pemilu yang
diadakannya menolak pidato pertanggungan jawabnya. Iapun
memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai Presiden.
―Reformasi‖, katanya adalah ―accelerated evolution‖ – dan ia dengan
ikhlas menjalankannya. Ketika ia berhenti maka di waktu itu pula
peralihan kekuasaan mengikuti keharusan konstitusional. Di saat
berbagai perubahan dalam UUD 1945 dilakukan MPR Habibie hanya
memperhatikannya dengan penuh harapan. Selanjutnya biarlah ingatan
dan pengetahuan masing-masing tentang dinamika politik

20
Pengayaan Materi Sejarah

kontemporer yang berbicara. Maka mestikah diherankan kalau


―kenangan‖ Habibie tentang peralihan kekuasaan ini yang diterbitkan
dalam dua bahasa Detik-detik yang Menentukan : Jalan Panjang
Indonesia Menuju Demokrasi (Decisive Moments : Indonesia‘s Long
Road to Democracy) boleh juga dikatakan sebagai salah satu karya
sejarah yang terpenting tentang situasi kontemporer Indonesia?3
Abad ke-21 telah dimasuki, tetapi ―Reformasi‖ masih harus
bergumul dengan berbagai corak ujian. Kisah abadi dari negeri yang
terbebas dari sistem otoriter pun tampil begitu saja. Mula-mula hanya
terjadi di kalangan publik politik tetapi tuntutan akan keharusan revisi
sejarah dengan begitu saja menyelinap ke wilayah pendidikan. Gugatan
akan kebenaran sejarah terjadi pada kisah kesejarahan yang berada di
bawah dominasi negara. Apakah yang terjadi sesungguhnya menjelang
dan di saat peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto? Maka
berbagai demonstrasi menuntut ―kebenaran sejarah‖ pun terjadi. Tetapi
seperti apakah ―kebenaran sejarah‖ itu? Apakah ―kebenaran‖ itu
mengharuskan pula perubahan dalam sistem seremoni kenegaraan?
Masih perlukah mengheningkan cipta di makam mereka yang telah
diakui sebagai ―pahlawan revolusi‖ itu? Masih harus pulakah upacara
tanggal 1 Oktober --tanggal yang telah ditahbiskan sebagai ―hari
kesaksian Pancasila‖-- diadakan?
Sementara itu di kalangan publik berbagai corak hipotesis-
kesejarahan (ataukah teori?) pun diajukan. Siapakah yang berada di
belakang pembunuhan para jenderal yang terjadi di subuh tanggal 1
Oktober 1966 itu? Apakah betul peristiwa itu dikendalikan oleh PKI?
Memang demikianlah faktanya, kata sejarawan resmi dari Orde Baru.
Dengan dukungan kekuasaan masalah ini pun dianggap telah selesai.
Di belakang G-30-S ( nama kelompok yang membunuh) ditambahkan
saja kata PKI— maka jadilah G-30-S/PKI sebagai suatu keutuhan. Tetapi,
kalau demikian, ―mengapa begini‖ dan ‖mengapa pula begitu‖?
Apakah yang terjadi sesungguhnya? Bukankah secara politik PKI sedang
berada di atas angin, karena Presiden Sukarno tampaknya sangat
―mesra‖ dengan PKI dan agak renggang dengan ABRI? ―Ah, kalau
begitu jangan-jangan?‖--maka bertaburanlah berbagai macam dan
corak hipotesis dengan nuansa politik dan ideologi yang tidak
selamanya tersembunyikan. Tetapi apakah mungkin kebenaran sejarah,
historical truth, yang otentik bisa didapatkan? Sekian banyak artikel
dan buku, baik tulisan ilmuwan asing, maupun sejarawan profesional

21
Pengayaan Materi Sejarah

atau amatir dalam negeri, yang telah disampaikan ke wilayah publik,


tetapi kontroversi masih enggan untuk berhenti. 4
Maka klaim ―pelurusan sejarah‖ pun diperkenalkan, seakan-akan
dengan klaim ini ―kata akhir‖ dari sejarah yang otentik dan sahih
telah didapatkan. Dengan klaim ini maka dinyatakanlah histoire-recite‘
yang diperkenalkan telah menjadi wakil yang otentik dari histoire-
realite‘. Hanya saja seketika hal itu telah disampaikan maka di waktu itu
pula batas ―profesionalisme‖, ―kesombongan‖ dan ―ambisi politik‖
bahkan ―kenaifan‖ seperti telah mengabur begitu saja. Bukankah sudah
sejak masa awal pertumbuhannya sejarah --sebagai kisah yang konon
pernah terjadi di masa lalu -- selalu berusaha memperbaiki dirinya atau
―meluruskan‖ apa yang sempat telah dianggap sebagai pantulan dari
kebenaran? Bahkan siapapun yang sempat belajar ilmu sejarah tahu
juga bahwa apa yang disebut sebagai accepted history sekalipun hanya
mungkin berlaku untuk jawab tentang ―apa, bila, siapa, di mana‖ dalam
suatu event saja.. Sedangkan jawaban tentang ―bagaimana‖ dan
‖mengapa‖ dan rangkaian event sampai kini pun masih saja
merupakan wilayah tempat kepastian sejarah harus memperbaiki
dirinya.
Perdebatan tentang ―siapa yang berada di belakang layar‖ masih
berlanjut, tetapi sementara itu kisah dan kenangan tentang konflik
berdarah atau bahkan penganiayaan dan pembunuhan anak bangsa
ketika ―pembersihan‖ dari anasir-anasir yang diketahui, atau dianggap
atau dituduh komunis kini telah semakin terbuka juga. Jika bukan
jumlah berapa yang korban, setidaknya sifat dan corak ―pembersihan‖
telah semakin diketahui. Hanya saja dalam proses ini–ketika peristiwa
sejarah hendak diungkapkan sepenuhnya—―dendam sejarah‖ yang
tertinggal ternyata enggan juga untuk berlalu dan hilang begitu saja.
Tetapi seandainya perhatian lebih ditujukan pada publikasi
internasional, maka bolehlah dikatakan bahwa dominasi kuantitatif
hasil kajian ilmuwan asing masih juga belum teratasi. Kisah kesejarahan
dari hampir semua peristiwa atau rangkaian peristiwa kontemporer
yang penting dan hampir di semua lapangan kehidupan
kemasyarakatan telah semakin dijelajahi. Kalau L. de Jong menulis
tentang The collapse of a colonial society (Leiden: KITLV, 2002) maka
Kees van Dijk malah melihat dinamika kolonialisme ketika waktunya
dimundurkan ke belakang dengan bukunya The Netherlands Indies and

22
Pengayaan Materi Sejarah

the Great War, 1914-1918 ( Leiden: KITLV, 2004). Ia menulis buku ini
meskipun sebelumnya ia telah menulis A country in despair—Indonesia
between 1997 and 2000 (Leiden: KITLV,2001). Dengan buku ini van
Dijk telah ―menyaingi‖ Kevin O‘Rourke , Reformasi: the struggle for
Power in Post-Soeharto Indonesia (London: Allen& Unwin, 2002).
Politik memang sangat menarik, apalagi kalau ditelaah secara historis.
Buku-buku ini (meskipun masing-masing tebalnya 500-an sampai 700-
an halaman) hanya beberapa contoh saja dari rekaman sejarah di saat
Orde Baru harus menyatakan ―selamat tinggal‖ dan di saat pergolakan
pemikiran serta gerak politik sedang memunculkan dirinya dengan
hebat.
Sebuah buku yang diedit Anthony Reid dengan pengarang dari
berbagai bangsa, termasuk dua orang dari Indonesia ( T.Ibrahim Alfian
dan M.Isa Suleiman), The Verandah of Violence: the Background to the
Aceh Problem (Singapore University Press, 2006) berusaha me-
―rekonstruksi‖ dan menerangkan bagaimana Aceh menampilkan diri
sebagai pembangkang yang bersifat separatis terhadap negara yang
dulu—di masa revolusi nasional-- dibelanya dengan semangat
kepahlawanan. Di samping buku ini Tony Reid juga menerbitkan
kumpulan tulisannya tentang Aceh dan daerah lain di Sumatra, An
Indonesian Frontier : Acehnese & other histories of Sumatra (Singapore
University Press, 2005) dan dua buku kumpulan lain tentang berbagai
aspek dari sejarah Sumatra.
Barangkali tidaklah berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa
Merle Ricklefs adalah sejarawan yang paling mendalami dinamika dari
pergolakan Islam di wilayah kebudayaan Jawa. Ilmuwan ini telah
menulis 4 jilid buku dengan topics yang tampaknya berbeda-beda tetapi
bisa juga dilihat sebagai sambung bersambung tentang dinamika
penyebaran dan dinamika pemikiran Islam di kalangan masyarakat Jawa
, sejak zaman Mataram sampai sekarang. Buku yang terakhir ini bahkan
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mengislamkan Jawa :
sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai
sekarang ( Jakarta: Serambi, 2012). Sementara itu seorang ilmuwan
Rusia, Vladimir Braginsky mempersembahkan sebuah studi besar The
Heritage of traditional Malay literature : a historical survey of genres,
writings and literary views (Leiden, KITLV, 2004). Kalau kisah sejarah
yang disajikan Braginsky ini dipertemukan dengan hasil rekonstruksi

23
Pengayaan Materi Sejarah

yang disampaikan Rickefs—maka bagaimanakah dinamika kontemporer


Indonesia sebagai masyararakat modern bisa dikisahkan?
Seandainya tingkat antusiasme public dipakai sebagai ukuran,
maka tidak pelak lagi buku tebal tiga jilid (masing-masing sekitar 800
halaman) yang ditulis Harry A. Poeze, Verguisd en Vergeten : Tan
Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949
(Leiden, KITLV, 2007) paling menarik perhatian, meskipun mungkin
bahasa Belanda menjadi penghalang yang tidak mudah teratasi. Buku
tebal-tebal ini adalah sambungan buku Poeze, Tan Malaka : levensloop
van 1897 tot 1945 (‗sGravenhage :Martinus Nijhof, 1976), yang sempat
diterjemahkan TEMPO satu jilid sebelum akhirnya dilarang kejaksaan.
Salah satu hasil dari zaman Reformasi yang tidak biasa dikatakan ialah
datangnya hasrat menikmati atau setidaknya mengetahui apa yang
selama ini verguist—dicela—apalagi telah pula vergeten—dilupakan.
Maka begitulah seperti dengan tiba-tiba saja hasrat untuk mengetahui
idealisme dan perjuangan Tan Malaka yang berakhir tragis dan alur
pemikirannya menjadi populer. Hal ini terjadi meskipun sebenarnya
riwayat Tan Malaka sempat juga dimuat dalam sebuah buku yang
cukup populer (dicetak beberapa kali), Manusia dalam Kemelut Sejarah
, terbitan LP3ES (1978). Walaupun buku Poeze yang terakhir ini telah
menghasilkan empat jilid terjemahan ( Jakarta :Yayasan Obor), tetapi
secara keseluruhan usaha ini masih jauh dari selesai. Buku teramat
tebal yang kedua yang menarik perhatian dan juga telah
diterjemahkan ialah karya Peter Carey, The power of prophecy : Prince
Dipanagara and the end of an old order in Java , 1785-1855 ( Leiden,
KITLV, 2007). Buku yang telah diterjemahkan dengan judul Kuasa
Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-
1855 (Jakarta; Gramedia d.l.l) ini sebenarnya boleh juga dianggap
sebagai pasangan dari buku Peter Carey, Babad Dipanegara: an account
of the outbreak of the Java War (1825-1830) (Kuala Lumpur,
MBRAS,1981).
Buku-buku ini boleh dikatakan karya sejarah yang cukup
monumental. Ada karya yang membalik-balik kembali lembaran-
lembaran sejarah ketika kekuatan kolonialisme sedang menghadapi
krisis internal, sebelum semangat nasionalisme anak jajahan tampil
sebagai penantang. Ada pula yang meneliti secara detail situasi dan
dinamika sejarah ketika proses peralihan kekuasaan sedang terjadi—di
saat negara –perkasa telah terancam oleh idealisme yang telah terpatri

24
Pengayaan Materi Sejarah

dalam konstitusi. Hal-hal ini boleh dikatakan sebagai tema pertama.


Kemudian—tema kedua-- tampil buku-buku yang menerangkan asal-
usul dan proses terjadi keretakan dalam integrasi kehidupan bangsa.
Tema yang ketiga ialah alur penetrasi Islam dan dinamika sejarah Jawa
dalam kontek kehidupan keagamaan dan dinamika intelektual Islam di
dunia Melayu. Akhirnya – tema keempat—biografi dari dua ―pahlawan
bangsa‖, Datuk Tan Malaka, seorang penghulu adat dari Minangkabau
yang berjuang bagi terwujudnya Indonesia yang diidamkannya, dan
Pangeran Diponegoro, dari kesultanan Yogyakarta abad 19, yang ingin
melepaskan Jawa dari dominasi Belanda.
Sudah bisa dibayangkan bahwa penyebaran buku-buku ini – dan
tentu saja juga buku-buku penting lain-- tidaklah terlalu meluas untuk
dapat menjangkau seluruh masyarakat sejarawan Indonesia. Meskipun
demikian perkembangan dalam studi kesejarahan–terutama di
kalangan pengajar di universitas—setapak –setapak berjalan juga. Hanya
saja kalau penerbitan buku dipakai sebagai indikasi dari aktivitas dari
kajian sejarah maka tampaklah para ilmuwan bukanlah pemegang
monopoli, bahkan jauh dari pada itu. Jika saja popularitas dipakai
sebagai ukuran maka tidak pelak lagi Pramudya Ananta Toer, sang
novelis, akan tampil sebagai pemenang. Di samping novel-sejarah yang
menyebabkan ia pernah dicalonkan sebagai penerima Nobel dalam
sastra, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca (1980-1990), yang sambung bersambung, ia telah lebih dulu
menulis biografi Kartini dan sejarah Hoakiau di Indonesia, sebuah buku
yang membela kehadiran golongan non-pri ketika gejala anti-Cina telah
semakin kelihatan 5
Jika saja dunia penerbitan dipakai sebagai ukuran maka
tampaklah bahwa kisah hidup seseorang boleh dikatakan sebagai topic
kesejarahan yang paling populer. Memoir atau kenangan hidup boleh
dianggap sebagai kategori pertama dalam wilayah penulisan tentang
kisah kehidupan seseorang ini. Bisalah dipahami kalau semakin penting
peranan yang pernah dijalankan seseorang maka semakin menarik pula
terasa memoir mereka. Terlepas dari pandangan tentang peranan politik
yang pernah dijalankannya, memoir Ali Sastroamidjo sangat menarik
karena ia berkisah secara terbuka saja. Memoir Hatta sangat kaya
dengan informasi tentang pengalaman politiknya sejak masa muda di
Eropa sampai ketika ia memainkan peran terpenting dalam
penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. Sayang memoir Bung Hatta

25
Pengayaan Materi Sejarah

sangat enggan berkisah, apalagi memberi kesan dan pendapat tentang


tokoh lain. Sebaliknya otobiografi Bung Karno yang ―as told to Cindy
Adam‖ cukup royal memberi penilaian yang subjektif tentang tokoh-
tokoh lain. Bung Karno memang mengisahkan kenangannya ketika ia
sedang berada di puncak kekuasaan. Memoir Bung Hatta yang pertama
diterbitkan di tahun 1970-an dan setelah lebih dulu diedit dan agak
dipersingkat diterbitkan kembali pada tahun 2011. Memoir dalam
bentuk otobiografi (tetapi biasa sekali melalui kerjasama dengan penulis
profesional) kini telah semakin banyak juga yang diterbitkan.
Otobiografi Hasan Basri Durin, mantan Gubernur Sumatra Barat, cukup
menarik sebagai kasus apa artinya berkarir sebagai pegawai negeri di
zaman kemerdekaan. Bukan saja ia sempat mempunyai pengalaman di
dua-tiga daerah, tetapi juga ia—mungkin satu-satunya—yang mulai
dari bawah—sebagai pegawai negeri biasa, kemudian diangkat sebagai
pejabat Walikota, Walikota, pembantu gubernur, Gubernur dan
akhirnya Menteri ( dalam Kabinet Habibie)
Corak kedua ialah kumpulan kenangan dari para kenalan ,
sahabat, dan pengamat tentang tokoh yang dikisahkan. Sukarno,
Hatta, Sjahrir, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara adalah beberapa tokoh,
di samping tokoh-tokoh sejarah lain, yang telah dikenang dalam
beberapa penerbitan. Buku-buku seperti ini biasanya terkait dengan
peristiwa tertentu ataupun maksud tertentu yang ingin diperingati.
Corak ketiga ialah biografi—kisah hidup seseorang secara
lengkap, yang ditulis oleh orang lain. Ketika terlibat dalam penulisan
inilah keterampilan teknis kesejarahan dan biografi sang
penulis/pengisah menampilkan dirinya. Meskipun tidak satupun yang
menandingi kelengkapan karya Peter Carey ataupun Harry Poeze,
biografi Azwar Anas, Rooseno, Hamengkubuwono IX, Awaloeddin
Djamin, Yacob Oetama, dan Alamsyah Ratu Perwiranegara adalah
beberapa contoh dari biografi yang dikerjakan dengan cukup baik.
Corak keempat, boleh dikatakan unik juga. Setelah memilih
siapa yang dianggap 4 Serangkai Pendiri Republik (Sukarno, Hatta,
Sjahrir, dan Tan Malaka) Majalah TEMPO menggabungkan biografi
singkat dengan esei dari beberapa penulis tentang masing-masing
tokoh.
Barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa
buku saku Manusia dalam kemelut sejarah-- yang berisikan biografi

26
Pengayaan Materi Sejarah

singkat dari beberapa tokoh yang waktu itu dianggap controversial


(Sukarno, Tan Malaka, Sjahrir, HA Salim dan lain-lain) adalah pencetus
perhatian pada para pelaku sejarah yang telah meninggalkan bekas
dalam jejak sejarah. Bisalah dipahami juga kalau buku ini sempat
diterbitkan beberapa kali dan bahkan diterjemahkan ke bahasa asing.
Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1970-an.
Salah satu faktor yang mendorong popularitas berbagai corak
kisah biografis ini ialah tradisi negara-- meskipun diatur oleh undang-
undang--untuk memberi penghargaan kepada warganya yang dianggap
telah berjasa bagi ―nusa dan bangsa‖. Penghargaan yang tertinggi yang
diberikan negara ialah pengangkatan seseorang yang telah meninggal
dunia sebagai ―pahlawan nasional‖. Pengakuan ini barulah diberikan
setelah biografi sang tokoh bisa menguraikan berbagai corak jasa dan
pengabdian yang membuktikan ―kepahlawanannya‖. Memang dalam
satu tahun hanya mungkin dua atau tiga pengakuan kepahlawanan
yang diberikan negara kepada anak-bangsa yang telah meninggal
dunia. Tetapi di samping itu penghargaan berupa ―Bintang Republik‖,
―Mahaputra‖ dan ―Bintang Jasa‖, yang masing-masing terdiri atas
beberapa tingkat, tersedia juga bagi mereka yang masih hidup dan juga
yang telah berpulang.
Setelah beberapa corak pengkisahan tentang ―para pelaku‖
sejarah ini maka perhatian terbesar kedua ialah pengalaman
kontemporer yang dialami bangsa yang sangat memprihatinkan.
Reformasi rupanya tidak saja membuka kembali pintu demokrasi tetapi
juga melepaskan juga unsur-unsur konflik ke permukaan—tiba-tiba
Reformasi telah berubah menjadi ―kotak Pandora‖ yang terbuka.
Gerakan Reformasi ternyata membuka katub-katub konflik sosial yang
selama ini berhasil dikekang oleh sistem kekuasaan yang otoriter. Di saat
masalah perimbangan kekuasaan di pusat masih labil, maka di waktu
itu pula berbagai corak konflik sosial yang teramat memprihatinkan
terjadi di beberapa daerah. Ada konflik horizontal yang bernuansa
agama. Ada pula yang cenderung bersifat etnis dan bahkan tidak pula
jarang yang menggabungkan keduanya. Di beberapa daerah malah
terjadi juga konflik antardesa, yang tidak ada kaitannya dengan agama,
etnisitas, bahkan juga ketimpangan ekonomi. Maka tidaklah
mengherankan kalau konflik lokal ini tergelincir juga pada konflik yang
bersifat vertikal, ketika sistem kekuasaan terbawa dalam arus konflik.
Sedangkan konflik yang bersifat separatisme terjadi di Aceh dan yang

27
Pengayaan Materi Sejarah

menggabungkan keduanya meletus di beberapa daerah di Papua. Tetapi


bagaimanakah dampak kesemuanya terhadap perkembangan
historiografi? Berbagai jawab dan pemecahan diajukan juga, tetapi
tidak bisa diangkal bahwa studi konflik telah menjadi perhatian
sejarawan dan bahkan tidak jarang mendorong kerjasama sejarawan
dengan ahli sosiologi, antropologi dan ilmu politik.
Ketiga, jika saja Indonesia boleh dibagi-bagi berdasarkan
jumlah studi sejarah yang telah dihasilkan maka tampaklah bahwa Jawa,
Bali, Aceh dan Minangkabau menduduki tempat tertinggi. Keempat
wilayah ini boleh dikatakan yang paling banyak mendapat perhatian
para sejarawan, asing ataupun pribumi. Tetapi sejak awal abad ke-21
adalah masa ketika kecenderungan ini mulai diguncang. Dengan kata
lain wilayah lain—terutama wilayah Timur--semakin banyak mendapat
perhatian studi sejarah. Beberapa disertasi yang berkisah tentang masa
penjajahan dan revolusi di N.T.B dan N.T.T. telah diterbitkan. Adalah
sesuatu yang menarik juga kalau diingat bahwa para penulis – di
samping ilmuwan asing—adalah sejarawan yang berasal dari daerah
lain. Beberapa sejarawan Bali, umpamanya telah menerbitkan buku,
yang semula berupa disertasi doktoral, tentang dinamika sejarah
wilayah yang dulu disebut ―kepulauan Sunda Kecil‖ (sekarang terdiri
atas tiga propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur)
Namun harus dicatat juga bahwa Bima adalah wilayah yang paling
banyak menghasilkan karya yang bernuansa kesejarahan. Beberapa bo,
historiografi tradisional, telah diterbitkan. Kalau nama mereka yang
berjasa harus disebut maka bagaimanapun juga Henri Chambert-Loir
(ilmuwan Prancis) dan Siti Maryam R. Salahuddin (putri Sutan Bima
yang terakhir) tidak bisa dilupakan. Meskipun masih belum banyak juga
Kalimantan pun telah semakin menarik perhatian, seperti umpamanya
Kerajaan Sintang (Helius Sjamsuddin) yang menguraikan perlawanan
dan perubahan di Kalimantan Barat. Tetapi bagaimanapun jga harus
diakui bahwa Sulawesi, terutama wilayah keturunan Sawerigading,
Bugis-Makasar, masih merupakan wilayah Timur Indonesia yang paling
banyak mendapat perhatian para sejarawan—lokal ataupun asing. Abad
ke-21 boleh dikatakan sebagai abad ketika sebagian besar wilayah
Indonesia telah terbebas dari ―kegelapan sejarah‖, betapapun berbagai
aspek kehidupan sosial-kultural dan beberapa zaman masih belum
terjamah. Salah satu karya sejarah yang menarik juga ialah kisah
perlawanan Nuku, raja Tidore. Berasal dari disertasi dari Leiden, yang

28
Pengayaan Materi Sejarah

telah diterbitkan oleh Brill, Leiden, Pemberontakan Nuku : Persekutuan


lintas Budaya di Maluku-Papua sekitar 1780-1810, diterbitkan ketika
penulisnya Muridan Widjojo, peneliti PPP-LIPI yang tak lama kemudian
meninggalkan dunia yang fana ini (2013)
Keempat, ketika A.B. Lapian akhirnya berhasil menyelesaikan
disertasinya (dengan nilai cum laude), yang berjudul Orang Laut, Bajak
Laut, Raja Laut halaman baru dalam sejarah historiografi Indonesia telah
dibuka. Disertasi ini adalah pembuka pintu sejarah maritim. Meskipun
disertasi ini pertama kali terbit tahun 2009 (terbitan kedua 2011)
sejarah maritim telah mulai menarik perhatian para sejarawan muda.
Setidaknya lima sejarawan Indonesia telah menulis sejarah maritim yang
dipersembahkan di universitas di dalam dan di luar negeri. Laut
Sulawesi, lautan Hindia, dan Laut Jawa , apalagi Selat Malaka,
bukanlah ―wilayah asing‖ dalam dunia historiografi modern Indonesia.
Kelima, harus diakui juga sejarah Islam di Indonesia– terutama
aspek pemikiran dan politik— dari masa awal kedatangan Islam dan—
terutama—abad modern adalah wilayah kajian yang paling banyak
mendapat perhatian ilmuwan muda. Salah satu faktor dari gejala ini
ialah ―penetrasi yang direncanakan‖ dari ilmu-ilmu sosial dan filologi ke
IAIN, apalagi setelah IAIN menjadi UIN, dan semakin banyaknya
ilmuwan muda IAIN/UIN yang melanjutkan studi di universitas-
universitas di dunia Barat. Sekian banyak juga mereka yang belajar dan
mendapat gelar kesarjanaan (M.A atau sampai Ph.D) di Amerika Serikat
(seperti Berkeley, Columbia, Harvard, dan sebagainya) Canada
(terutama McGill University di Montreal) dan Belanda (Leiden) dan
beberapa orang yang melanjutkan studi mereka ke Jerman dan Prancis.
Jika dulu naskah-naskah Melayu lama dan Jawa hanya bisa "disantap"
oleh sarjana filologi tamatan Fakultas Sastra, maka sejak akhir tahun
1990-an naskah-naskah lama, telah menjadi santapan sarjana IAIN/UIN.
Maka bisalah dimaklumi juga kalau para penulis dari lima jilid buku
Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia, yang akan diterbitkan Direktorat
Jenderal Kebudayaan, berasal dari kalangan unversitas dan IAIN/UIN,
meskipun penulis Sejarah Pemikiran Indonesia Modern ( 2014) hanya
terdiri dari kalangan sejarawan dan filolog universitas saja.
Memang harus dicatat juga bahwa di samping sejarah sosial,
yang mulai populer sejak Sartono memimpin jursan Sejarah UGM,
sejarah maritim, dengan pionir AB Lapian, serta sejarah politik yang

29
Pengayaan Materi Sejarah

tetap menarik perhatian, apalagi pada tahap daerah, sejarah pemikiran


mulai menarik perhatian para sejarawan juga. Tetapi memang harus
ditekankan juga meskipun studi sejarah pemikiran, yang relatif bersifat
―independent‖ dan tidak sekadar latar belakang dari sejarah politik,
dipelopori oleh keinginan untuk memahami gejolak sosial dan politik,
tetapi penerbitan yang relatif lengkap ialah sejarah pemikiran Islam yang
diterbitkan sebagai Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (7 jilid, 2002),
dengan ketua dewan redaksi Taufik Abdullah.
Akhirnya – setelah tertahan untuk beberapa lama—Indonesia
dalam Arus Sejarah ( 9 jilid), dengan Taufik Abdullah dan A.B.Lapian
sebagai editor utama—diluncurkan secara resmi pada tahun 2012.
Inilah buku sejarah Indonesia yang terlengkap—mulai dari zaman
prasejarah sampai dengan berakhirnya Orde Baru dan ditutup dengan
Epilog yang mengisahkan rangkaian dinamika peristiwa yang masih
belanjut .Meskipun buku yang mencakup wilayah seluruh tanah air dan
meliputi uraian sejak zaman terbentuknya kepulauan Nusantara buku ini
boleh dikatakan terlepas dari beban politik dan sejauh mungkin
terbebas pula dari segala corak sentrisme, pada waktunya perlu juga
mengadalan revisi. Bukan karena apa-apa, tetapi sejak buku ini terbit
perkembangan dalam historiografi Indonesia masih terus berlanjut.

Penutup
Bagaimanakah perkembangan ilmu sejarah di tanah air tercinta
ini selanjutnya? Kalau mau berlagak jujur tentu bisa saja dikatakan ―No
body knows‖, tetapi tanpa berlagak namun ditopang oleh
pengetahuan dan pemahaman akan keharusan yang tak terhindarkan
bisalah dikatakan bahwa ilmu sejarah dan pengetahuan kesejarahan di
Indonesia ini akan berkembang baik. Betapapun jurusan sejarah – di
universitas manapun juga di negara yang diciptakan oleh kesadaran
sejarah ini (jadi bukan ―warisan nenek moyang‖)—bukanlah jurusan
yang ―laku‖, apalagi merupakan ‖pilihan pertama‖ bagi para calon
mahasiswa. Tetapi bukankah berbagai kejadian yang datang sambung
bersambung membangkitkan juga rasa ingin tahu? ‖Apakah yang
terjadi ini?" "Mengapa hal ini harus terjadi?" Seketika pertanyaan-
pertanyaan seperti ini telah diajukan, maka apapun mungkin disiplin
ilmu yang akan dipakai untuk menjawabnya, namun pertanyaan
kesejarahan tidak terhindarkan.

30
Pengayaan Materi Sejarah

Seketika pertanyaan itu telah dirumuskan maka jawab


sementarapun diperlukan. Bukankah tak mungkin sebuah jawab yang
otentik bisa ditemukan sebelum jawab sementara, yang mungkin
hipotetis atau hanya dugaan belaka, dirumuskan atau diancang-
ancang? Sejarah adalah pemberi jawab pertama sebelum usaha untuk
mendapatkan jawab dari pertanyaan yang tertanyakan bisa didapatkan.
Apalagi, siapapun sadar juga, sejarah adalah juga sesungguhnya jawab
atas pertanyaan kesejarahan—―apakah asal-usul ini‖, ‖mengapakah hal
ini terjadi‖ dan seterusnya. Maka janganlah diherankan kalau salah satu
dimensi kehidupan boleh juga dikatakan sebagai pantulan dari jawaban
dari rentetan pertanyaan yang enggan untuk berhenti.
Wilayah perhatian pada berbagai peristiwa yang pernah terjadi
di bumi Nusantara ini dan bahkan di dunia luar akan semakin banyak
juga dijelajahi . Berbagai corak dan kecenderungan teori dalam usaha
menguraikan "bagaimana" peristiwa atau rangkaian peristiwa dan
menerangkan "mengapa" hal itu terjadi akan ditampilkan juga.
Betapapun halangan akan tetap menghadang tetapi masa depan kajian
sejarah akan semakin semarak juga. Hal ini semakin dimungkinkan
karena jumlah sejarawan yang terlatih dan berkualitas secara akademis
telah semakin banyak juga.

Taufik Abdullah
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

31
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
Bagian pengantar ini berdasarkan pada (1) Taufik Abdullah , ”Seminar Sejarah
Nasional : “kegagalan” yang bahkan membuahkan hasil”. Makalah dalam
Seminar “ Apresiasi Historiografi Indonesia : Ilmu Sejarah dan Tantangan Masa
Depan”, Yogyakarta , 5 Mei, 2014. (2) Taufik Abdullah , “Seminar Sejarah
Nasional I : nostalgia, kilas-balik, refleksi” , Jurnal Sejarah , vol. 14, 1,
2009.Lihat juga Taufik Abdullah, “The Study of History” dalam Koentjaraningrat
(ed.), The Social Sciences in Indonesia, Jakarta :Indonesian Institute of Sciences,
1975 dan Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, Bandung; Satya
Historika,2001, 212-248. Latar belakang sosial-politik dari tulisan diambil dari
TaufikAbdullah, Indonesia. Toward democracy. Singapore: ISEAS, 2009.
2
Tentang situasi tahun 1980-an lihat Taufik Abdullah, “Pengalaman yang berlalu,
tantangan yang mendatang: Ilmu sejarah di tahun 1970-an dan 1980-an”
makalah Seminar Sejarah Nasional Iv , dimuat kembali dalam Masyarakat dan
Kebudayaan: Kumpulan Karangan untuk Prof.Dr. Selo Soemardja, Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1988, 244-267.
3
Lihat pula kumpulan tulisan dari beberapa ilmuwan asing dan Indonesia dalam
Dewi Fortuna Anwar & Bridget Welsch ( editors) , Democracy Take –off? The B.J.
Habibie Period, Jakarta: Sinar Harapan, 2013
4
Lihat juga ,umpamanya Gerry van Klinken, “ The Battle for History after
Suharto” dalam Mary S. Zurbuchen (Ed.), Beginning to remember : The Past in
the Indonesian Present, Singapore/Seatlte : Singapore University Press/
University of Seattle Press, 2005, 233-260
5
Hilmar Farid, “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam Henk Schulte
Nordholt et.al.( eds), Persepktif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta:
KITLV/Obor,2008., 79-110

32
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 1
Dunia Pada Masa Perang Dingin :
Kebangkitan Asia Afrika dan Perubahan Politik Global

“…….Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, yang


memperjuankan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus
memilih antara pro Rusia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian
yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah
berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita
jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional,
melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan
sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu
Indonesia Merdeka Seluruhnya. Perjuangan kita harus diperjuangkan
diatas dasar semboyan kita yang lama : Percaya akan diri sendiri dan
berjuang dengan kesanggupan kita sendiri.1

Kalimat diatas adalah kutipan pidato Mohammad Hattadi


depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
pada 2 September 1948 di Yogyakarta. Pidato yang kemudian diberi
judul “ Mendayung di Antara Dua Karang” tersebut menjadi sebuah
pidato bersejarah , dan menjadi salah satu pidato paling penting dalam
sejarah politik luar negeri Indonesia, karena memuat pendirian
pemerintah RI dalam menyikapi pertarungan politik internasional .
Pidato tersebut disampaikan dalam konteks posisi Indonesia menyikapi
perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan oleh pemerintahan Amir
Syarifuddin.
Menurut Hatta, pembatalan Renville yang terjadi karena
pergolakan di dalam negeri dan kecenderungan untuk memihak politik
anti imperialisme Soviet membuat Indonesia berada dibawah tarikan
dua kekuatan besar: kapitalisme yang dipandu oleh paham Laissez –faire
dan persaingan bebas, serta sosialisme-komunisme yang memiliki
„materialisme sejarah‟ sebagai cara untuk mengatur manusia2. Oleh
sebab itulah menurut Hatta, dengan potensi yang menyeret Indonesia

33
Pengayaan Materi Sejarah

masuk dalam percaturan politik internasional tersebut, Indonesia harus


memiliki posisi tawar sendiri dengan politik luar negeri bebas aktif.
Pidato ini juga merupakan jawaban pemerintah terhadap
munculnya desakan dari FDR (Front Demokrasi Rakyar) pimpinan Tan
Malaka dan kelompok kiri lainnya di BP KNIP yang mendesak
pemerintah bersikap pro Rusia (Blok Timur) dalam perang dingin yang
mulai muncul. Republik Indonesia yang baru lahir sedang menghadapi
situasi sulit, dimana perundingan antara Indonesia dan Belanda yang
dimediasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) menghadapi kebuntuan.
Disamping itu, pada saat bersamanaan Belanda telah bersiap-siap untuk
menyerang kedudukan Republik di Jawa.Terkait desakan itu,
Mohammad Hatta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden dan
Menteri Pertahanan menyatakan bahwa RI tidak akan memilih pro ini
atau itu, melainkan memilih jalan sendiri untuk mencapai kemerdekaan
yaitu “Bebas” menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak
manapun juga, aktif menjaga perdamaian dunia dan bersahabat
dengan segala bangsa.
Dalam situasi politik dunia yang terbelah dalam dua blok,
Amerika dan Uni Soviet yang saling berusaha menarik negara-negara
yang baru merdeka kedalam blok nya masing-masing, Indonesia telah
mempunyai sikap yang tegas sebagaimana yang diungkapkan Hatta
dalam pidatonya tersebut. Secara substansi, pidato Hatta bisa dikatakan
merupakan cikal bakal dari lahirnya politik luar negeri Indonesia bebas
aktif yang menjadi ciri politik luar negeri Indonesia sampai saat ini.
Kebijakan luar negeri Indonesia bebas aktif Indonesia, bisa
dikatakan merupakan respon atau jawaban bangsa Indonesia yang tidak
ingin terombang ambing dalam pertarungan Amerika Serikat (Blok
Barat) dan Uni Soviet (Blok Timur) yang muncul sebagai sebagai
dampak dari kekalahan Fasisme Jerman dan Jepang pada Perang Dunia
II. Kedua negara pemenang perang ini saling berebut pengaruh di
negara-negara dunia ketiga khusunya negara-negara Asia-Afrika. Situasi
politik internasional pada masa ini merupakan babak baru pasca Perang
Dunia II yang disebut Perang Dingin (Cold War).3
Indonesia adalah salah satu negara didunia yang berhasil
memproklamasikan kemerdekaanya ditengah munculnya percaturan
politik global yang baru (munculnya dua blok yang saling bersaing
meluaskan pengaruhnya). Berhadapan dengan dua blok yang berusaha
mempengaruhi Republik yang baru lahir, justru menjadikan bangsa

34
Pengayaan Materi Sejarah

Indonesia berhasil menemukan formulasi kebijakan luar negerinya yang


bebas aktif, tidak memihak namun turuk aktif menjaga perdamaian
dunia, yang kemudian prinsip itu memberikan inspirasi bagi negara-
negara lain, khususnya negara-negara Asia-Afrika dalam menghadapi
dua blok tersebut. Indonesia selanjutnya memberi kontribusi yang besar
terhadap lahirnya persatuan negara-negara Asia-Afrika yang bisa dilihat
dari kontribusi Indonesia dalam pelaksanaan KAA 1955 dan lahirnya
Gerakan Non-Blok pada tahun 1961.
Kata “Perang Dingin”, mungkin bagi sebagian generasi muda
Indonesia yang lahir pada akhir tahun 1990-an adalah suatu kata atau
peristiwa yang asing bagi mereka. Namun, berbeda bagi generasi yang
lahir ditahun 1970-an sampai 1980an, kata perang dingin menjadi
kata atau istilah yang sangat familiar bagi generasi ini. Biasanya, berita
tentang konflik –konflik yang muncul di berbagai belahan dunia
menghiasai halaman-halaman utama surat kabar. Berita –berita tentang
terbongkarnya sebuah kegiatan spionase atau mata-mata biasanya juga
selalu menjadi headline(berita utama). Selain itu, isu tentang
perlombaan senjata nuklir, perlombaan teknologi ruang angkasa dan
lain lain juga selalu menjadi berita sehari-hari. Bahkan persaingan
kedua blok ini juga merambah kedunia perfilman , dimana tema tema
tentang kegiatan spionase menjadi tema yang banyak muncul pada
saat itu. Salah satu Film tentang mata mata yang paling terkenal adalah
Film James Bond yang bercerita tentang kegiatan mata-mata agen
rahasia Inggris M-16.
Berkaitan dengan hal diatas, dalam rangka memberikan
pegetahuan kepada para siswa yang tentang situasi dunia pasca Perang
Dunia II yang ditandai dengan munculnya perang dingin , pada Sub
Pokok bahasan dibawah ini akan dibahas perubahan politik global
pasca Perang Dunia II, terutama peristiwa muncul dan perkembangan
Perang Dingin yang mewarnai dunia sejak tahun 1945 hingga tahun
1990-an, serta kebangkitan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Khusus dalam
pembahasan mengenai kebangkitan Asia Afrika yang akan menjadi
fokus pembahasannya adalah peran Indonesia dalam memunculkan
gerakan alternatif ditengah persaingan kedua blok tersebut, yaitu
Konfereensi Asia Afrika (KAA) Gerakan Non-Blok (GNB) .Dalam bab ini
juga akan dibahas berbagai peristiwa politik kontemporer yang menjadi
penyebab berakhirnya perang dingin seperti peristiwa runtuhnyaUni
Soviet dan Reunifikasi (bersatunya) Jerman , serta fenomena munculnya

35
Pengayaan Materi Sejarah

blok-blok kerjasama ekonomi regional setelah berakhirnya perang


dingin.

1.1. Asal Mula Perang Dingin


Berakhirnya Perang Dunia II ditandai dengan perubahan peta
politik dunia, khususnya peta politik Eropa. Amerika Serikat dan Uni
Soviet membagi kawasan Eropa kedalam dua kawasan pengaruh.
Sebagai dampak dari kekalahan Jerman , berdasarkan perjanjian
Postdam 4 secara khusus Jerman diduduki oleh negara-negara Sekutu
yang berusaha keras mengakhiri segenap potensi agresifnya. Amerika
Serikat, Inggris dan Perancis disatu pihak dan Uni Soviet di pihak lain,
merupakan dua kelompok negara yang memisahkan Jerman ke dalam
dua wilayah yaitu Jerman bagian barat dan Jerman bagian timur.
Pemisahan inilah yang merupakan bibit dari munculnya perang dingin.
Perang Dingin5 selanjutnya menjadi perkara politik dan
diplomatik terpenting pada awal periode pascaperang. Hal ini berakar
pada perbedaan pendapat berkelanjutan antara Uni Soviet dan Amerika
Serikat yang mulai tumbuh sejak pasca revolusi Rusia pada tahun 1917.
Partai Komunis Soviet di bawah pimpinan Vladimir Ilyich Lenin
beranggapan dirinya sebagai ujung tombak gerakan internasional yang
akan menggantikan kekuatan politik yang berkuasa di Barat, dan juga di
seluruh dunia. Pada 1918 pasukan Amerika berpartisipasi dalam
intervensi Sekutu di Rusia mewakili pasukan anti Bolshevik.Amerika baru
mengakui pemerintahan Uni Soviet secara diplomatik pada tahun 1933.
Bahkan pada saat itu masih tersisa kecurigaan satu sama lain. Namun,
pada saat berlangsungnya Perang Dunia II , kedua negara untuk
sementara mengesampingkan perbedaan diantara mereka. Keduanya
bekerja sama, dan bahu membahu bersekutu melawan Jerman.
Perbedaan diantara mereka mulai muncul kembali menjelang perang
berakhir.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan ideologi yang dianut oleh
masng-masing pihak., Amerika Serikat dengan paham kapitalismenya
sangat berbeda dengan ajaran komunis yang dianut Uni
Soviet.Meskipun pada dasarnya kedua negara ini sama-sama
membenarkan adanya aksi ekspansi ke negara-negara lain, tetapi pada
intinya terdapat perbedaan dalam misi serta pelaksanaannya. Di
Amerika Serikat, yang melakukan ekspansi adalah kelompok

36
Pengayaan Materi Sejarah

penguasaha yang bertujuan mencari pangsa pasar baru (membuka


wilayah baru untuk dijadikan tempat pemasaran produk-produknya,
pertanian dan pabrik). Sedangkan Uni Soviet, kegiatan ekspansinya
justru dilakukan oleh para tentaranya yang merupakan alat dari para
pemimpin pemerintahan yang mempunyai maksud politik dibaliknya,
yaitu memperkuat pengaruhnyadi belahan bumi ini. Keinginan itu
merupakan wujud dari aspirasi para pemimpin pemerintahan yang
mempunyai kekuasaan yang sangat besar (sentralistik).6
Alasan-alasan yang sering digunakan Uni Soviet dalam
melakukan ekpansi adalah karena keadaan Uni Soviet yang rentan akan
ancaman bahaya baik dari luar maupun dari dalam negeri, seperti
peristiwa tahun 1812 ketika Napoleon berhasil menundukan Kekaisaran
Rusia. Terakhir saat Perang Dunia II tepatnya 22 Juni 1941 Hilter
(Jerman) , wilayah Uni Soviet sempat dikuasai oleh pasukan Nazi Jerman
, setelah Hitler mengirimkan tiga juta tentaranya ke negara itu.7
Karena adanya pengalaman pahit tersebut, maka setelah
berakhirnya Perang Dunia II, Uni Soviet yang saat itu dipimpin oleh
Josef Stalin menerapkan beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan
buffer,penjagaan wilayah, dan agresifitas dalam melakukan ekspansi.
Dalam kebijakan buffer ini, Uni Soviet menerapkan bentuk strategi
penahan atau penyangga guna melindungi negaranya dari serangan
lawan dengan cara menghimpun negara-negara sekitarnya seperti
Hunggaria, Bulgaria dan Rumania yang termasuk dalam satelitnya
dengan melakukan pengawasan terhadap setiap aktifitas perdagangan
dan kepentingan dalam negara-negara tersebut. Dan untuk
memperkuat kekuasaannya, Uni Soviet memilih untuk bersikap lebih
agresif dalam melakukan ekspansi ke negara-negara lain. Situasi
dalamnegeri suatu negara yang sedang kacau juga sering dimanfaatkan
oleh Uni Soviet untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang sah.
Seperti yang terjadi di Polandia, Cekoslovakia, Hunggaria, Rumania,
Bulgaria, dan Albania.
Contoh konkretnya dapat dilihat dari rencana Uni Soviet untuk
menguasai Yunani dan Turki tahun 1947. Dalam mewujudkan
tujuannya, Uni Soviet memanfaatkan situasi dalam negeri negara-
negara tersebut , yang pada saat itu sedang kacau akibat perang. Dalam
hal ini Uni Soviet mengambilkesempatan dengan adanya perseturan
politik di Yunani antara pihak kerajaan (Monarki) dengan Partai Komunis

37
Pengayaan Materi Sejarah

yang mendapat dukungan penuh dari negara-negara tetangga seperti


Albania, Yugoslavia dan Bulgaria. Berbeda dengan Yunani, Uni Soviet
menguasai Turki dengan melakukan penempatan pasukan militer di
kota-kota sekitar Selat Bosporus dan Dardanelles.
Sepak terjang Uni Soviet, dalam usaha menguasai Yunani dan
Turki tersebut menimbulkan kekhawatiran Amerika Serikat yang pada
saat itu dipimpin oleh Harry S Truman . Amerika Serikat memperkirakan
Uni Soviet akan mengambil kemerdekaan negara-negara tersebut untuk
dijadikan sebagai negara orbitnya. Oleh karena itu, untuk
menggagalkan rencana Uni Soviet, pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan dalam usaha membantu Yunani dan Turki
khususnya dan negara-negara lain yang hancur akibat perang dengan
tujuan mengembalikan kondisi perekonomian mereka agar tidak
mudah dipengaruhi atau dikuasai oleh negara lain dalam hal ini Uni
Soviet. Kebijakan Amerika Serikat dalam membantu negara-negara
tersebut dikenal dengan sebutan Truman Doctrine (12 Maret 1947)
yaitu suatu kebijakan yang bertujuan membantu memulihkan
perekonomian serta politik suatu negara sehingga terbebas dari tekanan
serta pengaruh kekuatan militer pihak asing.8
Upaya diatas merupakan suatu bentuk usaha Amerika Serikat dalam
melakukan pembendungan secara terus menerus (Containment with
firm and vigiland) terhadap penyebaran paham komunis yang dimotori
oleh Uni Soviet.Tindakan pembendungan ini dilakukan karena adanya
masukan dari George F Keenan, Diplomat Amerika yang merupakan
pejabat tinggi di Kedutaan Besar Amerika di Moskow, Uni Soviet.Dari
Moskow Kennan mengirim sebuah telegram panjang (800 kata) yang
dikirim ke Departemen Luar Negeri Amerika pada 1946.Dalam
telegramnya tersebut Keenan menyarankan agar Amerika Serikat
menggunakan pendekatan baru dalam menghadapi sikap agresif Uni
Soviet. Dia memperluas analisis pendekatannya dalam tulisannya yang
berjudul “ The Source of Soviet Conduct‟ dalam jurnal Foreign Affairs .
Dengan menggunakan nama samaran „X” merujuk pada budaya
kecurigaan orang Rusia, ia menjelaskan bagaimana cara yang harus
ditempuh oleh suatu negara untuk dapat menghentikan ekspansi yang
dilakukan Uni Soviet. Dijelaskan pula, bahwa untuk menghentikan
pengaruh Soviet yang sangat ekspansionis itu dibutuhkan kekuatan
tandingan, yaitu berupa pengerahan kekuatan besar dan penuh
kewaspadaan. Dalam hal ini, Amerika Serikat sebagai negara yang

38
Pengayaan Materi Sejarah

memiliki kemampuan dan kekuatan besar serta mempunyai peluang


untuk bisa melakukan pembendungan aksi ekspansi Uni Soviet jika
dilakukan dengan mengerahkan segala kekuatan yang ada serta penuh
kewaspadaan.9
Usaha Uni soviet untuk menguasai Yunani dan Turki serta
kekhawatiran Amerika mengenai dampak penyebaran paham komunis
menimbulkan benih-benih saling curiga di antara kedua negara adi
kuasa itu. Persaingan dalam perluasan pengaruh menjadi unsur utama
yang akhirnya berujung pada pecahnya perang dingin.
Sebenarnya sebelum munculnya kasus Yunani dan Turki ,
keteganganhubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sudah
mulai muncul menjelang berakhirnya Perang dunia II. Hal ini berawal
dari adanya perbedaan pendapat mengenai bentuk pemerintahan dan
pemilu yang akan dijalankan oleh negara-negara di Eropa Timur jika
perang berakhir.
Pada konferensi Postdam Juli 1945, perbedaan yang
terpendam cukup lama tentang Eropa Timur, akhirnya muncul kembali.
Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, menginginkan diadakannya
pemilu yang bebas dikawasan Eropa Timur. Keinginan tersebut
langsung ditentang oleh Stalin, karena Stalin beranggapan bahwa jika
hal tersebut diterapkan maka di Eropa Timur akan terbentuk
pemerintahan yang anti Soviet. Bagi Stalin yang merasakan kehancuran
negerinya akibat serangan pasukan Nazi Jerman. menginginkan
keamanan militer yang total dari Jerman dan Eropa Timur. Stalin
percaya bahwa negara Komunis mampu menjadi kawan bagi Uni Soviet
maka dari itu jika pemilu bebas diadakan dikhawatirkan akan
menghasilkan pemerintahan yang bermusuhan dengan Uni Soviet.
Sebaliknya Amerika Serikat tetap menuntut diadakannya pemilu
yang besas di wilayah tersebut. Sikap keras Amerika Serikat terlihat dari
adanya pernyataan Presiden Harry S Truman pada Oktober 1945 yang
menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan pernah mengakui
sebuah pemerintahan jika pemerintahan tersebut didirikan secara paksa
dan mengabaikan aspirasi politik rakyatnya.
Selain masalah perbedaan pendapat tentang Eropa Timur, serta
masalah Yunani dan Turki. Puncak ketegangan hubungan kedua negara
besar tersebut dipicu oleh masalah penguasaan wilayah Jerman . Jadi
bisa dikatakan bahwa munculnya perang dingin ditandai dengan

39
Pengayaan Materi Sejarah

peristiwa “krisis Berlin” tahun 1948. Penyebab terjadinya peristiwa ini


adalah ketika Uni Soviet memblokade seluruh jalan masuk kota Berlin.
Berlin adalah kota pendudukan Amerika Serikat dan sekutunya, namun
terletak di daerah Jerman Timur, oleh karena itu suplai bahan makanan
dan keperluan lain bagi penduduk kota Berlin harus dikirim lewat udara.
Krisis ini berakhir pada bulan Mei 1949 yang mengakibatkan
terpecahnya Jerman menjadi dua yaitu Jerman Barat beribukota Berlin
Barat dan Jerman Timur yang beribukota Berlin Timur.Berlin Timur dan
Berlin Barat akhirnyya dipisahkan oleh sebuah tembok panjang yang
membelah kedua wilayah tersebut. Munculnya Tembok Berlin membuat
negara Jerman menjadi dua yakni Jerman Barat dan Jerman Timur yang
menjadi penanda dimulainya perang dingin (Cold War) secara resmi.
Selain itu, dalam waktu singkat (1945-1948) Uni Soviet berhasil
membentuk pemerintah komunis di Bulgaria, Rumania, Honggaria,
Polandia dan Chekoslowakia. Karena perkembangan pengaruh Uni
Soviet yang sangat cepat , Amerika Serikat merasa perlu membendung
perkembangan gerakan komunis. Kegelisahan Amerika bisa
diterjemahkan dengan langkahnya menyusun strategi politik global
yang dikenal dengan politik pembendungan containment policy.
Politik Containment ini dimulai dengan adanya Truman Doctrine
dan Marshall Plan.P enerapan Truman Doctrine sendiri ada pada
Marshall Plan, yaitu bantuan yang diusulkan oleh George Marshall,
menteri luar negeri pada masa Truman, kepada negara-negara yang
membutuhkan, terutama negara-negara Eropa. Total dari Marshall Plan
adalah sebanyak US$17 miliar bagi enam belas negara dalam periode
empat tahun. Tujuan dari Marshall Plan sendiri adalah membantu
negara-negara Eropa untuk merekonstruksi negaranya yang hancur
karena Perang Dunia II, dan juga untuk membendung pengaruh
Komunis. Hal itu dilakukan karena Komunis biasanya muncul dari
keadaan miskin dan tidak stabil. Marshall Plan pertama diberikan
kepada Yunani dan Turki sebanyak US$400 juta, karena terjadi
pemberontakan yang diduga dilakukan oleh kaum Komunis.
Untuk dalam negeri Amerika Serikat sendiri, Doktrin Truman
terlihat dengan banyaknya sentimen anti Komunis dalam masyarakat
Amerika Serikat. Presiden Eisenhower (pengganti Harry S Truman)
bahkan meminta gereja untuk mendampingi anak-anak muda di
Amerika Serikat, dan ajaran-ajaran gereja saat itu banyak yang

40
Pengayaan Materi Sejarah

menyamakan Komunis dengan ateis, setan, kegelapan, dan segala hal


yang buruk. Hal sama juga terjadi di sekolah, dimana banyak guru
mengajarkan bahwa Komunis itu buruk, setan, kegelapan, menekankan
bahwa di Rusia “pemimpin setan” berencana menyerang Amerika
dengan senjata nuklir. Para siswa juga dajarkan untuk “tiarap dan
berlindung” jika terjadi ledakan, bersumpah kepada bendera, dan
diajarkan menjadi “warga negara yang baik.”. Bahkan pada era 1950an
sempat ada film berjudul “I Led Three Lives” yang bercerita tentang
seorang pengusaha Amerika yang menjadi agen CIA tapi juga anggota
Partai Komunis. Film ini menggambarkan bagaimana cara komunis
bekerja, bagaimana cara agen komunis melakukan pemberontakan. Ada
juga sebuah acara di radio berjudul “I was a communist for FBI.”
Untuk membendung pengaruh Komunis di seluruh dunia,
Amerika Serikat membuat beberapa pakta pertahanan. Isi dari pakta itu
kurang lebih adalah menciptakan persekutuan militer, dan bila satu
negara diserang maka akan dianggap sebagai serangan ke seluruh
negara. Pakta pertahanan itu adalah NATO di Eropa utara dan barat,
SEATO di Asia Tenggara, CENTO di Timur Tengah, dan ANZUS di
Australia plus New Zealand.Uni Soviet juga menandinginya dengan
Pakta Warsawa dan Comintern (Communist International). Adanya
pakta pertahanan ini juga akhirnya membuat Amerika Serikat banyak
terjun ke perang di segala penjuru dunia dalam misinya membendung
Komunis, termasuk perang Korea, dan perang Vietnam
Guna mengimbangi strategi politik global Amerika Serikat,
pemerintah Uni Soviet membuat Molotov Plan. Tujuannya untuk menata
kembali perekonomian negara-negara Eropa Timur. Selain itu, Uni
Soviet membentuk badan kerjasama ekonomi yang bernama Comintern
Economic (Comecon).
Ada beberapa perbedaan yang mendasar dari AS dan Uni Soviet
ini antara lain perbedaan ideologi dan sistem ekonomi. Uni soviet
berideologi Komunis dan Amerika Serikat berideologi Liberal. Menurut
ideologi Liberal pemerintah dipilih oleh dengan pemilihan bebas,
pemerintah dipilih oleh pemilu yang bebas dan mengedepankan
demokrasi dimana penduduk dapat membentuk partai politik untuk
menyuarakan pendapat politik mereka.. Mereka juga memiliki hak untuk
berkumpul, berbicara dan berpendapat.. Sedangkan menurut ideologi
komunis, Pemerintahan dibentuk oleh Partai Komunis. Orang-orang

41
Pengayaan Materi Sejarah

tidak mempunyai hak untuk membentuk partai politik mereka sendiri,


karena dalam ideologi komunis menganut sistem monopartai.
Masyarakat atau penduduk dari Negara komunis dikontrol dan diatur
langsung oleh negara. persaingan diantara kedua kekuatan besar ini
untuk memperluas pengaruhnya.
Dalam sistem ekonomi ,kedua blok menjalankan sistem ekonomi
yang sangat bertolak belakang . Ideologi Liberal yang dianut AS dan
sekutunya menganut sistem ekonomi yang mendorong perdagangan
bebas serta mendukung keterlibatan pihak swasta dalam menjalankan
ekonomi suatu negara. Di pihak lain, ideologi komunis berpandangan
sebaliknya . Kesejahteraan suatu negara akan dapat dicapai jika negara
tersebut menjalankan kebijakan perkenomian tertutup. Dalam sistem
perkenomian tertutup seluruh kegiatan perekonomian negara di
jalankan oleh negara , dan melarang keterlibatan pihak swasta. Karena
itu negara komunis selalu memberlakukan politik “tirai besi” untuk
mentup pengaruh atau perkembangan paham-paham politik baru dari
luar supaya tidak masuk kedalam wilayahnya
Konflik ideologi antar kedua negara adikuasa tersebut tidak
hanya terjadi di Eropa saja, hampir di seluruh dunia terutama yang
paling banyak memakan korban yaitu konflik yang terjadi di kawasan
Asia. Benih persaingan antara blok barat dan blok timur dikawasan Asia
muncul sejak Yalta Agreement (konferensi Yalta). Dalam konferensi
tersebut, diputuskan Uni Soviet akan menerima semua daerah yang
telah diambil Jepang sejak kekalahannya dalam perang Jepang- Rusia
pada tahun 1905, jika Uni Soviet sebagai anggota sekutu
mengumumkan perang kepada Jepang. Berdasarkan perjanjian itu, Uni
Soviet bersedia berperang melawan Jepang. Setelah Jepang menyerah
kepada sekutu, seluruh wilayah Mancuria dan Korea diduduki oleh Uni
Soviet. Selain itu, Jepang harus menyerahkan senjata kepada Uni Soviet.
Seluruh senjata yang diserahkan kepada Uni Soviet diberikan kepada
tentara komunis Cina, sehingga komunis di Cina semakin kuat dan
kedudukan Uni Soviet di Cina akan semakin kuat pula.
Kuatnya gerakan komunis di Cina berdampak semakin suburnya
perkembangan komunis di Asia Tenggara.Pengaruh komunis Cina dan
Uni Soviet di Asia Tenggara tidak saja mengancam kehidupan
Demokrasi di kawasan Asia tenggara, tetapi juga tantangan serius
terhadap Amerika serikat. Amerika memandang perlu memberikan
bantuan kepada negara-negara di Asia tenggara. Langkah nyata

42
Pengayaan Materi Sejarah

Amerika Serikat adalah dengan memberikan bantuan kepada Vietnam


selatan yang sedang berjuang melawan pasukan Vietminh dari Vietnam
Utara yang mendapatkan suplai persenjataan dari Uni Soviet dan Cina
Usaha Amerika tersebut sebagai bentuk domino theory yang
dikemukakan oleh Presiden Eisenhower. Beliau mengumpamakan jika
Vietnam jatuh ketangan Uni Soviet maka daerah lain di wilayah Asia
pun lambat laun akan terpengaruh juga seperti permainan domino.
Pertempuran yang terjadi di wilayah Vietnam, antara Vietnam selatan
yang dibantu Amerika serikat dan Vietnam utara yang dibantu Cina dan
Uni Soviet pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Soviet dengan
membentuk persatuan Indo Cina yang diberi nama federasi Indo Cina
dibawah panji-panji komunis. Pertempuran yang terjadi di Vietnam
disebut juga dengan proxy war atau perang tanding jarak jauh antara
Amerika serikat dengan Uni soviet sedangkan Vietnam selatan dan
Utara adalah pion-pion yang bertempur di medan perang.
Selama perang dingin berlangsung , kedua negara adi kuasa
tersebut tidak pernah terlibat dalam suatu konflik atau peperangan
terbuka. Namun keduanya selalu memberi dukungan kepada negara-
negara yang sedang bersengketa. Ada beberapa hal yang mewarnai
situasi perang dingin, yaitu:

1.1.1. Perlombaan Senjata


Dalam perkembangannya, persaingan yang paling mencolok
dalam masa Perang Dingin adalah dalam bidang militer,
khususnyadalamhal persenjataan. Perlombaan senjata inilah yang
membuat kedua belah pihak terlibat dalam konflik ketegangan Perang
Dingin.Kedua negara adidaya itu saling berlomba menciptakan berbagai
senjata yang mutakhir dan mematikan,
Salah satu senjata yang paling menakutkan dan dapat
membantu mengakhiri Perang Dunia II adalah bom atom.Senjata yang
disebut bom atom itu dibuat pertama kali oleh Amerika Serikat pada
tanggal 16 Juli 1945 di Alamo Gardo, New Mexico. Bom atom itu
kemudian dipakai untuk menghancurkan kota Hiroshima pada tanggal
8 Agustus 1945 dan kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945.
Akibat pemboman itu Jepang menyerah dan berakhirlah Perang Dunia
II. Bom dalam bentuk apa pun apabila meledak akan menimbulkan

43
Pengayaan Materi Sejarah

kerugian pada manusia dan alam sekitarnya. Tenaga atom yang


ditimbulkan akan menimbulkan radiasi yang apabila diterima dalam
jumlah besar akan sangat fatal akibatnya. Debu radioaktif dan endapan
dari awan yang tertiup angin dan bertebaran di daratan dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman serta membinasakan hewan
dan manusia. Pada jangka panjang ledakan bom atom akan
mengakibatkan kematian serta kanker pada manusia, sedangkan
kerusakan genetis akan terlihat pada generasi-generasi berikutnya.
Keduapihak yang berseteru saling berlomba melengkapi
senjatanya masing-masing. Dari senjata otomatis dengan mesiu, nuklir,
sampai senjata biologis yang bisa memakan banyak korban dengan
sekali tembakan.Perlombaan tersebut merebah keberbagai penjuru
dunia dan membuat masyarakat dunia khawatir akan terjadi perang
nuklir dahsyat. Dalam rangka mencegah kekhawatiran akan terjadinya
perang Dunia III , PBB sebagai organisasi perdamaian dunia membentuk
komisi yang disebut Atomic Energy Commissionpada tanggal 24 Januari
1946 dengan tugas melakukan pengawasan ketat terhadap produk
senjata nuklir.

1.1.2. Sistem Aliansi


Sejatinya perang dingin merupakan persaingan antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet, akan tetapi pada perkembangannya negara-
negara pendukung kedua negara adikuasa tersebut saling memperkuat
basis ekonomi dan militernya masing-masing untuk mengantisipasi
kemungkinan terburuk jika persaingan kedua negara adidaya tersebut
mengarah pada perang secara fisik.Dunia terbagi dalam dua blok (Blok
barat: AS, Blok timur: US) yang saling bertentangan dan membentuk
sistem aliansi (sistem kerjasama ekonomi-militer),seperti: 1).Cominform
(The Communist Information Bureau), tahun 1947. Merupakan
kerjasama ekonomi militer partai komunis seluruh Eropa .2) .Pakta
Warsawa, tahun 1955, bentuk kerjasama antar negara Eropa yang
berhalua Sosialis-komunis 3).ANZUS (Australia, New Zeland, AS) tahun
1951, merupakan pakta pertahanan negara-negara Amerika Serikat,
Australia,dan Selandia Baru.4).CENTO (Central Treaty
Organization)/pakta Bagdad, tahun 1955, Kerjasama untuk
membendung komunis di timur tengah (Irak Iran, Turki, Pakistan dan
Amerika Serikat) 5). SEATO (South East Asia Treaty Organization) tahun

44
Pengayaan Materi Sejarah

1954, kerjasama pertahanan antara negara-negara Asia Tenggara


dengan pihak Barat. Anggotanya Amerika Serikat, Inggris, Perancis,
Filipina, Singapura, dan Selandia Baru 6). NATO (North Athlantic Traty
Organization) tahun 1949, Negara yang menjadi anggotanya yaitu
Inggris, Irlandia, Islandia, Norwegia, Denmark, Belgia, Belanda,
Luxemburg, Perancis, Portugal, Kanada, dan Amerika Serikat. Tujuannya
untuk membendung komunis mulai dari Eropa Utara sampai Turki dan
Yunani.

1.1.3. Kegiatan Spionase


Perebutan hegemoni selama perang dingin antara Uni Soviet
dan Amerika Serikat terhadap berbagai kawasan baik di Eropa, Asia,
Amerika, dan Afrika selalu didukung oleh kegiatan agen intelijen yang
mereka miliki. Kegiatan Spionase (mata-mata) tercermin dari tindakan
yang dilakukan oleh agen spionase kedua belah pihak yaitu antara KGB
dan CIA. KGB (Komitet Gusudarstvennoy Bezopasnosti), merupakan
dinas intelegen sipil atau dinas rahasia Uni Soviet. Sedangkan CIA
(Central Intelligence Agency), merupakan dinas rahasia Amerika Serikat
yang bertugas untuk mencari keterangan tentang negara-negara asing
tertentu.KGB dan CIA selalu berusaha untuk memperoleh informasi
rahasia mengenai segala hal menyangkut kedua belah pihak atau
negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak.
Mereka juga membantu terciptanya berbagai ketegangan di dunia.
Misalnya, CIA turut membantu orang-orang Kuba di perantauan untuk
melakukan serangan ke Kuba tahun 1961 yang disebut Insiden Teluk
Babi. Di pihak lain, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Fidel
Castro (Presiden Kuba) dalam menghadapi invasi tersebut.

1.1.4. Perlombaan Teknologi Ruang Angkasa


Dalam perkembangan persaingan kedua blok selanjutnya
mengarah pada perlombaan ke ruang angkasa. Pada tahun 1957, Uni
Soviet berhasil meluncurkan Sputnik 1 tanpa awak dan dikuti Sputnik II
yang membawa seekor anjing. Amerika Serikat mengimbanginya
dengan melancarkan Explorer I tahun 1958, dan disusul dengan
Eksplorer II, Discoverer dan Vanguard. Uni Soviet melampaui dengan
meluncurkan Lunik dan mendarat di bulan. Pada bulan April 1961,
Soviet berhasil mengirimkan kosmonotnya Yuri A Gagarin ke ruang

45
Pengayaan Materi Sejarah

angkasa dengan pesawat Vostok 1 dan berhasil mengelilingi bumi


selama 1 jam 29 menit. Amerika menyusul dengan Astronotnya Alan B
Shepard Jr pada tahun 1961.Kemudian juga AS berhasilkan
mendaratkan manusia pertama di bulan dengan astronotnya Neil
Amstrong. Kegiatan lomba tekhnologi luar angkasa ini berlangsung
terus hngga tahun 1980-an,
Pada masa perang dingin sains dan teknologi yang terpaut
dengan kegiatan militer mendapat sorotan yang lebih dari pemerintah.
Pemerintah bersedia mengeluarkan dana yang besar demi kemajuan
iptek di negara mereka. Pada periode ini tumbuh disiplin-disiplin ilmu
yang mempelajari dampak sains pada masyarakat. Di negara-negara
maju, teknologi di era modern bukan lagi urusan individu atau
komunitas berskala kecil. Teknologi modern mempunyai tujuan-tujuan
nasional pada wilayah ideologi, militer, ataupun ekonomi dan bentuk
kesadaran nasional untuk menggali sumber-sumber alam yang ada. Ini
juga bertujuan untuk mewujudkan produksi barang dengan skala yang
besar.

1.2. Kebangkitan Asia Afrika


1.2.1. Latar belakang Sejarah Cita Cita Bandung
Munculnya ketegangan politik dunia akibat perang dingin,
secara tidak langsung berdampak pula terhadap negara-negara yang
berada dikawasan Asia dan Afrika. Karena kedua blok yang bersaing
tersebut juga berusaha meluaskan pengaruhnya diseluruh dunia ,
terlebih lagi pada negara-negara yang baru merdeka yang umumnya
berada dikawasan Asia Afrika. Berhadapan dengan situasi politik
internasional seperti itu, muncul kekhawatiran dari beberapa pemimpin
negara-negara Asia Afrika bahwa mereka bisa saja ikut terkena
dampaknya, yang dikhawatirkan bisa memicu konflik baru diantara
negara-negara yang baru merdeka tersebut. Hal inilah yang kemudian
memicu kesadaran munculnya semangat solidaritas Asia Afrika dalam
menghadapi munculnya perang dingin saat itu.
Jika di telusuri jauh ke belakang, cita-cita “Bandung” solidaritas
Asia Afrika telah lama didengungkan oleh para tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia sejak tahun 1920-an diantaranya Ir. Soekarno. Pada tahun
1928, sebelum dimasukan ke penjara Sukamiskin oleh pemerintah

46
Pengayaan Materi Sejarah

kolonial Belanda, dan setelah keluar dari penjara pada akhir tahun
1931, diantara 1932-1933 sebelum beliau diasingkan ke Folres,
Soekano sering kali mengumandangkan persatuan bangsa-bangsa Asia
dalam pidato pidatonya di rapat umum, antara lain yang berbunyi:
“ Kalau Barong Lio Sai dari Tiongkok bekerjasama dengan
Lembu Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir dengan
Burung Merak dari Burma, dengan Gajah Putih dari Siam,
dengan Ular Hidra dari Vietnam dengan Harimau dari Filipina
dan dengan Banteng dari Indonesia, maka pasti hancur lebur
kolonialisme internasionalisme”10

Gagasan-gagasan Bung Karno tentang solidaritas Asia Afrika


dapat dilihat dari tulisan-tulisannya dalam buku “Di bawah Bendera
Revolusi”, Jilid 1. Selain itu, semangat solidaritas Asia Afrika juga telah
berkumandang di tempat lain, di Benua Eropa yang ribuan kilometer
jauhnya dari Indonesia, tepatnya di kota Bierville dekat Paris (Perancis),
dan kota Brussel di Belgia tahun 1926 dan tahun 1927. Dikedua tempat
itu, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Eropa
turut memainkan peranan dalam membangkitkan jiwa solidaritas Asia –
Afrika. Mereka itu antara lain adalah: Mohammad Hatta, Nazir
Pamontjak, Ahmad Subardjo, Arnold Mononutu, Gatot Tarumihardja,
dan Abdul Manaf.
Pada Kongres Demokrasi Internasional ke IV (Demokratique
International) yang diselenggarakan pada pada bulan Agustus 1926 di
Bierville pemuda Mohammad Hatta, bersama –sama dengan para
pemuda dari Asia lainnya seperti Duong Van Giao (Anam/Indocina),
Toptchybachy (Azeribaidjan/Soviet), Tung Meau (Tiongkok) dan K.M.
Pannikar (India), mengeluarkan “ Manifesto bersama “ yang antara lain
berisi ; “Liberatie the spirit of Asia and you will have peace, not a peace
imposed by the sword but a peace based on good will. The spirit of
Asia is essentialy pacific”. (Bebaskan jiwa Asia dan anda akan
memperoleh perdamaian, bukan perdamaian dengan paksaan pedang,
tetapi perdamaian berdasarkan kemauan baik. Jiwa Asia pada dasarnya
adalah jiwa damai).11
Jiwa dan sikap yang sama juga didengungkan kembali oleh para
pemuda-pemuda Indonesia dibawah pimpinan Mohammad Hatta di
Brussel pada saat pembentukan organisasi internasional yang bernama

47
Pengayaan Materi Sejarah

“League against Imperialism, against Colonial Opression, and For


National Independence”. Hadir dalam kongres Liga tersebut para
pemuda Asia lainnya seperti Nehru dari India, Hafiz Rahman Bey dari
Mesir. Mereka semua menggelorakan satu jiwa dan mendengungkan
satu suara‟, yaitu jiwa dan suara rakyat yang dijajah .
Cita –cita solidaritas Asia –Afrika yang telah ditaburkan oleh para
pemuda-pemuda Asia –Afrika pada tahun-tahun 1926-1927, kembali
menggema setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pasca PD II, banyak
negara-negara di Asia-Afrika memperoleh kemerdekaannya, baik melalui
proses dekolonisasi yang mulus seperti India , Pakitan, Burma, Filifina
namun ada beberapa yang memperolehnya melalui perjuangan revolusi
fisik seperti Indonesia-dan Vietnam. Pada saat Indonesia berjuang
untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional atas
kemerdekaanya, bangsa-bangsa Asia yang dipelopori oleh India
memberikan dukungan pada perjuangan Indonesia. Dukungan kuat
terhadap Indonesia dinyatakan dalam Konferensi Inter Asia (Inter Asia
Relations) di New Delhi pada tahun 1947.
Secara historis konferensi ini merupakan suatu peristiwa penting
yang cukup besar karena merupakan suatu tanda berakhirnya era isolasi
bangsa–bangsa Asia. Terutama Indonesia karena untuk pertama kalinya
selama hampir 300 tahun berada di bawah kekuasaan kolonialisme
Belanda, mereka pergi keluar negeri sebagai suatu delegasi negara
merdeka dan mewakili bangsanya untuk duduk sederajat bersama
wakil-wakil dari seluruh Asia.
Dalam pidato pembukaannya pada konferensi ini Nehru
mengemukakan betapa pentingnya peran Asia dalam masalah
internasional dan menganjurkan persatuan di antara bangsa–bangsa
Asia untuk menjamin perdamaian dunia dan perjuangannya masing–
masing. Selanjutnya Nehru juga menguraikan betapa eratnya hubungan
bangsa–bangsa Asia di masa lalu, dalam soal kebudayaan dan
perekonomian, perhubungan itu seolah–olah terputus disebabkan oleh
imperialisme barat, Nehru berharap bangsa Asia sejak saat itu mulai
mengeratkan kembali hubungan mereka dan bangsa–bangsa Asia harus
dapat berdiri tegak dengan kekuatan sendiri, selain itu juga harus dapat
bekerja sama dengan siapapun yang cinta damai, akan tetapi bangsa
Asia jangan sampai dijadikan kekuatan yang dapat dipengaruhi oleh
pihak–pihak lain.

48
Pengayaan Materi Sejarah

1.2.2. Konferensi Asia Afrika

Dari Kolombo Menuju Bandung


Munculnya ketegangan dunia akibat dari adanya persaingan
antara blok barat dan blok timur sangat mengkhawatirkan sebagaian
negara-negara di kawasan Asia dan Afrika yang pada akhir PD II
sebagian besar baru memperoleh kemerdekaannya. Adanya persaingan
kedua blok tersebut,, membuat negara negara Asia Afrika khawatir
bahwa wilayah mereka akan dijadikan arena persaingan dan perebutan
pengaruh yang bisa menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi
di kawasan tersebut. Kekhawatiran mereka menjadi kenyataan dengan
munculnya beberapa konflik di kawasan Asia seperti Perang Vietnam
dan Perang Korea. Dalam dua konflik tersebut, pihak-pihak internal
yang bersengketa atau berkonflik mendapatkan dukungan dari masing
masing blok . Korea Utara dan Vietnam Utara mendapatkan dukungan
dari blok timur (Uni Soviet) , sedangkan pihak lawannya, Korea Selatan
dan Vietnam Selatan mendapatkan dukungan dari blok barat (AS).
Dalam persaingan antara kedua blok tersebut, kedua nya memang tidak
pernah berhadapan secara langsung dalam perang terbuka.
Melihat fenomena seperti itu, beberapa pemimpin negara-
negara Asia Afrika yang baru merdeka, seperti Indonesia, India,
Burma/Myanmar, Srilangka dan Pakistan , berinisiatif untuk membuat
pertemuan yang akan mendiskusikan permasalahan-permasalahan
dunia yang krusial pada saat itu. Keadaan itulah yang melatarbelakangi
lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang
melibatkan negara-negara Asia-Afrika diawali dari pertemuan di
Kolombo yang digagas oleh PM Srilangka Sir John
Kotelawala.Pertemuan ini dikenal dengan Sidang Panca Perdana
Menteri yang dihadiri oleh para Perdana Mentri dari Burma, Srilangka,
India, Indonesia dan Pakistan. Munculnya gagasan untuk mengadakan
sidang ini di dorong oleh kekhawatiran dan keprihatinan atas situasi
peperangan yang sedang berkecamuk di Indocina, dan perkembangan
perlombaan senjata nuklir antara dua blok.
Adanya undangan dari Srilangka tersebut disambut baik oleh
Indonesia, yang sejak bulan Juli 1953 pemerintahan Indonesia dipegang
oleh Ali Sastroamidjojo. Rencana pertemuan tersebut dinilai sebagai

49
Pengayaan Materi Sejarah

kesempatan yang sangat baik untuk merealisasikan kebijakan politik luar


negeri bebas aktif.
Kabinet Ali Sastroamidjojo dalam keterangannya di depan
Parlemen pada Agustus 1953 telah menegaskan , bahwa dalam usaha
memperkokoh perdamaian dunia perlu dirintis dan di organisasi
kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika terutama yang baru
merdeka.
Sebelun berangkat PM Ali ke Kolombo , Menlu Sunario dan
para Dubes Indonesia di negara-negara Asia Afrika mengadakan
pertemuan di Tugu, Bogor. Pertemuan itu membahas rumusan-
rumusan yang akanmenjadi bahan bagi PM Ali Sastroamidjojo untuk
dibawa ke Kolombo, sebagai dasar usul Indonesia untuk meluaskan
gagasan kerjasama regional di tingkat Asia-Afrika.
Sebelum berangkat ke Kolombo, PM Ali menemui Presiden
Soekarno di Istana Merdeka pada bulan April 1955. Dalam pertemuan
tersebut dengan Presiden Soekarno berpesan , supaya dalam
pertemuan Kolombo nanti , Indonesia harus bisa memperjuangkan
tekadnya untuk mengadakan sebuah konferensi yang melibatkan
banyak negara Asia-Afrika. “ Ingat Ali, ini adalah cita-cita bersama ;
hampir 30 tahun yang lalu kita dalam pergerakan nasional melawan
penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia Afrika”, kata
Presiden Soekarno.12
Pertemuan lima perdana menteri itu akhirnya berlangsung pada
tanggal 28 April - 2 Mei 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka),
SirJhon Kotelawala , Perdana Menteri Burma ( U Nu), India (Jawaharlal
Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohamad Ali
Jinah) melakukan pertemuan informal di Kolombo.Pertemuan tersebut
kemudian dinamakan Konferensi Kolombo.
Pada awalnya pertemuan ini tidak memiliki agenda khusus dan
hanya “neighbours groups” yang diadakan untuk mempererat
hubungan antar kepala negara. Namun pada saat pertemuan
dilangsungkan, kondisi di Vietnam mengalihkan hal tersebut. Lima
kepala negara yang hadir lalu memfokuskan perhatian pada kasus ini,
terutama pada kemungkinan eskalasi perang yang terjadi.
Adapun topik yang kemudian di diskusikan meliputi, kondisi
Indocina, bom hidrogen, kolonialisme dan nasonalisme serta

50
Pengayaan Materi Sejarah

komunisme internasional. Gagasan Indonesia untuk mengadakan


pertemuan negara-negara Asia-Afrika akhirnya baru bisa disampaikan
pada sidangnya yang ke 6 pada tangal 30 April sore hari. PM Ali
Sastroamidjojo berkesempatan mengajukan usulnya supaya diadakan
“suatu Konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi Kolombo
, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukan negara-
negara Asia , tetapi juga negara-negara Afrika lainnya.
Dalam pidatonnya juga pada saat itu PM Ali mengemukakan
pendapatnya bahwa “ Dimanakah bangsa-bangsa Asia sekarang
berdiri? Jelas bahwa kita berada di berbagai persimpangan jalan
sejarahnya peri kemanusiaan.Karena itu perlu kita menyadari
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat-rakyat yang kita wakili”.
Bagaimana reaksi pertama atas usul Indonesia itu?Sebagian
besar para Perdana Menteri yang hadir bersikap skeptis.PM Burma U
Nu dan PM Pakistan Moh Ali Jinah agak ragu-ragu tapi tidak berani
menolak terang-terangan.PM Srilangka Sir John Kotelawala lebih ragu-
ragu lagi.Sedaangkan PM India menyatakan bahwa terlalu banyak
kesulitan untuk melaksanakan gagasan Konferensi seperti itu. Jadi
hampir semua para kepala negara yang hadir di Kolombo saat itu
bersikap pesimis dan skeptis terhadap gagasan Indonesia..Namun, PM
Ali Sastroamidjojo pantang mundur, dan tidak menyerah, dan beliau
menegaskan bahwa “ I would be satisfied if the Colombo Conference
agreed that aConference on the lines proposed should be sponsored
by Indonesia”.(Saya akan merasa puas apabila Konferensi Kolombo
dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri
Konferensi Asia Afrika).13
Dari kutipan diatas, jelas terlihat tekad kuat delegasi Indonesia,
dengan kata lain PM Ali Sastroamidjojo seakan-akan berkata ; kalau
tuan-tuan ragu-ragu, berikanlah kesempatan kepada Indonesia untuk
merintis dan mempelopori ikhtiar dan usaha kearah Konferensi Asia
Afrika. Keinginan Indonesia pada akhirnya terwujud terbukti dengan
dicantumkannya gagasan pelaksanaan KAA pada bagian akhir
komunike Konferensi Kolombo.14
Konferensi Kolombo selanjutnya menugaskan Indonesia agar
menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika.
Begitu rombongan PM Ali Sastroamidjojo kembali dari Kolombo,
kabinet segera menentukan langkah-langkah selanjutnya. Dengan

51
Pengayaan Materi Sejarah

diawasi oleh PM Ali Sastroamidjojo, Menlu Sunario bersama para staf


Deplu pada Mei 1954 mulai merintis penjajagan dan persiapan
Konferensi Asia Afrika tersebut. Pihak Deplu di bawah kordinasi
Sukardjo Wirjopranoto, Kepala Direktorat Asia dan Timur Tengah mulai
melakukan penjajagan dengan semua negara-negara Asia Afrika.
Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia
melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara
Asia Afrika. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana
pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan
Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelasakan bahwa
tujuan utama konferensi tersebut ialah untuk membicarakan
kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia Afrika pada saat itu,
mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan
Indonesia sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-
negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui
Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan
peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.
Dari semua negara Asia-Afrika yang berusaha dijajaki, menurut
Indonesia waktu itu, yang terpenting adalah sikap India.India pada
saat itu memiliki pengaruh dan wibawa yang besar di Asia dan
Afrika.India , sejak dari Kolombo memang bersikap ragu-ragu terhadap
niat Indonesia, karena itu keragu-raguan Nehru akan menyulitkan
Indonesia. Untuk itulah maka PM Ali Sastroamidjojo pada akhir bulan
September 1954 memerlukan berkunjung ke New Delhi.
Usaha Ali Sastroamidjojo mendekati PM Nehru akhirnya
membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Joint Statement pada
tanggal 25 September 1954 di New Delhi, yang antara lain berbunyi:“
Kedua Perdana Menteri membicarakan juga usul untuk mengadakan
Konferensi Asia Afrika, dan mereka berdua sependapat bahwa
Konferensi demikian sangat perlu, dan akan sangat membantu usaha
memperkokoh perdamaian dunia. Seyogyanya Konferensi itu diadakan
selekas mungkin”.Ditambahkan pula dalam joint statement tersebut,
dinyatakan pula bahwa perlu sekali para Panca Perdana Menteri
Konferensi Kolombo bertemu sekali lagi.Tempatnya seyogyanya di
Jakarta.Pernyataan bersama yang senada dikeluarkan juga antara PM
Indonesia dan PM Burma U Nu di Rangoon pada 28 September 1954.

52
Pengayaan Materi Sejarah

Selanjutnya bola mulai menggelincir. Pihak Indonesia kemudian


mendapatkan kepastian dari Perdana Menteri Srilangka Sir John
Kotelawala , yang dalam bulan Desember 1954 akan mengadakan
kunjungan ke Amerika Serikat, bahwa beliau bersedia singgah di
Indonesia pada perjalanan pulangnya untuk bersama-sama berjumpa
dengan para Perdana Menteri Konferensi Kolombo lainnya.
Sehubungan dengan itu, selanjutnya diputuskan bahwa Konferensi
Panca Perdana Menteri yang kedua akan diadakan pada 28-30
Desember 1954, dan dengan persetujuan Presiden Soekarno
tempatnya ditetapkan di Istana Bogor. Inilah sejarah awalnya
Konferensi Bogor, pembuka jalan bagi Konferensi Asia-Afrika di
Bandung.
Para delegasi negara yang diundang mulai tiba di Jakarta pada
27 Desember 1954, selanjutnya mereka berangkat ke Bogor dan
menginap di Bungalow Istana Hotel Salak. PM Burma U Nu didampingi
oleh 6 anggota delegasi, PM India Nehru disertai 7 anggota delegasi,
PM Pakistan Moh Ali diikuti 5 anggota delegasi, dan PM Srilangka Sir
John Kotelawala didampingi oleh 3 anggota delegasi. Sedangkan
Indonesia sebagai tuan rumah mengirim delegasi sejumlah 14 anggota
yang dipimpin oleh PM Ali Sastroamidjojo dan Menlu Sunario.
Sidang dibuka oleh PM Ali Sastroamidjojo pada hari selasa sore
tanggal 28 Desember 1954. Dalam pidato pembukaannya, PM Ali
dengan suara lantang mengemukakan lebih dahulu pandangannya
tentang situasi internasional terutama terkait ketegangan hubungan
Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Kemudian beliau
melaporkan hasil penjajaganya tentang Konferensi Asia Afrika. Dari 14
Negara yang dijajagi oleh indonesia yaitu Afganistan, Mesir, Ethiopia,
Iran, Iraq, Yordania, Libanon, Liberia.Libya, Filifina , Saudi Arabia, Syria,
Muangthai dan Yaman, 12 negara telah memberikan jawaban positif,
mereka setuju diadakannya Konferensi Asia Afrika selekas mungkin.
Hanya Filipina dan Muangthai yang belum memberikan reaksi
sedikitpun. Ditambahkan pula , bahwa ada beberapa negara yang
menghendaki RRC diundang. Beberapa negara Arab mengusulkan
supaya Nepal, Tunisia dan Liga Arab juga diundang.Tantangan hanya
dikeluarkan terhadap kemungkinan mengundang Israel.
Pidato pembukaan PM Ali ini segera disusul oleh pidato-pidato
sambutan dari 4 PM lainnya.Semua menekankan pentingnya

53
Pengayaan Materi Sejarah

Konferensi Bogor saat itu. Dan juga pentingnya Konferensi Asia Afrika
yang sedang mereka bicarakan itu untuk perdamaian di Asia Tenggara
khususnya Asia Afrika dan seluruh dunia umumnya.
PM Ali Sastroamidjojo kemudian mengusulkan hendaknya
secara bertuut-turut dibicarakan 1) tujuan Konferensi Asia Afrika, 2)
siapa sponsornya, 3)waktu dan lamanya, 4)tingkat delegasi yang
diminta hadir, 5) agendanya, dan yang terakhir 6)negara-negara yang
diundang. Pada umumnya semua yang hadir menyetujui urutan-urutan
yang dikemukakan oleh PM Ali tersebut.yang agak mereda sejak
Konferensi Kolombo yang lalu.
Setelah melalui beberapa perdebatan diantara para delegasi,
kemudian berhasil dirumuskan tujuan dari Konferensi Asia Afrika salah
satunya adalah “untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika, serta
rakyat-rakyatnya dalam dunia dunia dewasa ini serta sumbangan yang
dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerjasama di
dunia”.
Selanjutnya, pembicaraan berlanjut mengenai siapa yang akan
menjadi sponsor. Setelah masalahnya ditinjau dari berbagai sudut
pandang, akhirnya secara konsensus mereka sepakat bahwa Indonesia
akan menjadi sponsor utama dan akan mengorganisasikan seluruh
jalannya Konferensi Namun negara-negara peserta Kolombo lainnya
adalah juga sponsor KAA, dan karenanya mereka juga akan ikut
memikul sebagian dari biaya pendanaannya. Pembiayaan untuk
perbaikan gedung-gedung, jalan-jalan, alat-alat komunikasi dan lain-
lainnya yang bersifat investasi modal menjadi tanggung jawab
Indonesia. Dalam pada itu di Indonesia akan dibentuk sebuah
sekretariat bersama di bawah pimpinan Indonesia, sedangkan 4 negara
Kolombo lainnya akan menempatkan wakilnya. Roeslan Abdulgani
ditunjuk sebagai ketua sekretariat bersama.
Untuk menjaga jangan sampai Sekretariat Bersama itu nantinya
tidak “berakar” dalam aparatur pemerintahan yang ada, maka dengan
persetujuan Kabinet dibenyuk dua panitia. Satu di tingkat nasional di
Jakarta, satu di tingkat lokal di Bandung. Komposisi Panitia Jakarta
adalah interdepartemental , dimana duduk wakil-wakil departemen-
departemen Luar Negeri, Perhubungan, Penerangan, Keuangan,
pekerjaan Umum, Pendidikan, Pertahanan , dalam Negeri dan
Kepolisian. Panitia Lokal di Bandung diketuai oleh Gubernur Jawa Barat

54
Pengayaan Materi Sejarah

Sanusi Hardjadinata dan ditugaskan untuk melaksanakan segala


persiapan teknis, administratif, security dan sebagainya dikota
Bandung dan sekitarnya.
Konferensi Bogor kemudian memutuskan bahwa KAA akan
dilaksanakan di Bandung pada akhir April 1955. Mengenai tingkat
delegasi ditentukan, bahwa tingkatannya adalah tingkat Menteri,
dengan penegasan seyogyanya yang dikirim adalah Perdana Menteri
dan/atau Menteri Luar Negeri. Mengenai agenda konferensi tidak
diambil suatu keputusan yang mengikat. Cukup diingatkan saja kepada
semua negara yang akan diundang tentang 4 pokok maksud dan
tujuan KAA. Sehingga nanti terserah kepada peserta sendiri untuk
menyusun acaranya secara terperinci. Demikian juga tentang tata tertib
diserahkan kepada para peserta KAA. Selanjutnya , juga diputuskan
bahwa semuan negara di benua Asia-Afrika yang sudah merdeka atau
sudah berpemerintahan sendiri akan diundang sebagai peserta penuh.
Dalam Perdebatan, mengenai negara-negara yang akan diundang ,
terjadi perbedaan yang cukup tajam antara India, Burma dengan
Pakistan dan Srilangka terkait undangan terhadap Republik Rakyat Cina
(RRC) dan Israel. India dan Burma menginginkan Cina turut di undang
, namun hal ini ditentang oleh Pakistan dan Burma yang melihat
ideologi komunis Cina sebagai sesuatu yang membahayakan stabilitas
politik Asia. Sedangkan bagi India dan Burma yang mempunyai
hubungan baik dengan RRC menginginkan kehadiran Cina, karena
Cina dinilai sebagai faktor kunci bagi stabilitas keamanan politik
regional, selain itu secara geopolitik India dan Burma sangat
berkepentingan dengan Cina. Sedangkan terkait keinginan India untuk
mengundang Israel juga mendapat penentangan keras dari Pakistan.
Akhirnya para peserta konferensi Kolombo sepakat tetap untuk
mengundang Cina, namun tidak jadi mengundang Israel, karena
dikhawatirkan negara-negara Arab akan memboikot KAA nantinya.
Para peserta Konferensi Bogor, pada sidang penutupan tanggal
29 Desember 1954, sepakat untuk mengundang 25 negara, yaitu
Afganistan, Kamboja, Republik Afrika Tengah, China, Mesir, Ethiopia,
Gold Coast/Pantai Gading . Iran, Iraq, Jepang , Yordania, Laos.
Lebanon, Liberia, Lybia, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria,
Thailand, Turki, Vietanam Utara, Vietnam Selatan, Yaman. Pada saat
pelaksanaan hanya Central African Federation (Republik Afrika Tengah)
yang tidak datang.

55
Pengayaan Materi Sejarah

1.2.3. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika

Sumber : Jamie Mackie, Bandung 1955


Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika akhirnya ditetapkan pada 18
April 1955. Sebelumnya hasil konferensi Bogor menetapkan KAA akan
dilaksanakan pada akhir April, namun ternyata akhir April 24/25 sudah
masuk bulan Ramadhan, kebanyakan negara negara Arab sulit akan
datang. Diundurkan pembukaanya tidak mungkin, lebih baik
dimajukan. Mengingat Konferensi akan memakan waktu 10 hari untuk
berkumpul, maka direncanakan akan dibuka pada 15 April. Namun,
ternyata PM U Nu tidak dapat meninggalkan Burma pada tanggal 15
April, demikian juga delegasi-delegasi dari negara-negara Muangthai,
Indocina dan lain-lain. Sebab tanggal 15 Mei adalah hari suci agama
Budha. Mereka baru bisa datang pada 16 April malam atau paling
lambat tanggal 17 April .
Berdasarkan hal tersebut, Joint Secretariat (Sekretariat Bersama)
memutuskan tanggal 18 April 1955 hari Senin sebagai tanggal
pembukaan, dan Konferensi dapat ditutup pada tanggal 23 April

56
Pengayaan Materi Sejarah

mengingat permulaan bulan puasa. Mempersiapkan akomodasi untuk


lebih 1500 tamu peserta dalam 14 hotel besar kecil dalam 31
bungalow di sepanjang jalan Cipaganti, jalan lembang dan Jalan
Ciumbuleuit ternyata tidak mudah, namun akhirnya berjalan lancar,
demikian juga fasilitas penginapan bagi kurang 500 wartawan dalam
dan luar negeri.
Hotel Homann, Preanger, dan Astoria khusus bagi para staf
delegasi. Sementara itu para PM ditempatkan di Bungalow. Sedangkan
untuk para wartawan disediakan tempat penginapan di hotel “Swarha
Islamic”, di pojok alun alun Bandung.. Joint Secretariat juga
menyediakan 143 mobil sedan, 30 Taxi dan 20 bus untuk para peserta
dan wartawan. Untuk saat sekarang mungkin angka-angka itu tidak
berarti , tetapi untuk keadaan saat itu, jumlah itu sangat besar, dan
tidak mudah diperoleh begitu saja.
Presiden Soekarno juga turut memantau persiapan Konferensi
secara langsung, dilatar belakangi keinginan kuat untuk menadi tuan
rumah yang baik. Pada hari kamis tanggal 7 April, Presiden Soekarno
datang khusus ke Bandung untuk memeriksa segala persiapan KAA.
Sampai ke hidangan-hidangan yang akan disuguhkan , beliaulah yang
meminta jangan selalu dihidangkan makanan dan snack Eropa saja
kepada tamu-tamu asing, seperti yang sudah menjadi kebiasaan waktu
itu. Presiden Soekarno menginstruksikan untuk menghidangkan soto,
sate, gado-gado dan sebagainya kepada tamu asing. Juga Klepn,
pukis, Lemper, kue lapis. Bika ambon, dawet dan sebagainya sebagai
snack..
Hari senin 18 April 1955, adalah hari besar bagi kota Bandung,
bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa Asia-Afrika. Sejak pukul
07.00, jalan Raya Timur (yang sejak beberapa hari sebelumnya diganti
namanya dengan jalan Asia Afrika), dari hotel Preanger sampai Alun-
alun tertutup untuk kendaran. Rakyat mulai berjejal di pinngir jalan
ingin menyaksikan para anggota delegasi dari Asia-Afrika. Para
Delegasi yang menginap di Hotel Homan dan preanger datang di
gedung Merdeka dengan jalan kaki.
Pukul 09.00 datang Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta, bersama-sama dengan Ibu Fatmawati dan Racmi
Hatta. Duduk diatas panggung di tengah-tengah Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta di apit oleh Panca Perdana

57
Pengayaan Materi Sejarah

Menteri. Para ketua dan anggota delegasi lainnya duduk di ruang


sidang menurut abjad. Di balkon belakang tersedia 200 tempat bagi
wartawan wartawan luar dan dalam negeri. Di balkon samping
ditempatkan penterjemah, para pembuat film dan penyiar radio. TV
belum ada pada waktu itu.
Tepat pukul 09.00 lebih sedikit, Presiden Soekarno dipersilahkan
oleh PM Ali Sastroamidjojo untuk mengucapkan pidato
pembukaannya. Beliau memulai pidatonya dengan mengingatkan akan
perjuangan penderitaan rakyat rakyat Asia Afrika. Gedung di Bandung
sekarang ini, kata beliau tidak hanya diisi oleh pemimpin-pemimpin
Asia Afrika, tetapi juga oleh semangat dan jiwa yang tidak dapat
dimatikan, tidak dapat dijinakan dan tidak dapat dikalahkan” dari
generasi-generasi yang dulu dalam perjuangan kemerdekaannya.
Pidato Presiden Soekarno juga menyinggung sejarah perjuangan
mahasiswa dan pelajar-pelajar Asia Afrika pada tahun 1927 di Brussel,
Belgia. Seperti kita ketahui pada Konferensi itu hadir antara lain
pemuda Nehru dari India, dan pemuda Hatta dari Indonesia. Presiden
Soekarno mengingatkan perbedaan dulu dan sekarang dengan
kalimat-kalimat sebagai berikut :
“Dalam hubungan ini saya mengingatkan kembali kepada
Konferensi Liga melawan Imperialisme dan kolonialisme, yang
diadakan di Brussel hampir 30 tahun yang lalu. Pada Konferensi
itu banyak diantara anggota delegasi yang terhormat yang kini
hadir dan saling bertemu dan mendapat kekuatan baru untuk
bekal dalam perjuangan kemerdekaan....15
Kemudian beliau juga mengingatkan jangan sampai dunia Asia-
Afrika jangan sampai terpedaya oleh dongengan seakan-akan
kolonialisme sudah mati seluruhnya . Beliau mengingatkan mengenai
bentuk baru dari kolonialisme. Menurutnya Kolonialisme mempunyai
juga baju baru modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi,
penguasaan intelektual, penguasaan materill yang nyata dilakukan oleh
sekumpulan kecil orang –orang asing yang tinggal di tengah-tengah
rakyat. Beliau juga menambahkan bahwa “kolonialisme baju baru”
sama jahatnya dengan kolonialisme bentuk klasik.
Begitu pidato pembukaan Presiden Soekarno selesai, dilanjutkan
dengan sidang pleno, secara aklamasi PM Ali Sastroamidjojo di tunjuk
sebagai ketua konferensi. Dalam Sidang Pleno hari pertama masing-

58
Pengayaan Materi Sejarah

masing delegasi diberikan kesempatan berpidato yang dilanjutkan pada


keesokan harinya. Semua ketua delegasi berpidato, kecuali Burma,
India, Indonesia dan saudi Arabia. Sebelumnya, Konferensi menyetujui
untuk membentuk panitia Ekonomi diketuai oleh Ir. Roosseno(Menteri
Perekonomian) , panitia Kebudayaan diketuai oleh Prof. Ir.
Mohammad Yamin (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan panitia
politik yang terdiri dari ketua-ketua delegasi yang diketuai oleh PM Ali
Sastroamidjojo.
Hampir semua pidato ketua delegasi menekankan perlunya
untuk bersikap dan berpendirian bebas terhadap kekuatan politiknya
negara-negara besar, terutama para negara besar yang antagonis
dalam perang dingin. Bahkan Sir John Kotelawala dari Srilangka
mengutip ucapan seorang pemimpin negara besar dalam Konferensi
Yalta, yang berkata:
“The eagle should permit the small birds to sing, and care not
where of they sing......(Elang Rajawali hendaknya
memperkenankan burung-burung kecil bersiul, tapi tidak perlu
menggubris apa siulannya itu.....16

Terkait dengan “prinsip hidup berdampingan secara damai”


peaceful-coexistence terutama dalam hubungannya dengan blok-blok
militer di Asia seperti SEATO dan CENTO, mulai dibicarakan dalam
Konferensi sejak jumat sore tanggal 22 April 1955. India. Burma,
Indonesia, Mesir, RRC tergolong negara yang pro “peaceful coexistence”
dan tidak menyetujui adanya blok-blok militer baik Barat maupun
Timur. Irak, Turki, Pakistan, Filipina dan Muangthai adalah negara-
negara yang pro blok militer dan skeptis terhadap pelaksanaan
“peaceful coexistence. Juru bicara kelompok ini adalah Pakistan.
Perdana Menteri Burma, U Nu mengemukakan bahwa dalam
situasi dunia saat itu , kita tidak dapat lain bersikap hidup toleran dan
saling menghargai. Apalagi dalam perbedaan pendapat, perbedaan
ideologi, dan perbedaan sistem politik. Karena itu kita semua harus
berani hidup berdampingan secara damai, sambil menjunjung tinggi
dan menghargai kedaulatan dan integritas wilayah masing-masing, non
intervensi, non agresi, serta mengembangkan kerjasama demi
keuntungan bersama.

59
Pengayaan Materi Sejarah

Hasil Konferensi Asia Afrika yang paling penting adalah telah


terjadinya suatu kerjasama di antara negara-negara Asia Afrika. Selain
itu, pertemuan KAA telah berhasil pula merumuskan sepuluh asas yang
tercantum dalam Dasasila Bandung. Dalam Dasasila Bandung,
tercermin penghargaan terhadap hak asasi manusia, kedaulatan semua
bangsa, dan perdamaian dunia. Berikut adalah isi Dasasila Bandung.

Dasasila Bandung
1. Menghormati hak-hak asasi manusia sesuai dengan Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan wilayah setiap bangsa.
3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa
baik besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara
lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri
secara sendirian atau secara kolektif.
6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan agresi terhadap negara lain.
8. Menyelesaikan masalah dengan jalan damai.
9. Memajukan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, dan
budaya.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.17

Terlaksananya KAA tidak bisa lepas dari peran Indonesia. Di


samping sebagai salah satu pelopor dan pemrakarsa KAA, Indonesia
menyediakan diri sebagai tempat penyelenggaraan KAA. Hal ini
membuktikan prestasi Kabinet Ali Sastroamijoyo yang berhasil
menyelenggarakan suatu kegiatan yang bersifat internasional.

60
Pengayaan Materi Sejarah

Sumber : Jamie Mackie, Bandung 1955, hal.73

KAA memberikan dampak langsung dan tidak langsung bagi


kebijakan luar negeri Indonesia. Dampak langsungnya diantaranya, yang
pertama adalah penandatangan kesepakatan Kewarganegaraan Ganda
(Dual Nationality Agreement) antara Indonesia dan Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). Menurut kesepakatan ini orang-orang keturunan
Tiongkok yang tinggal di Indonesia akan diharuskan memilih antara
menjadi warganegara Indonesia atau Tiongkok. Hal ini dianggap
sebagai konsesi Tiongkok terhadap Indonesia, sebab sebelumnya
Tiongkok mengklaim bahwa semua keturunan Tionghoa yang ada di
luar wilayahnya adalah warganegara Tiongkok. Yang kedua adalah
dukungan bulat dari seluruh peserta negara KAA kepada Indonesia
dalam menuntut haknya atas Irian Barat. Dukungan ini bahkan
dicantumkan secara jelas di dalam komunike akhir KAA.
Dampak tidak langsung yang tidak kalah pentingnya terutama
bagi peran Indonesia di peraturan politik internasional diantaranya yaitu
; 1. KAA melahirkan istilah “Bandung Spirit” yang merupakan seruan
demi ko-eksistensi damai antarbangsa, demi pembebasan dunia dari
struktur dominasi antarnegara, demi solidaritas bagi bangsa-bangsa
terjajah. Istilah “Bandung Spirit” ini kemudian menjadi rujukan gerakan-

61
Pengayaan Materi Sejarah

gerakan sosial dan politik di tingkat rakyat ataupun negara dimana-


mana yang berkonotasi “progresif revolusioner, anti kolonialisme, anti
imperialisme, demi kemerdekaan , demi perdamaian. 2). Indonesia
dihargai sebagai jembatan, perantara atau fasilitator hubungan bangsa-
bangsa Asia dan Afrika, sebab banyak anggota delegasi negara-negara
peserta KAA tidak saling mengenal sebelumnya. Berkat KAA mereka bisa
saling mengenal satu sama lain. Persahabatan yang ditimbulkan
menjadi modal diplomasi kreatif dan inovatif negara-negara Asia Afrika
di tingkat PBB pada masa masa selanjutnya.
KAA berpengaruh sangat besar dalam upaya menciptakan
perdamaian dunia dan mengakhiri penjajahan di seluruh dunia secara
damai, khususnya di Asia dan Afrika. Semangat KAA untuk tidak
berpihak pada blok barat maupun blok timur telah mendorong lahirnya
Gerakan Nonblok.

Presiden Soekarno, Membuka KAA (Sumber : Jamie Mackie, 1980, hal. 70)

62
Pengayaan Materi Sejarah

1.2.4. Gerakan Non Blok

Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM)


adalah suatu Gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga
yang saat ini memiliki anggota lebih dari 100 negara. Negara –negara
anggota Non Blok berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang
tidak memihak dan beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur.
Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan
hampir 2/3 keangotaan PBB. Mayoritas negara-negara anggota GNB
adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan setelah
berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di benua Asia,
Afrika dan Amerika Latin
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an
negara –negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di
bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni
Soviet. Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara blok
barat dan timur, era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold War) yang
berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada
tahun 1989. Pertarungan antara blok Barat dan Timur merupakan upaya
untuk memperluas sphere of interst dan sphere of influence. Dengan
sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di
seluruh dunia.
Dalam pertarungan perebutan pengaruh ini, negara-negara dunia
ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin)yang mayoritas sebagai negara yang
baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua
blok untuk menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok
tersebut, muncul beberapa konflik terutama di Asia, seperti Perang Korea,
dan Perang Vietnam . Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang
kuat dari para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam
persaingan antara kedua blok tersebut.
Indonesia bisa dikatakan memiliki peran yang sangat penting
dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi Gerakan Non
Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara
dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya
ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara blok Barat
dan Blok Timur.

63
Pengayaan Materi Sejarah

KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan


KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia
waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-
negara yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional.
Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan
dan proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal
adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser, Presiden Ghana Kwame
Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia
Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB
Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat
persaingan antara blok Barat dan blok Timur , yang dimulai dari pecahnya
perang Vietnam , perang Korea, dan puncaknya krisis teluk Babi di Kuba ,
yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para pemimpin
negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang
diharapkan bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia
internasional saat itu. Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok
dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd ,
Yugoslavia 1- 6 September 1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia
dan Afrika.
KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara sebagain besar dari kawasan
Asia Afrika, yaitu; Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia,
Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India,
Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia,
Sudan, Suriah, Tunisia dan Yugoslavia. Disamping itu ada tiga peninjau
yaitu Bolivia, Brazil dan Ekuador.
Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini
berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu
organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam
membangun upaya kerjasama di antara mereka. Non Blok atau Non –
Alignment pada dasarnya berarti bahwa negara-negara yang baru
merdeka dan sedang berkembang tidak secara mutlak dan “a priori”
memihak pada salah satu kekuatan raksasa dunia pada waktu itu yakni
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Non Blok juga berarti bahwa sebagai
kekuatan negara-negara yang mendambakan perdamaian dan tidak
membentuk blok baru. Karena bentuk kerjasamanya adalah gerakan,

64
Pengayaan Materi Sejarah

bukan suatu organisasi, maka keanggotaan suatu negara dalam gerakan


Non-Blok tidak sedikitpun mengurangi kebebasan-nya.
Prinsip-prinsip dasar Gerakan Non-Blok tidak melarang suatu
negara anggota gerakan Non-Blok untuk bersahabat dengan salah satu
atau beberapa negara besar demi kepentingan nasionalnya, karena
urusan bilateral suatu negara adalah urusan dalam negerinya masing-
masing. Namun dekatnya hubungan suatu negara Non-Blok dengan
salah satu negara besar tidak boleh dibawa-bawa dan mempengaruhi
gerakan Non-Blok itu sendiri, apalagi mengubah haluannya.18
Secara garis besar, prinsip-prinsip yang dijadikan dasar
pegangan Gerakan Non-Blok adalah; pertama ,ko-eksistensi damai
antara semua negara di dunia sehingga tidak terjadi pertarungan dan
peperangan yang akan merugikan semua pihak. Kedua, menghormati
kemerdekaan dan kedaulatan setiap negara. Ketiga, semua bangsa
mempunyai hak menentukan arah perkembangannya sendiri dalam
setiap bidang, dan hak ini harus dihormati oleh bangsa-bangsa lain.
Keempat, mengusahakan peniadaan semua sarana dan kemungkinan
yang bisa mengancam perdamaian dunia, itulah sebabnya harus
diadakan perlucutan senjata , khususnya persenjataan nuklir.19
Prinsip-prinsip itu bisa juga disarikan dari pidato-pidato yang
dikemukakan dalam KTT Beograd, maupun dari deklarasi yang
dihasilkannya. Dalam pidato-pidato para pemimpin GNB pada
pembukaan KTT tedapat adanya penekanan yang berbeda dalam
mengedepankan prinsip-prinsip tersebut .
Presiden Soekarno misalnya lebih menekankan prinsip kedua dan
ketiga.Ia mengatakan, bahwa akar ketegangan dunia internasional
adalah imperialisme dan kolonialisme. Sejarah membuktikan, bahwa
system-sistem social yang berbeda bisa berkoeksistensi antara
kemerdekaan di satu pihak dengan imperialism dan kolonialisme di
pihak lain . Ketegangan di Jerman menurut Soekarno, akan dapat
dikurangi dengan mengakui adanya dua negara Jerman, dan menarik
mundur semua campur tangan asing, dan membiarkan bangsa Jerman
menentukan masa depan mereka sendiri20.
Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru lebih menyoroti hal-hal
yang berkaitan dengan prinsip pertama. Ia menekankan bahwa situasi
internasional yang sedang mereka hadapi adalah yang paling berbahaya
sejak berakhirnya PD II. Menurutnya masalah perang dan damai harus

65
Pengayaan Materi Sejarah

mendapat prioritas untuk ditangani. Presiden Mesir, Ghamal Abdul


Nasser memberikan tekanan pada prinsip keempat. Menurutnya
ketegangan Berlin (yang pada waktu itu sedang memuncak) adalah
akibat terjadinya perlombaan persenjtaan, dan gagalnya negara-negara
besar mencapai persetujuan mengenai perlucutan senjata. Nasser
menyerukan agar negara-negara Non-Blok selalu mendukung dengan
segenap tenaga usaha menegakan perdamaian, disamping memusatkan
kegiatannya untuk melenyapkan kolonialisme.
Presiden Tito dari Yugoslavia yang menjadi tuan rumah
konferensi, terutama menyoroti prinsip pertama, yang dikaitkannya
dengan terjadinya pembentukan blok-blok yang saling bermusuhan. Ia
menekankan bahwa KTT Beograd tidak dimaksudkan untuk membentuk
blok baru. Kepada negara-negara besar Tito memperingatkan , bahwa
nasib dunia ini tidak dapat hanya mereka tentukan sendiri.
Deklarasi KTT yang terdiri dari 27 pasal adalah sejalan dengan isi
pidato tokoh-tokoh yang dikutip diatas, dengan menyoroti masalah-
masalah yang hangat waktu itu. Seperti, misalnya masalah Angola;
penarikan pasukan Perancis dari seluruh wilayah Tunisia; masalah hak
rakyat Palestina; penutupan pangkalan AS di Guantanamo karena
merugikan integritas teritorial Kuba; penyeselesaian masalah Jerman
secara damai; kecaman terhadap semua bentuk kolonialisme, neo-
kolonialsme dan dominasi imperialis. Seruan kepada AS dan Uni Soviet
agar mengakhiri persiapan-persiapan perang dan segera mengadakan
perundingan damai.21Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak
diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi
untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang
merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
Peran aktif negara-negara Non-Blok dalam menjaga perdamaian
dunia diperinci lebih jelas dan tegas dalam Deklarasi KTT Non-Blok ke-II
di Kairo , Mesir (5 -10 Oktober 1964). Dikemukakan sebagai prinsip
sentral dalam deklarasi itu adalah peaceful co-existence atau “ko-
eksistensi damai”, yang dalam pendahuluan deklarasi ditambah kata
sifat active, sehingga active peaceful co-existence. Dengan
penambahan kata “aktif” itu menjadi lebih jelas bahwa ko-eksistensi
damai dalam hubungan antar bangsa mengandung pula amanat
pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan. Kerjasama
ekonomi juga ditegaskan dalam rangka aktif ko-eksistensi damai.

66
Pengayaan Materi Sejarah

Sebenarnya prinsip-prinsip itu juga sudah dituangkan dalam


pembukaan UUD 45, dan tokoh-tokoh kita seperti Bung Hatta misalnya
juga sering mengemukakannya dalam berbagai tulisan maupun pidato.
Jadi bagi Indonesia, prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok tidaklah
merupakan sesuatu yang baru. Dan prinsip-prinsip itu pula yang
sebenarnya disuarakan dalam Konferensi asia Afrika di Bandung tahun
1955.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia
karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB.
KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan
Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan
bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian
GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh
penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak
sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih
mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan
dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD
1945.
Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke
luar.Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan
ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan
ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara blok Barat dan blok
Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut, negera-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT). Pokok pembicaraan utama adalah membahas
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non Blok dan ikut
mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa internasional yang
membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam perkembangannya GNB tidak hanya memfokuskan
perhatiannya pada masalah -masalah kolonialisme dan ketegangan
dunia , namun mulai juga membahas masalah-masalah ekonomi dan
pembangunan negara negara Asia Afrika.kerjasama-kerjasama di bidang
ekonomi. Hal ini terlihat pada KTT ke-II di Kairo Mesir 1964, GNB mulai
membahas kemungkinan –kemungkinan kerjasama diantara mereka
khususnya pada bidang pembangunan, perdagangan dan kerjasama
teknik internasional. Arah dan perhatian terhadap masalah
pembangunan kerjasama ekonomi ini dilanjutkan pada KTT Non-Blok ke

67
Pengayaan Materi Sejarah

III di Lusaka 1970yang bertemakan “Hubungan-hubungan internasional.


Swa sembada dan kerjasama ekonomi diantara negara-negara Non –
Blok”.KTT Lusaka dapat dikatakan telah meletakan dasar dasar gerakan
Non-Blok di bidang ekonomi.
Suatu tonggak sejarah penting lainnya dalam sejarah GNB di
bidang ekonomi adalah KTT Non-Blok IV di Aljazair dalam bulan
September 1973. Pada KTT ini, negara negara Non-Blok memfokuskan
perhatiannya pada masalah-masalah ekonomi dunia yang saat itu
sangat dipengaruhi oleh adanya krisis moneter yang bermula di tahun
1971 dan krisis energy yang mulai mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan ekonomi dunia.
Dalam perjaanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961,
Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan Konferensi Tingkat
Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran pada Agustus
2012. Dalam perkembangan selanjutnya setelah KTT Beograd, Gerakan
Non-Blok semakin bertambah anggotanya. Dengan bertambahnya
anggota semakin kompleks juga masalah yang dihadapi.
Pada KTT Non-Blok ke-VI di Havana , Kuba 3-9 September 1979,
jumlah anggota GNB telah mencapai 95 negara. Dalam KTT ini, GNB mulai
menghadapi permasalahan terkait prinsip “tidak memihak” nya. Kuba,
sebagai tuan rumah konferensi yang memang menjalankan ideologi
sosialis yang dekat dengan Uni Soviet ingin membawa Gerakan Non Blok
menuruti arah suatu blok. Terkait hal tersebut, Indonesia sebagai salah
satu pendiri GNB khawatir mengenai kemungkinan terjadinya pembelokan
arah itu, tercermin antara lain dari pesan Presiden Soeharto yang
dikemukakan oleh Adam Malik . Dalam kaitan itu, Adam Malik sebagai
Ketua Delegasi Indonesia, merasa perlu untuk menegaskan kembali prinsip
Non-Blok yaitu politik tidak memihak kepada satu blok manapun.
Keinginan Kuba itu juga mendapapat tantangan dari negara pendiri
lainnya seperti Yugoslavia dan India, juga sejumlah negara Afrika.
Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan
rumah penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini
diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada September 1992 – 7
September 1992, dipimpin oleh Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan
Jakarta” yang mengungkapkan sikap GNB tentang berbagai masalah,
seperti hak azasi manusia, demokrasi dan kerjasama utara selatan dalam
era pasca perang dingin

68
Pengayaan Materi Sejarah

1.3. Kerja Sama Ekonomi Regional dan Internasional


Pergeseran sistem ekonomi internasional pasca Perang Dunia
dan perang dingin menimbulkan dampak besar bagi dinamika
hubungan perdagangan antar negara. AS pun menjadi satu-satunya
negara super power dengan ideologi kebebasan di segala bidang.
Sistem ekonomi internasional kemudian bergeser ke arah neo-
liberalisme dengan menempatkan pasar bebas sebagai aktifitas
utamanya.Dampaknya, negara-negara dituntut untuk mampu
mengakomodasi sistem tersebut dengan mengintegrasikan ekonomi
nasionalnya menuju keterbukaan tata perekonomian dunia baru yang
berdasarkan liberalisasi ekonomi. Pada fase ini , setiap negara harus
menjalankan perekonomiannya berdasarkan mekanisme pasar. Karena
itu bentuk bentuk intervensi negara diminimalisir seperti pemberian
subsidi, kuota, lisensi, monopli dan tata niaga.
Sebagai respon dari perkembangan tersebut , munculnya
semangat regionalisme di antara negara-negara dalam satu kawasan.
Beberapa kerjasama ekonomi regional yang telah terbentuk antara lain
European Union (EU)/ Uni Eropa, North American Free Trade
Area(NAFTA), Asean Free Trade Area (AFTA) dan Asia Pacific Economy
Forum (APEC). Dibawah ini akan dibahas beberapa contoh organisasi
kerjasama Ekonomi Regional dan intetnasional

1.3.1. ASEAN
a. Latar Belakang Pembentukan
Kawasan Asia Tenggara secara geopolitik dan geoekonomi
mempunyai nilai strategis. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini
menjadi ajang persaingan pengaruh ke-kuatan pada era Perang Dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur. Salah satu bukti persaingan
antarnegara adidaya dan kekuatan besar pada waktu itu adalah Perang
Saudara di Indocina antara Vietnam Utara yang didukung kekuatan
Komunis dan Vietnam Selatan yang didukung kekuatan Barat pimpinan
Amerika Serikat. Persaingan dua blok tersebut menyeret negara-negara
di kawasan ASEAN menjadi basis kekuatan militer blok timur dan blok
barat. Blok Timur/Komunis di bawah komando Uni Soviet menempatkan
pangkalan militernya di Vietnam, sedangkan Blok Barat di bawah

69
Pengayaan Materi Sejarah

komando Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di


Filipina.
Selain terjadi persaingan di bidang ideologi antara kekuatan
Barat dan kekuatan Timur, juga terjadi konflik militer di kawasan Asia
Tenggara yang melibatkan tiga negara, yaitu Laos, Kamboja, dan
Vietnam. Kemudian konflik bilateral, seperti konflik antara Indonesia
dan Malaysia, Kamboja dan Vietnam; dan konflik internal, seperti di
Kamboja, Thailand, dan Indonesia.
Situasi persaingan pengaruh ideologi dan kekuatan militer yang
dapat menyeret negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke dalam
konflik bersenjata yang menghancurkan itu membuat para pemimpin
negara-negara di kawasan Asia Tenggara sadar bahwa perlu ada suatu
kerja sama yang dapat meredakan sikap saling curiga di antara negara
anggota serta mendorong usaha pembangunan bersama di kawasan.
Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa
inisiatif yang telah dilakukan, antara lain, adalah pembentukan
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast
Asia (ASA), Malaya–Philippina–Indonesia (MAPHILINDO), dan Dewan
Asia-Pasifik (Asia and Pacific Council/ASPAC).
Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut
telah mendorong para pemimpin di kawasan untuk membentuk suatu
organisasi kerja sama di kawasan yang lebih baik. Untuk itu, Menteri
Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand
melakukan berbagai pertemuan konsultatif secara intens sehingga
disepakati suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang
isinya mencakup, antara lain, kesadaran perlunya meningkatkan saling
pengertian untuk hidup bertetangga secara baik dan membina kerja
sama yang bermanfaat di antara negara-negara di kawasan yang terikat
oleh pertalian sejarah dan budaya.
Untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut, pada tanggal 8
Agustus 1967, bertempat di Bangkok, Thailand, lima Wakil
Negara/Pemerintahan negara-negara Asia Tenggara, yaitu para Menteri
Luar Negeri Indonesia – Adam Malik, Wakil Perdana Menteri merangkap
Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia – Tun
Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Filipina – Narciso Ramos, Menteri Luar
Negeri Singapura – S. Rajaratnam, dan Menteri Luar Negeri Thailand –
Thamat Khoman melakukan pertemuan dan menandatangani Deklarasi

70
Pengayaan Materi Sejarah

ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi Bangkok (Bangkok


Declaration).22
Deklarasi Bangkok tersebut menandai berdirinya suatu organisasi
kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations/ASEAN). Tujuan pembentukan
ASEAN sesuai dengan Deklarasi Bangkok adalah mempercepat
pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah,
dan membentuk kerjasama di berbagai bidang.
Dalam perkembanganya, organisasi ini mengalami kemajuan
yang cukup signifikan di bidang politik dan ekonomi, seperti
disepakatinya Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of
Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ZOPFAN) yang
ditandatangani tahun 1971. Kemudian, pada tahun 1976 lima negara
anggota ASEAN itu juga menyepakati Traktat Persahabatan dan
Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation/TAC) yang menjadi
landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara
damai. Hal ini mendorong negara-negara di Asia Tenggara lainnya
bergabung menjadi anggota ASEAN. Brunai Darussalam 7 Januari 1984
sebagai anggota ke-6, Vietnam pada 30 Juli 1995 anggota ke-7, Laos
dan Myanmar anggota ke 8 dan 9 pada 28 Juli 1997, dan terakhir,
Kamboja sebagai anggota ke-10 pada 30 April 1999. Dengan
diterimanya Kamboja sebagai anggota ke-10 ASEAN, cita-cita para
pendiri ASEAN yang mencakup sepuluh negaradi kawasan Asia
Tenggara (visi ASEAN-10) telah tercapai.23
Dalam menjalin hubungan antarnegara anggota, ASEAN
memiliki prinsip sebagaimana yang dimuat pada Piagam ASEAN, antara
lain, menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas
wilayah, dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN;
komitmen bersama dan tanggung jawab kolektif dalam meningkatkan
perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan;serta menolak
agresi, ancaman, penggunaan kekuatan, atau tindakan lainnya dalam
bentuk apa pun yang bertentangan dengan hukum internasional. Selain
itu, ASEAN mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai, tidak
mencampuri urusan dalam negeri negara anggota ASEAN, dan
menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan pelindungan
hak asasi manusia, serta pemajuan keadilan sosial.

71
Pengayaan Materi Sejarah

b. Pembentukan Komunitas ASEAN


Setelah berakhirnya perang dingin pada dekade 80-an, isu-isu
ideologi yang mengkungkung dunia dan demikian halnya dengan
ASEAN mulai tersingkirkan, dan kerjasama kawasan semakin intensif
dan menyeluruh dalam berbagai bidang.Dalam upaya menempa
integrasi dan kerjasama yang lebih kuat diantara negara-negara
anggota. ASEAN bersepakat untuk mengembangkan suatu kawasan
yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara
Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli,
dan diikat bersamadalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020.
Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang ditetapkan
oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN pada Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997.
Selanjutnya, untuk merealisa-sikan harapan tersebut, ASEAN
mengesahkan Bali Concord IIpada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003
yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN
Community).
Komunitas ASEAN terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu Komunitas
Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/APSC),
Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC),
Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural
Community/ASCC). Indonesia menjadi penggagas pembentukan
Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN serta memainkan peran
penting dalam perumusan dua pilar lainnya.
Pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep
Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga
Rencana Aksi (Plan of Action/ PoA) untuk masing-masing pilar yang
merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan
pembentukan Komunitas ASEAN. KTT tersebut juga mengintegrasikan
ketiga Rencana Aksi Komunitas ASEAN ke dalam Vientiane Action
Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendek–menengah
untuk periode 2004–2010.
Upaya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN semakin
kuat dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu mengenai Percepatan
Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 (Cebu Declaration on
the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by
2015) oleh para Pemimpin ASEAN padaKTT ke-12 ASEAN di Cebu,

72
Pengayaan Materi Sejarah

Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Dengan ditandatanganinya Deklarasi


tersebut, para Pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan
Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.
Seiring dengan upaya perwujudan Komunitas ASEAN, ASEAN
juga menyepakati untuk menyusun semacam konstitusi yang akan
menjadi landasan dalam penguatan kerja sama. Dalam kaitan ini, proses
penyusunan Piagam ASEAN dimulai sejak tahun 2006 melalui
pembentukan Kelompok Ahli (Eminent Persons Group/EPG) dan
kemudian dilanjutkan oleh Gugus Tugas Tingkat Tinggi (High Level Task
Force) untuk melakukan negosiasi terhadap draf Piagam ASEAN.
Pada usia ke-40 tahun ASEAN, para Kepala
Negara/Pemerintahan ASEAN pada KTT ke-13 ASEAN di Singapura
bulan November 2007 telah menandatangani Piagam ASEAN (ASEAN
Charter) yang mengubah ASEAN dari organisasi yang longgar (loose
association) menjadi organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based
organization) dan menjadi subjek hukum (legal personality).
Piagam ASEAN mulai diberlakukan pada tanggal 15 Desember
2008 setelah semua negara anggota ASEAN menyampaikan ratifikasi
kepada Sekretaris Jenderal ASEAN. Peresmian mulai berlakunya Piagam
ASEAN tersebut dilakukan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
di Sekretariat ASEAN. Untuk Indonesia, pemberlakuan Piagam ASEAN ini
disahkan melalui Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Charter of The Association of Southeast Asian Nations). Implementasi
Piagam ASEAN mulai ditegaskan pada KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin,
Thailand, pada tanggal 28 Februari–1 Maret 2009.
Piagam ASEAN adalah dokumen ASEAN yang mengubah ASEAN
dari sebuah asosiasi yang longgar menjadi sebuah organisasi
Internasional yang memiliki dasar hukum yang kuat, dengan aturan
yang jelas, serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.
Piagam asean ditandatangani pada KTT ke-13 ASEAN pada tanggal 20
November 2007 di Singapura oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan
Negara Anggota ASEAN.
Piagam ASEAN mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 15
Desember 2008 setelah semua Negara anggota ASEAN menyampaikan
dokumen pemberitahuan pengesahan ke Sekretariat ASEAN. Dalam hal
itu, Indonesia mengesahkan Piagam ASEAN melalui UU No. 38 Tahun

73
Pengayaan Materi Sejarah

2008. Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip yang tertuang dalam


semua perjanjian, deklarasi, dan kesepakatan ASEAN.
Piagam ASEAN berguna dalam memberikan kerangka kerja
hukum dan kelembagaan bagi ASEAN. Kedua hal tersebut memperkuat
ikatan kesetiakawanan kawasan untuk mewujudkan Komunitas ASEAN
yang terpadu secara politis, terintegrasi secara ekonomis, dan dapat
bertanggung jawab secara sosial dalam rangka menjawab tantangan
dan peluang saat ini dan saat mendatang secara efektif
Dalam Piagam ASEAN tersebut tercantum ketetapan ASEAN
untuk membentuk komunitas ASEAN tahun 2015. Komunitas ASEAN
tersebut terdiri atas 3 pilar yaitu Komunitas Politik Keamanan ASEAN,
Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.
Komunitas ASEAN adalah wadah untuk lebih mempererat
integrasi masyarakat ASEAN dan untuk menyesuaikan cara pandang
keterbukaan dalam menyikapi perkembangan dunia. Gagasan
pembentukan komunitas ASEAN itu di cetus pada tahun 1997 dalam
visi ASEAN 2002 dan dikukuhkan pada tahun 2003 pada KTT ke-9 di
Bali. Pilar komunitas ASEAN adalah tiga pilar dalam membangun
komunitas ASEAN, yaitu pilar politik-keamanan, pilar ekonomi, dan pilar
sosial-budaya. Masing-masing pilar memiliki bidang kerja sama
antarnegara anggotaASEAN.
Pilar Komunitas Politik-Keamanan ASEAN menangani
peningkatan kerja sama di bidang politik dan keamanan untuk
memelihara perdamaian serta memajukan nilai Hak Asasi Manusia dan
demokratisasi di kawasan ASEAN. Komunitas Politik Keamanan itu
bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan menyeluruh, dan
tidak membentuk suatu pakta pertahanan militer ataupun kebijakan luar
negeri bersama. Penggagas Komunitas Politik Keamanan ASEAN adalah
Indonesia. Indonesia juga memelopori penyusunan Rencana Aksi
Komunitas Politik Keamanan ASEAN yang disahkan pada KTT ke-10
ASEAN di Vientiane, Laos, November 2004.
Pilar Ekonomi. Komunitas Ekonomi ASEAN/ (KEA) / ASEAN
Economic Community (AEC) ialah komunitas yang bekerja sama dalam
upaya memperdalam dan memperluas ekonomi terpadu di kawasan
ASEAN dan dengan kawasan di luar ASEAN. KEA bertujuan membentuk
ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang lebih
dinamis dan berdaya saing, memiliki pembangunan yang setara, serta

74
Pengayaan Materi Sejarah

berupaya mempercepat keterpaduan ekonomi di kawasan ASEAN dan


dengan kawasan di luar ASEAN..
Pilar Sosial-Budaya. Pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN
merupakan sebuah wadah untuk memperkuat keterpaduan ASEAN.
Kerja sama itu bertujuan untuk memperkokoh kesadaran,
kesetiakawanan, kemitraan, dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap
ASEAN. Kerja sama sosial budaya ASEAN mencakup bidangkebudayaan,
penerangan, pendidikan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan
teknologi, penanganan bencana alam, kesehatan, ketenagakerjaan,
pembangunan sosial, pengentasan masyarakat dari kemiskinan,
pemberdayaan perempuan, kepemudaan, penanggulangan narkoba,
peningkatan administrasi dan kepegawaian publik.
Komunitas ASEAN berpusat pada masyarakat untuk penguatan
kesetiakawanan dan persatuan dalam perbedaan ciri-ciri kebudayaan
antarnegara anggota ASEAN. Persatuan dan kesetiakawanan tersebut
dibangun melalui penguatan identitas bersama dan pembangunan
masyarakat yang saling pkeduli, berbagi, dan harmonis.
ASEAN juga bertekad untuk memperkuat persatuan dan saling
pengertian terhadap perbedaan kebudayaan, sejarah, agama, dan
peradaban demi terwujudnya Komunitas ASEAN tahun 2015.

1.3.2. AFTA/Asean Free Trade Area


Seiring dengan pergeseran sistem perekonomian dunia ke arah
liberalisasi pada awal tahun 1990-an , wacana mengenai perdagangan
bebas juga turut bergulir di kalangan negara-negara anggota ASEAN.
Indikasinya pada KTT ASEAN di Singapura 27-28 April 1992, para
pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN Free Trade Asea,
disingkat AFTA.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari
kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu
kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500
juta penduduknya.AFTA

75
Pengayaan Materi Sejarah

Pembentukan AFTA pada KTT ASEAN IV di Singapura tersebut di dorong


oleh kecenderungan negara-negara dalam kawasan yang sama untuk
membentuk sebuah integrasi ekonomi yang lebih efektif. Adapun
faktor eksternal yang juga turut mendorong ASEAN membentuk AFTA
adalah ancaman dari pembentukan kerjasama ekonomi regional pada
berbagai wilayah di dunia. Pembentukan AFTA ini adalah sebuah
indikasi bahwa kelompok negara ASEAN bermaksud untuk merespon
kompetisi yang sedang terjadi dalam ekonomi global. ASEAN bersaha
memperkuat posisinya dalam sistem perdagangan global melalui
kerjasama yang baik.
Secara garis besar tujuan pembentukan AFTA adalah : 1)
menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif
sehingproduk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global. 2)
menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI). 3) meningkatkan
perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade).
Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free
Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan
AFTA melalui : 1) penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, 2)
penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non
tarif lainnya.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan AFTA telah mengalami
beberapa kali percepatan. Setelah pada tahun 1995 disepakati Agenda
of Greater Economic Integration yang antara lain berisi komitmen untuk
mempercepat pemberlakuan AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun,
sehingga AFTA akan berlaku pada tahun 2003. Kemudian pada KTT ke-
6 ASEAN di Hanoi, para pemimpin ASEAN menetapkan Statement of
Bold Measures yang berisi komitmen mereka dalam AFTA, sekaligus
menyepakati bahwa AFTA akan berlaku mulai tahun 2002 bagi enam
penandatangan CEPT, yaitu Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia,
Filipina , Singapura dan Thailand (ASEAN, Selayang Pandang 2007,47).
Latar belakang percepatan AFTA ini tidak terlepas dari situasi eksternal
ASEAN. Salah satunya terkait dengan komitmen negara-negara anggota
ASEAN yang juga tergabung dalam APEC maupun GATT/WTO. Langkah
ini diambil dengan harapan bahwa ASEAN akan lebih siap terlebih
dahulu dalam menghadapi GATT dan APEC.24
Kerjasama ASEAN memasuki tahap kristalisasi pada KTT ASEAN
ke-9 di Bali 2003 dengan pendeklarasian Bali Concord II yang bertujuan

76
Pengayaan Materi Sejarah

untuk mencapai integrasi penuh ASEAN pada tahun 2020 dalam wadah
ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama yaitu, kerjasama
politik dan keamanan , kerjasama ekonomi dan kerjasama sosial budaya.
Melalui kerjasama ekonomi diharapkan akan terjadi penyatuan ekonomi
ASEAN dalam bentuk masyarakat ekonomi ASEAN yang ditandai
dengan pergerakan arus barang, jasa, investasi, dan modal yang bebas
tanpa hambatan. Dalam kerangka ASEAN Economic Community (AEC),
AFTA merupakan bagian yang penting dan tak terpisahkan. AFTA
menjadi motor penggerak utama dalam sektor perdagangan ASEAN.
Pembentukan AFTA secara tidak langsung memberikan manfaat
yang besar bagi Indonesia diantaranya adalah:
 Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk
Indonesia, dengan penduduk sebesar ± 500 juta dan tingkat
pendapatan masyarakat yang beragam;
 Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi
pengusaha/produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan
barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota
ASEAN lainnya dan termasuk biaya pemasaran;
 Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar
domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu
tertentu;
 Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan
beraliansi dengan pelaku bisnis di negara anggota ASEAN
lainnya.

1.3.3. Uni Eropa (UE)


Uni Eropa atau UE adalah organisasi antar pemerintahan dan
suprannasional yang beranggotakan negara-negara Eropa. Tujuan
pembentukan UE adalah untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan
memperkuat hubungan antara negara-negara anggotanya.
Uni Eropa berdiri pada tahun 1993, berasal dari serangkaian
bentuk kerjasama ekonomi di Eropa sejak tahun 1950-an. Cikal bakal UE
adalah European Coal and Steel Community (ECSC), aliansi regional
Eropa untuk mempromosikan perdagangan bebas batu bara dan besi
baja (1951).Tahun 1967 ECSC menjadi European Economic

77
Pengayaan Materi Sejarah

Community(EEC) lalu menjadi European Community (EC). Tahun 1991,


12 anggota UE menandatangani Perjanjian Maastricht, yang menjadi
dasar perubahan EEC/MEE menjadi UE/EU European Union. Hingga
januari 2007, EU telah memiliki 27 negara anggota.
Pembentukan UE dilatarbelakangi munculnya kesadaran terhadap
dampak negatif dari peperangan di masa lalu. Pengalaman yang tidak
menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat
untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan –
kemungkinan peperangan di masa yang akan datang..
Sejarah awal terbentuknya UE dimulai pada tahun 1950, ketika
Menteri Luar Negeri Prancis, Maurice Schuman berkeinginan
menyatukan produksi baja dan batu bara Prancis dan Jerman dalam
wadah kerja sama yang terbuka untuk negara-negara Eropa lainnya,
sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Keinginan itu
terwujud dengan ditandatanganinya perjanjian pendirian Pasaran
Bersama Batu Bara dan Baja Eropa atau European Coal and Steel
Community (ECSC) oleh enam negara, yaitu Prancis, Jerman Barat
(Republik Federal Jerman-RFJ), Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Italia.
Keenam negara tersebut selanjutnya disebut The Six State.
Keberhasilan ECSC mendorong negara-negara The Six State
membentuk pasar bersama yang mencakup sektor ekonomi. Hasil
pertemuan di Messina, pada tanggal 1 Juni 1955 menunjuk Paul Henry
Spaak (Menlu Belgia) sebagai ketua komite yang harus menyusun
laporan tentang kemungkinan kerja sama ke semua bidang ekonomi.
Laporan Komite Spaak berisi dua rancangan yang lebih
mengintegrasikan Eropa, yaitu: 1) membentuk European Economic
Community (EEC) atau Masyarakat Ekonomi Eropa(MEE). 2) membentuk
European Atomic Energy Community (Euratom) atau Badan Tenaga
Atom Eropa.
Rancangan Spaak itu disetujui pada tanggal 25 Maret 1957 di
Roma dan kedua perjanjian itu mulai berlaku tanggal 1 Januari 1958.
Dengan demikian, terdapat tiga organisasi di Eropa, yaitu ECSC, EEC
(MEE), dan Euratom (EAEC).Pada konferensi di Brussel tanggal 22
Januari 1972, Inggris, Irlandia, dan Denmark bergabung dalam
MEE.Pada tahun 1981 Yunani masuk menjadi anggota MEE yang
kemudian disusul Spanyol dan Portugal.Dengan demikian keanggotaan
MEE sebanyak 12 negara.

78
Pengayaan Materi Sejarah

MEE merupakan organisasi yang terpenting dari ketiga organisasi


tersebut.Bukan saja karena meliputi sektor ekonomi, melainkan juga
karena pelaksanaannya memerlukan pengaturan bersama yang meliputi
industri, keuangan, dan perekonomian.
Tujuan PembentukanMEE, antara lain : 1)Integrasi Eropa dengan
cara menjalin kerja sama ekonomi, memperbaiki taraf hidup, dan
memperluas lapangan kerja; 2)Memajukan perdagangan dan menjamin
adanya persaingan bebas serta keseimbangan perdagangan antarnegara
anggota; 3) Menghapuskan semua rintangan yang menghambat
lajunya perdagangan internasional; 4) Meluaskan hubungan dengan
negara-negara selain anggota MEE. Untuk mewujudkan tujuannya, MEE
membentuk Pasar Bersama Eropa (Comman Market), keseragaman tarif,
dan kebebasan bergerak dalam hal buruh, barang, serta modal.
Untuk melancarkan aktivitasnya, Masyarakat Ekonomi Eropa
membentuk beberapa organisasi baru, yaitu: a)Parlemen Eropa
(European Parliament); b) Sistem Moneter Eropa (European Monetary
System); c) Unit Uang Eropa (European Currency Unit); d) Pasar Tunggal
(Single Market).
Menurut perhitungan suara referendum Prancis yang
diselenggarakan pada tanggal 20 September 1992 tentang perjanjian
Maastrich, menunjukkan bahwa 50,95% pemilih menyatakan setuju.
Untuk mendirikan organisasi-organisasi tersebut pada tanggal 7
Februari 1992 di Maastrich, Belanda diadakan pertemuan anggota
MEE.Hasil pertemuan itu dituangkan dalam sebuah naskah perjanjian
yang disebut The Treaty on European Union (TEU) atau Perjanjian
Penyatuan Eropa yang telah ditandatangani oleh Kepala
Negara/Pemerintah di Maastrich, Belanda. Referendum dimaksudkan
untuk mendapatkan persetujuan dari 12 negara anggota Masyarakat
Eropa, yakni Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Belgia, Luksemburg,
Italia, Irlandia, Denmark, Portugal, Spanyol, dan Yunani.
Konsep kesatuan Eropa ini membuat organsasi Uni Eropa
menjadi lebih terbuka buat menerima angota baru dengan dua syarat,
pertama, negara baru nan akan bergabung pada Uni Eropa berada di
kawasan benua Eropa. Syarat kedua ialah negara nan akan bergabung
pada organisasi Uni Eropa harus menegakkan HAM (Hak Asasi
Manusia), bersedia menjalankan anggaran dan undang-undang nan ada
di Uni Eropa, serta menegakan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum.

79
Pengayaan Materi Sejarah

Sejak organisasi Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ini


bertransformasi menjadi Uni Eropa, banyak negara di kawasan Eropa
yang bergabung dengan organisasi multinasional ini. Saat ini, organisasi
Uni Eropa ini memiliki 27 anggota, yakni The Six State yang terdiri dari
Jerman , Belanda, Belgia, Luksemburg, Perancis, dan Italia nan berperan
sebagai pemrakarsa terbentuknya Uni Eropa, diikuti oleh Inggris,
Irlandia, Yunani, Portugal, Spanyol, dan Denmark nan kemudian
terbentuklah MEE.
Negara baru yang bergabung dalam Uni Eropa antara lain ialah
Swedia, Estonia, Finlandia, Latvia, Plandia, Lituania, Malta, Austria,
Slovenia, Republik Ceko, Slowakia, Hongaria, Siprus, Bulgaria dan
Rumania. Selain itu, masih ada satu negara lagi nan sampai saat ini
belum lolos menjadi anggota organisasi kawasan Eropa, yakni Turki .
Negara yang beribu kota di Ankara ini sampai saat ini masih
dipertimbangkan keanggotaanya di Uni Eropa, sebab negara tersebut
dinilai masih perlu melakukan perubahan politik dan ekonomi agar
memenuhi syarat buat menjadi anggota organisasi tersebut.Organisasi
ini kini didukung dengan pelbagai forum yang dikembangkan dari
struktur MEE, antara lain Komisi Eropa, Dewan Uni Eropa, Dewan
Eropa, Mahkamah Eropa, Parlemen Eropa, dan Bank Sentral Eropa.
Organisasi Uni Eropa ini juga menorehkan prestasi dengan menerima
nobel penghargaan perdamaian tahun 2012.

1.3.4. GATT dan WTO


a. Pembentukan WTO
Pasca Perang Dunia II, kondisi perekonomian dunia mengalami
perlambatan yang cukup signifikan. Perbedaan pandangan politik di
tengah terbentuknya dua blok baru antara kapitalisme dan komunisme,
menyebabkan semakin menguatnya upaya proteksionisme perdagangan
yang semakin menekan upaya perbaikan ekonomi pasca perang dunia.
Kondisi ini mendorong beberapa negara yang memiliki tingkat
perdagangan dunia yang besar untuk menyusun sebuah sistem
perdagangan multilateral yang kemudian menghasilkan suatu
kesepakatan yang dikenal sebagai General Agreement on Tariff and
Trade (GATT) pada tahun 1947.

80
Pengayaan Materi Sejarah

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International


Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan
bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). 25Meskipun
Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and
Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh
lembaga-lembaga legislatif negara anggota tidak berjalan lancar.
Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang
walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan tidak meratifikasi Piagam
Havana, sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun
demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur
perdagangan internasional.
Selama Piagam Havana belum berlaku karena memerlukan
ratifikasi dari negara-negara yang menandatangani piagam tersebut,
guna mengisi kekosongan hukum perdagangan internasional, negara-
negara merundingkan aturan-aturan perdagangan internasional yang
kemudian diwadahi oleh The General Agrement on Tariffs and Trade
(GATT) sebagai payung hukumnya. Pada pertemuan-pertemuan tersebut
telah drundingkan pembentukan GATT.
Pada mulanya GATT 1947 merupakan suatu persetujuan
multilateral yang mensyaratkan pengurangan secara timbal balik tarif
yang berada dibawah naungan ITO. Dasar pembentukan GATT pada
1947, adalah kesepakatan yang memuat hasil-hasil negosiasi negara-
negara dalam hal tarif dan mengenai klausal klausal perlindungan guna
mengatur komitmen tarif. Kesepakatan-kesepakatan tambahan yang
dibuat GATT berada dibawah piagam ITO. Namun ITO kemudian
dibubarkan, selanjutnya GATT dinyatakan sebagai “organisasi”
internasional yang memberlakukan “Protocol of Provisional Aplication”
dan menerapkan GATT sebagai perjanjian internasional yang
mengikat.Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui
serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama
“Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong
liberalisasi perdagangan internasional.26

b. Putaran-putaran perundingan
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT
mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada
Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff

81
Pengayaan Materi Sejarah

dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement). Putaran


Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara
progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga
pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama,
yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi
4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup
unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas
pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo
gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan
perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru
mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun
demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tarif telah
muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus
menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang
mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan
waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang
perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir
dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa
perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya
GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam
permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang
nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu
paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari
negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para
anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan.
Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi
aturan perdagangan di seluruh dunia.
Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri
kepada negara-negara lain untuk menjadi anggota. Pada tahun 1947,
anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan akhirnya terus
berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay
pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara
anggota GATT sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru yakni
World Trade Organzation disingkat WTO.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Walau
telah terbentuk organisasi baru di bidang perjanjian perdagangan

82
Pengayaan Materi Sejarah

internasional, GATT masih tetap ada sebagai “payung perjanjian” di


dalam WTO berdampingan dengan perjanjian lain seperti General
Agreement on Trade in Service (GATS) dan Agreement on Trade Related
Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Pembentukan WTO sebagai organisasi di tingkat internasional
yang mengatur mengenai kebijakan perdagangan di tingkat dunia,
tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Beberapa tujuan tersebut
antara lain:
 Mendorong arus perdagangan antara negara, dengan
mengurangi dan menghapus berbagai hambatan (baik dalam
bentuk tarif maupun bukan tarif) yang dapat mengganggu
kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.
 Menyediakan forum perundingan yang lebih permanen
sehingga akses pasar dapat terbuka dan berkesinambungan.
 Memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat konflik-konflik
kepentingan yang ditimbulkan dalam hubungan dagang.

Cita-cita WTO perdagangan dunia yang lebih bebas menjadi hal


yang menarik bagi banyak negara. Hal ini terlihat dari semakin banyak
negara yang bergabung dalam WTO. Pada tahun 2008 jumlah negara
yang bergabung dalam keanggotaan WTO telah mencapai 153 negara
yang merepresentasikan 95% volume perdagangan dunia dan 30
negara observer yang sedang menanti keanggotaan WTO.
Banyaknya negara yang bergabung dalam WTO
mengindikasikan besarnya manfaat yang dapat diberikan WTO dalam
perdagangan dunia. Setidaknya terdapat 10 keuntungan yang diklaim
melalui penerapan sistem perdagangan WTO (WTO, 2008) yakni:
 Sistem perdagangan multilateral yang diterapkan oleh WTO
dapat mendorong terjaganya perdamaian. Penerapan sistem
proteksionisme pada dekade 1930 dinilai menjadi salah satu
pemicu meletusnya Perang Dunia. Dengan adanya sistem
perdagangan yang lebih terbuka melalui WTO, konflik
kepentingan dagang antar negara diharapkan dapat dihindari
sehingga perdamaian dunia akan lebih terjaga.

83
Pengayaan Materi Sejarah

 Persengketaan dagang antar negara dapat diatasi secara


konstruktif. Selain menyediakan forum penyediaan sengketa
antara negara, kesepakatan WTO dapat menjadi basis penilaian
atas sengketa perdagangan yang terjadi. Dengan demikian
melalui WTO, sengketa perdagangan dapat diselesaikan dengan
menyesuaikan terhadap kesepakatan yang ada dibandingkan
melakukan negosiasi bilateral yang lebih berpotensi melahirkan
ketegangan hubungan diplomatik.
 Peraturan yang seragam akan memudahkan perdagangan antar
negara. Dengan adanya peraturan yang seragam bagi setiap
anggota, variasi-variasi dalam perdagangan dapat dihindari
sehingga proses perdagangan akan berjalan dengan lebih
lancar.
 Perdagangan bebas dapat membuat biaya hidup menjadi lebih
murah. Dengan adanya pembebasan tarif, harga yang harus
dibayarkan oleh konsumen maupun bahan baku yang akan
digunakan dalam proses produksi dapat menjadi lebih murah
sehingga biaya hidup yang ditanggung akan menjadi lebih
rendah.
 Memberikan lebih banyak pilihan produk dan kualitas untuk
kosumen. Dengan sistem perdagangan yang lebih global,
konsumen di setiap negara dapat mengakses produk-produk
yang dihasilkan di negara lain sehingga akan ada lebih banyak
pilihan baik dari sisi produk maupun kualitas.
 Perdagangan dapat meningkatkan pendapatan. Berdasarkan
estimasi WTO, semenjak Putaran Uruguay, perdagangan dunia
menyumbangkan $ 109 Milyar - $ 510 Milyar terhadap
perekonomian dunia.
 Mendorong pertumbuhan ekonomi. Meluasnya akses pasar hasil
produksi akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi
yang berarti akan semakin besarnya jumlah lapangan pekerjaan
yang dapat disediakan.
 Mendorong sistem ekonomi berjalan lebih efisien. Perdagangan
menyebabkan dapat terjadinya perputaran sumber daya baik
bahan baku maupun tenaga kerja sehingga sistem ekonomi
dapat berjalan dengan lebih efisien.

84
Pengayaan Materi Sejarah

 Negara–negara anggota WTO akan terlindung dari praktek–


praktek persaigan yang tidak sehat. Aturan perdagangan yang
dihasilkan dalam kesepakatan WTO dapat mencegah terjadinya
praktek perdagangan yang tidak sehat dari negara lain.
 Mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih. Kesepakatan
WTO berkomitmen untuk menciptakan perdagangan yang lebih
bebas yang berkelanjutan. Kondisi ini akan memberikan tingkat
kepastian yang lebih baik kepada dunia usaha sekaligus dapat
mengawal pelaksanaan pemerintahan yang bersih.

Berbeda dengan beberapa organisasi internasional yang lain


seperti IMF dan Bank Dunia, WTO merupakan organisasi yang
sepenuhnya dijalankan oleh anggota. Di dalam WTO, setiap negara
memiliki kedudukan yang sama dan saling bernegosiasi dalam
mengambil kesepakatan bersama. Dengan demikian tidak terdapat
susunan dewan direksi yang akan menjalankan kegiatan organisasi,
namun seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh
perwakilan negara anggota WTO.

1.3.5. APEC/Asia Pasific Economic Cooperation


APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) merupakan wadah
kerjasamanegara – negara di kawasan Asia Pasific di
bidangekonomi.APEC resmiterbentuk pada bulanNopember 1989 di
Canberra, Australia. Pada pertemuan itu hadir 12 negara yang
kemudian bersepakat mendirikan APEC. Kedua belas negara pendiri itu
adalah Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Indonesia, Jepang, Korea,
Malaysia, New Zealand, Philippina, Singapura, Thailand, dan Amerika
Serikat.
Setelah itu Cina, Hong Kong, dan Taipei bergabung pada tahun
1991, Meksiko dan Papua Nugini pada tahun 1993, Chile pada tahun
1994, Peru, Rusia, dan Vietnam pada tahun 1998, Mongolia pada
tahun 2013. Jadi, jumlah anggota APEC seluruhnya adalah 22 negara
yang berada di kawasan Asia-PasifikPembentukan forum ini merupakan
usulan mantan Perdana Menteri Australia, Bob Hawke, yang merupakan
kelanjutan dari berbagai usulan dan upaya untuk mengadakan kerja
sama ekonomi regional Asia Pasific.

85
Pengayaan Materi Sejarah

Pembentukan APEC dilatarbelakangi oleh adanya perubahan di


Uni Soviet dan Eropa Timur. Runtuhnya Uni Soviet dengan sistem
ekonomi komunisnya, diikuti perubahan sistem ekonomi negara-negara
di Eropa Timur yang sebelumnya menjadi pengikut Uni Soviet. Sistem
ekonomi komunis yang tertutup secara bertahap berubah menjadi
sistem ekonomi liberal yang bebas. Sehingga, muncullah kesadaran
bahwa pada dasarnya setiap negara saling membutuhkan. Selain itu,
pada saat bersamaan ketika itu berlangsung perundingan Putaran
Uruguay yang membahas tatanan perdagangan dunia. Putaran Uruguay
adalah perundingan Negara-negara anggota GATT (General Agreement
of Trade and Tariff) pada tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay.
Adanya kekhawatiran atas gagalnya perundingan itu menjadi salah satu
sebab dibentuknya APEC. Bila perundingan itu gagal, dikhawatirkan
akan muncul sikap proteksionis dan lahir kelompok-kelompok regional
yang tertutup. Padahal, dunia saat itu sedang mengarah kepada sistem
perdagangan bebas.
Dua faktor inilah yang melatarbelakangi kelahiran APEC, suatu
forum kerja sama internasional yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kerja sama ekonomi di kawasan Asia Pasifik, terutama di bidang
perdagangan dan investasi. Keanggotaannya bersifat terbuka dan
kegiatannya lebih menekankan pada kerja sama di bidang ekonomi.
Dengan kata lain, forum ini pada dasarnya ingin membentuk sebuah
blok terbuka yang keanggotaannya bersifat suka rela, dengan fokus
perhatian pada masalah ekonomi, bukan politik.
Empat tahun setelah pendiriannya pada tahun 1989, para
pemimpin negara – negara anggota APEC mulai menggelar dialog
intensif dan setahun setelah mendirikan sekretariat pada tahun 1992
APEC mulai dengan tahap pembentukan visi.Pada pertemuan para
pemimpin ekonomi anggota APEC (AELM/APEC Economic Leaders
Meeting) yang pertama di Blake Island, Seattle, AS, APEC menetapkan
visi bahwa kawasan yang mewakili (saat itu) populasi 40 persen dari
penduduk dunia, dan Produk Nasional Bruto (GNP) mencapai sekitar 55
persen GNP dunia siap, memainkan peranan penting dalam
perekonomian dunia.
Berkaitan dengan ini, APEC mendukung sepenuhnya sistem
perdagangan multilateral serta yakin bahwa perdagangan dan investasi
bebas akan mampu mengantarkan Asia Pasifik menjadi kawasan yang

86
Pengayaan Materi Sejarah

memiliki peran penting dalam perekonomian dunia. Liberalisasi


perdagangan dan investasi adalah merupakan sasaran utama APEC dan
hal ini menjadi sangat jelas sejak Deklarasi Bogor tahun 1994 ketika
para pemimpin APEC menetapkan sasaran perdagangan bebas dan
investasi untuk negara maju tahun 2010 dan negara berkembang 2020.
Sejak digelarnya APEC Economic Leaders Meeting (AELM) di
Seattle, AS, tahun 1993, setiap tahun dilahirkan deklarasi atau
kesepakatan bersama di antara para pemimpin negara-negara anggota
APEC. Deklarasi tersebut secara kronologis bisa dilihat di bawah ini,

DEKLARASI APEC
1.Blake Island, Seattle, AS tahun 1993
Para pemimpin APEC berhasilmenciptakanvisiekonomi (Economic
Vision of APEC Leaders).Dalam pertemuan ini disepakati untuk
menciptakan sistem perdagangan yang lebih terbuka di Asia Pasifik.Cara
yang akan ditempuh adalah dengan menetapkan kerangka kerja sama
perdagangan, investasi, dan pengalihan teknologi, termasuk
permodalan. Para pemimpin APEC menegaskan bahwa liberalisasi
perdagangan dan investasi adalah dasar identitas dan aktivitas APEC.

2.Bogor, Indonesia tahun 1994


Pada pertemuan di Bogor disepakati bahwa negara yang sudah
pada tingkat industrialisasi (negara – negara maju) akan mencapai
sasaran perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka (liberalisasi)
paling lambat tahun 2010, dan wilayah yang tingkat ekonominya
sedang berkembang paling lambat tahun 2020.Sehubungan dengan ini,
para pemimpin ekonomi APEC sepakat untuk memperluas dan
mempercepat program permudahan perdagangan dan investasi di
kalangan APEC. Selain itu, disepakati peningkatan kerja sama
pembangunan di antara anggota melalui program pengembangan
sumber daya manusia, pengembangan pusat – pusat pengkajian APEC
dan kerja sama di bidang IPTEK (termasuk alih teknologi). Deklarasi
Bogor dikenal sebagai Deklarasi Tekad Bersama (Declaration of Common
Resolve).

87
Pengayaan Materi Sejarah

3.Osaka, Jepang tahun 1995


Pada pertemuan di Osaka disepakati (Osaka Declaration), bahwa
APEC mulai melangkah ke tahap aksi dengan tiga pilar, yaitu
perdagangan dan investasi, fasilitas serta kerja sama ekonomi dan
teknik. Prinsip – prinsip untuk memandu pencapaian liberalisasi dan
fasilitasi meliputi konsistensi dengan WTO, komparabilitas,
nondiskriminasi, transparasi, komprehensivitas, standstill.Pada
pertemuan di Osaka juga disepakati untuk menyusun agenda Rencana
Aksi Individual dan Rencana Aksi Kolektif yang akan dibahas pada
pertemuan berikutnya di Manila.

4.Teluk Subic, Filipina tahun 1996


Pada pertemuan di Filipina disepakati untuk menciptakan
liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih progresif dan
komprehensif guna mencapai tujuan Deklarasi Bogor. Para pemimpin
APEC merekomendasikan diadakannya Rencana Aksi Individual masing –
masing negara anggota untuk membahas dalam pertemuan di
Vancouver, Kanada.Selain itu disepakati pula untuk memfasilitasi dunia
usaha dalam melakukan transaksi bisnis baik di dalam maupun
antaranggota ekonomi APEC. Kesepakatan yang dicapai di Filipina ini
disebut sebagai Rencana Aksi Manila untuk APEC (Manila Action Plan
for APEC/ MAPA).

5.Vancouver, Kanada tahun 1997


Pada pertemuan ini disepakati penerapan liberalisasi sektoral
sukarela secara dini sebagai wujud Rencana Aksi Individual. Adapun
sektor – sektor yang disetujui untuk diliberalisasi secara dini adalah ikan
dan produk ikan, produk kehutanan, peralatan kedokteran, energi,
mainan, permata dan perhiasan, produk kimia, telekomunikasi serta
peralatan pengaman lingkungan, dan produk penunjangnya. Sejumlah
sektor yang ditolak liberalisasi dininya adalah sektor otomotif, produk
pesawat terbang sipil, pupuk, karet, dan karet sintetis, minyak, dan
produk minyak dan makanan.

88
Pengayaan Materi Sejarah

6.Kuala Lumpur, Malaysia tahun 1998


Salah satu keputusan penting yang dihasilkan di Kuala Lumpur
(Cyberjaya Declaration) adalah kesepakatan mendesak negara industri
maju untuk membenahi institusi keuangannya (peraturan yang
menyangkut keuangan). Seperti diketahui pada pertengahan tahun
1997, beberapa negara di kawasan Asia dilanda krisis keuangan dan
salah satu faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah kelemahan
peraturan atau kebijakan keuangan di negara maju.

7.Auckland, Selandia Baru tahun 1999


Pada pertemuan Selandia Baru disepakati bahwa untuk
mempercepat pemulihan ekonomi dapat dan akan dilakukan melalui
penajaman komitmen liberalisasi dengan antara lain penghapusan
hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif.Selain itu disepakati
bahwa untuk memperkuat sistem ekonomi pasar di antara negara
anggota, perlu membentuk pusat jaringan usaha kecil menengah
(UKM).
Dari serangkaian deklarasi atau kesepakatan yang berhasil
dirumuskan dengan jelas, dapat diamati bahwa telah terjadi perubahan
dalam strategi APEC dalam upaya membuka pasar. Jika sebelumnya
ditentukan deadline bagi negara-negara anggota untuk membuka
pasarnya pada tahun 2010 (untuk negara maju) dan 2020 (untuk
negara berkembang), maka kini proses diubah menjadi keterbukaan
pasar secara sektoral satu per satu. Artinya, negara anggota yang
merasa sudah siap, bisa menentukan sendiri sektor apa saja yang
secepatnya mencapai ke-terbukaan pasar. Sedangkan negara yang
belum siap menyusul kemudian. Inilah yang kemudian disebutkan
sebagi liberalisasi dini secara sukarela (EVSL/ Early Voluntary Sectoral
Liberalization).

1.4. Berakhirnya Perang Dingin


Tanda-tanda mulai berakhirnya persaingan antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet ditandai dengan adanya dua faktor yang sangat
berpengaruh, seperti :

89
Pengayaan Materi Sejarah

Pertama, mulai mencairnya hubungan Amerika Serikat dan Uni


Soviet. hal ini dilihatdari adanya pertemuan yaitu: 1. Perjanjian non
Proliferasi Nuklir (Non-Proliferation Teaty) tahun 1968 antara USA,
USSR, dan Inggris. Hasil dari ini adalah kesepakatan untuk tidak
menjual senjata nuklir atau memberikan informasi tentang persenjataan
nuklir kepada negara-negara yang tidak mengembangkan senjata nuklir
2. SALT (Strategic Arm Limitation Talks) I & II: Perundingan Pembatasan
Persenjataan Strategis. 3. START (Strategic Arms Reduction Treaty),
Perjanjian pengurangan senjata-senjata strategis antara USA dan USSR.
Hasil perjanjian ini adalah: Pemusnahan nuklir dengan daya luncur
berjarak menengah. Perundingan kesepakatan pengurangan senjata
nuklir juga berkembang ke negara atau wilayah lain.
Kedua, runtuhnya negara adidaya Uni Soviet. Berakhirnya era
kebesaran Uni Soviet secara otomatis tidak ada lagi persaingan yang
terjadi pada perang dingin. Amerika keluar sebagai satu-satunya negara
adidaya di dunia.
1.4.1. Runtuhnya Uni Soviet

Sumber : www.glogster.com

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Uni Soviet muncul sebagai


salah satu kekuatan besar dunia bersama Amerika Serikat.
Perkembangan Uni Soviet menjadi sebuah negara besar tidak terlepas
dari peran dua pemimpin besar mereka yaitu Lenin dan Stalin. Di tangan
mereka berdualah Uni Soviet muncul dan berhasil menyaingi kekuatan

90
Pengayaan Materi Sejarah

Amerika Serikat .Namun dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet


secara perlahan mulai menurun kekuatan pengaruhnya.Hal ini
disebabkan munculnya masalah internal di dalam negara besar tersebut
terutama setelah meninggalnya Stalin dan Nikita Kruschev pemimpin
Soviet pengganti Stalin.
Menjelang pertengahan tahun 1980-an Uni Soviet mengalami
krisis ekonomi dan politik. Kemerosotan ekonomi akibat korupsi dan
bobroknya birokrasi serta budaya politik yang makin monolitik semakin
memperkuat apatisme masyarakat. Penempatan kekuatan militer Uni
Soviet di kancah konflik internasional seperti di Afghanistan dan di
negara-negara Eropa Timur membutuhkan biaya sangat besar yang
tentu saja menyedot dana dosmetik yang tidak sedikit. Sementara
industri yang sudah terpola pada industri berat yang ditujukan untuk
menopang hegemoni Uni Soviet tak memberikan jalan keluar yang
sangat dibutuhkan masyarakat, berupa perbaikan taraf hidup.
Menurunnya tingkat kesejahteraan yang tajam semakin memperuncing
konflik-konflik yang tumbuh di dalam negeri.
Kondisi tersebut di atas memaksa para petinggi negara dan
pemimpin partai untuk mengadakan koreksi atas kebijakan partai dan
politik negara Uni Soviet secara umum. Tak hanya itu, peninjauan ulang
terhadap strategi sistem sosialisme pun lalu dianggap sebagai langkah
yang mampu menjawab berbagai krisis yang menimpa.
Beberapa upaya perubahan memang telah dimulai oleh
kepemimpinan Yuri Andropov (1982-1984) dan Konstantin Chernenko
(1984-1985), namun karena faktor usia dan masa kepemimpinan
mereka yang pendek (Chernenko hanya memerintah selama 1 tahun)
berbagai langkah tersebut tidak berpengaruh terhadap kehidupan dan
perbaikan taraf hidup masyarakat.
Setelah kematian Chernenko Maret 1985 Majelis Tinggi Uni
Soviet memilih seorang tokoh muda yang nantinya akan membawa
pengaruh besar bagi kehidupan, tak hanya bagi warga Soviet tetapi
juga seluruh umat manusia. Dia adalah Mikhail Gorbachev, tokoh paling
muda yang pernah memimpin partai komunis dalam sejarah Uni Soviet.
Setelah berhasil meenjadi pemimpin Uni Soviet pada 11 Maret
1985, Mikhail Gorbachev melakukan langkah langkah reformasi untuk
memperbaiki perekonomian Uni Soviet. Langkah-langkah tersebut
adalah dengan melakukan reformasi yang terkenal dengan Perestroika
dan Glasnost27

91
Pengayaan Materi Sejarah

Perestroika merupakan restrukturisasi dalam bidang politik dan


ekonomi dengan tujuan untuk mengatasi stagnasi untuk akselerasi
kemajuan dalam bidang politik dan ekonomi. Beberapa poin esensial
dari Perestroika adalah 1) berakhirnya “leading role” dari partai
komunis, adanya izin bagi para penguaha dalam negeri untuk menjual
sebagian produknya ke pasar bebas, adanya joint venture, yang
membuka kesempatan bagi investor asing untuk ikut berinvestasi di Uni
Soviet. Dalam bidang politk adalah dengan mengizinkan partai non
komunis untuk ikut serta dalam pemilu, dan diciptakannya badan
eksekutif presiden. Perestroika merupakan pengembangan menyeluruh
dari demokrasi yang diprakarsai massa.
Glasnost atau keterbukaan, pada intinya Glasnost memiliki
beberapa poin penting yaitu perkenalan terhadap prinsip kebebasan
untuk mengkritik, menghilangkan kontrol terhadap media dan
penerbitan serta kebebasan untuk beribadah .
Reformasi Gorbachev memberikan dampak yang sangat besar
dalam kehidupan Uni Soviet, yaitu munculnya beberapa kelompok yang
menanggapi reformsi ini antara lain, Kelompok Moderat, yaitu
kelompok yang menyetujui reformasi tetapi menjalankan komunisme
yang disempurnakan. Kelompok Konservatif, yaitu kelompok yang
menentang reformasi dan ingin mempertahankan komunisme.
Kelompok Radikal, yaitu kelompok yang mendukung reformasi dan
ingin meninggalkan komunisme.
Pada pertengahan tahun 1980-an Uni Soviet adalah negara
berpenduduk sekitar 270 juta jiwa yang tersebar dalam 15 republik
Soviet. Jumlah penduduk yang besar itu terdiri dari sekitar 100 suku
bangsa, dimana bangsa Rusia merupakan mayoritas yang mendominasi
berbagai bidang kehiduan.

Beragamnya suku bangsa dan nasionalisme warisan imperium


ini disadari merupakan satu kekuatan sekaligus kelemahan negara ini.
Untuk itu berbagai kebijakan dalam pengaturan etnis ini merupakan
prioritas negara. Namun demikian berbagai kebijakan yang tidak
berkesinambungan telah melahirkan berbagai pertentangan dalam
hubungan antar-sukubangsa.

92
Pengayaan Materi Sejarah

Kebijakan Glasnost dan Perestroika yang dijalankan


pemerintah Gorbachev ternyata membawa pengaruh bagi semakin
menguatnya gerakan separatisme, akibat semangat keterbukaan dan
demokratisasi yang menjadi inti tersembunyi, mulai muncul menjadi
konflik terbuka.

Ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menangani


masalah ekonomi juga semakin mendorong ketidakpuasan di republik-
republik konstituen Uni Soviet.Ketidakpuasan ini pada gilirannya
mendorong munculnya kekuatan oposisi setempat yang mulai
menyuarakan ide-ide separatisme. Munculnya gerakan dan partai politik
seperti : “Ruh” di Ukraina, “Sayudis” di Lithuania dan sebagainya
menjadi pusat-pusat gerakan kemerdekaan republik-republik terhadap
kekuasaan pusat. Pada 1986 terjadi demonstrasi massa di Alma-ata
(Kazakhastan) menentang Rusifikasi. Peristiwa ini dipicu oleh
pengangkatan G. Kolbin, yang berkebangsaan Rusia, sebagai Sekretaris
Partai Komunis Kazakhastan. Tahun 1988 terjadi konflik bersenjata
antara Armenia dengan Azerbaijan memperebutkan daerah Nagorno-
Karabakh.

Berbagai konflik etnis ini pada gilirannya semakin membawa


Uni Soviet ke dalam situasi yang sangat kompleks, yang jika dibiarkan
akan menimbulkan perpecahan negara.Situasi yang krusial ini dipahami
oleh pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Untuk mengantisipasi
kehancuran yang mungkin terjadi Gorbachev mengundang para
pemimpin republik Soviet dalam pertemuan di Novo-Ogaryov. Dalam
pertemuan tersebut disepakati perlunya pembaharuan „perjanjian‟ yang
mengikat persatuan bangsa-bangsa yang tergabung dalam Uni Soviet.

Hasil pertemuan dihadari oleh 9 pemimpin republik-republik


(9+1) itu rencananya akan ditandatangani tanggal 20 Agustus 1991,
sepulang Gorbachev dari peristirahatannya di Foros (Krim).Namun upaya
penandatanganan pilar penyangga eksistensi Uni Soviet itu gagal oleh
serangkaian aksi penyenderaan dan kudeta yang dilakukan oleh orang-
orang terdekat Gorbachev sendiri.Tanggal 18 Agustus Gorbachev disolir
di rumah peristirahatan (Docha)-nya, sehingga akses menuju pusat
(Moskow) terputus. Sementara itu paginya 19 Agustus disiarkan
“Maklumat Pemimpin Uni Soviet” yang mengumumkan tentang
pemberhentian Mikhail Gorbachev dari jabatan Presiden karena alasan

93
Pengayaan Materi Sejarah

kesehatan, dan penyerahan mandat kepada Wapres Gennady Yanaev,


serta dibentuknya Komite Negara untuk Keadaan Darurat dan
pengumuman keadaan darurat di daerah-daerah.

Kudeta tersebut mendapat perlawanan dari pemimpin


Republik Federasi Rusia (negara bagian Uni Soviet) Boris Yeltsin. Tanggal
21 Agustus Yeltsin menyelenggarakan Sidang Istimewa Majelis Tinggi
(Parlemen) Rusia. Kontra-kudeta yang dicanangkan Yeltsin ini mendapat
dukungan masyarakat Moskow dengan membentuk barikade untuk
mempertahankan Gedung Putih yang merupakan Gedung Soviet Rusia
di Moskow. Pertumparahan darah tak dapat dihindarkan. Sedikitnya 3
orang tewas dalam peristiwa yang terjadi malam tanggal 21 Agustus,
akibat bentrokan demonstran pro-Yeltsin melawan tentara pendukung
kudeta. Setelah jatuhnya korban di pusat kota Moskow itu kekuatan
kudeta dapat dipatahkan.

Tanggal 22 Agustus Presiden Gorbachev kembali ke Moskow,


dan para tokoh berhasil diitangkap.Walaupun kekuatan kudeta berhasil
dipatahkan dan situasi ibukota dapat dikendalikan, namun bara
disintegrasi dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat terus
berlanjut. Upaya Mikhail Gorbachev untuk melanjutkan pertemuan
Novo-Ogaryov sia-sia.

Tanggal 8 Desember beberapa pemimpin republik


mengadakan pertemuan rahasia tanpa mengundang Gorbachev.
Pemimpin ketiga negara bagian yakni : Borsis Yeltsin (Rusia), Leonid
Kravchuk (Ukraina), dan S. Shushkevich (Belarusia) bertemu di
Belovezhkaya Pushya dan mengumumkan berakhirnya Uni Soviet dan
negara-negara bekas konstituennya membentuk apa yang disebut
Sodruzhestvo Nezavisimikh Gosudarstv / SNG (Persemakmuran Negara-
negara Merdeka) yang kemudian dikenal dengan istilah CIS
(Commonwealth of Independence States)..

Persoalan ekonomi akibat rusaknya hubungan-hubungan


ekonomi antar-republik, melemahnya kekuatan pertahanan,
menajamnya konflik anatar-etnis dan merosotnya tingkat hidup
masyarakat merupakan berbagai faktor yang harus yang menjadi
pendorong runtuhnya Uni Soviet.Revolusi yang terjadi di akhir dekade
abad XX telah membawa kehancuran Uni Soviet yang telah dibangun

94
Pengayaan Materi Sejarah

selama lebih kurang tujuh dasawarsa. Uni Soviet secara resmi berakhir
pada tanggal 25 Desember 1991 ketika Presiden Uni Soviet Mikhail
Gorbachev mengumumkan pengunduran diri menyusul kemelut politik
sebagai kelanjutan kudeta yang gagal pada pertengahan bulan Agustus
1991.

1.4.2. Reunifikasi Jerman


Hubungan Jerman Timur dan Jerman Barat turut dipengaruhi
oleh hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.Ketika perang
dingin memuncak hubungan antara kedua Jerman turut
menegang.Ketegangan itu tampak dari dibangunnya tembok Berlin dan
pagar di sepanjang perbatasan pada tahun 1961, juga dari
keikutsertaan Jerman Barat dalam NATO dan Jerman Timur dalam Pakta
Warsawa.
Pada saat Uni Soviet membuka dirinya dengan Glasnost dan
Perestroikanya di era Mikhael Gorbachev, ketegangan antara kedua
Jerman mulai mencair. Bahkan terbuka keinginan dan pemikiran untuk
melangsungkan reunifikasi (penyatuan kembali) Jerman.
Keinginan reunifikasi pertama kali muncul dari rakyat Jerman
sendiri terutama dari rakyat Jerman Timur.Sejak tahun 1989 rakyat
Jerman Timur melancarkan aksi terbuka untuk menuntut pemerintah
agar lebih demokratis.Aksi itu kemudian mengarah pada keinginan
membentuk Jerman bersatu.Aksi pro-demokrasi dan penyatuan Jerman
memuncak pada bulan Oktober dan November 1989.Pada bulan
Oktober 1989, pemerintahan komunis di bawah pimpinan Erich
Honecker jatuh.Sebulan kemudian tembok Berlin diruntuhkan dan pagar
sepanjang perbatasan kedua Jerman dirobohkan.
Pada tanggal 19-20 Desember 1989, Kanselir Jerman Barat
Helmut Kohl dan Perdana Menteri Hans Modrow dari Jerman Timur
mengadakan pertemuan di Dresden .Kedua pemimpin sepakat
melakukan reunifikasi. Gagasan reunfikasi Jerman kemudian
dibicarakanpada pertemuan Dua plus empat di Ottawa Kanada.
Pertemuan tersebut dihadiri empat Menlu negara-negara pemenang PD
II, dan masing-masing Menlu dari kedua Jerman. Pembicaraan

95
Pengayaan Materi Sejarah

reunifikasi Jerman kemudian berlanjut dalam pertemuan di Bonn, Berlin


Timur dan Paris..
Rangkaian pertemuan diatas mengisyaratkan reunifikasi Jerman
akan menjadi kenyataan. Kemungkinan untuk itu dikuatkan oleh reaksi
positif mayoritas partai di Jerman Barat dan hasil pemilihan umum di
Jerman Timur.Berdasarkan pemilihan umum di bulan Maret 1990 itu,
partai-partai pendukung penyatuan Jerman kembali memenangkan
mayoritas suara pemilih.
Pada tanggal 2 Juli 1990, berlangsung penyatuan ekonomi dan
moneter kedua Jerman.Sejak saat itu, sistem ekonomi pasar bebas juga
diterapkan di Jerman Timur.Mata uang Mark Jerman Timur ditarik dari
peredaran, dan mata uang Deutsche Mark (DM) berlaku di kedua
Jerman. Peristiwa itu merupakan langkah konkrit pertama proses
reunifikasi Jerman.
Pada tanggal 12 September 1990, pertemuan Dua plus Empat
di Moskow.Dalam pertemuan itu Menlu Jerman Barat dan Jerman Timur
menandatangani rumusan reunifikasi Jerman yang disaksikan oleh para
menlu keempat negara pemenang perang dunia II.Pada tanggal 3
Oktober 1990, berlangsung upacara kenegaraan reunifikasi Jerman
secara politik di Berlin. Kota Berlin sengaja dipilih sebagai tanda
kembalinya kota itu menjadi kota Jerman bersatu. Dalam pemilihan
umum dua bulan kemudian Helmut Kohl terpiliuh sebagai Kanselir
Jerman pertama.
a. Proses Penyatuan Jerman
Konselir Jerman Barat Helmut Kohl pada tanggal 28 November
1989 menyerahkan "Rencana 10 Pasal" tentang penyatuan Jerman
secara bertahap. Helmut Kohl merencanakan suatu konfederasi antara
Jerman Barat dan Timur. Usaha penyatuan Jerman tersebut
direncanakan akan dilakukan beberapa tahun kemudian. Keadaan di
Jerman Timur kembali bergolak setelah Egon Krenz mengundurkan diri
dan diganti Hans Modrow. Kemudian Modrow segera mengadakan
pertemuan dengan Konselir Helmut Kohl yang hasilnya adalah
kesepakatan unifikasi Jerman.Meskipun tembok Berlin telah dinyatakan

96
Pengayaan Materi Sejarah

terbuka, namun ide untuk penyatuan Jerman secara resmi pertama


muncul pada Pertemuan Ottawa (Kanada) pada tanggal 13 Pebruari
1990. Pertemuan Ottawa tersebut diikuti oleh 4 menteri luar negeri dari
negara-negara pemenang Perang Dunia II serta kedua menteri luar
negeri dari Jerman Barat dan Jerman Timur.Pertemuan Ottawa lebih
dikenal dengan rumusan "Dua Plus Empat" yang terdiri dari Jerman
Barat, Jerman Timur, dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni
Soviet.Pada tanggal 14 Pebruari 1990, Konselir Helmut Kohl dan Hans
Modrow setuju untuk mempersiapkan penyatuan mata uang dan
ekonomi kedua negara. Kohl dan De Meiziere pada tanggal 24 April
1990 akhirnya menetapkan ekonomi dan moneter yang dilanjutkan
dengan menetapkan "deutsche mark" sebagai mata uang Jerman.
Sasaran penyatuan Jerman selanjutnya selain bidang ekonomi,
adalah bidang militer. Pada awalnya Menteri Luar Negeri Uni Soviet,
Edward Shevardnadze dalam pertemuan "Dua Plus Empat" pertama di
Bonn mengajukan usulan agar Jerman bersatu dalam lima tahun
pertama tetap dalam Pakta Warsawa atau netral.Akan tetapi, usul
tersebut ditolak NATO. Akhirnya pada tanggal 16 Juli 1990 Moskow
menyetujui Jerman bersatu bergabung dalam NATO dengan tidak lagi
menilai Pakta Warsawa sebagai musuh.Seiring dengan kesepakatan-
kesepakatan tersebut, pada tanggal 13 Agustus 1990 parlemen Jerman
sepakat menetapkan tanggal 3 Oktober 1990 sebagai hari yang tepat
untuk menggabungkan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Akhirnya setelah mengalami perjuangan yang panjang pada
tanggal 3 Oktober 1990 kedua Jerman bersatu. Enam hari kemudian
tembok Berlin yang selama ini memisahkan kedua Jerman dirubuhkan.
Setelah itu, pada tanggal 2 Desember 1990 diadakan pemilu pertama
dan koalisi Partai Demokrat (CDU/FDP) yang dipimpin Konselir Helmut
Kohl berhasil memenangkan pemilu. Dengan demikian Helmut Kohl
menjadi konselir pertama setelah Jerman bersatu.
b. Dampak Berakhirnya Perang Dingin
Secara resmi apa yang dikenal sebagai perang dingin berakhir
pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya tembok Berlin pada
November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada

97
Pengayaan Materi Sejarah

Oktober 1990. Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet


pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail
Gorbachev sebagai kepala negara Uni Soviet.
Dengan berakhirnya perang dingin, secara pasti mengubah
sistem politik internasional yang pada awalnya bipolar berubah menjadi
multipolar. Selain itu terjadi pula pergeseran isu-isu internasional
menjadi lebih kompleks. Bila pada perang dingin lebih didpminasi oleh
isu –isu keamanan tradisional (konvensional) yang bernuansa militer
namun kini mengarah pada isu kemanan non-tradisional (non –
konvensional). Persaingan ekonomi guna mengejar kesejahteraan
masyarakat, masalah lingkungan hidup, hak azasi manusia, dan
terorisme merupakan isu-isu baru pasca berakhirnya perang dingin
tersebut. Berakhirnya perang dingin melahirkan kembali harapan
masyarakat internasional akan terciptanya perdamaian dunia dan fokus
pada pembangunan ekonomi serta mengatasi masalah-masalah lainnya
ketimbang persaingan ideologi dan militer.
Setelah perang dingin berakhir, masalah-masalah hak asasi
manusia , demokrasi dan lingkungan hidup muncul sebagai isu baru
politik internasional. Negara-negara Barat yang selama ini tidak begitu
memperdulikan masalah-masalah tersebut dalam membina hubungan
dengan negara-negara lain (khususnya dengan negara-negara Asia)
selama negara tersebut anti komunis sekarang mulai mengaitkan
bantuan ekonomi mereka dengan ketiga masalah itu. Persyaratan-
persyaratan ini ditolak oleh negara berkembang yang sebagian besar
tergabung dalam Gerakan Non Blok, sehingga menjadi sumber
ketegangan baru dalam hubungan utara Selatan.
Dengan berakhirnya perang dingin , dan munculnya Amerika
Serikat sebagai satu-satunya kekuatan dunia, peradaban Barat berada
pada puncaknya dan menunjukan kecenderungan untuk membungkus
seluruh dunia dalam berbagai bentuk, termasuk gelombang globalisasi
yang sekarang menjadi sebuah kecenderungan yang tidak terhindari
sama sekali. Implikasinya, kemenangan liberalisme terhadap komunisme
membawa tatanan politik internasional memasuki era baru, yaitu era

98
Pengayaan Materi Sejarah

neoliberal dengan ideologi neoliberalisme yang menyebar secara global


sebagai ideologi universal.28
Proses globalisasi (penduniaan) yang bergerak berlandaskan
pada liberalisasi itu telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan di
hampir semua lapisan masyarakat dunia baik pada masyarakat di
negara-negara maju maupun berkembang. Proses globalisasi ini
didukung oleh berkembangnya ideologi kapitalisme yang mampu
mengalahkan ideologi komunisme, kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (terutama teknologi informasi dan komunikasi) serta
berkembangnya ekonomi liberal yang menghasilkan terciptanya pasar
bebas.
Menurut Thomas L Friedman globalisasi adalah satu-satunya
jalan yang dapat digunakan manusia untuk mendapatkan standar hidup
yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi rival
kapitalisme teluh menunjukan bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar
telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih
tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi, sesuatu yang
tidak dapat diberikan oleh komunisme maupun sosialisme.
Kecenderungan globalisasi dalam bidang ekonomi terlihat dari
munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan
transnasional.Perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh
individu, tetapi juga oleh masyarakat seluruh dunia melalui penjualan
saham di bursa efek. Kegiatan operasional perusahaan tersebut juga
tersebar di seluruh dunia misalnya perusahaan minuman Coca Cola ,
dan restoran fast food (makanan siap saji) McDonalds yang berpusat di
Amerika Serikat, telah membuka cabangnya di berbagai negara
termasuk di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan perusahaan-
perusahaan besar lainnya seperti Sony, Honda, Samsung , Shell, British
dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan ini mempunyai banyak cabang di
luar negeri, mereka mempunyai sumber dana teknologi, dan
kemampuan lobi yang luar biasa. Keberadaan perusahaan multinasional
dan transnasional tersebut beserta investasi yang mereka bawa menjadi
harapan banyak negara. Investasi yang mereka tanamkan sangat
diharapkan untuk melakukan pembangunan dan memacu pertumbuhan

99
Pengayaan Materi Sejarah

ekonomi, menyediakan lapangan tenaga kerja, dan dengan demikian


meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Melalui arus informasi dan komunikasi , telah membuat makin
globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia.
Gaya berpakaian warga kota-kota besar di negara-negara Asia tidak
dapat dibedakan dengan warga kota di Amerika dan Eropa. Celana
Jeans dan potongan rambut , misalnya telah menunjukan betapa
globalisasi telah mempengaruhi warga dunia. Demikian pula jenis musik
jazz dan rock, turut pula menjadi “budaya dunia”. Hal yang sama juga
terjadi di dunia hiburan, dimana-mana film Holywood (seperti Mickey
Mouse dan Donald Bebek, dan James Bond) dapat dinikmati oleh
seluruh warga dunia. Menjamurnya produksi film dan musik dalam
bentuk kepingan CD/VCD atau DVD diberbagai kota di dunia, telah
menunjukan gaya hidup yang diciptakan oleh kaum kapitalis menjadi
gaya hidup global. Kehidupan sex bebas, sekulerisme, individualisme,
konsumerisme, gaya hidup mewah, sudah menjadi gaya hidup global
pula. Oleh karena itu, kita harus bersikap waspada dan selektif dalam
menghadapi serbuan budaya global tersebut.
Sedangkan Dampak globalisasi dalam bidang politik adalah
timbulnya gelombang demokrtatisasi di sejumlah negara Asia, Afrika,
Amerika Latin dan Eropa Timur. Setelah berakhirnya perang dingin,
dambaan akan kebebasan dan keinginan untuk menegakan demokrasi
memacu perubahan politik di banyak negara. Rezim-rezim otoriter
apapun warna politiknya tumbang satu persatu dilanda arus perubahan
ini.Salah satu contoh konkretnya adalah tumbangnya pemerintahan
Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998
c. Refleksi
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa sebuah peristiwa
sejarah bisa mempunyai lingkup dan jangkauan yang luas. Terjadinya
sebuah peristiwa di suatu wilayah /kawasan atau negara terkadang
memiliki dampak di tempat yang lain. Sebagai contoh munculnya
munculnya Revolusi Industri di Eropa sejak akhir abad 18, mendorong
munculnya imperialisme modern, dimana negara-negara Eropa
berlomba-lomba meluaskan wilayah jajahan sebagai tempat wilayah

100
Pengayaan Materi Sejarah

pemasaran dan sumber bahan baku di wilayah Asia dan Afrika. Jadi bisa
dikatakan secara tidak langsung Revolusi Industri telah mendorong
munculnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh dunia.
Contoh lain dari keterkaitan peristiwa global dengan peristiwa di
suatu wilayah adalah sejarah Indonesia periode 1945-1965 tidak bisa
dilepaskan dari konteks global yang mewarnai masa itu. Situasi global
perang dingin begitu kuat mempengaruhi sejarah kawasan Asia
termasuk Asia Tenggara. Sehingga sebuah peristiwa tidak bisa dilihat
hanya dari sudut pandang atau persfektif yang sempit. Sebuah peristiwa
bisa terjadi karena dipicu oleh faktor –faktor eksternal dan juga internal
. Sebagai contoh penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung
pada tahun 1955 dipicu oleh munculnya situasi politik internasional saat
ini yaitu adanya “Perang Dingin” antara blok barat dan blok timur.
Dorongan terbesar dari munculnya konferensi ini lahir dari kegelisahan
atas krisis yang ditimbulkan Perang Dingin, seperti pecahnya perang di
Indocina (Vietnam) dan Semenanjung Korea. Disisi lain, keinginan kuat
Indonesia untuk mengimplementasikan politik luar negeri bebas aktifnya
juga sangat berperan penting dalam terwujudnya pelaksanaan KAA ini.
Dari masa perang dingin yang berlangsung antara 1947-hingga
1991. Ada satu hal yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia,
yaitu Indonesia bisa dikatakan sebagai pelopor dan memiliki peran
penting dalam memunculkan suatu pilihan bagi negara-negara di dunia
yang tidak ingin terseret dalam persaingan antara dua blok yang terjadi
saat ini, yaitu “ Non-Blok” atau Non Alignment. Prinsip ini lahir dari
pengalaman sejarah bangsa Indonesia ketika sedang berjuang untuk
mendapatkan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan yang
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. (terkait hal ini bisa dibaca
kembali pidato Hatta di depan BP KNIP yang berjudul “Mendayung
diantara dua karang”). Perjuangan yang begitu gigih dalam menentang
kembalinya kolonialisme menjadikan bangsa Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang luar biasa dalam merespon situasi politik
internasional yang terjadi saat itu.
KAA 1955, merupakan peristiwa monumental yang diingat oleh
masyarakat Indonesia sebagai sebuah momen atau peristiwa yang

101
Pengayaan Materi Sejarah

menandakan peran aktif Indonesia sebagai salah satu aktor utama


Dunia Ketiga pada periode 1950-an. Dalam sejarah dunia untuk
pertama kalinya negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka ,
setengah merdeka dan belum merdeka, berhasil dikumpulkan dalam
satu meja mendiskusikan isu-isu dunia di tengah berkecamuknya perang
dingin. KAA adalah satu peristiwa sejarah atau momen historis yang
penting bagi dunia saat itu dan sesudahnya karena memberikan visi
alternatif melampaui pandangan dua blok besar yang bertikai saat itu.
Kekuatan Dunia Ketiga pada waktu itu berkumpul untuk
mempromosikan terciptanya tatanan dunia yang lebih adil , humanis
dan damai dengan melawan segala bentuk neokolonialisme/
imperialisme dan menghargai hak asasi manusia semua bangsa.
Ide-ide yang digaungkan oleh para pemimpin Asia-Afrika seperti
penentuan nasib sendiri /Self Determination , hak asasi manusia dan
perdamaian dunia sebetulnya telah berakar kuat dalam jaringan
solidaritas gerakan anti kolonialisme dan anti imperialisme Asia-Afrika
yang telah terbentuk sejak awal abad ke-20 ketika negara-negara Asia
Afrika masih dikolonisasi oleh negara-negara Eropa. Persamaan nasib
dari bangsa-bangsa yang tertindas oleh kekuatan imperialisme Eropa
inilah yang mendorong terciptanya solidaritas dan terbentuknya secara
gradual jaringan atau networks gerakan anti imperialisme dan anti
kolonialisme global Asia Afrika.
Dalam pidato pembukaan KAA di Bandung, yang berjudul “ Let
a New Asia Africa be Born”, Soekarno mengingatkan kembali peran
penting Konferensi Liga Anti Imperialisme dan Penindasan Kolonial di
Brussel (Belgia) tahun 1927 sebagai sebuah pondasi terbentuknya aliansi
solidaritas dari negara-negara Asia Afrika. Pada Konferensi ini untuk
pertamakalinya tokoh-tokoh pergerakan masa depan Asia Afrika seperti
Mohammad Hatta dan Jawaharlal Nehru dari India, mengadakan kontak
pertama dan membicarakan isu-isu tentang imperialisme di masing-
masing negara asal mereka. Tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi
patron dari konferensi ini antara lain peraih nobel Romain Rolland dan
Albert Einstein, Soong Ching Ling, janda dari pendiri Kuomintang Sun
Yat Sen dan George Lansbury seorang teosofis dan tokoh Partai Buruh

102
Pengayaan Materi Sejarah

Inggris. Konferensi ini dihadiri oleh 174 delegasi mewakili 134


organisasi, partai politik atau asosiasi di 34 negara.
Kedua tokoh tersebut sangat terkesan dengan pertemuan di
Brussel tersebut. Hatta menyatakan dalam tulisannya di surat kabar
Indonesia Merdeka majalah milik organisasi Perhimpunan Indonesia,
bahwa “belum pernah sebelumnya dunia mengadakan konferensi
seperti yang pernah diadakan disini (Brussels). Sedangkan Nehru sendiri
begitu terpengaruh dengan konferensi ini. Dia mengakui bahwa Brussels
memberikan inspiransi bahwa kontak terhadap bermacam-macam
gerakan anti kolonial akan mendorong terciptanya pemahaman yang
lebih baik terhadap problem dan kesulitan masing-masing serta akan
mempererat hubungan yang akan membawa kesuksesan bagi semua”.
Disinilah pertama kalinya dia mempunyai ide untuk membentuk
sebuah “Federasi Asiatik”. Ide tentang terbentuknya federasi Asia dan
jaringan yang sudah terjalin antara negara-negara Asia-Afrika inilah
yang memuluskan langkah Nehru untuk menyelenggarakan Asian
Relations Conference (Konferensi Inter Asia I) di New Delhi 1947.
Dimana untuk pertama kalinya permasalahan Indonesia (konflik
Indonesia-Belanda) dibicarakan di forum bangsa-bangsa Asia . Bagi
Sejarawan konferensi ini adalah langkah penting pembangunan
kerjasama negara-negara Asia yang nanti muncul kembali pada periode
Perang Dingin di bawah nama “Colombo Five” yang merupakan lima
negara penggagas dibelakang penyelenggaraan KAA.
Relasi yang sudah terjalin dibawah payung pergerakan global
anti kolonialisme dan imperialisme memudahkan negara-negara Asia
Afrika untuk berkumpul kembali di Bandung mendiskusikan isu-isu yang
begitu dekat dan diperjuangkan mereka sejak mereka berada dibawah
penindasan sistem imperialisme Eropa. Hasil KAA yang disebut Dasasila
Bandung berisi pemikiran tentang penentuan nasib sendiri, hak asasi
manusia, demokrasi dan perdamaian dunia inilah manifestasi dari
tujuan (raison d‟etre) kemerdekaan negara-negara Asia Afrika.
Selama hampir 45 tahun (empat setengah dasawarsa), dunia
dibelah menjadi dua kubu atau blok yang saling berkonfrontasi.
Masing-masing blok mewakili pandangan hidup yang berbeda secara

103
Pengayaan Materi Sejarah

fundamental bahkan bermusuhan. Kedua pandangan hidup ini


menentukan batas-batas politik internasional dan masing-masing blok
berusaha memaksakan sistem nilainya kepada negara-negara Asia-Afrika
(dunia ketiga). Pada dasarnya dunia ketiga hanya mempunyai arti bagi
masing-masing blok sebagai arena persaingan pengaruhdan kekuatan.
Tata dunia yang seperti itulah yang kita kenal dengan istilah perang
dingin, tidak perang tetapi juga tidak damai.
Runtuhnya tembok Berlin dan runtuhnya Uni Soviet merupakan
simbol tumbangnya sistem totaliter komunis yang mengakhiri perang
dingin. Namun, berakhirnya perang dingin tidak menjamin munculnya
perdamaian sejati. Sampai saat ini banyak permasalahan-permasalahan
dunia yang memicu konflik dan perang di sebagian wilayah dunia tetap
terjadi. Namun, tantangan yang dihadapi jelas berbeda, jika di era
perang dingin konflik biasanya dipicu oleh masalah pertentangan
ideologi, pasca perang dingin pemicu konfliknya beragam, namun lebih
banyak dipicu oleh permasalahan persaingan antar negara terkait
masalah-masalah persaingan di bidang ekonomi.
Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki peran
penting dalam panggung politik internasional terkait perannya sebagai
pelopor lahirnya Gerakan Non Blok, dituntut masih bisa memainkan
peranannya dalam panggung politik internasional yang memiliki situasi
berbeda dibandingkan dimasa perang dingin. Banyak pihak meragukan
atau bahkan mempertanyakan relevansi GNB saat ini, karena mereka
menilai GNB yang lahir sebagai jawaban dari persaingan ideologi blok
barat dan blok timur dianggap sudah tidak relevan lagi ketika
persaingan ideologi itu sudah berakhir.
Hal menarik terjadi adalah keraguan-keraguan itu muncul justru
pada saat Indonesia berhasil menjadi Ketua GNB setelah KTT GNB di
Jakarta pada 1992 , ketika perang dingin baru saja usai. Menjawab
banyak keraguan banyak pihak , Indonesia menyatakan bahwa GNB
masih tetap relevan dan diperlukan. Karena setelah perang dingin
berakhir masih banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
negara-negara Asia –Afrika atau negara-negara berkembang terutama
masalah pembangunan ekonomi dan kemiskinan. Organisasi GNB juga

104
Pengayaan Materi Sejarah

masih sangat diperlukan sebagai wadah negara-negara dunia ketiga


dalam menghadapi tekanan dan dominasi ekonomi dari negara-negara
maju, terlebih di era perdagangan bebas dan liberalisasi berbagai
macam hal yang menjadi ciri perkembangan dunia pasca perang
dingin.
Selanjutnya Indonesia tetap aktif mengimplemantasikan
kebijakan luar negeri bebas aktifnya melalui peran aktifnya dalam
mengembangkan organisasi regional ASEAN (yang pada masa Orde
baru, menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri Indonesia), menjadi
sebuah komunitas masyarakat ASEAN dibidang politik, ekonomi dan
sosial kebudayaan. Dimana komunis ini diharapkan bisa menyatukan
masyarakat Asia Tenggara dalam menghadapi gelombang liberalisasi
diberbagai bidang. Selain itu Indonesia juga turut berperan penting
dalam pembentukan APEC . Hal ini membuktikan bahwa politik luar
negeri Indonesia bebas aktif adalah sebuah warisan kebijakan yang
sangat arif dan tepat dari para “the founding fathers kita , karena
terbukti dalam perjalalan kita sebagai bangsa sejak merdeka sampai saat
ini , kebijakan luar negeri bebas aktif telah menuntun dan memberi jalan
bangsa Indonesia memasuki pergaulan internasional yang terus
berubah. Melalui kebijakan ini, bangsa Indonesia berhasil memberi
kontribusi besar menjaga perdamaian dunia dan aktif dalam pergaulan
antar bangsa dengan tetap menjaga kepentingan dan tujuan
nasionalnya yaitu “kemerdekaan dan perdamaian yang abadi”.

Linda Sunarti

105
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
Keterangan Pemerintah yang diucapkan oleh Drs. Mohammad Hatta, dimuka
Sidang B.P.K.N.P di Jogja pada tahun 1948, lihat dalam Mendayung Antara Dua
Karang, Kementerian Penerangan Republik Indonesia 1951
2
Mohammad Hatta, 1958. “ Indonesia’s Between Power Blocs”Foreign Affairs,
36 (3), 484
3
Perang Dingin adalah suasana internasional yang sangat tegang dan
bermusuhan yang diakibatkan oleh “konflik ideologi” antara blok barat dan
blok Tmur yang berkembang setelah Perang Dunia II. Situasi ini merupakan
puncak ketegangan antara dua blok tersebut yang ditandai dengan beraneka
manufer politik; diplomasi; perang urat syaraf dan segala jenis perang lain
kecuali perang terbuka diantara kedua pihak. Lihat Yahya Muhaimin, Kamus
Istilah Politik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal.230.
4
Konferensi Potsdam adalah pertemuan para pemimpin negara Sekutu yang
diadakan di Jerman (kota Postdam, pada 17 Juli-12 Agustus). Tujuan utama
dari konferensi ini adalah untuk menentukan nasib Jerman, membahas rencana
perang melawan Jepang, dan menyelesaikan masalah-masalah Eropa pasca
Perang Dunia II. Mereka yang hadir di dalam acara itu adalah Presiden AS (Harry
S. Truman), Perdana Menteri Inggris (Clement R. Attlee), dan Perdana Menteri
Uni Soviet (Joseph Stalin). Hasil konferensi adalah; 1) Jerman yg dikuasai oleh
empat negara Sekutu , dan dibagi dua , yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur.
Jerman Timur, satu zona dikuasai oleh Uni Soviet, sedangkan Jerman Barat, tiga
zona dikuasai oleh AS, Inggris dan Prancis., 2) Kota Berlin yang terletak di tengah
daerah pendudukan Uni Soviet juga dibagi dua. Berlin Timur diduduki oleh Uni
Soviet dan Berlin Barat dikuasai oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. 3)
Danzig dan daerah Jerman sebelah timur Sungai Oder danNeisse diberikan
kepada Polandia. 4) Angkatan perang Jerman harus dikurangi jumlah tentaranya
dan peralatan militernya (demiliterisasi). 5) Penjahat perang, yakni tokoh" NAZI,
harus dihukum dibawah pengawasan internasional.6) Jerman harus membayar
kerugian perang terhadap sekutu.
5
Istilah “Perang Dingin” muncul pada tahun 1947. Istilah ini diperkenalkan oleh
kolumnis Bernard Baruch dan Walter Lippmandalam bukunya yang berjudul
Cold War. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di
antara kedua negara adikuasa Amerika Serikat dan Uni Soviet pada saat itu.
kompetisi antara Amerika Serikat sebagai Blok Barat dan Uni Sovyet sebagai
Blok timur pada 1947-1991
6
Walter Lafaber, American, Rusia, and The Cold War 1945-1975, 3 ed, New York,
1976, hal.1-2

106
Pengayaan Materi Sejarah

7
John C Sherry, 1963. History of Western Civilization (1560- to the Present), New
York, hal 20-21, 48,80
8
Richard B Moris, 1973. Richard B Moris, Great Presidential Decisions : State
Paper that Changed the Course of History, New York hal.427
9
United State Information Agency (USIA), 2010. Garis Besar Sejarah Amerika.
Jakarta: hal.284
10
Roeslan Abdulgani , 1980. The Bandung Connection. The Asia-Africa Conference
in Bandung in 1955. Singapore : Gunung Agung. Hal.9
11
Ibid., hal.10
12
Roeslan Abdulgani, 1980. The Bandung Connection. The Asia-Africa Conference
in Bandung in 1955. Singapore : Gunung Agung. Hal.12
13
Ibid, hal.14
14
Jamie Mackie , 2005. Bandung 1955. Non –Aligment Movement and Afro-Asian
Solidarity . Singapore Solidarity.Didier Millet, hal.58
15
Roeslan Abdulgani, 1980, hal.66
16
Ibid., hal.99
17
Jamie Mackie, 1980. Hal.106
18
Mochtar Kusumaatmadja,. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan
pelaksanaannya dewasa ini:kumpulan karangan dan pidato Mochtar
Kusumaatmadja. (ed. Edy Damian). Bandung : Alumni, hal.97
19
P.Swantoro, Prisma, No.4, April 1990: 15
20
P.Swantoro, Prisma, No.4, April 1990: 16
21
Ibid.,
22
ASEAN Selayang Pandang, 2010. ed.ke.19. Jakarta : Sekretariat ASEAN, hal .2
23
Ibid., hal.3
24
Low, L.1996. Regional Integration and the Asia –Pacific : The ASEAN Free Trade
Area. Oxford University Press, hal. 199
25
Craig Van Grasstek, 2013. The History and Future of World Trade Organization.
Geneva: World Trade Organization, hal.14
26
Ibid., hal. 16

107
Pengayaan Materi Sejarah

27
Crockatt, Richard (2001) “The End of the Cold War,” in Baylis, John & Smith,
Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University
Press, hal.96
28
Neoliberalisme merupkan paham yang mengusung nilai nilai kebebasan
individual dan hak atas kepemilikan properti serta mendukung konsep laissez-
faire dari teori ekonomi klasik yang dikemukan Adam Smith. Neolibiralisme juga
menghendaki pasar bebas dan perdagangan bebas, serta meminimalisasi peran
dan intervensi pemerintah dalam pasar. Pemerintah hanya berperan untuk
menciptakan dan menjaga kerangka institusional yang layak untuk kegiatan
perekonomian yang liberal. Lihat David Harvey dalam Dag Einar Thorsen dan
Amund Lie.t.t, What is Neoliberalism? (pdf), dalam
http://folk.uio.no/daget/neoliberalism.pdf (diunduh pada 25 juni 2015)

108
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 2
Perjuangan Mempertahankan NKRI

2.1. Revolusi Indonesia dan Perjuangan Bagi Eksistensi Republik


Peristiwa proklamasi kemerdekaan yang terjadi pada 17
Agustus 1945, menjadi penanda dimulainya babak baru
perjalanan sebuah negara bernama Republik Indonesia (RI) . Hal
ini tidak berarti negara yang baru merdeka ini secara otomatis
menjalankan pemerintahan sebagai sebuah negara yang
berdaulat. Pada kenyataannya, pasca kemerdekaan, rakyat
Indonesia justru harus berjuang mempertahankan kemerdekaan
dan kedaulatan negara RI dari ancaman eksternal, yakni upaya-
upaya rekolonialisasi yang dilakukan Belanda. Di samping itu, di
dalam negeri pun terjadi ancaman internal dengan munculnya
pertarungan ideologi antar anak bangsa yang tiba-tiba
dihadapkan pada kondisi baru, yakni bebas dari penindasan
penjajahan. Perubahan yang berekses terhadap munculnya
kekerasan ini merupakan gambaran situasi Indonesia pasca
kemerdekaan yang di sebut dengan babak Revolusi.
Perjuangan di masa Revolusi yang berlangsung dari
tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 dalam
mempertahankan RI sebagai negara merdeka dengan
penguasaan wilayah yang pada kenyataannya masih dikepung
oleh daerah-daerah hasil upaya rekolonisasi Belanda,
dilangsungkan dalam dua cara, yakni diplomasi dan militer.
Perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda berlangsung
beberapa kali dalam waktu empat tahun dalam periode
tersebut. Namun, perundingan demi perundingan itu membawa
kekecewaan di pihak Indonesia oleh karena ketidakpatuhan
komitmen dari pihak Belanda yang melakukan pukulan serangan
militernya pada Juli 1947. Setelah strategi perang gerilya yang
melelahkan digunakan dalam menghadapi serangan militer

109
Pengayaan Materi Sejarah

Belanda kedua pada Desember 1948, baru jalan diplomasi yang


dilanjutkan kembali pada 1949 membawa keberhasilan bagi
Indonesia.
Semula, Kemerdekaan RI yang diproklamirkan
oleh Sukarno dan Hatta dengan dukungan dari rakyat Indonesia
tersebut, tidak diakui masyarakat dunia. Sebagai sekutu negeri
Belanda dalam Perang Dunia Kedua, negara-negara besar utama
di dunia masih terus mengakui kedaulatan Belanda atas
Indonesia. Oleh karena itu, pasukan-pasukan Inggris pun
dengan segera mendarat di Indonesia untuk melucuti senjata
Jepang dan membuka jalan bagi kembalinya pemerintahan
Belanda. Walaupun, para pemimpin Indonesia memprotes
kembalinya para pejabat pemerintah dan tentara Belanda,
namun saat itu Indonesia belum mempunyai kekuatan militer
untuk mencegahnya.
Di samping berjuang melalui jalur politik dan diplomasi,
para pemimpin negara menyadari pentingnya keberadaan suatu
kekuatan bersenjata dalam sebuah negara. Masalahnya saat itu
adalah bagaimana secara tiba-tiba Indonesia harus berdiri di
atas kakinya sendiri dan, hampir seketika itu juga, harus
menghadapi suatu lawan militer. Jelas, hal ini bukanlah
pekerjaan mudah untuk membentuk angkatan bersenjata yang
teratur dengan baik dalam waktu yang sangat singkat. 1 Namun,
dalam perkembangan keamanan yang menunjukkan situasi
semakin tidak kondusif pasca kehadiran Sekutu di bawah
pimpinan Inggris; pada 5 Oktober 1945 pemerintah RI
mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan
yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dalam Revolusi Indonesia, di samping kisah interaksi
antara diplomasi dan peperangan, menurut Anton Lucas bahwa
dibalik kaum politisi dan para prajurit terdapat massa pemuda
yang tidak sabar mendesak generasi lebih tua agar maju dengan
semboyan “merdeka atau mati”. Sesudah proklamasi,
pemudalah yang meneruskan nyala api proklamasi, api
pertempuran dengan Jepang dan Inggris, dan Belanda yang
hendak mengembalikan kekuasaannya, api revolusi sosial, api
yang menuntut “100% merdeka”, tanpa berunding, tanpa

110
Pengayaan Materi Sejarah

diplomasi.2 Munculnya ideologi revolusi yang menjiwai


perjuangan kaum muda, telah memberikan karakter bagi
keberlangsungan Revolusi Indonesia selama kurang lebih empat
tahun, yakni dari 1945 hingga 1949.
2.1. Krisis Awal Dalam Republik Baru
Di beberapa daerah pada akhir bulan Agustus 1945
dan awal September 1945, golongan organisasi rakyat
dipersiapkan oleh Jepang untuk mengadakan perlawanan
terhadap Sekutu, yakni dengan mengadakan perlawanan gerilya
di daerah perkebunan. Pasca mendengar penyerahan Jepang,
beberapa perkebunan, seperti di Sukabumi dirampok dan
gedung-gedungnya dirampas. Tindakan ini merupakan
kelanjutan dan permulaan perjuangan melawan Sekutu apabila
nantinya mendarat di Jawa. Menghadapi hal tersebut,
Mohammad Hatta memberi kuasa pada beberapa pemuda yang
dekat dengannya, yakni Subianto serta Soebadio Sastrosatomo
ke Sukabumi dan sekitarnya untuk menemui tokoh-tokoh
Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan rakyat (BKR),
juga para pemimpin organisasi rakyat untuk meyakinkan mereka
bahwa Indonesia telah merdeka di bawah pimpinan Soekarno-
Hatta. Dengan demikian gedung-gedungnya adalah milik negara
RI dan tiadk patut untuk dirampas dan dibongkar. Usaha ini
berhasil melalui pendekatan seorang komandan BKR dan
seorang Kiai yang membentu barang-barang yang dirampok dan
gedung-gedung yang dirampas untuk dikembalikan ke
perkebunan. Organisasi rakyat yang sebelumnya dipersiapkan
untuk melawan Sekutu tersebut dapat dijadikan organisasi
rakyat yang tunduk kepada negara RI.
Sementara itu, para pemimpin di Yogyakarta, Surabaya,
Cirebon, Garut dan lain-lain yang dibina dan merupakan
jaringan organisasi rakyat yang selama itu dibina oleh Sjahrir,
pejuang bawah tanah selama pendudukan Jepang, pada
umumnya anggota PNI, yaitu suatu parta yang dipimpin Sjahrir
dan Hatta. Bagi mereka, negara RI dinilai sebagai alat
perjuangan rakyat ke luar untuk melawan kolonialisme dan ke
dalam sebagai alat perjuangan rakyat untuk menentukan
nasibnya sendiri. Masalah pokoknya yakni sebagian besar

111
Pengayaan Materi Sejarah

anggota kabinet adalah pegawai-pegawai di masa


pemerintahan militer Jepang.3 Hal ini menjadikan para pimpinan
dalam kabinet tersebut tidak bertindak sesuai dengan cita-cita
perjuangan revolusioner.4
Para pemuda di Jakarta paling merasakan tidak adanya
kepemimpinan kabinet dan tidak ada gerak nyata untuk
mengambil kekuasaan dari pemerintah pendudukan Jepang.
Oleh karena itu, para pemuda merasa perlu mengambil
tindakan-tindakan sendiri untuk mewujudkan pengambialihan
kekuasaan dari tangan Jepang ke tangan bangsa Indonesia.
Peristiwa penculikan5 Sukarno-Hatta pada 15 Agustus 1945 ke
Rengasdengklok, di luar Jakarta oleh pemuda yang mendesak
agar kedua tokoh ini segera mmproklamsikan kemerdekaan
waktu itu, menjadi contoh bagi gerakan pemuda di kota-kota di
seluruh Jawa. Di daerah, generasi tua pada umumnya diwakli
oleh pejabat-pejabat pemerintah yang dulunya pejabat pangreh
praja, maka keragu-raguannya terhadap proklamasi tercermin
dalam sikap mereka. Seperti, menunggu pengumuman resmi
gunseikan tentang penyerahan Jepang pada Sekutu. Dan, dalam
kenyataannya pengumuman ini pun tidak pernah ada.
Oleh karena itu, golongan ini masih memiliki ketakutan
terhadap tindakan Jepang, jika mereka harus menurunkan bendera
Jepang, yaitu Hinomaru. Selanjutnya, hampir tiap pagi para pemuda
memaksa pengibaran bendera Jepang dan menggantinya dengan
bendera Merah Putih. Begitu pula, para prajurit Kenpeitai segera
menaikkan kembali bendera Jepang yang diturunkan. Adapun yang
dilakukan mahasiswa Ikadaigako (Kedokteran) bertindak cerdik yakni
mengaliri tiang bendera dengan aliran listrik, saat bendera Jepang
diturunkan dan bendera Indonesia dipasang, efeknya bendera tersebut
tidak dapat lagi diganti. Demikianlah, “perang bendera” pun terjadi
beberapa minggu pasca kemerdekaan.6
Bulan Agustus dan sepetember 1945 merupakan periode mulai
menyerahnya Jepang hingga mendaratnya Sekutu di Indonesia pada
hakikatnya hanya berlangsung selama 30 hari, telah memberi waktu
cukup bagi bangsa Indonesia, terutama di jawa untuk mewujudkan
pernyataan kemerdekaan menajdi suatu negara yang melepaskan diri
dari kekuasaan dan pengaruh Jepang, serta mempersiapkan diri untuk

112
Pengayaan Materi Sejarah

menghadapi Sekutu terutama kekuasaan Belanda.Pihak-pihak yang


mengharapkan kembalinya pemerintahan Hindia Belandaa, dapat ditarik
dan diintegrasikan ke perjuangan kemerdekaan negara yang masih
muda ini. Perjuangan tersebut dilaksanakan dengan dua macam cara,
yakni: pertama, dengan meyakinkan serta mengintegrasikan kepada
kekuatan Republik dan kedua, dengan jalan mencegah secara fisik
kemungkinan mereka mencari hubungan dengan dengan pihak Sekutu
dan Belanda. Cara kedua ini banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi
pemuda yakni melakukan penangkapan, penculikan, dan penahanan.
Bahkan, ada juga di beberapa daerah yang menjalankan dengan cara
kekerasan dan pembunuhan. Diantaranya, kejadian penculikan terhadap
Mr. M. Slamet di Jakarta dan pembunuhan wedana Salamun di
Yogyakarta.7 Semangat pemuda yang mengalami penindasan dan
penjajahan Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, sekalipun
mereka tidak mengenal dan mengalami dengan sadar penjajahan
Belanda sebelum perang, mereka mengembangkan semangat ini
menjadi suatu tekad yang tidak mau dijajah lagi oleh siapapun juga.
Semangat dan tekad ini banyak berupa antipenjajahan dan secara
kongkrit ialah anti Belanda. Dengan demikian mereka melawan orang-
orang Indonesia yang mengharapkan kembalinya Belanda di Indonesia.
Selanjutnya pada 15 Sepetember 1945 Sekutu di bawah
pimpinan Laksamana Pertama Patterson, wakil Admiral Mountbatten
mendarat di Tanjung Priok untuk melaksanakan penyerahan Jepang dan
memulangkan prajurit dan tenaga sipil Jepang. Setelah pasukan Inggris
tiba di Jakarta dengan membawa pasukan KNIL, maka tindakan-
tindakan seperti “Perang Bendera” menjadi berhenti dan beberapa
departemen yang berbendera Jepang tidak dikibarkan lagi. Sedang,
beberapa departemen berbendera Indonesia tetap berkibar. Adapun di
bekas gedung “Volksraad”, para pembesar Belanda yang ikut datang
bersama pasukan Inggris mengibarkan bendera Belanda. Hal ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda di
“Nederlands Indie” sudah dikembalikan. Serdadu-serdadu KNIL yang
kebanyakan adalah orang Ambon dengan memakai jeep atau truk
berkeliling di Jakarta dan adalakalanya melepaskan tembakan. Mobil-
mobil para pembesar RI yang memasang bendera Merah Putih
ditembaki. Mereka melakukan ronda pula hingga ke luar kota, seperti ke
Klender, tetapi mereka juga mendapat serangan dari rakyat. Mereka

113
Pengayaan Materi Sejarah

menembak dengan senapan, sedang rakyat memerangi dengan batu


dan botol kosong.8
Kedatangan pasukan Inggris yang “diboncengi” oleh orang-
orang Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherlands Indie Civil
administration/NICA) beserta pasukan bersenjatanya, suasana Jakarta
menjadi kacau balau karena timbulnya tindakan kekerasan.
Perkembangan kekacauan ini menyebabkan orang Indonesia sudah
tidak percaya lagi pada maksud baik Komando Sekutu, terlebih dengan
kehadirannya bersama beberapa perwira NICA, diantaranya Van der
Plas bisa datang ke Jakarta sebagai anggota misi Laksamana Patterson.
Meski, Inggris berhasil mempertemukan pihak-pihak yang bertikai,
seperti pada tanggal 23 Oktober 1945 terjadi pertemuan tidak resmi
antara Van Mook dan Soekarno yang berlangsung atas usaha Letnan
Jenderal Christison, Komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (Allied
Forces Netherlands East –Indie/AFNEI). Namun dalam pertemuan ini,
Maberly E. Dening, penasehat urusan politik Mountbatten membuat
pernyataan yang mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai
penguasa sah di Indonesia. Pernyataan ini tentu saja melahirkan reaksi
keras dari orang-orang Indonesia.9
Keadaan kota Jakarta hingga akhir Desemeber 1945
menyebabkan tentara Inggris melakukan “pembersihan”. Pada 27
Desember 1945 Letnan Jenderal Philip Christison menyatakan, bahwa ia
akan melakukan tindakan yang lebih nyata untuk mengambil langkah-
langkah sebagaimana direncanakan guna memelihara keamanan dan
ketertiban, di daerah yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Selanjutnya pasukan Inggris-India (tentara Gurkha) melakukan
pengepungan di sekitar kota Jakarta, di kampung-kampung dilakukan
penggeledahan. Sementara itu, tentara Gurkha mengambil alih pula
gedung-gedung perkantoran, seperti Kantor Pos Besar, kantor Telepon,
Urusan pajak, Air Ledeng, Jawatan listrik dan gas.
Dalam suasana tersebut, teror yang dilakukan pasukan NICA
semakin memuncak karena sasarannya ditujukan kepada para pemimpin
Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir nyaris tertembak serdadu Belanda,
saat bermobil dalam perjalanan di depan bioskop Megaria (daerah
jakarta Pusat). Selain itu, munculnya desas-desus bahwa komplotan
NICA akan melakukan pengeboman daerah Menteng (Jakarta Pusat),
seperti yang diberitakan dalam koran Berita Indonesia tanggal 2 januari

114
Pengayaan Materi Sejarah

1946, dan meningkatnya teror yang terus menerus mengancam kota


Jakarta yang sewaktu-waktu dapat menimpa presiden dan wakil
presiden. Kondisi ini lah yang mendorong rombongan Presiden Sukarno
dan Wakil Presiden Mohamad Hatta meninggalkan Jakarta dan menuju
Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Sejak itu, ibukota RI pun
berpindah di Yogyakarta sebagai akibat kondisi Jakarta yang tidak
aman, di samping aksi teror juga pertempuran yang terjadi antara
pasukan Belanda, Indonesia, dan Inggris.10
Sementara itu, pasukan-pasukan Inggris tetap tidak tersedia
secara cukup bagi pulau-pulau di luar Jawa dan Sumatra, ternyata
pasukan-pasukan tentara Belanda (KNIL) dapat menggantikan tentara
Australia dikebanyakan daerah selama bulan Desember dan bahkan, di
Sulawesi selatan sebulan kemudian. Pada 2 Februari 1946, Australia
menyerahkan satu-satunya kekuasaan di Makasar kepada Suatu Brigade
India Inggris, namun demikian kehdiran sekutu yang efektif di luar satu
kota itu adalah pihak Belanda. Kekuasaan SEAC atas luar Jawa dan
Sumatra pun tidak berarti yang selanjutnya diserahkan pada Belanda
yang kemudian secara bebas melaksanakan sistem federal di daerah-
daerah Indonesia lainnya yang memungkinkan Belanda dapat
menguasainya guna mengimbangi Republik.
Walaupu demikian, pergolakan revolusi terjadi pula di daerah-
daerah di wilayah Indonesia lainnya. Hal ini seperti digambarkan oleh
Anton Lucas terkait pengorbanan ribuan pemuda dan rakyat terbaring
bukan saja antara Krawang dan Bekasi tapi juga di Pekalongan,
semarang, Magelang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Aceh,
dan Sulawesi Selatan. Pertempuran dimulai dengan menyerang garnisun
Jepang yang masih tinggal di kota-kota kabupaten dan karesidenan,
dengan maksud untuk merebut senjata-senjata Jepang. Walaupun
pertempuran itu berhasil tetapi tetap meminta banyak korban; seperti
pertempuran pertama terjadi pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan
menelan korban dari kalangan pemuda, di Pekalongan 32 jiwa, di
Yogyakarta 18 jiwa; sedangkan di Semarang sejumlah 300 orang
terbunuh dengan bambu runcing yang kemudian dibalas Jepang
dengan membunuh korban 2000 orang Indonesia. Di Bandung terkenal
dengan peristiwa “lautan api‟ nya. Adapun, Pertempuran Surabaya
menjadi lambang kepahlawanan, pengorbanan, dan semangat pemuda
revolusioner. Pagi-pagi tanggal 10 November 1945, Surabaya diserang
dengan metraliur, bom, dan tank-tank Inggris. Selama tiga minggu
pemuda dan rakyat membalas hanya dengan pisau dan keris
ditangannya.11

115
Pengayaan Materi Sejarah

Sedangkan pergolakan revolusi yang terjadi di Sumatra Timur


dan Aceh, pemuda memiliki peranan yang besar sekali. Seperti di Jawa,
kekuatan peuda di Sumatra Utara paling tampak di daerah-daerah
perkotaan. Di Medan, pasukan-pasukan pemuda di bawah koordinasi
Xarim M.S., pemimpin dari generasi tua yang terkenal dan berpengaruh
di Sumatra Timur, tiba-tiba harus siap menghadapi Letnan Westerling
yang terkenal keganasannya. Baru pada bulan Januari 1946 gerakan
revolusioner dapat bersatu lagi menghadapi pemerintahan kerajaan-
kerajaan Melayu, Batak Simalungun, dan Batak Karo. Sultan-sultan
tersebut sadar akan kelemahan Belanda, juga karena nasib para
Hulubalang di Aceh, mereka akhirnya setuju dengan tuntutan Gubernur
Sumatra Teuku Mohammad Hasan agar pemerintahan kerajaan-
kerajaan itu disesuaikan dengan Republik. Sedangkan di Aceh, para
pemudanya dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di Medan bersama-
sama dengan kaum ulama dalam organisasi PUSA atau Persatuan
Ulama Seluruh Aceh, menyingkirkan 107 bangsaawan Aceh yang
berkedudukan sebagai hulubalang. Terutama di daerah Pidie, para
hulubalang dengan pimpinan Teuku Daud Cumbok mencoba
memeprtahankan kewibawaan mereka dengan mengejek Republik dan
pemuda. Namun, usaha mereka sia-sia dan pada Januari 1946 sebagian
besar mereka dibunuh di dalam Perang Cumbok yang berlangsung
selama dua minggu.12
Sebaliknya pasukan sekutu yang telah mengalahkan Jepang dan
kemudian menangani situasi pasca perang, terakhir meninggalkan
Indonesia pada bulan November 1946 dan meninggalkan Belanda
berkonfrontasi dengan Republik yang beribukota di Yogyakarta. Belanda
melakukan blokade-blokade terhadap daerah-daerah republik yang
mempersulit pemerintah RI untuk berkomunikasi dengan para
simpatisan Republik di daerah-daerah yang dikuasai Belanda.
2.1.2 Tindakan Belanda Dalam Upaya Rekolonisasi Indonesia
Serangan Belanda pada 21 Juli 1947 yang dilakukan secara
serentak terhadap daerah-daerah di sekitar tujuh buah kota yang
merupakan daerah-daerah kantong di Jawa dan Sumatra tidak berhasil
sama sekali menumbangkan pemerintah Republik, seperti yang semula
diharapkan oleh Van Mook. Cara yang dilakukan hanyalah merebut
bagian-bagian yang paling menguntungkan dari wilayah Republik –
daerah-daerah perkebunan di Jawa Barat dan Sumatra Timur serta

116
Pengayaan Materi Sejarah

instalasi-instalasi minyak dekat Palembang. Seperti juga dengan daerah-


daerah yang berdekatan letaknya dengan kota-kota, yakni Surabaya,
Semarang dan Padang.
Dalam menghadapi agresi Belanda ini, pemerintah RI telah
mempersiapkan suatu rencana di bidang militer, yakni:
1) RI telah menganut sistem pertahanan rakyat total yang
berintikan TNI.
2) Dekrit presiden 5 Mei 1947 isi pokoknya antara lain TRI dan
pelbagai laskar disatukan menjadi TNI (Tentara nasional
Indonesia).
3) Pimpinan Angkatan Perang di bawah Panglima Besar Jenderal
Soedirman mengadakan rapat di Yogyakarta untuk menyusun
suatu pertahanan wehrkreise. Menurut penciptanya, yakni
Jenderal Nasution bahwa wehrkreise diartikan kurang lebih
setiap lingkungan daerah harus berswadaya untuk
mempertahankan daerahnya masing-masing dengan
mengintegrasikan semua tenaga dan materiil serta bahan-bahan
yang ada dalam lingkungan-lingkungan itu sendiri.13
Gerakan tentara Belanda dalam agresi Militer Pertama ini pada
mulanya dihadapi secara frontal. Rencana ini pada dasarnya secara
konsepsional didasarkan pada pengertian adanya “daerah musuh” dan
“daerah kita”, yang jelas terpisah oleh suatu garis pertempuran serta
tutup menutup, sambung menyambung. Konsepsi Linier ini dianut
secara umum sampai ke Markas tertinggi. Bahkan, di sepanjang Garis
Demarkasi yang memisahkan daerah penguasaan tentara Belanda
dengan daerah-daerah Republik sebelum adanya Persetujuan Linggajati
dibangun perbentengan dengan meniru konsepsi ala “ Maginot Linie”,
dengan menggunakan “Pill Box” dan parit-parit yang diperkuat. Dalam
konsepsi ini tidak dipikirkan cara untuk menyatukan dan
mengintegrasikan potensi perjuangan seluruhnya. Dalam hal ini tidak
terdapat konsepsi yang menunjuk cara mengikutsertakan kekuatan
seluruhnya secara bulat. Sistem Linier tanpa dukungan
persenjataan yang cukup itu dengan mudah dihancurkan oleh Belanda.
Di mana pertahanan TNI cukup kuat, Belanda menghantamnya dari
Belakang. Dengan demikian maka garis pertahanan RI menjadi
terpotong-potong dan kekuatannya tersebar.

117
Pengayaan Materi Sejarah

Secara ekonomis, penguasaan ini memperkuat kedudukan


Belanda dan memperlemah Indonesia, namun tekanan ekonomi pun
jarang menghentikan sebuah revolusi. Jika pun terdapat pengaruhnya,
yakni semakin susah di daerah-daerah Jawa dan Sumatra di bawah RI
yang dibanjiri kaum pengungsi, kurangnya sumber-sumber daya, dan
terhalang dari perdagangan dengan daerah luar, bahkan memeprkuat
tuntutan radikal untuk melancarkan perlawanan total rakyat terhadap
Belanda. Tambahan lagi, pecahnya perang terbuka antara Belanda dan
Indonesia mengejutkan dunia yang sudah jemu perang, yang sejak itu
mendesak melalui PBB yang baru saja lahir agar konflik itu jangan
diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Setiap pemerintah Republik berkewajiban untuk mempertahakan
simpati internasional, berkompromi dengan Belanda melalui
perundingan, walaupun tidak sama dengan tuntutan rakyat yakni 100%
merdeka. Perundingan yang diprakarsai PBB yang menghasilkan
Persetujuan Renville pada Januari 1948 sangat menyakitkan, karena
Republik terpaksa mengakui secara de facto direbutnya wilayah oleh
Belanda dalam agresinya tahun 1947. Konsesi-konsesi yang diberikan
akibat perjanjian itu, menjadikan perdana menteri yang bertanggung
jawab menjadi tidak populair, seperti yang dialami Sjahrir dengan
konsesi-konsesinya terdahulu yang diberikannya.
Perdana menteri tersebut adalah Amir Syarifuddin, yang
mencoba untuk sekaligus menjadi seorang Marxis, seorang Kristen,
seorang demokrat, dan seorang komunis., seorang nasionalis, dan
seorang internasionalis. Ia memimpin pemerintahan yang paling kiri
yang pernah dialami Indonesia, dengan 10 dari 34 orang menterinya,
termasuk Amir Syarifuddin, kemudian menyatakan diri sebagai seorang
komunis.14 Perjanjian Renville memberikan suatu kesempatan bagi PNI
(Partai nasionalis Indonesia) dan Masjumi untuk menarik kembali
dukungan mereka kepadanya sebagai perdana menteri dan bagi
Sukarno untuk menunjuk Mohamad Hatta sebagai formatur sebuah
kabinet Presidensil tanpa wakil-wakil kaum Kiri dan tidak lagi
bertanggung jawab seperti kabinet-kabinet sebelumnya kepada KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai parlemen. Dengan demikian,
partai-partai Sayap Kiri kehilangan kepemimpinan revolusi, termasuk
kementerian-kementerian penting yakni Pertahanan dan Dalam Negeri
yang sebelumnya telah mereka kuasai.

118
Pengayaan Materi Sejarah

Amir Syarifuddin dan pendukung-pendukungnya dari kelompok


Kiri kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) mencoba
memperoleh lebih banyak dukungan rakyat untuk mengimbangi
hilangnya kekuasaaan mereka dengan menganut program ekonomi dan
sosial yang lebih radikal daripada yang pernah ada selama revolusi.
Mereka menentang setiap kompromi dengan Belanda, mendorong
dilancarkannya pemogokan untuk menuntut keadaan yang lebih baik,
terutama di Delanggu dan Cepu; serta mendesak nasionalisasi
perusahaan-perusahaan dan membagi-bagi tanah (terutama tanah
bengkok) kepada mereka yang tidak tanah.
Sementara itu, tentara juga terpecah antara pihak yang
mendukung dan yang menentang rencana pemerintah untuk
membubabarkan kesatuan-kesatuan yang sukar diatur dan yang tidak
baik persenjataannya, terutama yang bersimpati dengan pihak oposisi.
Pertentangan antara golongan Kiri dan golongan Kanan, dan antara
kesatuan-kesatuan tentara yang bersaing, semakin jelas ketika para
pemimpin FDR, yang patah semangat karena kehilangan kekuasaaan
menerima baik politik radikal Jalan Baru yang dibawa Musso dari
Moskow pada Agustus 1948. Partaidalam FDR bergabung ke dalam
partai yang lebih besar dan lebih sgresif, yakni PKI. Di Yogyakarta dan
di Solo, Divisi Siliwangi membuat kedudukan pemerintah menjadi lebih
kuat, tetapi di daerah Madiun pasukan Pesindo dari golongan Kiri yang
lebih kuat. Ketika PKI mulai bertindak untuk memperkuat kedudukannya
di Madiun, konflik-konflik setempat meledak menjadi perang saudara
dalam wujud pemberontakan PKI pada September 1948.
Kematangan situasi yang dimanfaatkan Belanda untuk
menekan Republik tidak terlepas dari pemenfaatan pertentangan politik
yang tajam di tanahair antara golongan pro dan yang anti persetujuan
Renville, Kebijakan Rekonstruksi dan rasionalisasi Angkatan perang (Re-
Ra)15 dan pembentukan negara Indonesia serikat yang kemudian
mencapai puncak situasi dengan meletusnya pemberontakan PKI di
Madiun pada September 1948 telah digunakan pihak Belanda dalam
menyusun kekuatan untuk menyerbu RI. Pada 19 Desember 1948 pukul
06.00 pagi, Belanda mulai melancarkan serangan menyerbu daerah RI.
Melalui operasi lintas udara, pasukan baret hijau Belanda diterjunkan di
pinggir kota Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pangkalan udara
Maguwo telah dikuasai sepenuhnya oleh tentara Belanda. Di daerah-
daerah lain pasukan Belanda bergerak melintasi semua garis demarkasi

119
Pengayaan Materi Sejarah

dan berhasil menguasai kota-kota dan jalan raya. Serangan militer ini
merupakan suatu tantangan terang-terangan terhadap wewenang PBB
yang kemudian berakibat merugikan Belanda daripada Indonesia.
Amerika Serikat segera menghentikan bantuan pembangunan kembali
setelah perang kepada negeri Belanda. Di samping dunia internasional
yang memprotes tindakan Belanda tersebut, dua negara federal, yakni
Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan mengundurkan diri
sebagai bentuk protes terhadap Agresi Militer Belanda.
Dalam suasana genting pada hari itu juga dilakukan sidang
kabinet yang dihadiri juga oleh beberapa pembesar TNI. Sidang kabinet
tersebut mempertimbangkan dua kemungkinan, yakni:
1) Presiden dan wakil presiden/perdana menteri mengungsi ke luar
kota Yogyakarta, tetapi harus dikawal oleh satu batalyon
tentara. Ternyata tentara yang akan mengawal itu tidak ada
karena tentara yang ada di Yogyakarta sudah ke luar semua.
2) Tetap tinggal di kota dan membiarkan diri ditawan Belanda,
tetapi dekat dengan KTN.16
Sidang memutuskan bahwa pimpinan negara serta para pejabat
pemerintah tetap tinggal di kota dan kepada Mr. Sjafrudin
Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) yang waktu itu sedang bertugas
di di Sumatra, melalui radiogram diberikan mandat untuk memimpin
Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatra. Bahkan, jika Mr. Sjafruddin
tidak berhasil membentuk PDRI, kepada Mr. Maramis (Menteri
Keuangan) yang sedang berada di India, L.N. Palaar dan Dr. Sudarsono
diberi pula kuasa untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di
India. Selanjutnya, di samping menyerang kota-kota yang masih berada
di tangan Republik, Belanda menangkap Sukarno, Mohamad Hatta, dan
sebagian besar anggota kabinet di Yogyakarta. Sukarno, Hatta dan
para pembesar RI lainnya diasingkan oleh Belanda ke Bangka yang
kemudian dipindah ke Brastagi dan yang terakhir ke Prapat.
Dalam kondisi tersebut, PDRI berhasil dibentuk walaupun
radiogram terlambat diterima. Di Sumatra, Mr Sjafruddin bersama
kawan-kawan memproklamirkan pemerintah darurat untuk melanjutkan
perjuangan. Menurut Sjafruddin, meskipun Sukarno, Hatta dan
beberapa menteri menjadi tahanan Belanda, mereka tidak lepas dari
ikatan-ikatan moral dengan pemerintah darurat yang memberikan
kekuatan untuk berbicara dengan Belanda. Di belakang PDRI terdapat

120
Pengayaan Materi Sejarah

rakyat Indonesia, khususnya rakyat Sumatra, dan masih ada rakyat di


Jawa meski sebagian besar daerahnya diduduki Belanda. Walaupun
demikian, rakyat di Jawa masih tetap setia pada RI yang dipelopori Sri
Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX). Jadi, walaupun daerahnya telah
diduduki Belanda, Yogyakarta secara moril tetap Republik Indonesia
yang dipimpin oleh Sri Sultan HB IX.
PDRI memimpin dan mengkoordinir perjuangan di Sumatra dan
di Jawa. Kedudukannya pun selalu berpindah-pindah, yakni semula di
Badar Alam, sebuah kampung di selatan Sumatra Barat, kemudian
pindah lagi ke utara hingga di Kota Tinggi. Di Jawa, PDRI mengangkat
Dewan Komisaris Pemerintah Pusat, di samping itu PDRI juga melakukan
hubungan dengan luar negeri untuk memberi data-data tentang
keadaan perjuangan di dalam negeri guna memperjuangkan nasib RI di
PBB melalui Mr. Maramis yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri
PDRI. Selain itu, perlawanan PDRI telah memberikan arti pula bagi
terselenggaranya pembicaraan antara Roem-Van Royen yang kemudian
mencapai understanding kedua belah pihak hingga melahirkan
agreement, yakni pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta pada 6
Juli 1949.17 Peristiwa ini ditandai kembalinya Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Mohamad Hatta ke Yogya yang dirayakan dengan
khidmat. Hal tersebut sekaligus merupakan kemenangan simbolis yang
ditetapkan sebelumnya dalam resolusi Dewan Keamanan pada Januari
sebelumnya.
Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta,
pada tanggal 13 Juli 1949, pukul 20.00 diselenggarakan sidang kabinet
RI pertama. Pada kesempatan itu, Mr Sjarifuddin mengembalikan
mandatnya kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta. Menurut Mr.
Sjafruddin bahwa dengan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,
bagi PDRI tidak ada alasan lagi untuk menjalankan kewajibannya
sebagai emergency government. Atas dasar alasan tersebut, Mr
Sjafruddin merasa wajib mengembalikan mandat kepada pemerinta RI.
Selanjutnya dalam kabinet baru, Mr Sjafruddin diangkat sebagi Wakil
Perdana Menteri II yang berkedudukan di Banda Aceh sebagai goal
keeper untuk melanjutkan perjuangan di tempat tersebut, bila
perundingan Belanda dan RI gagal. Sedangkan Wakil Perdana Menteri I
dijabat Sri Sultan HB IX yang bertempat di Yogyakarta.18

121
Pengayaan Materi Sejarah

Selain itu, dengan terjadinya peristiwa pengembalian


kekuasaaan kepada para pemimpin Republik di Yogyakarta oleh
Belanda, pada saat itu pasukan Republik mengetahui bahwa
keunggulan Belanda bidang persenjataan tidak efektif lagi; karena para
gerilyawan dapat menyerang pasukan Belanda hampir di mana saja dari
pangkalan-pangkalan di daerah pedesaan. Bagi pihak tentara, masa ini
juga memberikan contoh bagi hubungan tentara dengan penduduk
sipil. Oleh karena orang-orang sipil terkemuka ditangkap Belanda,
tentara mengambil alih pimpinan perlawanan rakyat yang didukung
penduduk desa, terutama dalam hal makanan dan pelayanan selama
bergerilya. Di samping itu, banyak pejuang gerilya merasa tidak mudah
untuk menerima pengembalian pemerintahan ke tangan orang-orang
sipil dan perjuangan beralih ke meja perundingan. Menghentikan
revolusi lebih sulit daripada memulainya, hal ini tercermin di banyak
daerah di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi yakni kesatuan-kesatuan
gerilyawan menolak untuk dilucuti senjata mereka, dengan alasan
bahwa tujuan yang mereka perjuangkan belum lagi tercapai.
Walaupun menjelang tahun 1950 kurang berhasil tercipta
persatuan, namun cita-cita persatuan tetap dijadikan suatu tujuan yang
sakral. Suatu hal yang ironis, di satu sisi Belanda telah memerintah
wilayah koloninya, yakni Hindia Belanda sebagai suatu negara dengan
satu pemerintahan pusat, namun di sisi lain Belanda mencoba
menggunakan sistem yang sangat desentralisasi federal sifatnya sebagai
dasar untuk tetap memepertahankan pengaruhnya di Indonesia pasca
perang. Di setiap daerah yang dikuasai pasca Agresi Militer tahun
1947, Belanda membantu terbentuknya negara otonomi dengan
kabinet dan majelis perwakilannya sendiri untuk mencoba mewakili
semua kepentingan etnis. Namun dalam prakteknya, struktur ini dapat
berdiri oleh karena ditopang tentara kolonial (KNIL) dan birokrasi
kolonial. Sebaliknya apa yang mempersatukan republik bukanlah
struktur tetapi cita-cita. Terutama, pada permulaan revolusi, Yogyakarta
tidak punya alat atau media untuk mengatur gerakan-gerakan spontan
untuk Indonesia merdeka di seluruh Nusantara. Bahkan, para pejuang
yang bergerak sendiri di Sumatra, Sulawesi, Banten, atau Surakarta
sepakat bahwa cita-cita persatuan harus dipertahankan terhadap usaha
memecah belah dengan sistem federal yang diciptakan Belanda untuk
tujuan politiknya, yakni rekolonisasi Indonesia.

122
Pengayaan Materi Sejarah

2.1.3. Perjuangan Diplomasi dan Kembali Ke Negara Kesatuan RI


Perjuangan kemerdekaan sebenarnya tidak hanya merebak di
Jawa saja melainkan juga di hampir seluruh Nusantara dan tidak hanya
dimenangkan oleh kekuatan militer tetapi juga oleh keahlian diplomasi.
Sejak 1945 hingga 1949 berlangsung serangkaian perundingan antara
RI dan Belanda mengenai cara-cara yang harus ditempuh untuk
melaksanakan dekolonisasi. Secara formal, perundingan-perundingan
diplomatik dimulai sejak 1946 hingga 1949, yakni Konferensi Hoge
Veluwe (April 1946), Perundingan Linggarjati (November 1946 – Maret
1947), Perundingan Renville (Januari 1948), Konperensi Meja Bundar
(Agustus – November 1949) dengan perantaraan Inggris dan kemudian
Amerika Serikat.
Adapun, gagasan federalisme lahir dalam kancah perundingan
diplomatik antara Kerajaan Belanda dan RI sejak akhir 1945. Ketika itu,
baik RI maupun Belanda masing-masing berkeras bahwa pihaknyalah
yang paling berhak atas wilayah bekas Hindia Belanda Dalam
perjuangan diplomasi ini terdapat tiga kekuatan, yakni Republik
Indonesia (RI), Belanda, dan BFO (Bijeenkomst Federaal Oeverleg) atau
Perhimpunan Musyawarah Federal. BFO yang dibentuk atas prakarsa Ide
Anak Agung Gde Agung, Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT)
pada 1948, bertujuan untuk ikut serta dalam menanggulangi
perundingan-perundingan antara RI dan Belanda yang pada
pertengahan tahun tersebut terancam gagal hingga terserselenggaranya
KMB. Atas inisiatif Ide Anak Agung Gde Agung dan R.T. Adil Puradiredja
berkumpullah sejumlah wali negara dari negara bagian serta para
pemimpin “daerah-daerah otonom” yang tidak terkait secara politik
dengan RI di Bandung untuk membicarakan langkah-langkah apa yang
bisa diambil untuk membantu menyelesaikan konflik RI-Belanda.
Namun, perkembangan politik kemudian menjurus pada agresi
Militer II sehingga Yogyakarta diduduki dan para pemimpin RI
diasingkan ke Prapat dan Bangka. Tetapi justru tindakan kekerasan
untuk meniadakan Republik itulah yang menimbulkan penolakan dari
pihak BFO (negara-negara bagian). Agresi Militer II itu dilihat sebagai
suatu bentuk pengkhianatan Belanda atas janjinya sendiri bahwa
penyelesaian konflik RI-Belanda akan diselesaikan dengan cara damai
(diplomasi). Selanjutnya, BFO memainkan peranan-peranan kunci,
diantaranya menggalang solidaritas nasional dan memberi wadah bagi
elit politik waktu itu untuk ikut berjuang di bidang diplomasi,

123
Pengayaan Materi Sejarah

memberikan sumbangsih pada pembebasan Soekarno-Hatta dari


tawanan Belanda setelah Agresi Militer Belanda Kedua, dan
pengembalian RI pada kekuasaannya di Yogyakarta serta dibukanya
jalan menuju Konferensi Inter Indonesia dan Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang akhirnya membawa bangsa Indonesia ke kemerdekaan dan
kedaulatan penuh.
Dinamika diplomasi dimulai dengan munculnya konsep
federalisme dalam perundingan Belanda dan RI dengan tokoh-tokoh
utamanya yakni Van Mook dan Sutan Sjahrir. Sekalipun secara formal
federalisme telah diterima oleh Belanda maupun RI dalam perjanjian
Linggajati pada 1946, namun perwujudannya memerlukan perjuangan
yang cukup panjang. Selanjutnya perbedaan pandangan Belanda dan
Indonesia terhadap Federalisme pun tidak terhindarkan, hal ini tidak
terlepas dari rumusan azas federalisme yang disodorkan kepada pihak
Indonesia tidak dijabarkan secara rinci. Walaupun demikian, Pasal 2
dalam perundingan Linggajati yang menetapkan secara jelas tentang
tatanan politik yang akan dibangun bersama itu adalah suatu negara
berbentuk federal, menjadi landasan utama yang menentukan
perundingan-perundingan selanjutnya antara Belanda dan RI hingga
tercapainya perdamaian melalui Konperensi Meja Bundar (KMB) pada
1949.

2.1.4. Munculnya Konsep Federalisme Dalam Perundingan Belanda


dan RI

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945


menimbulkan keberatan-keberatan di Negeri Belanda. Dalam hal ini,
Belanda tidak bersedia mengakui RI dan terutama akan berusaha
membangun kembali kekuasaannya, yakni pemulihan kolonialisme.
Seperti, A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer yang diangkat
sebagai gubernur jenderal pada 1936, berpendapat bahwa
kebijaksanaan kenegaraan harus bersambung kepada keadaan di masa
lalu. Perubahan-perubahan hanya dapat dijalankan dengan berangsur-
angsur secara berhati-hati, dengan pendapat Belanda bersifat lebih
menentukan. Ia selanjutnya menentang bertambahnya pengaruh
Indonesia di dalam pemerintahan negara. Ia melawan pemakaian istilah
“orang Indonesia” (Indonesier) dan terutama menentang diadakannya
pembicaraan-pembicaraan politik dengan para pemuka Indonesia.

124
Pengayaan Materi Sejarah

Sementara itu, Menteri Jajahan Logemann, berpendapat bahwa


kebijaksanaan Belanda di Indonesia setelah perang, harus ditujukan
kepada pengakuan nasionalisme Indonesia yang ia sadari bahwa hal ini
adalah suatu fakta. Menurutnya politik terbaik adalah membimbing
nasionalisme dan mengarahkannya pada suatu hasil yang sebaik-
baiknya.
Perbedaan-perbedaan mendasar dalam pendirian Logemann
dan Van Starkenberg, mengakibatkan Van Starkenberg menulis surat
pada Menteri Jajahan Logemann pad 11 Oktober 1945, yang
memberitahukan niatnya untuk mengajukan permohonan berhenti
pada Ratu. Menurutnya, suatu kerjasama yang berhasil berdasarkan
perbedaan-perbedaan ini, merupakan hal yang tidak mungkin. Hal ini
mengakibatkan, Pemerintah Belanda mengangkat Dr. H.J. Van Mook
memimpim pemerintahan umum dengan jabatan wali negara di Hindia
Belanda. Pada masa pendudukan pemerintah militer Jepang, Van Mook
atas perintah wali negara mengungsi ke Australia dan bertugas kepada
pemerintah pelarian Belanda di dalam beberapa jabatan. Sebagai
seorang pejabat pangrehpraja yang bertahun-tahun tinggal di Indonesia
dengan pengalaman yang dikumpulkannya selama itu, Van Mook
adalah orang yang dapat menilai persoalan-persoalan pasca perang di
Indonesia menurut jasanya masing-masing dan mencari pemecahannya.
Selain itu, Van Mook termasuk kelompok yang berpikiran progresif yang
menganggap bangsa Indonesia sudah dewasa untuk ikut bicara dalam
politik negara dan rakyat dikemudian hari. Van Mook adalah pilihan
tepat saat itu dari pihak Belanda untuk mengadakan pembicaraan-
pembicaraan yang tak dapat dielakkan lagi dengan wakil-wakil
Republik.19
Saat tiba di Indonesia, Van Mook berurusan terutama dengan
pimpinan tertinggi Sekutu yang berada dalam daerah kekuasaan,
meliputi Asia Tenggara dengan markas besar di Singapura, di bawah
pimpinan laksamana Moutbatten. Inggris bertanggung jawab atas
penyerahan dan pelucutan senjata tentara pendudukan Jepang serta
atas pembebasan dan pemulangan kaum tawanan Eropa. Pada 10
Oktober 1945 Mountbatten mengundang Van Mook dan Iddenburg
yang bertindak sebagai penasihatnya ke Singapura untuk menjelaskan
pada keduanya bahwa Belanda harus berunding dengan RI.
Mountbatten khawatir bahwa tanpa persetujuan RI pembebasan para
tawanan Sekutu di pedalaman akan menjadi sulit dan bahkan bisa
menimbulkan korban. Padahal keadaan para tawanan tersebut sudah

125
Pengayaan Materi Sejarah

sangat parah karena itu dibutuhkan obat-obatan dan makanan. Ia


menekankan bahwa tidak ada jalan lain keculai berunding dengan
Sukarno.20
Sesungguhnya, pada awalnya Lord Mountbatten pun
menganggap bahwa dengan sendirinya kekuasaan Hindia Belanda harus
dipulihkan kembali. Apalagi setelah tercapai kesepakatan antara
pemerintah Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 19 South East Asia
Command (SEAC) hendak membantu Belanda memulihkan kekuasaan di
wilayah bekas jajahannya. Dari pihak intelijen Belanda, ia menerima
laporan bahwa bangsa Indonesia akan menerima kembali kekuasaaan
Belanda. Namun, komandan SEAC tersebut berubah pikiran, setelah ia
menerima laporan-laporan pada bulan September dari intelijen Inggris,
bahwa arus nasionalisme adalah suatu kenyataan dan menentangnya
akan mempersulit tugas utama dari SEAC. Keterangan ini diterimanya
sebagai kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan, bila SEAC akan
melakukan tugasnya tanpa pertumpahan darah.
Tugas Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dengan sendirinya
tidak mudah, hal ini tidak terlepas pula adanya ucapan panglima
Tertinggi tentara Sekutu di Indonesia Sir Philip Christison yang tiba di
jakarta pada 29 September 1945. Sir Philip Christison menyatakan
menyatakan bahwa “pembesar-pembesar Indonesia yang sekarang ini
tetap bertanggung jawab atas pemerintahan di daerah-daerah di bawah
kekuasaan Republik. Hal ini merupakan suatu pengakuan de facto
Pimpinan Tertinggi Sekutu kepada Pemerintah RI. Di samping itu,
kebebasan Van Mook juga dibatasi oleh peintah khusus dari Pemerintah
Belanda yang menyatakan “jangan berunding dengan para pemimpin
Republik, seperti Sukarno, Mohamad Hatta yang dianggap telah bekerja
sama atau sebagai kolaborator pemerintah pendudukan Jepang,
melainkan hanya berunding dengan orang-orang yang dinilainya
sebagai non kolaborator pemerintah pendududkan militer Jepang.
Namun, sulit dibayangkan Republik tanpa Soekarno dan Hatta,
pertemuan pun dilakukan dengan tidak mengindahkan instruksi
kepadanya. Meski jalan yang ditempuhnya ini menimbulkan
kegoncangan besar di negeri Belanda, terutama di Parlemen yang
mengancam pemecatan Van Mook, namun berhasil dicegah Ratu
Wilhelmina. Selanjutnya, melalui perantaraan Letnan Jenderal Christison,
Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook bersama Van der Plas
dipertemukan dengan pihak Indonesia yang diwakili Soekarno,
Mohammad Hatta, Soebardjo dan H.A. Salim pada pukul 20.00 (malam

126
Pengayaan Materi Sejarah

hari) tanggal 23 Oktober 1945 di Gambir Selatan-Jakarta, merupakan


upaya untuk mencapai kompromi antara kedua belah pihak. Dalam hal
ini Van Mook menyampaikan gagasan federalismenya dengan
mengatakan mengatakan, bahwa dari pihaknya ia ingin menjalankan
Indonesia dengan dasar pemerintahan yang dikemukakan oleh Ratu
Wilhelmina dalam pidato yang khusus ditujukan kepada penduduk
Hindia Belanda pada peringatan Perang Pasifik di London tanggal 7
Desember 1942, tempat menyingkirnya Pemerintah Belanda ke Inggris.
Saat itu, H.A. Salim langsung bereaksi menanggapi ucapan Van Mook
yakni, sebagai berikut:

“Ucapan Koningen Wilhelmina itu sudah ketinggalan jaman


. Indonesia sekarang sudah merdeka. Ia tidak mau lagi
dijadikan jajahan, menjadi Nederland Indie. Dari Australia
dahulu tuan-tuan mencaci kami sebagai boneka Jepang.
Kira-kira satu tahun lalu, Jepang sudah mengucapkan
kemerdekaan Indonesia di masa depan. Pemerintah Belanda,
setelah menjajah 300 tahun lamanya, belum pernah sampai
sebegitu jauh. Pada 14 Agustus tahun ini Jepang
menyerahkan kemerdekaan pada kami. Dan sekarang kami
sudah merdeka, Tuan akan mengajak kami menerima
Indonesia menjadi jajahan Belanda kembali, paling jauh
mempunyai pemerintahan sendiri dalam lingkungan jajahan
Belanda. Tuan-tuan tentu tidak lupa, bahwa petisi Soetardjo
saja dahulu sudah terlalu jauh bagi pemerintah Nederland.
Paling maju barangkali mencapai dominion status. Dapatkah
tuan memikirkan, bahwa Indonesia tidak mau diturunkan
lagi derajatnya?” Van der Plas pun kemudian mengatakan:
“Keadaan dunia sesudah Perang Dunia Kedua sudah
berubah yakni dengan lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), seluruh dunia menuju kerja sama”. H.A. Salim pun
menyanggahnya: “Kerjasama antara dua negara yang sama
merdeka. Maukah Nederland memajukan kepada PBB
supaya Indonesia menajdi anggotanya lebih dahulu, dan
baru kemudian dibicarakan masalah kerjasama antara
Nederland dan Indonesia dalam lingkungan PBB?” 21

127
Pengayaan Materi Sejarah

Pihak Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,


tidak dapat menjawabnya. Pertemuan tersebut tidak membawa hasil
dan kedua pihak menyerahkan kepada apa yang terjadi di masa datang.
Dalam perkembangan selanjutnya, diplomasi adalah jalur yang
ditempuh Belanda maupun RI yang dimulai secara formal sejak 1946
untuk menyelesaikan konflik antara kedua pihak. Jalur diplomasi ini
merupakan inisiatif SEAC di bawah pimpinan Laksamana Lord
Mountbatten, yakni satuan tentara Inggris yang ditugaskan pihak
Sekutu di Asia Tenggara untuk melucuti dan memulangkan tentara
Jepang ke negaranya. Tentara Inggris yang ditugaskan di Indonesia
tersebut menghadapi perlawanan-perlawanan yang gencar dari satuan-
satuan bersenjata Indonesia. Oleh karena itu, dalam upaya
mendapatkan dukungan pihak Indonesia untuk melaksanakan tugasnya,
maka SEAC memaksakan pihak Belanda untuk merumuskan suatu
kesepakatan dengan pihak RI mengenai status politik dari wilayah
Hindia Belanda.
Untuk melanjutkan perundingan, tanpa konsultasi dengan Den
Haag, Van Mook merumuskan proposal-proposal yang akan diajukan
pada pihak RI. Isi proposal itu adalah pembentukan suatu dewan
perwakilan rakyat yang mayoritas anggotanya adalah orang Indonesia,
kemudian pembentukan suatu dewan menteri dengan Gubernur
Jenderal sebagai wakil Mahkota Belanda. Kemudian akan dibentuk
suatu Commenwealth (Persemakmuran Bersama) dimana Indonesia juga
menjadi anggotanya. Proposal itu diserahkan pada RI tanggal 6
November 1945. Sebelumnya, pada 1 November 1945, Wakil Presiden
Muhamad Hatta telah mengeluarkan pernyataan bahwa RI hanya
bersedia berunding dengan Belanda apabila eksistensi RI diakui Belanda.
Sementara itu, seruan Van Mook dalam telgramnya ke Den Haag pada 6
November dijawab oleh Logemann yang menekankan bahwa
perundingan hanya bisa dilakukan berdasarkan pidato Ratu Wilhelmina
pada 7 Desember 1945 tersebut. Sikap Belanda ini menunjukkan bahwa
persyaratan yang diajukan oleh Wakil Presiden RI pada 1 November
sama sekali tidak dipertimbangkan.
Perkembangan di dalam negeri pun terjadi pada minggu ketiga
November 1945 yakni perkembangan politik di Indonesia mengalami
perubahan yang signifikan. Pada 14 November 1945 Presiden Sukarno
mengundurkan diri sebagai kepala pemerintah walaupun masih tetap
memegang posisi sebagai Presiden RI. Selanjutnya, Sutan Sjahrir yang
sebelumnya sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia

128
Pengayaan Materi Sejarah

Pusat (BP-KNIP) dilantik sebagai Perdana Menteri. Pada 3 November


1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang membenarkan
dibentuknya partai-partai politik untuk menghapuskan sistem partai
tunggal (PNI) yang selama ini berlaku. Meski perubahan sistem
pemerintahan ini tampak bertentangan dengan UUD 1945, namun
yang menjadi alasan bahwa RI ingin menampilkan seorang yang tidak
memiliki latar belakang sebagai kolaborator dengan pemerintahan
pendududkan Jepang. Sutan Sjahrir diketahui selama masa pendudukan
Jepang tidak bersedia bekerjasama dengan tentara Jepang dan bergerak
di bawah tanah.
Pada masa kepemimpinan kabinetnya, Sutan Sjahrir mempunyai
strategi khusus untuk menghadapi Belanda. Dalam perkembangan
selanjutnya Sjahrir adalah tokoh utama yang menganjurkan agar
masalah Indonesia “diinternasionalisasi”. Dalam hal ini, ia bermaksud
agar Indonesia sebagai negara merdeka mendapat dukungan dari dunia
internasional, khususnya negara-negara Barat yang muncul sebagai
pemenang dalam Perang Dunia ke II. Di samping itu, PM Sjahrir
menuntut kekuasaan dan kedaulatan di seluruh Hindia Belanda.
Tuntutan ini membuat keadaan Van Mook menjadi mengalami kesulitan
lagi yang menyebabkan dialog-dialog antara para pembesar RI dan
Belanda mengalami kemacetan. Van Mook kemudian memutuskan
untuk konsultasi dengan pemerintah Belanda dan ia pun berangkat ke
negaranya pada 1 Desember 1945. Pemerintah Belanda akhirnya
mengeluarkan keputusan pemerintah tertanggal 10 Februari 1946 yang
selanjutnya menjadi dasar perundingan-perundingan dengan Republik.
Adapun, pokok-pokok terpenting Keputusan Pemerintah
Belanda, sebagai berikut:
Pertama, akan terdapat sebuah persemakmuran Indonesia, sebagai
peserta dalam Kerajaan Belanda, tersusun atas negeri-negeri dengan
ukuran pemerintahan sendiri yang berlain-lainan.
Kedua, akan dijalankan suatu kewarganegaraan Indonesia bagi semua
yang dilahirkan di Indonesia; para warga negara Belanda dan Indonesia
akan mempunyai semua hak kewarganegaraan di semua bagian
kerajaan Belanda.
Ketiga, urusan intern persemakmuran Indonesia akan diatur oleh badan-
badan persemakmuran secara tersendiri, di dalam hal mana bagi
persemakmuran sebagai keseluruhannya akan dipikirkan suatu
perwakilan rakyat yang akan disusun secara demokratis; namun dengan
suatu mayoritas Indonesia yang besar; sebuah kementerian dibentuk

129
Pengayaan Materi Sejarah

dalam suatu keserasian politik dengan perwakilan rakyat, dan seorang


Wakil Mahkota Kerajaan Belanda sebagai kepala pemerintahan.
Keempat, supaya dapat memenuhi kewajiban yang diletakkan dalam
Pasal 73 Piagam PBB, wakil Kerajaan Belanda, di bawah tanggung jawab
Pemerintah Kerajaan Belanda, akan mendapat wewenang-wewenang
istimewa guna menjamin hak-hak dasar, pemerintahan yang baik dan
keuangan yang sehat. Ia hanya melaksanakan wewenang-wewenang
istimewa ini bila hak-hak dan kepentingan-kepentingan ini dilanggar.
Kelima, konstitusi dimana struktur di atas akan dituangkan akan berisi
jaminan-jaminan dalam hak-hak dasar, seperti kebebasan beragama,
persamaan hak, tanpa membedakan kepercayaan dan ras, perlindungan
pribadi dan hak milik, kebebasan peradilan perlindungan hak golongan-
golongan, kebebasan pendidikan serat kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat.
Keenam, Badan-badan pusat yang menjalankan fungsi-fungsi untuk
seluruh kerajaan, akan disusun dari para wakil bagian-bagian kerajaan.
Dipikirkan adanya sebuah kabinet yang disusun dari menteri-menteri
semua bagian kerajaan serta suatu pembuatan undang-undang
kerajaan yang memerlukan persetujuan perwakilan berbagai bagian
kerajaan.
Ketujuh, setelah konstitusi itu mulai berlaku, Pemerintah Belanda
secepat-cepatnya akan memajukan penerimaan Persemakmuran
Indonesia sebagai anggota PBB. 22

Sehubungan dengan masa peralihan, Pemerintah Hindia


Belanda memberikan suatu penjelasan atas keterangan ini, dimana
dijelaskannya bahwa lamanya masa peralihan memang merupakan
suatu yang perlu dirundingkan. Terkait hal tersebut, bagi mereka yang
ingin menetapkan jangka waktu itu tanpa prasangka, tidak akan mudah
mencapai suatu kesimpulan. Melihat kepastian itu bahwa penetuan
nasib sendiri secara bebas akan tercapai pada pengujung masa
peralihan, maka lamanya masa peralihan dapat ditentukan pada satu
pihak sesuai dengan sulitnya pekerjaan pengembangan selanjutnya
pengukuhan yang harus dilakukan di satu pihak dengan pihak lain
untuk sekuat tenaga memajukan perkembangan Indonesia sebagai
bangsa selanjutnya, yakni maksud yang diucapkan Pemerintah Hindia
Belanda. Hal itu patut diduga nahwa suatu masa peralihan membawa
titik terakhir dalam masa kerja angkatan yang sedang tumbuh.

130
Pengayaan Materi Sejarah

Usul-usul Pemerintah Belanda diajukan oleh Van Mook kepada


sutan Sjahrir yang berjanji hendak mempelajarinya. Namun demikian,
usul-usul itu ternyata tidak dapat diterima Republik, karena dianggap
tidak tegas dan tanpa sepatah katapun menyebut wujud hadirnya
Republik. Selain itu, pada kenyataannya bahwa kekuasaan pemerintah
kolonial dengan nama terselubung, hendak dilanjutkan. Selanjutnya,
Van Mook mengambil prakarsa, terlepas dari usul-usul Pemerintah
Belanda pada 10 Februari 1946, membuat usul-usul baru yang
terinspirasi dari perjanjian Vietnam – Perancis tentang pemecahan
masalah Indochina yang menetapkan bahwa Vietnam akan menjadi
bagian Union Francaise. Van Mook menuangkan usul-usulnya ke dalam
empat pasal, sebagai berikut:

Pertama, Republik yang meliputi daerah Jawa, menjadi peserta di dalam


sebuah negara federal Indonesia yang merdeka.
Kedua, Republik akan menyetujui penempatan pasukan-pasukan tempur
Belanda di daerahnya guna melaksanakan tugas-tugas sekutu.
Ketiga Republik akan menyetujui penghentian permusuhan.
Keempat, Republik akan mengambil bagian bersama para wakil semua
bagian lain Hindia Belanda di dalam suatu masyawarah umum tentang
sebuah negara Indonesia dan hubungan-hubungannya dengan Kerajaan
Belanda.23

Atas dasar ususl-usul tersebut, PM Sjahrir dan Letnan Gubernur


Jenderal Van Mook kembali mengadakan perundingan-perundingan.
Pada tahap ini pendapat-pendapat kedua belah pihak agak berdekatan,
dalam hal ini RI mengesampingkan tuntutan kedaulatannya atas seluruh
Hindia Belanda dan pihak Belanda mengakui kekuasaan de facto
Republik atas Jawa dan Sumatra. Pada 27 maret 1946 Sjahrir
mengajukan usul-usul tandingan Republik kepada Van Mook. Usul-usul
itu ternyata dapat diterima, yakni sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik
atas Jawa dan Sumatra, kecuali di daerah-daerah yang berada di bawah
pengawasan Sekutu. Republik akan bekerja sama di dalam
pembentukan sebuah negara federal Indonesia yang merdeka, yang
akan terdiri dari semua bagian Hindia Belanda sebagai peserta negeri
Belanda, Suriname, dan Curacao dalam suatu uni politik dan sesuai
dengan asas-asas umum tentang keterangan polituk Pemerintah
Belanda pada 10 Februari 1946.

131
Pengayaan Materi Sejarah

Kedua, Republik akan menerima semua pasukan tempur Sekutu


termasuk pasukan tempur Belanda, secara damai dan membantu
mereka dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka.
Ketiga, Republik akan mengakhiri semua permusuhan segara setelah
perjanjian ini dilaksanakan.
Keempat, Republik akan menghormati hak golongan-golongan kecil.24

Penerimaan usul-usul Republik ini menyebabkan timbulnya


optimisme yang besar. Secara umum diharapkan bahwa kedua belah
pihak akan menyetujui penandatanganan suatu Persetujuan tetap. Guna
menyelesaikan persoalan ini dengan segera, diputuskanlah supaya Van
Mook bersama suatu delegasi Republik Republik dapat berangkat ke
Belanda, untuk berunding dengan menteri-menteri yang berwenang
dan bertanggung jawab di negeri tersebut. Dalam hubungan ini
Republik memberi keterangan sebagai berikut:
Pertama, suatu pertukaran pikiran lebih lanjut memperlihatkan bahwa
pendapat-pendapat delegasi Indonesia dan Belanda dalam hubungan
kedudukan Indonesia, telah menjadi sedemikian berdekatan, sehingga
keberangkatan Van Mook untuk berkonsultasi dengan Pemerintah
Belanda dapat dibenarkan.
Kedua, untuk memudahkan pembicaraan-pembicaraan dan
memecahkan sisa-sisa-sisa kesulitan, Menteri Pendidikan Mr. Suwandi,
Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono dan Sekretaris Kabinet Mr. A.K.
Pringgodigdo akan berangkat ke negeri Belanda.25

Betapapun optimisme Van Mook dan delegasi Indonesia untuk dapat


mencapai suatu hasil positif, sebagai dasar bagi perubahan-perubahan
politik dan ketatanegaraan selanjutnya di Indonesia dan untuk dapat
menempatkan hubungan Indonesia – Belanda dalam suatu perspektif
baru, namun pembicaraan-pembicaraan Hoge Veluwe pun yang
terselenggara pada tanggal 14 hingga 25 April 1946 tersebut, berakhir
dengan kegagalan.
Sementara itu, di dalam negeri pun muncul reaksi balik
yang menentang perundingan-perundingan dengan Pemerintah
Belanda selama pasukan Belanda masih berada di Indonesia, di
antaranya dari partai-partai politik terbesar dan paling berpengaruh di
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yakni PNI (Partai Nasional
Indonesia) dan Masyumi (Majelis Syura muslimin Indonesia). Reaksi
inipun menjadikan kelompok-kelopok ini menentang kebijakan

132
Pengayaan Materi Sejarah

Pemerintahan Sjahrir. Dalam situasi internal tersebut, Belanda


mengggunakan situasi itu sebagai peluang untuk melakukan tekanan
politik dengan menyelenggarakan Konferensi Malino pada 15 – 25 Juli
1946 di Sulawesi Selatan. Tujuan konferensi ini yakni membentuk
“negara-negara federal” di daerah-daerah yang baru diserahterimakan
oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Negara-negara federal
tersebut kelak dijadikan bandingan terhadap RI untuk memaksa RI agar
menerima bentuk federasi sebagaimana diusulkan oleh pihak Belanda.
Dalam hal ini, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, Belanda
memiliki dua strategi atau dua ambisi besar, yakni: Pertama,
menghadang atau memperkecil peranan Republik dengan menyatakan,
kekuatan politik dan militer Republik hanya di Pulau jawa. Kedua,
mencari peluang dengan menciptakan negara-negara bagian (federal),
yang menurut Belanda, “dapat dipakai” sebagai perpanjangan tangan
dan sekaligus menandingi pemerintah RI.26 Kedua strategi tersebut
terpaksa ditempuh Belanda sebagai akibat sulitnya menghadapi
penentangan tokoh-tokoh Republik di Yogyakarta dan Jakarta. Peluang-
peluang baru itu yakni Hindia Belanda ingin membentuk kekuatan
negara federal (serikat) yang berbasiskan Kalimantan, beberapa di
Sumatra, Jawa dan Madura, serta negara-negara federal terbesar, yakni
Timur Besar dan Negara Indonesia Timur.
Perundingan Indonesia-Belanda pun dimulai lagi pada awal
Oktober 1946 dengan “Komisi Jenderal” yang diangkat pemerintah
Belanda untuk memimpin perundingan. Ketua komisi adalah Profesor
Willem Schermerhorn, anggota Partai Buruh Belanda yang sebelumnya
memimpin gerakan bawah tanah anti-Nazi. Selama perang,
Schermerhorn juga menjadi Ketua Liaison Commission, badan
konsultatif yang mempertimbangkan perubahan di Hindia Belanda. Ia
datang ke Indonesia sebagai orang Belanda yang baru saja berhenti
sebagai perdana menteri, seorang dengan kekuasaan yang sedang
merosot, ia dan kelompoknya baru saja kalah dalam pemilihan umum
yang diselenggarakan pada Mei 1946 di negaranya.27
Pada 7 Oktober 1946 sidang pleno pertama dari putaran
perundingan dimulai dengan delegasi Indonesia di bawah pimpinan
Perdana Menteri Sutan Sjahrir dengan anggotanya Mohammad Roem,
Soesanto Tirtoprodjo, dan Soedarsono, sedang Delegasi Belanda di
pimpin Profesor Willem Schermerhorn dan hadir anggota-anggota
Komisi Jenderal lainnya yakni Van Poll dan de Boer serta Letnan

133
Pengayaan Materi Sejarah

Gubernur Jenderal van Mook. Lord Killearn, diplomat Inggris memimpin


pembicaraan-pembicaraan dalam sidang tersebut. Hasil terpenting dari
sidang pertama itu adalah pembentukan Truce Committee dengan
merumuskan tugas penghentian permusuhan dan menghasilkan
resolusi gencatan senjata yang disetujui oleh kedua pihak. Gencatan
senjata tersebut “atas dasar memelihara kedudukan dan perimbangan
militer yang sekarang dari pada angkatan bersenjata Sekutu dan
Indonesia”. Dalam hal ini telah disetujui untuk saling mempertukarkan
angka-angka pada tengah hari. Hal demikian memang terjadi, namun
sesudah itu Sjahrir harus meminta penudaan pembicaraan-pembicaraan
dengan maksud untuk dapat membicarakannya angka-angka itu
dengan pihak tentara.
Pada 14 Oktober 1946 dilangsungkan pertemuan Truce
Committee dan dari pihak Indonesia hadir Kepala Staf Jenderal Oerip
Sumodihardjo. Dari kedua pihak sepakat untuk mengurangi jumlah
pasukan, jika keadaan militer memungkinkannya. Pada sore harinya
dilangsungkan sidang pleno (paripurna) kedua dari delegasi-delegasi
perunding dengan mengesahkan dan menguatkan kesepakatan tentang
gencatan senjata yang telah dicapainya. Sesudah tercapainya gencatan
senjata dimulai pembicaraan-pembicaraan politik yang dilakukan pada
21 Oktober 1946 dalam rapat paripurna yang saat itu diadakan resolusi,
sebagai berikut:
“Komisi Jenderal sebagai Delegasi Belanda dan Delegasi Indonesia
memberitahukan kepada sidang paripurna tentang maksud mereka
untuk memulai pembicaraan-pembicaraan yang segera tentang
masalah-masalah politik dengan tujuan mencapai penyelesaian sedini
mungkin. Sidang paripurna menyatakan dengan perasaan yang sangat
memuaskan mengetahui pernyataan kedua delegasi itu”.28
Demikian pembicaraan antar kedua delegasi, tanpa hadirnya
orang-orang Inggris pun dapat dimulai. Dalam hal ini bagi kedua pihak
dengan jelas bahwa pembicaraan-pembicaraan tersebut harus menjurus
pada suatu hasil sebelum tanggal 30 November 1946, karena
keberangkatan orang-orang Inggris telah ditentukan pada tanggal itu.
Delegasi Belanda mengajukan rancangan perjanjian yang terdiri dari 17
pasal yang pada akhirnya rancangan tersebut menjurus pada perjanjian
Linggajati nantinya. Rancangan itu bertitik tolak dari struktur federal
pada pihak Indonesia, seperti yang selalu diperjuangkan oleh Van Mook.

134
Pengayaan Materi Sejarah

Pada satu pihak akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS)


dengan sebagai peserta terpenting yakni RI; di lain pihak NIS hendak
digabungkan dalam sebuah Uni (gabungan) dengan negeri Belanda,
Suriname dan Curacao (Kerajaan Belanda). Keberatan pihak Indonesia
terutama ditujukan kepada Ratu sebagai kepala Uni. Dalam hal ini, Uni
akan memiliki peralatan-peralatan sendiri untuk memperhatikan
kepentingan-kepentingan bersama yang dibentuk oleh pemerintah-
pemerintah dari NIS dan kerajaan, namun mengapa Mahkota harus
menjadi kepala? Seketika itu, Sjahrir memperingatkan bahwa hal ini
bagi pihak Indonesia akan diartikan suatu lanjutan dari hubungan lama
antara kedua bangsa dan akan merugikan prinsip-prinsip persamaan
antar peserta dalam Uni.
Dari pihak Belanda hal itu merupakan suatu “keharusan”. Pidato
Ratu yang terkenal pada masa peperangan, yakni pada 7 Desember
1942 mengumumkan hubungan baru antara kedua bangsa, maupun
UU tentang pembentukan Komisi Jenderal bertitik tolak dari hal ini.
Juga, dalam Statuta Uni Belanda-Indonesia sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Linggajati, perbedaan antara pada satu pihak Raja
Konstitusional di negeri Belanda dan pada lain pihak Raja atas kekuatan
Statuta belum memperoleh suatu uraian yeng tetap. Dengan latar
belakang ini pulalah orang harus melihat perubahan dari usul semula.
Sebagai pengganti “Raja adalah Kepala Uni terdapat: Yang mengepalai
Uni adalah Raja”. Perumusan ini memberi lebih banyak ruang bagi
wewenang-wewenang kepala Uni.
Rapat selanjutnya dilangsungkan pada 4 November 1946 di
Rijswijk dengan Sjahrir sebagai ketua. Sjahrir meminta agar
pembicaraan fokus pada naskah-naskah yang telah diserahkan oleh
ke dua pihak. Namun demikian, masalah Uni Indonesia-Belanda
menjadi ganjalan, karena delegasi RI sama sekali menolak lembaga
seperti itu. Keesokan harinya diadakan pertemuan tidak resmi antara
Schermerhorn dan Sjahrir untuk membicarakan jalan buntu yang
terjadi dalam rapat sehari sebelumnya. Ketika itu, Schermerhorn
mengusulkan untuk mengikutsertakan Sukarno dan Mohamad Hatta
dalam perundingan. Namun, kedua pemimpin RI tersebut jelas tidak
mungkin datang di Jakarta sebagai daerah pendudukan Belanda dan
delegasi Belanda juga tidak mungkin datang ke Yogyakarta. Sjahrir
pun kemudian mengusulkan untuk menyelenggarakan pertemuan
dengan Sukarno dan Mohamad Hatta diadakan di Cirebon.

135
Pengayaan Materi Sejarah

Usul Sjahrir ini dibicarakan dengan para anggota kabinetnya,


diantaranya Ny. Maria Ulfah Santoso yang menjabat sebagai Menteri
Sosial mengusulkan agar perundingan dilakukan di Linggajati, sekitar
30 Km dari Cirebon. Ayahnya pernah menjabat sebagai bupati di
wilayah Kuningan, sehingga ia sangat mengenal wilayah itu. Di
Linggajati merupakan daerah sejuk dan terdapat sebuah hotel dan
perumahan yang bisa digunakan sebagai tempat perundingan. Usul
itu tenyata disetujui oleh Schermerhorn yang mendapat persetujuan
dari Den Haag.
Pada 10 November 1946 seluruh delegasi menuju ke
Linggajati, ke tempat peristirahatan yang berlokasi di bawah kaki
Gunung Cerimai untuk bertemu dengan Sukarno dan Hatta. Tiga hari
setelah berada di Linggajati, Schermerhorn menulis dalam buku
hariannya, “Di tempat ini terdapat kegembiraan besar, tentang
kenyataan bahwa perundingan pindah ke sini. Menurut legenda,
pertemuan ajaib pernah berlangsung di kaki Ceremai, gunung berapi
yang tampak dari jendela mobil....”.29.
Sjahrir yang berhasil mengajak Sukarno dan Hatta untuk
hadir di Kuningan, memutuskan untuk meneruskan perundingan
yang berlokasi di Hotel Linggajati pada 11 November 1946. Hotel
tersebut tidak dijadikan tempat penginapan para delegasi, kecuali
Lord Killearn yang didampingi Rosihan Anwar. Oleh karena
menderita penyakit jantung, Schemerhorn tidak bisa mundar mandir
dari Linggajati ke kapal pemburu torpedo “Bankerts” yang digunakan
sebagai tempat penginapan para delegasi Belanda. Sedang delegasi
Indonesia tinggal bersama Sjahrir yakni di sebuah rumah tersendiri
yang dikenal dengan “Rumah Sjahrir”. Di tempat ini, para delegasi
kedua belah pihak makan pagi, siang, dan malam. Hotel dan rumah-
rumah tersebut milik keluarga Quee, keluarga pengusaha kaya yang
terkenal di daerah Linggajati dan keluarga inilah yang menyediakan
fasiitas untuk perundingan. Adapun, Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohamad Hatta tinggal di pendopo bupati Kuningan yang
berjarak 30 Km dari Hotel Linggajati.30
Setelah para delegasi kedua belah pihak mengadakan
kunjungan kehormatan pada Presiden dan Wakil Presiden, mereka
makan siang bersama sama di “Rumah Sjahrir”. Siang hari itu juga
dilangsungkan rapat ke lima di Hotel Linggajati, namun terjadi

136
Pengayaan Materi Sejarah

kemacetan dalam perundingan itu, terkait Pasal 2 dari rancangan


yang diajukan pihak Belanda dimana tercantum bahwa Negara
Indonesia Serikat yang akan dibentuk merupakan vrij staat (negara
merdeka). Sjahrir menyampaikan keberatan atas istilah tersebut dan
menghendaki agar istilah itu diganti menjadi souvereine staat
(negara berdaulat). Keinginan Sjahrir ditolak oleh delegasi Belanda.
Rapat diskors pukul 17.00 dan delegasi Belanda (kecuali
Schemerhorn) berangkat untuk menginap di kapal Blankerts yang
berlabuh di perairan Cirebon.
Rapat ke enam pada 12 November 1946 pun terjadi kemacetan
lagi, karena adanya perbedaan pendapat antara kedua delegasi
menyangkut masalah hak masyarakat tertentu untuk tidak
bergabung dengan Negara Indonesia Serikat, dan soal keinginan
Belanda agar NIS terdiri dari tiga negara bagian yakni NIT, RI
(Sumatera dan Jawa), dan Kalimantan. Pada saat makan siang di
“Rumah Sjahrir”, Schermerhorn duduk bersebelahan dengan
Presiden Soekarno. Ketika itu secara spontan, Schermerhorn bertanya
pada Presiden, “kapan kita bisa bertemu?” dan secara spontan
Presiden menjawab, “sore saja”.
Pada 13 November 1946 Sukarno mengundang delegasi
Belanda untuk makan malam, namun Sjahrir tidak hadir karena sakit
kepala dan meminta Amir Syarifudin dan Gani untuk menemani
delegasi tersebut. Kerangka umum yang diperdebatkan dengan
sengit dan berulang kali ditolak untuk kemungkinan persetujuan
Belanda-Indonesia sudah beredar sejak akhir 1945, yakni semacam
federasi; Republik mungkin terbatas pada Pulau Jawa dan Sumatra;
sisa bekas Hindia Belanda membentuk negara-negara Indonesia
merdeka yang berhubungan longgar dengan negeri Belanda. Pada
acara makan malam itu, tiba-tiba Sukarno memberikan pidato
singkat dengan cara yang “begitu positif”, sehingga perundingan
yang selama ini menyakitkan, mengecewakan, yang sia-sia
diusahakan Sjahrir selama berbulan-bulan, mencapai persetujuan
sementara di saat pencuci mulut hampir dihidangkan, maka lahirlah
rancangan yang kemudian terkenal dengan Persetujuan Linggajati.
Dalam pembicaraan dengan Sukarno tersebut telah terjadi
penggantian pada pasal 2 dari Rancangan, yang berbunyi
“Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik bekerja sama untuk

137
Pengayaan Materi Sejarah

terbentuknya dengan segera suatu negara merdeka yang demokratis


atas dasar federasi yang disebut „Negara Indonesia Serikat‟.31 Setelah
kedua delegasi kembali pulang ke Jakarta dan Sukarno dengan Hatta
kembali ke Yogyakarta, dua hari kemudian, pada 15 November
1946, di rumah Sjahrir di Jakarta berlangsung pemarafan secara
resmi persetujuan Linggajati. Pada 25 Maret 1947, Sjarir,
Schermerhorn dan Van Mook menandatangani persetujuan
Linggajati. Sekalipun secara formal federalisme telah diterima oleh
Belanda maupun RI dalam perjanjian Linggajati sebagai alternatif dari
Hindia Belanda, namun perwujudannya memerlukan perjuangan
yang cukup panjang.
Dengan demikian, azas federal secara remi dirumuskan dalam
perjanjian Linggajati, pada pasal 2 ditetapkan bahwa tatanan politik
yang akan dibangun bersama adalah negara yang berbentuk federal.
Namun dalam naskah perjanjian, gagasan itu disebut sebagai
Negara Indonesai Serikat. Dalam hal ini, Presiden dan wakil Presiden
RI telah memberi persetujuan pada pasal-pasal dalam rancangan
perjanjian itu setelah delegasi Belanda menyatakan menerima
keinginan Sjahrir agar Negara Indonesia Serikat berwujud “negara
berdaulat” dan bukan „negara merdeka”. Hal ini kemudian menjadi
landasan utama yang menentukan perundingan-perundingan
selanjutnya antara RI dan Belanda.
Selama perundingan-perundingan berjalan terus, Van Mook
mengambil langkah-langkah untuk menyusun suatu struktur negara
federal yang dikendalikan oleh Belanda. Setelah gagal dengan
Konferennsi Malino pada Juli 1946 lalu, ia menyelenggarakan
Konferensi pangkalpinang pada 1 Oktober 1946 dan Konferensi
Denpasar pada tanggal 16 hingga 24 Desember 1946. Ia hendak
mendekati tokoh-tokoh Kalimantan dan Indonesia Timur untuk
mewujudkan tandingan bagi Republik dengan membentuk “negara-
negara federal” di luar Jawa dan sebagian Sumatra, serta wilayah
Indonesia Timur. Adapun, niat membentuk negara federasi di
Kalimantan dan Sumatra tidaklah berhasil, sehingga pada Konferensi
Denpasar, wilayah-wilayah itu ditinggalkan. Konferensi Denpasar
dengan 55 utusan dari 13 daerah Indonesia Timur yang berlangsung
dari tanggal 9 Desember hingga 24 Desember 1946, sepakat
membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dan Cokorde Gde Raka
Sukawati terpilih sebagai presidennya. Jadi, NIT lahir dengan tokoh-

138
Pengayaan Materi Sejarah

tokoh daerah, terutama Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, Lombok,


sumbawa, dan Timor. NIT memunculkan tokoh-tokoh, yakni Cokorde
Gde Raka Sukawati, Nadjamoedin Daeng Malewa, Ide Anak Agung
Gde Agung, Sultan Mohammad Kaharoedin (Sumbawa), Julius Tahija
(Maluku Selatan), E. Katoppo, dan A.C. Manoppo (Sulawesi Utara).
Dalam perjalanan NIT, Anak Agung32 kemudian tampil sebagai
tokoh terkemuka yang pada 1948 terpilih menjadi perdana menteri
NIT dan merangkap sebagai menteri urusan dalam negeri.
Sebelumnya, Anak Agung sebagai anggota delegasi dari Bali
dalam Konferensi Denpasar itu, mengecam isi dari peraturan
pembentukan NIT yang dianggapnya masih menunjukkan
kecenderungan untuk melindngi sebanyak mungkin kepentingan
Belanda. Substansi kepentingan kolonial berupa Undang-Undang
yang sengaja dirancang untuk mempertahankan eksistensi
pemerintahan kolonial. Penilaian ini logis karena Undang-Undang
tersebut merupakan rancangan para pegawai kolonialis, seperti
C.H.J.R. de Wall, J. Hangelbroek dan Eisenberger dan ketiganya
pernah menjadi pejabat di Departemen Dalam Negeri serta pernah
sebagai asisten residen di beberapa daerah. Oleh sebab itu, bab
pertama mengenai wilayah Negara Timur Besar yang mencakup
Provinsi Timur Besar, sesuai dengan Ordonansi 19 Februari 1936 dan
Keputusan 25 Mei 1938, sengaja mengesampingkan wilayah Nieuw
Guinea, Irian Jaya. Jelas, bab itu bertentangan dengan keputusan
Konferensi Malino yang menganggap wilayah Nieuw Guinea
tercakup dalam Negara Indonesia Timur atau dikenal dengan nama
de Groote Oost.
Pasca pelantikan sebagai perdana menteri, Anak Agung
segera menyusun berbagai program penting untuk membangun
pemerintahan, negara, dan masyarakat Indonesia Timur. Masalah
pertama dan penting dirumuskan adalah dasar kebijakan politik serta
pedoman kerja. Ia ingin mengubah sikap mental birokrasi kolonial
menjadi mental birokrasi yang merdeka dan berdaulat, agar
pemerintahannya benar-benar mengabdi bagi kepentingan negara
dan kesejahteraan rakyatnya. Ia berupaya mengeliminasi pengaruh
NICA yang masih diberlakukan pada pemerintahan sipil, seperti di
NIT.33
Sementara itu terbentuknya NIT pada 24 Desember 1946,
reaksi Republik pada mulanya merespon secara negatif. Namun,
ketika NIT berhasil mempunyai kedudukan yang berdiri sendir ke luar

139
Pengayaan Materi Sejarah

dan mengadakan pemantapan ke dalam, berubahlah sikap tersebut.


Secara resmi, pemerintah Republik tidak dapat melakukan protes
terhadap hal itu, karena Pasal 4 dalam Persetujuan Linggajati dengan
jelas menentukan bahwa daerah-daerah yang meliputi Negara
Indonesia Serikat yang akan datang adalah Jawa dan Sumatra yang
berada di bawah kekuasaan de facto Republik, Kalimantan, dan
Indonesia Timur.
Namun, pasca Agresi Militer I yakni saat Van Mook
mendirikan negara-negara bagian yang kecil di daerah-daerah Jawa
dan Sumatra, yang berada di bawah kekuasaan de facto Republik,
maka Republik berhak melakukan protes keras, termasuk kepada DK
PBB. Pembentukan negara-negara bagian kecil lebih mempertajam
sikap Republik terhadap federalisme. Langkah-langkah Van Mook
sama sekali tidak dapat dibenarkan dan menganggapnya sebagai
suatu usaha untuk mengepung Republik dengan pembentukan
negara-negara bagian kecil ini yang dikepalai oleh orang-orang yang
bermusuhan terhadap Republik. Selanjutnya, federalisme mendapat
sorotan sebagai cermin politik pemerintah kolonial.34
Pemerintah Hindia Belanda melalui Letnan Gubernur
Jenderal Van Mook mengupayakan untuk membentuk
ketatanegaraan baru. Hal ini ditujukan sebagai uapaya agar Belanda
tetap berkuasa di Nusantara. Van Mook bersama penasihat politiknya
berusaha terus untuk memperkecil posisi Republik, ketika itu
kekuatan politik dan TNI telah berakar di Pulau Jawa, Madura,
sebagian besar Sumatra, dan beberapa wilayah di Indonesia. Meski,
Kekuatan kebangsaan dan Republik dapat dilihat dari upaya PM
Sutan Sjahrir, yang beberapa kali bertemu dengan Van Mook untuk
meminta Belanda mengakui kedaulatan Republik atas semua
wilayah Hindia Belanda, tanpa kecuali.

2.1.5. Perbedaan Pandangan Belanda dan IndonesiaTerhadap


Federalisme
Persetujuan Linggajati yang telah menjadi penanda lahirnya
azas ferderalisme, tidak berarti dalam tataran pelaksanannya
kemudian berjalan dengan lancar. Padahal, semula Persetujuan
Linggajati dimaksudkan sebagai panduan untuk perundingan-
perundingan berikutnya ke arah membangun suatu tatanan politik di

140
Pengayaan Materi Sejarah

bekas Hindia Belanda yang dinamakan Negara Indonesia Serikat


(NIS). Namun kemudian ternyata perundingan-perundingan
berikutnya untuk mewujudkan NIS tersebut tidak berjalan lancar. Hal
itu terutama disebabkan adanya dua naskah Linggajati. Naskah
pertama adalah naskah asli seperti yang dirumuskan di Linggajati
tanggal 15 November 1946. Naskah ini ditandatangani RI setelah
mendapat persetujuan dari KNIP dalam sidangnya di Malang.
Sedangkan, naskah kedua adalah naskah Belanda yang
ditandatangani delegasi Belanda pada 20 Desember 1946. Naskah
Belanda tersebut telah diberi lampiran yang dianggap bagian integral
dari teks Linggajati itu. Adapun lampiran-lampiran ini, diantaranya
berupa teks pidato Prof. Logermann (Menteri Seberang Laut), Garis
Kebijakan Pemerintah Belanda tertanggal 10 Januari 1946, pidato
Schermerhorn di Parlemen yang memuat penjelasan-penjelasan
naskah Linggajati yang menguntungkan mereka.
Di samping itu, munculnya keterangan yang simpang siur
mengenai apa yang dimaksud dengan federalisme dari Van Mook.
Ketika H.J. van Mook merumusakan azas federalisme yang kemudian
disodorkan kepada pihak Indonesia, ia tidak menjabarkan azas itu
secara rinci. Secara garis besar gagasan Van Mook tersebut mengacu
pada konsep federalisme yang diterapkan oleh Perancis di Indocina
pada 1946. Malah kecurigaan pihak RI sedemikian kuatnya terhadap
gagasan Van Mook itu, sehingga RI menandinginya dengan tuntutan
“Merdeka 100%” .
Oleh karena itu, meski azas federalisme itu diterima oleh
pemerintah Indonesia sebagai alternatif terhadap tatanan Hindia
Belanda, namun pengertian yang diberikan RI pada federalisme
kemudian nampak jauh berbeda dengan pengertian yang diberikan
oleh pihak Belanda. Perbedaan inilah yang sesungguhnya melandasi
perbedaan pendapat antara pihak RI dengan pihak Belanda.
Perbedaan-perbedaan paham dan kecurigaan antara Belanda dan
Indonesia tersebut kemudian menyebabkan Belanda kemudian
menggunakan senjata untuk memaksakan keinginannya. Pada 21 Juli
1947 pasukan Belanda menyerang wilayah RI yang dikenal dengan
Agresi Militer Belanda Pertama. Pada 1 Agustus 1947 Dewan
Keamanan PBB memeerintahkan kedua pihak menghentikan perang
dan melanjutkan perundingan.

141
Pengayaan Materi Sejarah

Dengan bimbingan Komisi Tiga Negara (KTN), pada Januari


1948 Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian disebuah
kapal tentara milik AS, USS Renville. Perjanjian itu dikenal dengan
perjanian Renville yang dijadikan patokan untuk perundingan
selanjutnya. Namun, dalam perundingan ini terjadi perbedaan yang
sangat tajam antara pihak Belanda dan pihak RI. Perbedaan ini terkait
pembentukan pemerinthan interim (sementara) sebelum Negara
Indonesia Serikat dibentuk. Adapun yang menjadi pokok masalah
yakni pasal 1 dari “Enam pasal tambahan” yang dirumuskan oleh
KTN tersebut, sebagai berikut:
“Kedaulatan di seluruh Hindia Belanda ada dan tetap di tangan
kerajaan Belanda sehingga setelah suatu tenggang waktu Kerajaan
menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Indonesia Serikat.
Sebelum berakhirnya tenggang waktu itu Kerajaan Belanda berkenan
menyerahkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab
tertentu kepada suatu pemerintahan federal sementara dari wilayah
yang akan menjadi Negara Indonesia Serikat itu. Negara Indonesia
Serikat yang akan dibentuk itu merupakan suatu negara yang
berdaulat dan merdeka yang bermitra dengan Kerajaan Belanda-
Indonesia (Uni) yang dikepalai raja Belanda. Status RI adalah sebagai
suatu negara dalam Negara Indonesia Serikat.35
Dengan demikian, Persetujuan Renville merupakan
kemunduran dibandingkan dengan Persetujuan Linggajati yang
masih mengakui kekuasaan RI secara de facto atas Jawa, Madura,
dan Sumatra. Renville tidak lagi menyebut hal itu, bahkan status RI
menjadi sekedar “negara bagian” dalam Negara Indonesia Serikat
yang masih harus dibentuk. Permasahan status RI ini mencuat dalam
suatu rapat antara KTN dengan delegasi RI pada 13 Januari 1948
yakni tiga hari sebelum penandatanganan Perjanjian Renville. Dalam
rapat tersebut delegasi RI bertanya kepada KTN tentang status RI
selama masa pemerintahan Interim yang tidak jelas diatur dalam
pasal 1 dari “Enam pasal tambahan” tersebut. Delegasi RI
menyatakan dalam rapat itu bahwa RI tidak bisa disejajarkan dengan
negara-negara bagian yang diciptakan sejak 1946 tersebut. KTN
mencoba meyakinkan delegasi RI bahwa statusnya tidak berubah.
Frank Graham malah menyatakan “You are what you are”.

142
Pengayaan Materi Sejarah

Dalam perundingan-perundingan itu delegasi RI tetap


berpegang pendirian bahwa RI tidak sama dengan negara-negara
bagian lain dan statusnya seperti apa yang dikatakan Graham yakni
seperti sediakala sebelum adanya Perjanjian Renville. Oleh karena
kedua pihak tetap pada pedirian masing-masing, maka perundingan-
perundingan tidak dapat melangkah maju dan akhirnya malah
terhenti sama sekali. Sementara itu, setelah Perjanjian Renville
ditandatangani, keanggotaan KTN diganti. Wakil Australia Richard
Kirby diganti Thomas C. Critchley, wakil Amerika Serikat Frans
Graham diganti Court Dubois, dan wakil Belgia Paul van Zeeland
diganti Raymond Herremans.
Selanjutnya, untuk mengatasi kemacetan dalam perundingan
antara RI dan Belanda, maka Court Dubois (wakil Amerika Serikat
dalam KTN) mencoba memberi jalan keluar. Dalam hal ini Amerika
Serikat mulai menaruh perhatian khusus pada Indonesia dan
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk membantu RI
dalam perjuangannya. Dalam hal ini, Amerika Serikat mengeluarkan
isyarat-isyarat bahwa Kabinet Hatta yang sejak akhir Februari 1948
menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin, dianggap moderat dan
perlu didukung, terutama dalam melawan Komunisme di Indonesia.
Isyarat tersebut yang mendorong Dubois mengambil inisiatif
menyusun “working paper” yang dimaksud untuk dijadikan dasar
melanjutkan perundingan antara RI dan Belanda.
Usulan Dubois yang diumumkan pada 10 Juni 1948 berisi,
yakni:
“Agar Belanda mengakui RI sebagai pemerintah syah di Jawa dan
Sumatra, agar segera mengadakan peblisit di wilayah itu untuk
memilih sebuah dewan yang akan bertugas memilih presiden dan
membentuk pemerintah federal sementara yang akan menerima
kekuasaan dari Hindia Belanda dan RI”.36
Konsep ini didukung oleh Thomas Critchley (wakil Autralia
dalam KTN), tetapi tidak dapat diterima oleh Raymon Herremans
(wakil Belgia dalam KTT) yang menganggap gagasan Dubois terlalu
memojokkan Belanda dan terlalu menguntungkan RI. Usul Dubois
dan-Chritchley itu ditolak keras oleh Belanda karena kedua wakil KTN
ini dianggap bertentangan dengan Perjanjian Renville, khususnya
pasal 1 dari “Enam pasal tambahan” yang nota bena dibuat KTN

143
Pengayaan Materi Sejarah

juga. Dubois yang dianggap terlalu menguntungkan RI, kemudia


Belanda berusaha agar Amerika Serikat ditarik dari keanggotaan KTN
pada 29 Juni 1948. Meski Belanda puas, namun akibatnya
perundingan antara Belanda dan RI tetap tidak dapat dilanjutkan.
Di tengah suasana kemacetan perundingan, Letnan Gubernur
Jenderal H.J. Van Mook mengambil inisiatif untuk memaksakan
perubahan ketatanegaraan di Hindia Belanda. Tanpa ijin Den Haag,
ia memutuskan untuk menyebut lembaga pemerintahan yang
dipimpinnya yakni Pemerintah Federal Sementara seperti yang
dirumuskan dalam dalam Perjanjian Renville, pasal 1. Dalam upaya
menyebarluaskan gagasan tersebut, pada Mei 1948 Van Mook
mengundang para pemimpin dan wakil dari negara-negara bagian
dan daerah-daerah otonom untuk bertemu menghadiri pertemuan di
Bandung. Dalam rapat itulah, Van Mook mengajukan konsep yang
telah disusun terlebih dahulu ,yakni mengenai pembentukan
Pemerintah Federal Sementara (Voorlopige Federal Regering/ VFR).
Para peserta rapat tidak diberi kesempatan mengajukan perubahan-
perubahan dalam konsep itu.
Pemerintah Federal Sementara merupakan lembaga
pemerintahan Hindia Belanda yang sudah ada yang hanya berganti
nama dengan Van Mook tetap sebagai Letnan Gubernur Jenderal.
Dengan demikian tidak ada perbedaan hakiki antara pemerintah
Hindia Belanda dengan Pemerintah Federal Sementara. Namun
demikian, van Mook tidak memperkirakan bahwa di kalangan kepala
negara bagian dan daerah otonom akan timbul perlawanan.
Pembentukan federal sementara ternyata tidak memuaskan banyak
orang Indonesia yang berkepentingan dalam pemerintahan daerah.
Diantaranya, Perdana Menteri NIT Ide Anak Agung Gde Agung
berpendapat bahwa Pemerintah Federal Sementara itu betapapun
tidak akan diterima oleh RI. Menurut keyakinannya suatu
pemerintahan federal yang utuh harus merupakan perpaduan dari
semua kekuatan di Indonesia, termasuk RI. Selain itu, berkeberatan
dengan sebuah Pemerintah Federal Sementara yang didominasi oleh
orang-orang Belanda yang nota bena adalah para pejabat yang
diangkat oleh Van Mook.
Selain itu, Ide Anak Agung Gde Agung juga berpendapat
bahwa batas waktu pembentukan NIS seperti yang ditetapkan dalam
Persetujuan Linggajati, yaitu tanggal 1 Januari 1949, sudah semakin
mendekat. Melihat kenyataan bahwa Perundingan Belanda-RI telah

144
Pengayaan Materi Sejarah

macet total, maka target waktu itu akan sulit dicapai. Ia khawatir
apabila NIS itu akan dibentuk oleh pihak Belanda secara sepihak
pada awal 1949, sehingga tidak semua wilayah di Indonesia akan
diikutsertakan. Anak Agung menginginkan suatu konsep lain
daripada konsep Van Mook sebagai ladasan untuk pembentukan
Pemerintah Federal Sementara. Pandangan ini ternyata didukung dan
dibenarkan oleh PM Negara Pasundan R.T. Adil Puradiredja.
Keduanya kemudian secara bersama-sama menyepakati untuk
menyelenggarakan konperensi lagi di Bandung tanpa mengundang
Van Mook dan stafnya. Undanganpun dikirimkan ke para Wali
Negara dan para kepala pemerintahan daerah otonom untuk
berkumpul di Bandung pada 7 Juli 1948.
Adapun tujuan rapat tersebut yakni: Pertama, untuk mencari
jalan keluar dari situasi politik yang gawat yang ditimbulkan oleh
perkembangan politik antara Belanda dan RI yang pada akhirnya
pasti akan mempengaruhi negara-negara bagian. Kedua, Ide Anak
Agung Gde Agung mengharapkan agar rapat yang akan
diselenggarakan di Bandung akan mencetuskan suatu rancangan
pemerintahan interim yang lebih baik dari Pemerintah Federal
Sementara buatan Van Mook. Rancangan yang akan ditelorkan oleh
para pemimpin daerah yang hanya terdiri dari orang Indonesia itu
kemudian akan diserahkan kepada pemerintah Belanda sebagai
upaya menyelesaikan untuk mewujudkan Pemerintah Interim sesuai
ketentuan dalam Perjanjian Renville.
Konferensi tersebut melahirkan resolusi pada tanggal 15 Juli
1948 yang diperuntukkan bagi pembentukan suatu pemerintahan
Federal, yakni:
I. RIS yang merdeka dan berdaulat akan meliputi seluruh
wilayah negara Hindia Belanda, tanpa mengurangi apa yang
telah ditentukan di dalam pasal 3 Persetujuan Linggajati;
II. RIS yang merdeka dan berdaulat akan berbentuk federasi;
III. Negara-negara bagian, Daerah-daerah bagian, dan Satuan-
satuan ketatanegaraan lainnya yang ada, termasuk daerah
yang untuknya Dewan penasihat Sumatra Selatan dibentuk,
akan diakui;
IV. Adanya kekuasaan de facto yang dipegang oleh berbagai
daerah bagian di Indonesia, termasuk di dalam hal ini RI,
akan dinyatakan;

145
Pengayaan Materi Sejarah

V. Adanya kedaulatan Belanda, selama RIS yang merdeka dan


berdaulat nelum terbentuk, akan diakui;
VI. Asas-asas Persetujuan Renville akan diakui;

Menetapkan resolusi sebagai berikut:


1. Pembentukan pemerintah Federal Sementara di dalam
jangka waktu yang singkat mutlak perlu.
2. Pemerintah Federal sementara ini harus merupakan
pendahulu bagi pemerintah RIS yang berdaulat.
3. Karena itu, ia harus terdiri dari orang-orang Indonesia.
4. Wewenang pemerintahan Pemerintah federal Sementara
tidak dibatasi lebih sekedar yang mutlak bertalian dengan
tanggungjawab Negeri belanda, yang timbul dari
dipertahankannya kedaulatan Belanda selama masa
peralihan...37
Dari tahun 1946 hingga tahun 1949 di seluruh Indonesia telah
terbentuk enam wilayah yang berstatus negara dan 11 yang berstatus
daerah otonom. Semua wilayah itu berada di luar kekuasaan RI tetapi
masih tercakup dalam kekuasaan Hindia Belanda, sebagai berikut:
a. Negara IndonesiaTimur dibentuk 24 Desember 1946
b. Negara SumatraTimur dibentuk 25 Desember 1947
c. Negara Madura dibentuk 24 April 1948
d. Negara Sumatra Selatan dibentuk 30 Agustus 1948
e. Negara Jawa Timur dibentuk 26 November 1948
Daerah-daerah dengan status otonom yang terbentuk sejak
tahun 1946 hingga 1949 yakni:
a. Dayak Besar ditetapkan sejak 7 Desember 1946
b. Kalimantan Tenggara ditetapkan sejak 27 maret 1947
c. Kalimantan Timur ditetapkan sejak 12 Mei 1947
d. Kalimantan Barat ditetapkan sejak 12 Mei 1947

146
Pengayaan Materi Sejarah

e. Bangka ditetapkan sejak 12 Juli 1947


f. Belitung ditetapkan sejak 12 Juli 1947
g. Riau ditetapkan sejak 12 Juli 1947
h. Banjar ditetapkan sejak 14 Januari 1948
i. Distrik Federal Batavia ditetapkan sejak 11 Agustus 1948
j. Jawa Tengah ditetapkan sejak 2 Maret 1949
k. Tapanuli (belum mendapat status otonom)
Namun pada saat diselenggarakannya konperensi tandingan di
Bandung bulan Juli 1948 itu belum semuanya hadir, bahkan ada juga
yang belum dibentuk. Rapat yang diselenggarakan Ide Anak Agung
Gde Agung dan Adil Puradirdja di Bandung 38 wakil negara-negara
bagian dan daerah otonom serta para peninjau.
Konperensi Bandung tersebut dibuka pada 12 Juli 1948 dengan
dihadiri pula oleh wakil-wakil KTN. Dalam acara pembukaan, Ide Anak
Agung Gde Agung menyampaikan sebuah working paper yang
diharapkan akan menjadi arahan dalam perbincangan dalam konperensi
itu. Dalam pidatonya, Anak Agung bahwa dalam perundingan-
perundingan antara Belanda dan RI mengenai pembentukan Negara
Serikat, negara-negara bagian (disebut juga negara=negara federal)
tidak diikutsertakan. Dengan demikian tidak ada kepastian mengenai
status negara-negara federal itu kalau Pemerintah Federal Sementara
dibentuk.
Selanjutnya Anak Agung juga menyarankan agar para pemimpin
negara-negara bagian mengambil tindakan-tindakan bersama guna
menjamin kelanjutan eksistensi mereka. Dalam pidato ia menyatakan
pula “.....tidak ada gunanya dan dari sudut politik tidak bertanggung
jawab untuk bekerja sama dengan Negara Federal Sementara sebagai
badan lanjutan dari pemerintah Hindia Belanda yang diciptakan Van
Mook”. Ia pun mempertanyakan, “ Apakah dalam keadaan itu
penyelesaian konflik Belanda dan RI bisa diselesaikan , lebih-lebih kalau
wakil-wakil negara-negara bagian tidak diikutsertakan dalam
perundingan-perundingan itu. Ia merasa yakin dan mengatakan bahwa
“.....sangat sulit, bahkan praktis tidak mungkin untuk menemukan suatu
konstruksi dimana RI tidak menjadi negara bagian yang setara”. Dalam
pidatonya itu pula, ia mengatakan “.....tetap perlu diusahakan agar

147
Pengayaan Materi Sejarah

kedaulatan diserahkan oleh Belanda kepada Negara Indonesia Serikat


menurut jadwal yang telah ditentukan dalam perjanjian Renville”.38
Pada upacara pembukaan ternyata belum semua delegasi tiba di
Bandung. Oleh karena itu, rapat memutuskan untuk menunda
konperensi hingga 15 Juli. Sementara itu, sebelum konperensi itu
dibuka lagi, Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat mengumpulkan
sejumlah peserta yang telah hadir untuk berbicara tersendiri. Ia
menuduh Anak Agung adalah “antek” RI yang sudah pasti akan
memperjuangkan kepentingan RI. Sepanjang konperensi terselenggara
dari 15 Juli hingga 18 Juli terdapat dua blok yang tidak selalu sepaham,
yaitu:
a. Blok pertama terdiri dari NIT, Pasudan. Madura, kalimantan Timur,
kalimantan Tenggara, Banjar dan jawa Tengah. Pimpinan blok ini adalah
Ide anak Agung Gde Agung (NIT) dan R.T. Adil Puradiredja (Negara
Pasundan).
b. Blok kedua terdiri dari Negara Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Riau,
Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Dayak Besar, padang, dan Jawa
Timur. Pimpinan blok ini adalah Sultan Hamid II (Kalimantan Barat) dan
dr Mansur (Sumatra Timur).
Selain itu, sebelum konperensi dibuka kembali, kedua belah
pihak telah mengeluarkan memorandum masing-masing yang
diharapkan bisa ditampung dalam diskusi konperensi tersebut.
Memorandum dari kelompok pertama dengan dipelopori Ide Anak
agung Gde Agung dan R.T. Adil Puradiredja menginginkan suatu
Pemerintah Federal Sementara yang dipimpin oleh suatu direktorium
yang terdiri dari tiga atas 3 orang Indonesia yang dipilih oleh para
pemimpin negara bagian. Selain itu juga dinginkan sebuah parlemen
yang untuk pertama kali terdiri dari atas para peserta konperensi
Bandung tersebut. Memorandum kelompok kedua dipimpin Sultan
Hamid II menginginkan suatu sistem pemerintahan seperti Amerika
Serikat.
Secara resmi konperensi Bandung itu dinamakan Staatkundige
Eenheden Conferentie (Konperensi Satuan-Satuan Kenegaraan), tetapi
nama yang kemudian lebih dikenal adalah Bijeenkomst Voor Federale
Overleg (BFO) atau Pertemuan Musyawah Federal. Dalam
perkembangannya, BFO menjadi katalisator yang penting dalam
diplomasi antara RI dan Belanda. Oleh karena pentingnya peranan BFO,

148
Pengayaan Materi Sejarah

maka Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang tangan kanan Van Mook


menyebutkan sebagai “kekuatan ketiga” (kekuatan pertama adalah RI,
dan kekuatan kediua adalah Belanda). Pengambil inisiatif pembentukan
BFO adalah PM NIT Ide Anak Agung Gde Agung dan PM Negara
Pasundan R.T. Adil Puradiredja.39
Agenda konperensi ditentukan Anak Agung dan pembicaraan
sengit berlangsung pada 15 Juli hingga 18 Juli 1948. Sebagai ketua BFO
dipilih Mr T. Bahriun dari Negara Sumatra Timur yang pro Belanda
dengan wakilnya yakni M. Hanafiah. Belanda pun mengangkat Mr. A.J.
Vleer sebagai sekretaris BFO. Pokok pembicaraan yang ditetapkan
Anak Agung yakni menyusun rancangan peraturan pembentukan
pemerintahan peralihan yang dinamakan Federale Interim Regering
(FIR). Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung selama tiga hari, masalah
turut sertanya RI dalam FIR juga sudah disinggung, terutama oleh wakil-
wakil dari NIT dan pasundan. Dalam hal ini, Anak Agung berpendapat
bahwa ”.... suatu pemerintahan di Indonesia tanpa RI akan selalu
pincang jalannya”. Namun diputuskan apabila RI tidak berkenan ikut,
menurut Anak Agung, FIR harus tetap dapat dibentuk. Setelah itu akan
diadakan pembicaraan segitiga antara FIR, Belanda dan RI untuk
memikirkan bagaimana agar RI menjadi bagian dari FIR. Pada 15 Juli
1948 BFO mengeluarkan resolusi yang terdiri atas 26 pasal sebagai
rancangan pembentkan FIR.
Sebelum Agresi Militer Belanda Kedua, BFO menjalin kerjasama
dengan kabinet Belanda di Den Haag untuk membentuk pemerintah
interim (peralihan) sesuai persetujuan Renville. Rencana BFO oleh
kabinet Belanda dipadukan dengan rencananya sendiri menjadi
“Peraturan pembentukan Pemerintah Interim di Indonesia”
(Bestuursregeling Indonesie in Overgangstijd/BIO). Sebelum
dilaksanakan, rancangan itu dibicarakan terlebih dahulu dengan RI agar
RI bersedia menerimanya. Namun, ketika delegasi kabinet Belanda
mencoba membandingkan pembentukan pemerintah interim dengan
pihak RI di Kaliurang, ternyata RI menolak. Akhirnya Belanda sekali lagi
melancarkan Agresi Militernya yang kedua pada Desember 1948.
Pada 28 Januari 1949 DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi
yang menganjurkan Belanda dan RI menghentikan tembak menembak,
memerintahkan Belanda membebaskan para pemimpin RI dan
memulihkan kekuasaan mereka di Yogyakarta, serta membentuk

149
Pengayaan Materi Sejarah

pemerintahan interim dengan batas waktu penyerahan kedaulatan


kepada Negara Indonesia Serikat. Selain itu DK PBB juga mengganti KTN
dengan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang diberi
wewenang lebih luas dibanding KTN.
Setelah DK PBB mengeluarkan resolusi, Ide Anak Agung Gde
Agung dan R.T. Djumhana Wiraatmadja (pengganti Adil Puradiredja)
memelopori gerakan mengubah kebijakan politik BFO, yakni menolak
kerja sama dengan Belanda untuk membentuk pemerintah interim.
Sebaliknya, keduanya bekerjasama untuk membentuk Negara Indonesia
Serikat, meski kubu lain yaitu Sultan Hamid II dan dr T. Mansur bertekad
untuk mempertahankan garis kebijakan lama (kerja sama dengan
Belanda). Dengan demikian BFO menghadapi dua tantangan yakni dari
luar dan dari alam BFO sendiri. Tantangan dari luar berasal dari Belanda,
khususnya Dr. L.J.M. Beel pengganti Van Mook dengan pangkat Hoge
Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) di Jakarta.
Beel menolak resolusi PBB dan menyusun rencananya sendiri yang
dikenal dengan “Rencana Beel”.
“Rencana Beel” bertujuan membentuk pemerintahan interim
melalui sebuah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang
dihadiri oleh para pejabat Indonesia dan Belanda. Namun Beel tidak
menyetujui apabila Soekarno dan Hatta hadir sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI. Ia tidak bersedia memulihkan kembali kekuasaan
mereka di Yogyakarta, karena ia menganggap RI sudah tidak ada lagi,
Namun para petinggi RI itu diharapkan hadir di Den Haag sebagai
perorangan saja. Pemerintah interim direncanakan akan berakhir
dengan penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat. Selain
itu, Beel menganggap bahwa masalah Indonesia sebagai masalah intern
Belanda sehingga ia tidak menghendaki campur tangan UNCI. Rencana
Beel tersebut menjadi ancaman bagi sebagian anggota BFO yang
cenderung menghendaki ikut sertanya Sukarno dan Hatta sebagai
pemimpin RI.
Ancaman yang dihadapi BFO dari dalam adalah bahaya
perpecahan yangmana hal ini sebenarnya telah terjadi sejak
pembentukannya di Bandung pada Juli 1948. Blok Anak Agung
menginginkan kerja sama dengan para pemimpin RI dan bersama sama
membentuk tatanan politik baru menggantikan Hindia Belanda. Sedang
Blok Sultan Hamid II memihak pada Van Mook (kemudian diganti Beel)

150
Pengayaan Materi Sejarah

dan pada awal 1949 ia diangkat menjadi ketua BFO. Dari sudut
politik, blok Hamid dan Mansur mengacu pada konsep federalisme
sesuai gagasan Van Mook.
Sebaliknya penafsiran federalisme Anak Agung bertentangan
dengan tafsir Van Mook. Anak Agung senatiasa mencita -citakan
adanya kerjasama yang erat dengan pemerintah RI, sehingga antara
pemerintah RI dan NIT dapat terwujud suatu perpaduan pendapat dan
dapat tercipta suatu front nasional yang kuat yang tidak dapat dipecah
pecah oleh pihak ketiga, Bagi Anak Agung, BFO adalah alat untuk
mewujudkan cita=citanya, oleh karena itu jika platform van Mook
dikenal sebagai sintesa saja, maka platform Anak Agung dikenal
sebagai Sintesa nasional. Keduanya jelas tidak dapat dipadu, Van Mook
menginginkan federalisme yang dominan bagi orang Belanda dan Anak
Agung mencita citakan federalisme yang didominasi orang Indonesia.40
2.1.6. Dari Konferensi Inter Indonesia Menuju KMB
Keberhasilan mengatasi rintangan yang muncul dalam internal
BFO, maka BFO bisa melangkah maju menuju pada tujuan yang telah
digariskan oleh Ide Anak Agung Gde Agung, yakni mencapai sintesa
nasional. Hal ini berarti perpaduan antara negara-negara dan daerah-
daerah otonom dalam BFO dengan RI untuk merancang suatu Indonesia
baru dimana semua pihak mendapat tempat yang layak melalui sistem
federalisme. Sementara itu, Belanda sesuai dengan kesepakatan –
kesepakatan Roem-Royen mulai menarik pasukannya dari Yogyakarta
agar para pemimpin dapat kembali ke ibukota RI. Pada 10 Juni 1949,
komandan pasukan Belanda menyerahkan kekuasaan atas wilayah
Yogyakarta pada Sultan Hamengkubuwono IX. Baru pada 6 Juli para
pemimpin RI kembali ke Yogyakarta yang disambut rakyat dan dielu
elukan. Bagi BFO, hari yang gembira itu menandaskan berakhirnya satu
tahapan dalam perjuangan memepertahankan Kemerdekaan RI denga
wilayah yang seutuhnya.
Sejak kunjungan Anak Agung ke tempat pengasingan Sukarno di
Bangka, ia menjajaki kemungkinan-kemungkinan mewujudkan suatu
sintesa nasional antara BFO dan RI. Dalam kunjungannya pada 7
Februari 1949 tersebut, yang hanya dihadiri Presiden Sukarno telah
menyinggung juga kemungkinan BFO dan RI bertemu untuk menyusun
strategi bersama sebelum menuju ke KMB. Gagasan ini kemudian
dibicarakan dengan Hatta dalam kunjungannya pada 2 Maret 1949.

151
Pengayaan Materi Sejarah

Sukarno dan Hatta sepakat dan berjanji akan membicarakan gagasan itu
kalau mereka telah kembali ke Yogyakarta.
Ide Anak Agung Gde Agung menyadari, bahwa untuk pertemuan
antara BFO dan RI diperlukan persiapan-persiapan, terutama materi
yang akan dibahas. Sejak akhir Maret 1949 ia memerintahkan para
penasihatnya di Makasar untuk menyusun suatu rencana tentang
struktur pemerintah federal dan proses penyerahan kedaulatan. Bahan-
bahan itu kemudian disajikan oleh Anak Agung dalam dua kertas kerja
dalam rapat-rapat. Urgensi menyiapkan materi pertemuan semakin
mendesak ketika delegasi Mohamad Roem dan delegasi Van Royen
mulai berunding di Jakarta, sehingga “kembali ke Yogya” semakin
dekat. Presiden Sukarno yang waktu itu berada di Bangka, menyurat
kepada Sultan Hamid II untuk mengingatkan BFO bahwa segera setelah
para pemimpin RI kembali ke Yogya, “langkah-langkah bersama dengan
BFO akan diambil”. Presiden bahkan berjanji bahwa “untuk itu kami
akan mengundang BFO kalau kami telah di Yogya”.
Dalam upaya mengantisipasi pertemuan di Yogya tersebut,
maka dalam rapat BFO pada 16 April 1949 Anak Agung mengajukan
“working paper” terkait pertemuan Inter Indonesia yang diterima secara
bulat dalam rapat itu, yakni sebagai berikut:41
1. Menghubungkan pemerintah-pemerintah, dalam hal ini daerah-
daerah yang terorganisasi secara ketatanegaraan diatur di luar
Republik, yang bekerja sama dalam ikatan BFO, dengan
pemerintah Republik, agar tercapai kerja sama antar Indonesia
pada umumnya di dalam hal perkembangan politik selanjutnya,
dan khususnya pada pembicaraan-pembicaraan KMB.
2. Membicarakan garis besar ketatanegaraan sementara RIS agar
setelah KMB, pemerintah Indonesia yang pertama akan disusun,
yakni pemerintah yang akan menerima kedaulatan Indonesia.
3. Bermusyawarah tentang kemungkinan susunan Pemerintah
Indonesia yang akan datang.
Dalam “working paper” menyebutkan agar masalah-masalah
tersebut di atas, terutama yang pertama dan kedua, sebaiknya tidak
dibicarakan dalam KMB. Namun point-point itu telah disepakati
sebelumnya antara BFO dan RI dalam Konferensi Inter Indonesia. Oleh
karena BFO dan RI praktis mewakili seluruh Indonesia, maka kabinet

152
Pengayaan Materi Sejarah

yang akan disusun haruslah kabinet nasional dan penyerahan


kedaulatan dilakukan oleh Belanda kepada pemerintah nasional.
Dalam kertas kerja tersebut, Anak Agung mengusulkan agar BFO
menjadi pengundang dan sebaiknya konferensi diadakan di Jakarta.
Namun, bila RI menginginkan, maka konferensi bisa dilakukan secara
bergantian di Yogya dan di Jakarta. Selain itu ia juga menekankan agar
BFO tidak perlu membentuk sebuah delegasi untuk menghadiri
konferensi Inter Indonesia, sebab hal ini akan menimbulkan
permasalahan mandat yang biasanya dibicarakan secara bertele-tele. Ia
berpendapat bahwa sebaiknya seluruh anggota BFO (sekitar 60 orang)
hadir semua dalam konferensi inter Indonesia itu.
Dalam kertas kerja juga telah disusun rencana acara konferensi,
yaitu:
1. Tata negara RIS yang berdaulat, yang berlaku dengan terbentuknya
Konstituante, dimana konstitusi yang tetap akan dibicarakan.
2. Pertukaran pikiran mengenai orang-orang yang bakal memimpin
pemerintah Indonesia yang pertama.
3. Beberapa pokok acara yang penting untuk dibicarakan pula
sebelum KMB dimulai:
i Asas-asas pokok peraturan dasar Uni Indonesia Belanda.
ii Piagam penyerahan kedaulatan.
iii Soal-soal pertahanan
Mengenai soal pembentukan Uni Indonesia-Belanda
dikemukakan dalam kertas kerja, bahwa bagaimana, umpamanya,
kedudukan Raja Belanda dalam Uni, apa tugas dan wewenang Uni,
apakah Uni merupakan suatu badan hukum internasional. Mengenai
soal pertahanan harus dikaitkan dengan penarikan tentara Belanda yang
merupakan prasyarat mutlak bagi keamanan dalam negeri. Tetapi yang
harus dipikirkan adalah waktu dan caranya. Masalah ini, menurut Anak
Agung Gde Agung sebaiknya dibahas pula dalam Konperensi Inter
Indonesia agar di KMB nanti akan muncul pandangan yang sama
diantara delegasi BFO dan delegasi RI.
Untuk penyusunan konstitusi sementara itu bahan-bahan yang
cukup banyak telah tersedia dalam kertas kerja pertama mengenai

153
Pengayaan Materi Sejarah

maksud dan tujuan BFO. Namun, mengenai penyusunan pemerintah


perlu perhatian khusus. Anak Agung mengemukakan bahwa untuk
jabatan presiden tidak ada seorangpun akan menolak Sukarno sebagai
Presiden RIS yang pertama. Tetapi mengenai anggota kabinet bisa
muncul masalah. Persyaratan untuk memilih mereka adalah: pertama,
kemampuan dan keahlian dalam bidangnya; kedua, berasal, baik dari RI
maupun dari BFO; dan, dapat diterima seluruh bangsa Indonesia.
Pemilihan presiden dan penyusunan kabinet baru dilaksanakan setelah
KMB dan sebab itu tidak perlu dibahas dalam pertemuan di Den Haag
tersebut, cukup dalam Konperensi Inter Indonesia saja.
Pasca rapat, Anak Agung memutuskan untuk bertemu Beel
untuk menyampaikan niat BFO untuk menyelenggarakan Konperensi
Inter Indonesia. Ia menjelaskan pula pada Wakil Tinggi Mahkota bahwa
konperensi antara BFO dan RI itu bermaksud untuk mendahului KMB
dalam menyusun suatu rancangan mengenai struktur RIS. Materi itu
akan dikemukakan dalam KMB untuk dipertimbangkan pihak Belanda.
Ia menjelaskan pula, bahwa seperti yang juga sudah disepakati dengan
para pemimpin RI di Belanda, di KMB nanti Indonesia akan muncul
dengan satu delegasi saja yang terdiri atas orang-orang BFO dan RI.
Dengan demikian, penyerahan kedaulatan juga akan diserahkan kepada
satu delegasi saja.
Langkah berikutnya yang ditetapkan BFO adalah menghubungi
lagi para pemimpin RI di Bangka untuk membicarakan masalah-masalah
yang menyangkut Konperensi Inter Indonesia. Namun, dalam rapat
pada 14 Juni diperoleh keterangan bahwa Ketua Delegasi RI, yakni Mr.
Mohammad Roem, karena satu dan lain hal, tidak bersedia
mengantarkan delegasi BFO ke Bangka. Pada rapat 16 Juni diputuskan
agar keesokan harinya delegasi BFO berangkat ke Bangka. Pertemuan di
Bangka dilakukan dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Muhamad Hatta. Dalam pertemuan ini yang dibicarakan adalah
masalah agenda Konperensi Inter Indonesia. Untuk menyiapkan
rancangan yang akan dibahas dalam rapat pleno dibentuk panitia yang
dipimpin Mr. Kosasih Purwanegara (Pasundan). Rapat itu kemudian
dibahas selama empat kali rapat dalam bulan Juni itu. Rancangan yang
telah diterima oleh rapat pleno BFO itu kemudian disempurnakan lagi
untuk diserahkan sebagai bahan pembicaraan dalam Konperensi Inter
Indonesia.42

154
Pengayaan Materi Sejarah

Menjelang Konperensi Inter Indonesia, UNCI mengundang berbagai


anggota untuk membicarakan persiapan KMB, karena mereka bisa
membahayakan jalannya persidangan. Khususnya disebutkan nama Mr.
Abas (Tapanuli), salah seorang yang telah ditentukan sebagai calon
delegasi BFO ke KMB, yang sangat kontroversial. Kesempatan untuk
menyingkirkan Mr Abas dari keanggotaan delegasi datang pada saat
rapat BFO pada 13 Juni 1949. Ketika itu, Sultan Hamid II tidak bisa
memimpin rapat karena sedang berada di Pontianak. Dan, Anak Agung
sebagai wakil ketua menjadi pemimpin rapat. Ia menjelaskan pertama-
tama bahwa sebagai pengambil inisiatif Konperensi Inter Indonesia, ia
telah menghubungi tokoh-tokoh RI yang menyatakan hendak disusun
bersama, seperti Konstitusi sementara yang harus diterima parlemen
negara-negara bagian sebelum dibawa ke KMB.
Namun, dalam rapat itu pula, dikatakan bahwa semua
bergantung pada tokoh-tokoh dari Sumatra. Apabila BFO pecah,
kemungkinan besar UNCI membatalkan undangannya pada BFO dan
justru akan mengundang negara-negara bagian tertentu saja. Dengan
bantuan beberapa anggota lainn, akhirnya sepakat agar Mr. Abas tidak
dicalonkan sebagai anggota delegasi BFO, tetapi akan bertindak sebagai
penasehat saja. Sementara itu, Sultan Hamid sekembalinya dari
Pontianak, iapun berusaha untuk mempertahankan keutuhan BFO.
Untuk menjamin kehadiran BFO dalam KMB, ia bersama Anak Agung
bertemu dengan pihak UNCI, yakni Cochran dan Critchley pada 15 Juni
1949. Dalam pertemuan itu, Anak Agung meyakinkan UNCI bahwa
mereka dapat menjamin keutuhan dalam BFO. Dalam pembicaraan itu,
kedua tokoh UNCI menegaskan bahwa UNCI mengakui eksisitensi BFO
dan memenjamin kehadirannya di KMB. Bahkan, mereka memutuskan
pengiriman dari BFO minimal lima orang sebagai delegasi KMB
Konferensi Inter Indonesia akhirnya terlaksana dan
diselenggarakan dua kali. Pertama kali di Yogyakarta antara 19 sampai
23 Juli 1949. Setelah itu, para delegasi akan pulang ke tempat masing-
masing untuk merayakan Idul Fitri. Kemudian, konperensi itu akan
dilanjutkan di Jakarta antara 31 Juli sampai 2 Agustus 1949. Delegasi
BFO berjumlah 60 orang hadir dalam konperensi yang dipimpin Sultan
Hamid II dan wakilnya Anak Agung Gde Agung. Konferensi Inter
Indonesia diawali dengan sebuah resepsi di Kepresidenan pada malam
hari tanggal 19 Juli 1949. Keesokan harinya, tanggal 2o Juli 1949 pada
pagi hari dilakukan upacara pembukaan dan dihadiri sejumlah 105

155
Pengayaan Materi Sejarah

orang. Semua hadirin menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”,


dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, seperti wakil Presiden RI
Mohamad Hatta sebagai ketua delegasi RI, kemudian Sultan Hamid II
sebagai ketua delegasi BFO, dan akhirnya pidato Presiden Sukarno.
Pidato Presiden tersebut menutup upacara pembukaan,
diantaranya isi pidatonya sebagai berikut:
“...Tadi telah saya katakan, saya berdoa kepada Allah, agar konferensi
ini berhasil. Memang konferensi ini adalah maha penting. Kemarin
dalam resepsi di Kepresidenan, J.M. Mr. Djumhana berkata kepada saya
bahwa „saat ini adalah saat yang mengandung sejarah, historischee
ogenblijkken, tetapi hendaknyalah pula saat-saat yang menentukan
jalannya sejarah bangsa kita buat berabad-abad lamanya, ogenblikken
die het lot van eeuwen bepalen...”43
Suasana persaudaraan dan persatuan yang tercipta di
Yogyakarta sangat banyak membantu lancarnya perundingan-
perundingan dalam Konferensi Inter Indonesia (KII). Dalam rapat tidak
terdapat masalah, bagaimanapun rumitnya, yang tidak tidak dapat
dipecahkan dalam waktu kurang dari satu jam. Selama sidang dua hari
telah disetuji keputusan-keputusan yang menyangkut pokok-pokok
permasalahan dan, bahan disetujui pula sebutan KII sebagai “Konferensi
Persatuan”. Walaupun demikian tetap masih terdapat suasana keruh
yang diciptan pihak antikemerdekaan Indonesia melancarkan berita dari
seorang wartawan Amerika yakni William H. Newton yang menuduh
UNCI tidak jujur memberi laporan tentang perkembangan keadaan di
Indonesia. Diakatakan, bahwa mereka tidak bebas menyusun laporan
secara obyektif, karena laporan mereka diputar balik sedemikian rupa,
sehingga pihak RI saja yang diberitakan di pihak yang benar. Menurut
berita itu, perubahan-perubahan tersebut dilakukan para pejabat tinggi
Amerika di Jakarta, dimana semua laporan yang dikirim ke DK PBB
sejalan dengan politik yang dianut Amerika dan Dewam Keamanan PBB.
Beberapa daerah, seperti Sumatra Timur menjadi ragu-ragu,
apakah pasca Belanda meninggalkan Indonesia, justru Amerika yang
berkuasa di Indonesia? Dan, apakah tidak mungkin RI telah
bersekongkol dengan Amerika? Namun, dalam Konferensi Inter
Indonesia segala keraguan tersebut dapat diatasi secara efektif. Oleh
sebab itu harus jelas-jelas menentukan warna dan pendirian untuk
menjadi alat pamungkas terhadap segala usaha meemcah belah, baik

156
Pengayaan Materi Sejarah

yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.44 Konperensi Inter
Indonesia dibuka kembali di Jakarta pada hari Minggu 31 Juli 1949
pukul 10.00 bertempat di Gedung Indonesia Serikat (dulu Volksraad,
kini Gedung Pancasila). Gedung ini juga dikenal sebagai gedung BFO,
karena di gedung inilah organisasi tersebut berkantor dan selalu
menyelenggarakan rapar-rapatnya. Agenda-agenda di Jakarta mengikuti
agenda yang telah digunakan di Yogyakarta. Di samping itu semua
perbedaan yang muncul di Yogyakarta telah diselesaikan saat itu,
sehingga selama pembicaraan dalam Konferensi Inter Indonesia di
Jakarta tidak lagi muncul perbedaan pendapat dan seluru permasalahan
dapat disetujui bersama. Dalam laporan akhir Konferensi dibacakan
Anak Agung yang terdiri dari masalah Ketatanegaraan, ekonomi dan
keuangan, keamanan, kebudayaan, pengajaran dan pendidikan, serta
agama.

2.1.7. KMB, RIS, Dan Kembali Ke Negara Kesatuan RI


Hasil Keputusan Konferensi Inter Indonesia menjadi bekal
delegasi BFO pimpinan Sultan Hamid II dan delegasi RI pimpinan Drs
Mohamad Hatta menuju Den Haag untuk menghadiri KMB. Selain
delegasi Belanda, juga hadir ketiga anggota UNCI di KMB yang
berlangsung dari 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Selama
dua bulan wakil-wakil Indonesia dan Belanda berupaya menemukan
kata sepakat terkait masalah-masalah yang hingga waktu itu masih
merupakan tembok-tembok penghalang. Situasi ini tercermin,
diantaranya saat ketua sidang Perdana Menteri Belanda yakni Dr. W.
Drees dalam pidato pembukaannya mengingatkan sidang pada harapan
yang diutarakan, agar dalam waktu dekat dapat diadakan sidang serupa
lagi. Namun, harapan itu tidak terpenuhi seluruhnya, hal ini terbukti dari
penyelenggaraan penutupan sidang yang baru dapat dilangsungka
pada awal November tersebut. Kelambatan tersebut terjadi, disebabkan
masing-masing pihak menunggu hasil perundingan dalam komisi-komisi
yang dihadapkan pada berbagai masalah pelik yang mempunyai
jangkauan luas.
Meski demikian, pada sidang penutupan itu, semua
permasalahan sudah mendapat kejelasan dan penyelesaian sebaik
mungkin. Dalam hal ini ketua delegasi RI Mohamad Hatta dalam pidato
sambutannya saat sidang penutupan menyatakan kegembiraan dan rasa
syukur atas tercapainya persetujuan, sehingga konferensi yang berjalan
selama dua bulan dapat diakhiri dengan baik. Walaupun Hatta
menyampaikan juga dalam pidatonya tersebut:

157
Pengayaan Materi Sejarah

“...kegembiraan itu rasanya masih kurang sempurna, karena belum


semua persoalan dapat diselesaikan dalam KMB ini, Irian Barat masih
merupakan suatu permasalahan”. Selanjutnya, Hatta menggambarkan
“...kegembiraan di kalangan bangsa Indonesia, dikarenakan pada hari
ini dimaklumkan bahwa pemerintahan kolonial di Indonesia sudah
berakhir dan telah lahir suatu pemerintahan yang didasarkan pada
Pancasila. Selama empat tahun RI berjuang untuk memperoleh
pengakuan dunia intenasional terhadap dasar negaranya itu dan baru
hari ini pengakuan secara resmi didapat. Bertitik tolak dari keyakinan
itulah bangsa Indonesia bersedia mengadakan hubungan Uni yang
didasarkan pada kehendak masing-masing pihak, dengan negeri
Belanda. Untuk kami, bangsa Indonesia, arti kerja sama Uni secara
khusus mempunyai arti sebagai kerja sama antara Barat dan Timur.
Terutama dilihat dari segi pertumbuhan ideal kultural. Bagaimana
pertumbuhan kerjasama Uni kelak, tidak dapat dikatakan sejak
sekarang, hanya kenyataan dalam kerjasama internasional yang akan
memberi pedoman dan patokan. Namun jelas, bahwa Uni hanya akan
dapat berfungsi dengan baik, jikalau antara dua pihak bersangkutan
terdapat rasa saling mebghormati dan saling mempercayai. Pada
kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan yang tinggi dan
terimakasih kepada UNCI dan Dewan Keamanan PBB, demikian pula
kepada bangsa dan pemerintah Belanda atas penerimaan mereka,
sehingga dalam waktu dua bulan ini kedua belah pihak sudah tambah
saling mengenal dan menghargai...”45
Sultan Hamid II yang kemudian menyambut pidato Hatta
dengan mengatakan, bahwa:
“Segala sesuatu akan terbukti pada pelaksanaannya. Segera akan dapat
dibuktikan, apakah kerjasama yang baik itu mungkin pada suatu
lapangan yang secara psikologis begitu rawan seperti bidang militer.
Jikalau hal itu benar dapat dicapai, soal kerjasama pada bidang ekonomi
dan keuangan, kebudayaan dan hubungan luar negeri, tidak perlu
dikhawatirkan...Permintaan kami ialah, supaya bangsa dan pemerintah
Belanda benar-benar yakin, bahwa kerjasama yang baik pada bidang
materiil dan spiritual bagi dirinya sendiri juga akan membawa kebaikan.
Keprcayaan pada diri sendiri dan pada pihak lain secara bersamaan akan
berhasil menumbuhkan kerjasama untuk kemakmuran dan
kesejahteraan kedua bangsa. Kiranya harapan itu terkabul.”46
Van Maarseven, ketua delegasi Belanda, dalam sambutannya
menyampaikan rasa herannya:
“...justru pada bidang kultural terdapat persesuaian paham yang begitu
mantap, sehingga dalam waktu yang sangat singkat komisi bidang

158
Pengayaan Materi Sejarah

kebudayaan dan pendidikan sudah selesai menyusun persetujuan.


Sedang komisi-komisi lain masih belum mapu menetapkan kerangka
dasar persetujuan untuk bidang yang ditangani. Jelaslah, bahwa
sekalipun antar dua bangsa terdapat perbedaaan-perbedaan pada soal
materiil, pada bidang yang lebih tinggi mereka dapat mencapai
kesepakatan demi peningkatan martabat dan derajat manusia. Kiranya
semangat luhur yang hidup dalam komisi kebudayaan dan pendidikan
itu, dalam KMB ini sudah jelas membuktikan dapat membawa manfaat
yang nyata, menjiwai hubungan bangsa-bangsa yang terlibat dalam
kerjasama Uni itu.”47
Pasca para ketua delegasi menyampaikan sambutan, selanjutnya
diadakan penandatanganan Induk Persetujuan (Mantelresolutie) KMB
oleh masing-masing ketua delegasi dan anggota-anggota UNCI. Dalam
pidato penutupannya, ketua sidang Dr. W. Drees juga berbicara atas
nama tuan rumah, mengenang masa lampau dengan menyampaikan:
“Hubungan Belanda – Indonesia pada abad 19 dan awal abad 20
mencapai kejayaannya. Seluruh Kepulauan Indonesia sudah dapat
dipersatukan, tetapi sekaligus dia sudah mempersiapkan
keruntuhannya. Kenyataan itu tidak dapat diingkari”. Akhirnya dia
berharap “...supaya tali-tali hubungan yang ditetapkan dalam
persetujuan KMB ini benar-benar terwujud”.48

Pada tanggal 11 Nopember 1949, sebelum meninggalkan


Ranggon, Hatta menerangkan kepada pers, bahwa RIS akan turut
mengambil bagian dalam uni negara-negara Asia Tenggara. Pada
tanggal 14 November 1949 Hatta tiba di Maguwo, Yogyakarta yang
disambut kedatangannya oleh Presiden Sukarno sendiri dengan istri,
Ny. Hatta dan para pejabat militer serta sipil. Ketika itu telah pula
terdengar suara-suara dari kalangan partai oposisi yang menuduh Hatta
terlau mengalah di KMB. Bahkan disebutkan bahwa sejak persetujuan
Roem-Royen diterima, RI sudah menyetujui batasan-batasan pada
tuntutannya. Pada tanggal 21 November 1949 Parlemen Indonesia
Timur sudah meratifikasi persetujuan KMB. Pada tanggal 25 November
1949 Badan pekerja KNIP mendengarkan penjelasan Hatta tentang KMB
dan pada hari itu juga diputuskan untuk segera mengadakan sidang
pleno KNIP.
Sementara itu, di Jakarta diadakan pertemuan antara wakil-wakil
RI dengan BFO untuk membentuk satu Panitia Persiapan Nasional yang
terdiri dari 31 anggota, yakni 15 wakil dari RI dan 16 wakil BFO.
Sedangkan Mohamad Roem terpilih sebagai ketua dan Anak Agung
Gde Agung sebagai wakil ketua. Panitia ini bertugas untuk menyusun

159
Pengayaan Materi Sejarah

pemerintahan RIS dan mengadakan inventarisasi dari departemen-


departemen yang akan diambil alih.
Pada tanggal 29 November 1949 Mohamad Hatta bertolak ke
Kotaraja untuk memberi penjelasan kepada pemerintah setempat.
Dalam perlawatannya ini, ia singgah di Medan sebelum meneruskan
penerbangan ke Padang. Tanpa diduga, di Polonia ternyata terdapat
ribuan rakyat yang menunggu kedatangan Hata. Adapun, para pejabat
pemerintah Belanda setempat sudah pula menunggu dan memberi
hormat pada Hatta. Di luar pagar lapangan terbang terlihat poster-
poster bertuliskan: “Kami berdiri teguh dibelakang Republik”. Hatta pun
mendekat ke kerumunan rakyat yang melambai-lambaikan bendera
Merah Putih.
Sedangkan, hampir semua organisasi dan partai politik di
dalam negeri pada bulan November 1949 menjadikan bulan rapat.
Hampir setiap hari di Yogyakarta dilangsungkan kongres atau konferensi
dari suatu organisasi. Diantaranya, konferensi pemuda seluruh
Indonesia, kongres wanita, kongres tani, konferensi pendidikan Inter-
Indonesia, konferensi ekonomi yang disertai dengan pameran hasil
kerajinan rakyat, dan berbagai rapat dari dewan-dewan partai-partai
politik.
Sementara itu, pada tanggal 29 November 1949 para
menteri Belanda yakni Van Schaik dan Stikker tiba di Jakarta untuk
memberi penjelasan terinci kepada para pejabat Belanda yang masih
berada di daerah itu. Pada keesokan harinya, mereka terbang ke
Yogyakarta untuk mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden
Sukarno. Pada 1 Desember 1949 Dewan pemerintah Kalimantan Timur
mengajukan mosi, supaya pemerintah meminta TNI dikirim ke
daerahnya untuk memelihara keamanan dan untuk melakukan operasi
pembersihan terhadap gerombolan-gerombolan yang sangat
mengganggu ketentraman penduduknya.
Dalam rapat Panitia Persiapan Nasional di Jakarta pada 2
Desember 1949, Sultan hamengkubuwono IX dipilih untuk mengurusi
segala urusan yang menyangkut soal keamanan di Indonesia. Pada
tanggal 7 Desember 1949 KNIP uang bertindak sebagai parlemen
Indonesia mengadakan rapat pleno di ruang Siti Hinggil Kraton Sri
Sultan untuk membicarakan hasil-hasil KMB. Presiden Sukarno
membuka sidang pleno dengan memberikan amanat, antara lain
berkata:
“Berpikirlah dinamis. Pandanglah hasil-hasil KMB itu sebagai alat
perjuangan. Kami minta KNIP ini dengan pikiran sedalam-dalamnya dan
rasa tanggung jawab yang sepenuhnya terhadap tanah air mengambil

160
Pengayaan Materi Sejarah

keputusan, sesudah mempertimbangkan masak-masak apakah dengan


hasil KMB itu dapat dicapai cita-cita kita. Apakah dengan hasil KMB itu
semakin dekat atau semakin jauh bangsa Indonesia dan cita-cita
nasionalnya. Nasib tanah air kita tergantung dalam tangan tuam-
tuan..”49

Selama tujuh hari KNIP mengadakan rapat dengan


memperdebatkan hasil-hasil KMB secara sengit. Pada tanggal 15
Desember 1949 diadakan pemungutan suara dengan hasil, yakni 226
suara menerima, 62 suara menolak, dan 31 suara kosong. Dari
perolehan hasil suara-suara itu, kemudian ditetapkan bahwa KNIP
menerima persetujuan KMB. Dalam waktu bersamaan, para gubernur
militer seluruh Indonesia mengadakan rapat di Yogyakarta untuk
mendengar penjelasan tentang persetujuan KMB, khususnya
menyangkut bidang kemiliteran serta untuk mendapatkan petunjuk
mengenai persiapan-persiapan yang harus diambil dalam menghadapi
penarikan mundur tentara Belanda. Selain itu, dalam rapat tersebut
dibahas pula masalah yang menyangkut pembentukan tentara RIS,
dimana TNI akan menjadi intinya.
Setelah KNIP RI menerima dengan baik persetujuan KMB,
pada awal Desember 1949 pula semua perwakilan negara dan daerah
bagian yang bergabung dalam BFO sudah menyetujui persetujuan KMB.
Tindakan selanjutnya dari Panitia Persiapan Nasional (PPN) yakni, segera
mengadakan persiapan untuk memilih seorang presiden. Sidang
pemilihan dilakukan secara rahasia di Yogyakarta pada 16 Desember
1949 dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam, Presiden RI
Sukarno dengan secara bulat terpilih menjadi presiden pertama RIS.
Pada hari itu, ketua dan wakil ketua PPN Mohamad Roem dan Anak
Agung Gde Agung menyampaikan putusan itu kepada Sukarno di
Istana Kepresidenan di Yogyakarta untuk meminta persetujuannya.
Pada tanggal 17 Desember 1949 dalam sebuah sidang yang
dihadiri semua pemimpin pemerintahan RI dan BFO, wakil-wakil rakyat
dan partai, Ketua Mahkamah Agung Dr. Mr. Kusumah Atmadja beserta
penghulu dan saksi-saksi mengambil sumpah presiden. Pasca pelantikan
itu, Sukarno sebagai Presiden RIS pertama menerima defile dari
pasukan-pasukan bersenjata TNI dan Polisi (Mobrig). Dengan
mendasarkan pada pasal 74 Konstitusi RIS, pada tanggal 19 Desember
1949, Presiden RIS Sukarno menunjuk Mohamad Hatta dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sultan Hamid II, dan Anak Agung Gde Agung
sebagai formatur kabinet. Selanjutnya, Ir Soekarno yang terpilih sebagai
Presiden RIS pada Desember 1949, menunjuk empat orang formatur

161
Pengayaan Materi Sejarah

kabinet yang terdiri atas dua orang republiken, yakni Mohammad Hatta
dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX serta dua orang federalis dari
negara-negara bagian, yakni Ide Anak Agung Gde Agung dari Negara
Indonesia Timur (NIT) dan Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat.
Para formatur kabinet berhasil membentuk kabinet yang
kemudian dilantik oleh Presiden RIS Sukarno pada hari Selasa tanggal 20
Desember 1949, sebagai berikut :
Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri:
Mohammad Hatta
Menteri Dalam Negeri: Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Pertahanan: Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Menteri Perekonomian: Ir. Djuanda
Menteri Keuangan: Mr Sjarifuddin Prawiranegara
Menteri Kesehatan: Dr. Johannes Leimena
Menteri Sosial: Mr. Mohamad Kosasih Purwanegara
Menteri Perburuhan: Mr. Wilopo
Menteri Pendidikan, Kesenian dan Ilmu Pengetahuan:
Dr. Abu Hanifah
Menteri Agama: K.H. Wachid Hasjim
Menteri Kehakiman: Prof. Mr. Dr. Soepomo
Menteri Penerangan: Arnold Mononutu
Menteri Negara: Dr. Soeparmo
Menteri Negara: Mr. Mohamad Roem
Menteri Negara: Sultan Hamid II.50
Setelah pemerintah RIS terbentuk, PM Hatta segera
mengangkat suatu delegasi pemerintah untuk menghadiri upacara
penyerahan kedaulatan di Amsterdam dan mengangkat sebuah delegasi
yang mewakili RIS pada penyerahan pemerintahan di Koningsplein
(Istana Merdeka), Jakarta. Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS,
terdiri dari PM Mohamad Hatta, Menteri Negara Sultan Hamid II, Dr.
Sukiman Wiryosanjoyo, Suyono Hadinoto, Dr. Suparmo, Ketua
Mahkamah Agung Dr. Mr. Kusumah Atmadja dan Menteri Kehakiman
Prof. Dr. Mr. Supomo, bertolak ke Belanda untuk menerima penyerahan
kedaulatan.

162
Pengayaan Materi Sejarah

Pada tanggal 27 Desember 1949, pukul 10.17 (Pagi hari) di


Istana kerajaan “Het Paleis op de Dam”, Amsterdam, pembubuhan
tanda tangan dilakukan oleh Ratu Juliana di bawah Akta Penyerahan
dan Pengakuan Kedaulatan RIS . Selanjutnya, Ratu menyampaikan
pidato singkatnya, bahwa “ia mengenangkan arti penting ini bagi kedua
bangsa. Bagi Indonesia, hari tersebut tentu membawa kegembiraan
yang tak terpermanai, karena kini cita-cita kemerdekaan Indonesia telah
terwujud. Ratu menegaskan dengan setandas-tandasnya bahwa di
negeri Belanda setiap orang telah setuju dengan asas penyerahan
kedaulatan. Mengapa hal tersebut tidak dapat terjadi sebelumnya dan
tidak dapat dilangsungkan kemudian, tiap orang untuk membantu
dengan jujur tata praja yang baru ini. Negeri Belanda akan selalu siap
sedia untuk membantu Indonesia, bila diminta. Dan bantuan itu akan
diberikan karena ikatan yang telah berurat berakar”.51
Pasca upacara penyerahan kedaulatan, Ratu Juliana mengirim
telegram pula kepada Presiden RIS Sukarno yang berbunyi, sebagai
berikut:
“Pada hari yang mengharukan ini, ketika Indonesia telah
memperoleh kemerdekaannya, saya menyampaikan kepada Tuan
Presiden, ucapan selamat saya yang tulus ikhlas demi kebahagiaan dan
kesejahteraan negeri dan bangsa Tuan. Semoga Uni, yang kini mengikat
kedua negeri kita, membawa berkat bagi Negeri belanda dan Indonesia,
Juliana”.52
Sedangkan, di Koningsplein, Jakarta, delegasi Indonesia di
bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan anggota-
anggotanya, yakni Anak Agung Gde Agung, Mr. Kosasih dan Mr.
Mohamad Roem menerima penyerahan pemerintahan dari Wali Tinggi
Mahkota H.V.K. Lovink tepat pukul 17.00 (Sore hari) sesuai dengan
pukul 10.00 pagi di negeri Belanda. Dalam acara tersebut dihadiri
anggota-anggota Federal sementara, para pembesar pemerintah Hindia
Belanda, para tamu dari luar negeri, seperti anggota-anggota Komisi
PBB untuk Indonesia, Pote Sarasin dari Muangthai, Meneteri Kesehatan
(seorang wanita) dari India, para senator dari Filipina dan para utusan
dari Birma, yang menjadikan upacara itu semakin semarak. Upacara pun
dilangsungkan di halaman Istana Merdeka yang disaksikan ribuan rakyat
yang berdiri di depan Istana tersebut. Dengan diiringi nada-nada lagu
kebangsaan Belanda Wilhemus, Bendera Merah Putih Biru diturunkan,
sedang setelah itu dengan iringan lagu kebangsaan Indonesia
„Indonesia Raya‟, Sang Merah Putih dinaikkan.
Di samping itu dibentuk juga suatu delegasi untuk menerima
penyerahan kedaulatan dari RI di bawah pimpinan Menteri Penerangan

163
Pengayaan Materi Sejarah

RIS Arnold Monomutu. Pada tanggal 23 Desember 1949, H.V.K. Lovink


mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden RIS Sukarno di
Yogyakarta sebelum dia meniggalkan Indonesia beberapa saat setelah
penyerahan pemerintahan tanggal 27 Desember 1949. Dalam
pertemuan itu Lovink diterima dalam suasana persahabatan serta sesuai
protokol yang berlaku untuk seorang kepala pemerintahan.
Pada keesokan harinya, tanggal 28 Desember 1949, Presiden
Sukarno memasuki Jakarta dengan disambut ribuan rakyat di sepanjang
jalan menuju istana. Adihadapan rakyat yang berkumpul di Koningsplein
yang diganti namanya oleh Presiden dengan nama istana Merdeka,
Bung Karno menyampaikan pidato dan memperkenalkan anggota
kabinetnya kepada rakyat serta menghimbau kepada setiap orang untuk
ikut membantu membangun tanah air yang sejahtera. Adapun rakyat
sendiri menunjukkan semangat akan kegairahan dalam menyambut
pemerintah pertama RIS dan saat itu, rakyat merasakan pula tekanan
pemerintahan kolonial yang telah hilang.53
Dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), maka
hal ini merupakan penanda awal proses menuju terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa transisi tersebut tidak terlepas
dari dinamika pertentangan yang mengganggu integrasi Indonesia saat
itu. Bermula dari keberadaan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang
terbentuk setelah ratifikasi hasil-hasil KMB (Konferensi Meja Bundar)
oleh KNIP yang bersidang pada 6 hingga 15 Desember 1949 sebagai
negara berbentuk federasi.
KMB menyusun pula rancangan Konstitusi RIS yang dilakukan
oleh oleh utusan-utusan dari negara RI yang dipimpin oleh Perdana
Menteri (PM) Mohammad Hatta dan utusan-utusan dari limabelas
negara yang tergabung dalam BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg) yang
dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Menurut Konstitusi
RIS, negara federal tersebut terdiri dari enam belas (16) negara bagian
yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk berbeda dan daerah
yang berdiri sendiri, yakni54:
1. Republik Indonesia
2. Kalimantan Barat
3. Indonesia Timur
4. Madura
5. Banjar
6. Bangka

164
Pengayaan Materi Sejarah

7. Belitung
8. Dayak Besar
9. Jawa Tengah
10. Jawa Timur
11. Kalimantan Tenggara
12. Kalimantan Timur
13. Pasundan
14. Riau
15. Sumatra Timur
16. Sumatra Selatan

Di antara negara-negara bagian yang terpenting, selain RI (secara de


facto memiliki daerah, meliputi Jawa, Sumatra, dan Madura) yang
mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, yakni Negara
Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan dan Negara
Indonesia Timur yang merupakan bagian dari negara-negara boneka
dan daerah istimewa bentukan Belanda.
Keadaan ini mengakibatkan munculnya gerakan yang hendak
membubarkan negara federal dan membentuk negara kesatuan
semakin kuat. Selain itu, di dalam lingkungan daerah-daerah bagian
pun terdapat gerakan kuat yang ingin kembali ke negara kesatuan.
Rakyat di negara-negara federal yang sejak akhir 1949 menjadi negara
bagian RIS, juga menghendaki bentuk negara kesatuan. Sejak awal
1950 sudah muncul gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran
negara bagian dan menuntut penggabungan ke dengan RI. Sedangkan,
pemberontakan yang dilancarkan oleh kelompok kecil pendukung
federalis, seperti APRA, Andi Azis, dan RMS, semakin memperkuat
tuntutan tersebut.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut berdampak pada
krisis pemerintahan negara-negara bagian tersebut. Seperti pasca APRA,
pada 8 Maret 1950 terjadi demonstrasi di Bandung yang menuntut
pembubabaran Negara Pasundan dan penggabungan seluruh daerah
Jawa Barat ke dalam RI. Pemberontakan andi Aziz pada awal April 1950
mengakibatkan krisis dan bubarnya Kabinet NIT yang kemudian diganti
kabinet baru di bawah P.D. Diapari, tokoh pro- RI. Program kabinet ini
yakni pembubaran NIT dan penggabungannya ke dalam RI. Tuntutan
untuk bergabung dengan RI pun terjadi di negara-negara bagian

165
Pengayaan Materi Sejarah

lainnya, seperti seluruh daeran Negara Jawa Timur bergabung menjadi


menjadi bagian dari RI pada 25 Februari 1950. Begitu pula, hal tersebut
terjadi di wilayah lain, pemerintah RIS membubarkan Negara Sumatera
Selatan dan daerahnya masuk ke Perovinsi Sumatera Selatan di bawah
RI. Peristiwa ini diikuti pembubaran daerah Istimewa Bangka Belitung
yang penyerahannya berlangsung pada 22 April 1950.
Dinamika pertentangan pro federal versus unitarisme inipun
juga tercermin di Sulawesi Selatan. Gerakan-gerakan menuju ke
unitarisme mendapat reaksi dari golongan federal yang ingin tetap
mempertahankan NIT dengan melakukan penangkapanterhadap para
pemuda yang melakukan kegiatan menentang NIT. Berbagai
demonstrasi yang menuntut pembubaran NIT dan memasukannya ke
dalam RI terjadi di Makasar, Gorontalo, Poso, Donggala, Takalar, dan
Jeneponto. Pada bulan Maret 1950 berlangsung serangkaian
demonstrasi di kota-kota tersebut. Sementara itu, golongan federalis
juga telah melangsungkan demonstrasi di Makasar dan Bone. Sebelum
pemerintah RIS secara resmi membubarkan NIT, rakyat provinsi-
provinsi Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) telah
melepaskan ikatannya dengan NIT dan langsung bergabung dengan RI.

Selain menghadapi soal rong-rongan terhadap RIS, kabinet Hatta


juga harus menyelesaikan banyak masalah lain menyangkut soal
ekonomi, sosial dan hubungan luar negeri. Masalah-masalah yang
timbul ini merupakan beban berat bagi sesuatu negara baru yang lahir
dengan suatu Perang Kemerdekaan, diantaranya keadaan ekonomi yang
pada umumnya buruk. Pemerintah harus menghadapi inflasi dan defisit
dalam anggaran belanjanya. Untuk mengatasi inflasi, pemerintah
menjalankan tindakan dalam bidang keuangan yang drastis, yakni
mengeluarkan peraturan pemotongan uang pada tanggal 19 maret
1950. Peraturan ini menentukan bahwa uang yang bernilai 2.50 gulden
ke atas dipotong menjadi dua, sehingga nilainya hanya setengahnya.
Walaupun banyak pemilik uang yang terkena peraturan ini, namun
pemerintah mulai dapat mengendalikan inflasi agar tidak cepat
meningkat. Di samping soal keuangan ini, perekonomian juga dapat
diperbaiki, terutama dengan meningkatnya perdagangan bahan
mentah, seperti karet ke luar negeri. Neraca perdagangan luar negeri
semakin meningkat akibat meletusnya Perang Korea, sehingga
pendapatan negara indonesia bertambah.55

Di bidang kepegawaian mengalami pula permasalahan, baik sipil


maupun militer. Pasca perang kemerdekaan, jumlah pasukan harus

166
Pengayaan Materi Sejarah

dikurangi karena negara mengalami keuangan yang sulit untuk tidak


mendukungnya. Sebagai konsekuensi, pemerintah harus menyediakan
penampungan akibat rasionalisasi. Sedangkan, dalam pembentukan
APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) intinya diambil dari
TNI, sedangkan lainnya diambil dari kalangan bekas anggota Angkatan
Perang Belanda yang meliputi kurang lebih 33.000 orang dengan 30
orang perwira. Pembentukan APRIS sebagai salah satu keputusan KMB
dengan TNI sebagai intinya ternyata menimbulkan masalah psikologis.
Di satu pihak, TNI berkeberatan untuk bekerja sama dengan bekas
musuhnya, sebaliknya dari pihak KNIL menuntut untuk ditetapkan
sebagai aparat dari negara bagian serta menentang masuknya TNI ke
dalam negara bagian tersebut. Pertentangan ini menjadikan Indonesia
yang baru kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
17 Agustus 1950 harus menghadapi gerakan-gerakan yang merupakan
bom-bom waktu peninggalan kolonialis Belanda dan gerakan-gerakan
lainnya yang merong-rong eksistensi NKRI.

2.1.8. Sebuah Refleksi Historis


Sejak tahun 1945 hingga 1949 berlangsung serangkaian
perundingan antara RI dan Belanda mengenai cara-cara yang harus
ditempuh untuk melaksanakan dekolonisasi. Hal ini tidak terlepas dari
keberatan-keberatan Belanda terhadap Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dalam hal ini Belanda tidak bersedia
mengakui RI dan berusaha memulihkan kembali kolonialisme
(rekolonialisme) terhadap Indonesia yang telah merdeka. Namun, sejak
akhir tahun 1945, pemerintah Belanda melepaskan sementara sikap
tersebut. Belanda menyetujui dekolonisasi, tetapi secara bertahap, dan
mengakui hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.
Suatu realita, peristiwa sejarah tentang tindakan Belanda dalam
melakukan Agresi Belanda telah membangkitkan perhatian
internasional, dan Dewan Keamanan PBB pun akhirnya melakukan
intervensi. Konflik Indonesia – Belanda selanjutnya tidak lagi murni
persengketaan dua negara. Di bawah pengawasan internasional
perjanjian Renville diadakan. Oleh karena keterlibatan badan
internasional tersebut, Ide Anak Agung Gde Agung menyebut perjanjian
itu sebagai “titik balik hubungan Indonesia – Belanda”. Hubungan
selanjutnya akan merupakan proses perjalanan dari “peluru ke kotak
suara”. Hanya saja beberapa wilayah Republik, seperti Jawa Barat,
Madura, dan Sumatra Timur telah “ditelan” Belanda. Dan, TNI pun
harus mundur ke belakang “garis van Mook” – meninggalkan wilayah

167
Pengayaan Materi Sejarah

yang telah dinyatakan sebagai daerah Belanda sebagai akibat adanya


persetujuan Renville.
Sementara itu, kabinet selanjutnya di bawah Hatta yang terdiri
dari tokoh-tokoh yang tidak mewakili partai masing-masing,
menghadapi tekanan dan ancaman Belanda yang makin meningkat,
meskipun berada di bawah pengawasan badan internasional. Apa pun
pertimbangan politik yang mendasarinya, pada Desember 1948 Belanda
melancarkan agresinya yang kedua. Tetapi, sebelum itu beberapa
negara telah mengakui de facto Republik dan beberapa negara Arab
justru telah memberikan pengakuan, baik secara de facto maupun de
jure. Meski Belanda berhasil mendududki Yogyakarta dan kota-kota lain
serta menangkap pucuk pimpinan Republik. Agresi Belanda Kedua ini
ternyata merupakan pukulan yang fatal bagi hasrat kolonialisme
Belanda. Hal ini bukan saja disebabkan tentara Belanda yang
mempunyai peralatan persenjataan yang serba lengkap, gagal untuk
menjinakkan taktik gerilya yang dijalankan TNI, yang secara bertahap
berhasil mengumpulkan kekuatannya. Beberapa negara bikinanan
Belanda, terutama yang terbesar dan tertua, yakni Negara Indonesia
Timur (NIT) secara demonstratif memperlihatkan simpatinya kepada
Republik. Akhirnya, di bawah tekanan internasional dan melewati suatu
perundingan, Belanda harus meninggalkan Yogyakarta dan
memulangkan para pemimpin pemerintah Republik yang ditawan.
Pada 6 Desember 1949 Sukarno secara bulat dipilih sebagai
Presiden RIS yang pertama dan terakhir. Pada 19 Desember 1949 Hatta
membentuk Kabinet RIS dan ia sendiri merangkap jabatan sebagai
menteri luar negeri. Sesuai dengan persetujuan, pada 27 Desember
1949 Hatta menerima “penyerahan kedaulatan” dari tangan Ratu
Juliana, sedangkan di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono, Menteri
Pertahanan RIS, menerimanya dari wakil Kerajaan Belanda. Keesokan
harinya dalam suasana kemerdekaan dan kemenangan, Bung Karno
“pulang” ke Jakarta. Dan, Bung Karno ingat benar betapa “berjuta-juta
orang membanjiri jalan-jalan. Mereka menangis, berteriak, memekik,
“Hidup Bung Karno, merdeka, Alhamdulillah”. Aku menangis. Kita telah
merdeka”.
Tahap pertama perjuangan kemerdekaan yang diproklamirkan
sudah selesai. Revolusi fisik yang digelorakan oleh semangat dan
keinginan yang berapi-api sudah dilalui. Diplomasi revolusi yang
diwarnai kekecewaan-kekecewaan Republik atas ketidakpatuhan
Belanda dengan komitmennya sendiri serta penindasan melalui agresi-
agresi militer yang dilakukannya sudah diakhiri, kemerdekaan dan
kedaulatan penuh akhirnya pun dimiliki. Itulah bagian pertama dari
Proklamasi yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1945. Ke luar, RIS sudah

168
Pengayaan Materi Sejarah

memiliki kesamaan derajat dengan negara-negara yang telah merdeka


dan berdaulat. Namun ke dalam, wadah kemerdekaan dan kedaulatan
yang dimiliki belum mempunyai isi yang mantap. Undang-undang dasar
negara masih bersifat sementara, institusi-institusi dan peraturan semua
masih bersifat sementara, begitu pula bentuk ketentaraan pun masih
bersifat sementara.
Dengan demikian RIS tidak mampu melancarkan suatu program
pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang mantap dan
konsisiten berdasarkan tiang-tiang pendukung yang bersifat sementara.
Oleh sebab itu, langkah pertama yang dilakukan saat itu adalah
menetapkan undang-undang dasar, yang menjadi sumber dari seluruh
peraturan dan sistem pemerintahan dan pembangunan negara. Selama
undang-undang masih bersifat sementara, maka seluruh kehidupan
termasuk kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri juga bersifat
sementara.
Pada 31 Januari 1950 UUD Sementara RIS ditandatangani
Presiden RIS, artinya hal ini merupakan suatu pemenuhan dalam
melaksanakan ketentuan yang disetujui dalam KMB. Konsep UUD RIS
tersebut adalah hasil kompromis antara delegasi Belanda, BFO dengan
RI yang telah dikondisikan dalam penyerahan kedaulatan pada Bangsa
Indonesia. Dengan demikian, penerimaan UUD itu tidak didasarkan
pada keinginan rakyat, tetapi pada keinginan lawan berunding, demi
tercapainya persetujuan. Meski, Belanda menyadari bahwa RI bersifat
Unitaris dan mereka sadar pula bahwa 90% atau lebih kaum intelektual
bangsa Indonesia yang begitu banyak, berdiri tegak di belakang
Republik Indonesia. Artinya, mereka termasuk pendukung paham
Unitaris. Begitu pula, Belanda juga sadar bahwa paham kesatuan yang
diyakini rakyat adalah saudara kembar dari kemerdekaan sedang
federalisme adalah adaik kandung dari kolonialisme. Namun demikian,
sekalipun bertentangan dengan logika, Belanda memaksakan
federalisme dijadikan tiang utama pada UUD RIS.
Mungkin, kalau Belanda hanya ingin membayar hutang pada
BFO, karena Belanda menyadari tidak dapat berbuat apa-apa lagi di
Indonesia. Oleh sebab itu, Belanda berusaha berbuat baik terhadap
orang-orang BFO, sebagai tanda terimakasih atas bantuan dan
dukungan mereka di masa lampau. Meski dalam hati kecilnya masih
tersisa harapan, apabila sifat federalisme itu dapat dipertahankan, para
mantan pendukungnya tetap memegang kekuasaan di daerahnya,
mungkin Belanda memperoleh kesempatan bekerja dan berusaha di
wilayah-wilayah yang dianggap pendukungnya tersebut.

169
Pengayaan Materi Sejarah

Setelah Presiden Sukarno menandatangani UUD RIS rakyat mulai


bergolak dan mempertanyakan apakah RIS masih merupakan jajahan
Belanda? Apa arti kemerdekaan dan kedaulatan? Rasa tidak puas cepat
menjalar ke mana-mana. Para pemimpin revolusi harus memberi
jawaban tegas pada rakyat yang menganggap, “Federalisme adalah
ciptaan Belanda, bukan ide yang lahir dari hati dan pikiran bangsa
sendiri”. Sejak itu, dimulai tuntutan untuk kembali ke kesatuan dan
kembali ke UUD 1945. Selanjutnya, kehendak itupun terwujud dengan
dimulainya satu demi satu negara dan daerah bagian membubabarkan
diri. Pada Agustus 1950 UUD RIS diganti dengan UUDS RI 1950, RIS
diubah menjadi RI serta wilayah Indonesia dibagi dalam provinsi-
provinsi.
Oleh karena itu, berhasilnya bangsa Indonesia mempertahankan
Negara Kesatuan RI sejak Proklamasi dicetuskan pada 17 Agustus 1945
hingga 1950 yang ditandai dengan kembalinya ke negara kesatuan
adalah berkat pengorbanan rakyat yang sangat besar, baik melalui
perjuangan fisik maupun diplomasi serta tekad pemuda yang gigih demi
kemerdekaan dan kedaulatan sebuah negara yang baru berusia lima
tahun saat itu. Namun, capaian tersebut tidak terlepas pula dari
bantuan internasional yang sangat berharga dari negara-negara sahabat
dan PBB.
Di samping itu, perjuangan selama lima tahun dalam
mempertahankan kemerdekaan dan negara kesatuan RI yang
sebelumnya telah menjadi impian selama hampir setengah abad sejak
masa perjuangan kaum pergerakan, telah menggembleng rasa
persamaan dan persatuan selama perjuangan revolusioner. Pencapaian
persatuan yang luar biasa bagi perjalanan Indonesia dengan ribuan
pulau, suku, bahasa, dan pelbagai macam kepercayaan agama yang
utama yang selanjutnya akan bersatu dalam suatu ikatan yang telah
terpateri tidak hanya dengan kata-kata dan lembaga-lembaga, tetapi
juga dengan pengorbanan bersama. Persamaan dan persatuan yang
muncul sebagai modal kekuatan dalam perjuangan dari 1945 hingga
1950 di tengah wilayah RI yang terkepung oleh negara-negara federal
bentukan Belanda merupakan lesson learned yang memiliki value bagi
upaya untuk terus memperjuangkan keberlangsungan NKRI kini dan ke
depan. Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

G. Ambar Wulan

170
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
G.P.H. Djatikusumo. 1986. “Permulaan Terbentuknya Suatu Tentara”. Dalam
buku: Gelora Api Revolusi. Jakarta: PT. Gramedia, hal. 79.
2
Anton Lucas. 1986. “Pemuda Revolusi”. Dalam buku: Gelora Api Revolusi.
Jakaarta: PT. Gramedia, hal. 158.
3
Mayoritas anggota kabinet adalah pangreh praja di masa pemerintahan militer
Jepang. Hal ini dapat mengacu pertimbangan Presiden Sukarno dan Wakilnya,
Mohamad Hatta saat mengangkat 135 anggota KNIP. Mengingat kenyataan
bahwa ini suatu revolusi, kesinambunganlah yang menonjol, seperti masa
pendudukan, Sukarno dan Hatta tetap pemimpin terkemuka. Sebenarnya ,
semua anggota kabinet adalah orang Indonesia yang memimpin departemen
yang sama seperti di bawah Jepang (Rudolf Mrazek. 1996. Sjahrir: Politik Dan
Pengasingan Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 479).
4
Soebadio Sastrosatomo. 1987. Perjuangan Revolusi. Jakarta: Pustaka sinar
Harapan, hal. 46.
5
Peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ini dikarenakan adanya perbedaan antara
kaum muda dan kaum tua terkait pelaksanaan proklamasi. Di satu pihak,
tindakan beberapa pemuda di Jakarta waktu itu didorong oleh prinsip “tidak
mau kemerdekaan itu sebagai hadiah Jepang”, sedang di pihak lain, pemimpin
generasi tua, yakni direpresentasikan oleh Sukarno dan Hatta yang selalu
berhati-hati dan menunggu sikap gunseikan, atau pemerintahan militer Jepang
itu dengan tentaranya yang masih memegang senjata komplit (Antony Lucas.
1986. Op. Cit., hal 158).
6
Mohamad Hatta. 1978. Memoir. Jakarta: Tintamas, hal. 465.
7
Soebadio Sastrosatomo. 1983. Op. Cit., hal. 55.
8
Ibid.
9
Susanto Zuhdi. 1997. “Tanggung Jawab Indonesia Dalam Memelihara Perdamaian
dan Ketertiban Sesudah proklamasi Kemerdekaan”, dalam buku: Aspek-Aspek
Internasional Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Jakarta: Bagian
Pers dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta, hal. 37.
10
Ibid., hal. 49.
11
Anton Lucas. 1986. Op. Cit., hal. 159.
12
Ibid., hal 160.

171
Pengayaan Materi Sejarah

13
Nugroho Notosusanto. 1985. Ikhtisar Sejarah RI (1945 – Sekarang). Jakarta:
Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sejarah ABRI, hal. 12.
14
Anthony Reid. 1986. “Fase Kedua: Kemenangan Terakhir Juli 1947 sampai 1950”.
Dalam buku: Gelora Api Revolusi. Jakaarta: PT. Gramedia, hal. 183.
15
Re-Ra adalah kebijakan masa Kabinet Hatta yang diadakan dalam rangka
menyehatkan keadaan tentara yang banyak dikacau oleh Amir Syarifuddin saat
menjabat sebagai Perdana Menteri dan merangkap sebagai Menteri
pertahanan. Di samping TNI sebagai tentara resmi, terdapat pula TNI
Masyarakat yang diduga menjadi tentara FDR. Kebijak ini antara lain
mengeluarkan TNI Masyarakat dari tubuh TNI. Selain itu, jumlah tentara saat itu
yang terlalu banyak dibanding dengan jumlah senjata. Rasionalisasi pertama
diadakan pada bulan Maret 1948 dengan menetapkan perbandingan antara
prajurit dengan senjata yakni 4 lawan 1 (empat prajurit satu senjata) Opsir-opsir
menurunkan pangkatnya satu tingkat, sehingga hanya ada tiga jenderal, yaitu
Pangsar Soedirman menajadi letnan jenderal, Letnan Jenderal Urip Sumohardjo
tetap dengan pangkat letnan jenderal. Letnan Jenderal Hardjowardojo di
Bukittinggi menjadi mayor jenderal. Pangkat tertinggi di bawah mayor jenderal
ialah kolonel (Mohammad Hatta. 1978. Memoir. Jakarta: Tintamas, hal. 524).
16
Nugroho Notosusanto. 1985. Op. Cit., hal 33.
17
Sjafruddin Prawiranegara. 1986. “Pemerintah Darurat”. Dalam buku: Gelora Api
Revolusi. Jakarta: PT. Gramedia, hal. 204.
18
Ibid., hal. 205.
19
Ide Anak Agung Gde Agung.1983. Renville (terj). Jakarta, Penerbit Sinar harapan:
hal 24.
20
R.Z. Leirissa, 2006. Kekuatan Ketiga: Dalam Perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Jakarta, Pustaka Sejarah : hal 25.
21
Mohammad Hatta, 1978. Memoir. Tintamas, Jakarta: 467.
22
Ide Anak Agung Gde Agung.1983. Op. Cit. hal. 26.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Aco Manafe. 2007. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung: Keunggulan Diplomasinya
Membela Republik. Jakarta, PT. Inti Lopo Indah, hal. 117.

172
Pengayaan Materi Sejarah

27
P. Sanders 1980. “Sjahrir dan Perjanjian Linggarjati” dalam Rosihan Anwar (ed).
Mengenang Sjahrir. Jakarta, PT. Gramedia, hal. 272.
28
Ibid., hal. 277.
29
Rudolf Mrazek. 1996. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta: hal 585.
30
R.Z. Leirissa, 2006. Op. Cit., hal. 53.
31
P. Sanders . 1980. Op. Cit.: hal 279.
32
Anak Agung saat dipilih menjadi anggota kabinet Petama NIT, masih menjabat
Kepala Swapraja Gianyar. Ia menegaskan, banyak kritik bahwa NIT ciptaan Van
Mook dan Pemerintah Hindia Belanda, tidak seluruhnya benar. Semua
berproses dengan musyawarah dan perundingan setara antar semua peserta.
Apalagi konsep NIT yang semula memperjuangkan kembalinya kekuasaan
kolonial, ditentang habis-habisan oleh konferensi. Usul wakil-wakil daerah dan
golongan murnipikiran nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan sejati.
Selanjutnya, sebagai tokoh lokal kemudian ia berhasil menjadi tokoh nasional,
hal ini tidak terlepas dari perannya dalam mendukung Republik sesuai cita-
citanya yakni membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS). Selanjutnya, ia
dipercaya oleh Sukarno dalam formatur Kabinet RIS sebagai Menteri Dalam
Negeri. Pada masa kembali ke Negara kesatuan, ia dipilih menjadi Menteri Luar
Negeri masa Kabinet Burhanuddin Harahap. (Aco Marnafe. 2007. Op. Cit: hal
120).
33
Ibid., hal 167.
34
Ide Anak Agung Gde Agung. 1983. Op. Cit., hal. 333.
35
Leirissa, 2006. Op. Cit.: hal. 108.
36
Ibid., hal. 111.
37
Ide Anak Agung Gde Agung.1983. Op. Cit., hal. 369.
38
Ibid.: 119.
39
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah.
Jakarta, van Hoeve dan Depdikbud: hal. 230.
40
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian. Ibid., hal 232.
41
Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Op. Cit., hal. 565.
42
Ibid.
43
R.Z. Leirissa. 2006. Op. Cit.: hal 278.

173
Pengayaan Materi Sejarah

44
K.M.L Tobing, 1987. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia KMB. Jakarta, CV Haji
Masagung, hal. 151.
45
O.K.M.L. Tobing. 1987. Op. Cit., hal. 224.
46
Ibid.
47
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid., hal 232.
50
Ide Anak Agung Gde Agung. 1983. Op. Cit., hal. 324.
51
Ibid., hal 329.
52
Ibid.
53
Ibid., hal 330.
54
Nugroho Notosusanto. 1985. Ikhtisar Sejarah RI (1945 –Sekarang). Jakarta, Pusat
Sejarah ABRI, hal. 45.
55
Ibid., hal 47.

174
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 3
Masa Demokrasi Parlementer
1950 - 1959

3.1. Pendahuluan
Masa demokrasi parlementer yang dipaparkan di sini
berlangsung sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Pada masa
tersebut Pemerintah RI menggunakan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) Tahun 1950 dan melaksanakan sistim demokrasi
parlementer secara penuh. Masa tersebut sering disebut juga masa
demokrasi liberal. Herbert Feith menyebubutnya “demokrasi
konstitusional” sebagaimana dipakai sebagai judul bukunya. Wilopo
berdasarkan pengalamannya sebagai perdana menteri menyebutnya
“zaman pemerintahan partai-partai”.
Pada masa revolusi, setelah kabinet RI pertama dibubarkan, ada
empat kabinet yang jatuh bangun, yaitu Kabinet Sutan Syahrir pertama,
Kabinet Syahrir kedua, Kabinet Syahrir ketiga, dan Kabinet Amir
Syarifuddin. Pada masa revolusi, sistem demokrasi parlementer telah
dipraktekkan di bawah UUD 1945 tanpa ada perubahan.
Uraian tentang masa demokrasi parlementer dimulai dengan
mengemukakan bagaimana terbentuknya kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dari Repubik Indonesia Serikat (RIS). Setelah
NKRI terbentuk yang menggunakan UUDS 1950, dipaparkan secara
kronologis pemerintahan kabinet-kabinet yang jatuh bagun. Sejak tahun
1950 hingga tahun 1959 terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Ketujuh
kabinet itu akan dipaparkan sejak Kabinet Mohammad Natsir
(September 1950 – April 1951) hingga Kabinet Djuanda (Juanda) (April
1957 – Juli 1959). Kabinet-kabinet itu diuraikan secara ringkas tentang
bagaimana kabinet-kabinet tersebut dibentuk setelah seorang atau dua
orang ditunjuk oleh presiden sebagai formatur kabinet. Kemudian,
diuraikan mosi-mosi dalam DPR yang menghendaki suatu kabinet jatuh.
Akhirnya, diuraikan mengapa suatu kabinet jatuh kemudian perdana
menteri menyerahkan kembali mandat kepada presiden. Setelah

175
Pengayaan Materi Sejarah

presiden menerima kembali mandat, ia menunjuk seorang atau lebih


untuk membentuk kabinet baru.
Selanjutnya dipaparkan tema-tema atau peristiwa-peristiwa penting
pada masa itu. Pemaparan tema-tema tersebut dilakukan secara
kronologis, yaitu tentang penumpasan terhadap pemberontakan-
pemberontakan di awal tahun 1950-an yaitu pemberontakan APRA,
Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS, dan Pemberontakan
DI/TII, Peristiwa 17 Oktober 1952, Konferensi Asia Afrika, Pemilihan
umum tahun 1955, Deklarasi Juanda, Pemberontakan PRRI,
Pemberontakan dan Permesta, Kembali ke UUD 1945, dan terakhir
Penutup.

3.2. Terbentuknya Kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia


Sistem pemerintahan federal (serikat) yang terbentuk karena
hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) hanya bertahan selama kurang
lebih enam minggu. Sesudah itu, sistem pemerintahan tersebut mulai
goyah karena banyaknya tuntutan dari rakyat (arus bawah) untuk
menggantinya dengan sistem pemerintahan unitaris (kesatuan).
Gerakan menuju negara kesatuan itu berlangsung selama tujuh bulan
pertama tahun 1950.
Gerakan menuju negara kesatuan itu terlihat kuat. Menurut
kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dipandang sebagai alat
pengawasan Belanda terhadap Indonesia. Kebanyakan bangsa Indonesia
tidak puas terhadap sistem tersebut. Di lima belas negara bagian
ciptaan Belanda, ketidakpuasan itu diwujudkan dalam bentuk tuntutan-
tuntutan massa. Mereka serempak menuntut agar federalisme dihapus
dan daerah-daerah bagian itu dilebur, kemudian digabungkan dengan
Negara RI. (Waktu RIS, RI sebagai salah satu negara bagian). Gerakan-
gerakan itu mendapat dorongan semangat dari pemerintah negara
bagian RI, Presiden Sukarno, dan kaum republiken terkemuka dalam
pemerintah RIS (Idas, h. 12).
Rakyat di negara-negara bagian umumnya menuntut agar
wilayahnya dikembalikan kepada Negara RI. Di Negara Pasundan,
gerakan rakyat ditanggapi positif oleh parlemen negara bagian itu.
Tuntutan itu dijadikan mosi Parlemen yang diajukan oleh Suyoso dkk.
dari Fraksi Indonesia. Mosi itu meminta agar Penerintah negara
Pasundan menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah RIS. Akibat
dari mosi itu, pada akhir bulan Desember 1949 Perdana Menteri (PM)
Negara Pasundan Mr. Djumhana Wiraatmadja (Jumhana Wiriaatmaja)

176
Pengayaan Materi Sejarah

menyerahkan mandat kepada Wali Negara Pasundan R.A.A.


Wiranatakusuma. Kemudian Wali Negara Pasundan menunjuk Anwar
Tjokroaminoto (Cokroaminoto) dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 10 Januari 1950, kabinet baru
terbentuk, dipimpin oleh Anwar Tjokroaminoto (Anwar Cokroaminoto).
Program kabinet menitikberatkan pada penyempurnaan ketatanegaraan
Negara Pasundan sesuai kehendak rakyat dan masalah keamanan.
(Pedoman, 11 Januari 1950).
Pada tanggal 25 Januari 1950, Parlemen Negara Pasundan
mengajukan mosi tidak percaya kepada kabinet. Mosi yang didukung
oleh semua fraksi menuntut agar para pemimpin Pemerintah Negara
Pasundan diganti. Karena tuntutan tersebut, Wali Negara Pasundan
mengundurkan diri.
Pada tanggal 8 Februari 1950 Pemerintah RIS membuat undang-
undang darurat mengenai penyerahan kekuasaan dari Negara Pasundan
kepada komisi negara yang ditunjuk oleh Pemerintah RIS. Dua hari
kemudian, Wali Negara Pasundan menyerahkan kekuasaan kepada
Sewaka selaku Komisaris RIS di Pasundan. (Kahin, 1995: 578).
Rakyat Pasundan menuntut agar wilayah Negara Pasundan
langsung dijadikan sebagai provinsi dari Negara RI. Pada tanggal 1
Maret 1950 Parlemen RIS menerima mosi yang diajukan oleh
Muhammad Yamin dkk. mengenai penggabungan wilayah Negara
Pasundan ke dalam Negara RI. Pemerintah RIS menyerahkan masalah
tersebut kepada Komisaris RIS di Pasundan (Ken Po, 2 Maret 1950 ).
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pada tanggal 7 Maret 1950
Sewaka membentuk Panitia Penetapan Status Pasundan (PPSP) yang
bertugas menyalurkan aspirasi rakyat Negara Pasundan. Panitia itu
dipimpin oleh B. Hadiwidjaja (Hadiwijaya) mewakili rakyat dari berbagai
golongan. Esok harinya, panitia mengadakan sidang di gedung
Parlemen Negara Pasundan. Hasilnya, Negara Pasundan dibubarkan dan
wilayahnya digabungkan ke Negara RI. Dengan Surat Keputusan
Presiden RIS No. 113 tanggal 11 Maret 1950 Pemerintah RIS secara
resmi membubarkan Negara Pasundan dan menggabungkan wilayahnya
ke Negara RI. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai Provinsi Jawa Barat.
Jabatan Sewaka sebagai Komisaris RIS untuk Negara Pasundan berakhir,
kemudian ia diangkat sebagai Gubernur Jawa Barat (Pedoman, 11
Maret 1950). Seiring dengan pembubaran Negara Pasundan,
Pemerintah RI di Yogyakarta pada tanggal 13 Maret 1950
mengeluarkan Instruksi No. 1 Tahun 1950 tentang perintah

177
Pengayaan Materi Sejarah

pembubaran semua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan


lembaga-lembaga lain di wilayah bekas Negara Pasundan.
Gerakan unitarisme terjadi juga di negara-negara/daerah-daerah
bagian lain. Di Negara Jawa Timur yang dibentuk Belanda melalui
Konferensi Jawa Timur di Bondowoso, sejak 1 Desember 1949 muncul
mosi dan resolusi dari partai-partai politik, pemuda, dan kaum buruh.
Dalam rapat DPRD Kabupaten Probolinggo bulan Desember 1949
diajukan mosi Yuwono yang menuntut agar Negara Jawa Timur
dibubarkan dan wilayahnya digabungkan ke wilayah RI. Di Trowulan,
dalam suatu rapat pada pertengahan bulan Desember 1949, diajukan
resolusi menuntut kepada wali negara dan Parlemen Sememtara Negara
Jawa Timur untuk membubarkan negara bagian tersebut dan
mengembalikan wilayah itu kepada pemerintah RI selambat-lambatnya
akhir bulan Desember 1949. Di Banyuwangi, Serikat Sekerja Pamong
Praja menyokong mosi yang menghendaki agar wilayah Jawa Timur
digabungkan ke RI. Dalam rapat “samudera” di Mojokerto dinyatakan
bahwa sejak tanggal 29 Desember 1949 penduduk Mojokerto tidak lagi
mengakui Negara Jawa Timur dan mulai hari itu wilayahnya menjadi
wilayah RI (Berita Antara, 4 Januari 1950).
Menanggapi tuntutan-tuntutan itu pada tanggal 3 Januari 1950
Pemerintah Negara Jawa Timur mengirim utusan ke Pemerintah Pusat
RIS di Jakarta. Pemerintah Negara Jawa Timur menyerahkan masalah
tersebut kepada pemerintah RIS. Pada tanggal 19 Januari 1949 Wali
Negara Jawa Timur R.T.P. Akhmad Kusumonegoro menyerahkan
kekuasaan kepada Pemerintah RIS. Melalui Keputusan Presiden No. 26
tanggal 19 Januari 1949 permintaan pengunduran diri tersebut
diterima. Pemerintah RIS kemudian menunjuk T. Samadikun sebagai
Komisaris RIS untuk Negara Jawa Timur. Pada tanggal 25 Februari 1950
diselenggarakaan konferensi di gedung DPR Sementara Negara Jawa
Timur di Surabaya. Konferensi memutuskan bahwa Negara Jawa Timur
dibubarkan dan wilayahnya digabungkan ke dalam RI menjadi bagian
dari Provinsi Jawa Timur. Dua hari kemudian, Gubernur Jawa Timut T.
Samadikun mengeluarkan instruksi kepada semua residen, bupati,
walikota, dan aparat bawahannya dari bekas Negara Jawa Timur agar
menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada pejabat RI
yang telah ditunjuk sebelumnya.
Di Negara Madura yang diresmikan oleh van Mook tanggal 20
Februari 1948, juga terdapat gerakan untuk bergabung dengan negara
RI. Aksi penggabungan wilayah Negara Madura ke dalam RI sudah

178
Pengayaan Materi Sejarah

dimulai sejak pertengahan bulan November 1949. Pada waktu itu


utusan alim ulama Madura, yaitu Mohammad Iskandar, menghadap
Presiden RIS Sukarno. Ia menyatakan kesetiaan penduduk Madura
kepada pemerintah RI. Mereka tidak mengakui Negara Madura di
bawah Wali Negara R.A.A. Tjakraningrat (Cakraningrat) dan meminta
kepada Pemerintah RI agar Madura kembali masuk sebagai keresidenan
Negara RI (Ra’jat, 16 November 1949).
Pada bulan Januari 1950, muncul resolusi dari organissasi-
organisasi massa dan serikat-serikat pekerja. Menanggapi resolusi
tersebut DPR Negara Madura pada tanggal 10 Januari 1950
menyatakan sikapnya, yaitu agar Negara Madura secepatnya
dibubarkan. Kemudian, dibentuk Panitia Pelaksana Resolusi DPR Negara
Madura dipimpin oleh R. Bagioadi. Tugas panitia adalah melaksanakan
pembubaran Negara Madura. Dalam sidang tanggal 19 Januari 1950
diputuskan antara lain agar panitia membubarkan Negara Madura
(Merdeka, 26 Januari 1950).
Penduduk Madura terus mendesak dibubarkannya Negara
Madura. Dalam Surat Keputusan No. 4 tanggal 28 Januari 1950, Wali
Negara Madura menyerahkan kekuasaan kepada DPR Negara Madura.
Dalam sidang tanggal 2 Februari 1950 dewan menganjurkan agar wali
negara menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah RIS. Memenuhi
keinginan DPR Negara Madura, Menteri Dalam Negeri RIS menugasi Mr.
Indra Kusuma sebagai Komisaris Pemerintah RIS agar mengadakan
hubungan antara pemerintah RIS, pemerintah Negara Madura, dan
rakyat Madura.
Oleh karena proses pembubaran berjalan lambat, maka pada
tanggal 14 Februari 1950, Fron Nasional Pemuda Seluruh Madura
menyatakan ketidakpuasannya. Esok harinya di Pamekasan, ibu kota
Negara Madura, diadakan demonstrasi menuntut pembubaran Negara
Madura dan mulai hari itu agar wilayah Madura digabungkan dengan
RI. Selanjutnya, pada tanggal 21 Februari 1950, empat orang wakil dari
Madura menemui Menteri Dalam Negeri RIS unutk meminta campur
tangannya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut Pemerintah RIS
mengirim Mr. Wongsonegoro (Indonesia Raja, 10 Maret 1950).
Dalam sidang Parlemen RIS tanggal 1 Maret 1950, diajukan
enam mosi dari negara-negara bagian, salah satunya adalah mosi dari
Negara Madura. Esok harinya, sidang menerima keenam mosi tersebut.
Melalui Surat Keputusan Presiden RIS No. 110 tanggal 9 Maret 1950
wilayah Negara Madura resmi digabungkan dengan RI.

179
Pengayaan Materi Sejarah

Di Negara Sumatra Selatan (NSS) rakyat menuntut agar negara


bagian itu dibubarkan. Pada tanggal 18 Januari 1950, Partai Nasional
Indonesia, Partai Katolik, Partai Indonesia Raya, Partai Sarekat Islam
Indonesia, dan Partai Sosialis Indonesia mengajukan mosi ke Parlemen
NSS agar negara bagian itu dibubarkan. Sidang Parlemen NSS pada
awal bulan Februari 1950 meminta Wali Negara NSS agar secepatnya
menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah RIS. Pada tanggal 18 Maret
1950, bertempat di Gedung Parlemen NSS, diselenggarakan upacara
serah terima kekuasaan dari Abdul Malik, Wali Negara NSS, kepada dr.
Mohamad Isa sebagai Komisaris RIS. Karena kuatnya tuntutan pemuda,
setelah upacara, Parlemen NSS memutuskan bahwa wilayah NSS masuk
wilayah RI. Pada tanggal 24 Maret 1950 Pemerintah RIS resmi
membubarkan NSS dan wilayahnya dimasukkan ke dalam wilayah
Provinsi Sumatra Selatan. Kemudian pada tanggal 22 April 1950
dilakukan pembubaran dan penyerahan Daerah Istimewa Bangka dan
Beliting kepada RI (Kementerian Penerangan, 1954: 67).
Di Sulawesi Selatan, gerakan menuju negara kesatuan mendapat
tantangan dari golongan federalis yang ingin mempertahankan Negara
Indonesia Timur (NIT). Pada bulan Maret 1950, berbagai demonstrasi
yang menuntut pembubaran NIT dan memasukkan wilayah tersebut ke
dalam RI, terjadi di Gorontalo, Poso, Donggala, Takalar, Jeneponto,
Goa, Bonthain, Palopo, dan Mandar. Seluruh daerah di Sulawesi bangkit
menuntut agar Pemerintah RIS membubarkan NIT dan memasukkan
wilayahnya ke dalam Negara RI.
Sebelum Pemerintah RIS membubarkan NIT, rakyat di Provinsi
Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) pada tanggal 17
April 1950 menyatakan melepaskan diri dari NIT dan wilayahnya
bergabung dengan RI. Di Makassar, pemerintah daerah dan Parlemen
Sulawesi Selatan mulai tanggal 26 April 1950 menyatakan melepaskan
diri dari NIT bergabung dengan RI. Mereka mendesak Pemerintah RIS
dan Pemerintah RI agar pernyataan mereka disahkan. Setelah itu
menyusul proklamasi dari daerah lain di Sulawesi yang bermaksud
melepaskan diri dari NIT dan bergabung dengan RI.
Di Kalimantan Timur, sejak awal tahun 1950 terjadi gerakan
menuntut digabungkannya wilayah tersebut ke dalam RI. DPR
Kalimantan Timur mengajukan resolusi yang mendesak kepada Dewan
Gabungan Kesultanan agar secepatnya menyerahkan kekuasaan kepada
Pemerintah RIS. Dalam resolusi itu disetujui penggabungan wilayah
Kalimantan Timur sebagai daerah otonom ke dalam Negara RI. Selain di

180
Pengayaan Materi Sejarah

Kalimantan Timur, di Kalimantan Selatan juga ada tuntutan agar


wilayah tersebut digabungkan dengan RI.
Di negara bagian Kalimantan Barat, gerakan untuk
menggabungkan wilayah itu ke dalam Negara RI tidak berhasil, namun
rakyat berhasil membubarkan Dewan Daerah Istimewa. Setelah Sultan
Hamid Algadrie dipenjara karena keterlibatannya dalam gerakan APRA,
gerakan rakyat untuk membubarkan dan menggabungkan negara
bagian itu dengan RI makin kuat. Pada tanggal 22 April 1950 tuntutan
mereka dikabulkan (Kahin, 1995: 579).
Di NIT timbul krisis di kabinet. Golongan republiken yang
sebelumnya mendukung NIT berusaha untuk membubarkan negara
bagian tersebut dan memasukkan wilayahnya ke dalam Negara RI.
Dalam sidang tanggal 22 April 1950 Parlemen NIT menerima mosi tidak
percaya terhadap Pemerintah NIT. Mosi itu meminta agar Pemerintah
NIT meletakkan jabatan dan membentuk pemerintah baru yang
mewakili semua golongan di Parlemen. Oleh karena mosi tersebut, PM
Diapari meletakkan jabatan. Sebagai penggantinya ditunjuk Ir. J.
Putuhena dengan syarat agar kabinet yang dibentuk mempunyai
program utama membubarkan NIT. Tanggal 9 Mei 1950 Putuhena
berhasil membentuk kabinet. Program kabinet memasukkan NIT ke
dalam Negara RI secepatnya dan mengadakan perundingan dengan
Pemerintah RIS dan Pemerintah RI.
Oleh karena rakyat NIT tidak sabar menunggu pembubaran NIT,
maka muncul mosi-mosi dan resolusi-resolusi dari rakyat ke Pemerintah
RIS. Mereka mendesak agar Pemerintah RIS secepatnya membubarkan
NIT dan memasukkan wilayahnya ke dalam RI. Pada tanggal 12 Mei
1950 PM Putuhena dan Menteri Penerangan Henk Rondonuwu
(delegasi Pemerintah RI) serta Saleh Sungkar dan E.U. Pupella (delegasi
Parlemen NIT) pergi ke Jakarta untuk berunding dengan Pemerintah RIS.
Delegasi tersebut menyerahkan mandat kepada PM Mohammad Hatta
untuk berunding dengan Pemerintah RI tentang pembentukan negara
kesauan. Piagam persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI
tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Rakyat NIT tetap mendesak
Pemerintah RIS untuk membubarkan NIT dan memasukkan wilayahnya
ke dalam Negara RI.
Di Negara Sumatra Timur (NST) gerakan menuntut pembubaran
negara itu dan kembali ke negara kesatuan tidak jauh berbeda dengan
gerakan yang terjadi di daerah-daerah lain. Aksi-aksi dilakukan dengan
cara demonstrasi, penyampaian resolusi, mosi, dan membacakan

181
Pengayaan Materi Sejarah

proklamasi. Kemudian, berhubung makin hebatnya tuntutan rakyat


untuk membubarkan NST, muncul inisiatif dari Fron Nasional se-
Sumatra Timur untuk mengorganisasikan aksi-aksi rakyat yang
diwujudkan dalam bentuk kongres rakyat.
Rakyat di negara-negara bagian menuntut pembubaran daerah
bagian mereka. Mereka ingin bergabung dengan RI dan Pemerintah RIS
memenuhi keinginan itu. Saat terjadi gerakan, tuntutan mereka diterima
oleh sidang DPR-RIS dan tuntutan itu dijadikan sebagai mosi lembaga.
Oleh karena persetujuan tersebut, maka digabungkanlah hampir semua
daerah bagian itu secara konstitusional kepada RI kecuali NST dan NIT.
Oleh karena desakan yang kuat dari rakyat NST dan NIT, maka negara
bagian itu menyatakan keinginan mereka untuk bergabung dengan
wilayah RI. Untuk menyelesaikan penggabungan dan membentuk
negara kesatuan, sidang Kabinet RIS pada tanggal 19 April 1950
memutuskan untuk mengadakan konferensi segi empat antara RIS – NIT
– NST – RI. Namun konferensi segi empat tersebut batal karena NST dan
NIT memberi kuasa kepada pemerintah RIS (Antara, 13 Mei 1950).
Setelah konsep negara kesatuan rancangan RIS disepakati oleh
RI, NST, dan NIT, pada tanggal 19 Mei 1950 diadakan rapat pertama di
Jakarta. Delegasi Pemerintah RIS dipimpin oleh PM Mohammad Hatta
dan delegasi Pemerintah RI dipimpin oleh dr. A. Halim. Kedua belah
pihak menyetujui pembentukan suatu negara kesatuan yang tertuang
dalam Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
Republik Indonesia. Kedua pemerintah menyetujui mengenai UUDS
yang diperoleh dengan mengubah Konstitusi RIS sedemikian rupa
sehingga esensi UUD RI masuk di dalamnya. Kedua belah pihak
menyetujui pembentukan Panitia Bersama yang bertugas
menyelenggarakan pembentukan negara kesatuan tersebut dalam
waktu secepatnya. Pada tanggal 3 Juni 1950 Panitia Bersama itu dilantik
oleh Presiden Sukarno. Tanggal 29 Juni 1950 mereka berhasil menyusun
Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara (RUUDS) negara
kesatuan. Esok harinya, RUUDS tersebut diserahkan Panitia Bersama
kepada Pemerintah RIS dan Pemerintah RI untuk dibahas.
Tanggal 11 Juli 1950 Pemerintah RIS mengadakan sidang
kabinet untuk membicarakan RUUDS Negara Kesatuan RI. Tanpa banyak
perubahan pemerintah RIS menerima baik RUUDS tersebut. Pada waktu
yang bersamaan pemerintah RI juga melakukan hal yang sama dan
hasilnya menerima baik RUUDS. Selanjutnya, tanggal 26 Juli pemerintah

182
Pengayaan Materi Sejarah

RI menyerahkan RUUDS kepada Badan Pekerja (BP) KNIP. Esok harinya


Pemerintah RIS mengajukan RUUDS kepada DPR dan Senat.
DPR RIS pada tanggal 8 – 14 Agustus 1950 mengadakan sidang
pleno untuk membicarakan RUUDS tersebut. Dengan pertimbangan
keadaan yang mendesak, mereka menerima dan menyetujui RUUDS
tersebut. Pada waktu yang sama Senat dengan suara bulat menerima
RUUDS. Pada tanggal 12 Agustus BP KNIP mengadakan sidang untuk
membahas RUUDS. Setelah melalui perdebatan yang sengit BP KNIP
menerima RUUDS.
Pada tanggal 15 Agustus, di muka sidang gabungan DPR RIS
dan Senat, Presiden RIS Sukarno mengumumkan “Piagam Pernyataan
Terbentuknya Negara Kesatuan”. Pada hari itu juga Presiden RIS Sukarno
menandatangani RUUDS yang kemudian terkenal sebagai Undang-
Undang Dasar Sementara RI Tahun 1950. UUDS juga ditandatangani
oleh PM RIS Mohammad Hatta dan Menteri Kehakiman RIS Prof. Dr. Mr.
Supomo. UUDS mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Setelah
Presiden menerima penyerahan mandat dari Pejabat Presiden RI Mr.
Assaat, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dilantik
sebagai Kepala Negara RI.
Menurut UUDS 1950, kabinet secara keseluruhan atau masing-
masing menteri bertanggungjawab kepada DPR. Bahkan selama periode
sementara (sebelum ada pemilihan umum) DPR mempunyai hak untuk
memaksa kabinet atau seorang menteri untuk mengundurkan diri.
Menurut UUDS 1950 ada tiga macam penguasa yaitu presiden, kabinet,
dan DPR. Kekuasaan presiden besar sekali. Presiden juga memiliki hak
untuk membubarkan DPR dan mengadakan pemilihan umum baru.
Presiden juga dapat membentuk dewan menteri dan menunjuk satu
atau lebih formatur kabinet yang selanjutnya menunjuk menteri-menteri.
Pada tanggal 16 Agustus 1950 Presiden Sukarno melantik
anggota DPR Sementara NKRI. Lembaga itu dipimpin oleh dr. Radjiman
(dr. Rajiman) Wedyodiningrat. Tanggal 17 Agustus Presiden Sukarno
mengucapkan pidato pemproklamasian kembali Negara Kesatuan RI.
Pada hari itu Negara RIS menjelma menjadi Negara Kesatuan RI. Setelah
UUDS 1950 diresmikan, wilayah Indonesia dibagi menjadi 10 provinsi
yaitu Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra Tengah, Provinsi Sumatra
Selatan, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur,
(termasuk Madura), Provinsi Kalimantan, Provinsi Sulawesi, Provinsi
Maluku, dan Provinsi Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Flores, Solor, Alor, dan Timor).

183
Pengayaan Materi Sejarah

3.3. Kabinet Jatuh Bangun


3.3.1. Kabinet Sebelum Pemilihan Umum 1955
Tidak lama setelah diresmikan pembentukan negara kesatuan,
Presiden Sukarno segera mengadakan perundingan dengan wakil-wakil
sebagian besar partai-partai politik untuk mendengarkan pendapat
mereka mengenai komposisi dan program kabinet. Tanggal 22 Agustus
1950 Presiden menunjuk Ketua Dewan Pimpinan Masyumi Mohammad
Natsir sebagai formatur karena Masyumi mempunyai jumlah kursi
terbanyak di Parlemen (50 dari 237). Pada awalnya Natsir mengalami
kesulitan dalam pembentukan kabinet, tetapi akhirnya ia berhasil
membentuk kabinet dengan petunjuk presiden.
Kabinet Natsir diumumkan tanggal 6 September 1950 dan esok
harinya, diambil sumpah. Kabinet tersebut merupakan kabinet koalisi
antara beberapa partai politik. Partai-partai politik yang ikut dalam
kabinet adalah Persatuan Indonesia Raya (PIR, 18 kursi), Partai Sosialis
Indonesia (PSI) pimpinan Syahrir (16 kursi), Fraksi Demokrat (11 kursi),
Partai Indonesia Raya (Parindra, 9 kursi), Partai Katolik (8 kursi), Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII, 5 kursi), dan Parkindo (4 kursi). Di samping
itu ada menteri-menteri nonpartai. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
mempunyai 41 kursi di DPR tidak diikutsertakan dalam pemerintahan
karena menolak duduk dalam kabinet setelah tuntutan-tuntutannya
tidak dipenuhi oleh formatur. Dengan demikian, PNI menjadi oposisi
utama bersama PKI dan partai-partai kiri lainnya (Wilopo, 1976: 21).
Ada dua partai yang tidak duduk dalam kabinet tetapi mengambil sikap
netral, yaitu Partai Buruh pimpinan S.M. Abidin dan Barisan Tani
Indonesia (BTI).
Setelah kabinet mengajukan program ke DPR, kabinet mendapat
serangan dari fihak oposisi. Menurut mereka, pembentukan kabinet
bertentangan dengan aturan parlementer. Pada bulan Desember 1950
di Parlemen diajukan mosi Hadikusumo (PNI) yang menuntut dicabutnya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 1950 dan pembekuan DPRD-
DPRD yang terbentuk berdasarkan PP tersebut. Mosi itu diterima, dan
diantara mereka yang menyetujui terdapat fraksi-fraksi pemerintah,
yaitu Fraksi PIR, Fraksi Parindra, dan Fraksi Parkindo.
Selain kesulitan-kesulitan tersebut, Natsir juga menghadapi
kesulitan dari partainya sendiri. Pada tanggal 20 Maret 1951 PIR yang
merupakan partai pendukung kabinet, menarik menterinya dari kabinet.
Oleh karena kejadian-kejadian tersebut, timbul krisis kabinet. Akhirnya
tanggal 21 Maret PM Natsir mengembalikan mandat kepada presiden.

184
Pengayaan Materi Sejarah

Setelah Kabinet Natsir jatuh, PNI diberi kesempatan untuk


membentuk cabinet. Presiden menunjuk Mr. Sartono (PNI) sebagai
formatur untuk membentuk kabinet. Dalam usahanya membentuk
kabinet yang berintikan PNI dan Masyumi (dua partai terkuat di DPR)
Sartono menemui kegagalan karena adanya sikap yang berlawanan
mengenai masalah perpajakan, penyelesaian masalah Irian Jaya, dan
sistim pemilihan anggota-anggota DPRD. Pada tanggal 18 April 1951
Sartono mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Pada hari itu juga presiden menunjuk dua orang formatur yaitu
Sidik Djojosukarto (Joyosukarto) dari PNI dan dr. Sukiman Wirjosandjojo
(Wiryosanjoyo) dari Masyumi untuk membentuk kabinet koalisi. Mereka
pun mengalami kesulitan. Setelah melalui kompromi dan tawar-
menawar tentang program dan personalianya, akhirnya kabinet koalisi
PNI dan Masyumi berhasil dibentuk. Dr. Sukiman sebagai perdana
menteri dan Suwirjo (Suwiryo) dari PNI sebagai Wakil Perdana Menteri.
Kabinet selain didukung oleh Masyumi dan PNI juga didukung oleh PIR,
Partai Katholik, Parkindo, Parindra, Partai Buruh, Fraksi Demokrat, dan
dua orang tidak berpartai.
Setelah kabinet bekerja, tampak bahwa setiap partai yang duduk
dalam kabinet berusaha merealisasikan program politik mereka masing-
masing. Hal tersebut menjadi benih-benih keretakan yang melemahkan
kabinet. Misalnya, Menteri Dalam Negeri Mr. Iskak (dari PNI) segera
mengeluarkan instruksi untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang
terbentuk atas dasar PP No. 39 tahun 1950. Tindakan tersebut
menimbulkan tetangan dari Masyumi. Contoh lain, Menteri Kehakiman
Muhammad Yamin yang tanpa persetujuan dari Perdana Menteri dan
anggota-anggota kabinet lainnya membebaskan 950 orang tahanan
SOB. Ia kemudian meletakkan jabatan setelah kebijakannya ditentang
oleh Perdana Menteri dan golongan militer.
Masalah lain yang menggoyahkan kabinet, adalah tindakan
Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo (Subarjo) yang bersedia menerima
bantuan Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat Mutual Security Act
(MSA). Tindakan tersebut dianggap sebagai langkah kebijakan politik
luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan
strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar
negeri bebas aktif. Masyumi menetang, bahkan Mohammad Natsir
sebagai pimpinan partai menyatakan tidak bertanggung jawab atas hal
tersebut.

185
Pengayaan Materi Sejarah

Akibat penandatanganan perjanjian tersebut, di DPR diajukan


mosi Sunarjo (Sunaryo) dari PNI yang menegaskan agar semua
perjanjian internasional disahkan oleh DPR. Tidak lama kemudian
menyusul pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandat kepada
presiden. Akhirnya dengan didahului oleh pengunduran diri Menteri
Luar Negeri Ahmad Subarjo, PM Sukiman pada tanggal 23 Februari
1952 menyerahkan mandat kepada presiden.
Dengan jatuhnya Kabinet Sukiman terlihat bahwa dalam waktu
dua tahun sejak negara kesatuan terbentuk, kabinet dua kali berganti.
Pada tanggal 1 Maret 1952 Presiden Sukarno menunjuk Sidik
Joyosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito menjadi formatur.
Presiden minta agar dibentuk sebuah kabinet yang kuat dan mendapat
dukungan cukup dari parlemen. Usaha kedua formatur tersebut gagal
karena tidak ada kesepakatan tentang calon-calon yang didudukkan
dalam kabinet. Pada tanggal 19 Maret kedua formatur itu
mengembalikan mandat kepada presiden.
Presiden kemudian menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai
formatur. Pada tanggal 30 Maret Wilopo mengajukan susunan
kabinetnya yang terdiri dari PNI dan Masyumi, masing-masing
mendapat jatah empat orang. Partai-partai lain adalah PSI dua orang,
PKRI, Parkindo, Parindra, Partai Buruh, dan PSII masing-masing satu
orang, dan golongan nonpartai tiga orang. Dalam menentukan susunan
personalia kabinetnya Wilopo mengusahakan suatu tim yang padu
sebagai zaken kabinet.
Program Kabinet Wilopo terutama ditujukan pada persiapan
pemilihan umum, kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan.
Program luar negeri terutama ditujukan pada penyelesaian hubungan
Indoensia – Belanda, pengembalian Irian Barat ke Indonesia, dan
menjalankan politik bebas - aktif menuju perdamaian dunia.
Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-
baiknya. Akan tetapi banyak kesukaran yang dihadapinya. Di antara
kesukaran-kesukaran itu adalah timbulnya provinsialisme bahkan
separatisme. Di beberapa tempat di Sumatra dan Sulawesi timbul rasa
tidak puas terhadap pemerintah pusat. Alasan utama mereka adalah
karena tidak seimbangnya alokasi keuangan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Daerah merasa bahwa
sumbangan yang mereka berikan kepada pusat lebih besar dari pada
yang dikembalikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Mereka juga menuntut diperluasnya otonomi daerah.

186
Pengayaan Materi Sejarah

Selain soal kedaerahan, timbul persoalan dalam Angkatan Darat


yang terkenal dengan nama Peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa itu
dimulai dengan perdebatan sengit di DPR selama berbulan-bulan
mengenai masalah pro dan kontra kebijakan Menteri Pertahanan dan
pimpinan Angkatan Darat. Perkembangan di DPR kian meningkat
dengan diajukannya mosi tidak percaya terhadap Menteri Pertahanan
dan menuntut diadakannya reorganisasi Kementerian Pertahanan dan
Angkatan Perang. Aksi pihak politisi itu akhirnya menimbulkan reaksi
keras dari pihak Angkatan Darat. Akhirnya meletuslah suasana yang
panas dan tegang itu yaitu adanya demonstrasi di muka Istana Negara.
Kejadian tersebut kemudian terkenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober
1952”.
Masyumi dalam pernyataannya pada akhir bulan Oktober 1952
menolak pembubaran DPR dengan jalan yang inkonstitusional dan
menghendaki supaya DPR bersidang. Dalam perkembangan selanjutnya
hubungan antara PNI dan Masyumi menjadi renggang lagi. Akibat
peristiwa itu kedudukan kabinet menjadi goyah.
Kedudukan kabinet semakin goyah karena masalah tanah di
Sumtra Timur yang terkenal dengan “Peristiwa Tanjung Morawa”.
Peristiwa itu terjadi karena pemerintah, sesuai dengan Persetjuan KMB,
mengizinkan pengusaha asing kembali mengusahakan tanah-tanah
perkebunan. Pemerintah mengembalikan tanah Deli Planters
Vereeniging (DPV) kepada pengusaha asing. Tanah tersebut sudah
ditinggalkan bertahun-tahun dan digarap oleh petani Sumatra Utara
(Cina dan Indonesia). Petani penggarap yang dihasut oleh kader-kader
PKI menolak untuk meninggalkan tanah garapan mereka. Pada tanggal
16 Maret 1953 Gubernur Sumatra Utara A. Hakim (Masyumi)
memerintahkan satuan polisi mentraktor tanah tersebut. Para
penggarap melawan yang mengakibatkan jatuhnya korban, lima orang
meninggal (4 Cina dan 1 Indonesia) dan beberapa orang ditangkap.
Peristiwa tersebut mendapat sorotan tajan baik dari pers maupun DPR.
Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak
percaya terhadap Menteri Dalam Negeri (Masyumi). Dalam mosi itu
disampaikan tuntutan agar pemerintah menghentikan usaha
pengosongan tanah tersebut dan semua tahanan dibebaskan. Sebagian
anggota DPP PNI mendesak agar gubernur meletakkan jabatan.
Akibatnya pada tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada presiden.

187
Pengayaan Materi Sejarah

Untuk membentuk kabinet baru yang diharapkan mendapat


dukungan dari DPR pada tanggal 15 Juni 1953 Presiden Sukarno
menunjuk Mohammad Rum (Masyumi) dan Sarmidi Mangunsarkoro
(PNI) sebagai formatur. Namun mereka gagal mencapai kesepakatan.
Sebab utamanya adalah ketidaksepakatan mengenai berbagai
persoalan, yaitu masalah penyerobotan tanah perkebunan di Sumatra
Timur, pertambangan minyak di Sumatra Utara, ratifikasi Perjanjian San
Francisco, dan masalah pembukaan kedutaan besar Indonesia di
Moskow (Wilopo, 1976: 34). Tanggal 24 Juni 1953 mereka
mengembalikan mandat kepada presiden.
Presiden kemudian menunjuk formatur baru yaitu Mukarto
Notowidagdo (PNI). Ternyata ia pun tidak berhasil mencapai
kesepakatan dengan Masyumi mengenai komposisi dan personalia
kabinet. Kemudian, untuk kedua kalinya Mukarto ditunjuk lagi sebagai
formatur dengan tugas membentuk zaken kabinet yang mendapat
dukungan cukup dari DPR. Penunjukan yang kedua kalinya juga gagal.
Pada tanggal 18 Juli 1953 Mukarto mengembalikan mandat kepada
presiden.
Presiden Sukarno kemudian menunjuk Mr. Wongsonegoro (PIR)
sebagai formatur tunggal. PIR termasuk partai sedang (17 kursi di DPR).
Waktu itu PIR menempati kedudukan ketiga setelah Masyumi dan PNI.
Ia berhasil membentuk kabinet dengan menghimpun partai-partai kecil
sebagai pendukungnya. Pada tanggal 30 Juli kabinet baru tersebut
dilantik tanpa mengikutsertakan Masyumi tetapi memunculkan
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan baru. Ali Sastroamijoyo
diangkat sebagai perdana menteri dan Wongsonegoro (PIR) serta Zainul
Arifin (NU) sebagai wakil perdana menteri. Kabinet ini dikenal dengan
nama Kabinet Ali Sastroamijoyo I atau Kabinet Ali – Wongso. Kabinet
tersebut untuk pertama kali dalam masa demokrasi parlementer
mempunyai dua wakil perdana menteri. NU untuk pertama kali ikut
dalam pemerintahan setelah memisahkan diri dari Masyumi. Kabinet
didukung oleh PNI, PIR, NU, PRN, Parindra, Partai Buruh, PSII, Fraksi
Progresisf, SKI, dan BTI. Dalam kabinet hanya ada seorang menteri
nonpartai. Dukungan Parlemen sangat meyakinkan ketika diadakan
pemungutan suara (Wilopo, 1976: 35).
Pada masa Kabinet Ali I suasana kampanye pemilihan umum
sudah mempengaruhi kehidupan kepartaian dan masyarakat. Pada
tanggal 31 Mei 1954 dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat diketuai

188
Pengayaan Materi Sejarah

oleh Hadikusumo (PNI). Ketua panitia mengumumkan bahwa pemilihan


umum untuk parlemen akan diadakan tanggal 29 September 1955.
Dalam bidang politik, kabinet melakukan penggantian pejabat-
pejabat tinggi pemegang posisi kunci di kemnterian-kementerian. Di
bidang perekonomian, Menteri Perekonomian lebih mengutamakan
kebijakan Indonesianisasi yaitu mendorong tumbuh berkembangnya
pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka
merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Di bidang
politik luar negeri, Kabinet Ali sebagai mengambil inisiatif dan menjadi
tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di
Bandung bulan April 1955. Konferensi diselenggarakan dalam suasana
perang dingin. Hasilnya sangat baik dengan mengemukakan dalil-dalil
Dasa Sila Bandung yang merupakan jawaban terhadap imperialisme.
Berkaitan dengan kebijakan di bidang ekonomi, muncul mosi
tidak percaya Tjikwan (Cikwan) dari Masyumi terhadap menteri
Perekonomian. PIR Hazairin menghendaki agar kabinet mengundurkan
diri. PSII menuntut pengunduran diri beberapa menteri dari PNI.
Kemudian muncul mosi Yusuf Wibisono yang menyatakan tidak percaya
terhadap kabinet sebagai keseluruhan. Disusul desakan partai-partai
pendukung pemerintah agar kabinet mengundurkan diri. Akhirnya PM
Ali Sastroamijoyo I pada tanggal 24 Juli 1955 menyerahkan mandat
kepada Wakil Presiden (waktu itu Presiden Sukarno sedang menunaikan
ibadah haji) (Wilopo, 1976: 42).
Setelah Kabinet Ali Sastroamijoyo I menyerahkan mandat, pada
tanggal 29 Juli 1955 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan
tiga orang formatur yaitu Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Assaat
(nonpartai) untuk membentuk kabinet. Kabinet baru bertugas untuk
mengembalikan kewibawaan pemerintah, melaksanakan pemilihan
umum sesuai rencana, dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ternyata mereka gagal membentuk kabinet. Pada tanggal 3 Agustus
1955 ketiga formatur tersebut mengembalikan mandat kepada wakil
presiden.
Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian menujuk Mr.
Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Formatur
mendekati PNI dan menawarkan jabatan sebagai Wakil Perdana
Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pekerjaan Umum. Namun,
karena terjadi perbedaan pendapat antara formatur dan PNI dalam
penunjukan orang-orangnya, terjadilah jalan buntu. Namun kemudian
pada tanggal 11 Agustus 1955 Burhanuddin berhasil membentuk

189
Pengayaan Materi Sejarah

kabinet tanpa PNI. Kursi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan


dipegang Burhanuddin Harahap, sedangkan dua Wakil Perdana Menteri
masing-masing dijabat oleh Djanu (Janu) Ismadi dari PIR Hazairin dan
Harsono Tjokroaminoto (Cokroaminoto) dari PSII. Partai-partai lain yang
diikutsertakan adalah NU, PSI, Katolik, PRN, Parindra, PRI, Fraksi
Demokrat, dan Partai Buruh (Wipolo, 1976: 43).
Program kabinet sebagaimana telah dijanjikan adalah
melaksanakan pemilihan umum tanggal 29 September 1955 sesuai
pengumuman Panitia Pemilihan Umum. Golongan oposisi mendesak
agar pemilihan umum dilaksanakan secepat mungkin. Dalam kabinet
ada yang menghendaki agar pemilihan umum ditunda karena persiapan
belum selesai, tetapi ada pula yang menuntut agar pemilihan umum
tetap dilaksanakan pada waktu yang telah ditetapkan.
Pada tanggal 29 September 1955 dilaksanakan pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR. Pemilihan umum untuk memilih anggota
Konstituante diselenggarakan tanggal 15 Desember 1955. Suasana
menghadapi pemilihan anggota Konstituante lebih tenang dari pada
ketika menghadapi pemilihan umum untuk anggota DPR. Kedua Pemilu
tersebut menunjukkan partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Hampir
90% pemilih yang terdaftar memberikan suara.
Sementara itu, dalam pemerintahan terjadi ketidaktenangan
karena banyak mutasi dilakukan di beberapa kementerian. Hal tersebut
merupakan salah satu faktor adanya desakan agar PM Burhanuddin
Harahap mengembalikan mandat kepada presiden. Pada tanggal 3
Maret 1956 kabinet Burhanudin Harahap jatuh.

3.3.2. Kabinet Setelah Pemilihan Umum 1955


Setelah DPR terbentuk pada tanggal 20 Maret 1956 dan dilantik
oleh kepala negara (berjumlah 272 orang), disusun kabinet. Dari
imbangan partai-partai dalam DPR, maka kabinet yang akan dibentuk
harus merupakan kabinet koalisi. Ali Sastroamijoyo dari PNI ditunjuk
presiden sebagai formatir. Penunjukannya berdasarkan pertimbangan
karena PNI telah mendapat kelebihan suara 530.767 dibandingkan
dengan Masyumi. Di DPR kedua partai itu sama-sama mempunyai 57
kursi. (Wilopo, 1976: 57).
Pembentukan kabinet pasca pemilu ini sangat lancar,
dibandingkan dengan pembentukan kabinet sebelum pemilu. Formatur
mengadakan hearing dengan partai-partai yang diduga bersedia duduk
dalam kabinet. Kabinet yang akan dibentuk adalah kabinet koalisi. PNI

190
Pengayaan Materi Sejarah

berpendirian bahwa kabinet yang paling baik adalah koalisi antara PNI,
Masyumi, dan NU, karena ketiga partai tersebut bersama-sama
menguasai 159 suara dari 272 suara di DPR. Akan tetapi untuk
memperkuat kedudukan pemerintah di Parlemen, diikutsertakan juga
partai-partai kecil yaitu PSII, Perti, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI.
Partai-partai tersebut bersama-sama mempunyai 30 kursi di DPR.
Dengan demikian kabinet dapat dukungan 189 suara dalam DPR.
Kabinet yang tidak mengikutsertakan PKI ternyata
mengecewakan presiden. Presiden menghendaki ikut duduknya PKI
dalam kabinet sebagai salah satu partai “empat besar”. Akan tetapi
presiden akhirnya menyetujuai susunan kabinet. Kabinet baru tersebut
mendapat tentangan dari PSI dan PKI karena kedua partai tersebut tidak
diikutsertakan.
Program kabinet koalisi nasionlais – Islam yang dipimpin oleh
PM Ali Sastoamijoyo ini cukup luas. Program kabinet diantaranya
menyelesaikan pembatalan seluruh Perjanjian KMB secara unilateral dan
meneruskan perjuangan Irian Jaya. Program dalam negeri memulihkan
keamanan, menyempurnakan koordinasi alat-alat negara terutama
dalam tindakan pemulihan keamanan. Pada tanggal 9 April 1956
pemerintah memberikan keterangan kepada DPR tentang programnya
yang dinamakan “Program Pembangunan Nasional”. (Wilopo, 1966:
47). Kabinet baru ini mendapat kepercayaan penuh dari Presiden
Sukarno.
Setelah DPR memberi kesempatan kepada Kabinet Ali II,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pembatakan
Perjanjian KMB. Tanpa kesulitan rancangan tersebut disetujui oleh DPR
dan pada tanggal 3 Mei 1956 ditandatangani oleh presiden.
Keberhasilan tersebut kemudian disusul oleh keberhasilan-keberhasilan
lainnya antara lain pembentukan Propinsi Irian Jaya, Propinsi Aceh, dan
Undang-undang “Rencana Pembangunan Lima Tahun, 1956-1960”.
Akan tetapi keberhasilan-keberhasilan tersebut segera terdesak
ke belakang oleh peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan
masyarakat. Kegoncangan itu adalah adanya gerakan anti pedagang
Cina.
Kesulitan lain yang dihadapi pemerintah adalah masalah
penyelundupan. Golongan anti pemerintah mengatakan bahwa
penyelundupan itu terjadi karena ketidakmampuan pemerintah untuk
mengakhiri politik “menganaktirikan” daerah-daerah. Pada waktu itu
politik ekonomi keuangan pemerintah terlalu dipusatkan di Jakarta. Hal

191
Pengayaan Materi Sejarah

ini dirasakan oleh daerah-daerah luar Jawa sebagai kebijakan yang


hanya menguntungkan Jawa. Masalah penyelundupan ini lalu dikaitkan
dengan rasa tidak puas di daerah-daerah. Terjadi pergolakan di Sumatra
Tengah, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan yang membahayakan
keutuhan bangsa dan negara (Wilopo, 1976: 49).
Kemudian, partai-partai yang duduk dalam pemerintahan yang
sebelumnya menyetujui kebijakan pemerintah terhadap berbagai
kesulitan itu berbalik menentangnya. Menteri dari IPKI ditarik dari
kabinet oleh partainya. Masyumi juga menarik menteri-menterinya
sehubungan dengan mosi tidak percaya yang diajukan oleh Anwar
Harjono dari Fraksi Masyumi. Partai ini tidak menyetujui kebijakan
pemerintah mengenai penyelesaian terhadap pergolakan-pergolakan di
daerah-daerah. Dengan hilangnya dukungan dari partai besar itu maka
kabinet menjadi lemah dalam menghadapi Parlemen (Wilopo, 1976: 49-
50).
Dalam keadaan yang goyah, kabinet pada tahun 1957
dihadapkan pada masalah baru yaitu Konsepsi Presiden. Konsepsi
tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan politik yang makin
berat. Gagasan presiden itu diumumkan tanpa pengetahuan
pemerintah lebih dahulu. Konsepsi presiden itu diumumkan tanggal 21
Februari 1957 di depan pemimpin-pemimpin partai politik dan
masyarakat. Para pemimpin tersebut diberi waktu satu minggu untuk
menyatakan pendapatnya, setuju atau tidak setuju. Partai-partai ada
yang setuju dan ada pula yang tidak setuju.
Kedudukan kabinet goyah, krisis memuncak setelah adanya
desakan dari partai-partai pemerintah agar kabinet bubar. Menghadapi
kondisi seperti itu akhirnya Ali Sastroamidjojo pada tanggal 14 Maret
1957 mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet ini
berlangsung selama satu tahun kurang beberapa hari. Dengan jatunya
kabinet Ali II maka berakhir sistim pemerintahan parlementer di
Indonesia (Wilopo, 1976: 51).
Setelah Kabinet Ali II jatuh, presiden menunjuk Suwirjo (Suwiryo)
dari PNI sebagai formatur untuk membentuk kabinet seperti yang
dikehendaki oleh presiden. Kabinet yang dimaksud adalah “Kabinet Kaki
Empat” yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil dari PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Ternyata Suwirjo tidak berhasil menyusun
kabinet. Presiden menunjuk kembali Suwirjo untuk membentuk zaken
kabinet dan membentuk Dewan Nasional sesuai dengan konsepsi
presiden. Ternyata untuk kedua kalinya Suwiryo gagal membentuk

192
Pengayaan Materi Sejarah

kabinet. Oleh karena kegagalan itu, ia mengembalikan mandat kepada


presiden. (Wilopo, 1976: 51).
Setelah presiden menerima kembali mandat, ia segera
mengumumkan berlakuknya SOB (negara dalam keadaan bahaya).
Dengan demikian Angkatan Perang mendapat wewenang khusus untuk
mengamankan negara. Selain itu, presiden mengadakan pertemuan
dengan sejumlah tokoh-tokoh partai dan organisasi politik di Istana
Merdeka. Pertemuan diadakan dalam rangka usaha membentuk suatu
zaken kabinet darurat ekstra parlementer. Dalam pertemuan tersebut
presiden menekankan bahwa cara pembentukan kabinet dalam keadaan
darurat harus dilakukan dengan jalan darurat pula. Penyusunan kabinet
tersebut tidak lagi memperhatikan kekuatan di DPR tetapi lebih
mengutamakan keahlian dan kecakapan menteri-menteri yang diangkat.
Setelah mengadakan tukar fikiran dengan tokoh-tokoh yang hadir
dalam pertemuan itu, maka presiden mengumumkan bahwa cara
pembentukan kabinet ialah Presiden Sukarno menunjuk warganegara
Dr. Ir. Sukarno sebagai formatur. Ia kemudian membentuk Kabinet
Karya dan menunjuk Ir. Juanda (nonpartai) sebagai perdana menteri.
Kabinet dilantik tanggal 9 April 1957 dengan wakil-wakil perdana
menteri masing-masing dari PNI, NU, dan Parkindo (Wilopo, 1976: 52).
Kabinet Juanda merupakan zaken kabinet. Kabinet
menyampaikan programnya ke DPR yaitu membentuk Dewan Perancang
Nasional, menormalisasikan keadaan RI, melanjutkan pelaksanaan
pembatalan Perjanjian KMB, perjuangan Irian Jaya, dan mempercepat
pembangunan. Program Kabinet Juanda terdiri dari lima pasal atau
“Panca Karya” sehingga kabinet ini dinamakan Kabinet Karya.
Pada masa pemerintahan Kabinet Juanda, Konsepsi Presiden
mulai dilaksanakan. Pertama-tama pembentukan Dewan Nasional pada
tanggal 6 Mei 1957 yang terdiri dari 45 orang anggota, masing-masing
mewakili golongan fungsional seperti buruh, tani, wanita, dan pemuda.
Kepala-kepala staf dan angkatan-angkatan dalam Angkatan Perang juga
diangkat sebagai anggota. Dewan diketuai oleh Presiden Sukarno.
Resminya, Dewan Nasional merupakan Badan Penasehat bagi kabinet
yaitu memberikan nasehat baik diminta maupun tidak.
Walaupun Dewan Nasional sudah terbentuk, kesukaran
pemerintah tetap meningkat. Dari hari ke hari keadaan negara
memburuk. Masalah daerah-daerah di Sumatra dan Sulawesi
menyebabkan hubungan pusat dan daerah terganggu. Untuk
meredakan pergolakan daerah-daerah, dari tanggal 10 - 14 September

193
Pengayaan Materi Sejarah

1957 dilangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri oleh


tokoh-tokoh nasional baik dari pusat maupun daerah. Dalam
pertemuan itu juga hadir bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Musyawarah antara lain membicarakan masalah-masalah pemerintahan,
soal-soal daerah, ekonomi, keuangan, Angkatan Perang, kepartaian,
dan masalah yang menyangkut Dwi Tunggal Sukarno Hatta. Pada acara
penutupan tanggal 14 September 1957 dikeluarkan pernyataan
bersama yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan bekas Wakil
Presiden Mohammad Hatta.
Sebagai kelanjutan dan untuk melaksanakan keputusan-
keputusan Munas di bidang ekonomi dan pembangunan, tanggal 25
November sampai 4 Desember 1957 dilangsungkan Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap) Jakarta. Tujuannya adalah untuk
membahas dan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan
keinginan daerah-daerah. Musyawarah diikuti oleh para ahli ekonomi,
wakil-wakil partai dan organisasi, tokoh-tokoh pusat dan daerah, serta
para pejabat militer. Para pemimpin militer dari segenap teritorium hadir
kecuali Letkol Akhmad Husein dari Komando Daerah Militer Sumatra
Tengah.

3.4. Menghadapi Pemberontakan-pemberontakan pada Awal Tahun


1950-an
Ketika rakyat di negara-negara bagian gencar mengajukan
tuntutan untuk kembali ke negara kesatuan, di beberapa tempat terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa golongan yang
mendapat dukungan dari pihak Belanda atau mereka yang takut akan
kehilangan hak-haknya jika Belanda meninggalkan Indonesia.
Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi di Bandung, Sulawesi
Selatan, dan di Maluku. Bersamaan dengan itu, juga terjadi
pemberontakan yang bermotif agama Islam yang dilakukan oleh Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Pemberontakan seperti itu juga terjadi di Jawa Tengah, Aceh, dan
Sulawesi Selatan.

3.4.1. Pemberontakan APRA


Pemberontakan terhadap pemerintah RIS ini terkenal dengan
nama pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dipimpin oleh
Kapten Raymond Westerling. Pemberontakan ini didalangi oleh
golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan

194
Pengayaan Materi Sejarah

ekonominya di Indonesia. Untuk memperoleh dukungan terhadap


gerakannya, Westerling menggunakan kepercayaan rakyat akan
datangnya Ratu Adil. Tujuan APRA dan kaum kolonialis di belakangnya
ialah mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan
mempertahankan adanya tentara sendiri di negara-negara bagian RIS.
Pasukan APRA lebih kurang sebanyak 523 orang, di antaranya
sekitar 300 orang adalah anggota Koninklijke Leger (KL). Mereka
dengan kekuatan 150 orang bersenjata lengkap pada tanggal 23
Januari 1950 menyerang kota Bandung. Pasukan APRA melucuti
anggota polisi di pos Cimindi, Cibeureum. Mereka membunuh setiap
anggota TNI yang mereka jumpai. Mereka berhasil menduduki Markas
Staf Divisi Siliwangi setelah membunuh hampir seluruh regu jaga yang
berjumlah 15 orang dan Letnan Kolonel Lembong. Hanya tiga orang
yang selamat karena dapat meloloskan diri dari pengepungan (Sujono,
2008: 346). Gerakan ini menewaskan lebih dari 79 anggota APRIS dan
banyak penduduk yang menjadi korban (Prijadi, 2003: 91).
Pemerintah RIS segera mengirimkan bantuan ke Bandung.
Kepolisian RIS mengirim kesatuan Brigade Mobil Polisi Jawa Timur
dipimpin oleh Komisaris Polisi II Sutjipto Judodihardjo. Sementara itu di
Jakarta diadakan perundingan antara PM Mohammad Hatta dan
Komisaris Tinggi Belanda. Sesuai dengan hasil perundingan, Komisaris
Tinggi Belanda memerintahkan Mayor Jenderal Engels (komandan
tentara Belanda di Bandung) agar memaksa Westerling dan pasukannya
meninggalkan kota Bandung. Sore hari itu juga pasukan APRA
meninggalkan kota Bandung.
Setelah pasukan APRA meninggalkan Bandung, APRIS
melakukan razia secara intensif. Tokoh-tokoh yang diduga terlibat
dalam gerakan ini ditangkap. Mereka adalah Anwar Tjokroaminoto (PM
Negara Pasundan), Komisaris Besar Polisi R. Jusuf, Komisaris Besar Polisi
Djanakun, Surja Kartalegawa, dan Male Wiranatakusumah (Sujono,
2008: 346).
Selain di Bandung, APRA juga merencanakan gerakan di Jakarta.
Di sini Westerling mengadakan kerja sama dengan Abdul Hamid
Algadrie (Menteri Negara tanpa portofolio Kabinet RIS). Rencananya
gerombolan APRA akan menyerang gedung tempat kabinet RIS
bersidang di Pejambon. Rencananya akan menculik semua menteri dan
membunuh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX,
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. Ali Budiardjo, dan
Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Rencana

195
Pengayaan Materi Sejarah

itu akan dilaksanakan tanggal 24 Januari 1950, tetapi tercium oleh


aparat intelijen. Sultan Hamid Algadrie ditangkap kemudian dijatuhi
hukuman penjara selama 10 tahun (Prijadi, 2003: 94-95). Westerling
pada tanggal 22 Februari 1950 meninggalkan Indonesia. Setelah
perginya Westerling para pengikutnya menjadi bubar (Sujono, 2008:
349).

3.4.2. Peristiwa Andi Azis


Peristiwa kedua terhadap pemerintah RIS dilakukan oleh Kapten
Andi Azis, seorang bekas Ajudan Presiden NIT. Pada tanggal 30 Maret
1950 Andi Azis bersama satu kompi pasukan KNIL di bawah
komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS dalam upacara di
depan Letnan Kolonel A.J. Mokoginta, Komandan Teritorium Indonesia
Timur (Santoso, 2004: 96).
Untuk menjaga keamanan di Sulawesi Selatan, Pemerintah RIS
mengirimkan pasukan APRIS yang berasal dari TNI yaitu Batalyon
Worang. Batalyon ini ada di bawah pimpinan Mayor Worang. Kesatuan
tersebut telah berada di luar pelabuhan Makassar. Di sana kapal
Waikelo dan Bontekoe yang memuat Batayon Worang beserta
keluarganya telah tiba tanggal 5 April 1950. Akan tetapi ada peringatan
dari darat supaya kedua kapal tersebut jangan masuk pelabuhan.
Setelah bertanya-tanya dan melihat ke darat, ternyata pasukan Andi Azis
telah berjaga-jaga pakai bren carrier, senjata mitraliyur dan meriam
yang diarahkan ke laut. Ancaman itu menyebabkan Batalyon Worang
bertahan selama beberapa hari di atas kapal (Santoso, 2004: 98).
Sementara itu berita datangnya pasukan APRIS tersebut
mengkhawatirkan pasukan bekas Koninklijke Nederlands Indie Leger
(KNIL) yang takut akan terdesak oleh pasukan baru yang akan datang
itu. Mereka kemudian bergabung dan menamakan diri sebagai
“Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis.
Tanggal 5 April 1950 pukul 05.00 pagi Andi Aziz dan
pasukannya dibantu pasukan Koninklijke Leger (KL) dan pasukan KNIL
secara tiba-tiba menyerang markas APRIS di Makassar. Kekuatan mereka
jauh melebihi kekuatan APRIS setempat, karena itu mereka dengan
mudah menguasai kota Makassar. Beberapa orang prajurit APRIS/TNI
jatuh menjadi korban dan beberapa perwira ditangkap termasuk Letnan
Kolonel Mokoginta ditawan, tetapi tidak lama kemudian dibebaskan
(Santoso, 2004: 97).

196
Pengayaan Materi Sejarah

Untuk menghadapi pemberontakan tersebut tanggal 7 April


1950 pemerintah memutuskan untuk mengirim pasukan ekspedisi ke
Sulawesi di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang. Esok harinya,
pemerintah mengultimatum Andi Azis agar dalam waktu 2 x 24 jam
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Ia juga diperintahkan untuk mengonsinyasi pasukannya,
mengembalikan senjata-senjata yang mereka rampas dan membebaskan
semua tawanan. Ultimatum itu ditanggapi Andi Azis setelah batas
waktu terlampaui. Ia akan ke Jakarta tanggal 13 April. Akan tetapi atas
desakan Soumokil, janji itu diingkarinya dan karena itu ia dianggap
pemberontak. Ia kemudian menyerahkan diri kepada Letnan Kolonel
Mokoginta kemudian dibawa ke Jakarta tanggal 15 April 1950 untuk
diadili.
Tanggal 26 April pasukan ekspedisi di bawah Kolonel A.E.
Kawilarang mendarat di pantai timur, tenggara, dan barat Sulawesi
Selatan. Pasukan berkekuatan 12.000 personil membawa dua tank
pendarat dan mengerahkan dua pesawat pengebom B-25 Mitchell.
Markas APRIS ditempatkan di Makassar. Di samping Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, kepolisian pusat di Jakarta juga
mengerahkan dua kompi Mobiele Brigade (Mobbrig) yang berasal dari
Jawa Timur.
Sementara itu, pada tanggal 18 April 1950 Batalyon Worang
yang bertahan di atas kapal dengan dikawal oleh dua Korvet ALRIS yaitu
Korvet “Banteng” dan “Hang Tuah” menuju Jeneponto. Keesokan
harinya, pagi-pagi subuh, mereka sudah berada di depan Jeneponto
kemudian mendarat (Santoso, 2004: 99).
Dengan datangnya pasukan ekspedisi ini keamanan di Makassar
dapat dipulihkan. Namun situasi aman itu tidak berlangsung lama
sebab di dalam kota masih ada pasukan KNIL dan KL. Antara pasukan
APRIS/TNI dan KNIL-KL sering terjadi pertempuran. Pertempuran itu
terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 kemudian diadakan perundingan.
Dua setengah bulan kemudian pertempuran terjadi lagi pada tanggal 5
Agustus 1950 ketika Markas Staf Brigade Mataram secara tiba-tiba
diserang oleh pasukan KNIL-KL. Mereka dapat dipukul mundur ke
tangsinya masing-masing. Kemudian diadakan serangan umum oleh
pasukan APRIS dengan mengikutsertakan unsur-unsur infanteri, artileri,
kekuatan udara, dan kekuatan laut. Menyadari akan kedudukannya
yang sangat kritis, pada tanggal 8 Agustus 1950 pihak KNIL-KL minta
berunding. Perundingan diadakan antara antara Kolonel Kawilarang

197
Pengayaan Materi Sejarah

(pihak APRIS/TNI) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (pihak KNIL/KL). Hasil


perundingan adalah bahwa kedua belah pihak setju menghentikan
tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL/KL harus
sudah meninggalkan Makassar (Sujono, 2008: 355).

3.4.3. Pemberontakan RMS


Pemberontakan ketiga yang dihadapi oleh pemerintah RIS dan
berlanjut sampai dengan pemerintah RI adalah Pemberontakan Republik
Maluku Selatan (RMS). Pemberontakan ini tidak hanya mau memisahkan
diri dari NIT tetapi juga mau memisahkan diri dari pemerintah RIS.
Pendiri RMS adalah Mr. Dr. Christian Robert Soumokil, bekas Jaksa
Agung NIT.
Pada tanggal 4 April 1950 Ir. Manusama (Direktur Ambonsche
Burgerschool) mengundang rapat para rajapati (penguasa desa) dari
Pulau Ambon bertempat di kantornya. Ia mengemukakan kepada para
rajapati bahwa penggabungan Maluku Selatan dengan wilayah
Indonesia lainnya mengandung bahaya. Untuk memperingatkan kepada
seluruh rakyat Pulau Ambon mengenai bahaya itu, para rajapati setuju
jika Manusama mengadakan rapat umum di kota Ambon. Pada tanggal
18 April diadakanlah rapat umum itu.
Peran Soumokil dalam proses pembentukan RMS tampak ketika
ia mengadakan rapat rahasia di Tulehu tanpa mengikutsertakan para
pamong praja. Dalam rapat yang dihadiri oleh para pemuka KNIL dan Ir.
Manusama, Soumokil menganjurkan agar KNIL bertindak, seluruh
anggota Dewan Maluku Selatan disarankan agar dibunuh, kemudian
daerah itu dinyatakan sebagai negara merdeka. Sebagian peserta rapat
menolak gagasan melakukan pembunuhan. Untuk melakukan
proklamasi disarankan agar pemerintah daerah sendiri yang
melakukannya. Dalam rapat kedua pada sore hari itu Kepala Daerah
Maluku Selatan, J. Manuhutu, dipaksa hadir di bawah ancaman
pasukan KNIL (Sujono, 2008: 357).
“Proklamasi RMS” dikeluarkan tanggal 25 April 1950. Ada dua
alasan yang diberikan oleh gembong-gembong RMS untuk memisahkan
Maluku Selatan dan Tenggara dari sistem ketatanegaraan pada tahun
1950. Pertama, NIT sudah tidak sanggup mempertahankan
kedudukannya sebagai negara bagian selaras dengan peraturan-
peraturan Muktamar Denpasar yang masih sah berlaku. Kedua, RIS
sudah bertindak bertentangan dengan keputusan-keputusan KMB dan

198
Pengayaan Materi Sejarah

Undang-Undang Dasarnya sendiri. Sedangkan “proklamasi” itu sendiri


dianggap sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan tertanggal
11 Maret 1947. Menurut hasil pemeriksaan terhadap gembong-
gembong RMS tahun 1955 di Yogyakarta, teks “proklamasi” itu sisusun
oleh D.Z. Pesuarissa yang pada waktu itu sebagai “menteri
penerangan”, yang tentunya dibantu Dr. Soumokil dan Ir. Manusama
(Leirissa, 1975: 185-186)
Kementerian Pertahanan RIS mempunyai kebijakan untuk
mengatasi pemberontakan ini. Usaha-usaha yang akan dilakukan adalah
pertama, berunding. Jika usaha ini tidak berhasil, mengadakan blokade
atas Pulau Ambon, tempat konsentrasi KNIL. Blokade ini dimaksudkan
untuk memaksakan perundingan. Jika usaha ini juga tidak berhasil,
maka akan di jalankan rencana ketiga yaitu pendaratan APRIS (Leirissa,
1975: 176)
Usaha Kementerian Pertahanan untuk mengadakan
perundingan, segera dilaksanakan. Mula-mula mereka menghubungi
Kuasa Usaha Belanda di Jakarta. Dalam perundingan tersebut dicapai
kesepakatan untuk mengungsikan semua orang (dengan sendirinya
yang dimaksud adalah terutama anggota-anggota KNIL bersama
keluarganya) yang masih berada di bawah tanggungjawab Belanda ke
luar Ambon. Untuk keperluan ini pihak Belanda mengirimkan van
Hoogstraten untuk berunding dengan pimpinan KNIL di Ambon.
Mereka menginginkan agar pihak Belanda mengakui RMS dan
mengirimkan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia ke Ambon.
Hal ini tidak mungkin karena akan merusakkan hubungan Belanda
dengan RIS yang baru dijalin. Usaha pertama telah gagal, maka usaha
kedua dijalankan. Blokade dimulai pada tanggal 16 Mei 1950.
Selain usaha-usaha oleh pemerintah yang dijalankan oleh
Kementerian Pertahanan, juga masyarakat Maluku yang berada di luar
Maluku berusaha menanggapi pemberontakan tersebut. Sejak 26 April
para pemuda Maluku di Makassar telah bergerak. Mula-mula organisasi
Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM) memecat Soumokil sebagai
anggota. Kemudian pada tanggal 1 Mei 1950 organisasi-organisasi
pemuda mengadakan rapat. Rapat dihadiri wakil-wakil dari KRIM, Ikatan
Pemuda Indonesia Maluku, Pemuda Pattimura, dan Wanita Maluku.
Mereka menyatakan menolak “Proklamasi RMS” dan membentuk Front
Penentang Proklamasi Republik Maluku Selatan (FPPRMS). Organisasi
tersebut kemudian mengorganisasikan kesatuan-kesatuan para-militer
yang dilatih oleh unsur-unsur Pattimura di Makasar. Maksud mereka

199
Pengayaan Materi Sejarah

akan turut menumpas pemberontakan tersebut bersama APRIS.


Kemudian di setiap kota di Jawa dan Sumatera masyarakat Maluku yang
menentang RMS mengadakan rapat-rapat. Organisasi-organisasi mereka
mengadakan federasi-federasi untuk menyatakan ketidaksetujuan
mereka terhadap RMS (Leirissa, 1975: 178).
Selain itu tokoh-tokoh Maluku dalam basdan-badan pemerintah
pusat juga bertindak. Pada tanggal 26 April 1950 dr. Leimena
memutuskan untuk menemui pihak pemberontak dan mencoba
mengadakan perundingan. Selain itu juga Ir. M. Putuhena yang waktu
itu sebagai Direktur Jendral Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan
akan turut serta. A.M. Pellaupessy yang menjabat sebagai Ketua Senat
RIS demikian pula. Pada tanggal 27 April 1950 mereka bertolak ke
Surabaya untuk menjemput dr. Rehatta yang akan turut serta. Mereka
kemudian menuju Makassar.
Misi Leimena tiba di teluk Ambon tanggal 30 April 1950.
Mereka hanya bertemu dengan Syahbandar Ambon yang ditugasi kaum
pemberontak untuk membawa sepucuk surat. Dalam surat itu dikatakan
bahwa sebelum berunding, pemerintah RI harus mengakui RMS. Hal ini
ditolak oleh dr. Leimena. Ia datang tidak sebagai utusan pemerintah
tetapi atas kemauan sendiri sebagai seorang putra daerah. Namun
uluran tangannya tetap ditolak.
Ketika APRIS sedang mengadakan blokade terhadap Pulau
Ambon, masyarakat Maluku di luar Maluku juga berusaha mencari jalan
penyelesaian secara damai untuk menghindari pertumpahan darah.
Pada tanggal 12 dan 13 Juni 1950 mereka mengadakan Konferensi
Maluku di Semarang yang kedua, maksudnya untuk mengatasi situasi
yang kritis. Sembilan organisasi masyarakat Maluku yang mempunyai
cabang-cabang di seluruh kota-kota besar di Jawa dan Sumatra,
berkumpul. Setelah melakukan perundingan dibuat suatu resolusi yang
ditujukan kepada pemerintah RIS melalui dr. Leimena, Ir. Putuhena, dr.
Rehatta, dan A.M. Pellaupessy. Selain itu mereka memutuskan untuk
membentuk suatu utusan persabatan guna menemui kaum
pemberontak di Ambon. Isi resolusi itu antara lain: (1) Agar Maluku
diberi otonomi yang luas sebagai syarat penyelesaian; (2) Agar
Pemerintah Belanda segera didesak untuk melucuti kesatuan-
kesatuannya; (3) Agar Pemerintah RIS menyokong kepergian utusan-
utusan masyarakat Maluku untuk menemui kaum pemberontak.
Sebagai kelanjutan dari konferensi tersebut, J.D. Syaranamual
(tokoh legislatif RI), dan M. Kolibonso (tokoh pemuda Surabaya) pergi

200
Pengayaan Materi Sejarah

ke Makassar untuk mempersiapkan pengiriman perutusan tersebut.


Mereka yang dipilih sebagi utusan adalah Pendeta Syahaya, Pendeta
Sapulete, J. Ferdinandus, J. Tanasale, dan K. Kailola. Misi ini ternyata
tidak dapat meneruskan perjalanan karena pada tanggal 16 Juli APRIS
mulai memblokade Ambon.
Dalam bulan September 1950 pemerintah berusaha menemui
kaum pemberontak. Pemerintah masih berusaha untuk menyelesaikan
dengan cara damai. Dr. Rehatta (Kepala Pemerintahan Sementara di
Maluku Selatan) ditugaskan untuk menemui Soumokil. Karena usaha-
usaha ini belum juga berasil, pemerintah mengirimkan lagi dr. Leimena.
Akan tetapi semua usaha persuasif gagal. Kemudian, tidak ada jalan lain
bagi pemerintah untuk mempertahankan kesatuan nasional Indonesia
dengan kekuatan senjata. (Leirissa, 1975: 178-180).
Setelah segala usaha untuk menyelesaikan persoalan RMS secara
damai gagal, maka Pemerintah RIS terpaksa mempergunakan
kekerasan. Pasukan pemberontak berintikan kesatuan-kesatuan
komando dan para sejumlah 2.000 orang dibantu kesatuan-kesatuan
polisi istimewa yang dibentuk Soumokil. Kemudian diperluas dengan
pengerahan tenaga-tenaga pemuda setempat. Persenjataan mereka
adalah persenjataan KNIL yang tidak ditarik oleh Pimpinan Militer
Belanda di Indonesia ketika kesatuan-kesatuan di Maluku Tengah itu
menyatakan diri keluar dari KNIL dan bergabung dengan RMS (Leirissa,
1975: 200).
Pasukan APRIS terdiri atas batalyon-batalyon TNI. Operasi
dimulai tanggal 14 Juli 1950 dan berakhir dengan dibebaskannya kota
Ambon pada tanggal 8 November 1950. Pimpinan RMS berhasil
melarikan diri ke Pulau Seram. Sejak itu RMS melakukan perlawanan di
Pulau Seram. Dalam bulan-bulan berikutnya beberapa pimpinan RMS
yaitu Manusama (presiden), Wairisal (perdana menteri), Gaspers
(menteri dalam negeri) dan lain-lain tertawan di Pulau Seram. Ir.
Manusama meninggalkan teman-teman seperjuangannya dan melarikan
diri ke Negeri Belanda. Dr. Soumokil kemudian tertangkap, diadili oleh
Mahkamah Militer Luar Biasa dan dijatuhi pidana mati (Leirissa, 1975:
201).
Pembebasan rakyat di pedalaman Seram sukar karena beberapa
suku di pulau itu ditunggangi oleh sisa-sisa RMS untuk bertindak
sebagai perisai mereka. Angkatan perang terpaksa bertindak secara
lambat dalam operasi-operasinya. Akan tetapi akhirnya seluruh Maluku
Tengah pada awal tahun 1960-an aman kembali. Dalam operasi-operasi

201
Pengayaan Materi Sejarah

pembebasan Maluku Tengah telah gugur tiga orang perwira yaitu Letkol
Ign Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto, dan Mayor Abdullah. (Leirissa,
1975: 200).

3.4.4. Pemberontakan DI/TII


(1) DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan ini bermotif agama Islam muncul di Jawa Barat
di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Ia seorang tokoh
PSII pada tahun 1930-an. Pada tanggal 7 Agustus 1949 ia
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Desa
Cisampah, Kecamatan Cilugalar, Kawedanaan Cisayong, Tasikmalaya
yang kemudian lebih dikenal dengan nama Darul Islam (The, 2003:
127). Sebagai langkah awal ia mendirikan lembaga Suffah di
Malangbong dekat Garut tahun 1940. Kapada mereka ditanamkan
fanatisme yang dalam dan loyalitas yang tinggi kepada pemimpin,
dalam hal ini Kartosuwiryo. Lembaga ini sebagai tempat latihan kader-
kader partai yang militan (Noer, 1980: 166).
Setelah proklamasi kemerdekaan, Kartosuwiryo menjadi anggota
partai Masyumi. Ia terpilih sebagai Komisaris Masyumi Jawa Barat
merangkap Sekretaris I Masyumi. Pada tanggal 14 Agustus 1947
Kartosuwiryo menyatakan perang terhadap Belanda. Ia membagi
wilayahnya menjadi tiga daerah yaitu Daerah I (daerah ibu kota negara),
Daerah II (daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam),
dan Daerah III (daerah yang penduduknya tidak beragama Islam).
Penolakannya terhadap Persetujuan Renville diwujudkan dalam sikapnya
menolak untuk melaksanakan hijrah. Ia bersama pasukannya di Jawa
Barat yang terdiri dari Hizbullah dan Sabilillah sebanyak 4.000 orang.
Dalam Konferensi Cisayong pada bulan Februari 1948 diputuskan untuk
mengubah gerakan mereka dari kepartaian menjadi bentuk kenegaraan.
Konferensi membekukan Masyumi Jawa Barat. Melalui Majelis Umat
Islam yang dibentuk kemudian, Kartosuwiryo diangkat sebagai imam
dari NII. Selanjutnya dibentuk “angkatan perang” yang diberi nama
“Tentara Islam Indonesia” (TII).
Jatuhnya ibu kota RI Yogyakarta dan tertawannya pemimpin
Negara pada agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 dinilai
oleh Kartosuwiryo bahwa riwayat RI sudah berakhir. Sehubungan
dengan hal itu ia menganggap daerah Jawa Barat sebagai daerah de
facto NII. Setiap pasukan yang memasuki Jawa Barat diharuskan
mengakui NII. Pasukan Siliwangi yang melakukan long march ke Jawa

202
Pengayaan Materi Sejarah

Barat dianggap sebagai tentara liar. Kontak senjata pertama dengan TNI
terjadi tanggal 25 Januari 1949 ketika pasukan Divisi Siliwangi di bawah
pimpinan Mayor Utarjo memasuki daerah Priangan Timur. Mayor Utarjo
dibunuh oleh anggota DI. (Sujono, 208: 361).
Pemerintah RIS berusaha menyelesaikan pemberontakan
Kartosuwiryo dengan jalan damai. Sebuah panitia yang terdiri dari
Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian
Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan) ditugasi
mengadakan kontak dengan Kartosuwiryo. Usaha ini gagal, demikian
juga usaha Wali Alfatah pada masa Kabinet Natsir. Krtosuwiryo hanya
bersedia berunding apabila pemerintah mengakui eksistensi NII (Sujono,
2008: 361).
Setelah usaha secara damai gagal, TNI melancarkan operasi
militer yaitu Operasi Merdeka. Operasi ini masih bersifat insidentil, lokal,
tanpa rencana yang tegas dan sistematis. Serangan-serangan DI/TII yang
bersifat gerilya itu belum dihadapi dengan taktik anti gerilya. Baru tahun
1957 TNI menyusun rencana operasi yang dikenal sebagai “Rencana
Pokok 21”. Intinya adalah menahan DI/TII di daerah-daerah tertentu
untuk selanjutnya dihancurkan. Opreasi penghancuran dimulai dari
daerah Banten, selanjutnya ke timur. Tahun 1961 penduduk Jawa Barat
diikutsertakan dalam operasi dan dibentuklah secara besar-besaran
“pagar betis”. Dalam gerakan “pagar betis” yang kadang-kadang
berlangsung berhari-hari, penduduk sipil membentuk garis maju
berangsur-angsur dengan satuan-satuan kecil-kecil tiga sampai empat
prajurit pada jarak-jarak tertentu (Dijk, 1987: 113).
Kartosuwiryo membalas tekanan TNI ini dengan memerintahkan
perang semesta terhadap musuh-musuhnya pada awal tahun 1961. Di
desa-desa yang aktif atau pasif menyokong republik tidak boleh ada
orang dibiarkan hidup, menurut “Perintah Perang Semesta”-nya.
Untuk mengakhiri operasi anti DI di Jawa Barat selama-lamanya,
mulai bulan April 1962 aksi-aksi TNI ditingkatkan. Dalam “Operasi Brata
Yudha”, Brawijaya dan Diponegoro turut ambil bagian. Kartosuwiryo
tertangkap bersama istrinya dan komandan pengawal pribadinya,
Aceng Kurnia, di sebuah tempat persembunyian di puncak Gunung
Geber, dekat Cipaku, di Cicalengka Selatan tanggal 4 Juni 1962. Ketika
ditangkap Kartosuwiryo dalam keadaan sakit berat.
Sesudah Kartosuwiryo ditangkap, salah seorang putranya yang
menjadi sekretarisnya mengeluarkan instruksi atas nama imam agar
semua anggota DI yang masih berjuang, menyerah. Sebagian besar

203
Pengayaan Materi Sejarah

mematuhinya dan menyatakan sumpah setia kepada RI pada tanggal 1


Agustus 1962. (Dijk, 1987: 114).
Kartosuwiryo sendiri dijatuhi hukuman mati sesudah
disidangkan selama tiga hari pada tanggal 14 - 16 Agustus 1962 oleh
Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa Madura.
Permohonan grasi ditolak oleh kepala negara. Hukuman mati
dilaksanakan sebulan kemudian pada bulan September 1962. Dengan
penangkapan dan pelaksanaaan hukuman mati terhadap Kartosuwiryo
berakhirlah pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang berlangsung lebih
kurang 13 tahun lamanya (The, 2004: 135).

(2) DI/TII di Jawa Tengah


Pemberontakan DI/TI di Jawa Tengah khususnya di daerah
Pekalongan,sudah dimulai sejak masa revolusi. Pemimpinnya adalah
Amir Fatah seorang rekan akrap Kartosuwiryo. Nama lengkapnya Amir
Fatah Wijayakusumah seorang asal Kroya, Banyumas. Ia memimpin
pasukan Hizbullah (Dijk, 1987: 128). Pada bulan Oktober 1948 ia
membawa tiga kompi pasukan Hizbullah yang tidak mau di TNI-kan ke
daerah Brebes dan Tegal yang sudah ditinggalkan oleh TNI akibat
Persetujuan Renville. Ia berhasil mempengaruhi penduduk setempat
dengan mengatakan bahwa ia dikirim oleh Panglima Besar Sudirman
untuk mencegah Belanda mendirikan negara boneka di daerah
Pekalongan. Untuk menghimpun kekuatan, ia membentuk “sel
Pemerintah Islam” dan mendirikan Majelis Islam dan pasukan
bersenjata diberi nama Mujahidin (Basri, 2003: 139).
Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer Belanda kedua,
pasukan TNI melakukan wingate ke daerah Pekalongan. Selain itu,
terdapat pula kesatuan Mobiele Brigade (Mobbrig) Polisi di bawah
pimpinan Komisaris Bambang Suprapto. Pada mulanya, ada kerja sama
antara TNI/Polri dan Amir Fatah untuk bersama-sama menghadapi
Belanda. Kerja sama ini kemudian dilanggar oleh Amir Fatah setelah ia
diangkat sebagai pemimpin DI di Jawa Tengah oleh Kartosuwiryo. Ia
pun memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah sebagai
bagian dari Negara Islam pimpinan Kartosuwiryo. Basis pertahanan
pasukannya ditempatkan di Bumiayu. Serangan terhadap pos-pos TNI
mulai dilancarkan. Pasukan Mobbrig yang sedang melakukan patroli
juga diserang dan Komisaris Bambang Suprapto mereka bunuh (Sujono,
2008: 362).

204
Pengayaan Materi Sejarah

Untuk menghadapi pemberontakan ini, TNI melancarkan operasi


terhadap konsentrasi pasukan DI di Tembangrejo dan desa Pengarasan,
Kabupaten Brebes. Operasi dilanjutkan setelah masa revolusi. Bulan
Januari 1950 TNI membentuk komando tempur yang dinamai Gerakan
Banteng Negara (GBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini
(kemudian digantikan oleh Letnan Kolonel Bachrun). Tujuan utamanya
untuk memisahkan DI Jawa Tengah dengan DI Jawa Barat. GBN
merupakan suatu komando operasi gabungan yang kesatuan
tempurnya terdiri dari pasukan-pasukan Divisi Siliwangi, Divisi
Diponegoro, Divisi Brawijaya, dan Kesatuan Senjata Bantuan. Staf
komando GBN berada di Slawi, Tegal. (Basri, 2003: 142).
Dalam operasi-operasi yang dilancarkan GBN, banyak tokoh DI
yang terbunuh dan tertangkap. Amir Fatah pergi ke Jawa Barat karena
terus menerus dikejar dan diserang pasukan republik. Dia ke Ciamis
disertai sekitar 150 prajuritnya. Karena dikejar terus, akhirnya ia
menyerah di Cisayong pada tanggal 22 Desember 1950. Ketika sampai
di Ciamis ia memperkenalkan dirinya sebagai Komandan Tentara Islam
Jawa Tengah, tetapi rakyat bersikap masa bodoh.
Setelah menyerah, Amir Fatah memerintahkan komandan-
komandan bawahannya agar tetap tinggal di tempat mereka berada
dan menghubungi komandan-komandan tentara Republik setempat
untuk membicarakan syarat-syarat penyerahan. Beberapa pengikutnya
melaporkan diri, tetapi yang lain terus bertempur. Gerakan terhadap
sisa-sisa tentara Amir Fatah dilanjutkan sampai akhir tahun 1950-an
(Dijk, 1987: 134).

(3) DI/TII di Sulawesi Selatan


Pada masa revolusi di Sulawesi Selatan lahir berbagai laskar.
Mereka berjuang secara gerilya menghadapi Belanda. Sesudah masa
revolusi, para gerilyawan ini membentuk Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS). KGSS meminta agar para gerilyawan diterima secara
keseluruhan menjadi anggota TNI/APRIS, dijadikan Brigade Hasanuddin
dan Kahar Muzakar, putra Sulawesi Selatan, sebagai panglimanya.
Kahar Muzakar selama revolusi berjuang di Jawa dan berpangkat letnan
kolonel.
Pemerintah tidak mengabulkan permintaan KGSS. Sesuai
dengan kebijakan demobilisasi, hanya anggota gerilyawan yang
memenuhi syarat dapat diterima sebagai anggota TNI/APRIS. Penolakan
ini mengecewakan KGSS. Mereka menganggap kebijakan ini tidak adil,

205
Pengayaan Materi Sejarah

sebab anggota KNIL yang sebelumnya menjadi musuh mereka secara


otomatis diterima menjadi anggota TNI/APRIS. Para gerilyawan ini
kemudian menarik diri ke pedalaman dan mulai menentang pemerintah.
Kolonel Bambang Supeno dengan mengabaikan keberatan
KSAD Kolonel A.H. Nasution pada bulan Juni 1950 mengirim Kahar
Muzakar dan Letnan Kolonel Mursito ke Sulawesi Selatan dengan tugas
membujuk para gerilyawan agar menaati kebijakan pemerintah.
Ternyata Kahar Muzakar membela kepentingan KGSS. Dalam pertemuan
dengan Panglima Teritorium VII Kolonel Kawilarang tanggal 1 Juli
1950, ia menyampaikan tuntutan yang sama dengan tuntutan KGSS.
Kawilarang menolak dan menyatakan KGSS sebagai organisasi terlarang.
Pada hari itu juga Kahar Muzakar meninggalkan Makassar dan
bergabung dengan para gerilyawan di pedalaman. (Sujono, 2008: 365-
365).
Pemerintah berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan
menampung mereka dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN). Mereka
diterima sebagai anggota CTN dalam kesatuan-kesatuan yang terpisah.
Sebagian gerilyawan bersedia menjadi anggota CTN dan mereka
ditempatkan dalam beberapa rayon. Anggota yang ingin meneruskan
karier di bidang militer diberi latihan militer, sedangkan yang ingin
kembali ke masyarakat akan dicarikan pekerjaan atau disekolahkan.
Sesudah masa pelatihan, pada tanggal 24 Maret 1951 dilangsungkan
pelantikan lima batalion CTN di Makassar dan Kahar Muzakar diangkat
sebagai komandannya. Mereka juga dipersenjatai. Sesudah pelantikan,
batalyon-batalyon CTN ini kembali ke rayon masing-masing menunggu
proses peresmian menjadi TNI.
Pemerintah merencanakan untuk meresmikan batalyon-batalyon
CTN ini menjadi bataliyon-bataliyon TNI pada tanggal 17 Agustus 1951.
Kahar Muzakar menuntut agar batalyon-batalyon itu diterima sebagai
satu kesatuan dan dijadikan Brigade Hasanuddin. Karena tuntutannya
ditolak, pada tanggal 16 Agustus 1951 ia memerintahkan bataliyon-
bataliyon itu meninggalkan rayon-rayon mereka masuk ke hutan dan
membawa senjata yang sudah mereka terima sebelumnya. Bahkan truk-
truk yang dikirim oleh Teritorium VII untuk mengangkut mereka ke
Makassar dalam rangka peresmian sebagai TNI, mereka rampas.
Pemerintah dalam hal ini TNI terpaksa menghadapi
pembangkangan Kahar Muzakar dengan melancarkan operasi militer
yaitu Operasi Merdeka. Pemerintah juga memberikan waktu lima hari

206
Pengayaan Materi Sejarah

terhitung mulai tanggal 29 Agustus 1951 kepada anggota CTN agar


melaporkan diri.
Di samping melancarkan operasi militer, Kolonel Gatot Subroto
(pengganti Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Teritorium VII juga
mengadakan kebijakan yang bersifat psikologis - politis. Terhadap para
pemberontak yang ingin kembali ke masyarakat tidak akan diadakan
penahanan dan tuntutan apa pun. Sejalan dengan kebijakan itu,
diusahakan pula mengadakan pertemuan dengan Kahar Muzakar,
namun Kahar Muzakar menolak. Sementara itu ia mengadakan
hubungan dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pada tanggal 7 Agustus
1953 ia menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Darul
Islam pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia (TII) (Sujono, 2008: 367).
Operasi Merdeka kemudian dilanjutkan dengan Operasi
Halilintar. Namun operasi itu belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan bahkan tahun 1954 pengaruh DI hampir meliputi seluruh
wilayah Sulawesi Selatan. Kahar Muzakar memusatkan kekuatannya di
daerah Luwu. Untuk menghancurkan pusat kekuatan Kahar Muzakar,
TNI melancarkan Operasi Wirabuana. Sebaliknya Kahar Muzakar
meningkatkan kekuatannya dengan membentuk pasukan tempur
Moment Mobiele Comando (Momoc).
Operasi Halilintar kemudian dilanjutkan dengan Operasi Musafir.
Sasaran utamanya menghancurkan kekuatan Kahar Muzakar di Awo
Kompleks (Palopo Selatan). Dalam operasi ini diikutsertakan pasukan
Usman Balo yang sudah memisahkan diri dari Kahar Muzakar. Kekuatan
Kahar Muzakar mulai berkurang. Untuk mendapat dukungan dari
penduduk, ia mengembangkan sentimen kedaerahan dengan
membentuk pasukan yang disebut Barisan Anti Jawa Komunis (Bajak).
Kekuatan Kahar Muzakar bertambah setelah mengadakan kerjasama
dengan pasukan Permesta pimpinan Letnan Kolonel Gerungan. Selain
bantuan senjata, Kahar Muzakar juga mendapat bantuan personil
sebanyak 200 orang anggota Permesta.
Operasi-operasi militer yang dilancarkan TNI diikuti dengan
himbauan agar pemberontak menghentikan perlawanannya. Berkat
himbauan itu beberapa tokoh DI menyerahkan diri antara lain Bahar
Mataliu, tokoh kedua DI Sulawesi Selatan pada tanggal 12 September
1962. Hal itu memperlihatkan bahwa di kalangan pengikut Kahar
Muzakar mulai timbul perpecahan (Gonggong, 1992: 190).

207
Pengayaan Materi Sejarah

Pemberontakan DI di Sulawesi Selatan ini masih berlangsung


ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Operasi
dianggap berakhir pada bulan Februari 1965 setelah Kahar Muzakar
tewas tertembak. (Sujono, 2008: 367).

(4) DI/TII di Kalimantan Selatan


Pemberontakan di Kalimantan Selatan di bawah pimpinan Ibnu
Hajar dimulai pada awal tahun 1950. Ketika ia membelot pada awal
tahun 1950 pengikutnya sekitar 60 orang. Serangan pertama terhadap
pasukan republik dilancarkan pada pertengahan tahun 1950. Waktu itu
kekuatannya bertambah menjadi sekitar 200 orang (Dijk, 1987: 229).
Ibnu Hajar nama aslinya Haderi. Ia lahir di Kandangan bulan
April 1920. Ia menggunakan nama Ibnu Hajar ketika turut berjuang
melawan Belanda. Ia menjadi perwira ALRI Divisi IV dengan pangkat
Letnan Dua memimpin satuan-satuan gerilya di sekitar tempat
kelahirannya (Dijk, 1987: 228-229).
Setelah membelot, Ibnu Hajar membentuk organisasi gerilya
baru yang dipimpinnya bernama Kesatuan Rakyat Indonesia yang
Tertindas (KRIyT). Mereka kecewa terhadap cara mereka diperlakukan
sesudah pengakuan kedaulatan. Daerah operasi pasukan Ibnu Hajar di
bagian tenggara Kalimantan, di Provinsi Kalimantan Selatan yang
sekarang. Pusatnya di Kabupaten Hulusungai, di daerah antara Barabai
dan Kandangan. Daerah yang sering terganggu oleh aksi-aksi pasukan
Ibnu Hajar adalah Kabupaten Kota Baru dan Kabupaten Banjar (Dijk,
1987: 205).
Kartosuwiryo menganggap Ibnu Hajar dan kesatuan yang
dipimpinnya yaitu Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT)
sebagai sekutu yang potensial. Kartosuwiryo berusaha keras untuk
memasukkan Kalimantan ke dalam wilayah de facto Negara Islam dan
membentuk Komando Teritorial VI Tentara Islam Indonesia di
Kalimantan.
Ibnu Hajar baru membulatkan pikirannya untuk masuk Negara
Islam pada akhir tahun 1954. Itu dilakukan setelah Kartosuwiryo
menawarkan sebuah kursi dalam pemerintahan Negara Islam
kepadanya. Ibnu Hajar tidak diberi portofolio penuh, tetapi hanya
sebagai menteri negara. Ia diangkat pula sebagai Panglima TII untuk
Kalimantan.
Ibnu Hajar kemudian mengorganisasi pasukannya. Ia mulai
menamakan dirinya sebagai “Ulul Amri” atau “Wali al Amri” artinya

208
Pengayaan Materi Sejarah

“Sang Penguasa” yaitu dari Kerajaan Islam. Pasukannya diberi nama


“Angkatan Perang Tentara Islam” (APTI). Kadang-kadang disebut juga
“Pasukan Islam” tanpa dibubuhi KRIyT. Kepala Pasukan Islam (Kapai)
adalah Paduka Yang Mulia Ibnu Hajar. Untuk menggarisbawahi
perpecahannya dengan republik, Ibnu Hajar menggubah versi lain dari
lagu kebangsaan , disesuaikan dengan cita-cita Islam pemberontah.
(Dijk, 1987: 248).
Pemberontakan ini relatif kecil, tidak pernah menguasai daerah
yang luas. Setelah pasukan Ibnu Hajar masuk gerakan DI, pasukan terus
beroperasi dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil paling banyak
20 orang. Namanya DI KRIyT atau DI APTI (Angkatan Perang Tentara
Islam). Pada tahun 1954 terdapat struktur pimpinan yang lebih tegas
pembatasannya. Maka diangkat komandan-komandan daerah yang
merangkap sebagai kepala Pemerintahan Daerah pemberontah dan
masing-masing mempunyai daerah operasi khusus (Dik, 1987: 250).
Sesudah pernyataan Kahar Muzakar bahwa daerah Sulawesi
merupakan bagian dari wilayah NII, di Hulusungai ditemukan pamphlet-
pamflet yang menyatakan bahwa daerah-daerah yang dikuasai oleh
KRIyT termasuk ke dalam wilayah DI (Dijk, 1987: 247).
Pada awal bulan September 1964 ia ditangkap. Bulan Maret
1965 ia diadili oleh pengadilan militer khusus dan dijatuhi hukuman
mati. Ketika disidang ia mengenakan pakaian seragam tentara dengan
tanda pangkat Letnan Dua (Dijk, 1987: 254).

(5) DI/TII di Aceh


Pada masa Kabinet Hatta II, bekas Ketua Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara, diangkat sebagai
sebagai Wakil Perdana Menteri ditempatkan di Aceh. Tanpa
berkonsultasi lebih dahulu dengan kabinet, ia menjadikan daerah Aceh
sebagai provinsi terlepas dari Provinsi Sumatra Utara. Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang pada masa revolusi memegang
jabatan sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, pada
tanggal 30 Januari 1950 dilantik sebagai gubernur (Syamsuddin, 1990:
35-36).
Pada awal tahun 1951, setelah terbentuk kembali NKRI, daerah
Aceh dikembalikan menjadi keresidenan dalam lingkungan Provinsi
Sumatra Utara. Penurunan status dari provinsi menjadi keresidenan
sangat mengecewakan Daud Beureueh dan para pendukungnya
terutama anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang didirikan

209
Pengayaan Materi Sejarah

tahun 1939. Sejak itu ia membangun kekuatan untuk menentang


pemerintah. Untuk mencari dukungan ia mengobarkan sentimen
kedaerahan dan sentimen agama (Islam). Ia mengadakan kontak
dengan Kartosuwiryo dengan saling mengirim utusan (Sjamsuddin,
1990: 89-90).
Setelah persiapannya cukup, pada tanggal 21 September 1953
Daud Beureueh memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari NII
di bawah Kartosuwiryo. Setelah proklamasi, mereka menduduki kota-
kota penting, tetapi gagal menduduki Banda Aceh. Serangan paling
hebat dilancarkan terhadap kota Takengon yang dapat mereka kuasai
selama hampir tiga bulan.
Untuk menghadapi pemberontakan tersebut, TNI
mendatangkan pasukan dari Sumatra Utara dan Tengah. Kepolisian
Negara mengerahkan satuan-satuan brigade mobil (brimob). Pada akhir
bulan November 1953 kota-kota yang dikuasai oleh DI direbut kembali
oleh pasukan pemerintah. Para pemberontak mengundurkan diri ke
hutan-hutan melancarkan perang gerilya, melakukan sabotase terhadap
alat-alat perhubungan dan meneror rakyat. Untuk mengatasi gangguan
keamanan, Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA) Letnan Kolonel
Sjamaun Gaharu menerapkan kebijakan yang disebut “Konsepsi
Prinsipiil Bijaksana”. Intinya adalah menerima para pemberontak dengan
tangan terbuka bagi mereka yang ingin menghentikan perlawanan, dan
menghancurkan mereka bagi yang masih membangkang. Pendekatan
persuasif pun dilakukan dengan beberapa tokoh DI. Pada tanggal 5 dan
7 Juli 1957 Sjamaun Gaharu yang didampingi oleh M. Insja (Kepala
Kepolisian Aceh) mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh DI yaitu
Hasan Saleh, Hasan Ali, Gani Mutiara, Ustad Amin, dan Pawang Leman
di Desa Lamteh. Pertemuan itu melahirkan “Ikrar Lamteh” yang intinya
kedua pihak sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan
mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh.
Ikrar Lamteh menimbulkan perpecahan di kalangan DI.
Kelompok Hasan Saleh bersedia berunding dengan pemerintah,
sedangkan Daud Beureueh menolak. Pada bulan Mei 1959 pemerintah
mengirim misi yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi
untuk berunding dengan kelompok Hasan Saleh. Hasil penting dalam
perundingan itu ialah pemerintah akan memberikan status istimewa
untuk daerah Aceh. Akan tetapi Daud Beureueh menolak hasil
perundingan tersebut dan tetap melanjutkan pemberontakan. (Sujono,
2008: 365).

210
Pengayaan Materi Sejarah

Pada tanggal 2 November 1961 Kolonel Muhammad Yasin


(Pengganti Panglima KDMA Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu)
mengunjungi Daud Beureueh dan berbicara dari hati ke hati dengannya
selama dua setengah jam. Ia menerima persyaratan Daud Bereueh. Pada
tanggal 2 April 1962 dengan dukungan penuh dari DPRD dan
beberapa jenderal di Jakarta, Yasin menyatakan berlakunya syari’at Islam
di Aceh.
Sebulan kemudian, sebuah konvoi mobil dan bus membawa
para pemimpin masyarakat dan pejabat pemerintah untuk menemui
Daud Beureueh di Aceh Timur dan membawanya ke Kutaraja. Pada
tanggal 8 Mei 1962 setelah sholat di Mesjid Raya Kutaraja dengan
singkat Daud Beureueh antara lain mengatakan: “Atas permintaan
rakyat, saya kembali kepada rakyat… Ini berarti juga bahwa tidak ada
lagi permusuhan di antara sesama kita, sesama bangsa, yang telah
berlangsung selama delapan tahun, sepuluh bulan dan 27 hari”.
Dengan demikian “penyelesaian spiritual” telah tercapai. Daud Beureueh
kembali ke kampungnya setelah menolak tinggal di sebuah rumah yang
disediakan oleh Jasin di Kutaraja (Sjamsuddin, 1990: 333).

3.4.5. Peristiwa 17 Oktober 1952


Setelah pengakuan kedaulatan, Kepala Staf Angkatan Perang
(KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) berusaha memajukan
TNI. TNI yang terdiri dari pejuang-pejuang yang bermodal semangat
akan ditingkatkan menjadi Angkatan Perang yang lebih tinggi mutu
teknis militernya dan diikat oleh disiplin yang melembaga. Jika usaha
tersebut berhasil, Angkatan Perang akan menjadi kekuatan sosial politik
yang kompak dan dapat mengimbangi kekuasaan partai-partai politik
dan golongan politik pada umumnya.
Partai-partai politik menganggap usaha tersebut sebagai
ancaman terhadap mereka. Oleh karena itu, mereka berusaha
mencegahnya dengan cara mempengaruhi pion-pion politik dalam
Angkatan Perang. Langkah-langkah mereka mulai diambil melalui
seorang perwira senior. Kolonel Bambang Supeno mendatangi
panglima-panglima daerah dan mengajak mereka untuk
menandatangani pernyataan agar Presiden menggantikan Kolonel A.H.
Nasution sebagai KSAD. Tanggal 12 Juli 1952 diadakan pertemuan
perwira-perwira pimpinan Angkatan Darat dari pusat dan daerah.
Kebanyakan di antara mereka tidak menyetujui cara yang ditempuh oleh
Bambang Supeno karena merusak solidaritas intern Angkatan Perang.

211
Pengayaan Materi Sejarah

Keesokan harinya, Bambang Supeno menulis surat kepada Perdana


Menteri, Menteri Pertahanan, dan Parlemen. Dalam surat itu dikatakan
bahwa ia telah kehilangan kepercayaan kepada atasannya. Parlemen
mengadakan sidang yang membahas mosi yang menuntut agar
diadakan perbaikan dalam pimpinan dan organisasi Kementerian
Pertahanan dan Angkatan Perang.
Pada tanggal 18 Juli 1952 KSAP menulis surat kepada
pemerintah, agar peristiwa tersebut diselesaikan sesuai prosedur militer.
Oleh karena tindakan Kolonel Bambang Supeno dianggap melanggar
disiplin, Menteri Pertahanan membebastugaskannya. Akan tetapi,
pembebastugasan Bambang Supeno ditolak Presiden.
Kemudian, atas inisiatif Kolonel Jatikusumo dengan seizin KSAP
pada tanggal 10 Oktober 1952 diselenggarakan rapat kolegial yang
dihadiri oleh para panglima dan para perwira menengah yang berada di
Jakarta. Rapat membahas apakah perdebatan dalam DPR mengenai
kebijakan Kementerian Pertahananan membahayakan keutuhan
Angkatan Perang dan negara apa tidak. Tanggal 11 Oktober 1952
diadakan rapat khusus lanjutan antara KSAD dan para panglima
membicarakan mosi DPR. Rapat memutuskan bahwa mereka akan
solider menghadapi perkembangan selanjutnya. Tanggal 15 Oktober
1952 para panglima diundang rapat lagi ke Staf Umum Angkatan Darat
karena DPR akan menyatakan putusannya pada tanggal 16 Oktober.
Kalangan militer menganggap sikap DPR itu tidak wajar dan
dirasakan sebagai intervensi dalam soal intern TNI AD. Untuk
menghadapi perkembangan DPR, pimpinan AD berdasarkan konsensus
dengan para panglima Teritorium tanggal 16 dan 17 Oktober 1952,
mengeluarkan pernyataan. Butir ke lima dari tujuh butir putusan itu
mengemukakan kekhawatiran akan terjadinya instabilitas. Oleh karena
itu, pimpinan Angkatan Perang mendesak Kepala Negara untuk
membubarkan DPR dan membentuk DPR baru. Pernyataan itu
ditandatangani oleh KSAD, para Panglima Teritorium, para Asisten
KSAD, para Inspektur Kesenjataan/Jawatan sebanyak 16 orang perwira
menengah. Surat pernyataan tersebut disampaikan kepada Presiden
oleh Letkol Sutoko. Presiden menolak desakan itu dan akan menyelidiki
lebih dahulu keinginan rakyat di luar Jakarta dan akan mendesak
pemerintah agar mempercepat pemilihan umum.
Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi menuntut
dibubarkannya DPR. Para demonstran memasuki gedung DPR di Jl.
Lapangan Banteng Timur, merusak beberapa peralatan yang ada dalam

212
Pengayaan Materi Sejarah

gedung. Demonstran kemudian bergerak menuju ke depan Istana


Merdeka. Mereka membawa spanduk sambil berteriak-teriak menuntut
pembubaran parlemen. Di belakang demonstran telah berderet meriam
dihadapkan ke istana dari pasukan infantri Resimen 7. Mereka
mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan DPR dan menggantinya
dengan DPR baru. Di depan para demonstran Presiden menyatakan
menolak membubarkan DPR karena ia bukan diktator. Dikatakan pula
bahwa para demonstran hanyalah sebagian rakyat Jakarta, tidak
mewakili seluruh rakyat Indonesia. Penolakan yang sama juga
disampaikan oleh Presiden di depan KSAD, Wakil KSAD, dan para
Panglima Teritorium serta KSAP yang datang ke istana pada hari itu
juga. Untuk menghadapi kemungkinan terjadinya demonstrasi, telah
diadakan penjagaan pada posisi yang strategis seperti di Lapangan
Banteng dan Lapangan Merdeka. Aksi-aksi tersebut diikuti oleh
penangkapan enam orang anggota DPR dan pembredelan beberapa
surat kabar (Wilopo, 1976: 30)..
Penyelesaian yang dapat memuaskan kedua pihak tidak tercapai.
Selama beberapa waktu terdapat suasana saling menentang antara
yang pro dan yang kontra gerakan 17 Oktober 1952. Kebijakan Perdana
Menteri terhadap persoalan tersebut kurang mendapat persetujuan
partainya. Dalam kongresnya di Surabaya pada bulan Desember 1952
PNI menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober itu merupakan
pemerkosaan demokrasi dan menuntut agar pemerintah menyelesaikan
masalah itu secepatnya. Penyelesaiannya harus mendapat persetujuan
dari presiden dalam kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi (Wilopo,
1976: 31).
Akibat peristiwa tersebut Angkatan Darat mengalami
perpecahan yang memerlukan waktu beberapa tahun untuk
mengatasinya. KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang diberhentikan,
dan jabatan KSAP dihapuskan, sedangkan KSAD Kolonel A.H. Nasution
mengajukan permintaan berhenti sebagai pertanggungjawabanya atas
terjadinya peristiwa tersebut. Ia diberhentikan kemudian digantikan oleh
Kolonel Bambang Sugeng. Tanggal 22 November pemerintah
mengeluarkan keterangan bahwa pada tanggal 17 Oktober 1952 tidak
terjadi coup atau percobaan coup. Pemerintah tidak dapat mewujudkan
persatuan di lingkungan Angkatan Perang, tetapi hanya berhasil
mengusahakan Angkatan Perang kembali kepada tugasnya sehari-hari.
Walau demikian peristiwa itu mulai menggoyahkan kabinet.

213
Pengayaan Materi Sejarah

Peristiwa 17 Oktober 1952 menyebabkan terjadinya dua blok


dalam AD, yaitu yang pro dan yang kontra peristiwa 17 Oktober 1952.
Untuk mengutuhkan kembali jajaran AD diselenggarakan musyawarah
antara golongan yang pro dan kontra Peristiwa 17 Oktober 1952.
Pertemuan yang dihadiri oleh 29 perwira senior AD diadakan di
Yogyakarta tanggal 21 – 25 Februari 1955. Pertemuan yang disebut
Rapat Colegial (Raco) membahas tiga masalah pokok, yaitu (1)
Keutuhan dan persatuan AD; (2) Penyelesaian Peristiwa 17 Oktober
1952; dan (3) Pembangunan AD. Raco menghasilkan Piagam Keutuhan
ADRI yang juga disebut Piagam Yogyakarta yang ditandatangai oleh 29
perwira senior peserta Raco. Peristiwa 17 Oktober 1952 di kalangan AD
dianggap selesai.
Tidak lama setelah berakhirnya KAA, KSAD Kolonel Bambang
Sugeng meletakkan jabatan karena merasa tidak mampu melaksanakan
Piagam Yogyakarta. Terjadilah kesulitan untuk menunjuk penggantinya.
Akhirnya Pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Utoyo (Panglima
Teritorium II/ Sriwijaya) sebagai KSAD. Pengangkatan Kolonel Bambang
Utoyo mendapat tantangan dari Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis dan
kalangan AD. Lebih dari itu, pejabat KSAD Kolonel Zulkifli Lubis menolak
untuk melakukan serah terima dengan Bambang Utoyo, bahkan KSAD
yang baru tidak diizinkan memasuki MBAD. Akibat peristiwa tersebut,
Ketua Seksi Pertahanan dalam Parlemen mengundurkan diri dari
jabatannya.
Pada bulan Oktober 1955 terjadi penggantian Kepala Staf TNI
AD. Tiga orang calon diajukan yaitu Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot
Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tidak ada kesepakatan dalam
Parlemen siapa dari ketiga calon itu yang akan dipilih, sebab masing-
masing ada yang menentangnya. NU mengusulkan A.H. Nasution dan
Nasution menerima pencalonan itu. Akhirnya tanggal 28 Oktober 1955
diputuskan bahwa A.H. Nasution kembali diangkat sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat (Sujono, 2008: 321).

3.5. Konferensi Asia Afrika


Pada masa demokrasi parlementer diselenggarakan Konferensi
Asia Afrika (KAA). Konferensi Colombo merupakan pembuka jalan bagi
terselenggaranya KAA. Dalam Konferensi Colombo, gagasan untuk
menyelenggarakan KAA dilemparkan oleh PM Ali Sastroamijoyo.
Konferensi Colombo dimulai pada 28 April 1954 sampai dengan 2 Mei
1954 bertempat di Colombo, Sri Langka. Konferensi tersebut dihadiri

214
Pengayaan Materi Sejarah

oleh lima perdana menteri negara-negara Asia yaitu PM Burma U Nu,


PM India Jawaharlal Nehru, PM Indonesia Ali Sastroamijoyo, PM
Pakistan Mohamad Ali, dan tuan rumah PM Sri Langka Sir John
Kotelawala. Konferensi yang diprakarsai oleh PM Sri Langka itu
diselenggarakan karena dorongan rasa kekhawatiran dan keprihatinan
mengenai situasi peperangan di Indocina, agresi komunis di Asia yang
makin meningkat, dan senjata nuklir di dunia yang makin berkembang
(Abdulgani, MCMLXXX: 11).
Acara konferensi yang pertama adalah mendengarkan pidato
pembukaan oleh ketua konferensi dan pidato para perdana menteri.
Tema pidato pembukaan hampir sama. PM Sri Langka dan PM India
menyinggung soal perang dingin yang makin hangat dan
mengakibatkan ketegangan di Asia. Dalam pidatonya, Nehru
mengatakan bahwa masalah Indocina penting sekali bagi negara-
negara Asia, karena itu ia mengusulkan agar masalah tersebut menjadi
acara pembicaraan konferensi.
PM Ali Sastroamijoyo menyambut dengan mengemukakan
bahwa Konferensi Colombo tepat diadakan ketika seluruh Asia sedang
menghadapi situasi yang penuh dengan bahaya. Ia mengatakan bahwa
munculnya kembali politik kekuasaan internasional membawa bahaya
akan timbulnya kolonialisme, baik dalam bentuk lama maupun baru. Ia
mengusulkan agar diselenggarakan suatu konferensi yang lebih luas dari
Konferensi Colombo. Menurutnya, persoalan dunia tidak hanya dihadapi
oleh bangsa-bangsa Asia, melainkan juga dihadapi oleh bangsa-bangsa
Afrika (Sastroamidjojo, 1974: 463).
PM Sri Langka mengatakan bahwa konferensi tidak bersifat
resmi, melainkan informal. Maksud tersebut disetujui, oleh karena itu,
pada akhir konferensi ketua cukup hanya mengeluarkan komunike
tentang hasil-hasil konferensi. Namun demikian, ketua mengusulkan
agar konferensi tersebut membicarakan masalah Indocina yang dinilai
mendesak. Usul ketua disetujui oleh sidang.
Dalam sidang kedua dibicarakan masalah Indocina. PM India
mengatakan bahwa persengketaan di Indocina sudah berlangsung
beberapa tahun. Persengketaan tersebut nenjadi masalah yang penting
dalam urusan politik dunia. Negara-negara Asia ingin agar keadaan di
Indocina tidak bertambah buruk, sehingga bisa menimbulkan
pertempuran yang lebih besar. Sehubungan dengan hal itu, ia
mengusulkan agar Konferensi Jenewa yang tengah berlangsung
membahas persoalan gencatan senjata. Ia mengusulkan agar Prancis

215
Pengayaan Materi Sejarah

mengerahkan kekuasaannya di Indocina secara bulat dan negara-negara


besar seperti Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan RRC tidak lagi
campur tangan di Indocina. Ia menyatakan agar PBB mengawasi
pelaksanaan persetujuan. Saran Nehru pada umumnya disetujui oleh
konferensi (Sastroamidjojo. 1974: 465).
Bagi Indonesia, masalah yang penting ialah usul yang diajukan
oleh Ali Sastroamijoyo untuk diselenggarakan konferensi negara-negara
Asia dan Afrika. Usul tersebut diajukan dalam sidang keenam pada
tanggal 30 April 1954. Para peserta umumnya menyambut baik usul
tersebut. PM Nehru mengatakan bahwa usul Indonesia memiliki banyak
kekuatan, karena itu ia menyetujuinya. Namun Nehru meramalkan
bahwa dalam pelaksanaanya banyak menemui kesulitan. Oleh karena itu
menurutnya perlu persiapan matang sebelum konferensi
diselenggarakan. Sambutan dari perdana menteri lainnya bernada
hampir sama, yaitu pada dasarnya menyetujui, walaupun tidak begitu
antusias.
Menjawab tanggapan para perdana menteri, Ali Sastroamijoyo
mengatakan jika prinsip untuk menyelenggarakan KAA disetujui,
detailnya dapat ditentukan kemudian. Dikatakan bahwa Pemerintah
Indonesia akan menyeponsori sendiri konferensi tersebut, Indonesia
sanggup mengerjakan semua pekerjaan pendahuluan untuk
mempersiapkan koferensi. Akhirnya konferensi menyetujui usul
Indonesia. Keputusan tersebut tercantum di bagian terakhir dari seluruh
keputusan konferensi.
Seusai Konferensi Colombo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I
menentukan langkah-langkah selanjutnya. Instansi yang paling sibuk
melakukan persiapan-persiapan adalah Departemen Luar Negeri RI.
Mulai bulan Mei 1954 departemen yang berada di bawah pimpinan
Menteri Luar Negeri Mr. Sunario ini mempersiapkan konferensi.
Penjajakan terhadap kemungkinan untuk diselenggarakannnya
KAA segera dimulai. Reaksi sementara dari negara-negara yang
dihubungi umumnya sangat berkenan. Di antara negara-negara yang
dihubungi yang terpenting adalah sikap India. Menurut Indonesia, PM
India Jawaharlal Nehru yang mempunyai pengaruh dan wibawa besar di
Asia dan Afrika jangan sampai ragu-ragu.
Atas undangan PM Nehru, Ali Sastroamijoyo pada tanggal 25
September 1954 berkunjung ke New Delhi. Setelah Ali Sastroamijoyo
berpidato di muka Parlemen India yang menyinggung gagasan
menyelenggarakan KAA dan mendapat dukungan luas, pendirian Nehru

216
Pengayaan Materi Sejarah

berubah. Ali Sastroamijoyo berhasil mengikat PM India. Mereka berdua


mengeluarkan joint statement (pernyataan bersama) yang antara lain
berbunyi bahwa kedua perdana menteri membicarakan usul untuk
mengadakan KAA. Mereka berdua sependapat bahwa konferensi yang
demikian sangat perlu dan sangat membantu usaha memperkokoh
perdamaian dunia. Seyogyanya konferensi itu diadakan sesegera
mungkin. Ditambahkan pula dalam joint statement tersebut bahwa
sebelum konferensi dilaksanakan, kelima perdana menteri peserta
Konferensi Colombo perlu bertemu sekali lagi di Jakarta (Sastroamidjojo,
1974: 476-477).
Setelah berkunjung ke India, PM Ali Sastroamijoyo nerkunjung
ke Burma menemui PM Burma U Nu. Pada akhir kunjungannya pada
tanggal 28 September 1954 dikeluarkan pernyataan bersama. Isi
pernyataan hampir sama dengan Nehru bahwa Konferensi Asia Afrika
itu diperlukan dan bermanfaat bagi perdamaian dunia.
Sesuai dengan pernyataan bersama antara PM India dan PM
Indonesia, maka pertemuan kembali para perdana menteri peserta
Konferensi Colombo perlu diadakan di Indonesia untuk membicarakan
KAA. Pada bulan Desember 1954, Indonesia memperoleh kepastian dari
PM Sri Lanka untuk berjumpa dengan para peserta Konferensi Colombo.
Berita kepastian itu disampaikan PM Sri Lanka ketika singgah di
Indonesia dalam perjalanannya menuju Amerika Serikat. Kemudian
ditentukan waktu dan tempat koferensi lima perdana menteri kedua.
Atas persetujuan Presiden Sukarno, tempatnya ditetapkan di Istana
Bogor.
Konferensi lima perdana menteri yang kedua diselenggarakan di
Bogor pada tanggal 28 – 30 Desember 1954 bertempat di Istana Bogor.
Maksud konferensi tersebut adalah untuk membicarakan persiapan-
persiapan terakhir dari KAA. Tempat penginapan para delegasi berada
di beberapa pavilion dan beberapa bungalow istana, sedangkan para
staf ditempatkan di Hotel Salak. PM Burma U Nu disertai enam anggota
delegasi antara lain Thiri Payenchi U Thant. PM India Jawaharlal Nehru
disertai tujuh anggota delegasi antara lain Agha Shahi. PM Sri Lanka
John Kotelawala disertai tiga anggota delegasi. Indonesia sebagai tuan
rumah mengirimkan empat belas orang delegasi, yaitu PM Ali
Sastroamijoyo, Menteri Luar Negeri Mr. Sunario, Penasehat Departemen
Luar Negeri Mr. Akhmad Subarjo, Sekretaris Jenderal Departemen Luar
Negeri Ruslan Abdulgani, Sukarjo Wiryopranoto, Mr. Nazir Datuk
Pamuncak, Mr. Suyono Hadinoto, Ir. Juanda, M. Utoyo Ramelan, Mr.

217
Pengayaan Materi Sejarah

Tirtawinata, L.N. Palar, M. Maramis, Mr. Suwanto, dan J.D. de Fretes


(Abdulgani, MCMLXXX: 21).
Pada tanggal 28 Desember 1954 sore, sidang dibuka oleh PM
Ali Sastroamijoyo. Dalam pidato pembukaan ia terlebih dahulu
mengemukakan situasi internasional yang sejak Koferensi Colombo agak
mereda. Namun demikian, ketegangan masih ada terutama sekitar
hubungan Amerika Serikat dan RRC. Ia melaporkan hasil penjajakan
Indonesia tentang rencara diselenggarakannya KAA. Disampaikan
bahwa Indonesia telah mengadakan pendekatan melalui saluran
diplomatik terhadap empat belas negara, yaitu Mesir, Ethiopia, Iran,
Yordania, Libanon, Liberia, Libya, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Muang
Thai (Thailand), dan Yaman. Kecuali Filipina dan Muang Thai, dua belas
Negara telah memberikan jawaban positif, yaitu setuju untuk
menyelenggarakan KAA sesegera mungkin. Semua setuju bahwa tempat
konferensi di Indonesia. Beberapa negara menghendaki agar RRC
diundang. Liberia dan Irak menganjurkan agar RRC dan Taiwan
diundang secara bersamaan. Beberapa negara mengusulkan agar Nepal,
Tunisia, dan Liga Arab diundang pula. Akan tetapi tentangan banyak
disampaikan terhadap kemungkinan untuk mengundang Israel.
Adapun sambutan oleh empat perdana menteri lainnya antara
lain menekankan pentingnya KAA. Kemudian, atas usul PM Ali
Sastrpamojoyo dan disetujui peserta, dibicarakan tujuan konferensi,
sponsor konferensi, waktu dan lama koferensi, tingkat delegasi yang
diminta hadir, agenda konferensi, dan negara-negara yang diundang.
Tujuan konferensi sebagaimana diusulkan oleh PM India dan
disetujui oleh peserta adalah sebagai berikut. (1) Mengusahakan
goodwill dan kerjasama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika,
menyelidiki dan mengusahakan baik untuk kepentingan timbal balik
maupun kepentingan bersama, serta mengadakan dan membina
hubungan persahabatan di antara mereka sebagai tetangga-tetangga
baik; (2) Membicarakan soal-soal sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari
negara-negara yang diwakili; (3) Membicarakan soal-soal khusus bagi
bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang mempengaruhi kedaulatan
nasional mereka, serta soal-soal rasialisme dan kolonialisme; (4)
Meninjau kedudukan Asia, Afrika, dan rakyat-rakyat mereka di dunia,
serta sumbangan yang dapat mereka berikan untuk memajukan
perdamaian dan kerjasama dunia (Sastroamidjojo, 1974: 478).
Mengenai sponsor, peserta konferensi sepakat bahwa Indonesia
menjadi sponsor utama konferensi dibantu empat negara lainnya.

218
Pengayaan Materi Sejarah

Keempat negara tersebut sebagai sponsor ikut memikul sebagian biaya


konferensi. Selain itu, ditetapkan pula bahwa Indonesia diberi tugas
untuk mengorganisasikan seluruh jalannya koferensi.
Mengenai waktu konferensi, ditetapkan mulai minggu terakhir
bulan April 1955 dan lamanya diperkirakan 10 hari. Tingkat delegasi
yang akan menghadiri konferensi ditentukan yaitu tingkat menteri
dengan penegasan seyogyanya dihadiri oleh perdana menteri atau
menteri luar negeri. Para peserta konferensi ingin memberikan ruang
gerak yang leluasa kepada para peserta konferensi.
Adapun negara-negara yang diundang adalah semua negara di
benua Asia dan Afrika yang sudah merdeka atau sudah mempunyai
pemerintahan sendiri sebagai peserta penuh. Konferensi juga sepakat
untuk mengundang Nepal, Turki, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam
Selatan, Laos, Kamboja, dan Taiwan. Selain itu, mereka mengundang
dua negara di Afrika yang “setengah merdeka” yaitu Gold Coast (Pantai
Emas). Setelah PM Indonesia menyanggupi untuk memberi penjelasan
kepada negara-negara Arab, maka diputuskan untuk mengundang RRC.
Mengenai Israel diputuskan untuk tidak diundang. Dengan demikian,
jumlah negara yang diundang sebanyak 25 ditambah lima negara
sponsor sehingga jumlah seluruhnya menjadi 30 negara. Angka tersebut
merupakan setengah jumlah negara-negara merdeka di dumia pada
waktu itu (Abdulgani, MCMLXXX: 37).
Adapun 25 negara yang akan diundang adalah sebagai berikut.
Afghanistan, Central African Federation (Federasi Afrika Tengah), Cina,
Mesir, Ethiopia, Gold Coast (Pantai Emas), Iran, Irak, Jepang, Yordania,
Kamboja, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Muang Thai. Nepal, Filipina,
Arab Saudi, Sudan, Suriah, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan
Yaman. Di antara negara-negara tersebut yang menyatakan tidak
datang adalah (Central African Federation (Federasi Afrika Tengah).
Untuk penyelenggaraan konferensi diputuskan membentuk Joint
Secretariat (Sekretariat Bersama). Para wakil dari empat Negara sponsor
ikut serta dalam Sekretariat Bersama. Ruslan Abdulgani ditunjuk sebagai
Kepala Secretariat dan konferensi ditetapkan di Bandung.
Setelah Konferensi Bogor selesai, pada tanggal 30 Desember
1954 Kepala Sekretariat Ruslan Abdulgani mengundang staf
Departemen Luar Negeri dan para wakil kedutaan besar negara-negara
sponsor untuk menghadiri rapat di kantor Departemen Luar Negeri RI di
Pejambon. Joint Secretariat Pusat yang berada di Jakarta, terdiri atas
Ruslan Abdulgani dari Indoensia sebagai ketua, dibantu Duta Besar

219
Pengayaan Materi Sejarah

B.F.H.B. Tyabji dari India, Duta Besar Choudri Khaliquzzaman dari


Pakistan, Minister Councelor M. Saravanamuttu dari Sri Lanka, dan
Kuasa Usaha Mya Sein dari Burma (Myanmar). Di Bandung dibentuk
Panitia Lokal diketuai oleh Gubernur Jawa Barat Sanusi Harjadinata.
Gedung-gedung yang akan digunakan sebagai tempat sidang
dengan cepat di up grade yaitu Gedung Merdeka dan Gedung Dana
Pensiun yang diberi nama baru menjadi Gedung Dwi Warna. Hotel-hotel
seperti Hotel Homann, Hotel Preanger, Hotel Astoria, Hotel Orient, dan
bungalow-bungalow di sepanjang Jalan Lembang dan Jalan
Ciumbuleuit dipersiapkan untuk para ketua delegasi. Masjid di alun-alun
diperbaiki, demikian pula lapangan terbang, stasiun kereta api, jalan
besar dari Jakarta ke Bandung, dan jalan-jalan tertentu di kota Bandung.
Jaringan telepon dan telegram ditingkatkan kualitasnya dan kendaraan-
kendaraan untuk para delegasi disediakan. Disiapkan pula para
penerjemah untuk mengalihbahasakan pidato-pidato dan pembicaraan
terutama dari bahasa Inggris ke bahasa Prancis dan sebaliknya yang
harus disediakan dari luar negeri. Adapun penjagaan keamanan
diperhatikan secara khusus.
Sebelum koferensi dibuka secara resmi, pada hari Minggu
tanggal 17 April 1955 pukul 10.00 pagi diselenggarakan “Pertemuan
Pendahuluan” oleh para Ketua delegasi dan/atau anggota staf dari 22
negara peserta bertempat di salah satu ruang Sekretariat di Gedung
Merdeka. Waktu itu tujuh delegasi belum datang. Sore harinya diadakan
jamuan minum teh oleh PM Ali Sastroamijoyo untuk semua anggota
delegasi bertempat di bungalow di Ciumbuleuit.
Sesuai dengan rencana, konferensi selain dihadiri oleh delegasi
dari lima negara sponsor, yaitu Burma, India, Indonesia, Pakistan, dan
Sri Lanka, juga dihadiri oleh 24 negara peserta. Dua puluh empat
negara tersebut adalah Afghanistan, Ethiopia, Gold Coast (Pantai Emas),
Iran, Irak, Jepang, Yordania, Kamboja, Laos, Libanon, Liberia Utara,
Vietnam Selatan, dan Yaman. Sebagai peninjau dari luar negeri antara
lain Uskup Besar Makarios dari Siprus, Mufti Besar Amin El Husaini dari
Yerusalem, Palestina, dan pejuang-pejuang kemerdekaan dari Tunisia,
Maroko, dan Aljazair (Abdulgani, MCMLXXX: 64-65).
Pada hari Senin tanggal 18 April 1955, sekitar pukul 09.00
konferensi dibuka oleh Presiden Sukarno yang bertindak sebagai
keynote speaker. Dalam pidato pembukaannya, Presiden Sukarno
menandaskan bahwa meskipun negara-negara peserta konferensi
berbeda-beda dalam hal politik, struktur sosial, dan kebudayaan, namun

220
Pengayaan Materi Sejarah

mereka satu dalam hal pahit getirnya kolonialisme, sehingga bersatu


pula dalam menghadapinya. Dikatakan bahwa kolonialisme belum mati,
dalam bentuknya yang baru masih hidup dan kuat untuk menguasai
bekas jajahannya, baik di bidang ekonomi, kebudayaan, maupun politik.
Oleh karena itu presiden mengajak agar bangsa-bangsa Asia-Afrika
dalam konferensi tersebut membentuk satu front anti kolonialisme
dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika. Presiden
Sukarno selanjutnya menekankan bahwa sudah waktunya bangsa-
bangsa di Asia dan Afrika memperdengarkan suaranya dalam
gelanggang politik dunia. Mereka bergabung tidak untuk mendirikan
suatu blok baru penentang blok-blok yang sudah ada, melainlan untuk
menyumbangkan pikiran dan daya upaya guna menemukan jalan keluar
bagi dunia yang tengah berada dalam ketakutan karena kecurigaan dan
ketegangan dari Perang Dingin. Singkatnya konferensi ini bertujuan
untuk mencari jalan kearah perdamaian tidak hanya untuk bangsa-
bangsa Asia-Afrika, melainkan juga untuk seluruh umat manusia.
Perdamaian dunia dan kerja sama di antara bangsa-bangsa di dunia
adalah syarat mutlak bagi pembangunan negara-negara berkembang
untuk mencapai keadilan dan kemakmuran (Sastroamidjojo, 1974: 489).
Pidato yang berlangsung sekitar satu jam itu didengarkan oleh
para hadirin dengan tenang dan penuh perhatian. Setelah Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta meninggalkan tempat
upacara, pukul 10.45 rapat dibuka kembali. PM Ali Sastroamijoyo
dengan suara bulat terpilih sebagai Ketua Umum (Presiden) konferensi.
Ketua Umum konferensi dalam pidatonya menyampaikan garis
besar soal-soal yang dijadikan acara konferensi. Garis besar acara tidak
boleh lain dari yang telah ditetapkan oleh konferensi lima perdana
menteri di Bogor. Ia mengemukakan bahwa di antara empat maksud
konferensi sebagaimana ditentukan oleh Konferensi Bogor yang paling
penting adalah meninjau kedudukan Asia dan Afrika dan bangsa-
bangsanya di dunia. Selain itu sumbangan yang bisa diberikan
konferensi untuk memajukan kerjasama dan perdamaian di dunia.
Gagasan KAA lahir karena sudah tiba waktunya bagi bangsa-bangsa
Asia dan Afrika yang merdeka untuk maju ke depan dan turut serta
dengan bangsa-bangsa di dunia dalam upaya menentukan nasib umat
manusia. Alasan terpenting menyelenggarakan KAA adalah adanya
ketegangan di dunia pada waktu itu yang disebabkan karena Perang
Dingin antara dua negara raksasa yang saling berhadapan, yaitu Blok
Barat dan Blok Timur (Amidjojo, 1974: 490-491).

221
Pengayaan Materi Sejarah

Perang Dingin itu disebabkan oleh adanya ketakutan dan


kecurigaan antara kedua belah pihak. Pihak yang satu berpendapat
bahwa untuk menghilangkan ketakutan diserang oleh pihak lainnya
harus membina kekuatan senjata yang hebat sehingga lawan tidak
berani menyerangnya. Terjadilah perlombaan senjata besar-besaran,
akibatnya adalah ketegangan dunia. Bangsa-bangsa Asia-Afrika yang
berkumpul di konferensi harus mencari jalan lain. Akhirnya ditandaskan
kepada para peserta bahwa suara mereka adalah suara Asia-Afrika,
suara dua pertiga dari seluruh penduduk dunia.
Setelah pidato Ketua selama setengah jam, sesuai tata tertib,
acara kemudian berlangsung sebagai berikut. Setiap Ketua Delegasi
diberi kesempatan mengucapkan pidato dalam sidang pembukaan
konferensi. Agenda konferensi meliputi lima pokok yaitu (1) Kerjasama
ekonomi; (2) Kerjasaam kebudayaan; (3) Hak azasi manusia dan hak
menentukan nasib sendiri (di dalamnya antara lain termasuk soal
Palestina dan rasialisme; (4) Maslah bangsa-bangsa terjajah (di
dalamnya antara lain termasuk soal Irian Barat dan Afrika); (5) Masalah
perdamaian dunia dan kerjasama internasional (di dalamnya termasuk
beberapa segi tentang PBB, masalah koeksistensi, masalah Indocina dan
Aden, masalah pengurangan persenjataan, dan masalah-masalah
senjata pemusnah massal) (Abdulgani, MCMLXXX: 62).
Setelah pembukaan, rapat diteruskan antara para Ketua Delegasi
beserta para penasehatnya untuk menentukan mekanisme konferensi
selanjutnya. Kemudian diadakan rapat-rapat oleh ketiga panitia yaitu
Panitia Politik, Panitia Ekonomi, dan Panitia Kebudayaan, bertempat di
Gedung Dwi Warna. Panitia Politik yang terdiri atas semua Ketua
Delegasi diketuai oleh PM Ali Sastroamijoyo didampingi oleh Ruslan
Abdulgani. Delegasi Indonesia dalam panitia itu dipimpin oleh Menteri
Luar Negeri Mr. Sunario didampingi beberapa anggota senior, antara
lain Mr. Akhmad Subarjo. Panitia Ekonomi diketuai Menteri
Perekonomian Ir Rooseno, dan Panitia Kebudayaan diketuai oleh
Menteri PP dan K Mr. Muhammad Yamin.
Para Ketua Delegasi diberi kesempatan untuk berbicara tanpa
dibatasi waktu. Rapat Panitia Politik berjalan lancar, kadang-kadang
terjadi perdebatan yang menegangkan. Dalam sidang tanggal 23 April
1955, dibentuk panitia ad hoc yang bertugas menampung dan
merumuskan semua usul dan pendapat yang diajukan. Panitia ad hoc
diketuai oleh Gamal Abdul Naser (Ketua Delegasi Mesir) dan
anggotanya terdiri atas delegasi-delegasi dari RRC, Pakistan, Turki,
Jepang, Liberia, India, Burma, Sri Lanka, Kamboja, Libanon, dan Filipina.
Pada 24 April pukul 05.00 sore, rumusan oleh panitia ad hoc

222
Pengayaan Materi Sejarah

disampaikan oleh Pangeran Wan Waithayakon (Ketua Delegasi Muang


Thai) kepada Panitia Politik. Rumusan panitia ad hoc dinamakan final
communiqué (pernyataan terakhir) KAA. Di dalamnya termasuk
formulasi masalah yang hampir menyebabkan deadlock yaitu tentang
kolonialisme. Rumusan yang dapat memuaskan semua pihak dan oleh
karenanya disetujui berbunyi sebagai berikut. “Kolonialisme dalam
segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera
dihapuskan” (Sastroamidjojo, 1974: 504-505).
Bagian terpenting dari “Pernyataan Terakhir” adalah 10 pasal
yang menjadi dasar untuk “memajukan perdamaian dan kerjasama di
dunia”, yang kemudian terkenal sebagai Dasa Sila Bandung. Sepuluh
pasal yang merupakan azas-azas yang termuat dalam Piagam PBB
adalah sebagai berikut.
1. Menghormati hak-hak azasi manusia, tujuan-tujuan, dan azas-azas
yang termuat dalam Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan bangsa-
bangsa, baik besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri
dari negara lain.
5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan diri, baik
sendirian maupun bersama-sama sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dan pertahanan
kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu
negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun
penggunaaan kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara mana pun.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional secara damai, seperti
dengan perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim
atau cara damai lain menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan
sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kersa sama secara timbal
balik.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional
(Sastromidjojo, 1974: 505).
KAA kedua direncanakan diselenggarakan di Aljazair pada
tangal 29 Juni 1965. Akan tetapi rencana itu gagal karena pada
tanggal 19 Juni 1965 di Aljazair terjadi penggulingan kekuasaan
Presiden Ben Bella oleh Kolonel Houari Boumediene.

223
Pengayaan Materi Sejarah

3.6. Pemilihan Umum Tahun 1955


Pemerintah Kabinet Wilopo pada akhir bulan November 1952
menyampaikan RUU tentang Pemilihan Umum. RUU tersebut
merupakan hasil kerja Panitia ad hoc tingkat menteri yang terdiri dari
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. Setelah melalui banyak
kesulitan akhirnya kabinet bersama Parlemen tanggal 1 April 1953
berhasil menghasilkan UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum
(Wilopo, 1976: 32).
Pada masa Kabinet Ali Sastriamijoyo I suasana kampanye
pemilihan umum sudah mempengaruhi kehidupan kepartaian dan
masyarakat umum. Kegiatan partai-partai politik pun kian meningkat
pada penonjolan ideologi. Kepentingan ideologi lebih mewarnai
hubungan-hubungan dan pertentangan-pertentangan antara partai-
partai atau golongan-golongan, terutama masalah dasar negara.
Pelaksanaan pemilihan umum untuk anggota DPR dan Konstituante
yang termasuk urutan kedua dalam programnya, ternyata tertunda.
Sampai bubarnya Kabinet Ali I pemilihan umum belum terlaksana.
Langkah pertama yang diambil adalah menetapkan susunan anggota
Panitia Pemilihan Indonesia yang baru menggantikan Panitia Assaat.
Komposisi anggota Panitia Pemihan yang diketuai oleh S.
Hadikusumo sebagian besar mencerminkan partai-partai pemerintah,
sehingga menimbulkan protes keras dari partai-partai di luar
pemerintah. Pada pembentukan panitia di daerah-daerah, khususnya di
tingkat kabupaten dan kecamatan, komposisinya lebih mencerminkan
perwakilan partai-partai. Malahan di banyak tempat partai-partai di luar
pemerintah seperti Masyumi dan PKI lebih banyak terwakili. Kegiatan
partai-partai untuk berkampanye dan meluaskan pengaruhnya makin
dipusatkan di daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan, terutama
partai-partai massa yang besar lebih mengandalkan pada basis-basis
kekuatan mereka di pedesaan (Wilipo, 1976: 37).
Dalam usaha melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan, kabinet ini juga mengalami kesulitan-
kesulitan yang sama seperti kabinet-kabinet sebelumnya, yaitu terutama
mengenai persiapan-persiapannya. Karena luasnya wilayah Indonesia
dan sulitnya perhubungan sampai ke daerah-daerah pelosok, maka
pengiriman barang-barang keperluan pemungutan suara mengalami
kelambatan di beberapa tempat. Pemerintah juga mengadakan
penambahan anggota Panitia Pemilihan Indonesia yang semasa Kabinet
Ali I susunannya tidak mencerminkan secara luas partai-partai yang

224
Pengayaan Materi Sejarah

ada. Partai-partai yang ditambahkan sebagai anggota adalah Masyumi,


PSI, Katolik, Parindra, dan Partai Rakyat Indonesia (Wilopo, 1976: 44).
Salah satu program Kabinet Burhanuddin Harahap adalah
pemilihan umum. Golongan oposisi mendesak agar pemerintah
melaksanakan pemilihan umum secepat mungkin. Panitia Pemilihan
Umum Pusat telah menetapkan bahwa pemilihan umum untuk
parlemen akan diadakan tanggal 29 September 1955. Dalam kabinet
timbul pertemtangan, ada yang menghendaki pemilihan umum ditunda
dengan alasan persiapan belum selesai dan ada juga yang menuntut
agar pemilihan umum diadakan pada waktu yang telah ditetapkan.
Semakin dekat dengan waktu yang ditetapkan suasana makin tegang.
Koran-koran partai saling menyerang dan melontarkan tuduhan serta
saling menelanjangi partai lawannya. Partai besar dan kecil mengajukan
calon-calonnya untuk anggota DPR dan Konstituante. Selain itu terdapat
86 organisasi dan perseorangan yang akan ikut dalam pemilihan umum
(Sujono, 2008: 317).
Pada tanggal 29 September 1955 sekitar 39 juta rakyat
Indonesia memberikan suaranya dari jumlah rakyat Indonesia sekitar 80
juta. Hasil pemilihan umum anggota DPR seperti yang diumumkan oleh
Panitia Pemilihan Indonesia tanggal 1 Maret 1956 melahirkan empat
partai besar, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan
PKI (39 kursi). Yang sangat melonjak kenaikan jumlah kursinya di DPR
adalah NU dari 8 menjadi 45 dan PKI dari 17 menjadi 39. Sedangkan
partai-partai lainnya yang sebelum pemilu sering ikut memegang
peranan penting dalam pemerintahan ternyata mengalami kemerosotan
jumlah kursi. Misalnya PSI dari 14 menjadi 5, PRN dari 13 menjadi 2, PIR
Hazairin dari 18 menjadi 1, PIR Wondoamiseno dari 3 menjadi 1, Partai
Buruh dari 6 menjadi 2, Partai Murba dari 4 menjadi 2. Sedangkan
Parindra yang semula 8 kursi dan SKI 3 kursi malah tidak mendapat
kursi. Di luar empat pertai besar itu, partai-partai lainnya dan organisasi-
organisasi serta perorangan yang diwakili dalam parlemen, hanya
menduduki 1 kursi sampai 8 kursi (Wilopo, 1976: 44-45). Pada tanggal
20 Maret 1956 anggota parlemen sebanyak 272 orang dilantik Kepala
Negara. Pemilihan umum untuk anggota Konstituante diselenggarakan
tanggal 15 Desember 1955. Suasana dalam menghadapi pemilihan
umum tersebut lebih tenang dari pada ketika menghadapi pemeilihan
umum untuk anggota DPR.

3.7. Deklarasi Djuanda (Juanda)


Pada masa pemerintahan Kabinet Juanda dan masa-masa
sebelumnya tentang wilayah perairan Indonesia berlaku ordonansi No.

225
Pengayaan Materi Sejarah

442/1939 tentang Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie


(TZMKO) yang dijiwai prinsip mare liberum (freedom of the see).
Terutama Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa wilayah teritorial
Indonesia hanya 3 mil laut diukur dari garis air rendah (pasang surut) di
pantai setiap pulau. Hal tersebut mengakibatkan wilayah perairan
antara pulau-pulau di Indonesia menjadi laut (perairan) bebas yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak luar.
Untuk menjaga keutuhan teritorial dan melindungi kekayaan
alam Indonesia, pemerintah Juanda menyatakan bahwa semua
kepulauan dan laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai
suatu kesatuan yang bulat. Hal itu untuk membangun wawasan
nusantara yang bertujuan menyatukan wilayah Indonesia dalam satu
kekuatan hukum untuk menghindari disintegrasi bangsa.
Untuk menyatukan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelago) yang mempunyai wilayah daratan dan perairan, PM
Juanda dalam sidang kabinet tanggal 13 Desember 1957 menyatakan
sikap dan keinginan pemerintah RI untuk menjadi landasan hukum bagi
RUU untuk menggantikan ordonansi TZMKO tahun 1939. Isi
pengumuman (pernyataan) pemerintah tersebut yang dikenal sebagai
Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 itu adalah sebagai berikut.
Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian
yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara
Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-
garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau
Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang
(Djalal, 2007: 6-7).
Pengumuman pemerintah tersebut yang merupakan
perombakan TZMKO tahun 1939 dibawa ke Konferensi Hukum Laut
Internasional I di Jenewa tahun 1958. Kemudian dibawa lagi ke
Konferensi Hukum Laut Internasional II di tempat yang sama tahun
1960. Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Juanda tersebut kemudian pada
tanggal 18 Februari 1960 dikukuhkan dengan UU No. 4 PRP Tahun
1960 tentang perairan Indonesia (Kusumaatmaja, 2003: 1). Undang-
undang tersebut ditentang oleh dunia internasional terutama negara-
negara maritim karena menurut aturan yang lama untuk laut wilayah
lebarnya 3 mil diukur dari garis pasang surut (garis air rendah).

226
Pengayaan Materi Sejarah

Setelah Deklarasi Juanda, tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan


pengumuman Pemerintah RI mengenai Landas Kontinen yang
kemudian dikembangkan menjadi Undang-undang No. 1/1973 tentang
Landas Kontingen Indonesia. Dalam undang-undang itu antara lain
dinyatakan bahwa segala sumber kekayaan alam dalam landas
kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Negara Indonesia (Djalal,
2007: 9). Luas wilayah NKRI bertambah 0,8 km2 menjadi 6,7 km2.
Kemudian berdasarkan pengumuman Pemerintah RI tahun 1980
tentang Zone Ekonomi Eksklusif, UU No. 5/1983 tentang Pembenahan
Kekayaan Alam dan Potensi Alam, luas wilayah NKRI bertambah sekitar
2,5 juta km2, menjadi 9,2 km2 (Soemiarno, 2009: 50).
Konsepsi negara kepulauan yang telah disahkan oleh PBB
melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention
on the Law of the Sea) 1982 menimbulkan tantangan, ancaman, dan
gangguan bagi Indonesia. Ada empat macam negara yang sangat
berkepentingan atas wilayah Indonesia. (1) Negara-negara tetangga
yaitu anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya (termasuk
Australia); (2) Negara yang mempunyai kepentingan perikanan dan
komunikasi (kabel di dasar laut). Jepang termasuk golongan ini karena
telah melakukan kegiatan perikanan di perairan Indonesia sejak
sebelum perang; (3) Negara-negara maritim yang memiliki armada
niaga, misalnya negara-negara di Eropa Barat; (4) Negara maritim
besar yang mempunyai kepentingan strategi militer. Termasuk
golongan ini adalah Negara Amerika Serikat dan Uni Soviet
(Kusumaatmaja, 2003: 25 -26).
Deklarasi Juanda tersebut pada awalnya mendapat penolakan
dunia internasional, namun akhirnya dapat pengakuan internasional
melalui konvensi PBB tentang hukum laut di Montego Bay Jamaica
tahun 1982. Pemerntah Indonesia telah meratifikasi UNCLOS tahun
1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985. UNCLOS 1982 merupakan
bentuk pengakuan formal dari dunia terhadap kedaulatan NKRI
sebagai negara kepulauan yang mulai berkalu sebagai hukum positif
sejak tanggal 16 November 1994.
Melalui Deklarasi Juanda dinyatakan bahwa NKRI memerlukan
laut wilayah (territory water) selebar 12 mil laut dari garis dasar (base
line) atas dasar “point to point theory”. Dengan demikian, laut antar
pulau menjadi laut pedalaman (internal water). Menurut ordonansi
tahun1939, (tata lautan kolonial/tata lautan Belanda) didasarkan atas
asas pulau demi pulau yang masing-masing mempunyai laut territorial
dengan lebar 3 mil dihitung mulai pada waktu air surut. Menurut
Deklarasi Juanda, yang didasarkan atas asas nusantara dipandang

227
Pengayaan Materi Sejarah

bahwa seluruh wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan utuh dengan


laut teritorialnya selebar 12 mil, diukur dari garis yang menghubungkan
titik ujung terluar dari pulau-pulau Indonesia. Lalu lintas yang damai di
perairan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak mengganggu
kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia.
Menurut Cornelis van Bijenkershoek (dari Belanda) bahwa
wilayah laut adalah 3 mil laut dari pantai saat pasang surut.
Argumentasi tersebut didasari bahwa jangkauan meriam lebih kurang 3
mil. Ketentaun ini berlaku hingga 1994, yaitu dengan adanya
pengesahan melalui Sidang Umum PBB.
Dalam menentukan batas wilayah negara, pemerintah RI
mengacu pada Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal II yang
memberlakukan peraturan sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda
telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan wilayah yang
termuat dalam ordonnansi tahun 1939 “Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie” (TZMKO) No. 422/1939.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang berdasarkan
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) no.
442/1939 luas wilayah NKRI adalah sekitar 2 juta km2 (Soemiarno,
2009: 50). Luas tersebut berdasarkan ukuran 3 mil laut dari garis pantai
pada waktu pasang surut (low water). Setelah proklamasi kemerdekaan
RI s.d. 13 Desember 1957, berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945,
Konstitusi RIS, dan UUDS 1950 tetap berlaku Ordonansi No. 442/1939.
Setelah 13 Desember 1957 luas wilayah NKRI berdasarkan
pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957 (dikenal
Deklarasi Juanda). Isi Deklarasi Juanda adalah perubahan atas ordonansi
No. 442/1939 tentang TZMKO. Cara penarikan batas laut wilayah tidak
lagi didasarkan pada garis pasang surut (low water line) tetapi
didasarkan pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang
diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar dari
pada pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk ke dalam wilayah
Negara RI (point to point theory). Penentuan lebar laut wilayah menjadi
12 mil laut. Luas wilayah bertambah sekitar 3,9 juta km2 menjadi 5,9
km2 (Soemiarno, 2009: 50).
Deklarasi Juanda pada hakekatnya menerapkan asas archipelago
atau asas nusantara. Dalam deklarasi tersebut terkandung kepentingan
dan tujuan bangsa Indonesia ialah keutuhan wilayah negara di lautan.
Deklarasi Juanda menyatakan bahwa laut bukan lagi sebagai pemisah,
melainkan sebagai penghubung, sebagai pemersatu bangsa Indonesia.

228
Pengayaan Materi Sejarah

3.8. Pemberontakan PRRI dan Permesta

a. Pemberontakan PRRI
Pada masa pemerintahan Kabinet Juanda terjadi pemberontakan
PRRI dan Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Ketua Dewan
Banteng Akhmad Husein mengeluarkan ultimatum
kepada pemerintah pusat yang menyatakan bahwa Kabinet Juanda
harus mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam. Pemerintah
bertindak tegas menerima ultimatum tersebut. Pemerintah memecat
dengan tidak hormat Akhmad Husein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan
Dahlan Jambek. Mereka adalah perwira-perwira TNI AD yang duduk
dalam pimpinan gerakan separatis. KSAD A.H. Nasution tanggal 12
Februari 1958 mengeluarkan perintah untuk membekukan Komando
Daerah Militer Sumatera Tengah dan menmpatkannya langsung di
bawah KSAD. Akhmad Husein tanggal 15 Februari 1958 di Padang
memproklamasikan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
dan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri.
Oleh karena usaha melalui musyawarah tidak berhasil, untuk
memulihkan keamanan negara, pemerintah dan KSAD memutuskan
untuk melancarkan operasi militer. Operasi gabungan Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara terhadap PRRI di Sumatra Timur itu
diberi nama Operasi 17 Agustus. Operasi itu selain untuk
menghancurkan kaum separatis juga bermaksud mencegah mereka
meluaskan diri ke tempat lain dan mencegah turut campurnya kekuatan
asing. Kekuatan asing dikhawatirkan akan mengadakan intervensi
dengan dalih melindungi modal dan warganya, sebab di Sumatra Timur
dan Riau banyak terdapat kepentingan modal asing. Gerakan operasi
pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-
sumber minyak di sana. Pasukan APRI dapat menguasai Pekanbaru
sejak 14 Februari 1958. Dari Pekanbaru operasi dikembangkan ke pusat
pertahanan pemberontak. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi dapat
direbut kembali. Setelah itu APRI membersihkan daerah bekas
kekuasaan PRRI dimana banyak anggota pemberontak melarikan diri ke
hutan-hutan.

b. Pemberontakan Permesta
Proklamasi PRRI mendapat sambutan dari Indonesia bagian
timur. Dalam rapat-rapat “raksasa” yang diselenggarakan di beberapa
tempat di daerah tersebut, Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan
Tengah (KDMSUT) Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa
sejak tanggal 17 Februari 1958 wilayah Sulawesi Utara dan Tengah
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat serta mendukung
PRRI.

229
Pengayaan Materi Sejarah

Menyikapi pernyataan itu, pemerintah tidak ragu-ragu untuk


bertindak. KSAD A,H, Nasution sebagai Panglima Perang Pusat memecat
Kolonel Somba dan Mayor Runturambi. Sedangkan batalyon yang
berada di bawah KDMSUT (termasuk dinas dan jawatan wewenang
komandonya diserahkan kepada Komando Antar Daerah Indonesia
Timur (Koandait). Untuk menghadapi aksi Perjuangan Rakyat Semesta
(Permesta) pada bulan April 1958 dilancarkan Operasi Merdeka yang
merupakan gabungan ketiga angkatan di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Rukmito. Operasi ini terdiri atas Operasi Saptamarga I, II, III, IV,
dan Sapta Mena I dan II.
Sebelum operasi pokok dilancarkan, dilaksanakan Operasi Insyaf
di daerah Sulawesi Tengah dipimpin oleh Letnan Kolonel Jonosewojo.
Operasi itu berhasil menguasai kota Palu pada tanggal 18 April 1958.
Untuk mengamankan seluruh wilayah Sulawesi Tengah dilancarkan
Operasi Saptamarga I yang juga dipimpin oleh Letnan Kolonel
Jonosewoyo. Pada awal bulan Juni seluruh daerah Sulawesi Tengah
dapat dikuasai.
Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Mayor Agus
Prasmono ditujukan untuk menguasai daerah Gorontalo. Kota
Gorontalo dapat dikuasai pada tanggal 18 Mei 1958. Dalam serangan
ke Gorontalo pasukan APRI mendapat bantuan dari pemuda-pemuda
setempat di bawah pimpinan Nani Wartabone, seorang tokoh nasionalis
yang anti Permesta. Sementara itu Operasi Saptamarga III di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Magenda berhasil menguasai Kepulauan
Sangir Talaud. Pasukan ini kemudian bergabung dengan pasukan
Operasi Saptamarga IV yang langsung dipimpin oleh Letkol Rukmito.
Sasaran utamanya ialah merebut Manado yang merupakan basis
Permesta. Pada tanggal 26 Juni 1958 kota itu pun dapat dikuasai oleh
APRI.
Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel H. Pieters
ditujukan untuk menguasai Jailolo, sedang operasi Mena II di bawah
pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara
Morotai. Morotai dikuasai pada tanggal 20 Mei 1958 dan Jailolo direbut
tanggal 3 Juni 1958.
Permesta menyewa seorang penerbang asing (Amerika) yaitu
Allan Pope. Pesawat B-25 yang dipiloti Allan Pope dapat ditembak pada
18 Mei 1958 di atas Ambon. Ia dan operator Harry Rantung
menyelamatkan diri dengan parasut, kemudian ditangkap oleh APRI.
Dengan dikuasainya kota-kota tersebut di atas, kekuatan Permesta
dapat dilumpuhkan. Untuk beberapa waktu lamanya mereka masih
mengadakan perlawanan secara gerilya. Secara keseluruhan perlawanan

230
Pengayaan Materi Sejarah

ini berakhir pada tahun 1961 dengan menyerahnya para pemimpin


mereka.

3.9. Kembali ke UUD 1945


Pada masa pemerintahan Kabinet Juanda dilaksanakan sidang-
sidang Konstituante. Lembaga tersebut terdiri dari 544 anggota
mewakili 34 partai, golongan, dan aliran. Tanggal 20 November 1956
lembaga pembuat UUD ini mulai bersidang untuk menyusun dan
menetapkan UUD RI. Dalam sidang Konstituante timbul perbedaan
mengenai dasar negara yang akan dituangkan dalam undang-undang
dasar pengganti UUDS. Lembaga yang sudah bekerja sejak November
1956 hingga April 1959 belum berhasil menyusun UUD yang baru. Oleh
karena itu dalam pidato di depan sidang Konstituante tanggal 22 April
1959 Presiden Sukarno menyampaikan amanat kepada Konstituante
yang memuat anjuran Kepala Negara dan pemerintah agar dalam
rangka pelaksanaan demokrasi terpimpin Konstituante menetapkan
kembali UUD 1945 menjadi UUD RI yang tetap. Amanat presiden itu
diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum pada sidang
Konstituante yang berlangsung dari tanggal 25 April 1959 sampai
tanggal 13 Mei 1959. Sebanyak 57 anggota menjadi pembicara
(Wilopo, 1976: 54).
Pemandangan umum itu dijawab oleh pemerintah pada tanggal
21 Mei 1959. Pemandangan umum babak penegasan berlangsung
tanggal 25 dan 26 Mei 1959. Jawaban pemerintah diberikan esok
harinya tanggal 27 Mei 1959. Partai-partai yang duduk dalam
Konstituante mengelompokkan diri dalam dua golongan yang
berhadap-hadapan, yaitu kelompok Islam dan kelompok
nasionalis/sosialis/non-Islam. Untuk menghindari terjadinya ketegangan,
atas usul ketua sebaiknya Konstituante mengadakan reses. Waktu reses
itu akan digunakan oleh pimpinan Konstituante untuk bertukar fikiran
dengan pemerintah. Sementara itu berbagai fraksi berturut-turut
menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi. Tukar fikiran dengan
pemerintah dilangsungkan tanggal 27 Juni 1959. Pada kesempatan itu
pemerintah menegaskan bahwa anjuran untuk kembali ke UUD 1945
adalah gagasan presiden, oleh karenanya sukar bagi pemerintah untuk
menentukan langkah-langkah kelanjutan tanpa bermusyawarah lebih
dahulu dengan kepala Negara yang pada saat itu berada di Jepang
(Wilopo, 1976: 54)..

231
Pengayaan Materi Sejarah

Pada tanggal 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara


terhadap usul pemerintah yaitu kembali ke UUD 1945 (tanpa
perubahan). Hasilnya ialah 269 lawan 199, sedangkan anggota yang
hadir pada waktu itu 474 orang. Dengan demikian tidak tercapai
kuorum 2/3 seperti disyaratkan oleh UUDS 1950.
Sesuai dengan tata tertib Konstituante, pemungutan suara
diadakan dua kali lagi. Pemungutan suara terakhir dilakukan tanggal 2
Juni 1959, tetapi juga tidak tercapai kuorum. Mulai esok harinya,
Konstituante mengadakan reses yang kemudian ternyata untuk
selamanya.
Untuk mencegah ekses-ekses politik akibat ditolaknya usul
pemerintah oleh Konstituante, KSAD Letnan Jenderal A.H. Nasution atas
nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) mengeluarkan
peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang Larangan Mengadakan
Kegiatan-kegiatan Politik yang berlaku mulai 3 Juni 1959 pukul 06.00.
Pada tanggal 16 Juni 1959 Ketua Umum PNI Suwiryo mengirim surat
kepada Presiden Sukarno (waktu itu sedang berada di Jepang dalam
rangka perjalanan keliling dunia) agar Presiden Sukarno mendekritkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Sekretaris Jendral Central Comite PKI D.N. Aidit mengirim surat kepada
Fraksi PKI di Konstituante yang isinya bahwa Politbiro CC PKI hanya
membenarkan anggota-anggota fraksi menghadiri sidang pleno
Konstituante jika hal itu untuk membubarkan diri (Sujono, 2008: 381).
Presiden Sukarno setelah kembali ke tanah air pada tanggal 29
Juni 1959 mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh politik,
beberapa menteri, dan pimpinan Angkatan Perang. Pada tanggal 5 Juli
1959 disusun rumusan yang kemudian dikenal sebagai “Dekrit Presiden
5 Juli 1959”. Dekrit itu dibacakan Presiden Sukarno pada hari Minggu
tanggal 5 Juli pukul 17.00 dalam suatu upacara resmi di halaman Istana
Merdeka yang berlangsung selama lima belas menit. Inti dekrit itu
adalah:
1. Pembubaran Konstituante;
2. Berlakunya kembali UUD 1945; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung.

Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan


kemudian diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Presiden
sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Juanda menjadi menteri

232
Pengayaan Materi Sejarah

pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio.
Kemudian dengan Penpres Presiden membentuk Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) diketuai oleh Presiden dan juga dengan Penpres dibentuk
MPRS. Dengan dibubarkannya Kabinet Karya maka berakhirlah masa
Demokrasi Parlementer dan dimulainya masa Demokrasi Terpimpin.

3.10. Penutup
Pada masa demokrasi parlementer di bawah UUDS 1950 kabinet
jatuh bangun. Sebagian besar kabinet-kabinet hidup tersendat-sendat,
kurang dari setahun. Kabinet Natsir hanya enam setengah bulan dan
kabinet Burhanuddin Harahap tujuh bulan. Kabinet yang bertahan lebih
dari setahun hanya kabinet Wilopo (empat belas bulan) dan kabinet Ali
Sastroamijoyo I (dua tahun). Krisis kabinet sering berlangsung lama,
antara jatuhnya Kabinet Sukiman dan dibentuknya kabinet Wilopo
waktu krisis tiga puluh delapan hari. Antara kabinet Wilopo dan
dibentuknya kabinet Ali Sastroamijoyo I ada waktu krisis paling lama
yaitu lima puluh delapan hari.
Partai adalah sarana penting dalam pendemokrasian negara.
Adanya partai-partai politik adalah untuk memudahkan penyusnan
kekuatan dan memudahkan perundingan untuk penyusunan itu. Akan
tetapi dalam prakteknya sukar untuk menyusun kabinet yang mendapat
cukup dukungan partai. Kabinet yang berhasil dibentuk yang pada awal
nampak mantap, kemudian dapat menjadi goyah karena timbul
pergeseran dengan adanya partai-partai yang menarik mundur menteri-
menterinya. Akibatnya kabinet tersebut tidak bertahan lama. Pada masa
demokrasi parlementer soal tawar-menawar dan dagang sapi
mengambil tempat penting. Juga masalah penentuan personalianya
selalu merupakan hambatan bagi setiap formatur. Adanya fraksi besar
yang mendukung kabinet tidak menjadi jaminan, karena fraksi-fraksi
sedang dan kecil selalu dapat menjadi oposisi yang mengganggu.
Kabinet tergantung pada fraksi-fraksi dalam parlemen.
Pada setiap pembentukan kabinet, partai-partai tenggelam
dalam politik dagang sapi yang berlarut-larut sehingga sering
menggagalkan tugas formatur. Apabila kabinet berhasil dibentuk,
kelangsungan hidupnya tidak hanya ditentukan oleh dukungan partai-
partai yang relatif besar, melainkan juga partai-partai sedang dan
malahan partai-partai kecil dapat ikut menentukan jatuhnya kabinet.
Itulah sebabnya, setiap formatur harus juga memperhitungkan
dukungan partai-partai sedang dan partai-partai kecil.

233
Pengayaan Materi Sejarah

Pemilihan umum tahun 1955 ternyata tidak menampilkan partai


mayoritas, hanya adanya empat partai besar partai kecil masih tetap
banyak. Pemilihan umum tersebut tidak membawa perubahan banyak.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan
umum jatuh dalam waktu tidak sampai satu tahun. Penghargaan
terhadap hasil pemilihan umum menurun dan dan peranan partai-partai
tambah merosot.

Suharto

234
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 4
Demokrasi Terpimpin (1959 – 1967)

4.1. Pengantar
Sejak usia muda Soekarno telah berjuang untuk mengangkat
derajat dan martabat bangsanya dari exploitasi kapitalisme dan
imperialisme. Soekarno tersentuh nurani keadilannya setelah bertemu
dengan seorang petani kecil pemilik sebidang tanah yang tidak luas dan
dikerjakan sendiri.Ia bernama Marhaen. Nasibnya tidak berbeda dengan
leluhurnya pewaris kemiskinan di tanah tumpahnya darahnya
sendiri.Kaum feudal berganti-ganti mengexploitasi leluhurnya, dan tiba
gilirannya diexploitasi oleh kaum kapitalis dan imperialis Soekarno
gundah.Dari kegundahan itu lahir hasrat, tekad untuk mewajibkan
dirinya berbuat, berjuang untuk membangunkan kesadaran para
Marhaen-marhaen, bahwa mereka adalah obyek dari I’explatation de
I’homme par I’homme atau penganiayaan oleh manusia yang berkuasa.
Alam pikiran mereka harus diubah, kesadaran diri dan
masyarakatnya harus dibangunkan, digerakkan untuk perbaikan nasib
mereka melalui suatu organisasi pergerakan.
Dalam sebuah buku tipis yang ditulis pada Maret 1933, ia
menegaskan :
Oleh karena itu pergerakan kita janganlah pergerakan kecil-
kecilan, pergerakan kita haruslah didalam hakekatnya suatu pergerakan
yang ingin merobah sama sekali sifatnya masyarakat, suatu pergerakan
yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat. …. Suatu
pergerakan yang sama sekali ingin menggugurkan stelsel dan
imperialisme dan kapitalisme….

235
Pengayaan Materi Sejarah

Pengertian kita haruslah suatu pergerakan yang pada hakekatnya


menuju kepada suatu ommekeer (perubahan) susunan sosial.
Bagaimana ommekeer susunan sosial bisa terjadi?
Pertama-tama, oleh kemauannya dan tenaganya masyarakat
sebagai immanente krachten (kekuatan rahasia) dari pada masyarakat
itu sendiri.Tetapi tertampak lahirnya, lahirnya, jasmaninya oleh suatu
pergerakan rakyat jelata yang radikal yakni massa-aksi.
…… massa-aksi adalah senantiasa menjadi paraji pada saat
masyarakat tua yang hamil itu melahirkan masyarakat yang
baru.(Mencapai Indonesia Merdeka, 1933, hal. 33-34).
Di dalam perjalanan sejarah, Soekarno belum melihat perubahan
di dalam masyarakat sebagaimana ia cita-citakan, ia pikirkan, ia
perjuangkan, sejak muda. Pada era Demokrasi Terpimpin, ia tampil tidak
saja sebagai Presiden, tetapi tampil sebagai pemimpin perubahan untuk
mengangkat derajat dan martabat bangsanya, sebagaimana yang
diperjuangkan sejak usia muda.

4.2. Konsepsi Demokrasi Terpimpin dan Revolusi Soekarno


1. Demokrasi Terpimpin
Tiga minggu setelah Dekrit Kembali ke UUD 45, pada
hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 1959, Presiden
Soekarno mengucapkan pidato resminya yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato ini adalah
pertanggung jawaban Presiden atas Dekrit Presiden 5 Juli
1959, dan mengenalkan sistim demokrasi terpimpin yang
berdasar pada konsepsi Presiden 1957.Demokrasi Terpimpin
adalah demokrasi kekeluargaan dengan kepemimpinan tanpa
dasar anarchi liberalisme dan tanpa otokrasi diktator dan
bukan pula demokrasi tanpa batas.Suatu demokrasi tidak
menitikberatkan satu orang satu suara, tetapi menitik
beratkan setiap orang wajib berbakti untuk kepentingan
umum kepada masyarakat.Presiden merumuskan segitiga
kerangka demokrasi terpimpin yaitupembentukanNKRI,
masyarakat adil dan makmur, membangun persahabatan
dengan negara-negara di dunia, terutama negara-negara
Asia – Afrika (A-A).

236
Pengayaan Materi Sejarah

Disamping memberikan rumusan demokrasi terpimpin,


Presiden Soekarno memberikan rumusan tentang revolusi
yang telah ditemukan perubaha itu.Ada dua landasan
revolusi, yaitu Pancasila sebagai landasan ideal dan
pemerintah yang stabil sebagai landasan struktural.Revolusi
adalah pengejawantahan (aktualisasi) dari persatuan dan
gotong royong.Revolusi adalah suatu ordening tatanan sosial
politik baru, yang disangga oleh jiwa revolusi.

2. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)


Pidato ulang tahun RI ke 14 ini oleh Dewan
Pertimbangan Agung(DPA) di sistimatisasi menjadi GBHN.
Dewan Pertimbangan Agung mengalami kesulitan dalam
merumuskan revolusi, kosa kata yang bermakna baru.Dalam
sidang DPA yang dipimpin oleh wakil ketuanya, Dr. Roeslan
Abdulgani, menerima model rumusan thesis revolusi PKI, hasil
kongres PKI 1957 yang berjudul Masyarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia (MIRI). Pokok-pokok pikiran dan sistimatika
MIRI diadopsi sebagai sistimatika Garis-Garis Besar Haluan
Negara.
Dengan sistimatika tersebut draft Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN)menjadi :
a. Dasar/tujuan dan kewajiban Revolusi Indonesia
b. Kekuatan sosial Revolusi Indonesia
c. Sifat Revolusi Indonesia
d. Hari depan Revolusi Indonesia
e. Musuh-musuh Revolusi Indonesia
Draft tersebut diterima oleh Presiden pada November
1959, diberi namaManifesto Politik Republik Indonesia
disingkat (Manipol). Kemudian DPA menyusun Pedoman
Pelaksanaannya, diperkuat oleh MPRS melalui Ketetapan No
1/MPRS/1960, tanggal November 1960. Dengan GBHN
Manipol, Presiden melaksanakan program pemerintahan dan
program revolusinya.

237
Pengayaan Materi Sejarah

3. Organisasi dan Kepemimpinan Revolusi


Di bawah kepemimpinannyaPresiden Soekarno
menghendaki perubahan masyarakat Indonesia secara total
dan radikal. Karena itu ia berusaha mengoreksi dan
meluruskan arah dan jalannya revolusi yang dianggapnya
keliru, yang pada Demokrasi Liberal menyeleweng dari jiwa,
dasar dan tujuan revolusi 1945. 1
Menurut Soekarno revolusi Indonesia adalah penemuan
baru dengan tujuh pokok pikiran.Pertama, revolusi memiliki
dua landasan pokok, yaitu landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil yaitu Undang-Undang Dasar 45 dengan
sistem pemerintahan stabil yang dipimpin oleh
Presiden.Pancasila menjadi landasan idiil karena Pancasila
lebih memenuhi kebutuhan manusia dan lebih
menyelamatkan manusia dibandingkan dengan Declaration
of Independence atau Manifesto Komunis. Pancasila
merupakan suatu “hogere optrekking“ atau pengangkatan
yang lebih tinggi dari Declaration of Independence dan
Manifesto Komunis.2Pancasila adalah suatu living reality
dalam masyarakat Indonesia3 juga alat pemersatu tiga aliran
ideologi, yaitu nasionalis, agama dan komunis (Nasakom).4
Kedua, sifat Revolusi Indonesiabersufat kompleks,
sejajar dengan revolusi di benua Asia – Afrika, karena masih
dalam tahap pembentukan bangsa (nation building).Ketiga,
dasar dan tugas revolusisama dan sebangun (kongruen)
dengan social–conscience of man, yaitu mencapai keadilan
dan kemerdekaan dengan konsepsi yang jelas,karenatugasnya
menjebol dan membangun maka jalannya revolusi sangat
dinamik. 5
Keempat, tentang kekuatan revolusi dan
pendukungnya, Presiden Soekarno menyebutkan ada tujuh
kekuatan sosial revolusi, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945 dan jiwa revolusi 1945.
2. Kader-kader baru dari generasi muda dan hasil-hasil
materiil lainnya.
3. Tumbuhnya kekuatan ekonomi.

238
Pengayaan Materi Sejarah

4. Angkatan Perang yang semakin kuat.


5. Wilayah RI yang kompak, unitaristis.
6. Kepercayaan pada kemampuan dan keutuhan
bangsa.
7. Kekayaan alam yang dimilik oleh bangsa Indonesia. 6
Kelima, model Revolusi Indonesiabukan model revolusi
permanen (Trotzky) bukan model revolusi Amerika atau Rusia
mau pun model revolusi Cina. Revolusi Indonesia adalah alat
perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun tatanan
masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialisme
Indonesia.Masyarakat sosialisme Indonesia bertujuan untuk
mengakhiri penderitaan rakyat lahir dan batin dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia.Dua ciri pokok
masyarakat sosialisme Indonesia adalah perpaduan antara
unsur sosialisme dengan unsur kepribadian Indonesia, yang
berupa kekeluargaan dan gotong royong.7
Keenam, revolusi Indonesia bukan revolusi yang tanpa
konsepsi, tetapi suatu revolusi yang berkonsepsi.
Ketujuh, sasaran dan tujuan revolusi yang berlandasan
Manipol/USDEK8 menjangkau ke masa depan, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila berisi masyarakat sosialis yang bebas
dari kemiskinan, bebas dari rasa takut, bebas mengeluarkan
pendapat, bebas memeluk agama dan keyakinan dan bebas
berkehendak. 9
Guna mensukseskan revolusi diperlukan syarat dan
alat.Syarat utamanya adalah Demokrasi Terpimpin, suatu
living democracy hasil penggalian kekayaan (intelektual)
rakyat Indonesia yang terpendam selama penjajahan.Adapun
alat utamanya adalah Front Nasional dengan tiga tugas
pokoknya.Pertama, menampung segala kegiatan menggalang
massa yang revolusioner yang tergabung dalam organisasi-
organisasi politik mau pun yang tergabung dalam organisasi
karya. Kedua, menyusun kader revolusi.Ketiga, membentuk
insan politik baru.10

239
Pengayaan Materi Sejarah

Selanjutnya Presiden menyatakan ada tiga periode


revolusi bangsa Indonesia.Pertama, periode physical
revolution (1945 – 1950).Kedua, periode survival (1950 –
1955).Ketiga, periode investment (1955 – 1960)
yaituinvestment of human skill, material investment dan
mental investment.Tujuannya untuk merealisasi Amanat
Penderitaan Rakyat (Ampera), membongkar demokrasi liberal
dan dipancangkan Demokrasi Terpimpin. Bagi bangsa
Indonesia, revolusi merupakan suatu dinamik “for fighting
nation there is no journey’s end”.
Suatu revolusi hanya dapat berlangsung dan berakhir
baik apabila ada:Pertama, satu pimpinan revolusi. Kedua,
satu ideologi dan konsepsi nasional revolusioner, yangjelas,
tegas dan terperinci. Ketiga, tekad revolusioner rakyat yang
progresif kiri. Keempat, Program Revolusi adalah program
pemerintah, program Front Nasional. Kelima, tanpa teori
revolusioner. Tanpa teori tidak ada gerakan revolusioner.
Revolusi adalah paraji lahirnya satu keadaan yang
baru.Gerakan revolusioner adalah penjebolan, perombakan,
penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak disukai.
Kelim musuh revolusi adalah orang-orang yang kontra
revolusi,kontraManipol dan Usdek dan yang menentang
program yang obyektif untuk mengakhiri imperialism dan
feodalisme.

4. Program Revolusi Soekarno


a. Retooling
Retooling (retool) yang berarti penggantian
personal pemerintahan atau perombakan total terhadap
sistem kenegaraan, sistem kepartaian. Melalui program
Manipol – Usdek diadakan retooling. DPR-liberal menjadi
DPRGotong Royong, Pemerintah Daerah melalui PP no.
6/1959, partai-partai politik (yang merupakan kanker
dalam tubuh masyarakat) diretool melalui Penetapan
Presiden no. 7/1959 dan Peraturan Presiden N0. 13
tahun 1960, melarang partai-partai yang kontra
revolusioner, yaitu Masyumi dan PSI serta partai-partai

240
Pengayaan Materi Sejarah

gurem.Mengapa harus diadakan retooling partai-partai


politik?Presiden Soekarno menjelaskan bahwa bangsa
Indonesia pernah mendurhakai prinsip gotong
royong.Salah satu “kejahatan” yang pernah terjadi
adalah Maklumat Pemerintah IV 03 November1945,
dengan berdirinya partai-partai politik, toleransi politik
masuk ke lubang kubur.
Gotong royong adalah sifat kepribadian Indonesia
dan corak Indonesian identity.Gotong royong adalah
samenbundeling van alle revolutionaire krachten.Di
lapangan politik gotong royong merupakan satu
keharusan dalam perjuangan melawan imperialisme dan
kapitalisme.Ada tiga golongan besar revolutionaire
krachten, yaitu Islam, Nasional dan Komunis.Di dalam
gotong royong tidak boleh ada penyakit phobia, Islam
phobi, nationalis phobia atau komunisto phob, atau
mencaci satu sama lain.
Pada pidato Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri
1963) Presiden Soekarno menambahkan empat point
baru sebagai landasan revolusi, yaitu :
1. Konfrontasi yang terus menerus.
2. Disiplin di bawah satu pimpinan.
3. Ideologi nasional progresif.
4. Kepribadian nasional.
Konfrontasi adalah satu hukum revolusi, ada lawan
dan ada kawan.Oleh karena itu tugas dan kewajiban
pimpinan revolusi adalah memberikan kegiatan (action)
disegala bidang dan begeestering (membakar semangat)
rakyat untuk melakukan konfrontasi.11
Konsepsi revolusi Soekarno berlatar belakang dari
pemikirannya pada 1933 dan rasa keprihatinannya
terhadap kondisi riil bangsa Indonesia pada pasca
revolusi kemerdekaan.Sejak tahun 1950, Soekarno
menjabat sebagai Presiden (konstitusional) berdasarkan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.Dalam sistem

241
Pengayaan Materi Sejarah

demokrasi liberal kekuasaan Presiden amat terbatas.


Pada pidato-pidatonya setiap tanggal 17 Agustus, ia
menyatakan tidak puas terhadap instabilitas politik,
kondisi sosial-ekonomi dan keamanan dalam negeri.
Kondisi ekonomi semakin memburuk sejak berakhirnya
perang Korea.Konflik antara Pemerintah dengan
Parlemen tidak pernah berhenti.Kabinet mengalami
jatuh-bangun dalam waktu yang relatif
singkat.Keamanan dalam negeri, diganggu oleh
pemberontakan-pemberontakan kaum separatis tidak
pernah berhasil diselesaikan.Angkatan Perang terpecah
belah oleh konflik-konflik internal.Pimpinan tentara di
daerah dengan partai politik tertentu berkoalisi dan
beroposisi, menjadi sebab terjadinya pemberontakan
daerah-daerah yang didukung oleh kekuatan subversi
asing.Beberapa kali keadaan darurat diumumkan, tidak
memecahkan masalah.Sebaliknya memperluas konflik
horizontal dan mempertinggi konflik vertikal.Atas
kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, Soekarno
merasa prihatin namun tidak bisa berbuat banyak untuk
melakukan perubahan, karena kekuasaannya dibatasi
oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS).
Secara pribadi ia merasa terkucilkan dari rakyat,
bagaikan tinggal di menara gading. Ambisinya
terkungkung. Pada periode 1950-1957 itu Soekarno
melakukan pengamatan situasi sosial politik secara
cermat, melakukan perenungan dan berfikir bagaimana
ia bisa melakukan perubahan dan berkuasa secara
konstitusional. Langkah politik Soekarno menyelesaikan
konflik internal dalam militer melalui Piagam Yogya
(1955) dan mengangkat kembali A.H.Nasution sebagai
KSAD, seorang tokoh militer yang dinilainya cerdas,
sepaham dengan Soekarno sejak itu Soekarno
memperoleh dukungan kekuatan militer secara riil.
Kekuasaan dan pengaruhnya terhadap pemerintah ia
dapatkan melalui Undang-Undang Keadaan Darurat
(1957) dengan dukungan militer.

242
Pengayaan Materi Sejarah

Keberhasilannya menyelenggarakan Konferensi


Asia-Afrika (A – A) April 1955, sebagai pendorong
keinginan Soekarno untuk menjadikan bangsa Indonesia
menjadi pelopor penentang ketidak adilan yang terjadi di
negara-negara Asia-Afrika yang terjajah, setengah
terjajah dan negara-negara yang baru merdeka pada
pasca Perang Dunia II, sebagaimana tertulis dalam
dokumen bersejarah Dasasila Bandung. Pasca konferensi
A-A gerakan-gerakan perlawanan menuntut haknya
semakin meningkat.Soekarno menyebut ketidak adilan
sebagai “exploitation de l’homme par l’homme” atau
penindasan terhadap manusia (yang lemah) oleh
manusia (yang kuat). Oleh karena itu ia menggagas
penghapusan exploitasi dan mendorong terbentuknya
kekuatan-kekuatan baru sebagai “the new emerging
forces” (Nefos) persatuan antar negara-negara tertindas
untuk melawan ketidak adilan, exploitasi dan penindasan
yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan lama, yang dia
beri nama “old established forces” (Oldefos) yang
kolonial.

b. Kekuatan Revolusi Baru


Pada 1958 Soekarno membangun satu kekuatan
revolusi baru yang disebutnya sebagai golongan
fungsional.Golongan fungsional adalah kelompok
masyarakat pelaku fungsi yang ada dalam
masyarakat.Dewan Nasional merumuskan ada delapan
kelompok fungsional termasuk diantaranya Angkatan
Bersenjata, petani, nelayan dan buruh.Tujuannya adalah
sebagai penyeimbang kekuatan partai-partai
politik.Hampir tidak ada pemimpin politik yang
memahami konsep revolusi Soekarno secara sempurna
kecuali Soekarno sendiri.Masing-masing pemimpin politik
menafsirkan sesuai dengan pemahaman atas dasar
ideologi politiknya.Roeslan Abdulgani yang dipercaya
oleh Presiden Soekarno sebagai Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung dan juru bicara ajarannya gagal

243
Pengayaan Materi Sejarah

menciptakan rumusan tentang revolusi dan sosialisme


Indonesia sebagai kepribadian bangsa.12Sedangkan
Angkatan Bersenjata (TNI dan Polisi) memberikan tafsir
yang berbeda.Perbedaan tafsir dan pemahaman tentang
revolusi Indonesia ciptaan Soekarno ini menjadi salah
satu sumber konflik antara kekuatan politik yang berakhir
dengan tragedi. Namun harus diakui bahwa Soekarno
adalah seorang pemimpin yang berambisi menciptakan
perubahan untuk mengangkat derajat martabat
masyarakat bangsanya secara total dan radikal. Konsep
revolusi Soekarno sekalipun merupakan refleksi dari
ambisi pribadinya untuk menjadikan dirinya sebagai
pemimpin tunggal bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa
yang baru merdeka di Asia dan Afrika, yang utama bagi
Soekarno adalah perubahan sosial melalui revolusi dan
massa aksi.13

c. Realisasi Program Revolusi


Untuk merealisasi program revolusinya, Soekarno
menetapkan enam petunjuk pokok kepada dirinya sendiri
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, yaitu :
1. Bangsa Indonesia harus memelopori perjuangan anti
imperialisme dan kolonialisme dengan segala
bentuknya terutama di negara-negara Asia dan
Afrika berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
2. Menggalang kekuatan baru, (sebagai sarana untuk
menentang ketidakadilan, exploitation de l’homme
par l’homme), di negara-negara yang sedang
berkembang (developing countries)yang diberi nama
kekuatan dunia baru (the new emerging forces)
disingkat dengan Nefos. Kekuatan baru ini tidak
berpihak kepada blok kapitalis mau pun komunis.
3. Berkonfrontasi terhadap neo-kolonialisme dan
imperialisme dengan segala bentuk dan
manifestasinya dimana pun adanya dan didukung
oleh kekuatan politik yang riil di dalam negeri.

244
Pengayaan Materi Sejarah

4. Menggalang kekuatan politik di dalam negeri


sebagai kekuatan riil. Partai-partai politik sebagai
kekuatan-kekuatan revolusi (revolutionaire krachten)
harus diikat (samenbundellen) dalam ikatan aparatur
revolusi (golongan nasionalis, agama, komunis
disingkat Nasakom).
5. Di samping partai-partai politik kekuatan golongan
fungsional (buruh, tani, guru, pemuda, budayawan)
dan Angkatan Bersenjata (Angkatan Darat, Laut,
Udara dan Kepolisian), ditetapkan sebagai aparatur
revolusi. Bersama-sama partai-partai politik “diikat”
(samenbundellen) dalam wadah organisasi Front
Nasional. Organisasi Angkatan Perang dan Polisi
diikat menjadi Angkatan Bersenjata (AB) yang
langsung dipimpin oleh Presiden/Panglima Tertinggi.
6. Kepemimpinan semua organisasi politik, organisasi
massa, Angkatan Bersenjata, harus berada dalam
satu tangan, seorang Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam menjalankan tugas sebagai Pemimpin Besar
Revolusi, Soekarno dibantu oleh Majelis Musyawarah
Pembantu Pimpinan Revolusi yang terdiri atas para ketua
partai politik Nasakom.

4.3. Oposisi dan Konflik


1. Oposisi terhadap Program Revolusi
Program revolusi Soekarno secara diam-diam mendapat
tantangan dari beberapa partai politik. Partai Komunis
Indonesia (PKI), berdasarkan perbedaan landasan ideologi,
persepsi interpretasi, missi suatu revolusi melakukan oposisi
terselubung. Program-program partai yang disusun secara
sistematis berdasarkan MIRI dan akurat untuk menyesuaikan
diri dengan Manipol dan situasi revolusioner yang diciptakan
oleh Soekarno.Pertama, PKI menolak program revolusi
Soekarno yang berambisi membangun masyarakat baru di
negara-negara yang sedang berkembang, sebagai kekuatan
yang baru bangkit (the new emerging forces) Soekarno

245
Pengayaan Materi Sejarah

berkolaborasi dengan pemimpin-pemimpin nasionalis


moderat, seperti Jawaharlal Nehru, Gamal Abdul Nasser dan
tokoh revisionis Josep Bros Tito.Program ini berlawanan
dengan program PKI dan komunisme internasional dalam
melawan imperialisme Amerika Serikat.Kedua, masalah
kepemimpinan revolusi.PKI pada prinsipnya menolak
pemimpin revolusi yang berasal-usul dari borjuis, termasuk
Soekarno.Namun PKI mengakui realitas Soekarno sebagai
pemimpin revolusi Indonesia yang sejajar dengan pemimpin
revolusi komunis dunia.Buah pikiran dan tulisan-tulisan
Soekarno sejak masa pergerakan nasional sampai saat
mutakhir oleh PKI diexploitasi menjadi Ajaran Pemimpin Besar
Revolusi.Kemudian PKI mensponsori dan memelopori
kampanye pemujaan terhadap pribadi Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi yang dilakukan secara besar-besaran
melalui aksi agitasi dan propaganda.Pernyataan dukungan
terhadap Soekarno,bertujuan untuk memperoleh simpati
masyarakat pendukung Soekarno.Gelar-gelar yang memberi
konotasi agung “dipersembahkan” kepada Soekarno, seperti,
Nakhoda Agung, Pendidik Agung.Gelar-gelar pujaan tersebut
anehnya diterima oleh Soekarno.Ketiga, program revolusi
Soekarno menurut PKI menciptakan dichotomi kekuatan
politik, yaitu antara partai-partai politik dan golongan
fungsional yang di dalamnya termasuk militer. Soekarno
memberikan peluang kepada militer untuk berpolitik praktis,
yang secara prinsipiil ditolak oleh PKI.Keempat, Front Nasional
yang dinyatakan oleh Soekarno sebagai wadah aparatur
revolusi, diwaspadai dan dibaca secara kritis oleh PKI,
dianggap sebagai langkah Soekarno untuk menciptakan
partai tunggal sebagaimana yang dia idamkam sejak masa
pergerakan nasional dan pada awal revolusi kemerdekaan,14
yang mengarah kepada pembubaran partai-partai politik.
Bagi PKI, politik adalah panglima yang harus mampu
mengendalikan dan mengontrol Angkatan Bersenjata.
Langkah politik Soekarno menjadikan Angkatan Perang dan
Polisi menjadi Angkatan Bersenjata, bagi PKI patut tidak
dipercayai.Apabila kepada Angkatan Bersenjata diberi status
sebagai golongan fungsional dan sebagai aparatur revolusi,

246
Pengayaan Materi Sejarah

adalah manifestasi sikap Soekarno yang anti partai.Angkatan


Bersenjata merupakan kekuatan yang riil, sebagai bumper
apabila ada partai yang menentangnya.
Pada 1962 Soekarno melakukan samenbundeling
Angkatan Perang dengan Kepolisian Negara dan mengangkat
dirinya sebagai generalisimo serta memperpanjang Undang-
Undang Keadaan Darurat Perang, merupakan ancaman bagi
PKI.Tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Nasution
ketika menjadi Penguasa Perang Pusat (Peperpu) 1957.
PKI menilai bahwa pimpinan partai-partai politik adalah
orang-orang yang lemah.Orang yang hanya ingin
memperoleh limpahan kewibawaan Soekarno.Golongan
fungsional dimainkan oleh Soekarno dengan memberikan
keabsahan militer dan kelompok non partai yang pada
pemilihan umum 1955 menjadi milik PKI, direbut oleh
Soekarno. Soekarno secara tidak langsung membenarkan
peristiwa Razzia Agustus 1951 dan “pembungkaman
demokrasi” pada 17 Oktober 1952 yang “menghabisi”
orang-orang PKI. Golongan fungsional di mata PKI adalah
alat Soekarno untuk “memereteli” organisasi-organisasi
massa onderbouwpartai politik, seperti organisasi petani,
buruh, pemuda, seniman dan memecah belah partai-partai
politik. Pembatasan jumlah partai politik berdasarkan Penpres
No.7/1959, PKI tidak mendukung.Pemaksaan ideologi
Pancasila sebagai azas partai-partai politik dan landasan
Revolusi merupakan “peristiwa yang menyedihkan” bagi
revolusi dan demokrasi.Sikap Soekarno terhadap PKI tidak
pernah jelas.Sekalipun secara demagogis Soekarno
membanggakan PKI sebagai kekuatan progresif revolusioner,
tidak pernah secara tegas ada wakil PKI diangkat sebagai
pejabat tinggi eksekutif kecuali jabatan ex-officio pada masa
Kabinet Kerja.Berbeda sikapnya terhadap kelompok kiri
lainnya, seperti terhadap Partai Murba.Tokoh-tokoh seperti
Chairul Saleh, Adam Malik, Muhammad Yamin, secara tegas
diberi jabatan eksekutif.Mengapa Soekarno berbuat
demikian, PKI tidak mampu memberikan jawaban, namun
kecemburuan ini meningkat menjadi tuntutan yang riil.

247
Pengayaan Materi Sejarah

Pada Kongres Nasional VII, PKI (April 1962) D.N.Aidit


dalam laporannya mengeritik beberapa kebijakan Presiden
Soekarno yang dinilainya gagal.Di bidang ekonomi dikritik
tidak memihak rakyat bahkan menumbuhkan kapitalis
birokrat.Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) mengalami
banyak hambatan.Retooling aparatur revolusi tidak berjalan,
sekalipun sudah dibentuk Komando Tertinggi Retooling
Aparatur Revolusi (KOTRAR).Kepemimpinan Presiden
Soekarno dinilai lemah, tidak ada program revolusi yang
terrealisasi secara maksimal.Kelemahan kepemimpinannya
dikompensasikan dengan main komando, yang berarti main
paksa.15
Oleh karena itu PKI “menggembosi” kekuasaan dan
kewibawaan Soekarno melalui cara yang amat luwes. Di
bidang ideologi, pada bulan Mei 1964 pada kursus kader
Nasakom, Aidit “mendegradasi” Pancasila, landasan pokok
revolusinya Soekarno dengan mempersoalkan sahnya
Pancasila sebagai falsafah negara dan meragukan
kekuatannya sebagai landasan revolusi. Berdasarkan analisis
Marxisme-Leninisme, Pancasila hanyalah faktor penunjang
dalam menempa kesatuan kekuatan Nasakom.Akan tetapi
begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan
sendirinya tak berguna lagi.16Oleh karena itu Pancasila tidak
dapat dijadikan landasan pokok revolusi seperti yang
dikonsepkan oleh Soekarno.Soekarno terkejut dan bereaksi,
memerintahkan diadakan peringatan Hari Ulang Tahun
Pancasila pada 1 Juni 1964, dengan tema “Pancasila
Sepanjang Masa”.17
Di bidang politik, di bawah panji-panji revolusi
Soekarno, PKI melakukan ofensif politik, ideologi dan fisik
untuk menentukan kawan dan lawan mencari kawan untuk
menemukan lawan. Agitasi dan propaganda dilakukan
melalui semua media massa dan di seluruh jajaran partai
yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, militer. Sasaran
pokoknya adalah melemahkan sumber kekuatan utama
pendukung Soekarno yaitu Angkatan Bersenjata.PKI tidak rela
Soekarno memonopoli kekuatan bersenjata.Reorganisasi

248
Pengayaan Materi Sejarah

Angkatan Bersenjata pada 1962 dicermati oleh PKI, karena


kekuatan anti PKI menjadi sangat kuat di kalangan Angkatan
Bersenjata terutama di Angkatan Darat.PKI “memanggil dan
merekrut” kembali mantan laskarnya pada masa revolusi
1945 yang menjadi prajurit Angkatan Bersenjata.KKM
dilakukan mulai dari penyusunan kurikulum pendidikan,
tentang aparat teritorial, aparat intelijen, doktrin dasar,
pengindonesiaan Marxisme-Leninisme.Program-program
ceramah pada SESKO AD, AL, AU dan Polisi dilakukan dan
diatur secara intensif.Pada bulan Juni 1963 D. N. Aidit
berkampanye di depan perwira siswa SESKOAD, mengkritik
sikap dan pendirian pimpinan Angkatan Darat tentang
doktrin pertahanan keamanan negara dan kredo prajurit
(Saptamarga) yang bersendikan Pancasila. Ia menyatakan :
- Pertahanan nasional harus tunduk kepada strategi
umum revolusi Indonesia.
- Hakikat tentara kita adalah kaum tani bersenjata.
- Ciri kepribadian TNI, anti fasis, demokratis, anti
imperialis, bercita-cita sosialisme.18

2. Doktrin Perang Revolusioner Lawan Doktrin Perang Wilayah


Oposisi diam-diam terhadap konsep dan praktik
revolusi Soekarno juga datang dari TNI-Angkatan Darat.TNI-
Angkatan Darat tidak setuju terhadap doktrin “konfrontasi
yang terus-menerus” sebagai salah satu landasan revolusi.
Konfrontasi terhadap Nekolim dimaknai sebagai perang
tanpa henti dan akan menuntut pembiayaan yang tinggi.
Tatkala Presiden Soekarno mendeklarasikan Dwikora (Dwi
Komando Rakyat) pada 3 Mei 1964, untuk membubarkan
negara “boneka” Malaysia, disambut dingin oleh Angkatan
Darat. Angkatan Bersenjata ditugasi mempersiapkan
penyerbuan ke Sabah dan Serawak serta menyusun garis
awal sepanjang Selat Malaka, sebenarnya Angkatan Darat
enggan melaksanakan perintah tersebut, karena TNI-AD telah
memiliki konsepsi tentang ancaman (threat conception)
terhadap kemungkinan datangnya lawan dari luar. Pada
Seminar Angkatan Darat bulan April 1965 di Bandung, terjadi
perdebatan sengit tentang konsep ancaman ini.Pihak TNI-AD

249
Pengayaan Materi Sejarah

lebih menekankan pada konsep perang wilayah atau perang


rakyat semesta.19Konsep ini digali dari pengalaman perang
bangsa Indonesia yang menitik beratkan pada pertahanan
dan ketahanan wilayah.Secara ideologis, politis, sosial dan
budaya bersifat defensif strategis bukan ofensif. Karena
seminar diadakan pada saat semangat yang tinggi
mengganyang Malaysia dan penggalangan kekuatan New
Emerging Forces melawan Neo Kolonialisme, Presiden
Soekarno mengoreksi konsep ancaman ini. Menurut
Soekarno konsep perang bangsa Indonesia adalah konsep
perang revolusi Indonesia (Perevindo).Oleh karena itu bangsa
Indonesia harus menyiapkan kekuatan-kekuatan ofensif
revolusioner untuk tugas nasional dan tugas
internasional.20Konsep perang wilayah atau perang semesta
akhirnya disubordinasikan di bawah konsep Perang Revolusi
Indonesia (Perevindo) yang menjadi konsep pokok.21Kedua
konsep perang tersebut oleh Angkatan Darat
dikompromikan, sekalipun rumusannya kontroversial.
Konsep ofensif revolusioner dihindari oleh para pemikir
doktrin di Angkatan Darat.Gagasan Angkatan V yang
disampaikan Presiden Soekarno pada kuliah perdana
Lembaga Pertahanan Nasional pada 31 Mei 1965, ditentang
oleh Angkatan Darat. Angkatan Darat hanya mentolerir
pasukan Sukarelawan dan Sukarelawati, yang diorganisasi
oleh KOTI, dengan bimbingan Angkatan Darat.Status mereka
sebagai prajurit pembantu, yang dipimpin oleh para
komandan dari pasukan reguler.
Angkatan Darat juga menolak wawasan Soekarno
bahwa musuh pokok bangsa Indonesia adalah Nekolim, yang
maknanya sangat kabur dan menyatakan bahwa invasi militer
terhadap Indonesia datangnya dari utara.Karena posisi
geostrategi, geopolitik dan pengalaman invasi dalam perang
di masa lalu datangnya musuh selalu dari daratan
Asia.Sekalipun Presiden Soekarno mengoreksi pendapat
tersebut, namun dalam doktrin pertahanan dan strategi
pertahanannya tetap menyatakan datangnya lawan dari arah
utara. Pendapat Soekarno didukung PKI, menolak anggapan
bahwa “possible enemy will come from the North”,22 tetapi

250
Pengayaan Materi Sejarah

our possible enemy, our actual enemy will not come from the
North. Statement musuh datang dari Nekolim ditolak secara
sopan.
Mengenai sistem kepemimpinan, Angkatan Darat
menolak model kepemimpinan tunggal.Sistem kepemimpinan
Demokrasi Terpimpin adalah suatu sistem kepemimpinan
perorangan,23 bukan demokrasi yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan perwakilan berdasarkan mufakat, sebagaimana
yang tercantum dalam Pancasila.
Angkatan Darat juga menolak pemikiran Soekarno
tentang “samenbundelling van alle revolutieonaire krachten”
dalam angkatan perang.Partai politik, terutama PKI
menginginkan organisasi AP model kompartementalisasi,
yang pimpinannya terdiri atas tokoh-tokoh partai-partai
beraliran nasionalis, agama dan komunis (Nasakom).Model
kompartementalisasi bisa memecah belah Angkatan
Bersenjata secara keseluruhan, oleh Angkatan Darat ditolak.
Slogan Nasakom Bersatuyang dikampanyekan oleh PKI ditolak
oleh Angkatan Darat,diganti dengan Nasakom Jiwaku, artinya
pada diri prajurit atau Angkatan tertanam jiwa persatuan dan
tidak berpihak kepada kelompok manapun.
TNI Angkatan Darat dalam sikap politiknya memandang
Soekarno cenderung berpihak atau membela PKI, melalui
program-program revolusinya selalu memenangkan PKI.Aksi-
aksi PKI yang cenderung memojokkan Angkatan Darat tidak
pernah mendapat teguran dari Presiden.

3. Konflik Murba – PKI


Program ofensif politik ditujukan partai pesaing
utamanya Partai Murba.Sikap Soekarno terhadap Partai
Murba dinilai tidak adil oleh PKI.Partai Murba yang beraliran
Marxis-Leninis Trotzkist-Nasionalis menjadi pendukung setia
Soekarno.PKI tanpa sedikit pun memberikan kesempatan
partai ini berkembang.Namun partai Murba memainkan
peranan yang amat luwes di bawah pimpinan Sukarni
Kartodiwiryo, Chairul Saleh, Adam Malik, Sayuti Melik,
Maruto Nitimihardjo, B.M. Diah menjadi orang dekat

251
Pengayaan Materi Sejarah

Soekarno secara pribadi dan politis.Surat kabar Berita


Indonesia dan Merdeka adalah media pokoknya.
Konflik Partai Murba lawan PKI, berwal daritahun 1963 Partai
Murba menemukan dokumen CC PKI yang berisi program
rahasia berjudul Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa
ini. Isi dokumen PKI itu dinyatakan bahwa "Revolusi Agustus
1945" gagal dan belum selesai,karena tidak dipimpin oleh
orang-orang komunis. Oleh karena itu revolusi perlu
digiatkan dengan cara merebut pimpinan politik dari tangan
kaum borjuis. Karena PKI sudah kuat dan semua golongan
sudah di pihaknya.
Dokumen rahasia itu oleh Dr.Chaerul Saleh diserahkan
kepada Ketua DPP PNI, Mr. Ali Sastroamidjojo dan dipaparkan
dalam sidang kabinet pada awal bulan Desember 1964. PKI
membantah dan menyatakan bahwa dokumen tersebut
adalah palsu buatan kaum "Trotkyist",24 yang dibantu kaum
Nekolim untuk menghancurkan PKI.Tersiarnya dokumen
rahasia itu, menyebabkan makin meningkatnya suhu konflik
politik.Partai-partai lain semakin mencurigai tingkah laku PKI.
Presiden Soekarno memanggil para pemimpin partai politik
ke Istana Bogor dan memerintahkan mereka menyusun
sebuah rumusan damai untuk menyelesaikan "konflik antar
partai".Pada tanggal 12 Desember 1964, sepuluh pimpinan
partai politik berkumpul menandatangani deklarasi
“perdamaian” yang disebut "Deklarasi Bogor".Deklarasi itu
dianggap sebagai cetusan kebulatan tekad partai-partai di
hadapan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Lima hari setelah Deklarasi Bogor ditandatangani, Presiden
Soekarno membubarkan BPS (Badan Pendukung
Sukarnoisme) yang sangat gigih menentang aksi-aksi
PKI.Sebaliknya PKI menuduh bahwa BPS sengaja dibentuk
untuk “menyelewengkan ajaran Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno” yang digerakkan oleh beberapa tokoh Partai
Murba, Adam Malik, Sayuti Melik dan Chaerul Saleh.Akhir
dari pergumulan ini, pada tanggal 5 Januari 1965, keluarlah
Keputusan Presiden mengenai pembubaran Partai Murba. PKI
berhasil “meyakinkan” Presiden akan “bahaya”

252
Pengayaan Materi Sejarah

penyelewengan Ajaran-ajaran Revolusi dan Pemimpin Besar


Revolusi. Sebaliknya Presiden yang sedang “gandrung”
kepada revolusi tidak mampu mengendalikan aksi PKI
menghancurkan lawan-lawannya dengan dalih apa pun.
Konflik antar partai-partai politik pada tahun 1964 dan awal
1965, semakin tidak terkendali.Meningkatnya aksi-aksi PKI
dalam mewujudkan "pematangan situasi revolusioner sampai
kepuncaknya” dengan konfrontasi politik dan fisik terhadap
lawan-lawannya.Lewat jargon-jargon komunisto phobi,
kapitalis birokrat, anti Nasakom dan kontra revolusi atau aksi-
aksi kekerasan secara sepihak tidak dapat dikendalikan oleh
Presiden.PKI mengetahui kepemimpinan, kewibawaan dan
kesehatan Presiden Soekarno telah merosot.
PKI berusaha keras memisahkan Soekarno dengan
tokoh-tokoh Murba.PKI menghimpun tulisan pemikiran
Soekarno pada masa pergerakan nasional diberi judul Ajaran-
Ajaran Pemimpin Besar Revolusi diterbitkan di segenap media
massanya. Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, adalah
marhaenisme, yang bersumber pada marxisme yang
diterapkan dalam situasi Indonesia dan yang menjadi sumber
dan jiwa Pancasila dengan Manipol-Usdek sebagai
pancarannya, di Kampanyesecara besar-besaran25dilakukan
Partai Murba mengembangkan kontra ofensif revolusioner
PKI dengan menciptakan ajaran tandingan yang berjudul
Soekarnoisme, yang disponsori oleh Adam Malik dan Sayuti
Melik. Tulisan tentang Soekarnoisme dimuat dengan media
harian, Semesta, Berita Indonesia, Merdeka, Warta Berita,
Garuda dan Mimbar Umum yang disusul dengan
pembentukan organisasi Badan Pendukung Soekarnoisme
(BPS). Pimpinan PKI merasa mendapat tantangan dari lawan
abadinya, menginstruksikan kepada anggotanya agar
“mengganyang” Soekarnoisme-BPS.26PWI yang telah dikuasai
oleh PKI, melalui ketuanya A.Karim DP menyatakan secara
tersamar bahwa otak dari gerakan Soekarnoisme adalah
Angkatan Darat. Selanjutnya terjadi polemik berat antara
surat kabar PKI Harian Rakjat dengan Berita Indonesia dan
Merdeka, organ Partai Murba.

253
Pengayaan Materi Sejarah

Puncak konflik dari polemik tersebut lahirlah Keputusan


Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI, sejak 17 Desember
1964, Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dibubarkan dan
dilarang.Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi KOTI
ingin memelihara equilibrium antar kekuatan kiri. Keputusan
pelarangan, itu ditindak lanjuti dengan larangan terbit 21
surat kabar pendukung BPS bisa menimbulkan disequilibrium
di bidang pers dan pendapat umum. Kepala Staf KOTI,
Letnan Jenderal A.Yani yang juga Menteri/Panglima Angkatan
Darat memerintahkan Kepala Penerangan KOTI dan Angkatan
Darat Brigjen Ibnu Subroto untuk memelihara equilibrium
dengan menerbitkan koranBerita Indonesia bentuk baru,
menjadi Berita Yudha dan Merdeka menjadi Angkatan
Bersendjata, yang tetap menggunakan staf dan karyawan
kedua koran tersebut. Partai Murba dan Angkatan Darat
merupakan kekuatan politik yang riil pendukung program
revolusi Soekarno. Koalisi antara keduanya oleh PKI dianggap
sebagai bahaya bagi PKI yang bisa mengulangi peristiwa
“bersejarah” 3 Juli 1946.
Sekali pun BPS dibubarkan, tokoh-tokohnya yang juga
tokoh Partai Murba yang menjabat sebagai menteri, seperti
Chairul Saleh, Adam Malik dan Priyono tidak di-retool oleh
Presiden.

4. Konflik Angkatan Darat – PKI


TNI-Angkatan Darat merupakan seteru “tradisional”
bagi PKI sejak masa revolusi pada 1945.Pada masa
kepemimpinan Presiden Soekarno kembali terjadi eskalasi
konflik dan konfrontasi terbuka antara keduanya.PKI merasa
dirugikan dan dihalang-halangi aktivitasnya berdasarkan
Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) yang diberlakukan
sejak Maret 1957, namun Presiden Soekarno masih
memberikan fasilitas dan ruang bergerak kepada PKI.27Pada
bulan September 1959, Presiden Soekarno memberikan ijin
PKI untuk mengadakan Kongres (Kongres VI).28
Sejak akhir 1963 dan awal 1964 dikalangan Angkatan
Darat merasakan memanasnya situasi politik akibat aksi

254
Pengayaan Materi Sejarah

ofensif revolusioner PKI. Beberapa partai politik, organisasi


massa dan budaya seperti HMI. kelompok Manifes
Kebudayaan, dan terutama partai-partai beraliran agama,
NU, Parkindo dan Partai Katholik makin merasa terancam
oleh ofensif PKI berlindung ke Angkatan Darat. Para pimpinan
mereka Subchan Z.E, I.J.Kasimo, Frans Seda melakukan
pertukaran informasi secara teratur.29
Ofensif PKI terhadap pimpinan TNI Angkatan Darat
secara terbuka dimulai sejak awal 1964.Harian Rakjat, surat
kabar PKI yang terbit pada 9 Mei 1964 secara terang-
terangan menuduh pimpinan Angkatan Darat sebagai
“anthek” Amerika. Surat kabar ini menulis ceramah ketua CC
PKI D.N. Aidit di Akademi Angkatan Laut Surabaya, yang
mendiskritkan pimpinan TNI-AD sebagai jenderal-jenderal
anthek Pentagon.
PKI dengan keras melakukan konfrontasi terhadap
Angkatan Darat karena doktrin perang wilayah.Karena TNI
penganut strategi wilayah pertahanan (wehrkreise).Strategi
ini berkembang dari pengalaman tatkala TNI melakukan
operasi-operasi gangguan keamanan.Pasca operasi tempur
tugas dilanjutkan oleh aparatur teritorial.Adanya aparat
teritorial sebagai unit paling kecil pada tingkat desa sampai
tingkat komando wilayah membuat ruang gerak PKI semakin
sempit. Aktivitas aparatur territorial dijuluki sebagai salah satu
“setan desa”.

5. Partai Terlarang
PKI tetap menganggap partai terlarang Masyumi dan
PSI, masih hidup.Aktivitas dan lobi politik serta para tokoh
partai perannya masih merupakan ancaman yang sangat
berbahaya.Kedua partai yang telah dibubarkan dan terlarang
ini merupakan lawan Soekarno, juga lawan PKI. Aktivitas
tokoh-tokoh kedua bekas partai ini dikategorikan sebagai
gerakan subversi, pendukung Nekolim yang anti komunis
atau komunistophobi, anti Nasakom dan kontra
revolusi.Sekalipun tokoh bekas partai Masyumi dan PSI
banyak yang ditahan dan dijebloskan ke dalam rumah

255
Pengayaan Materi Sejarah

tahanan, di (Jakarta) di (Madiun) aktivitas politiknya tidak


pernah berhenti.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi
mahasiswa independen yang militan dituduh sebagai kader
partai terlarang Masyumi. Kampanye tuntutan agar HMI
dibubarkan dilakukan hampir di setiap perguruan tinggi dan
media massa PKI. Namun Presiden Soekarno menolak
tuntutan itu atas nasihat Partai NU, PSII.Pada 24 Juli 1964
HMI direstui oleh Presiden sebagai organisasi mahasiswa
yang diakui oleh pemerintah.30 Pada 28 September 1965 hari
terakhir rapat kerja organisasi mahasiswa komunis
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), di Istana
Olahraga Bung Karno panitia mengundang Presiden
Soekarno dan Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena dan
pejabat lain termasuk Ketua CC PKI D. N. Aidit.
Peserta rapat kerja mahasiswa ang hadir berteriak
gegap gempita menuntut pembubaran HMI. Tujuannya
untuk membakar semangat revolusi,untuk menjebak emosi
Presiden agar memerintahkan pembubaran HMI. Presiden
Soekarno menyadari “jebakan” tersebut memerintahkan
kepada Waperdam II Dr. Leimena menyampaikan amanatnya
yang mungkin tidak termasuk dalam acara. Dr. Leimena
menyatakan dengan suara keras: “Pemerintah tidak
mempunya niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah
organisasi nasionalis, patriotik dan loyal kepada
pemerintah.Pemerintah mendapat sokongan dari HMI dalam
perjuangan melawan Nekolim”.Ketegasan pernyataan
Waperdam II, disambut oleh Presiden Soekarno dengan
mengulanginya.“HMI tidak akan dibubarkan, karena saudara
telah mendengarkan kebijakan pemerintah, mungkin saudara
ingin pula mengetahui sikap Ketua PKI, saudara Aidit”. Aidit
naik mimbar disambut dengan suara gemuruh, ia
menyatakan “Kalau pemerintah tidak akan membubarkan
HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut
pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri.Dan
kalau tidak mampu, lebih baik kalian jangan pakai celana,
tapi tukar saja dengan sarung”. D.N. Aidit memperingatkan
kepada mahasiswa komunis tentang pemimpin-pemimpin

256
Pengayaan Materi Sejarah

palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara bini


empat sampai lima.31Peristiwa itu merupakan sindiran dan
tantangan terhadap Presiden Soekarno secara langsung.

4.4. Kudeta Gerakan 30 September/PKI yang Gagal


1. Perencanaan Kudeta
Politbiro CC PKI sejak tahun 1962 menyusun program khusus
yang berkaitan dengan program aksi revolusioner.Aparat
khusus pelaksana program diberi nama Biro Khusus.
Pimpinan Biro Khusus ditunjuk Sjam Kamaruzaman.Biro
Khusus aktif mencari dan menemukan kawan dan lawan di
lingkungan militer, menyusun dukungan riil dari militer,
meminimalisasi pendukung Soekarno dalam militer,
memecah belah kekuatan militer.Sampai tahun 1965
menurut penilaian PKI, lawan-lawan dari partai-partai dan
ormas-ormas lain sudah dapat dikuasai.Tinggal satu kekuatan
penghambat utama bagi program aksi revolusinya, yaitu TNI-
AD.PKI memulai aksinya dengan menciptakan isyu "Dewan
Jenderal" (DJ) Angkatan Darat yang berniat melakukan kudeta
terhadap Presiden Soekarno. Isyu Dewan Jenderal
dikembangkan agar bisa diterima oleh pihak lain sebagai
kenyataan, khususnya Presiden Soekarno.
Istilah "Dewan Jenderal" yang diangkat sebagai isyu
politiksebenarnya kelompok perwira tinggi yang ditugasi oleh
pimpinan AD untuk membahas promosi Kolonel ke Brigadir
Jenderal, (Perwira Tertinggi) tidak ada kaitannya dengan
politik.
Disamping isyu "Dewan Jenderal", tersiar "Dokumen Gilchrist".
Gilchrist adalah Duta Besar Inggris untuk Indonesia pada
1962-1963.Dalam dokumen tersebut tertulis "our local army
friend", yang ditafsirkan terdapat perwira-perwira Angkatan
Darat yang bekerjasama dengan kaum imperialis. Ketua
Badan Pusat Intelijen (BPI) Dr. Subandrio memerintahkan
untuk mereproduksi dokumen "Gilchrist" tersebut.Pada
tanggal 26 Mei 1965, ia melaporkannya kepada Presiden
Soekarno. Semua Panglima Angkatan dipanggil ke Istana

257
Pengayaan Materi Sejarah

Merdeka.Presiden Soekarno bertanya kepada Letjen A.Yani,


apakah ada anggota Angkatan Darat yang berhubungan
dengan negara Inggris atau Amerika dan informasi tentang
"Dewan Jenderal".Kedua informasi itu dibantah oleh Letjen
A.Yani.32 Ketua BPI Dr. Subandrio memerintahkan
menggandakan dokumen "Gilchrist" sebanyak 100 lembar
untuk dibawa ke Konferensi Asia-Afrika II yang akan diadakan
di Aljazair. Di Cairo, karena KAA batal Dr. Subandrio
membagi-bagikan draft dokumen "Gilchrist" kepada para
peserta konferensi. 33.
Pada bulan Mei 1965, sidang Pleno IV Politbiro CC PKI,
memberikan komando "Perhebat gerakan Ofensif
Revolusioner sampai ke puncaknya". Sjam Kamaruzaman
menyusun rencana operasi dan mempersiapkan kekuatan
militer guna mendahului “rencana kudeta Dewan Jenderal".
a. Gerakan adalah gerakan militer terbatas.
b. Sasarannya adalah para jenderal anggota "Dewan
Jenderal".
Tanggal 29 September 1965 hari rapat berakhir. Dengan
instruksi:
a. Sasaran gerakan, para anggota "Dewan Jenderal".
b. Hari H dan Djam D gerakan, tanggal 30 September 1965
pada dinihari.

2. Pelaksanaan Kudeta yang Gagal


Gedung PN. Aerial Survei (Penas) di Jalan Jakarta By Pass
(sekarang Jalan D. I. Panjaitan), Jakarta, dipilih sebagai
Central Komando (CENKO) I.Sjam Ketua Pelaksana Gerakan
menempati posko ini dan membagi tugas. Brigjen TNI
Supardjo, penghubung CENKO bertugas menghubungi
Presiden Soekarno. Kolonel Latief dan Letkol Untung sebagai
komandan gerakan militer, Mayor Udara Suyono dan Letkol
Udara Heru Atmojo bertugas sebagai penghubung antar Pos
Komando.34

258
Pengayaan Materi Sejarah

Pada pukul 01.30 tanggal 1 Oktober 1965 para pemimpin


pelaksana gerakan melakukan inspeksi kesiapan dan
persiapan terakhir di Lubang Buaya.Pasukan yang siap
melakukan aksinya terdiri atas Kompi Brigif I Kodam V/Jaya,
Batalyon 454/Diponegoro dan Batalyon 530/Brawijaya dan
Kompi Resimen Cakrabirawa, dan sebagai pendukung
demonstran terdiri atas Pemuda Rakyat, Gerwani,diberi nama
Divisi Ampera, Lettu Dul Arief dari Cakrabirawa yang ditunjuk
sebagai komandan Pasukan Pasopati bergerak ke sasaran
untuk menangkap hidup atau menembak mati:
- Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A. H. Nasution
- Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI A. Yani
- Deputy II Men/Pangad Mayjen TNI Suprapto
- Deputy III Men/Pangad Mayjen TNI Haryono M. T.
- Asisten I Men/Pangad Mayjen TNI S. Parman
- Asisten IV Men/Pangad Brigjen TNI D. I. Panjaitan.
- Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman Angkatan
Darat Brigjen TNI Sutoyo.
Pada dinihari, tanggal 1 Oktober 1965, pasukan bergerak
menuju sasarannya masing-masing.Beberapa jenderal
pimpinan Angkatan Darat berhasil diculik dan
dibunuh.Obyek-obyek vital berhasil diduduki.Suatu gerakan
militer yang sukses.
Mengapa PKI memilih sasaran hanya kepada tujuh
jenderal tersebut?Ketujuh jenderal tersebut merupakan
daftar hitam bagi PKI.Jenderal Nasution seorang anti
komunis yang fanatik.Dia tatkala menjabat Wakil
Panglima Besar, pada 1948, dialah “otak” penyusunan
operasi penumpasan pemberontakan PKI di
Madiun.Selaku KSAD Nasution adalah pencetus Razzia
Agustus 1951.Tatkala menjabat sebagai Peperpu,
Nasution melarang aktivitas PKI di Tiga Selatan (Sumatra
Selatan, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan).Ia
juga seorang penasehat dan pendukung Soekarno
tentang Demokrasi Terpimpin.

259
Pengayaan Materi Sejarah

Jenderal A. Yani, pada masa perang kemerdekaan adalah


Komandan Brigade yang aktif menumpas
pemberontakan PKI di Magelang pada 1948. Dalam
karier selanjutnya Yani terkenal perwira anti komunis
yang sangat setia kepada Soekarno.Kekuatan pendukung
riil Soekarno berada di pundak Yani.Pengangkatan Yani
sebagai Panglima Angkatan Darat merupakan ancaman
bagi PKI.Yani adalah pencipta konsepNasakom Jiwaku
bagi prajurit Angkatan Darat lawan dari Nasakom
bersatu.
Jenderal Suprapto, Deputy II Men/Pangad, pada masa
perang kemerdekaan adalah Kepala Staf Divisi II (Jawa
Tengah bagian Timur), Panglima Divisinya Kolonel Gatot
Subroto yang sangat anti komunis.Panglima dan Kepala
Staf Divisi dianggap sebagai pemberi perintah
pembunuhan 12 orang anggota pucuk pimpinan PKI
yang ditahan di penjara Surakarta pada 19 Desember
1948.
Mayor Jenderal Haryono M. T., Deputy III Men/Pangad
dikenal sejak 1945 sebagai pengikut Sjahriryang fanatik.
Mayor Jenderal Siswondo Parman, perwira Peta CPM
yang anti komunis. Sebagai perwira intelijen, dialah
“orang yang banyak tahu“ aktivitas PKI. Sedang Brigjen
D. I.Panjaitan adalah perwira “yang banyak tahu tentang
aktivitas PKI dan menghadapi orang-orang PKI menjelang
pemberontakan PRRI-Permesta 1957.
Brigjen Sutojo Siswomihardjo adalah perwira CPM,Divisi
II di bawah Kolonel Gatot Subroto. Pada saat
pemberontakan PKI 1948, beberapa tokoh PKI ditangkap
dan ditahannya.
Di samping faktor ideologis, politis, faktor dendam
memperkuat dalih PKI untuk menangkap dan
membunuh para perwira tinggi tersebut.
Pada pukul 07.00 RRI Jakarta menyiarkan pengumuman dari
Gerakan 30 September.“Pada hari Kamis tanggal 30
September 1965 di Ibukota RI Jakarta telah terjadi gerakan

260
Pengayaan Materi Sejarah

militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-


pasukan dari Angkatan Bersenjata lainnya. Gerakan yang
dikepalai oleh Letkol Untung Komandan Batalyon
Cakrabirawa, ………… ditujukan kepada Jenderal-Jenderal
anggota yang menamakan dirinya Jenderal. Sejumlah jenderal
telah ditangkap dan alat-alat komunikasi penting serta obyek-
obyek vital sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30
September.Sedangkan Presiden Soekarno selamat dalam
lindungan Gerakan 30 September”.
Siaran penguman diulang-ulang sampai beberapa kali.
Masyarakat Ibukota terkejut, peristiwa apa yang sedang
terjdi. Suasana pagi itu mendadak sepi dan tegang. Para
pegawai yang akan menjalankan tugas menyaksikan seluruh
jalan di Medan Merdeka ditutup dan dijaga oleh tentara yang
bersenjata dalam siaga tempur. Pada waktu yang hampir
bersamaan Presiden Soekarno berangkat dari Wisma Yaso
(sekarang Museum TNI Satria Mandala) menuju
Istana.Ditengah perjalanan, Komandan Pengawal Pribadinya
A.K.B.P. Mangil melapor agar Presiden tidak melanjutkan
perjalanan ke istana, karena istana telah dikepung oleh
pasukan yang tidak dikenal.Sementara itu Kolonel Saelan
Wadan Resemin Cakrabirawa melaporkan bahwa di rumah
Jenderal Nasution dan Brigjen Pandjaitan semalam terdengar
tembakan-tembakan. Reaksi Presiden, “Apa saya ini
ditelikung? Apayang kau dikerjakan untukku?Presiden
memerintahkan untuk menghubungi Menteri/Panglima AU,
Laksamana Udara Omer Dhani.
Tepat di bundaran air Mancur Jl. Thamrin, rombongan
berbelok ke Jl. Budikemuliaan selanjutnya tiba di Slipi.
Perintah itu merupakan prosedur, tetap pengamanan untuk
Presiden (VVIP), apabila dalam keadaan terncam bahaya,
Presiden tiba di pangkalan Halim Perdanakusuma pada pukul
09.00 disambut oleh Men/Pangan Omar Dhani dan Brigjen
Supardjo yang berpakaian dinas upacara besar (PDU-B). Pada
kesempatan itu Omar Dhani melapor tentang peristiwa
tindakan terhadap Dewan Jenderal.Brigjen Soepardjo
memerinci laporan Men/Pangan.Reaksi Presiden di luar
harapan mereka.Presiden menyatakan tindakan itu sebagai

261
Pengayaan Materi Sejarah

tindakan ke kanak-kanakan dan memerintahkan.Hentikan


gerakanmu, hindari pertumpahan darah.Presiden minta
ditunjukkan bukti alasan menindak pimpinan Angkatan
Darat.Brigjen Soepardjo meninggalkan Halim menuju ke
Cenko I, menemui rekan-rekannya.35Mereka menilai perintah
Presiden amat merugikan tidak perlu ditaati namun sadar
atas kegagalan rencananya.Kemudian mereka pimpin kudeta
G-30 S/PKI berpencar meninggalkan Halim.
Pada pukul 11.00 Presiden meninggalkan gedung Komando
Operasi AU, menuju ke rumah Komandan Pangkalan Halim
Perdanakusuma, Komodor Susanto. Presiden memerintahkan
memanggil Waperdam II Dr. J. Leimena, Jaksa Agung
Suthardio, Men/Pangad Laksamana Madya Laut Martadinata,
Men/Pangad Irjen Pol Sutjipto Joedodihardjo, dan Pangdam
Jaya, Mayor Jenderal Oemar Wirahadikusumah dan Brigjen
Soepardjo, Brigjen Sabur diperintahkan membuat
pengumuman bahwa Presiden dalam keadaan sehat dan
selamat.
Di rumah Komodor Susanto Presiden bermaksud memilih
pengganti Men/Pangad Yani yang diketahuinya telah
meninggal. Ada lima orang calon, Mayjen Mursyid (Deputy I
Men/Pangad), Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veterandan
Demobilisasi), Mayjen Ibrahim Ajie (Pangdam VI/Siliwangi),
dan Mayjen Soeharto (Panglima Kostrad). Pihak gerakan 30
September yang diwakili Brigjen Supardjo mengusulkan
Mayjen Pranoto (asisten 3/Menpangad) dan Mayjen Rukman
(Irjen AD). Rupanya Presiden belum “sreg” terhadap calon-
calon yang akan mengganti Letjen A. Yani, memutuskan
pimpinan Angkatan Darat dipegang sendiri. Mayjen Pranoto
Reksosamudra, sebagai Care laker (pemangku jabatan
Men/Pangad). Dari rumah itu, Presiden mengulangi
perintahnya agar semua pasukan berada di posnya, untuk
menghindari pertumpahan darah.
Pada pukul 17.00, Presiden memerintahkan ajudan untuk
memanggil Mayjen Pranoto, ternyata gagal. Kolonel
Bambang Widjanarko datang ke Makostrad menghadap

262
Pengayaan Materi Sejarah

Pangkostrad menyampaikan perintah Presiden. Terjadi dialog


singkat
“mBang, sekarang Bapak ada di mana?
“Berada di Halim, Pak! mBang saat ini Panglima AD,
Jenderal Yani tidak ada.
Pimpinan untuk sementara ditangan saya. Sampaikan
kepada Bapak agar semua instruksi mengenai Angkatan
Darat harap disampaikan kepada saya. Jenderal Pranoto
saat ini tidak dapat menghadap.
Siap Pak! “Dan padamu” ucap Jenderal Soeharto
mBang saya minta usahakan sedapat mungkin agar
Bapak secepatnya keluar dari Halim.
“siap Pak saya kerjakan”.
Kolonel Bambang Widjanarko tiba di Halim lebih kurang
pukul 20.00. Presiden sedang berbincang dengan Waperdam
Leimena, Pangam Omar Dhani dan ajudan Sabur. Sewaktu
akan menyampaikan laporan, masuk Brigjen Supardjo. Ia
melapor bahwa Mayjen Pranoto berada di Makostrad tidak
dapat menghadap dan menyampaikan pesan Jenderal
Soeharto tentang prosedur instruksi mengenai kepemimpinan
AD. Sekalipun Presiden tampak marah, Bambang Widjanarko
melanjutkan laporannya, menyampaikan pesan Jenderal
Soeharto agar Presiden segera meninggalkan Halim sebelum
pukul 00.00 atau 12 malam, dengan caranya sendiri agar
Presiden tidak bertambah marah. Ia berkisah tentang
kesaksiannya, bahwa pasukan yang menduduki Medan
Merdeka telah mundur dan RRI telah dikuasai Kostrad, serta
menyaksikan sendiri persiapan tempur Kostrad. Lambat atau
cepat, lapangan Halim pasti akan diserbu oleh Kostrad. Atas
saran Waperdam Leimena, Presiden memutuskan untuk
segera keluar dari Halim. Tanpa sepengetahuan Omar Dhani
para pengawal menyiapkan perlengkapannya keluar Halim
menuju Bogor. Dengan mobil mini Prince Presiden bersama
Waperdam Leimena, keluar dari Halim, lebih kurang pukul
23.00, Bambang duduk disamping sopir.36

263
Pengayaan Materi Sejarah

Ditengah perjalanan Presiden yang tidak tahu rencana


perjalanannya, tatkala mobil berbelok ke arah Bogor Presiden
menegur; Bambang meminta maaf Presiden akan dibawa ke
Bogor. Selanjutnya menjelaskan alasannya. Pada sekitar pukul
23.45, Presiden tiba di Bogor. Malam itu juga Bambang
Widjanarko melapor kepada Jenderal Soeharto lewat telepon.
Dari sekitar Medan Merdeka, pada pukul 14.00 RRI
menyiarkan Dekrit dari Komando Gerakan 30 September,
tentang pembentukan Dewan Revolusi. Menurut
pengumuman tersebut Dewan Revolusi menjadi sumber dari
pada kekuasaan dalam negara Republik Indonesia. Dewan
Revolusi Indonesia dalam kegiatannya sehari-hari akan
diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri atas Komandan
dan Wakil-wakil Komandan. Dengan jatuhnya kekuasaan
negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia maka Kabinet
Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner. Sampai
pembentukan Dewan Menteri baru oleh Dewan Revolusi
Indonesia para bekas Menteri diwajibkan melakukan
pekerjaan rutin. Hirarchi Dewan Revolusi berjenjang Dewan
Revolusi Indonesia (pusat), Dewan Revolusi Propinsi (35
anggota), Dewan Revolusi Kabupaten (35 anggota) dan
Dewan Revolusi Kecamatan (10 orang), Dewan Revolusi Desa
(tujuh orang).
Pengumuman dilanjutkan dengan pembentukan Dewan
Revolusi dengan menyebut nama-nama anggota Dewan
Revolusi Indonesia (pusat) yang berjumlah 45 orang yang
terdiri atas Ketua (Letkol Untung), Wakil-Wakil Ketua (Brigjen
Supardjo, Letkol Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, AKB Pol
Anwas).
Pengumuman G 30-S yang terakhir adalah penghapusan
pangkat Jenderal, pangkat tertinggi pada TNI adalah Letnan
Kolonel. Bagi para prajurit yang membantu Gerakan 30
September dinaikkan pangkatnya satu tingkat.37Setelah itu
RRI tidak menyiarkan pengumuman baru.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto
Panglima Kostrad di kediamannya H. Agus Salim, dilapori
oleh ketua RTnya, Mashuri SH, bahwa semalam terdengar

264
Pengayaan Materi Sejarah

suara tembakan di sekitar Menteng. Dengan mengendarai


jeep Panglima Kostrad ini berangkat ke kantornya Mako
Kostrad di Medan Merdeka Timur. Dalam perjalanannya
Jenderal menyaksikan kesatuan Kostrad menduduki di sekitar
Medan Merdeka. Tiba di kantor ia mendengar siaran RRI
tentang Letnan Kolonel Untung telah menindak para jenderal
pimpinan Angkatan Darat. Soeharto mengenal siapa Letkol
Untung, baik secara pribadi maupun prestasi dalam
penugasan dan kecenderungannya terhadap aliran politik.
Jenderal Soeharto mulai mempelajari dan menganalisis
situasi. Kesimpulannya telah terjadi pengkhianatan. Perlu
tindakan cepat untuk mengatasi krisis.
Pertama menetralisir pasukan yang menduduki sekitar Medan
Merdeka, yang diketahui dari Batalyon 530/Para Brawijaya
dan Batalyon 454/Para Diponegoro, yang keduanya termasuk
jajaran Kostrad. Setelah diadakan pendekatan melalui
sesepuh Batalyon Brigjen Satiri Muchtar dan Letkol Ali
Moertopo, Wadan Yon Kapten Suharbi menarik batalyonnya
dari Medan Merdeka, masuk ke Makostrad pada pukul 15.00.
Tetapi Kapten Kuncoro Wadan Yon 454, membawa
pasukannya keluar Medan Merdeka menuju suatu tempat di
sekitar Halim. Kemudian memerintahkan Pangdam V, Mayjen
Umar Wirahadikusumah, untuk mengkonsinyir pasukan di
garnisun Jakarta dan menutup semua jalan masuk Jakarta.
Langkah kedua yang dilaksanakan oleh Panglima Kostrad,
memanggil Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Pasukan RPKAD diperintahkan untuk merebut dua obyek vital
yang masih diduduki oleh pasukan G-30-S yaitu gedung RRI
dan Telekomunikasi. Petunjuk prinsip dari Panglima adalah
perkecil kemungkinan timbulnya korban dengan
menghindarkan tembak menembak.
Tepat pada pukul 19.00 pasukan RPKAD diperintahkan untuk
merebut dua obyek vital tersebut. Dalam tempo 20 menit
kedua obyek vital berhasil direbut dari tangan sisa pasukan G-
30-S. Pada pukul 20.00., Mayor Jenderal Soeharto berpidato
melalui RRI, yang intinya antara lain :

265
Pengayaan Materi Sejarah

- Pada tanggal 1 Oktober 1965, telah terjadi suatu


peristiwa (kudeta) yang dilakukan oleh golongan kontra
revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30
September.
- Mereka telah menculik beberapa perwira tinggi pimpinan
Angkatan Darat.
- Mereka memaksa menggunakan studio RRI untuk
keperluan aksi terornya.
- Bahwa PJM Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno dan J.M Menko Hankam/KASAB
Nasution dalam keadaan selamat.
- Pimpinan Angkatan Darat untuk sementara kami
pegang.
- Telah ada saling pengertian, bekerjasama dan Kebulatan
tekad antar Angkatan Darat, Laut, AKRI untuk
menumpas perbuatan Kontra Revolusioner yang
menamakan dirinya Gerakan 30 September.
- Melakukan corp dari tangan P.J.M Presiden dengan
membentuk Dewan Revolusi.
- Melempar Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner.38
Sejak pengumuman itu masyarakat Jakarta, jelas atas
peristiwa yang terjadi pada hari itu. Kudeta yang dipimpin
oleh Kolonel Untung hanya berumur tidak sampai 11 jam
sejak pengumumannya yang pertama.

4.5. Konflik Pasca Kudeta G-30 S/PKI


1. Sidang Kabinet di Bogor
Pada tingkat nasional, pada tanggal 6 Oktober 1965,
Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana
Bogor. Dalam sidang ini yang membuat semua pejabat
“surprise” adalah hadirnya Nyoto, tokoh PKI yang baru
diangkat sebagai Menteri Negara pada bulan Agustus 1965.
Sidang ini sangat istimewa, karena dihadiri sejumlah
pimpinan TNI dan Polri. Maksud Presiden adalah untuk

266
Pengayaan Materi Sejarah

menyakinkan masyarakat bahwa iamasih mampu


mengendalikan dan melakukan kontrol terhadap kekuatan
politik dan Angkatan Bersenjata. Pidato Presiden pada sidang
ini, dicatat sebagai pidato yang kontroversial. Presiden
Soekarno masih menganggap revolusi lebih agung
dibandingkan dengan terbunuhnya para Jenderal pimpinan
Angkatan Darat yang peristiwa itu dianggap sebagai “een
rimpeltje in de oceaan” yang artinya riak-riak kecil dalam
“samudra” revolusi Indonesia. Sejak itu hubungan batin
antara Presiden dan pimpinan Angkatan Darat merenggang.
Mereka mulai bersikap kritis dan waspada terhadap
kecenderungan sikap politik Soekarno. Angkatan Darat
membangun opini publik baru, yang Soekarno dianggap
sebagai pemimpin yang gagal total. Ajaran Revolusinya tidak
patut dipercaya lagi. Sejak kebijakannya mengangkat Mayor
Jenderal Pranoto pada 1 Oktober 1965 sebagai caretaker
Menteri/Panglima Angkatan Darat yang kemudian ditolak
oleh Mayor Jenderal Soeharto, merupakan petunjuk kuat
bahwa Presiden Soekarno telah kehilangan kekuasaannya.
Akibat kematian Yani dan para perwira tinggi itu,
solidaritas korps di Angkatan Darat semakin menguat, yang
tidak pernah diperhitungkan sebelumnya oleh Soekarno dan
PKI. Kecurigaan terhadap setiap langkah politik Soekarno
menguat. Presiden kemudian membentuk fact finding
commission (komisi pencari fakta) yang dipimpin oleh Mayor
Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmodjo Menteri Dalam Negeri.
Komisi ini bertugas mengumpulkan bukti dan melaporkan
jumlah korban yang terbunuh pasca kudeta.
Sementara itu TNI Angkatan Darat melakukan
kampanye penerangan secara terencana dan terorganisasi
melalui surat kabar Berita Yudha dan Buletin Pemberitaan
Angkatan Bersendjata, dikoordinasikan oleh Satuan Tugas
Penerangan.
Kampanye penerangan, sasarannya untuk mengubah
opini publik dan melunturkan pengaruh dan pujaan pribadi
Soekarno, juga untuk meruntuhkan moril pendukung
Soekarno. Kampanye penerangan ini bersamaan dengan aksi-

267
Pengayaan Materi Sejarah

aksi mahasiswa dan pelajar di kota-kota besar seluruh


Indonesia. Pada tanggal 25 Oktober 1965 menteri Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dr. Syarif Thayeb,
mendorong lahirnya kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan
pelajar untuk menuntut pembubaran PKI. Menurut
pendapatnya spontanitas, kesadaran dan kemurnian
perjuangan mahasiswa ditampung dalam wadah organisasi.39
Lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang
terdiri atas beberapa mahasiswa extra universiter, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI), Mapantjas (Mahasiswa Pancasila) dan
Somal (Solidaritas Mahasiswa Sosialis). KAMI dipimpin oleh
Cosmas Batubara, Zamroni, David Napitupulu, Elyas dan
Mar’ie Muhammad. Pembentukan KAMI adalah konsolidasi
kekuatan dari semua organisasi mahasiswa penentang PKI
dan tantangan terhadap komando presiden tanggal 21
Oktober 1965. Tema aksinya disebut Tritura (Tiga Tuntutan
Rakyat). Sekalipun aksi-aksinya itu hanya berlangsung selama
60 hari menggetarkan pemerintahan Soekarno.40
Komando Presiden Soekarno tinggal gemanya. KAMI
tidak menggubris dan terus melakukan demonstrasi dan
aksi coret-coret. Soekarno gelisah, marah. Caci maki
mahasiswa dinilai sudah melebihi batas. Ia harus berjuang
sendirian melawan gelombang pemberontakan anak-anak
muda. Para pendukungnya “lari” mencari selamat. Pada 21
Desember 1965, ia memanggil Pengurus Besar HMI dan
meminta HMI tidak ikut-ikutan berdemonstrasi. HMI pernah
dibela Presiden tatkala diserang habis-habisan oleh CGMI
pada September 1965. Soekarno menolak tuntutan CGMI
agar HMI dibubarkan. Permintaan Presiden tidak mendapat
sambutan juga. Soekarno harus berjuang seorang diri disaat
kritis. B.M.41Sejak ia mengangkat Jenderal Pranoto sebagai
pengganti Yani ini berakibat fatal. Pada gilirannya Soekarno
berhadapan sendiri dengan Soeharto yang ia ditunjuk
sebagai Kepala Staf KOTI pengganti Yani. Perbedaan
pendapat yang mendasar, adalah mengenai cara mengatasi
krisis nasional, masalah konfrontasi dengan Malaysia,

268
Pengayaan Materi Sejarah

keamanan dan ketertiban, Nasakom, Pancasila dan aksi-aksi


demonstrasi mahasiswa.
Presiden Soekarno berpendapat bahwa masalah G-30-
S/PKI adalah masalah politik yang harus diselesaikan secara
politik pula. Untuk penyelesaian politik diperlukan keamanan
dan ketertiban didahulukan. Jenderal Soeharto berpendapat
penyelesaian politik dan keamanan harus diselesaikan secara
simultan, dengan membubarkan PKI dalang kudeta G-30-
S,sehingga keamanan dan ketertiban dapat dikendalikan.
Presiden Soekarno berpendapat bahwa kalau PKI dibubarkan,
anggota-anggota dan kader-kader mereka akan melakukan
gerilya politik. Bagi Soekarno PKI adalah salah satu unsur
Nasakom yang menjadi modal persatuan nasional antara
ideologi nasionalisme, komunisme dan agama-agama di
bawah payung Pancasila. Nasakom telah diterima di negara-
negara The New Emerging Forces (NEFOS). Presiden Soekarno
menolak membubarkan PKI, salah satu unsur Nasakom.
Sampai akhirnya Soekarno menggunakan
kekuasaannya, karena tidak berhasil menaklukkan” pendirian
Soeharto. “Kamu seorang prajurit, kerjakan apa yang saya
perintahkan! Soeharto tetap pada pendiriannya, bahwa PKI
telah melakukan tindakan coup42, karena itu harus diambil
tindakan PKI harus dibubarkan. Soeharto mengusulkan agar
pembangunan di desa-desa diintensifkan. “Cara mengatasi
keadaan”, kata Soekarno! Mudah saja “asal kamu
menjalankan perintah saya”. Perintah saya! agar gerakan
mahasiswa dan rakyat yang menentang kebijakan saya
dipadamkan. Soeharto menolak perintah Soekarno. Gerakan
mahasiswa itu tidak menentang Bung Karno, justru
mendukung dan mengamankan Bung Karno, untuk
menyelamatkan revolusi. “Kalau saya disuruh menghancurkan
mahasiswa dan rakyat yang menentang PKI, sebetulnya sama
halnya saya menghancurkan kekuatan yang harus
mengamankan Pancasila”. Soekarno menilai bahwa gerakan
mahasiswa itu didalangi imperialis Amerika Serikat. Soeharto
dengan tegas menolak sinyalemen Soekarno. Menurut
Soeharto, rakyat telah sadar akan bahaya komunis. Dengan

269
Pengayaan Materi Sejarah

bukti-bukti yang ada keterlibatan PKI sebagai dalang kudeta


G-30-S sukar untuk dibantah43.
Sementara itu Soeharto berhasil meminiatur kekuasaan
Soekarno. Melalui KOTI, Presiden mempunyai kekuasaan yang
luar biasa. KOTI membawahi dua komando pasukan tempur
yaitu Komando Mandala Siaga dan Koops Kamtib atau
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (kemudian
Kopkamtib) yang dibentuk pada November 1965. Untuk
penyelesaian konfrontasi disarankan dibentuk institusi khusus
langsung di bawah Presiden, peran Kopkamtib perlu
diperluas. Disini Presiden Soekarno setuju saran Soeharto.
KOTI sebagai pusat kekuasaan Presiden Soekarno dibubarkan,
diganti dengan Komando Ganyang Malaysia (KOGAM).
Sebaliknya Jenderal Soeharto berhasil memperkuat posisi
Koopskamtib.
Pada hari Sabtu tanggal 15 Januari 1966, Presiden
Soekarno mengadakan Sidang Paripurna Kabinet terbuka di
Istana Bogor.Sidang ini dihadiri anggota jugaoleh wakil-wakil
organisasi masyarakat dan sepuluh wakil mahasiswa. Wakil-
wakil KAMI diantar oleh 50.000 mahasiswa yang datang dari
Jakarta, Bogor maupun Bandung. Mereka itu Cosmas
Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Elyas, Djoni Sunarya,
Liem Bian Koen, Firdaus Wajdi, Suwarto, Abdul Gafur dan
Tony Wangke44. Dalam sidang ini Presiden Soekarno
meluapkan kekesalannya. Ia menuduh ada usaha
“mendongkel” dirinya, dengan aksi-aksi gelap. Ia
menantang. “Ini Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi, Presiden
RI siapa yang mau ikut saya, susun barisan, jangan bertindak
liar, tunggu komando”. Komando Presiden Soekarno ini
menjadi kontroversial. Kelompok pendukung maupun
kelompok yang anti Soekarno, saling berebut untuk
membentuk barisan baru.45.
Pada tanggal 17 Januari 1966, “tantangan “dari
Presiden Soekarno dijawab oleh mahasiswa UI. Mereka
mengeluarkan pernyataan siap menjadi pasukan jibaku
(berani mati) Bung Karno dan mendukung terbentuknya
Union Students yang dipimpin oleh Bung Karno, serta siap

270
Pengayaan Materi Sejarah

memurnikan kewibawaan Bung Karno dari pengikut G-30-S


(Gestapu)46.
Pada hari berikutnya tanggal 18 Januari 1966,
Panglima Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) Mayor
Jenderal Hartono, kepada wartawan ia menyatakan, “Hitam
Komando Bung Karno, hitam tindakan KKO, putih Komando
Bung Karno, Putih tindakan KKO. KKO tetap kompak berdiri
dibelakang Bung Karno.”47
Ofensif politik Soekarno, dilanjutkan dengan
menawarkan jabatan Wakil Presiden yang masih kosong sejak
1956 agar diisi kembali. Tawaran ini langsung ditolak oleh
ABRI melalui pernyataan Pimpinan ABRI, yang ditandatangani
oleh Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution,
Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto,
Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya Laut R.E.
Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana
Muda Udara Sri Muljono Herlambang dan Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian Irjen Pol. Soetjipto Joedodihardjo.
Memasuki bulan Februari 1966, Presiden masih
mengulangi, ingin menguji sejauh mana kesetiaan rakyat dan
percaya kepada kepimimpinannya. Pada 13 Februari 1966
diselenggarakan rapat umum di Stadion Senayan, tanpa hasil
yang riil48. Pada 16 Februari 1966 Presiden selaku Panglima
Tertinggi memerintahkan kepada Pangkopskamtib Mayor
Jenderal Soeharto agar menginstruksikan kepada Kopkamtib
Daerah di seluruh Indonesia mengadakan apel kesatuan
untuk menghidupkan kembali semangat pembentukan
Barisan Soekarno. Perintah Panglima Tertinggi ini ditanggapi
secara dingin oleh para Kopkamtib.

2. Aktivitas Mahasiswa
Instruksi Presiden mendapat sambutan dari mahasiswa
pada 17 Februari 1966 Presidium KAMI mengeluarkan
pernyataan yang ditandatangani oleh David Napitupulu dan
Liem Bian Koen, menyatakan KAMI adalah Barisan
Soekarno49tanpa penjelasan lebih lanjut. Di pihak lain KAMI

271
Pengayaan Materi Sejarah

Bandung pada hari yang sama mengeluarkan pernyataan


menentang pembentukan Barisan Soekarno.
Sementara itu, di Jakarta aksi-aksi jalanan mahasiswa
telah mereda. Sebagian dari mereka telah kembali ke
kampus untuk kuliah. Tetapi pada tingkat pimpinan rupanya
konfrontasi bertambah sengit. Presiden Soekarno menyusun
skenario untuk mempertahankan kekuasaannya secara serius.
Pertama ia melakukan reshuffle Kabinet Dwikora, pada 21
Februari 1966, dengan namaKabinet Dwikora yang
Disempurnakan. Kabinet baru ini terdiri atas empat Wakil
Perdana Menteri, 19 Menteri Koordinator 105 pejabat
menteri. Masyarakat menjuluki sebagai kabinet 100 Menteri
atau Kabinet Gestapu. Karena Presiden Soekarno mengganti
pejabat yang menentang kebijakannya. Para pemimpin
mahasiswa yang semula masih ragu-ragu sejak tersusunnya
kabinet baru hasil reshuffle, mereka mulai berani menentang
kebijakan Presiden Soekarno.50
Puncak aksi mahasiswa adalah pada hari pelantikan
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Pada pagi hari Kamis
tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa bergerak menuju jalan-
jalan utama, di hampir seluruh kota Jakarta. Mereka
melakukan pengempesan ban-ban mobil yang akan menuju
kearah utara yang melewati jalan Soedirman, Hoesni
Thamrin, Medan Merdeka Barat, Utara, Timur dan Selatan.
Untuk membendung gerakan mahasiswa aparat keamanan
mengerahkan pasukan pengendali huru-hara yang dibantu
panser-panser. Pasukan pengendali huru-hara tidak mampu
menghadang desakan massa mahasiswa, pertahanan mereka
jebol. Mereka mundur mengkonsentrasikan penjagaannya di
pagar istana.
Reaksi Presiden Soekarno sangat keras, karena
skenarionya yang pertama mendapat perlawanan dari
mahasiswa. Presiden Soekarno selaku Panglima Besar
KOGAM, mengeluarkan Surat Keputusan
No.041/KOGAM/1966 tanggal 25 Februari 1966 hari Jum’at
sehari setelah pelantikan 100 menteri, Kesatuan Aksi
Mahasiswa (KAMI) dibubarkan.51 Surat keputusan itu

272
Pengayaan Materi Sejarah

disebarkan melalui Wakil Kepala Staf KOGAM, Laksamana


Muda Udara Sri Mulyono Herlambang. Pelbagai bentuk
demonstrasi dilarang, bahkan mereka yang bergerombol
lebih dari lima orang diperintahkan di tangkap. Pangdam
V/Jaya Amir Machmud memerintahkan beberapa tokoh KAMI
di tangkap dan di tahan di Markas Polisi Militer Kodam
V/Jaya. Jam malam diberlakukan di wilayah Garnisun
Jakarta.Mereka yang tidak tertangkap berlindung di Markas
Komando Tempur II/Rencong Kostrad di jalan Kebon Sirih
Barat. Pasukan RPKAD dan KOSTRAD diperintahkan bergerak
ke kampus UI untuk mencegah pasukan lain yang akan
mendudukinya.52 Setelah aksi-aksi mahasiswa berhasil
diredam, Presiden memerintahkan para pendukungnya untuk
melakukan kontra-aksi. Pada hari ulang tahun Gerakan Siswa
Nasional Indonesia (GSNI) organisai pelajar di bawah
naungan partai PNI/Front Marhaenis, dimanfaatkan untuk
menggalang dukungan. Tokoh-tokoh PNI mengerahkan
massa dari pelbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur
untuk menghadiri hari ulang tahun organisasi yang
diselenggarakan di Stadion Utama Senayan.53
Waperdam Dr. Soebandrio menganjurkan kepada
massa GSNI agar terror dilawan dengan terror. Akibatnya
terjadi bentrokan antara massa PNI Front Marhaenis dengan
mahasiswa KAMI di depan Universitas Indonesia, Salemba
tanpa bisa dicegah. Jam malam diperpanjang dari pukul
21.00 sampai 06.00 pagi hari untuk mencegah terjadinya
terror di tengah malam. Memasuki bulan Maret 1966,
pertarungan politik semakin meningkat. Presiden Soekarno
berusaha keras membendung gerakan-gerakan yang
menentang dirinya. Waperdam I Dr. Soebandrio berusaha
agar Barisan Soekarno menjadi organisasi yang kuat. Ia
meminta bantuan Menteri Pengamanan Khusus Letnan
Kolonel Sjafei, untuk memobilisasi dan mengkoordinasikan
kekuatan dengan kelompok militer pendukung Bung Karno,
untuk membangun imbangan kekuatan agar mampu
melawan golongan penentang Soekarno.54 Presiden
menyusun skenario yang ketiga. Ia ingin agar para pimpinan

273
Pengayaan Materi Sejarah

partai-partai politik dan para panglima daerah mengutuk


setiap gerakan yang menentang dirinya dan kebijakannya.
Pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno
memanggil pimpinan partai-partai politik ke Istana Merdeka
untuk mengadakan pertemuan penting seperti yang pernah
dilakukannya pada bulan Desember 1964, tentang heboh
dokumen rahasia PKI. Pimpinan partai-partai politik yang
hadir memenuhi panggilan Presiden adalah dari NU (H.A.
Syaichu, Subchan Z.E), PSII (Harsono Tjokroaminoto), Perti
(K.H. Roesli Halil, T.S. Mardjohan), Muhammadiyah (H.
Mulyadi Djojomartono, Ir. Sanusi), IP-KI (A. Sukendro,
Achmad Soekarmadidjaja, Ratu Aminah Hidayat), Partai
Katolik (I.J. Kasimo, I.G. Duriat), Parkindo (J.C.T. Simorangkir,
M. Siregar), PNI (Ali Sastroamidjojo, Ir. Surachaman) dan
Partindo (Asmara Hadi). Dalam pertemuan tersebut Presiden
didampingi oleh para Waperdam, dr. Soebandrio, Dr.
Leimena, Dr. Chaerul Saleh, Menteri Penerangan Mayjen
Achmadi dan Dubes RI untuk Cuba A.M. Hanafi. Pembicaraan
berlangsung tegang. Presiden menghendaki agar partai-
partai politik dan organisasi massanya mengutuk aksi-aksi
demonstran yang menghina dirinya. Sebaliknya mayoritas
partai-partai politik menghendaki agar PKI yang merupakan
sumber pemicu krisis dibubarkan. Presiden Soekarno
meninggalkan tempat dan membiarkan mereka selama enam
jam di istana. Partai-partai politik akhirnya berhasil
merumuskan pernyataan resmi dan kebulatan tekad.55
Pertama, tidak dapat membenarkan cara-cara yang
dipergunakan para pelajar/mahasiswa dan pemuda yang
akibatnya langsung atau tidak langsung membahayakan
jalannya revolusi Indonesia dan kewibawaan PBR Soekarno.
Kedua, menyadari keadaan sekarang sangat gawat dan
aktivitas-aktivitas subversiv dari pihak Nekolim. Ketiga,
berketetapan hati dan bertekad bulat untuk melaksanakan
tanpa reserve Perintah Harian Presiden/Mandataris
MPRS/Pangti AB/PBR Bung Karno tanggal 8 Maret 1966.
Pernyataan tersebut sempat dimuat oleh surat kabar
Angkatan Bersendjata, Kompas, tanggal 11 Maret 1966.
Namun ada keesokan harinya pernyataan tersebut diralat

274
Pengayaan Materi Sejarah

oleh pimpinan partai-partai yang menandatangani


pernyataan tersebut. Bahwa pernyataan tanggal 10 Maret
1966 itu dibuat dalam keadaan yang sangat tergesa-gesa,
dan Waperdam II tidak mengabulkan permintaan
parpol/ormas yang meminta perpanjangan waktu sampai jam
20.00 malam.
Jenderal Soeharto mengetahui rencana kampanye
politik Presiden Soekarnoitu sangat strategis yang bisa
memojokkan kekuatan Pancasila dan gerakan yang menuntut
pembubaran PKI. Hal ini berarti memberikan peluang dan
kesempatan bagi para pendukung G-30-S/PKI untuk bisa
mengkonsolidasi kekuatan politiknya. Situasi akan terbalik,
apabila kekuatan yang menuntut pembubaran PKI dianggap
sebagai kekuatan yang kontra revolusi. Pada hari Selasa
malam Rabu tanggal 8/9 Maret 1966, di Markas Besar
Angkatan Darat Jenderal Soeharto mengadakan rapat Staf
membahas situasi politik dan keamanan yang berubah-ubah
sangat cepat. Rapat menyimpulkan perlu dilakukan tindakan
untuk menggagalkan manuver politik Presiden Soekarno.
Sidang kabinet yang dipastikan akan membela PKI, harus
digagalkan. Asisten Operasi Brigjen Soemitro diperintahkan
untuk menyusun rencana operasinya.
Pada hari Rabu tanggal 9 Maret 1966, diadakan rapat
lanjutan yang dipimpin oleh Wapangad Mayor Jenderal M.
Panggabean, yang dihadiri oleh para petinggi TNI-AD
membahas rencana operasi dan penempatan pasukan RPKAD
disekitar Istana. Keputusan rapat Panglima Kostrad Oemar
memerintahkan untuk menarik semua pasukan yang telah
berada di sekeliling istana.
Pasukan RPKAD tanpa inisial sudah ditempatkan di
sekitar istana sejak awal Maret 1966. Tugasnya, menangkap
dr. Soebandrio yang berlindung di Istana, tidak berani
keluar.56
Dislokasi pasukan RPKAD (tanpa identitas) diketahui
oleh pihak istana. Seusai memberikan pengarahan kepada
pimpinan partai-partai poltik, pada malam 10 Maret 1966,
Presiden gelisah merasa terancam keselamatannya, ingin

275
Pengayaan Materi Sejarah

segera meninggalkan Istana Merdeka. Sabur menghubungi


Panglima KKO Jenderal Hartono. Brigade KKO Cilandak
diperintahkan mengamankan perjalanan Presiden. Karena
Presiden Soekarno dilanda ketakutan yang luar biasa dan
tidak sabar ingin segera keluar dari Istana. Jenderal Sabur
memutuskan untuk membawa Presiden dan rombongan ke
luar istana Merdeka secara diam-diam. Rombongan Presiden
terdiri atas para Waperdam (dr. Soebandrio, Dr. Leimena dan
Dr. Chairul Saleh), meninggalkan istana menuju Markas KKO
di Cilandak. Selanjutnya berangkat menuju Bogor.57
Rombongan tiba dengan selamat di Istana Bogor.
Sementara Pasukan RPKAD tanpa identitas tetap berada
disekitar Istana.Pada hari Jum’at tanggal 11 Maret 1966,
siding paripurna Kabinet Dwikora yang disempurnakan gagal.
Kampanye politik Soekarnogagal, yang berarti bayang-bayang
kekalahan Soekarno dalam pertarungan politik akan menjadi
kenyataan.

3. Surat Perintah 11 Maret 1966


Pada hari Jum’at tanggal 11 Maret 1966, situasi
ibukota berbeda dengan biasanya. Jalan-jalan di sekitar
istana telah penuh dengan massa mahasiswa. Sejak pagi-pagi
buta mereka telah berada di depan Istana. Pasukan
Tjakrabirawa dalam keadaan siaga tempur bertahan di istana.
Situasi kota Jakarta sangat mencekam, sewaktu-waktu bisa
pecah insiden bersenjata dan pertumpahan darah.
Pada pukul 07.30, Brigjen Sabur, dari Istana Bogor
menelpon Pangdam V, Brigadir Jenderal Amir Machmud,
mengkonfirmasi apakah Jakarta dalam keadaan aman bagi
Presiden. Amir Machmud menyatakan aman, Presiden
Soekarno bersama dengan tiga orang Waperdam tiba di
Istana Merdeka pada pukul 09.00. Di ruang sidang semua
menteri hadir kecuali Men/Pangad Letnan Jenderal Soeharto
dan Menteri Perkebunan Frans Seda.58

276
Pengayaan Materi Sejarah

Sidang Kabinet ini merupakan sidang pertama Kabinet


Dwikora yang Disempurnakan, sejak para menterinya dilantik
pada tanggal 24 Februari 1966.59
Ketika sidang baru berlangsung lebih kurang 10 menit,
Amir Machmud menerima nota dari Jenderal Sabur minta
agar Amir Machmud keluar sebentar dari ruang sidang. Nota
itu diterima dari ajudan Presiden Komisaris Besar Polisi
Sumirat, Sangat Penting. Di luar istana ada pasukan tanpa
tanda pengenal. Amir Machmud menolak meninggalkan
ruangan, merasa tidak sopan meninggalkan ruangan saat
Presiden berpidato. Ia yakin tidak ada bahaya yang
mengancam, berbeda dengan penilaian Sabur. Sabur
mengirim nota yang kedua, dengan catatan urgent, meminta
agar Amir Machmud keluar dari ruang sidang.60 Rupanya
Sabur tidak mau mengambil resiko. Ia langsung
menyampaikan nota kepada Presiden, melalui ajudan
presiden Bambang Widjanarko.
Presiden menghentikan pidatonya, “Perkembangan
baru, telah terjadi”. Surat itu disampaikan kepada Wakil
Perdana Menteri Soebandrio dan secara beranting. Penerima
terakhir Menteri Panglima Angktan Kepolisian Soetjipto
Joedodiharjo.61 Setelah menerima nota, pimpinan sidang
diserahkan kepada Waperdam III, Dr.Leimena. Presiden keluar
meninggalkan ruang sidang, Amir Machmud selaku
penanggung jawab keamanan, mengejar Presiden. Bapak
mau kemana sekarang? Bapak tidak usah bingung karena
perintah dari Pak Harto untuk menjaga keselamatan Bapak.
Jadi Bapak harus tenang62! Amir Machmud menyarankan
agar Presiden beristirahat di Bogor.
Amir Machmud kembali ke Istana setelah presiden
berangkat. Ia bertemu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri
Veteran dan Demobilisasi) yang berjalan bersama Brigjen M.
Jusuf (Menteri Perindustrian Dasar/Ringan). Tiba-tiba saja
Jusuf mempunyai ide, sebaiknya mereka pergi ke Bogor
menyusul Presiden, agar presiden tidak merasa ditinggalkan
oleh Angkatan Darat. Amir dan Basuki setuju. Amir
menyarankan agar lebih dulu melapor ke Pak Harto. Mereka

277
Pengayaan Materi Sejarah

bertiga menuju rumah Pak Harto di Jl. H. Agus Salim 98,


diterima di kamar tidur. Setelah melaporkan situasi sidang
kabinet, mereka minta izin akan menghadap presiden di
Bogor. Soeharto mengijinkan dan menitipkan pesan kepada
Presiden Soekarno. Pesan Jenderal Soeharto adalah “Agar
Bung Karno memberikan kepercayaan kepada saya untuk
mengatasi keadaan. Tidak ada perintah lain. 63 Bersama
Kolonel Saelan, Wakil Komandan Tjakrabirawa mereka
terbangdengan helikopter AL ALV 423 yang dipiloti Letnan
Achmad Gunawan.
Kedatangan ketiga perwira tinggi itu di Bogor pukul
(14.25) disambut oleh Mangil. Mereka berbincang-bincang
dengan Brigjen Sabur, karena Presiden sedang istirahat.
Sabur melapor, Presiden bersedia menerima mereka. Presiden
tampak menahan marah, langsung menumpahkan
amarahnya kepada Amir Machmud. Setelah amarahnya reda,
Jenderal Basuki Rachmat sebagai perwira senior,
menyampaikan maksud kedatangannya dan menyampaikan
pesan Jenderal Soeharto. Presiden kemudian mengadakan
pembicaraan serius dengan mereka. Seusai pembicaraan
dengan Presiden ketiga jenderal itu menyusun draf surat
perintah untuk Jenderal Soeharto.
Pada saat akan merumuskan draf surat perintah, Amir
Machmud menyarankan agar dibentuk tim yang diketuai oleh
Basuki Rachmat dan Sabur sebagai sekretaris. Penyusunan
draf dilakukan di ruang tengah paviliun Presiden. Menjelang
maghrib, menurut Mangil, Jenderal Sabur datang ke paviliun
Mangil meminta mesin ketik dan kertas kepada Staf Ajudan
Presiden. Mangil tidak memperhatikan draf yang diketik
Sabur. Sesudah mengetik ia dengan buru-buru kembali ke
paviliun Presiden.64 Setelah menerima laporan draf surat
perintah selesai diketik, Presiden Soekarno memanggil ketiga
Waperdam bersama tiga perwira tinggi itu berkumpul di
meja makan paviliun.Ny. Hartini Soekarno menyaksikan
pertemuan itu. Suasana dalam ruang makan itu sangat
santai. Sabur memohon maaf, karena hasil ketikannya tidak
memenuhi syarat administratif, karena draf surat perintah itu

278
Pengayaan Materi Sejarah

terdiri atas dua halaman. Amir Machmud menyela dalam


revolusi, hal-hal yang tidak prinsipil tidak perlu diperhatikan.65
Presiden menerima draf surat perintah dari Sabur,
dibacanya. Kemudian diserahkan kepada Waperdam
Leimena.Tiba pada giliran Waperdam Dr. Soebandrio,
Presiden bertanya: “Bagaimana Ban, kau setuju?”. Setuju ?”
pertanyaan yang diulangi. Dr. Soebandrio menjawab, “Bisa
berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami”.
Bung Karno memotong, “Tapi kau setuju?”. Kalau bisa
perintah lisan saja”, katanya memberanikan diri.66 Suasana
santai berubah menjadi tegang. Tiba-tiba Waperdam
Leimena menyela, “Yang mulia presiden tanda tangani
sajalah. Bismillah saja Pak”67.
Akhirnya draf surat perintah itu ditandatangani oleh
Presiden dihadapan ketiga Waperdam, empat orang perwira
tinggi (Basuki Rachmat, Amir Machmud, M. Jusuf dan Sabur)
dan istri Presiden Ny. Hartini Soekarno. Dengan demikian draf
surat perintah yang tidak memenuhi syarat administratif itu,
sah menjadi surat perintah resmi. Penandatanganan surat
perintah secara langsung oleh Presiden tanpa lewat prosedur
administrasi ini, kemudian menimbulkan pelbagai tafsir dan
versi. Isi surat perintah itu intinya memerintahkan kepada
Letnan Jenderal Soeharto Menteri/Panglima Angkatan Darat,
untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar
Revolusi: Pertama, mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk terjaminnya keselamatanpribadi dan kewibawaan
pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi, serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran
Pemimpin Besar Revolusi.
Peristiwa “lahirnya” surat perintah tanggal 11 Maret
1966 ini menjadi kontroversi sejarah. Mengapa Presiden
Soekarno serta merta dan dengan mudah mau
menandatangani draf surat perintah dihadapan para
pembantunya. Peristiwa ini sebetulnya merupakan tragedi
dari karier politik Soekarno. Soekarno tidak lagi mampu
menghadapi tekanan politik yang begitu dahsyat seorang diri.

279
Pengayaan Materi Sejarah

Kampanye politiknya yang ia rencanakan sendiri selama tiga


hari telah gagal total.
Setelah Presiden Soekarno menandatangani surat
perintah tersebut, ketiga perwira tinggi itu mohon ijin
kembali ke Jakarta. Perjalanan ketiga perwira tinggi itu ke
Jakarta dengan menumpang mobil ajudan presiden Bambang
Widjanarko. Di tengah perjalanan, Amir Machmud meminjam
surat perintah tersebut dari Basuki Rachmat. Ia membacanya
dengan lampu baca mobil dan berkesimpulan bahwa surat
perintah tersebut tidak lain dari penyerahan kekuasaan
Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Basuki Rachmat
dan Jusuf sependapat dengan Amir Machmud yang tak
terpikirkan sewaktu berada di Bogor.
Pada pukul 21.30 ketiga perwira tinggi tiba di rumah
Jenderal Soeharto. Mereka diterima dikamar tidur. Surat
diserahkan dan Jenderal Soeharto membacanya dengan teliti.
Tidak terlihat ia terkejut atau gembira karena surat perintah
itu dianggapnya sebagai bentuk formal dari kepercayaan
Presiden. Jenderal Soeharto memutuskan akan menerimanya
secara resmi di Markas KOSTRAD. Pada malam itu para
Panglima Daerah yang telah berada di Jakarta. Wapangad M.
Panggabean dan seluruh jajaran Staf Angkatan Darat dan
Kompartemen Hankam, dipanggil ke Markas KOSTRAD untuk
menghadiri briefing Men/Pangad Jenderal Soeharto. Wakil-
wakil dari Front Pancasila, diundang hadir, antara lain K. H.
Masjkur, Subchan Z.E., Harry Tjan Silalahi, Nuddin Lubis dan
lain-lainnya. Beberapa mahasiswa yang sedang tidur di
Markas Kopur II KOSTRAD di jalan Kebon Sirih Barat
dibangunkan oleh Kemal Idris. Mereka yang ikut hadir pada
saat briefing, antara lain Cosmas Batubara, Liem Bian Koen,
Abdul Gafur, David Napitupulu.68
Jenderal Soeharto menyampaikan briefing tentang
situasi keamanan negara kemudian mempersilakan Mayor
Jenderal Basuki Rachmat untuk membacakan surat perintah
presiden dihadapan mereka. Jenderal Soeharto kemudian
memerintahkan kepada Wakil Panglima Angkatan Darat
(Wapangad) Jenderal M. Panggabean untuk menyusun draf

280
Pengayaan Materi Sejarah

Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi tentang


pembubaran PKI. Perumusan draf oleh Panggabean
diserahkan kepada Kolonel Hasnan Habib. Pada tengah
malam Jenderal Soeharto menandatangani Surat Keputusan
Presiden/Panglima Tertinggi No. 1/31966 tertanggal 12 Maret
1966 tentang pembubaran PKI dan Perintah Harian dari
Jenderal Soeharto69 yang kemudian disiarkan lewat RRI.
Presiden Soekarno bereaksi keras dan memanggil semua
Wakil Perdana Menteri serta ketiga perwira tinggi AD (Basuki
Rachmat, Amir Machmud dan M. Jusuf70ke Bogor. Kemudian
mengutus Waperdam Dr. Leimena menemui Jenderal
Soeharto, untuk menegaskan bahwa Surat Perintah 11 Maret
bukan sama sekali bersangkut paut dibidang politik tetapi
hanya masalah keamanan. Rupanya Jenderal Soeharto tetap
teguh dalam pendiriannya, menolak mencabut Surat
Keputusan tersebut. Presiden memanggil Panglima Angkatan
Darat ke Bogor yang diwakili oleh Jenderal Kemal
Idris.Iamenyatakan kedatangannya hanya untuk
mendengarkan penjelasan Presiden, sekiranya Letnan Jenderal
Soeharto telah melakukan hal-hal diluar wewenang yang
diberikan.71
Pembubaran PKI pada 12 Maret 1966 dirayakan
dengan pawai besar-besaran di Jakarta. Angkatan Darat
melakukan show of force di jalan Sudirman, Thamrin dan
Medan Merdeka Selatan. Show of force merupakan jawaban
langsung terhadap janji political solution dari presiden yang
ditunggu-tunggu oleh rakyat sejak bulan Oktober 1965.
Waktu Presiden Soekarno tidak mampu mencabut surat
perintah yang telah dikeluarkan. Pada 15 Maret 1966, ketiga
perwira tinggi (Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Jusuf dan
Brigjen Amir Machmud) dipanggil menghadap Presiden.
Masalah apa yang dibahas, tidak ada sumber yang
menjelaskan.72 Upayanya melalui para Panglima Angkatan
sia-sia. Bahkan para Panglima Angkatan memerintahkan
konsiyiring pasukan, mereka harus tetap siaga dibarak
masing-masing.

281
Pengayaan Materi Sejarah

4. De Soekarnoisasi
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sejak akhir Oktober
1965 terjadi perpecahan antara kelompok yang diindikasikan
pengikut dan simpatisan G-30-S/PKI, Ali Surachman disingkat
A-Su dengan kelompok anti G-30-S/PKI yang dipimpin oleh
Osa Maliki dan Usep Ranawidjaya. Jenderal Soeharto
memprakarsai konsolidasi PNI. Pada 16 Maret 1966 diadakan
pertemuan antara mereka dan pada bulan April 1966, PNI
mengadakan Kongres luar biasa di Bandung. Sekalipun
terjadi perdebatan yang sengit dalam kongres, akhirnya
terbentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Partai (DPP). Osa
Maliki terpilih sebagai Ketua Umum dan Prof. Usep
Ranawidjaya sebagai Sekretaris Jenderal. Sejak itu DPP PNI
terkenal dengan sebutan PNI Osa-Usep.73 Syarat menjadi
anggota yang ditentukan oleh sidang adalah, PNI/FM harus
bersih dari unsur-unsur yang terindikasi terlibat Gestapu/PKI.
Dengan terkonsolidasinya PNI, Jenderal Soeharto berhasil
melanjutkan langkah konsolidasi politik. Majelis
Permusyarawatan Rakyat Sementara (MPRS), yang berkantor
di Bandung dipindahkan ke Jakarta. Kolonel Wiluyo
Puspoyudo, salah seorang wakil ketua MPRS diangkat sebagai
caretaker ketua untuk menyelenggarakan sidang MPRS. Pada
bulan Juni 1966, MPRS yang telah dibersihkan dari
anggotanya yang berindikasi G-30-S/PKI, bersidang di Jakarta.
Sidang MPRS IV dibuka pada 20 Juni 1966. Jenderal
Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS. Pada 22 Juni 1966
dengan empat orang wakil ketua Subchan Z.E, Osa Maliki,
Melanthon Siregar dan Brigjen Waluyo. Sidang MPRS
menghasilkan beberapa ketetapan yang bermakna koreksi
total antara lain:74
TAP XV/MPRS/1966 yang menetapkan bahwa sekiranya
Presiden berhalangan, maka pemegang Super Semar yang
menjadi pejabat Presiden. TAP XIII/MPRS/1966, yang
menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pembentuk kabinet.
Ketetapan ini ditentang keras oleh Presiden, juga oleh Adnan
Buyung Nasution. Dalam prakteknya kemudian disepakati
bahwa pembentuk kabinet adalah Presiden Soekarno

282
Pengayaan Materi Sejarah

bersama Jenderal Soeharto. TAP XXVI/MPRS/1966, tentang


Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. MPRS menghendaki
Ajaran-ajaran Bung Karno diteliti. Untuk itu dibentuk Panitia
Peneliti yang dipimpin oleh Osa Maliki, Ketua Umum PNI dan
Wakil Ketua MPRS. Jenderal T.B. Simatupang menyarankan
Ajaran Bung Karno yang berjumlah 244, tidak mungkin
diteliti. Simatupang berpendapat apapun yang ditulis oleh
Soekarno hendaklah dianggap sebagai aset bangsa.
Masyarakat akan menilai sendiri, apakah ajaran itu relevan
bagi jamannya atau tidak.
Pada 22 Juni Presiden Soekarno berpidato
Pertanggungan jawabnya sebagai Presiden di siding umum
MPRS menjelaskan tentang gelar-gelar yang dianugerahkan
oleh MPRS pada 1963.Gelar itu adalah Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia, yang bagi Soekarno adalah suatu
pertanggungan jawab yang berat sekali.Mengenai gelar
mandataris adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945, siding penetapan sebagai Presiden seumur hidup
MPRS, memberikan penjelasan “alangkah baiknya djikalau
MPR nanti hasil pemilihan umum masih meninjau
kembali.Pidato diberi judul Nawaksara.
Sidang MPRS IV berakhir pada tanggal 1 Juli 1966,
belum mampu menyelesaikan masalah krisis karena TAP-TAP
yang dihasilkan masih mengundang kontroversi. Sekalipun
tidak sepenuhnya berhasil mengatasi krisis, sidang MPRS IV
telah melapangkan jalan dan memberi peluang kepada
Jenderal Soeharto untuk menjadi penguasa baru. Secara
konstitusional Jenderal Soeharto mendapat dukungan dari
MPRS. Terutama sekali TAP MPRS No. XXIV yang
mengukuhkan sistem pertahanan keamanan dengan sistem
senjata fisik/teknologi dan sistem senjata sosial. Sistem
senjata adalah perpaduan antara semua unsur kekuatan non
militer strategis untuk menaklukan lawan tanpa kekerasan.
Sistem senjata sosial itu dibreakdown dalam bentuk operasi-
operasi strategis dan taktis melalui perencanaan operasi-
operasi sosial politik yang cermat dan sistematis dengan
sasaran kekuatan politik lawan. Sistem senjata ini

283
Pengayaan Materi Sejarah

dimanfaatkan oleh Jenderal Soeharto untuk menaklukan


lawan-lawan politiknya.
Berdasarkan Ketetapan MPRS, pada tanggal 25 Juli
1966 Jenderal Soeharto bersama Presiden Soekarno
membentuk kabinet baru, yang di beri nama Kabinet
Ampera. Kabinet ini terdiri atas pimpinan, yaitu presiden
Soekarno, dibantu oleh sebuah Presidium yang terdiri atas
empat orang Menteri Utama (Menutama). Presidium Kabinet
dipimpin oleh Ketua Presidium, Jenderal Soeharto merangkap
sebagai Menteri Utama bidang Pertahanan Keamanan
(Menutama Hankam). Anggota Presidium lainnya ialah
Menutama bidang Politik, Adam Malik, Menutama bidang
Kesejahteraan Sosial (Kesra), K.H. Idham Cholid, Menutama
bidang Ekonomi dan Keuangan (Eku) Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Menutama bidang Industri dan
Pembangunan (Inbang) Sanusi Hardjadinata. Komposisi
kabinet terdiri atas pelbagai unsur aliran. Presiden Soekarno
tidak lagi langsung memimpin kabinet.
Pada Kabinet Ampera yang dualistis ini, kepemimpinan
Soekarno meredup dan telah beralih ke Soeharto. Untuk
mensukseskan program Kabinet Ampera Soeharto meminta
kepada Seskoad, sebagai think-tank Angkatan Darat, agar
menyelenggarakan seminar untuk memberikan masukan bagi
tercapainya program kabinet. Dalam kabinet ini
dibelakangnya berdiri sejumlah pemikir (teknorat) yang
ditugasi memecahkan tentang pelbagai masalah yang
dihadapi. Selaku Ketua Presidium Kabinet Soeharto juga
membangun kelompok pemikir inti, sebagai penasihatnya
yang disebut staf pribadi, (Spri), yang dikoordinasikan oleh
Letnan Jenderal Alamsah Ratu Perwira negara. Beberapa
anggota Spri terdiri atas pakar ekonom dan pakar politik.
Setelah terbentuknya kabinet, Soeharto melangkah
maju membenahi Angkatan Bersenjata yang terpecah belah
yang sebagian besar masih bersimpati ke pada Presiden
Soekarno, terutama pada Angkatan Laut, Angkatan Udara
dan Angkatan Kepolisian dan Resimen Pengawal
Kepresidenan Tjakrabirawa yang dipimpin oleh Jenderal

284
Pengayaan Materi Sejarah

Sabur. Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, pada Juni


1962, Tentara Nasional Indonesia (AD, AL, AU) dan
Kepolisian Negara diintegrasikan menjadi Angkatan
Bersenjata yang masing-masing angkatan dipimpin oleh
seorang panglima. Masing-masing markas besar dijadikan
departemen yang dipimpin oleh seorang menteri. Pada
tingkat pucuk pimpinan, presiden selaku panglima tertinggi
membawahi langsung panglima angkatan.
Jenderal Soeharto selaku Menutama bidang Hankam,
menugasi Kepala Staf Hankam, Mayor Jenderal M. M.
Rachmat Kartakusuma untuk membenahi organisasi ABRI.
Untuk memulai tugasnya Kartakusuma memilih pendekatan
doktrin, sebagai penjabaran TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966.
Mengapa doktrin yang dipilih sebagai pendekatan?
Kartakusuma melihat kenyataan bahwa pada era
kepemimpinan Soekarno, masing-masing Angkatan memiliki
doktrin angkatan yang menonjolkan wawasan perangnya.
Angkatan Darat dengan doktrin Tri Ubaya Cakti menonjolkan
wawasan perang teritorial (darat). Angkatan Laut, doktrinnya
Eka Casana Jaya, yang menyatakan bahwa hanya kekuatan
laut sebagai unsur pokok pertahanan dan keamanan Negara
Republik Indonesia dari invasi asing. Angkatan Udara
menyusun doktrin Swa Buana Paksa bahwa pada wilayah
celestial Indonesia, Angkatan Udara-lah yang menjadi
penguasanya. Melalui pendekatan doktrin, kondisi angkatan
yang tengah terpecah belah dengan kadar emosi dan
kebanggaan korps yang tinggi dapat diajak berbicara tentang
doktrin militer, bukan politik. Gagasan Kartakusuma
memperoleh sambutan baik dari pimpinan Angkatan. Pada
bulan September 1966, terselenggara pra Seminar Hankam,
tempat curah pendapat antar Angkatan dan Polri untuk
merumuskan satu doktrin militer Indonesia.
Dari Pra Seminar dilanjutkan dengan Seminar Hankam.
Seminar ini menghasilkan doktrin Pertahanan Keamanan,
yang berlandaskan TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966. Doktrin
pertahanan keamanan ini diberi nama Catur Darma, Eka
Karma Doktrin Pertahanan Keamanan dan Kekaryaan ABRI.
Doktrin adalah tuntunan penyelenggaraan organisasi

285
Pengayaan Materi Sejarah

pertahanan keamanan dan kekaryaan secara terpusat,


sehingga tugas pokok Angktan dapat dikendalikan lewat
organisasi yang baru.
Berdasarkan doktrin tersebut langkah selanjutnya,
Jenderal Soeharto pada 1966 memerintahkan untuk
melakukan reorganisasi ABRI. ABRI direorganasi berdasarkan
doktrin dan kondisi keamanan yang melanda Indonesia pada
waktu itu. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan. Dengan
organisasi baru ini kepemimpinan langsung Presiden
Soekarno melalui Komando Operasi Tertinggi (KOTI) atau
intitusi/kepanglimaan terhadap para panglima angkatan
dipotong. Para perwira tinggi dan menengah pendukung
Soekarno diberhentikan dari jabatan atau dialih tugaskan.
Terjadi mutasi besar-besaran setelah reorganisasi 1967.
Resimen Tjakrabirawa, kesatuan pengawal kepresidenan
dibubarkan tanpa meminta ijin kepada Presiden Soekarno.
Berdasarkan doktrin kekaryaan, peranan ABRI sebagai
golongan fungsional diperluas. Pasukan pengawal
Kepresidenan dikembalikan kepada polisi militer. Operasi
pembersihan terhadap anggota ABRI dan aparat pemerintah
yang berindikasi terlibat G-30-S secara tidak langsung, baik
karena orang tua, mertua, istri, saudara sekandung,
diintensifkan.
Reorganisasi 1967, berhasil secara total mengisolasi
Presiden Soekarno dari kepemimpinan militer. Jenderal
Soeharto menunjuk Mayor Jenderal Soerjosumpeno mantan
Panglima Kodam VII/Diponegoro,sebagai sekretaris militer
Presiden dan Kolonel CPM Nolly Tjokropanolo sebagai ajudan
senior Presiden menggantikan Brigjen Sabur dan Kolonel
Bambang Widjanarko.
Proses de-Sukarnoisasi berjalan perlahan tetapi pasti
sebagai suatu bentuk operasi sosial-politik, sebagaimana di
konsepsikan dalam sistem senjata sosional, atau “sissos”.
Tempat atau bangunan yang ber “label” Soekarno
dihapuskan atau diganti, sebagai contoh Gelanggang Olah
Raga (Gelora) Bung Karno di Senayan diganti dengan Gelora
Senayan. Rumah Presiden Soekarno di jalan Gatot Subroto

286
Pengayaan Materi Sejarah

yang dikenal dengan Wisma Yaso dijadikan Museum ABRI,


yang diberi nama Satriamandala. Didalam bangunan ini
semua benda yang mengingatkan masyarakat kepada
Soekarno, dibongkar. Kamar tidur Presiden Soekarno
dibongkar diganti dengan diorama-diorama.
Dalam suasana yang tertekan Presiden Soekarno
mencoba bangkit kembali. Pada tanggal 17 Agustus 1966, ia
berpidato dengan semangat yang tinggi, untuk meyakinkan
masyarakat bahwa ia masih survive dan tetap memimpin
pemerintahan. Judul pidatonya: Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah,yang diplesetkan menjadi Jas Merah.
Dalam pidato itu ia menyatakan bahwa Surat Perintah 11
Maret 1966 bukanlah perintah untuk penyelesaian masalah-
masalah politik. Sekalipun pidatonya diartikulasikan dengan
gaya gempita, sambutan masyarakat biasa-biasa saja. Media
massa tidak berlalu antusias menanggapi pidato tersebut.
Pandangan masyarakat telah berubah, popularitasnya
merosot secara drastis. Sebagai manusia biasa, rupanya tidak
tahan terhadap tekanan, penghinaan dan kesepian. Para
pembantu-pembantunya banyak yang ditahan dan diadili
sebagai pengkhianat bangsa. Selain itu ia masih dituntut
untuk melengkapi pertanggung jawabannya yang berjudul
Nawaksara (22 Juni 1966) kepada MPRS, yang diberi batas
waktu sampai bulan Januari 1967.

4.6. Pemerintahan
1. Susunan Kabinet
Lima hari setelah dekrit diumumkan, Presiden
membentuk kabinet baru.Kabinet terbagi atas pimpinan
kabinet, menteri-menteri kabinet inti, menteri-menteri negara
ex-officio bukan anggota kabinet inti dapat menghadiri
sidang kabinet pleno dan menteri-menteri muda dan pejabat
berkedudukan menteri.Jumlah anggota kabinet 45 menteri
termasuk Perdana Menteri/Presiden. Adapun program kabinet
ini terdiri atas melengkapi sandang-pangan,
menyelenggarakan keamanan rakyat dan melanjutkan

287
Pengayaan Materi Sejarah

perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan


imperialisme politik (pembebasan Irian Barat) Kabinet Kerja I
berakhir pada 18 Februari 1962, digantikan Kabinet Kerja II,
yang memulai tugasnya pada 18 Februari sampai dengan
program kerja yang tidak berbeda dengan kabinet terdahulu.
Kabinet kerja berakhir pada 1964.
Kabinet Soekarno
Lima hari setelah Dekrit kembali ke UUD 45, Presiden
membentuk kabinet baru.Presiden sebagai pimpinan kabinet
berdasarkan UUD 45. Kabinet baru ini diberi namaKabinet
Kerja. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dibantu oleh
sejumlah menteri.Kabinet tersusun terdiri atas menteri-
menteri kabinet inti, menteri negara ex-officio bukan anggota
kabinet inti tetapi dapat menghadiri sidang pleno kabinet dan
menteri muda dan pejabat yang berkedudukan
menteri.Jumlah anggota kabinet 45 orang menteri termasuk
menteri pertama dan wakil menteri pertama.
Secara garis besar susunan kabinet kerja (10 Juli 1959 –
18 Februari 1960) sebagai berikut :
a. Pimpinan Kabinet
Perdana Menteri :Presiden/Panglima
Tertinggi Ir. Soekarno
Menteri Pertama : Ir. H. Djuanda
Wakil Menteri Pertama : Dr. J. Leimena
b. Menteri-menteri Kabinet inti
Keamanan Pertahanan : Letjen A.H. Nasution
Keuangan : Ir. H. Djuanda
Produksi : Kol. Suprayogi
Distribusi : Dr. J. Leimena
Pembangunan : Chairul Saleh
Kesejahteraan Rakyat : Mulyadi Djojomartono
Luar Negeri : Dr. Subandrio
Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah : Ipik Gandamana
Sosial Kultural :Prof. Mr. Muhd. Yamin

288
Pengayaan Materi Sejarah

Para kepala Staf Angkatan (Darat, Laut, Udara) kepala


kepolisian negara, Jaksa Agung, wakil ketua DPA dan Ketua
Dewan Perancang Nasional diangkat sebagai menteri ex-
offiew sejak itu lahir sebutan baru pada organisasi militer,
Menteri/Kepala Staf Angkatan (Darat, Laut, Udara),
Menteri/Jaksa Agung Menteri/Kepala Kepolisian Negara.
Program kabinet yang utama adalah perjuangan menentang
imperialisme ekonomi dan imperialisme politik (Irian Barat),
memperlengkapi sandang-pangan rakyat dan
menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara.
Kabinet ini berakhir pada bulan Februari 1960, sejak
dibentuknya 10 Juli 1959 hanya berumur delapan bulan.
Kabinet kedua dibentuk pada 18 Februari 1959 dengan
susunan nama Kabinet Kerja II. Tidak ada perbedaan yang
mendasar dengan kabinet sebelumnya.Anggota Kabinet Inti
ditambah menjadi 16 menteri. Program kabinet tidak
berbeda dengan kabinet terdahulu dan mampu bertahan
selama dua tahun, berakhir bersama dengan berakhirnya
perjuangan merebut Irian Barat..
Kabinet Kerja III, dibentuk Maret 1963. Struktur kabinet
tidak berbeda dengan personil yang lebih diperluas.Kabinet
terbagi dalam delapan bidang yaitu luar negeri, dalam negeri,
Hankam, produksi, distribusi, keuangan, kesejahteraan rakyat
dan bidang khusus.
Kabinet Kerja III berakhir pada November 1963, yang
pada saat Pemerintah mulai melakukan konfrontasi terhadap
Malaysia, mendukung berdirinya Negara Kalimantan Utara
yang dipimpin oleh Azahari dengan menginfiltrasikan
pasukan ke Sabah dan Serawak.
Pada bulan November 1963, Presiden Soekarno
membentuk kabinet baru Kabinet Kerja IV. Presiden sebagai
Perdana Menteri dibantu oleh Presidium Kabinet dan para
Menko Menteri Kompartimen, Menko Anggota Presidium
Kabinet tiga orang Wakil Perdana Menteri; yaitu Dr.
Subandrio, Dr. J. Leimena dan Chaerul Saleh terbagi atas
delapan kompartimen dan menteri-menteri non departemen
serta pejabat ex-officio yang berstatus menteri. Program

289
Pengayaan Materi Sejarah

Kabinet meliputi sandang pangan. Jumlah angota kabinet 40


orang.Kerja program utama melanjutkan konfrontasi untuk
membubarkan negara Federasi Malaysia.Kabinet terakhir
pada era Soekarno adalah kabinet Dwikora yang dilantik pada
27 Agustus 1964.Struktur dan personil kabinet ini tidak
berbeda dengan Kabinet Kerja pendahulunya.Jumlah
kompartimen ada 18, masih ditambah sejumlah Penasehat
Presiden yang berstatus menteri.Jumlah pembantu Presiden
pada kabinet ini 80 orang.Program kabinet tidak berbeda
dengan Tri program kabinet pendahulunya, membubarkan
Malaysia, memperkuat ketahanan revolusi Indonesia, sandang
pangan rakyat.
Pada masa kabinet Dwikora ini, terjadi peristiwa kudeta
G 30 S/PKI, yang berakibat pada lumpuhnya jalan
pemerintahan dan merosotnya kewibawaan Presiden
Soekarno, krisis moneter dengan hyper inflasi 3% dan konflik
di kalangan rakyat.
Kabinet Dwikora II, berakhir pada Februari 1966,
kemudian Presiden membentuk kabinet baru, yang disebut
Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet baru ini,
dengan enam orang wakil perdana menteri (waperdam) yaitu
Dr. Leimena, Dr. Idham Chalid, Dr. Roeslan Abdulgani, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Letjen Soeharto dan Adam
Malik sebagai kabinet inti atau Presidium Kabinet.
Anggota kabinet yang berjumlah 90 orang, oleh
mahasiswa dijuluki sebagai Kabinet 100 menteri. Kabinet ini
bubar pasca keluarnya SP 11 Maret 1966, digantikan oleh
Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi, kekuasaan
pemerintahan beralih dari Presiden Soekarno kepada Letjen
soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet.

2. Ekonomi dan Pembangunan


a. Dewan Perancang Nasional
Undang-Undang No 10 Tahun 1958, pada masa
Kabinet Karya untuk membantu Dewan Menteri, yang
bertugas :

290
Pengayaan Materi Sejarah

- Mempersiapkan undang-undang pembangunan


nasional yang berencana dan menilai
penyelenggaraannya.
- Menyusun rencana pembangunan nasional dengan
memperhitungkan penggunaan segala kekayaan
alam dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi
segala segi penghidupan bangsa Indonesia dalam
bentuk rancangan undang-undang pembangunan.
Dalam pasal 4 Undang-Undang tersebut berisi pola
(blue print) pembangunan yang sesuai dengan
kepribadian rakyat Indonesia, yang diselenggarakan
secara bertahap.Pimpinan Dewan Perancang Nasional
diberikan wewenang membentuk seksi-seksi atau bidang
prioritas yang terdiri atas pembangunan di bidang sosial,
pemerintahan, pertahanan, ekonomi dan keuangan.
Masalah pembangunan nasional menjadi prioritas
pemerintahan era Soekarno. Pada 28 Agustus 1960,
Presiden memberikan arahan tentang pembangunan
nasional pada Sidang Pleno Dewan Perancang Nasional.
Pembangunan harus dengan perencanaan overall, tidak
berdiri sendiri.Hubungan pembangunan dengan
demokrasi terpmpin dan ekonomi dipimpin.
Pembangunan adalah amanat UUD pasal 33, supaya
menyempurnakan ekonomi terpimpin sejalan dengan
cita-cita demokrasi terpimpin, untuk melenyapkan sisa-
sisa ekonomi kolonial, bahaya paham-paham kapitalisme
dan free fight liberalism baik dari luar negeri maupun
dari dalam negeri.
Depernas yang bertugas menyusun pembangunan,
harus memikirkan konsentrasi produksi, distribusi dan
pembangunan hajat hidup rakyat.Masalah pembiayaan
harus berpegang teguh pada politik bebas aktif terhadap
luar negeri.Titik berat pembangunan nasional pada
bidang industri, terutama untuk keperluan pertanian dan
perkebunan.Disamping industri pembangunan juga
harus memperluas pertambangan dan bahan mineral.

291
Pengayaan Materi Sejarah

Pembangunan juga harus memanfaatkan potensi


masyarakat, juga tanpa adanya campur tangan asing.
Untuk pembiayaan pembangunan diadakan upaya-upaya :
- National saving (tabungan nasional), dengan
menaikkan national saving melalui penghormatan
sector-sektor pemerintah.
- Insifikasi sumber yang telah ada dan menggali
sumber yang belum ada.
- Deficient financing (pembiayaan deficit menyalur ke
usaha-usaha yang produktif dan menarik hot.
- Money, dengan jalan menjual obligasi dan
mengeluarkan obligasi tanpa nama.
Inventarisasi dan mobilisasi alat-alat produksi
Selanjutnya mengenai aparatur sebagai alat
pembangunan meliputi sumber daya manusia, organisasi
dan pimpinan yang ditekankan pada pendidikan ahli
untuk mempercepat Indonesiamisasi, industrialisasi dan
mekanisasi.
Didalam pembangunan juga disadari ada beberapa
faktor penghambat :
Pertama, faktor politis.Pembangunan nasional
bersamaan dengan stabilisasi politik dan stabilisasi
keamanan dalam negeri, untuk mencegah berulangnya
kembali perpecahan di kalangan masyarakat dan oposisi
yang berusaha menjatuhkan lawan.
Kedua, faktor psychologis.Karena tekanan
ekonomi, kegoncangan politik, pertentangan ideologi
amat terkesan di kalangan buruh, tani dan pemuda
ditambah dengan politik adu domba imperialisme yang
membuat masyarakat apatis dalam menghadapi
pekerjaan pembangunan.
Ketiga, faktor pendidikan.Sistim pendidikan
kolonial, yang mengutamakan pemberian pengetahuan
umum, tidak lagi sesuai dengan tuntutan nasional,
sehingga dalam tiap-tiap bidang kekurangan ahlinya.

292
Pengayaan Materi Sejarah

Keempat, faktor administrasi (negara).Birokrasi


yang berlebihan dan merajalela di semua instansi
pemerintah.Sebagai jalan keluar mengatas beberapa
faktor “penghambat terebut, adalah menghidupkan
potensi rakyat, agar tenaga rakyat dapat untuk
pelaksanaan Pembangunan Nasional.
Kelima, campur tangan asing berupa investasi
modal yang monopolistis dan mengikat dalam pakta-
pakta militer sebagai syaratnya.
Dalam rangka percepatan pembangunan,
diperbolehkan melakukan hubungan ekonomi luar
negeri, seperti impor dan ekspor bantuan luar negeri
atau pampasan di bawah pengawasan negara.
Pembangunan wajib mengikutsertakan rakyat dengan
cara bergotong royong dengan mendapatkan upah.
Dalam jangka pendek pembangunan harus kelihatan
hasilnya, seperti pembangunan waduk, saluran air, jalan-
jalan dan sebagainya.
MPRS pada Rapat Pleno -5, tanggal 3 Desember
1960 membahas Rancangan Dasar Undang-Undang
Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961 –
1969) hasil karya Depernas dan menelitinya atas dasar
Amanat Pembangunan Presiden 28 agustus 1959,
memutuskan untuk menetapkan ketetapan tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana. Tahapan pertama (1961 – 1969) beserta
lampiran penyempuraannya dan tentang pedoman-
pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara
dan Haluan Pembangunan, tanggal 22 Mei 1963.Namun
pelaksanaan pembangunan yang diharapkan mengacu
kepada Garis-garis Besar, tidak pernah tercapai.Biaya
untuk proyek pembangunan nasional dikalahkan oleh
proyek-proyek politik dan proyek mercusuar.Proyek
politih sejak 1963 adalah Proyek Konfrontasi dengan
Malaysia.Proyek Mercusuar meliputi pembangunan
gedung, monumen.Gedung pola (1961) Monumen Irbar
(1962) Monumen Nasional (1964) Gedung Conference

293
Pengayaan Materi Sejarah

of the New Emerging Forces (1965). Proyek-proyek


tersebut menyerap sebagian dana pembangunan dan
Anggaran Belanja Negara untuk kepentingan politik dan
konsumtif. Pembiayaan untuk proekproyek tersebut
sebagai salah satu pemicu inflasi.
Meliputi proyek-proyek politik dan mercusuar
Presiden Soekarno ingin menunjukkan kemegahan dan
kebesaran bangsa Indonesia yang mampu memimpin
tiga perempat dunia. Angka pengeluaran untuk proyek
mercusuar dalam juta rupiah :
Asian Games, 1.537 (1961) dan 2.100 (1962).
Sarinah,250 (1962), 750 (1963) dan 8.672 (1965).
Monumen Pembebasan irian Barat, 50 (1962).
Gedung Pola,50 (1963)
Games of the new Emerging Forces/Ganefo, 6.687
(1963), 160.157 (1965).
Conefo, 119.000 (1965)
Peringatan Konferensi Asia Afrika, 18.224 (1965).
Pengeluaran terbesar untuk proyek politik adalah
Proyek Dwikora yang meningkat 10% dari tahun ke
tahun.Pada tahun terakhir meningkat 50%. Pada tahun
1965, bahkan sejak tahun 1965 pengeluaran untuk
proyek Malaysia, tidak lagi termasuk dalam RAPBN
karena pada 1965 rata-rata kenaikannya mencapai
19,3% atau 487.177.
Dana yang dialokasikan untuk proyek politik
sebesar 45,86%, untuk Pembangunan Nasional Semesta
Berenca 23,16%, akibatnya pembangunan ekonomi
tersisihkan sehingga sasaran pembangunan tidak
tercapai.75

294
Pengayaan Materi Sejarah

b. Devaluasi Rupiah 1961


c. Deklarasi Ekonomi
Deklarasi Ekonomi 1963, lahir dari pemikiran
Soekarno yang dilandasi oleh semangat yang
menggelorakan semboyan “revolusi belum selesai dalam
menciptakan tata ekonomi nasional baru.Revolusi
dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin
adalah prinsip utma lagi menjalankan ekonomi yang
secara ringkas dikenal sebagai USDEK.
Sistem liberal harus ditinggalkan diganti dengan
ekonomi terpimpin sebagai sistem ekonomi yang
revolusioner.Ekonomi terpimpin, tidak memiliki definisi
dan konsep yang utuh melainkan tumbuh dan
berkembang bersama dialektika revolusi Indonesia.76
Ekonomi Terpimpin sebagai prinsip bagi
menjalankan ekonomi dalam suatu revolusi adalah
mendahulukan moment politis dari moment
ekonomi.Seluruh masyarakat dan usaha-usahanya adalah
alat revolusi.Revolusi Indonesia, menurut Soekarno pada
1963, telah mencapai tahap sosial ekonomi yang sangat
memerlukan investasi yang sangat besar.
Pada 28 Maret 1963, Presiden Soekarno
mengatakan Deklarasi Ekonomi, suatu basic strategy
economiy yang akan dijalankan, tidak dapat dipisahkan
dengan strategi umum Revolusi Indonesia.
Harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat
nasional dan demokratis yang bersih dari sisa-sisa
imperialisme dan feodalisme.
1. Tahap pertama adalah tahap persiapan.
2. Tahap kedua adalah tahap ekonomi sosialis
Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan
manusia oleh manusia (I’explatation de
I’homme par I’home) menuju masyarakat
sosialis Indonesia.
3. Pada tahap ketiga, tahap menggerakkan
segenap potensi pemerintah, koperasi dan
swasta, nasional dan demokratis meningkatkan

295
Pengayaan Materi Sejarah

produksi dan menambah keuangan negara.


Peningkatan produksi berdasarkan kekayaan
alam meletakkan dasar untuk industrialisasi,
menggali dan mengolah kekayaan alam kita.
Hal ini berarti harus mengutamakan bidang
pertanian dan perkebunan, pertambangan.
4. Tahap keempat, gotong royongan yang adalah
potensi dan kekuatan rakyat yang merupakan
tulang punggung perjuangan dan alat revolusi
Indonesia.
5. Tahap kelima dalam menumbuhkan ekonomi,
harus bertolak dari modal yang sudah kita
miliki adalah potensi dan kekuatan rakyat, dan
peran peerintah untuk menanggulangi
persoalan ekonomi secara konseptual,
organisatoris dan structural dalam arti
keseluruhan.
Kelima tahap peran pemerintah yang sudah
ditenpuh secara konseptual, organisatoris dan struktural.
- Pola Pembangunan Nasional Berencana tahap
pertama disahkan oleh MPRS.
- Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan
Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).
- Peran pemerintah dalam industrialisasi dan
perdagangan internasional.
- Penyusunan Perusahaan Negara (PN), Perusahaan
Dagang Negara (PDN), Dewan Perusahaan,
Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS), Koperasi.
Tahap keenam Dekonsentrasi dalam manajemen
tanpa mengorbankan sentralisasi.
Tahap ketujuh.Oleh karena nilai uang rupiah telah
merosot dan pada pelbagai ketentuan nilai rupiah
terhadap nilai mata asing, perlu diadakan tinjauan
kembali segenap peraturan negara.
Kebijakan Deklarasi Ekonomi, diikuti dengan
Peraturan-Peraturan 26 Mei 1963, yang bertujuan untuk
menahan kemerosotan ekonomi. PP 26 Mei 1963 ini,

296
Pengayaan Materi Sejarah

memiliki aspek ekonomi yang bertentangan dengan


doktrin Ekonomi Terpimpin (seperti PP No 20 tahun
1963) tentang penetapan harga, yang mengikuti
perkembangan pasar, pemerintah berhasil
menghilangkan dualisme harga. Namun akibat dari
penyesuaian harga dengan perkembangan pasar adalah
kenaikan harga, yang berakibat pula pada
terbengkalainya pembangunan.
Pada kurun waktu lima tahun (1960 – 1965),
anggaran belanja negara mengalami peningkatan yang
luar biasa. Secara nominal penerimaan negara
mengalami kenaikan 18 kali, akan tetapi pengeluaran
mengalami kenaikan sebesar 42 kali. Defisit anggaran
belanja pemerintah mengalami kenaikan 157 kali.77Hal
ini berarti pengeluaran pemerintah turun 1/3 dan
pendapatan 1/7 kali yang selanjutnya defisit makin
meningkat dari tahun ke tahun.
Sistem ekonomi terpimpin yang mengharuskan
peran pemerintah dalam sector ekonomi, alat-alat
produksi tidak dapat meningkatkan produksinya yang
berarti pertumbuhan ekonomi minus. Proyek-proyek
politik ekonomi dan mercusuar dilanjutkan melalui
carainflatori atau defisit 9 pending,berhutang kepada
Bank Sentral atau Bank Indonesia. Hutang pemerintah
sejak 1960, defisit anggaran semakin meningkat setiap
tahunnya. Bank Indonesia terpaksa mencetak uang baru
untuk memenuhi permintaan pemerintah. Dengan
meningkatnya defisit anggaran, mengakibatkan jumlah
uang yang beredar tidak terkendali dari tahun ke
tahun.Tahun 1965 pasca kudeta G 30 S/PKI adalah tahun
puncak tingkat tertinggi inflasi yang mencapai 635.26%
atau disebut sebagai hyper inflasi.
Pemerintah berusaha keras untuk mencari
pemecahan masalah ini.Ada dua kelompok
pendapat.Kelompok pertama berpendapat bahwa
pemerintah harus segera melakukan kebijakan sanering
(penyehatan) untuk menahan laju peredaran uang.

297
Pengayaan Materi Sejarah

Kelompok kedua, kelompok kontra sanering, mereka


berpendapat bahwa tindakan sanering akan
menyengsarakan rakyat. Pendapat kelompok kedua ini
diabaikan.Pemerintah memutuskan untuk melakukan
sanering kedua, karena perkembangan politik dan
keamanan.Sanering dilaksanakan dengan penurunan
nilai (devaluasi) uang rupiah lama dengan nilai baru.
Mata uang Rp. 1.000,- (seribu rupiah lama) di devaluasi
menjadi Rp. 1,- (satu rupiah) uang baru. Pelaksanaannya
berdasarkan Penetapan Presiden No 27 tahun 1965,
tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan sanering 1965 ini ternyata gagal dalam
menahan laju hyper inflasi.Pada bulan Januari
196678pemerintah mengumumkan kenaikan harga.
Kenaikan tariff dan jasa serta harga-harga kebutuhan
pokok lainnya. Harga BBM yang mendahului kenaikan
harga barang-barang diumumkan pada bulan November
1965. Harga bensin Rp. 4/liter menjadi Rp.
250/liter.Kenaikan harga BBM mencapai sebesar
6.000%.kenaikan harga-harga barang ini memicu protes
masyarakat yang diwakili oleh mahasiswa dan pelajar
yang tergabung dalam KAMI, KAPPI, KAPI. Tuntutan
mereka bertema politik dan ekonomi, yaitu Bubarkan PKI
(dalang kudeta G 30 S), Retool Kabinet (Dwikora), dan
turunkan harga/perbaikan ekonomi yang dikenal sebagai
aksi-aksi Tritura.

d. Sentralisasi Bank dan Inflasi

3. Proyek-Proyek Mandataris
a. Pembangunan Monumen Nasional
b. Pembangunan Gedung Conference of the New Emerging
Forces (CONEFO)
c. Bantuan ke Luar Negeri
d. Games of the New Emerging Forces (GANEFO)

298
Pengayaan Materi Sejarah

4. Politik Luar Negeri Konfrontatif


1. Gerakan Non Blok dan Diplomasi
a. Konferensi Belgrado
Lahirnya konferensi GNB secara nyata
terinspirasi oleh Konferensi Asia – Afrika 1955.Lima
tahun kemudian setelah sidang umum PBB menolak
tuntutan Indonesia mengenai wilayah Irian
Barat.Presiden Soekarno menggagas perlunya
diadakan Konferensi A-A II, untuk menentang
kolonialisme – imperialisme.Gagasan Soekarno
disampaikan kepada Perdana Menteri India, Pandit
Jawaharlal Nehru.Ternyata Nehru menolak gagasan
Soekarno, karena kondisi dunia telah
berubah.Memang diakui bahwa hasil Konferensi A-A
1953 banyak negara colonial yang merdeka dan
lahirnya pemimpin-pemimpin baru.Namun banyak
pula persoalan baru diantara negara-negara Asia –
Afrika.Nehru mengingatkan Soekarno bahwa betapa
sulit dan melelahkannya dalam merumuskan
kesepakatan yang kemudian disebut Dasasila
Bandung.Lagi pula dunia telah berubah. Konflik
perbatasan negara antara China dan India, Thailand
dan Kamboja, serta masalah-masalah lain yang
mengganggu perdamaian dalam suasana perang
dingin. Disamping itu pendapat negara-negara A-A
terbelah antara yang ragu-ragu, yang mendukung
dan yang menolak gagasan Soekarno.Nehru
berpendapat bahwa masalah kolonialisme telah
selesai dan imperialisme fading away pasca A-A
tidak selalu menunjukkan persatuan, bahkan konflik
muncul kembali. Nehru sama sekali tidak tertarik
diadakannya Bandung II. Terutama sejak diterimanya
Resolusi PBB, tentang perdamaian dan hubungan
baik antara tetangga, diterima oleh banyak
negara.Banyak negara yang memilih non-blok (now
alignment) sebagai pola hubungan internasional
baru gagasan pola hubungan internasional non

299
Pengayaan Materi Sejarah

alignment ini dating dari Presiden Yugoslavia, Josip


Bros Tito.79
Untuk mengenalkan gagasannya Tito
berkunjung ke Republik Persatuan Arab, dibawah
pimpinan Gamal Abdul Nasser, yang kemudian
bersahabat. Mereka berpendapat bahwa konferensi
model Bandung, tidak mungkin karena perubahan
politik global dan perbedaan-perbedaan pendapat di
negara A-A sangat tajam.
Setelah keduanya sepakat bahwa suatu
konferensi yang dengan tema non alignment perlu
diadakan dengan membangun kekuatan baru yang
bertujuan meredakan ketegangan dunia. Pertama,
mereka menulis surat kepada Perdana Menteri India,
Nehru diajak ikut menjadi sponsor konferensi.
Tanggapan Nehru dingin. Nehru berpendapat
konferensi non aligned akan memperkeruh
hubungan dua kekuatan dunia. Tito dan Nasser
bertekad akan merealisasi gagasannya. Mereka
mengeluarkan a communique calling untuk
konferensi bangsa-bangsa non aligned untuk
perdamaian dunia. Indonesia diundang.Diluar
dugaan mereka Presiden Soekarno bersedia menjadi
salah satu sponsor konferensi yang diusulkan oleh
Tito dan Nasser.Bagi Soekarno yang penting bisa
meraih forum yang cukup untuk memperkenalkan
kepada dunia.Konsepsi baru politik luar negeri
Indonesia dan dapat menyatukan pandangannya
tentang problema dunia yang sedang
berlangsung.Soekarno tetap berpendirian bahwa
kolonialisme yang menjadi masalah utama. Apabila
forum itu berupa Konferensi Bangsa-Bangsa Asia –
Afrika atau pertemuan negara-negara non aligned
saja, keduanya dapat menjadi kendaraan yang tepat
untuk mencapai tujuannya.80
Selain negara sponsor Yugoslavia dan Mesir
(RPA) Indonesia akhirnya bergabung. Persiapan-

300
Pengayaan Materi Sejarah

persiapan konferensi diadakan di Cairo (Mesir)


khususnya negara-negara manakah yang bersedia
berpartisipasi dalam konferensi non aligned.
Akhirnya diputuskan konferensi akan
diselenggarakan di Belgrado (Beograd).
Pada 1 September 1961 di Belgrado (Beograd)
diselenggarakan The Conference of Heads of State
of Non Alignment Countries (Konferensi Tingkat
Tinggi). Dan negara-negara Asia – Afrika (AA) hadir
25 kepala negara, tiga negara Amerika Latin sebagai
peninjau (Brazil, Bolivia, Ecuador) dari negara-negara
Eropa tidak ada yang hadir.
Persoalan yang muncul kemudian adalah
definisi non alignment.Setidak-tidaknya ada empat
definisi non alignment.
Pertama, suatu doktrin politik luar negeri yang
bertujuan untuk meredakan ancaman perang,
mencegah sengketa militer antara dua
kekuatan blok. Diplomasinya berdasarkan
kebebasan bertindak (freedom of action)
dengan menghormati persetujuan
internasional.
Kedua, non alignment menjamin kebebasan
politik dan kemerdekaan, membantu
kehormatan dan integritas nasional, suatu
keinginan dan kemampuan suatu negara
merdeka.
Ketiga, bangsa-bangsa non aligned dalam
kedudukan untuk menerima bantuan ekonomi
dari dua belah pihak.
Keempat, negara-negara non aligned, bersatu
untuk membangun suatu kekuatan ketiga
(atau blok) dalam hubungannya dengan
perang dingin.
Indonesia menentang istilah blok ketiga. Pada
5 juni 1961 Tito, Nasser dan Soekarno

301
Pengayaan Materi Sejarah

menandatangani undangan persiapan konferensi di


Cairo. Yang diundang 19 negara, setelah
membentuk problem seleksi dan diskusi agenda
konferensi serta kriteria negara non aligned yaitu :
- Suatu negara yang menganut politik bebas
berdasarkan pada koexistensi damai dan non
blok.
- Secara konsisten membantu gerakan-gerakan
kemerdekaan nasional.
- Bukan negara anggota aliansi militer yang
berpihak pada salah satu blok.
- Tidak menjadi pangkalan militer dalam
hubungannya dengan negara adidaya (super
power).
- Sekiranya suatu negara menjadi anggota bilateral
untuk pertahanan regional, harus tidak ada
hubungannya dengan kekuatan negara adidaya.
Konferensi Tingkat Tinggi, menghasilkan
Deklarasi Belgrado yang terdiri atas tiga dokumen.
- Pernyataan tentang bahaya perang dan appeal
untuk perdamaian.
- Deklarasi mengenai prinsip-prinsip non
alignment, bersama dengan 27 ketentuan
persetujuan tentang pemecahan masalah-
masalah dunia.
- Surat bersama kepada Presiden Kennedy dan PM
rusia Kruschev yang berjudul Urging on the
Great Powers concerned that negotiation
should be re summed and pursued so that the
danger of war might be removed from the
world mankind adopt ways of peace.
Konferensi mengutus Presiden Soekarno dan
Presiden Medibo Keita untuk menyampaikan surat
kepada Presiden Kennedy serta Perdana Menteri
Nehru dan Presiden Nkrumah kepada Perdana
Menteri Kruschev.

302
Pengayaan Materi Sejarah

Deklarasi konferensi merupakan pernyataan


dan peran mediator perdamaian secara aktif dari
negara-negara non aligned yang secara langsung
atau tidak langsung terhadap negara-negara besar.
Konferensi Belgrado suatu landmark dari hubungan
internasional yang ditandai dengan peralihan masa
dari orde dunia lama yang berasas pada
kolonialisme dan imperialisme, kepada tatanan
dunia baru, yang didasarkan kerjasama antar
bangsa-bangsa, kemerdekaan, persamaan dan
keadilan, sekalipun deklarasi ini tidak sejalan dengan
prinsip dasar politik luar negeri Indonesia.
Dengan Konferensi Ekonomi Negera-Negara
Berkembang pada bulan Juli 1962 di
Kairo.Konferensi berhasil merumuskan suatu
program ekonomi bagi negara-negara non
alignment dan merupakan kegiatan yang teratur
dari negara-negara non alignment dalam mencari
penyelesaian persoalan perekonomian dan
pembangunan, dan dilanjutkan secara konkrit dalam
United Nations Conference for Trade and
Development di Jenewa pada 1964.
Pada bulan Oktober 1963, Perdana Menteri
Bindrara berkunnjung ke Kairo. Hasil kunjungannya
melahirkan gagasan mengadakan konferensi non
aligned II, dalam suatu joint statement dilanjutkan
dengan konsultasi antar duta besar Yogoslavia dan
Ceylon, (consullarit meeting) tingkat Duta Besar di
Kabambo, pada 29 Maret 1964.
Konferensi (KTT) non aligned diselenggarakan
di Kairo, yang dihadiri oleh 47 negara, termasuk
Indonesia, dua peninjau Persatuan Afrika di Liga
arab.
Pada konferensi Kairo ini bertepatan dengan
mendinginnya konflik Moskow – Washing tidak
berarti, tugas konferensi ini lebih mudah, karena

303
Pengayaan Materi Sejarah

adanya pertentangan di tubuh negara-negara Asia –


Afrika, antara lain :
- Konflik India – Pakistan dan India – RRC
memuncak India berkeberatan Pakistan
diundang.
- Konfrontasi Indonesia – Malaysia; Indonesia
menolak Malaysia karena dianggap negara
boneka.
- Beberapa negara Afrika menolak hadirnya
Perdana Menteri Moise Tsombe dari Kongo.
Dalam konferensi ini Presiden Soekarno yang
pada KTT non aligned, dikategorikan sebagai
kelompok militer – radikal (militant radical group),
merumuskan pendiriannya yang anti kolonialisme
dan imperialism dalam rangka strategi
nasakomisasi81 ditingkat internasional. Pendirian
Soekarno tidak terlalu mendapat
sambutan.Sebagian negara lebih bersedia menerima
gagasan hidup berdampingan secara damai
daripada konsep konfrontasi antara Oldefo lawan
Nefo.Pelbagai ketegangan dianalisis sebab-sebab
yang terjadi adalah kolonialisme/imperialisme
economic equalism.
Konferensi Non Aligned II menghasilkan
Deklarasi Kairo yang terdiri atas 11 pokok masalah :
- Aksi bersama untuk pembebasan negara-negara
yang masih terjajah serta penghapusan
kolonialisme, neo kolonialisme dan
imperialisme.
- Menghormati hak rakyat menentukan nasib
sendiri dan mengutuk penggusuran kekerasan
terhadap pelaksanaan hak itu.
- Diskriminasi rasial dan politik oportheid.
- Hidup berdampingan secara damai dan kodifikasi
prinsip-prinsip oleh PBB.

304
Pengayaan Materi Sejarah

- Menghormati kedaulatan negara-negara dan


keutuhan wilayah mereka, masalah bangsa-
bangsa yang terpecah belah.
- Perlucutan senjata secara umum dan total
penggunaan tenaga alam untuk tujuan damai,
larangan segala percobaan senjata nuklir,
penentuan daerah bebas nuklir, pencegahan
penyebaran senjata nuklir.
- Pakta-pakta militer, pasukan-pasukan dan
pangkalan-pangkalan militer asing.
- PBB, perannya di dalam soal-soal internasional
pelaksanaan resolusi-resolusinya dan perubahan
piagamnya.
Ada dua resolusi khusus, yaitu keputusan
untuk mengkoordinasi dan menyatukan usaha
negara-negara non aligned dengan usaha-usaha
kesatuan Afrika, dan resolusi khusus tentang
penghargaan kepada Gamal Abdul Nasser, Presiden
PA.
Sekalipun Indonesia berpartisipasi aktif dalam
konferensi non aligned I dan II, tidak menyurutkan
keinginan Presiden Soekarno untuk melaksanakan
Konferensi Asia-Afrika II. Soekarno menilai
konfrontasi non aligned sudah menjadi aligned
karena menguntungkan imperialisme. Di Jakarta
diadakan pertemuan persiapan Konferensi Asia-
Afrika II.Hadir dalam pertemuan itu RRT dan
Pakistan.Rencananya Konferensi Asia-Afrika II itu
ingin mendahului KTT non aligment yang telah
terjadwal bulan Oktober 1961.Namun karena
dipengaruhi banyak kepentingan rencana Konferensi
A-A II diundurkan sampai empat tahun diagendakan
sesudah bulan Maret 1965.
Penundaan karena pengaruh kepentingan
nasional seperti Uni Soviet ingin membanding
pengaruh RRT dan Indonesia menentang
pembentukan negara Federasi Malaysia.

305
Pengayaan Materi Sejarah

Akibat tertundanya agenda Konferensi Asia


Afrika II, mulai dirintis kembali di Kairo pada 1964
diadakan pertemuan puncak mini dihadiri oleh RRT,
Pakistan dan RPA. Falsafah politik yang menjadi
dasar dari Dasasila Bandung dengan falsafah non
alignment memang berbeda, namun keduanya
saling mengisi.Fungsinya sebagai forum atau alat
politik bagi negara-negara yang baru berkembang
dan negara-negara yang baru merdeka, forum non
alignment ternyata lebih luas dibandingkan dengan
konferensi yang pesertanya terbatas pada letak
geografi (Asia – Afrika) saja.
Konsep gotong royong internasional atau
samenbundeling van alle internationale krachten,
yang diintroduksi oleh Presiden Soekarno melalui
ofensif revolusioner dan konfrontasi terus menerus
terhadap Nekolim, KOnferensi tidak dapat
memenuhi tuntutan dan seruan itu. Penolakan
konferensi ini menjadi hambatan bagi Indonesia
dalam usahanya menyelenggarakan Konferensi A-A
II.
Konferensi Non Alignment di Kairo tidak dapat
menerima konsep revolusi Presiden Soekarno, yaitu
gotong royong internasional(samenbundeling van
alle internationale krachten) untuk melakukan
konfrontasi dan ofensif manipolis terhadap Nekolim.
Penolakan terhadap konsep revolusioner Soekarno,
tidak menyurutkan usaha-usaha intensif untuk
menyelenggarakan Konferensi A-A II, mengalami
kegagalan. Pemerintah Indonesia kemudian
mengubah sasaran diplomasinya untuk :
- Menarik dukungan negara-negara Afrika dan
Timur Tengah sebanyak mungkin untuk
menyokong rencana Indonesia mengadakan
Conference of the New Emerging Forces
(CONEFO). Menteri Luar Negeri ditugasi
memimpin misi diplomasi yang disebut misi

306
Pengayaan Materi Sejarah

Safari Berdikari ke empat negara Timur Tengah


dari delapan negara Afrika..
- Pembentukan Poros Jakarta – Promh Penh -
Hanoi – Peking (Beijing) – Pyong Yang sebagai
poros anti imperialis dan anti kolonialis.82
Pembentukan poros Jakarta Promh, Penh,
Hanoi, Beijing dan Pyong Yang, Indonesia
mempersempit ruang gerak diplomasinya di forum
internasional dan penyimpangan secara prinsipil dari
dasar-dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif, menuju perdamaian dunia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Ofensif Nasakomis
3. Konfrontasi terhadap Nekolim

4.7. Ilmu Pengetahuan dan Budaya


1. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) I di Malang dan
II di Yogyakarta
2. Kongres Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia
3. Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner
4. Seniman Kanan Lawan Seniman Kiri
5. Kongres Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia Lawan
Konfeerensi Sastra dan Seni Revolusi (KSSR)

4.8. Angkatan Bersenjata


1. Trikora
Perjuangan membebaskan Irian Barat lewat jalan
diplomasi sudah dilakukan sejak masa RIS.Dari tahap
perundingan bilateral sampai internasional.Pada masa
Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno dengan piawai
memanfaatkan situasi perang dingin antara Blok Barat
(Amerika) dengan Blok Timur (Uni Soviet).Perang saudara di
Vietnam yang melibatkan dua kekuatan adijaya merupakan
kesempatan terbaik bagi Indonesia.Presiden Soekarno
melakukan ofensif diplomatik.Ia mengubah kebijakan soft

307
Pengayaan Materi Sejarah

diplomacy menjadi gunboat diplomacy pada 1961. Beberapa


pejabat militer dan sipil dikirim ke Uni Soviet, dengan missi
untuk memperoleh bantuan senjata dan pelatihan personil
prajurit ABRI.Uni Soviet memberikan bantuan alat utama
sistim senjata dari senapan serbu, persenjataan artileri,
pesawat-pesawat terbang taktis maupun strategis, kapal
selam dan satu destroyer. Pada 19 Desember 1961, Presiden
memberikan komando kepada Angkatan Bersenjata dan
rakyat untuk berjuang membebaskan Irian Barat dari
cengkeraman kolonialisme Belanda yang terkenal dengan
Trikora (Tri Komando Rakyat). Bagi rakyat Indonesia Trikora
merupakan panggilan suci (sacred calling).Para mahasiswa,
pemuda dan organisasi masyarakat dengan ikhlas
menyiapkan diri untuk memenuhi perjuangan suci dengan
mengikuti pelatihan-pelatihan militer.
Insiden bersenjata di laut Aru, pada 15 Januari 1961
membuka mata dunia bahwa Indonesia tetap teguh tekadnya
untuk membebaskan Irian Barat. Tiga motor torpedo (MTB),
tanpa dilengkapi dengan torpedo dengan berani berusaha
menerobos pertahanan Angkatan Laut Belanda di perairan
Irian Barat. Satu kapal motor torpedo tenggelam.Komodor
Josaphat Sudarso Deputy Kepala Staf Angkatan Laut yang
berada di kapal Komando Macan Tutul gugur.
Rencana operasi (Renops) pembebasan Irian Barat telah
dipersiapkan sejak April 1961 oleh Gabungan-gabungan
Kepala Staf yang dipimpin oleh Menteri Keamanan
Nasional/KSAD Letnan A.H. Nasution, yang disebut dengan
Plan Operasi Usaha B (militer).Sebelumnya Staf Umum AD I
(SUAD I) telah melakukan usaha-usaha mengumpulkan
informasi, dengan menerjunkan kelompok-kelompok kecil
infiltran ke daerah sasarannya, seperti yang dilakukan oleh
expedisi MTB. Para infiltran yang sukses melaporkan kondisi
medan, cuaca, kedudukan musuh dan kondisi masyarakat
dan membangun pangkalan perlawanan.
Selanjutnya penyususnan Rencana Operasi Gabungan
diserahkan kepada para Wakil Angkatan dalam Staf GKS.
Mereka membentuk panitia penyusunan Rencana Operasi

308
Pengayaan Materi Sejarah

Gabungan Irian Barat dipimpin oleh Deputi KSAD


Mayjen.A.Yani, dengan anggota-anggotanya Kolonel Udara
R.I.S. Wiryo Saputra (Asisten I/KSAU), Letkol Udara Sri
Mulyono Herlambang (Direktur Operasi AU), dan Letkol
Pelaut R. Soedomo.Panitia ini mengadakan rapat di Malang
pada 13 Juni 1961, untuk membahas Konsep Telaah Staf
yang telah diajukan oleh Kepala Staf Tjadangan Umum AD
(Tjaduad) Kolonel Achmad Wiranatakusumah.Dalam rapat ini
Telaah Staf Tjaduad diterima sebagai kertas kerja.
Pada 20 Juni 1961, panitia melangsungkan rapatnya
yang kedua. Dalam rapat ini Mayjen A.Yani menyampaikan
keinginan Presiden/Pangti, Telaah Staf tersebut disusun
kembali harus selesai sebelum 1 Juli 1961.Panitia penyusun
bekerja kembali selama 72 hari. Pada 1 Juni 1961, panitia
kerja menyerahkan hasil kerjanya :
Operasi B-1.Operasi militer terbuka dengan sasaran penuh,
merebut dan menduduki seluruh Irian Barat
dengan secepatnya untuk memperoleh
kekuasaan de facto.
Operasi B-2.Operasi militer dengan sasaran terbatas, untuk
merebut dan mempertahankan bagian Irian
Barat; untuk menimbulkan suasana politik
serta mendapatkan basis depan untuk
merebut seluruh Irian Barat.
Operasi B-3.Melakukan infiltrasi militer untuk memperoleh
pangkalan guna serangan selanjutnya.
Pilihan jatuh pada Operasi B-1, yang dianggap
terbaik.GKS menyarankan Operasi B-1 yang digunakan untuk
membebaskan Irian Barat, karena perkembangan politik dan
diplomasi.Operasi B-1 tertunda hampir enam bulan,
sekalipun persiapan operasi dilakukan secara terus-menerus.
Pada 11 Desember 1961, dibentuk Dewan Pertahanan
Nasional (Depertan) atas usul Menteri Keamanan
Nasional/KSAD Jenderal A.H. Nasution. Anggota Depertan
berjumlah 14 orang, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
dengan dibantu oleh dua orang Deputy, yaitu Menteri

309
Pengayaan Materi Sejarah

Pertama Ir. Djuanda dan Menteri Keamanan Nasional Jenderal


A.H. Nasution. Pada sidang pertamanya Depertan
membentuk organisasi baru yaitu Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat (Koti Pemirbar) dengan susunan :
Panglima Besar : Presiden / Pangti Soekarno
Wakil Panglima Besar : Jenderal A. H. Nasution
Kepala Staf : Mayjen A. Yani
Dibantu oleh lima Ketua Gabungan (1 – 5)
Pada 19 Desember 1961, oleh Presiden diumumkan
kepada rakyat Indonesia tiga komando yang terkenal dengan
istilah Trikora :
1. Gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan
Belanda Kolonial.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air
Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air
Bangsa.
Sesudah pengumuman Trikora, Presiden/Ketua Dewan
Pertahanan Nasional mengeluarkan instruksi untuk
membentuk Tim Komando Rakyat pada Pengurus Besar Front
Nasional dan Surat Keputusan Menteri Keamanan Nasional
tentang pembentukan Organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) di
seluruh wilayah Indonesia.
Pada akhir 1961, Dewan Pertahanan Nasional bersama
Staf KOTI Pemirbar mengadakan rapat dengan keputusan :
1. Membentuk provinsi Irian Barat gaya baru dengan
ibukota Soasiu, dengan Gubernur Sultan Tidore.
2. Membentuk Komando Mandala, membawahi satuan-
satuan APRI dalam tugas operasi pembebasan Irian
Barat.
Komando Mandala adalah komando gabungan yang
bertugas :

310
Pengayaan Materi Sejarah

a. Menyelenggarakan Operasi Militer merebut wilayah Irian


Barat yang diduduki oleh Belanda.
b. Memimpin dan menggunakan pasukan bersenjata
maupun barisan perlawanan rakyat sebagai kekuatan
nasional yang berada di bumi Irian.
Pada 13 Januari 1962, di Istana Bogor Presiden
melantik Deputy KSAD untuk wilayah Indonesia Timur (Deyah
IT) Brigjen. Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala.
Tugas pokok Komando Mandala adalah :
a. Merencanakan, mempersiapkan, menyelenggarakan
operasi-operasi militer dengan tujuan mengembalikan
wilayah Irian Barat kedalam kekuasaan NKRI.
b. Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat
sesuai dengan Taraf Perjuangan di bidang diplomasi dan
supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di
wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptkan
daerah-daerah bebas dan atau didudukkan unsur-unsur
kekuasaan Pemerintah Daerah RI.
c. Kepada Komando Mandala diperintahkan agar pada 17
agustus 1962, sang merah putih harus sudah berkibar di
Irian Barat.
Komando Mandala berkekuatan empat komponen
Angkatan yaitu : Angkatan Darat Mandala (ADLA), Angkatan
Laut Mandaa (ALLA), Angkatan Udara Mandala (AULA),
Komando Pertahanan Udara Gabungan Mandala
(Kohanudgab), Komando Pasukan Gabungan (Kogab)
Mandala.
Adapun susunan pimpinan Komando Mandala adalah
sebagai berikut :
Panglima : Mayor Jenderal Soeharto
Wakil Panglima I : Komodor Laut Soebono
Wakil Panglima II : Komodor Udara Leo Wattimena
Kepala Staf Umum : Kolonel Achmad Tahir
Staf Umum Gabungan terdiri atas Gabungan Staf I sampai
Gabungan staf 6

311
Pengayaan Materi Sejarah

Selanjutnya Panglima Mandala beserta stafnya


menyusun Strategi Dasar Operasi Militer Pemirbar :
1. Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat
sesuai dengan tahapan-tahapan perjuangan diplomatik.
2. Menciptakan daerah de facto bebas di Irian Barat.
3. Mendudukkan unsur-unsur kekuasaan pemerintahan RI
di Irian Barat.
Bersamaan dengan itu disusun Rencana Operasi B, yaitu :
1. Kemampuan sendiri dihadapkan dengan kemampuan
musuh dan dilaksanakan dalam beberapa tahap :
a. Tahap infiltrasi (darat, laut, udara)
Angkatan Darat : menginfiltrasikan pasukan ke
daerah sasaran
Angkatan Laut : satu Task Force dan Task Force
cadangan
Angkatan Udara : satu Task Force, yang terdiri dari
beberapa pesawat dan cadangan Task Force yang
terdiri atas pasukan pendarat (PGT)
b. Tahap Exploitasi
Serangan terbuka terhadap induk pasukan Belanda
di Biak untuk melumpuhkan kekuatan musuh.
Angkatan Darat, terdiri atas unsur Tempur Darat,
tersusun atas bebarapa Resimen
Tim Pertempuran (RTP), dan
artileri anti serangan udara.
Angkatan Laut, terdiri atas dua Angkatan Tugas (AT)
dan unsur-unsurnya.
Angkatan Udara, terdiri atas empat unsur. Unsur
pembom (6 TU 16, 6 1 L 6 B-25),
unsur pertahanan udara (6 mig 17
, 6 mig 17/19), unsur pertahanan
udara, unsur ground attack dan
pengangkutan.
c. Tahap Konsolidasi

312
Pengayaan Materi Sejarah

2. Persiapan dan Pengerahan Kekuatan


Komando Mandala terdiri atas tiga komponen
utama, Angkatan Darat, AngkatanLaut dan Angkatan
Udara.
a. Organisasi Angkatan Darat Mandala (ADLA) tersusun
sebagai berikut :
Panglima ADLA : Mayjen Soeharto
Kepala Staf : Kolonel Achmad
Wiranatakususmah
Wakil Staf : Kolonel Sunaryadi
Dibantu oleh lima orang asisten (Asisten 1-5)
Kekuatan AD Mandala, meliputi semua satuan darat
yang berada di wilayah Indonesia Timur atau lima
Komando Daerah Militer (Kodam) yaitu : Kodam
XIII/Merdeka, Kodam XIV/Hasanuddin, Kodam
XV/Pattimura, dan Kodam XVI/Udayana. Dikerahkan
juga satuan-satuan tempur, satu divisi infantri, dua
brigade lintas udara (Linud), satu detasemen
pasukan khusus dan satuan-satuan bantuan tempur,
dan pasukan cadangan strategis.Jumlah personel
yang dikerahkan 54.267 orang.
b. Angkatan Laut Mandala (ALLA)
Panglima ALLA : Kolonel Pelaut Soedomo
Deputy Panglima : Kolonel Pelaut Machmud
Subarkah
Kepala Staf : Letkol Pelaut Toto P. S
Dibantu oleh lima orang asisten
Kedudukan markas komando ALLA di Surabaya.
Komando ALLA membawahi komponen utama
Komando Armada Tugas Satu.
Kesatuan Kapal Cepat Torpedo
Kesatuan ini berkekuatan delapan kapal cepat
torpedo (Rusia) dan dua kapal tender milik PT. Pelni
yang dimiliterisasi.

313
Pengayaan Materi Sejarah

1) Kesatuan Kapal Selam -15 (KKS-15). Kesatuan ini


berkekuatan empat kapal selam.
2) Angkatan Tugas Amphibi 17 (ATA-17)
Kesatuan terdiri atas satuan unsur kapal dan
satuan pendarat.ATA-17 dipimpin langsung
oleh Panglima ALLA. Kekuatan ATA-17 terdiri
atas dua destroyer, dua fregat, dua corvet,
empat selam (enam sebagai cadangan) dua
kapal torpedo, 12 kapal torpedo cepat, empat
kapal penyapu ranjau, enam LST, dua kapal
salvage, dua tanker, dua kapal rumah sakit.
ATA-17 juga membawahi beberapa gugus
tugas.ALLA juga mengerahkan 61 kapal.
3) Pasukan Pendarat
Berkekuatan satu brigade, satu dipimpin oleh
Kolonel KKO Suwaji.
4) Kesatuan Udara Angkatan Laut (KUAL)
Berkekuatan pesawat-pesawat Gannet dan
Albatros menjelang hari H pangkalan KUAL-18
dipindahkan ke Morotai dari Liong (Ambon)

c. Angkatan Udara Mandala (AULA)


Komponen utama Mandala ini, dipimpin oleh
Komodor Udara Leo Wattimena.Markas Besar AULA
berkedudukan di Markas Besar Angkatan
Udara.Pada Mei 1962, Staf Komando Regional
Udara 3 (Korud 3) dan Komando Regional Udara 4
(Korud 4) langsung menjadi Staf AULA.AULA
berpangkalan di Morotai, Amahai, Letfuan Liang
(Ambon) Kapong, Kendari dan Makassar.
Kekuatan AULA terdiri atas pesawat-pesawat :
- Pemburu/Mustang, Mug-17
- Buru Sergap, Bomber (B-26) berpangkalan di
Ambon, TU-16, IL-28
- Transport, Hercules dan Dakota
- Amphibi, Catalina dan Albatroos

314
Pengayaan Materi Sejarah

Komponen AULA terdiri atas empat Kesatuan


Tempur (KT) yaitu KT Senopati, KT Baladewa, KT
Bimasakti, KT sorang
d. Kepolisian RI (Polri)
Dalam melaksanakan Trikora, Kepala Kepolisian RI
membentuk Staf Komando Pelaksanaan
Pembebasan Irian Barat dan membawah
perintahkan kesatuan-kesatuan Polri ke Komando
Mandala, dengan kekuatan satu Resimen Tim
Pertempuran (RTP), yang berkekuatan empat
Batalyon Brigade Mobil, Detasemen Pelopor,
Detasemen Telekomunikasi. RTP (Polri) diperkuat
dengan satu Gugus Tugas Kapal 90 (Airud).
Markas Komado RTP berkedudukan di Ambon
Susunan organisasi RTP adalah :
Komandan : Komisaris Polisi Tk I R. Sutrasno
Wakil Komandan : Komisaris Polisi Tk II Martoyo
RTP berkekuatan 2.400 personil.

e. Komando Pertahanan Udara Gabungan


(Kohanudgab)
Komponen komando mandala ini dibentuk pada
Maret 962, dengan susunan pimpinan :
Panglima : Kolonel Penerbang Leo
Wattimena
Peaksana Haran Panglima : Letkol Penerbang
Suyitno Sukarno
Wakil Panglima : Mayor Art Eddy Moh.
Akhir

315
Pengayaan Materi Sejarah

2. Mobilisasi Umum
Setelah dikomandokan Trikora, ribuan rakyat dari
pelbagai daerah mendaftarkan diri sebagai sukarelawan
pembebasan Irian Barat. Kehadiran mereka bukan semata-
mata untuk bertempur di garis depan, tetapi untuk
membantu memperbaiki fasilitas dan prasarana perjuangan.
Untuk memperbaiki fasilitas pangkalan udara di Kendari
(Sulawesi Tenggara) didatangkan 1.000 orang sukarelawan
dari Jakarta dan Jawa Barat.Sebanyak 500 sukarelawan dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur berangkat ke Letfuan (Aru) dan
Amahai (Ambon).Alat-alat perhubungan, terutama laut,
sejumlah kapal sipil dimobilisasi dan dimiliterisasi.
Dari Kodamar III/Jakarta, 40 kapal dari pelbagai
maskapai pelayaran. Dari perhubungan udara, Garuda
Indonesia Airways juga dimiliterisasi, dalam Wing Garuda
0011, dibawah pimpinan Captain Partono dengan pangkat
Kolonel Tituler. Untuk Panglima Mandala GIA, menyediakan
satu pesawat komando, Convair 240

Kampanye-Kampanye Trikora
a. Kampanye Infiltrasi (15 Januari 1962)
Pada tahap awal pembebasan Irian Barat pra
Trikora, TNI – Angkatan Darat telah melakukan
operasi.Operasi Infiltrasi ke daratan Irian Barat, dipimpin
oleh Mayor Rudjito.Pos Infiltrasi berkedudukan di P. Ujir
dengan sandi Pasukan Gerilya (PG).Operasi-operasi
Infiltrasi lewat laut ini dilanjutkan sampai terbentuknya
Komando Mandala.Operasi infiltrasi pasca Trikora
dipimpin oleh Letkol Djoko Basuki berdasarkan perintah
Panglima AD Mandala pada Februari 1962. Suatu Task
Force Bulu Pitu, yang dengan tugas pokok
pengembangan pangkalan dan pasukan.
Task Force Bulu Pitu, membagi tiga wilayah
infiltrasi, Utara, Tengah dan Selatan.

316
Pengayaan Materi Sejarah

- Wilayah Selatan dilaksanakan oleh P-101/Hanggoda


yang dipimpin oleh Mayor Ali Moestopo dengan
posnya di Kepulauan Aru.
- Wilayah Tengah dilaksanakan oleh P-102/Kopi
Jembawan, dipimpin oleh Letkol Amir Yudowinarno,
dengan posnya di Pulau Geser.
- Wilayah Utara dilaksanakan oleh P-103/Hanilo
dipimpin oleh Mayor Rujito berkedudukan di Pulau
Gebe.
Tugas pokoknya mempersiapkan pangkalan untuk
serbuan ke daratan Irian Barat. Brigade Infanteri-2/ADLA
didislokasi ke daerah persiapan dengan markas komando
di Jailolo. Pada brigade ini dibawah perintahkan
Detasemen Pelopor Brimor.
P-101/Hanggoda berhasil menyusun pangkalan
untuk Batalyon 521/Brawijaya dan satu kompi Raider
700/Hasanuddin, dipersiapkan mendarat di
Kaimana.Rupanya pihak Belanda telah “mencium”
adanya operasi infiltrasi dengan kekuatan besar
(batalyon) memperkuat penjagaannya, pantai patrol laut
diintensifkan.
b. Operasi-operasi Angkatan Laut Mandala (ALLA)
ALLA dibawah pimpinan Panglima ALLA Kol. Laut
Sudomo, pada 1 Maret 1962 memerintahkan dilakukan
Operasi Show Force (unjuk kekuatan) dengan kapal
selam Alugara dan Antareja.
c. Selanjutnya Operasi Alugara satuan. Satuan-satuan
kapal selam dengan kekuatan tiga kapal selam yang
bertugas mencegat dan menenggelamkan kapal-kapal
musuh. Operasi yang dimulai sejak 20 Juli berakhir pada
26 Agustus 1962.
d. Operasi Cakra, adalah operasi kapal selam untuk
memperoleh keunggulan laut sebagai persiapan operasi
amfibi dengan kekuatan empat kapal selam RI
Nagabanda, RI Trisula, RI Candrasa, dan RI
Nagarangsang.
e. Operasi Lumba-Lumba

317
Pengayaan Materi Sejarah

Masih operasi kapal selam.Tiga kapal selam (RI Candrasa,


RI Trisula, RI Nagarangsang), yang bertugas
menginfiltrasikan pasukan RPKAD (Kopassus AD) yang
ditugasi untuk melakukan sabotase.Pasukan RPKAD
berkekuatan 45 orang dan dua Tim Detasemen Pasukan
Chusus (DPC) dibawah pimpinan Lettu Dolf
Latumahina.Sasaran pendaratan Teluk Tanah
Merah.Operasi ini gagal karena ketatnya pertahanan laut
dan udara Barat.
f. Operasi Infiltrasi AULA
Operasi infiltrasi lewat udara dipimpin langsung
Panglima AULA, Komodor Leo Wattimena
1) Operasi Banteng Ketaton. Pada 26 April 1962,
dengan enam pesawat Dakota terbang di garis batas
wilayah udara Irian Barat. Operasi penerjunan
pasukan RPKAD dan PGT (42 orang) di hutan lebat
di sekitar Kaimana.
2) Kelompok penerjun terbagi atas Banteng Putih
dengan sasaran Fak-Fak dan Operasi Banteng
Merah, menerjunkan 1 tim RPKAD dan PGT (40
orang) dengan sasaran Kaimana.
3) Operasi Garuda
Operasi penerjunan dengan sasaran Kaimana
dan Fak-Fak, dimulai pada 15 Mei 1962.Pada
sasaran Fak-Fak diterjunkan 38 orang dipimpin oleh
Kapten Kartawi.
Pada sasaran Kaimana diterjunkan 27 orang,
dan 16 orang dipimpin oleh Lettu Idrus dan PGT
dengan sasaran Kaimana.
Operasi Garuda menggemparkan kalangan
militer Belanda dan militer dunia.Operasi Garuda
tidak lagi menggunakan pesawat Dakota, tetapi
pesawat Hercules yang mampu mengelabuhi radar
musuh.
4) Operasi Serigala
Pada tanggal 17 Mei diterjunkan kesatuan
PGTU dengan sasaran Sorong dan sekitarnya,
dengan kekuatan 39 orang dipimpin oleh Letnan
Udara II Manuhur. Pada 21 Mei pasukan ini berhasil

318
Pengayaan Materi Sejarah

mengibarkan sang merah putih yang pertama


kalinya di bumi Irian Barat.
Rombongan kedua dari operasi ini
berkekuatan 81 orang diterjunkan dari pesawat
Hercules di Sansapor.
5) Operasi Kancil
Sasaran opersai ini Fak-Fak dan Kaimana,
terbagi atas Kancil I dan Kancil II. Kancil I
berkekuatan 1 kompi dan Kancil II dengan sasaran
Kaimana dengan kekuatan 1 kompi
6) Operasi Naga
Merupakan operasi penerjunan yang terbesar,
dengan sasaran Merauke, dilaksanakan pada 24 Juni
1962 dengan tiga pesawat Hercules.Pesawat
pertama mengangkut Tim DPC.Pesawat kedua dan
ketiga mengangkut dua kompi Batalyon
530/Brawijaya. Jumlah pasukan yang diterjunkan
215 orang (55 RPKAD, 160 dari Yon 530/Brawijaya).
Pasukan Brawijaya dipimpin oleh Kapten Bambang
Supeno, Tim RPKD dipimpin oleh Kapten (Mayor)
Benny Moerdani.Pesawat berangkat dari Jakarta
menuju Amahai (Ambon).
Tiba di Amahai disambut oleh Mayjen
Soeharto Panglima Mandala, Wakil Panglima
Mandala I Komodor Laut Soebono dan Panglima
AULA, Komodor Udara Leo Wattimena.Pasukan
kemudian mendapat brieving (petunjukpetunjuk
singkat) dari Komandan Operasi Kapten Benny
Moerdani.Panglima mengantar pasukan sampai
pintu pesawat. Dari brieving inilah pasukan baru
tahu mereka akan diterjunkan di sekitar Merauke.
Pasukan Operasi Naga berkekuatan kelompok
komando satu tim DPC RPKAD, dibawah Letkol
Soedarto, dua Kompi Yon 530/Brawijaya.
Komandan Operasi Kapten Benny Moerdani. Sukses
mendarat di sekitar Merauke, sekalipun belum
terkonsolidasi, komandan Operasi mendengar berita
yang disiarkan oleh RRI, ADC, BBC, VOA dan Radio V
Hilversun, telah diumumkan gencatan senjata.

319
Pengayaan Materi Sejarah

g. Rencana Operasi Jayawijaya dan Penyelesaian Secara


damai
Suatu rencana operasi pamungkas untuk merebut
kembali Irian Barat tanah air bangsa Indonesia, yang
melihatkan seluruh kekuatan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang dikenal sebagai one way ticket
batal dilaksanakan.
Pemerintah Amerika Serikat tidak bisa menutup
mata atas tekad dan persiapan Angkatan Bersenjata dan
tekad rakyat untuk membebaskan Irian Barat.Dalam
kalkulasi militer kekuatan militer Belanda tidak akan
mampu melawan kekuatan Indonesia.
Amerika Serikat mencegah Irian Barat sebagai
wilayah konflik militer yang bisa mengubah timbangan
kekuatan perang – dingin, yang mengunungkan blok
Timur (Uni Soviet). Upaya diplomasi dan penyelesaian
secara damai, harus menjadi agenda utama daam
penyelesaian konflik Indonesia Belanda.
Pada 12 Februari 1962, Presiden Amerika Serikat
John F. Kennedy, mengutus Jaksa Agung Amerika Serikat
Robert F. Kennedy untuk menemui Presiden
Soekarno.Pembicaraan dilangsungkan pada 14 Februari
1962. Para pejabat RI menilai bahwa pertemuan Presiden
dengan Jaksa Agung Amerika Serikat tidak akan
merugikan Indonesia, bahkan memberi harapan baru
bagi penyelesaian sengketa Irian Barat secara damai.
Pada 18 Februari 1962 di Istana Bogor diadakan
pertemuan pembicaraan bilateral resmi antara pihak
Indonesia dan pihak Amerika Serikat.Pihak Indonesia
terdiri atas Presiden Soekarno, Wakil Perdana Menteri
Djuanda dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Dari pihak
Amerika Serikat diwakili oleh Robert F. Kennedy, Siegen
Thaler, Howard P. Jones Duta Besar Amerika Serikat
untuk Indonesia.Dalam pembicaraan itu Amerika Serikat
minta kepada Indonesia agar bersedia menyelesaikan
sengketanya dengan Belanda di meja perundingan.

320
Pengayaan Materi Sejarah

Amerika berjanji akan bersikap tidak memihak (netral).


Jawaban Pemerintah Indonesia, secara singkat masih
akan mempelajari usul-usul Amerika. Pada dasarnya
Indonesia bersedia berunding dengan Belanda tanpa
syarat, tanpa dihadiri oleh Sekjen PBB Uthant.
Selanjutnya Robert Kennedy meneruskan missinya
terbang ke Nederland untuk bertemu dengan Ratu
Belanda di Pemerintahan Belanda dengan maksud yang
sama.
Pemerintah Belanda mengirim utusan ke Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk.Pada 12 Maret
1962 Pemerintah Belanda mengumumkan kesediaannya
berunding dengan Indonesia.Pintu penyelesaian
konfrontasi secara damai sudah terbuka.Pihak Indonesia
maupun Belanda meminta kepada Amerika Serikat agar
sebelum perundingan resmi dimulai, diadakan
pembicaraan pendahuluan secara bilateral.Pihak Amerika
Serikat setuju. Perundingan dilangsungkan di Hotland
Estate Middleburg, 30 km dari Washington D.C. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Adam Malik (Dubes RI untuk Uni
Soviet) dengan empat orang anggotanya, Mr. Sudjarwo
Tjondronegoro, Mr. Suryo Tjondro, Mr. Nugroho, Mr.
Zairin Zain (Dubes RI untuk Amerika Serikat). Dari pihak
Belanda diwakili oleh Dr. Van Royen (Dubes Belanda
untuk Amerika Serikat), Schuurman (Dubes Belanda
untuk PBB).Amerika Serikat bertindak sebagai mediator
(penengah) diwakili oleh Elsworth Bunker seorang
diplomat senior Amerika Serikat yang telah menyiapkan
enam usul rencana penyelesaiannya.
1. Pemerintah-pemerintah Indonesia dan Belanda
masing-masing secara sendiri atau bersama-sama
akan menandatangani persetujuan yang diajukan
kepada Sekjen PBB.
2. Pemerintah Belanda menyetujui penyerahan
pemerintahan di Irian Barat kepada Badan Eksekutif
sementar di bawah PBB yang akan mengangkat
kepala Pemerintahan sementara tersebut, dan
disetujui oleh kedua belah pihak.

321
Pengayaan Materi Sejarah

Penyelenggaraan pemerintahan tersebut akan


berlangsung kurang dari satu tahun, tetapi tidak
lebih dari dua tahun. Tugasnya mengurus
berakhirnya pemerintah Belanda. Dalam waktu
singkat pejabat-pejabat pemerintah Belanda akan
digantikan dengan pejabat-pejabat yang bukan
Belanda dan bukan Indonesia yang bekerja atas
dasar perjanjian pendek satu tahun.
3. Pada tahun kedua, pemerintahan mulai diganti oleh
pejabat-pejabat Indonesia sehingga pada akhir
tahun kedua kekuasaan telah berada di tangan
Indonesia, kecuali tenaga-tenaga teknik khususnya
dari PBB akan tetap pada kedudukannya sebagai
penasehat.
4. Indonesia menyetujui untuk memberikan
kesempatan rakyat Irian Barat menyatakan
pilihannya secara bebas, selambat-lambatnya tujuh
tahun setelah pemerintah berada di tangan
Indonesia. Pelaksanaan kegiatan ini dibantu oleh
PBB.
5. Indonesia dan Belanda menyetujui untuk memikul
bersama biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
membentuk pemerintahan PBB.
6. Sesudah persetujuan ditandatangani kedua
pemerintahan Indonesia dan Belanda kembali
membuka hubungan diplomatiknya.
Kedua belah pihak secara prinsip menerima usul
Bunker, tetapi masa pemerintahan PBB selama dua tahun
ditolak.Perundingan Bunker’s Proposal macet.
Ketua delegasi Indonesia Adam Malik melapor
kepada Presiden.Presiden malah memberi perintah
macetkan perundingan.Diplomasi memacetkan
perundingan sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan
supaya penyerahan Irian Barat harus diserahkan pada 1
Januari 1963. Indonesia menyampaikan sikapnya :

322
Pengayaan Materi Sejarah

1. Pembebasan Irian Barat tetap dilaksanakan dalam


waktu enam bulan lagi (dengan kekuatan senjata).
2. Akan halna rakyat Irian Barat untuk menetapkan hari
depannya akan dilaksanakan setelah Belanda
menyerahkan Irian Barat secara mutlak kepada
Indonesia.
3. Untuk mencegah salah pengertian dalam
melaksanakan usul Bunker, harus disertai agenda
waktu.
Pernyataan sikap Indonesia ini disampaikan oleh
Menteri Luar Negeri Dr.Subandrio kepada delegasi
Belanda.Delegasi Belanda menolak dan tidak lagi
bersedia melanjutkan perundingan.
Sementara itu Menteri Keamanan Nasional/KSAD
Jenderal A.H. Nasution mencari jalan lain. Nasution
menemui Ketua Umum Partai Katolik I.J. Kasimo,
meminta kesediaan Partai Katolik Indonesia berbicara
dengan Partai Katolik Belanda (KVP).Partai pemegang
suara mayoritas dalam kabinet Belanda.Kasimo
menunjuk Pastor Oudejans dan diminta agar menemui
Kolonel Magenda, asisten intelijen Kementerian
Keamanan Nasional. Kasimo selanjutnya mengajak
Drs.Frans Seda untuk menemui Menteri Luar Negeri Dr.
Subandrio mengutarakan maksud Nasution.Subandrio
setuju Pastor Oudejans berangkat ke Negeri Belanda,
yang kemudian disusul oleh Frans Seda. Melalui
pertemuan rahasia dan informal ini pada 31 Juli 1962
dicapai kesepakatan sementara (Preliminary
Understanding yang antara lain berisi :
1. Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia
dan Belanda, selambat-lambatnya 1 Oktober 1962,
penguasa dari pemerintah sementara PBB (United
Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) akan
tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima
pemerintahan dari tangan Belanda. Pada saat itu
juga bendera Belanda diturunkan, kekuasaan atas
daerah tersebut diserahkan kepada PBB. UNTEA

323
Pengayaan Materi Sejarah

akan menggunakan tenaga-tenaga Indonesia sipil


maupun alat-alat keamanan dengan alat-alat
keamanan putra putrid Irian Barat dan sisa-sisa
pegawai Belanda yang masihdiperlukan.
2. Pasukan-pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian
Barat yang berstatus di bawah kekuasaan UNTEA.
3. Angkatan Perang Belanda mulai ditarik secara
berangsur-angsur, akan ditempatkan di bawah
pengawasan PBB.
4. Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lain berlalu
lintas laut bebas.
5. Setelah tanggal 31 Desember 1962, bendera
Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB.
6. Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer
Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei
1963. Pemerintah RI secara resmi menerima
pemerintahan Irian Barat dari pemerintah sementara
PBB
Pada 7 Agustus 1962 terjadi kontak pertama
antara kedua delegasi Indonesia – Belanda.Pelaksanaan
dari hasil perundingan ini diratifikasi oleh kedua belah
pihak dengan duta besar Elsworth Bunker wakil pribadi
Presiden John F. Kennedy sebagai penengah. Pada 15
Agustus 1962, persetujuan Middleburg ditandatangani
oleh masing Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dari
pihak Indonesia dan Duta Besar Belanda untuk PBB Joh
van Roijen dan C.W.A Schouur mann di Markas Besar
PBB di New York. Pihak Belanda melakukan protes
dengan tidak hadirnya menteri luar negeri Dr. J. Luns.
Setelah persetujuan RI dan Belanda ditanda
tangani pada 15 Agustus 1962 pada pukul 21.00 GMT
permusuhan dihentikan.Pada tanggal 18 Agustus 1962
pukul 00.01 GMT atau pukul 09.31 Waktu Irian Barat.
Menindak lanjuti perintah Presiden, Panglima
Mandala mengeluarkan perintah yang agar seluruh
pasukan menaati perintah Presiden/Panglima
Tertinggi.Pada 25 Agustus 1962 Dewan Pertahanan

324
Pengayaan Materi Sejarah

Nasional mengambil keputusan membenarkan dan


menyetujui kebijakan Presiden, yang disambut pula oleh
pimpinan DPR-GR pada 1 September 1962.83

3. Dwikora Konfrontasi terhadap Neo Kolonialisme


a. Menghalangi terbentuknya Malaysia
Politik luar negeri konfrontasi terhadap imperialism
dan neo kolonialisme berdasar pada pidato Presiden
tanggal 30 September di depan sidang umum PBB, yang
berjudul To Build the World A New (Membangun Dunia
Kembali). Pidato ini ditetapkan oleh MPRS sebagai Garis-
garis Besar Politik Luar Negeri dan sebagai Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik RI di bidang politik luar
negeri.Kebijakan politik luar negeri yang berdasar dari teori
revolusi menyeret diplomasi Indonesia kehadapan
panggung politik dunia tanpa memperhatikan prioritas
kepentingan dan sumber-sumber kekuatan nasional.Disini
berlaku teori politik adalah panglima. Jika teori tidak
didukung oleh faktor-faktor obyektif, teori itu akan
merupakan utopia. Apabila dijadikan landasan kebijakan
akan mengaburkan cara-cara pelaksanaannya, sehingga
membuka pintu bagi setiap pengingkaran dan
penyelewengan. Manipol menyatakan bahwa tujuan
pendek politik luar negeri adalah melanjutkan perjuangan
anti imperialism dan tujuan jangka panjang revolusi
Indonesia bertujuan melenyapkan imperialism di mana-
mana dan mencapai dasar bagi perdamaian dunia yang
kekal dan abadi.Diplomasi menurut Manipol harus “tidak
mengenal kompromi”, harus “radikal dan
revolusioner”.Cara radikal dan revolusioner ini dapat
digolongkan pada sikap yang menjurus kepada
permusuhan sebagai konsekuensinya posisi Indonesia
lambat laun akanterisolasi.Dengan Manipol Indonesia
menghimpun kawan negara-negara New Emerging Forces
(NEFO) hendak dikonfrontasikan dengan musuh revolusi
yaitu imperialism dan neo kolonialisme (Nekolim).Menteri
Luar Negeri Subandrio pernah menyatakan bahwa

325
Pengayaan Materi Sejarah

Indonesia menjalankan politik dengan dunia luar secara


konvensional dan berjuang menyelesaikan Revolusi
Indonesia merupakan kenyataan yang harus diterima
dunia internasional. Namun dalam kenyataannya
Indonesia melaksanakan diplomasi konvensional yang
tidak dilandasi oleh peaceful means dan peaceful minds,
memanfaatkan forum non govermental seperti Persatuan
Wartawan Asia Afrika (PWAA).
Konferensi Internasional Anti Pangkalan Asing
(KIAPMA) yang di dalam negeri didominasi oleh golongan
komunis.Manipol, Djarek dan Membangun Dunia Kembali,
memang merupakan embrio dari doktrin politik baru, yang
tidak lagi membagi dunia atas Blok Barat dan Blok Timur
dan Blok Asia Afrika, melainkan menjadi dua blok yaitu
New Emerging Forces (Nefos) dan Old Established Forces
(Oldefos).
Dengan doktrin politik baru yang bersumber pada
konsep dan hukum-hukum revolusi, Indonesia harus
melakukan konfrontasi terus menerus dengan menggalang
kekuatan Nefos untuk melawan Oldefos.84
Perang dingin yang terjadi di kawasan Asia Tenggara
menjadi faktor penyebab lahirnya gagasan pembentukan
negara baru, merdeka dan berdaulat di.Pada 29 Mei 1961,
Tengku Abdurrahman Putra, Perdana Menteri Persekutuan
Tanah Melayu di Singapura melontarkan gagasan
pembentukan negara baru dihadapan Foreign Journalist
Associations. Negara baru tersebut meliputi Malaya,
Singapura, Serawak, dan Sabah dengan nama Malaysia.
Sementara itu selesai melakukan persiapan, Tengku pada
bulan Oktober 1962, berkonsultan dengan Perdana
Menteri Inggris Harold Mc Millan.
Pemerintah Indonesia bereaksi, mencurigai bahwa
pembentukan negara Malaysia adalah ciptaan Inggris yang
dianggap mengancam kelangsungan revolusi Indonesia.
Ada satu pangkalan militer yang ditujukan antara lain ke
Indonesia.

326
Pengayaan Materi Sejarah

Sementara jajak pendapat dan persiapan


pembentukan Federasi Malaysia dilakukan oleh seluruh
komisi yang dipimpin oleh Lord Cabbold, yang beranggota
Sir Anthony Abell, Sir David Natherson, Dato Wong Po dan
Gazali Shafie. Hasil dari penjajagan pendapat, ada empat
kelompok pendapat :
- Pertama, sepertiga penduduk setuju tanpa syarat
- Kedua, sepertiga setuju dengan syarat
- Ketiga, sepertiga sisanya terbelah. Sebagian tetap ingin
dibawah Inggris, sebagian ingin merdeka sebelum
bergabung dengan federasi (Brunei)
- Keempat, ragu-ragu, terutama Singapura
Antara Indonesia dan Federasi Malaya telah terjadi
konflik terbuka Philipina berusaha melerai konflik,
memprakarsai pertemuan antara dua negara ke meja
perundingan.Perundingan pertama pada tingkat
konferensi para Wakil Menteri Luar Negeri di Manila pada
1 April 1963 dan ditingkat menjadi Menteri-menteri Luar
Negeri.
Pada bulan Mei 1963 Presiden bertolak ke
Tokyo.Pada kesempatan itu Tengku Abdurrachman
melakukan pembicaraan tidak resmi dengan Presiden
Soekarno. Hasil pembicaraan Tengku menyatakan akan
melakukan pembicaraan resmi dengan Presiden RI dan
Presidenn Philipina Ferdinand Marcos.
Pada 9 Juli 1963, Perdana Menteri Tengku Abdul
Rachman di London menandatangani dokumen tentang
pembentukan negara Federasi Malaysia yang dijadwalkan
pada 31 Agustus 1963.
Pemerintah RI menuduh bahwa Perdana Menteri
Abdul Rachman mencederai kesepakatan antar menteri
luar negeri tanggal 7 – 11 Juli 1963.Akhirnya pertemuan
puncak diselenggarakan di Manila pada 31 Juli sampai 3
Agustus 1963. Pertemuan menghasilkan tiga dokumen :
Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike
Bersama. Dalam Persetujuan Manila, pihak Indonesia dan
Manila setuju dan menyambut baik pembentukan

327
Pengayaan Materi Sejarah

Malaysia apabila dukungan rakyat di Borneo diselidiki oleh


otoritas yang bebas dan tidak memihak yaitu Sekjen PBB
atau wakilnya. Hasil pertemuan puncak ini memberikan
kesan, ketiga kepala pemerintahan mengusahakan
penyelesaian damai dan sebaik-baiknya mengenai
sengketa rencana pembentukan negara federasi Malaysia
untuk mewujudkan tekad dan iktikad tersebut dan
mempererat kerjasama dibentuk Maphilindo suatu wadah
konsultasi berkala dan teratur.
Berdasarkan pasal 4 Komunike Bersama dan pasal
10 dan pasal 11 Persetujuan Manila, Sekjen PBB menunjuk
delapan anggota sekretariat menjadi anggota misi PBB
dibawah pimpinan Lawrence Michelmore dengan peninjau
dari Indonesia dan Filipina.Sebelum PBB melaporkan hasil
jajag pendapat, pada 16 September 1963, negara Federasi
Malaysia diproklamasikan.Pemerintah RI menganggap
bahwa proklamasi itu merupakan perbuatan dari niat
buruk (act of bad faith) dan Tengku Abdul
Rachman.Demonstrasi besar-besaran menentang
pembentukan Malaysia terjadi di Jakarta pada 17
September 1963.
Peristiwa sebaliknya juga terjadi di
Kualalumpur.Pada 17 September 1963 RI memutuskan
hubungan diplomatik dan hubungan ekonomi dengan
Malaysia.Indonesia menyokong gerakan-gerakan lokal
yang menentang pembentukan Malaysia yang dipimpin
oleh Azahari dan Abang Kifli. Pada akhir 1963 Indonesia
menyatakan akan membantu dan menyatakan dukungan
perjuangan kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara
melawan neo kolonialisme Inggris. Indonesia mengirimkan
sukarelawan-sukarelawan bersenjata untuk membantu
dan memperkuat gerakan perjuangan bersenjata rakyat
Kalimantan Utara.Konflik kerasionalan di Asia Tenggara
dicermati oleh Presiden Amerika Serikat Lyndon B.
Johnson, mengirim Jaksa Agung Robert Kennedy untuk
menemui kepala pemerintahan Maphilindo.

328
Pengayaan Materi Sejarah

Perdana Menteri Jepang Ikeda dan Menteri Luar


Negeri Thailand Thanat Konan berupaya melakukan media
Konfrontasi Indonesia dan Malaysia merupakan perang
yang tidak dideklarasikan, karena melibatkan kedua
Angkatan Perang kedua negara, bisa membahayakan
perdamaian kawasan. Pada 5-10 Februari 1963 dengan
memanfaatkan forum Maphilindo melakukan pertemuan
Manila. Dari forum ini lahir doktrin Asian Problem Should
be settled by Asians. Persoalan bangsa-bangsa asia
seharusnya diselesaikan sendiri oleh bangsa-bangsa Asia
yang dikenal dengan doktrin Macapagal.
Saran pembentukan Malaysia berasal dari Kemlu
Inggris sekalipun dinyatakan di depan umum oleh Teuku
Abdurrachman karena bertentangan dengan kolonialisme
dan imperialisme Indonesia dengan cermat mengikuti
perkembangan menuju pemerintahan sendiri dan
kemerdekaan di daerah-daerah di bawah kekuasaan
Inggris yang berbatasan dengan wilayahnya. Tetapi setelah
masuknya Singapura dalam Malaysia Merdeka dan
integrasi dari tiga daerah Kalimantan, juga dalam satu
negara bersama Singapura Malaya.Pada saat ini Indonesia
secara tegas tidak ada mempunyai keberatan.
Dekolonisasi Crown Colony, Serawak, Sabah, Brunei,
Indonesia mengikuti secara cermat.
Indonesia telah menyatakan bahwa, tidak keberatan
bila rakyat Malaya, Singapura dan ketiga daerah
Kalimantan sendiri benar-benar menghendaki
pengintegrasian di Malaysia.
Pada 8 Desember 1962 negara Kalimantan Utara
telah diproklamasikan yang pada hakikatnya adalah
pemerintahan sendiri, karena Malaysia yang direncanakan
tidak memberikan hak-hak mereka. Tanah melayu yang
telah diberi kemerdekaan pada 1957.Indonesia
menganggap Malaysia sebagai alat imperialis, yang
mencoba mengepung Indonesia.Pemerintahan Indonesia
melakukan program adesi (program faktual untuk
menghadapi tantangan ekonomi. Pada 23 Nov 1963,

329
Pengayaan Materi Sejarah

reshuffle kabinet kerja gaya baru dengan program


sandang pangan, pengganyangan Malaysia, meneruskan
pembangunan.85
Pada 23 Juli 1963, berdasarkan keputusan Presiden
RI No.148 tahun 1963, memutuskan Staf KOTI Pemertar
menjadi Staf KOTI, dengan menetapkan pejabat-
pejabatnya. KOTI terdiri atas staf gabungan yang terdiri
atas gabungan I – V (G I-V) sebagai kepala Staf KOTI
diangkat Mayor Jenderal Achmad Yani.Selanjutnya pada
26 September 1963, Presiden membentuk Komando
Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE), mengangkat Dr.
Subandrio sebagai Panglima KOTOE.Presiden juga
melarang warga negara Indonesia mendengar suara radio
dan aktivitas Malaysia.
Kepemimpinan Presiden ditingkatkan berdasarkan
Keputusan Presiden RI No.22A tahun 1963, berdasarkan
saran dari Gabungan Dewan Pertahanan Nasional,
Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi, KOTI, KOTOE,
menyatakan Presiden Pangti/Pembesar, mengambil
kebijakan khusus dan darurat dalam rangka pengamanan
hidup negara dan pengamanan mencapai Tujuan Revolusi
yang dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat
itu dan dalam memegang pimpinan tertinggi atas revolusi
Indonesia, mendasarkan hukum dan perundang-
undangan yang ada. Dalam pidato 15 Maret pidato
Presiden adalah gerakan Sukarelawan Indonesia untuk
mempertinggi ketahanan Revolusi, Komando Gerakan
Sukarelawan, satu gerakan sukarelawan.
Dari meningkatnya konfrontasi tersebut pada 27
April 1964 dikeluarkan Keputusan Presiden No.95 tahun
1964, tentang pengerahan sukarelawan, yaitu
warganegara RI dengan dikerahkan dalam rangka
menggoyang proyek neokolonialisme Malaysia. Pada
pidato penggoyangan terhadap Malaysia ditegaskan lagi
oleh Presiden pada 27 Juli 1963 dengan judul “politik kita
adalah politik konfrontasi”, meniadakan usaha
kolonialisme. Malaysia adalah bualan imperialis dan

330
Pengayaan Materi Sejarah

neokolonialis. Dalam HUT ABRI 1963, Presiden


menegaskan kembali misi Michelmore di Kalimantan Utara
tidak sesuai dengan prosedur.86Indonesia menentang
habis-habisan sehubungan dengan meningkatnya eskalasi
konflik, berdasarkan keputusan-keputusan Presiden RI
No.48 tahun 1963, tanggal 23 Juli 1963.Staf Komando
Operasi Tertinggi Pembebasan Irian Barat diubah menjadi
Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI adalah
komando gabungan yang terdiri atas lima Staf Gabungan.
Sebagai Kepala Staf KOTI diangkat Mayor Jenderal A.
Yani.Selanjutnya Presiden membentuk Komando Operasi
Tertinggi Ekonomi (KOTOE) dan mengangkat Dr.
Soebandrio sebagai Wakil Panglima KOTOE, pada bulan
September 1963.
Pada tanggal 9 November 1963, wewenang
Presiden ditingkatkan berdasarkan saran Gabungan
Dewan Pertahanan Nasional Musyawarah Pembantu
Pimpinan Revolusi (MPPR), KOTI dan KOTOE menyatakan
Presiden/Pangti mengambil kebijakan khusus dan darurat
dalam rangka pengamanan hidup negara dan
pengamanan tujuan revolusi mengambil kebijaksanaan
khusus dan darurat di dalam memegang pimpinan
tertinggi revolusi Indonesia. Kebijakan khusus antara lain
mengadakan gerakan sukarelawan, dan pada bulan April
1964 dikeluarkan Keputusan Presiden tentang Pengerahan
sukarelawan dalam rangka mengganyang Malaysia. Para
sukarelawan dikondisikan oleh KOTI G-3.
Pada 3 Mei 1964, dalam suatu rapat raksasa di
Jakarta, Presiden mengeluarkan komando
pengganyangannegara boneka Malaysia. Perhebat
ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan
revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah,
Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara
bonekaMalaysia. Komanndo ini terkenal dengan Dwi
Komando Rakyat (Dwikora). Pada 20 Mei 1964, dibentuk
Brigade sukarelawan Tempur Dwikora (Brigpur Dwikora)
yang dipimpin oleh Kolonel Sabirin Muchtar.

331
Pengayaan Materi Sejarah

Kekuatan yang Disiagakan


Setelah terbentuknya Komando Operasi Tertinggi
(KOTI) pada bulan Juli 1963, dengan tegas melakukan
operasi militer, sesuai dengan program kerja kabinet.
Untuk wilayah Indonesia Bagian Barat, dibentuk Komando
Gabungan Mandala Siaga, dengan tugas melaksanakan
operasi-operasi militer untuk mempertahankan wilayah RI
dan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura,
Serawak, Brunei dan Sabah. Komando ini disempurnakan
pada 2 Juni 1964, dengan tugas :
- Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan
operasi-operasi militer terhadap wilayah lawan dan
unsur-unsur lawan.
- Menempatkan potensi nasional ke dalam Komando
Siaga.
Sebagai Panglima Komando Siaga (Koga) Laksamana
Muda Laut Mulyadi dan Brigjen Achmad
Wiranatakusumah sebagai Wakil Panglima dan Kolonel
Udara Leo Wattimena sebagai Kepala Staf.
Organisasi Komando Operasi Gabungan ini pada 28
Februari 1965, disempurnakan menjadi Komando
Mandala Siaga (KOLAGA) yang terdiri atas Komando
Mandala I dan Komando Mandala I Panglima Kolaga,
Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dengan dua orang
Wakil Panglima, Laksamana Muda Laut Mulyadi dan
Mayor Jenderal Soeharto, Kepala Stafnya Brigjen Achmad
Wiranatakusumah. Pasukan-pasukan TNI disiagakan di
perbatasan, yang berkekuatan tiga komando tempur di
sepanjang pantai selat Malaka disiagakan Komando
Tempur (KOPUR) Rencong, yang dipimpin oleh Brigjen
Kemal Idris, diperbatasan Riau Kepulauan.Kopur Cakra,
yang dipimpin oleh Brigjen KKOKAHPI di perbatasan
Kalimantan Kopur Mandan yang dipimpin oleh Brigjen
Supardjo. Sementara perundingan diplomasi belum
membuahkan hasil di Indonesia terjadi Kudeta G.30-S/PKI.

332
Pengayaan Materi Sejarah

Pergerakan Kekuatan Militer Indonesia


Meningkatnya insiden bersenjata di Kalimantan
Utara dan pergerakan militer Inggris, pihak Indonesia
menyiagakan militernya dengan kekuatan satu mandala
perang. Berdasarkan keputusan Presiden/Panglima
Tertinggi No.23/KOTI/1964, tanggal 16 Mei 1964 dibentuk
Komando Siaga, dengan tugas pokok menyelenggarakan
operasi-operasi militer untuk mempertahankan wilayah
Indonesia dan membantu perjuangan rakyat-rakyat
Malaya, Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah dalam
membubarkan Malaysia. Sebagai Panglima Komando
Siaga Presiden menunjuk Laksamana Madya Udara Omar
Dhani, Menteri/Panglima Angkatan Udara, dengan dua
orang wakil panglima.Komando Siaga terdiri atas staf
gabungan dari komponen komando (Pertahanan Udara
Strategis, Amfibi, Lintas Udara Taktis, logistik diperkuat
oleh Brigade Sukarelawan Bantuan Tempur, yang dipimpin
oleh Kolonel Sabirin Muchtar). Dengan estimasi akan
terjadi perang terbuka komando ini disempurnakan
tugasnya menjadi mempersiapkan waktunya dan
menyelenggarakan operasi-operasi serangan balas
(retaliation) terhadap wilayah dan unsur lawan lainnya.
Organisasi komando yang diperluas ini, Presiden tetap
menunjuk Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dengan
dua orang Wakil Panglima Laksamana Muda Laut Mulyadi
dan Brigjen Achmad Wiranatakusumah dan Komodor
Udara L.W.J. Wattimena.Panglima membawahi empat
komponen angkatan (darat, laut, udara dan kepolisisn).
Masing komponen angkatan dipimpin oleh seorang
panglima organisasi Komando Siaga diganti dengan nama
baru Komando Mandala Siaga (Kolaga) dengan tugas
pokok, merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakan
dan mengembangkan operasi-operasi militer, khususnya
pertahanan wilayah RI Barat.
Struktur organisasinya, Panglima Kolaga
membawahi dua Komando Mandala (komponen wilayah).
Komando Mandala I meliputi Wilayah Kodam I (Aceh,
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan) dan

333
Pengayaan Materi Sejarah

Komando Daerah Maritim I (Sumatra Utara, Riau),


Komando Regional Udara I (Sumatra Utara) dan Komando
Angkatan Kepolisian Daerah (Aceh, Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Sumatra Selatan) yang diangkat sebagai
Panglima Brigjen A.J. Mokoginta.
Komando Mandala II meliputi Kodam IX (Kalimantan
Selatan), Kodam X (Kalimantan Tengah), Kodam XI
(Kalimantan Timur) dan Kodam XII (Kalimantan Barat),
Komando Stasiun AL dan Komando Angkatan Kepolisian,
Panglima Komando Mandala I, Brigjen TNI M.
Panggabean.
Komponen/Kesatuan Tempur, terdiri atas :
a. Komando Strategis Siaga dari Angkatan Udara
b. Komando Armada Siaga
c. Komando Logistik Siaga
d. Komando Tempur Siaga I (Rencong)
Dibawah pimpinan Brigjen TNI Kemal Idris
e. Komando Tempur Siaga II (Mandau)
Dibawah Panglima Brigjen Soepardjo
f. Komando Tugas Khusus Siaga
Dibawah Panglima Kolonel KK. Koesnaniwoto
g. Komando Pertahanan Udara
Hampir seluruh kekuatan ABRI digelar di depan
Medan Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, Sabah,
sebagai ekspresi dari politik konfrontasi terhadap neo
kolonialisme dan imperialisme di kawasan Asia Tenggara
sebagai masalah prinsip pada masa itu.87
4. Menumpas Gerakan DI/TII
5. Menumpas Gerakan Separatis RMS

Konflik antara Seniman-Budayawan


1. Konsep Manifes Kebudayaan
Tepat pada hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 1963, beberapa
orang seniman dan budayawan berkumpul di jalan Raden Saleh Jakarta,
antara lain Wiratmo Sukito, Gunawan Muhammad. Bokor Hutasuhut

334
Pengayaan Materi Sejarah

membawa naskah konsep kebudayaan yang ditulis oleh Wiratmo Sukito.


Naskah konsep Wiratmo Sukito diterima dan menentukan agenda
tanggal 23 Agustus 1963, akan didiskusikan dalam forum yang lebih
luas. Pada pertemuan tanggal 23 Agustus, hadir 13 orang seniman-
budayawan, Trisno Sumadjo, Zaini, H. B. Yassin, Bur Rasuanto, Bastari
Asnin, Ras Siregar, Jufri Tanissan, Soe Hok djin (Arief Budiman), Sjahwil,
DS. Mulyanto, ditambah konseptor dan pembahasnya dua orang,
Wiratmo Sukito, Bokor Hutasuhut, dalam pertemuan ini dibahas
makalah konsep kebudayaan yang berjudul Manifes Kebudayaan yang
ditulis oleh Wiratmo Sukito. Dalam pembahasan naskah ini terjadi
perdebatan yang cukup tajam soal humanisme universal. Wiratmo
Sukito selaku konseptor menjelaskan pemikirannya tentang humanisme
universal,
“Kebudayaan sebagai peringatan hidup manusia mempunyai
tendensi-tendensi universal dalam arti bahwa kebudayaan bukan
hanya untuk satu bangsa saja, tetapi untuk semua bangsa.
Meskipun demikian bahwa kebudayaan mempunyai titik tolak dan
titik tolak itu adalah titik tolak nasional.88
Selanjutnya Wiratmo menyatakan sepakat dengan pendapat Dag
Hammerskjoeld, mantan sekjen PBB, yang menekankan bahwa kita
harus menekankan kepentingan nasional, tetapi kepentingan nasional
itu harus ditingkatkan niveau-nya kea rah kepentingan internasional.
Sesuai dengan pendapat ini, Wiratmo mengajukan pengertian tentang
humanisme universal dalam makna tersebut.
Pendapat Wiratmo disanggah oleh Bur Rasuanto dengan dua
pertanyaan, pertama, apa tidak ada toleransi ideologi? Kedua tentang
utopisme?
Wiratmo menjawab, tidak ada toleransi ideologi, tetapi toleransi
pendukung-pendukung ideology, karena ideologi hanya mungkin dalam
arti sosial, hubungan antar manusia. Wiratmo menegaskan perbedaan
ideologi bahkan pertentangan ideology dapat diselesaikan melalui
dialog. Bagi Wiratmo, dialog adalah jiwa demokrasi.
Tentang utopisme, Wiratmo menjelaskan orang sering kali mencampur
adukan antara utopisme dengan utopia. Utopia adalah cita-cita
tertinggi yang tak dapat dicapai oleh manusia. Utopisme adalah suatu
kecenderungan yang menguasai manusia, seakan-akan manusia bisa
mencapai Utopia. Oleh karena itu manusia bertindak tidak real yang

335
Pengayaan Materi Sejarah

manifestasinya terlihat dalam dua bentuk: bentuk pertama menjadi


pengalaman tanpa berbuat sesuatu pun: kedua, dengan bersikeras –
kepala berusaha mencapainya dengan kekeraan, tetapi hasilnya hanya
akan memberikan sia-sia, karena Utopia tidak bisa dicapai kita
(Wiratmo) menyetujui Utopia tetapi menolak Utopisme.
Karena, meskipun kita ingin mencapai cita-cita tertinggi itu, melainkan
kita pada setiap saat merasakan kondisi-kondisi yang lebih baik daripada
saat-saat sebelumnya. Kecenderungan ini dalam persepktif naik disebut
optimism. Penanya selanjutnya Bokor Hutasuhut tantang angkatan 45
(dalam dunia Kesastraan) telah arrive ? tentang penilaian Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) atas angkatan 45.
Wiratmo menjawab, penilaian Lekra terhadap angkatan 45, dianggap
tidak memenuhi tugas revolusi. Penialain Lekra ini didasarkan atas fakta
yang tidak otentik, meskipun Lekra mempunyai gagasan-gagasan yang
bermutu, akan tetapi mereka tidak mempunyai wawasan tentang
kebudayaan apabila dilihat dari segi psikologi dan ilmiah. Dari
pertemuan ini, disimpulkan mereka merasakan bahwa seluruh manifest
kebudayaan saatnya harus dicetuskan. Kemudian dibentuk tim perumus
yang beranggota enam orang (Zaini, Bokor Antasuhat, Gunawan
Muhammad, Bastari Asnin, Soe Hok Djin dan Wiratmo Sukito) manifest
kebudayaan dibagi atas tiga bagian yaitu manifest kebudayaan,
penjelasan manifest kebudayaan dan literatus Pancasila. Mereka sepakat
secara perinsip manisfes kebudayaan tidak bisa ubah dan tidak apriori
melahirkan organisasi kebudayaan. Isi dari manisfes kebudayaan
bukanlah hal baru, adalah konsep humanisme universal.
Manifes kebudayaan adalah landasan ideal bagi budayawan dan
karyawan pengarang Indonesia yang kreatif89. Kelahiran manifest
kebudayaan, pertama kali dipublikasikan dalam Harian Berita Republik ,
19 Oktober 1963, di tanda tangani 20 orang seniwan dan budayawa:
naskah manifest ditutup dengan Pancasila adalah falsafah kebudayaan
kami, dan melengkapi dengan penjelasan manifest kebudayaan.
Reaksi Terhadap Manifes Kebudayaan
Pada 27 Oktober 1963, Pramoedya Ananta Toer menulis surat terbuka
kepada Jurga Belan dalam lembaran Lentera Bintang Timur, menuduh
para rekannnya orang-orang manifes bukanlah seorang pejuang
tegasnya kolaborator Belanda dan penghianat pada masa revolusi dan

336
Pengayaan Materi Sejarah

kini menyelewengkan revolusi sejak itu terjadilah (Polemik) seniman dan


sastrawan.
Sitor Situmorang menantang H. B. Jassin dan Usmar Ismail agar
menjawab segala serangan pekerja-pekerja kebudayaan, apakah mereka
setuju manipol atau tidak? Usmar Ismail menjawab menyilahkan Sitor
untuk memeriksa tulisan Usmar. Kritk Sitor dalam hubungan Festifal film
Asia Asfika III ditanggapi oleh Usmar bukan kritik tetapi fitnah terhadap
kawan.
Langkah selanjutnya dari kelompok Manifes menyelenggarakan
konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) pada bulan Maret
1964. Pramudya dan Lekra, suatu manifest dinilai bukan sebagai suatu
ancaman dan tantangan terhadap konsep budaya mereka. Setelah
kelompok manifest menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia, oleh Lekra dituduh mereka telah membangun
pengelompokan akan organisasi, mereka nilai sebagai satu budaya,
yang harus segera ditumpas. Namun KKPI telah mempersiapkan
pertahanan dan mengantisipasi akan datangnya serangan dari
kelompok Lekra. Mereka Meminta dukungan para penjabat yang anti
PKI seperti, Men/Pangab Jenderal A. Yani. Untuk menumpas manifes
kebudayaan dan KKPI, kelompok Lekra membuat seringkali Manifes
Kebudayaan dengan singkatan yang tidak senonoh Manikebu.
Singkatan ini dilemparkan ke masyarakat melalui berbagai media massa,
Bintang Timur, Harian Rakyat.
Zaman baru, dan dipropagandakan setiap kesempatan, bahkan
pemimpin PKI, D.N. Aidit menyebut manifes kebudayaan menentang
Nasakom dan mengemban tugas dari kelompok tertentu untuk melucuti
senjata rakyat.
Marwoto D. Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia VI, 2008, hal. 505
Bahkan Presiden Sukarno, dipengaruhi oleh propaganda tersebut, pada
8 Mei 1964, mengeluarkan larangan dengan membubarkan organisasi
seniman-budayawan tersebut. Pernyataan larangan manifes kebudayan
dan KKPI dimuat dalam harian Warta Bhakti, koran Partai Indonesia
(Partindo)
“Sebab-sebab larangan itu ialah karena manifesto politik Republik
Indonesia sebagai penalaran Pancasila telah menjadi Garis Besar

337
Pengayaan Materi Sejarah

Haluan Negara (GBHN) dan tidak mungkin didampingi oleh


manifesto lain, apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap
ragu-ragu terhadap revolusi dan memberikan kesan berdiri
disampingnya, maka segala usaha kita dilapangan kebudayaan
harus dijalankan.”
Diatas revolusi menurut petunjuk manipol Presiden Sukarno
“meragukan” kepercayaan mereka (pendukung manifest) terhadap
revolusi dan bertentangan dengan manipol.
Tokoh senior manifest kebudayaan, pada 11 mei 1964, menanggapi
larangan Presiden tersebut dengan pernyataan:
“Berhubungan dengan larangan PYM Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno terhadap manifes
Kebudayaan, yang tersebut demi keutuhan dan kelurusan jalannya
revolusi, dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa, maka kami para
pendukung manifest kebudayaan di Jakarta menganjurkan kepada
saudara-saudara agar mematuhi dan memenuhi maksud daripada
larangan tersebut. Dengan demikian kita tetap setia di bawah pimpinan
dan bimbingan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno untuk kepentingan
nasional kita.
Pernyataan dibuat oleh ketiga tokoh manifest kebudayaan tersebut
untuk mencegah jatuhnya korban dari agitasi dan propaganda seniman
budayawan komunis serta Partai Komunis Indonesia. Dengan suksesnya
“menghancurkan “ kelompok manifes, pada 27 Agustus sampai 2
September 1964. Lekra menyelenggarakan Konferesni Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner (KSSR). Pembukaan KSSR dibuka oleh Presiden
Sukarno.

Saleh As'ad Djamhari

338
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
Presiden Soekarno, Penemuan Kembali Revolusi Kita, 1959, hal. 10.
2
Ibid.
3
Presiden Soekarno, “Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Revolusi, Pidato
Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1961:,Ibid, hal. 377.
4
Ibid, hal. 379.
5
Presiden Soekarno, “Laksana Malaikat Menjerbu dari Langit. Djalannja Revolusi
Kita “, (Jarek) Pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960, dalam Bahan-
Bahan Pokok Indoktrinasi, 1965, hal. 210.
6
Ibid, hal. 221.
7
“Rumusan Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Sosialisme Indonesia”, Ibid, 1965, hal.
1114.
8
Presiden Soekarno, “Tahun Kemenangan” Pidato Tanggal 17 Agustus 1962, Ibid,
hal 405.
9
Ibid, hal. 219.
10
Presiden Soekarno, “Genta Suara Revolusi Indonesia”, (Gesuri), Pidato Presiden
Soekarno 17 Agustus 1963, Ibid, hal. 469.
11
Presiden Soekarno, “Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional”
(Resopim), Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1961, Ibid, hal. 392.
12
H. Roeslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia Perkembangan Tjita-Tjitanja,
Ketegasannja, 1962.
13
Chalmers Johnsan, Revolutionary Change, 1996, hal. 5.
14
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara, 1981, hal.
15
D. N. Aidit, Untuk demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi, Jakarta, 1962, hal. 37,
dst.
16
Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, 1985, hal. 201.
17
Ibid.
18
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara, 1981, hal. 374.
19
Lieutenant General Ahmad Yani, The Indonesian Army’s Doctrine of War, 1965,
hal. 8.
20
Hidayat Mukmin, TNI dalam Politik Luar Negeri, 1991, hal. 71.
21
Hidayat Mukmin, TNI dalam Politik Luar Negeri, 1991, hal. 72.
22
Departemen Angkatan Darat, Doktrin Perjuangan TNI-ADTri Ubaya Çakti, 1965,
hal. 3.

339
Pengayaan Materi Sejarah

23
Nazaruddin Sjamsudin, “Soekarno Sebuah Tragedi”dalam Nazaruddin Sjamsudin
(ed. ), Soekarno Pemikir Politik dan Kenyataan Praktek, 1988, hal. 24.
24
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Op. Cit. , hal. 66.
25
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara, 1981, hal. 481.
26
-------, BPS Aksi Reaksi, 1965, hal. 68.
27
Soegih Arto, Sanul Daca, Pengalaman Pribadi Letjen (Pur. ) Sugih Arto, 1998, hal.
172
28
D. N. Aidit, Untuk demokrasi Persatuan Mobilisasi, Jakarta, 1962
29
Soegih Arto, Sanul Daca, 1998, hal. 172-173
30
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara, 1981, hal. 464-467
31
Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, 1985, hal. 202.
32
Ibid. , hal. 91.
33
Ibid. , hal. 92.
34
Kopkamtib, Op. Cit. , hal. 122.
35
Nugroho Notosusanto, Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G-30-S/PKI
di Indonesia, 1989, hal 26, SSaleh A. Djamhari, ed, Komunisme di Indonesia, IV,
2009, hal 221-223.
36
Bambang Widjanarko, Sewindu Bersama Bung Karno, 1988, hal 179 dst.
37
Pusat Sedjarah AngkatanBersenjata, 40 Hari Kegagalan “G 30 S”, 1965, 157 – 160.
38
Pusat Sedjarah Angkatan Bersenjata, 1965, hal 164.
39
Christianto Wibisono, Aksi-Aksi Tritura Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari –
11 Maret 1966, Jakarta Pusat Angkatan Bersendjata, 1970, hal 1.
40
Ibid, hal 17.
41
Diah, Meluruskan Sejarah, Jakarta:PT. Merdeka Press, 1987.
42
Wawancara Nugroho Notosusanto dengan Presiden Soeharto, tanggal 3 Maret
1977.
43
Soegih Arto, Sanul Daca, 1989, hal 139.
44
Christianto Wibisono, Op. cit, hal 28.
45
Angkatan Bersendjata, 17 Januari 1966.
46
Angakatan Bersendjata, 18 Januari 1966.
47
Angkatan Bersendjata, 18Januari 1966.
48
Angkatan Bersendjata, 14 Februari 1966
49
Christianto Wibisono, op. cit, hal 62.
50
Christianto Wibisono, Op. cit, hal 64.

340
Pengayaan Materi Sejarah

51
Angakatan Bersendjata, 26 Februari 1966.
52
M. Panggabean, Op. cit, hal 348.
53
Christianto Wibosono, Op. cit, hal 81.
54
Ananta Toer, Op. cit, hal 200.
55
Soegih Arto, Op. cit, hal 241.
56
Djamhari, 1998, Op. cit, hal 269.
57
Mangil Martowidjojo, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, 1999, hal 420.
58
Djamhari, et. al, Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966, 1986, hal 34-44.
Pramoedya Ananta Toer, Op. cit, hal 204-205.
59
Pramoedya Ananta Toer, Op. cit, hal 204-205.
60
Amir Machmud,Op. cit, hal 7.
61
Djamhari, 1986, Op. cit, hal 48.
62
Amir Machmud, Op. cit, hal 9.
63
Wawancara Nugroho Notosusanto dengan Presiden Soeharto, tanggal 3 Maret
1977.
64
Mangil Martodidjojo, Op. cit, hal 425.
Draf tulisan surat perintah tulisan tangan Sabur, belum ditemukan sampai
sekarang.
65
Djamhari, 1986, Op. cit, hal 53.
66
Soebandrio, Op. cit, hal 55.
67
Ibid,
68
Kemal Idris, Op. cit, hal 188.
69
M. Panggabean, Op. cit, hal 52.
70
Kunto Wibisono, et. al, Rajawali Laut, 2006, hal 191-192.
71
Ibid, hal 52.
72
Ketiga Perwira Tertinggi tersebut diterbangkan dengan helikopter ALV 421 yang
dipiloti oleh Letnan (P) Rachmat, Rajawali Laut, 2006, hal 197.
73
Soenario, SH. Banteng Segitiga, Jakarta, 1988, hal 116.
74
Nasution, A. H. Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7, Masa Konsolidasi Orde
Baru, 1988, hal 3.
75
Sri Suyanti, Kebijakan Moneter”Savering dalam Menahan Laju Inflasi pada Sistim
Ekonomi Terpimpin” (Thesis, Prodi Sejarah FBUI, hal 76).Thesis tidak diterbitkan.
76
Sri Suyanti, ebijakan Moneter, Sanering dalam menahan laju inflasi pada sistem
Ekonomi Terpimpin 1959 – 1966”, thesis magister, tidak terbit, hal 27.

341
Pengayaan Materi Sejarah

77
Sri Suyanti, opcit, hal 111
78
Sekretariat Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965 – 1975, 1997, hal 63, Sri
Suyanti, op.cit, hal IV dan 124
79
Anak Agung Gede Adung, Twenty Years Indonesia Foreign Policy 1945-1965, tth,
hal 315-317
80
Anak Agung Gede Adung, ibid, hal 319
81
Marwati Djoened Poesponegoro, eds Sejarah Nasional Indonesia, 2008, 456
Pada Konferensi Non Blok, terbagi tiga fraksi, fraksi koestensi damai (Nehru)
negara-negara Afrika yang baru merdeka (Casablanca) dan militer radical anti
kolonialisme dan imperialisme (Soekarno), Anak Agung Gede Agung, op.cit, hal
329.
82
Marwati Djoened Poesponegoro, et.al, ibid, hal. 450 – 459.
Presiden Soekarno, Tjapailah Bintang-Bintang di Langit (Tahun Berdikari) Pidato
Presiden Soekarno pada HUT RI ke 20, 1965, Jakarta, Deppen RI, hal 32 – 34.
83
Saleh A. Djamhari, et-al, Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat, 1995.
84
Marwat Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, eds, Sejarah Nsional
Indonesia VI, 2008, hal. 460
85
“Pengganyangan Malaysia Program Aksi Pemerintah“, Keterangan pemerintah
tentang susunan Kabinet Kerja.“Diucapkan” oleh Waperdam Dr. Subandrio
tanggal 11 Desember 1963, dalam Gelora Konfrontasi Mengganyang Malaysia,
1969, hal.154-173.
86
Ibid, hal 306
87
Kusumah Hadiningrat, Sedjarah Operasi-Operasi Gabungan dalam Rangka
Dwikora, 1971, hal. 22-32
88
D. S. Mulyanto, Taufiq Ismail, Prahara Budaya, 1995, hal. 157.
89
D. S Moeljanto, Taufik Ismail, Ibid, Hal 159

342
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 5
Indonesia Masa Orde Baru

Masa Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Soekarno dapat


dikatakan berakhir dengan munculnya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar), penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat
G30S dan penggantian Kabinet Dwikora, penolakan terhadap Pidato
Nawaksara, aksi-aksi demonstrasi dari mahasiswa, pengumuman
mengenai penyerahan kekuasaan sampai dengan pencabutan
kekuasaan pemerintah dan pengangkatan Soeharto sebagai pejabat
presiden hingga dilaksanakan pemilu. Sejak saat itulah Indonesia
memasuki masa Orde Baru.

5.1. Supersemar
Masa Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Soekarno dapat
dikatakan berakhir dengan munculnya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) di Istana Bogor, Jawa Barat. Supersemar muncul atas
permintaan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang
menyatakan, apabila diberi kepercayaan maka akan mengatasi keadaan
yang pada saat itu mengalami krisis politik yang tidak menentu. Pada
tanggal 11 Maret 1966 Kabinet Dwikora yang dibentuk tanggal 21
Februari 1966 mengadakan sidang paripurna. Sidang bertujuan untuk
mencari jalan keluar dari krisis. Namun sidang diboikot oleh para
demonstran dengan melakukan pengempesan ban-ban modul pada
jalan-jalan yang menuju istana sehingga Presiden Soekarno yang pada
saat itu sedang berpidato memilih untuk meninggalkan sidang dan
pergi menuju Bogor (Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 409-415).

343
Pengayaan Materi Sejarah

Pada saat itu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran),


Brigjen M.Jusuf (Menteri Perindustrian Ringan) dan Brigjen
Amirmachmud sepakat menyusul dengan tujuan untuk memberi
motivasi kepada Presiden Soekarno dan meyakinkan bahwa ABRI
khususnya TNI AD tetap siap sedia mengatasi keadaan asal diberi
kepercayaan penuh. Pada saat itu Jenderal Soeharto sedang sakit dan
menyetujui keberangkatana ketiga perwira tersebut dengan
menyampaikan pesan “Sampaikan saja bahwa saya tetap pada
kesanggupan saya, Beliau akan mengerti”. Di Istana Bogor ketiga
perwira tinggi tersebut mengadakan pembicaraan dengan Presiden
yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chairul
Saleh sampai munculnya Surat Perintah 11 Maret atau Super Semar.
Tindakan pertama yang dilakukan Jenderal Soeharto keesokan
harinya adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung di seluruh wilayah Indonesia
(Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 413). Jika dibaca secara
saksama, Supersemar sama sekali bukan surat pengalihan kekuasaan.
Salinan (copy) Surat Perintah 11 Maret 1966, yang sesuai aslinya,
dimuat di harian Kompas, Senin, 14 Maret 1966, di halaman 3. Itu
sebabnya Presiden Soekarno marah ketika Letjen Soeharto
menggunakan Supersemar untuk membubarkan PKI. Soekarno
mengatakan, Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia
menggenggam Supersemar. Pada 13 Maret 1966, Soekarno mengutus
Wakil PM III Leimena untuk meminta pertanggunganjawaban Soeharto
namun tidak menggubrisnya (Pusaka Indonesia 2015). Dengan SP 11
Maret 1966 secara bertahap dan sistematis, Soeharto memotong pilar-
pilar penopang kekuasaan Presiden Soekarno dengan membentuk
Presidium Kabinet yang langsung ditangani oleh Soeharto. Walau
demikian dalam berbagai kesempatan Soeharto tetap menyebut
Presiden Soekarno tetap pada fungsinya sebagai Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS (Luhulima
2006, 176). Pada tanggal 6 Juli 1966 sidang MPRS menetapkan
kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar melalui ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966.

344
Pengayaan Materi Sejarah

Isi Supersemar dengan tajuk “Presiden memerintahkan Letdjen


Soeharto bertindak menjelamatkan Revolusi” (Kompas 1966) seperti
dapat dilihat pada gambar berikut:

5.2. Dualisme Kepemimpinan


Kabinet yang dibentuk oleh Soeharto tanggal 27 Maret 1966
dilantik pada tanggal 30 Maret 1966, walau Presiden Soekarno tidak
setuju. Ketidaksetujuan muncul karena orang-orang yang dianggap
dekat dengan Presiden diganti dengan wajah baru. Namun pada saat
itu Soeharto tetap mengambil tindakan yang dianggap perlu guna
menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi
(Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 416). Salah satu tindakan
untuk memenuhi dan melaksankan tritura, dibentuklah Kabinet Ampera
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 dengan tugas
pokok memperbaiki kehidupan rakyat serta melaksanakan pemilihan
umum.
Sebelumnya, MPRS yang diketuai oleh Jenderal TNI A.H. Nasution
mengadakan Sidang Umum ke IV pada tanggal 22 Juni 1966, untuk
mendengarkan laporan pertanggungjawaban Presiden yang disebut
Pidato Nawaksara yang berarti sembilan pokok masalah. Dari sembilan
pokok masalah yang disebutkan masalah G30 S tidak disebutkan
sehingga MPRS meminta Presiden untuk melengkapi pidato tersebut.
Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden
masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-
jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS
No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan
seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan
para Panglima Angkatan Bersenjata" (Tempo 1997,
http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm).
Permintaan tersebut dilengkapi dan disampaikan kepada MPRS
oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari 1967 dengan nama
Pelengkap Nawaksara (disingkat: Pel Nawaksara). Namun isi Pel
Nawaksara tersebut tidak membuat konflik mereda, bahkan sebaliknya
cenderung mengarah kepada konflik nasional yang baru sehingga pada
tanggal 9 Februari 1997 DPR-GR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan sidang istimewa.

345
Pengayaan Materi Sejarah

Usaha untuk mengatasi konflik terus dilakukan, Pimpinan ABRI


mengadakan pendekatan pribadi dengan Presiden dan meminta
Presiden sebelum sidang umum MPRS untuk menyerahkan kekuasaan
kepada pengemban Tap No IX/MPRS/1966 untuk mencegah perpecahan
di kalangan rakyat dan juga menyelamatkan lembaga kepresidenan
serta pribadi Presiden (Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 423).
Pada tanggal 16 Februari 1967, Pimpinan MPRS mengeluarkan
Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan
Pidato Nawaksara, yang isinya: Menolak pelengkapan Pidato Nawaksara
yang disampaikan dengan surat Presiden no. 01/PRES./'67 tanggal 10
Januari 1967, sebagai pelaksanaan keputusan MPRS NO.5/MPRS/1966.
Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS
No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa
MPRS (Tempo 1997).
Pada tanggal 19 Februari 1967, Presiden Soekarno meminta
Jenderal Soeharto bersama Panglima Angkatan untuk berkumpul
kembali di Bogor dan menolak menandatangani konsep yang diajukan
oleh Jenderal Soeharto mengenai Pernyataan Presiden berhalangan atau
Presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pemegang
Supersemar. Sore harinya Panglima Angkatan Laut dipanggil oleh
Presiden dan menghadap dengan membawa konsep yang sudah
dipersiapkan. Presiden menyetujui dengan perubahan-perubahan kecil
dan menambah kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi di pasal 3.
Tanggal 20 Februari 1967 Pangal Mulyadi dan Pangak Sucipto dipanggil
menghadap Presiden dan pada hari itu konsep ditandatangani.
Presiden meminta agar diumumkan pada hari Kamis tanggl 23 Februari
19671 (Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 425).
Pada hari Kamis pukul 19.30 bertempat di Istana Negara, dengan
disaksikan Ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden
dengan resmi menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban
Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto. Isi pengumumannya
adalah sebagai berikut:
KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS
MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK
INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi
dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa
dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami,

346
Pengayaan Materi Sejarah

Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi


Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini
menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban
Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi
maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua:
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan
pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu
dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat
Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur
Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan
menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan
tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti
tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa
tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia
dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil
dan Makmur berdasarkan Pancasila (Poesponegoro dan
Notosusanto 1984, Tempo 1997).
Penyerahan kekuasaan ini dimuat dalam Berita Yudha tanggal 23
Februari 1967 dengan tajuk “Presiden serahkan Kekuasaan
Pemerintahan kpd Pengemban SP 11 Maret Djen. Soeharto.” Dapat
dilihat pada gambar berikut:
Akhir kekuasaan Soekarno diperkuat dengan ketetapan MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 melalui sidang istimewa pada 12 Maret 1967 yang
mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sehingga sebagai
simbol pun Soekarno tidak diakui sebagai pemegang kekuasaan
(Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 415).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka turunnya Presiden
Soekarno disebabkan oleh naik turunnya hubungan politik dan pribadi
serta semakin kerasnya tuntutan pada dirinya untuk mengundurkan diri.
Bagi Soekarno keutuhan negara dan terpulihkannya keamanan anak
bangsa adalah segala-galanya. Tiada berarti sebuah kekuasaan jika
disintegrasi dalam kehidupan anak bangsa dibiarkan berlarut-larut
sehingga berakhir pada kesimpulan demi keutuhan kehidupan
berbangsa dan bernegara, sudah waktunya ia mengundurkan diri. Sang
Proklamator menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sebagai

347
Pengayaan Materi Sejarah

Pejabat Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967 dan setahun


kemudian pada tahun 1968 Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia (Kemdikbud 2014, 91)
5.3. Lahirnya Orde Baru
Kutipan dari Pidato Pejabat Presiden Soeharto pada Sidang
Paripurna Kabinet Ampera Tanggal 19 April 1967 menyatakan “Orde
Baru juga bisa diartikan sebagai masyarakat yang tertib dan negara yang
berdasarkan hukum, dimana terdapat keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara mempunyai
pemimpin atau penguasa yang tunduk pada ketentuan yang berlaku
(Soeharto, Pidato Pejabat Presiden: Orde Baru 1967, 7). Hal ini berarti
pemerintah Orde Baru menginginkan penegakan hukum yang berlaku
untuk seluruh warga negara Indonesia dengan diberi contoh oleh
pemimpinnya.
Dalam salah satu pidatonya yang lain, Soeharto menyebutkan
bahwa yang melahirkan Orde Baru adalah untuk melakukan koreksi
secara mendasar terhadap kekeliruan masa lampau. Orde Baru adalah
tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali
pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana
diungkap dalam kutipan berikut:
“Koreksi secara mendasar terhadap kekeliruan masa lampau itulah
yang melahirkan Orde Baru. Ialah, tatanan kehidupan rakyat, bangsa
dan negara yang kita letakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian
Pancasila dan UUD 1945. Sejarah lahirnya Orde Baru ini harus kita
camkan sedalam-dalamnya dalam lubuk hati dan kesadaran kita
semua tanpa kecuali” (Departemen Pertanian 1994, 6).

Masa Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari


kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu di
bidang politik, ekonomi dan budaya pada masa sebelumnya. Menurut
Moertopo (2004, 48) pembangunan pemerintah pada awal Orde Baru
berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada
usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara
dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Hal ini disebabkan karena
adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan
tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun sehingga program

348
Pengayaan Materi Sejarah

pembangunan yang telah direncanakan pemerintah berjalan kurang


lancar.
Penyusunan agenda Orde Baru dibantu oleh militer, hal ini
nampak pada hasil yang dirumuskan pada Seminar II Angkatan Darat
pada bulan Agustus 1966 seperti yang diungkapkan oleh Notosusanto
(1985, 31) mengenai pengertian, ciri-ciri dan hakekat Orde Baru. Orde
Baru menghendaki suatu tata fikir yang lebih realistis dan pragmatis,
walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan anti kolonialisme
dan anti imprealisme. Orde Baru menginginkan suatu tata susunan
yang lebih stabil, berdasarkan kelembagaan dan bukan tata susuna
yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang mengembangkan kultur
individu. Orde Baru menghendaki kepemimpinan dan pemerintahan
yang kuat dalam masa peralihan dan pembangunan, mengutamakan
konsolidasi ekonomi dan sosial dalam negeri, pelaksanaan yang
sungguh-sungguh dan cita-cita demokrasi ekonomi. Orde Baru
merupakan suatu tata kehidupan baru disegala bidang yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

5.4. Politik Indonesia Masa Orde Baru


Setelah Soeharto menjadi pejabat presiden pada tahun 1967,
Nasution dipilih menjadi Ketua MPRS, lembaga tertinggi negara di
Indonesia yang terdiri dari anggota DPR, wakil-wakil golongan
fungsional dan daerah, yang berfungsi memilih presiden dan wakilnya,
mengubah undang-undang dasar serta menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang harus dilaksanakan presiden. Penetapan
GBHN dianggap menjadi ancaman utama bagi Soeharto sehingga Jusuf
Wanandi2 merasa perlu untuk mengingatkan Soeharto untuk hal ini:
“Masalah ini berkisar sekitar Nasution. Saya merasa Nasution
tidak pernah memaafkan Soeharto karena mengambil jabatan
presiden. Mungkin Nasution memiliki ambisi juga, tetapi setelah
Soeharto melakukan konsolidasi kekuatannya pada tahun 1967,
kesempatan Nasution untuk bersaing dengan Soeharto semakin
kecil. Sidang Umum MPRS 1968 menjadi medan pertempuran.
Nasution ingin MPRS mengendalikan Soeharto, dengan
memastikan agar pimpinan MPRS bersama Badan Pekerja MPRS
tetap bekerja dan aktif selama masa kerja mereka, dan menuntut
agar presiden melapor kepada MPR setiap tahun. Menurut alur

349
Pengayaan Materi Sejarah

pemikiran ini, seorang presiden dapat dikendalikan. Kami sebagai


pendukung Soeharto ketika itu menganggap bahwa DPR adalah
lembaga pengawas dan pembuat undang-undang yang bersama
dengan lembaga eksekutif memepersiapkan anggaran belanja
negara. MPRS, menurut kami, hanya berfungsi dan melaksanakan
tugasnya pada sidang umum saja, dan tidak di luar itu. Pimpinan
hanya memimpin sidang, sementara Badan Pekerjalah yang harus
mempersiapkan sejumlah ketetapan yang akan disahkan oleh
MPRS. Tidak lebih, tidak kurang” (Wanandi 2014, 108-109).

Setelah melalui perdebatan panjang di dalam sidang MPRS,


akhirnya pada pukul 03.00 tanggal 8 Maret 1968, Soeharto dilantik
sebagai presiden (Wanandi 2014, 114). Sidang MPRS tahun 1968
dapat dianggap sebagai titik tolak perkembangan politik di era
Soeharto. Untuk pertam kalinya front bersama yang dibentuk tahun
1965 untuk melawan PKI dan Soekarno pecah menjadi dua kubu walau
garis perbedaan di antara kedua kubu itu tidak terlalau jelas karena para
anggotanya selalu berganti keberpihakan yaitu yang mendukung
Presiden Soeharto dan yang menentangnya.
Peristiwa ini juga menjadi awal titik tolak perjuangan politik di
MPRS dan bukan di jalanan maupun melalui gerakan militer. Pertama
kalinya Soeharto mengambil kepemimpinan politik dengan mengambil
kebutusan untuk menolak ususlan Badan Pekerja MPRS berdasarkan
saran kelompoknya. Soeharto melangkah ke MPRS sebagai seoran
neophyte dalam dunia politik, seseorang yang masih baru dan lulus
sebagai politikus penuh dan berhasil mengatasi masalah-masalah politik
yang muncul (Wanandi 2014, 115).
Sesuai dengan amanat MPRS, maka pemilihan umum harus
diselenggarakan dalam tahun 1968 sedang undang-undang yang
mengaturnya belum ada, maka Pejabat Presiden di depan DP-MPRS
pada tanggal 29 Februari 1968 memberikan penjelasan (Poesponegoro
dan Notosusanto 1984, 420). Kemanfaatan dan tujuan pemilihan
umum ialah menciptakan stabilisasi politik untuk melaksanakan wujud
demokrasi yang sehat. Pelaksanaan pemilihan umum paling cepat
dapat diselenggarakan dalam jangka waktu setengah tahun sesudah
diundangkan dengan tujuan untuk menyegarkan DPRGR dan MPRS agar
mendekatkan kedudukannya kepada masyarakat yang diwakilinya serta

350
Pengayaan Materi Sejarah

mencerminkan perkembangan-perkembangan yang terjadi. Dengan


adanya tindakan penyegaran terhadap lembaga-lembaga eksekutif dan
legislatif berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
dimaksudkan agar rencana Pembangunan Nasional mendapat
dukungan luas dari semua lapisan masyarakat 3. Terdapat 3 (tiga)
masalah nasional yang meminta perhatian pada masa transisi ini yaitu
(Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 421):
1. Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional,
menegakkan hukum dan menumbuhkan kehidupan demokrasi
yang sehat sebagai syarat untuk mewujudkan stabilisasi politik.
2. Melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama sebagai
usaha untuk memberi isi kepada kemerdekaan.
3. Tetap waspada terhadap bahaya laten PKI.
4. Peningkatan mutu pegawai serta pemberantasan korupsi.
5. Mengembalikan Kepolisian RI pada fungsinya semula yaitu sebagai
alat ketertiban masyarakat dan penegak hukum.
Setelah Soeharto diangkat sebagai presiden penuh, maka
konsolidasi politik militer semakin mantap. Horald Crouch4 (1986)
dalam (Syabirin 2014, 53-56) mencatat ada beberapa bentuk
konsolidasi yang dilakukan oleh Soeharto yaitu:
1. Menggantikan pimpinan militer di seluruh jajaran ABRI yang
terbukti tidak bersih terhadap gerakan 30 S/PKI baik secara
langsung maupun tidak langsung.
2. Menggeser kaum militan Orde Baru ke posisi yang dipandang
kurang penting supaya tidak mengganggu pelaksanaan strategi
Soeharto dalam melakukan perubahan.
3. Mensentralisasikan organisasi ABRI ke bawah komando tunggal
yaitu Panglima ABRI (Pangab). Sehingga tidak lagi memungkinkan
terjadinya perpecahan dalam angkatan bersenjata. Saat itu
Soeharto selain presiden juga Panglima Kopkamtib dan Pangti ABRI.
4. Mengeliminasi kemungkinan Jendral A.H. Nasution untuk
menduduki posisi puncak dalam militer dan negara dengan cara
mempensiunkan Nasution sesuai dengan usianya memasuki
pensiun.
5. Mendemisionerkan MPRS.

351
Pengayaan Materi Sejarah

Menurut William Liddle5 (1992) dalam (Kasenda 2013, 44-45) ada


tiga pilar utama keabsahan Orde Baru yaitu dwifungsi, Supersemar dan
UUD 1945, seperti yang dijelaskan berikut:
1. Dwifungsi merupakan jaminan bahwa Indonesia akan tetap
menjadi negara Pancasila. Pemimpin ABRI mengklaim sebagai
pembela nasionalisme Indonesia dengan citra lebih dekat dengan
rakyat ketimbang dengan politisi. Sejak kemerdekaan mereka
terpanggil membela kepentingan rakyat dari penyelewengan-
penyelewengan kaum kanan (Islam Politik) dan kaum kiri
(komunisme). Ideologi negara Pancasila sekarang ditafsirkan
dengan pengertian di tengah yang mengandung semua kekuatan
dan tanpa kelemahan kiri maupun kanan.
2. Supersemar adalah dokumen tahun 1966 yang ditandatangani
Presiden Soekarno yang memeberikan wewenang kepada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan
menjaga ketertiban dan mengamnkan Revolusi. Dengan demikian,
dokumen ini menghubungkan Soeharto dengan keabsahan
revolusioner Soekarno sebagai pendiri Republik, membuatnya lebih
dari sekedar seorang jenderal yang berada di tempat yang tepat
dan pada saat yang tepat serta menempatkan dirinya di atas semua
jenderal yang juga merupakan ahli waris dwifungsi.
3. UUD 1945 dengan mengkhususkan lagi status konsitusional MPR
sebagai wujud kedaulatan rakyat dimana pada tahun 1966,
Soeharto mempunyai MPRS, yang mendukung ke arah jalannya
menjadi presiden penuh. Soeharto menciptakan landasan
konstusional kekuasaan yang telah digenggam dan dijalankan sejak
Oktober 1965. Soeharto mengikat diri pada format politik dimana
sebagai Presiden bertanggungjawab kepada MPR dan setiap lima
tahun sekali dipilih kembali oleh mayoritas anggota MPR.

Pada awal Orde Baru muncul kesepakatan masyarakat, partai


politik, ABRI dan pemerintah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Kesepakatan ini disebut sebagai
Konsensus Nasional 6 (Pusat Sejarah dan Tradisi TNI 2000, 186).
Beberapa pendapat tentang tepatnya Konsensus Nasional ini lahir
beragam karena muncul dari dialog masyarakat pada waktu yang tidak
sama. Pendapat Idham Chalid, Harry Tjan Silalahi dan Sunawar
Sukowati menyebutkan bahwa Konsensus Nasional lahir pada masa

352
Pengayaan Materi Sejarah

awal Orde Baru, jadi dalam tahun 1966 atau bulan-bulan pertama
tahun tersebut. A.H. Nasutioan mengatakan bahwa Konsensus
Nasional tersebut dilembagakan dalam TAP MPRS No. XX Tahun 1966,
jadi lahir dalam masa antara terjadinya G.30.S/PKI dan
diselenggarakannya Sidang Umum IV MPRS yakni antara tanggal 1
Oktober 1965 dan tanggal 5 Juli 19667. Konsensus yang dihasilkan ada
dua yaitu:
1. Konsensus Utama yaitu kebulatan tekad masyarakat dan
pemerintah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan kosekuen.
2. Konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsessus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsensus utama
dan tercapai antara partai-partai politik dan pemerintah.
Konsensus kedua dihasilkan kurang lebih 3 tahun dimulai pada
bulan November 1966 ketika pemerintah menyampaikan tiga
rancangan Undang-undang kepada DPRGR yaitu:
a. RUU tentang Kepartaian
b. RUU tentang Pemilihan Umum/anggota-anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. RUU tentang sususnan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

5.5. Pemilihan Umum Masa Orde Baru


Selama pemerintahan Orde Baru telah diselenggarakan 6 (enam)
kali pemilu, yaitu Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987,
Pemilu 1992 dan Pemilu 1997. Keberkalaan pemilu lima tahun sekali
kecuali pada Pemilu 1977 ini secara formal merupakan prestasi luar
biasa. Apalagi dengan adanya tingkat partisipasi hampir mendekati 90
persen pada setiap pelaksanaan pemilu (Kasenda 2013, 11).
Menghadapi pemilihan umum yang pertama, persiapan-persiapan
mulai dilaksanakan. Pada tanggal 23 Mei 1970, Presiden dengan surat
keputusan no. 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat
ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang
diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut dalam pemilu idadalah
partai politik yang sudah ada dan memiliki wakit di DPR/DPRD yaitu:
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Nadhatul
Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), Partai

353
Pengayaan Materi Sejarah

Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Muslimin Indonesia


(Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) ditambah dengan organisasi golongan karya yaitu
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) (Poesponegoro dan
Notosusanto 1984, 427).
Memasuki tahun 1971, suasana politik lebih banyak dicurahkan
kepada kegiatan kampanye menghadapi pemilihan umum yang kedua
dalam sejarah Republik Indonesa dan pertama pada jama Orde Baru.
Menurut data dari Kompas tanggal 9 Agustus 1971, pemilihan umum
kedua yang dilangsungkan pada tanggal 3 Juli 1971 menghasilkan
perhitungan kursi di DPR RI dengan urut-urutan sebagai berikut:
1. Golkar dengan perolehan 227 kursi, 2. NU dengan perolehan 58 kursi
dan 3. PNI dengan perolehan 20 kursi (Poesponegoro dan Notosusanto
1984, 428).
Pada tahun 1971, pemerintah melemparkan gagasan
penyedehanaan partai-partai dengan mengadakan pengelompokan
partai (Poesponegoro dan Notosusanto 1984, 429). Penataan
kehidupan politik serius dilakukan oleh pemerintah karena menurut
penguasa ada tujuh kesalahan partai-partai selama ini, seperti yang
disimpulkan oleh William Liddle (1992) dalam (Syabirin 2014, 57-59)
yaitu:
1. Partai-partai lebih berorientasi kepada ideologi masing-masing
sehingga kemerdekaan terlupakan. Dalam perdebatan konstuante
ada dua aliran besar yang berpolemik yaitu Islam versus sekuler.
2. Partai-partai memperuncing ketegangan ideologi di kalangan rakyat
Indonesia. Dalam memperoleh dukungan, partai politik telah
membersar-besarkan perbedaan budaya yang menyebabkan
kerukunan nasional rusak seperti munculnya di kalangan santri
dengan adanya kelompok tradisional (NU) versus modernis
(Masyumi).
3. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di
didalam masyarakat. Pimpinan partai berupaya mengembangkan
loyalitas anggotanya kepada partai yang mengakibatkan hambatan
pada proses pembangunan.
4. Menurut penilaian militer pada saat itu, pimpinan partai adalah
orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi, kelompok
atau partainya dan tidak berpikir untuk kepentingan umum

354
Pengayaan Materi Sejarah

walaupun sebenarnya loyalitas kepada partai harus berakhir saat


mereka memimpin pemerintahan.
5. Para pemimpin partai terpisah dari pemilih yang mestinya mereka
wakili. Banyak pemimpin partai yang dianggap sebagai kelompok
oportunis dengan mencari keuntungan pribadi atas nama rakyat
pemilih. Pemilih hanya memilih berdasarkan alasan budaya,
loyalitas komunal atau berhunungan saudara dan tokoh karismatik
yang berada di partai tersebut.
6. Kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem tidak terbatas pada partai
saja tapi telah merembet kedalam birokrasi pemerintahan.
Pemerintah kemudaian membelakukan kebijakan pmembersihkan
birokrasi dari bias politik.
7. Dalam pandangan penguasa sistem banyak partai sebagai sebab
utama ketidaksabilan politik selama ini. Karena itu sistem banyak
partai dianggap tidak cocok dengan UUD 1945 dan kepribadian
Indonesia.
Partai-partai yang dibiarkan berdiri mendapat pengawasan ketat
dari pemerintah. Pimpinan partai yang dianggap telah ternoda oleh
ideologi Orde Lama diganti dengan generasi muda yang bersih. Partai
politik sudah diformat sesuai dengan semangat pemerintah dalam
pemilu 1971 ternyata sangat lemah dan tidak berdaya. Dengan
demikian penyederhanaan partai ke dalam dua kelompok partai sebagai
pendamping Golkar semakin mantap, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai fusi dari 4 partai Islam (NU, Parmusi, Perti
dan PSII) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai fusi dari partai-
partai sekuler dan Kristen (PNI, Parkindo, Murba, IPKI dan Katolik)
(Syabirin 2014, 62). Sistem pemilu selama Orde Baru dapat dilihat pada
penjelasan berikut ini (Komisi Pemilihan Umum 2010, 6-11):
1. Pemilu 1971
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan
bangsa Indonesia. Pemilu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan
Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa.
Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan
untuk memilih Anggota DPR.

355
Pengayaan Materi Sejarah

b. Sistem Pemilu
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya
kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang
dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan
suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
c. Asas Pemilu
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
dan rahasia (LUBER).
1) Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan
suaranya menurut hati nuraninya, tanpa perantara, dan tanpa
tingkatan.
2) Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi
persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan
dipilih.
3) Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan
pilihannya menurut hati nuraninya, tanpa ada pengaruh,
tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
4) Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara
dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara
apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
d. Dasar Hukum
1) TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
2) TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
3) UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-
Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
4) UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD.
e. Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 3
Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang
keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan
Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan
Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia
Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut
Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia

356
Pengayaan Materi Sejarah

Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia


Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan
dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri
dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan
Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara
(adhoc).
f. Peserta Pemilu
1) Partai Nahdlatul Ulama
2) Partai Muslim Indonesia
3) Partai Serikat Islam Indonesia
4) Persatuan Tarbiyah Islamiiah
5) Partai Nasionalis Indonesia
6) Partai Kristen Indonesia
7) Partai Katholik
8) Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
9) Partai Murba
10) Sekber Golongan Karya

2. Pemilu 1977
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu kedua pada pemerintahan Orde Baru ini diselenggarakan
pada tanggal 2 Mei 1977.
b. Sistem Pemilu
Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga
menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
c. Asas Pemilu
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
dan rahasia.
d. Dasar Hukum
1) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Bidang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum
dan Hubungan Luar Negeri.
2) Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.

357
Pengayaan Materi Sejarah

3) Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan


Golongan Karya.
4) Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di daerah.
5) Undang-undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
6) Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
e. Penyelenggara Pemilu
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu
yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan pada
tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di
kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di
esa/kelurahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar
negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara
(adhoc).
f. Peserta Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta
Pemilu 1971 sehingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu,
yaitu :
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan
fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
2) Golongan Karya (GOLKAR).
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi/penggabungan
dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.

3. Pemilu 1982
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada
pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal
4 Mei 1982
b. Sistem Pemilu
Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan
dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan
sistem perwakilan berimbang (proporsional).
c. Asas Pemilu
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas,
dan Rahasia.

358
Pengayaan Materi Sejarah

d. Dasar Hukum
1) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978
Tentang Pemilu.
2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan
Umum.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
e. Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan
struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari
PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan PPS
serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
f. Peserta Pemilu
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
2) Golongan Karya (Golkar).
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

4. Pemilu 1987
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada
tanggal 23 April 1987.
b. Sistem Pemilu
Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama
dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1982, yaitu
menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
c. Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
dan rahasia.

d. Dasar Hukum
1) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
2) UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor
15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.

359
Pengayaan Materi Sejarah

3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti


Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
e. Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan
struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari
PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan
KPPSLN.
f. Peserta Pemilu
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
2) Golongan Karya (Golkar).
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

5. Pemilu 1992
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada
tanggal 9 Juni 1992.
b. Sistem Pemilu
Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama
dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
c. Asas Pemilu
Pemilu 1992 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia
d. Dasar Hukum
1) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilu.
2) UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor
15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990
e. Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan
struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari
PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan
KPPSLN.

360
Pengayaan Materi Sejarah

f. Peserta Pemilu
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
2) Golongan Karya (Golkar).
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

6. Pemilu 1997
a. Tanggal Pelaksanaan
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan
pada tanggal 29 Mei 1997.
b. Sistem Pemilu
Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama
dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1992, yaitu
menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
c. Asas Pemilu
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
dan rahasia
d. Dasar Hukum
1) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1993 tentang Pemilu.
2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan
Umum.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
e. Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan
struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari
PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan
KPPSLN.
f. Peserta Pemilu
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
2) Golongan Karya (Golkar).
3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

361
Pengayaan Materi Sejarah

Secara ringkas, sistem pemilihan umum mulai tahun 1971 s.d.


1997 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Pemilihan Umum Masa Orde Baru
Tahun 1971 1977 1982 1987 1992 1997

Tang- 5 Juli 1971 2 Mei 1977 4 Mei 1982 23 April 1987 9 Juni 1992 29 Mei 1997
gal
Pelak-
sanaan
Sistem Sistem Perwakilan Berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel
Pemilu

Asas Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER)


Pemilu
Dasar 1) TAP MPRS No. 1) Ketetapan 1) Ketetapan 1) Ketetapan 1) Ketetapan 1) Ketetapan
Hukum XI/MPRS/1966 MPR MPR MPR MPR MPR Nomor
Nomor Nomor Nomor Nomor II/MPR/1993
2) TAP MPRS No.
IV/MPR/19 IV/MPR/19 II/MPR/198 II/MPR/198 tentang
XLII/MPRS/196
6 73 78 tentang 3 tentang 8 tentang GBHN dan
tentang Garis-Garis GBHN dan GBHN dan Ketetapan
3) UU Nomor 15 Garis-garis Besar Ketetapan Ketetapan MPR Nomor
Tahun 1969 Besar Haluan MPR MPR III/MPR/1993
tentang Haluan Negara Nomor III/ Nomor tentang
Pemilihan Negara dan III/MPR/198 Pemilu.
Umum Bidang Ketetapan MPR/1983 8 tentang
Anggota- MPR tentang Pemilu. 2) Undang-
Anggota 2) Politik, Nomor Pemilihan undang
Badan Aparatur VII/MPR/19 Umum. 2) UU Nomor Nomor 5
Permusyawara Pemerinta 1 Tahun Tahun 1996
78 Tentang 2) UU Nomor
tan/ h, Hukum 1980 tentang
Pemilu. 1 Tahun
Perwakilan dan tentang Pemilihan
Rakyat. Hubungan 2) Undang- 1980 Perubahan Umum.
Luar undang tentang Atas UU
4) UU Nomor 16 Perubahan 3) Peraturan
Tahun 1969 Negeri Nomor 2 Nomor 15
Tahun Atas UU Tahun Pemerintah
tentang 3) Ketetapan Nomor 15 Nomor 35
Susunan dan 1980 1969
MPR tentang Tahun sebagaima Tahun 1985
Kedudukan
Nomor Pemilihan 1969 na telah tentang
MPR, DPR,
VIII/MPR/1 Umum. sebagaima diubah Pelaksanaan
dan DPRD.
973 na telah dengan UU Undang-
tentang 3) Peraturan diubah Nomor 4 Undang
Pemilihan Pemerintah dengan UU Tahun Nomor 16
Umum. Nomor 41 Nomor 4 1975 dan Tahun 1969
Tahun Tahun UU Nomor tentang
4) Undang- 1980 1975 dan Susunan
undang 2 Tahun
sebagai UU Nomor 1980. dan
Nomor pengganti 2 Tahun Kedudukan
3/1975 Peraturan 3) Peraturan Majelis
Tentang Pemerintah 1980. Pemerintah Permusya-
Partai Nomor 1 Nomor 35 waratan
Politik dan 3) Peraturan
Tahun Pemerin- Tahun Rakyat,
Golongan

362
Pengayaan Materi Sejarah

Tahun 1971 1977 1982 1987 1992 1997


Karya. 1976. tah Nomor 1985. Dewan
41 Tahun Perwakilan
5) Undang- 1980 4) Peraturan Rakyat, dan
undang sebagai Pemerin- Dewan
Nomor pengganti tah Nomor Perwakilan
5/1974 Peraturan 43 Tahun Rakyat
tentang Pemerin- 1985 Daerah
Pokok- tah Nomor sebagaima-
pokok 5) Peraturan
1 Tahun Pemerin- na telah
Pemerin- 1976. diubah
tahan di tah Nomor
37 tahun dengan
daerah. Undang-
1990
6) Undang- Undang
undang Nomor 5
Nomor Tahun 1975
8/1974 dan
tentang Undang-
Pokok- Undang
pokok Nomor 2
Kepegawa Tahun 1985
i-an.
7) Undang-
undang
Nomor
5/1979
tentang
Pemerinta
h-an Desa.

Penye- Lembaga Badan Penyelenggara Pemilu


lenggara Pemilihan Umum
Pemilu (LPU)

Peserta 1) Partai 1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP)


Pemilu Nahdlatul
Ulama 2) Golongan Karya (GOLKAR).

2) Partai Muslim 3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)


Indonesia
3) Partai Serikat
Islam
Indonesia
4) Persatuan
Tarbiyah
Islamiiah
5) Partai

363
Pengayaan Materi Sejarah

Tahun 1971 1977 1982 1987 1992 1997


Nasionalis
Indonesia
6) Partai Kristen
Indonesia
7) Partai Katholik
8) Partai Ikatan
Pendukung
Kemerdekaan
Indonesia
9) Partai Murba
10) Sekber
Golongan
Karya
Sumber: (Komisi Pemilihan Umum 2010, 6-11)

Hasil pemilihan umum sejak tahun 1971 s.d 1992 dapat dilihat
pada gambar berikut:

Sumber: Syafii Anwar (1995) dalam (Syabirin 2014, 62)

5.6. Rencana Pembangunan Lima Tahun


Pada masa pemerintahan Orde Baru pembangunan di Indonesia
dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I (1 April 1969),
yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola

364
Pengayaan Materi Sejarah

Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-


1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan
dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan
Lima Tahun). Repelita I dimulai dari tahun 1969/1970 s.d. 1973/1974,
Repelita II dimulai tahun 1974/1975 s.d. 1978/1979, Repelita III Tahun
1979/1980 s.d. 1983/1984, Repelita IV tahun 1984/1985 s.d.
1988/1989, Repelita V Tahun 1989/1990 s.d. 1993/1994 dan Repelita
VI dari tahun 1994/1995 s.d. 1998/1999 (Bappenas 2009,
http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-utama/dokumen
perencanaan-dan-pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-lima-
tahun-repelita/).
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I 1969-1973
termuat dalam buku I, II dan III, merupakan landasan dan pedoman
bagi Pemerintah dalam melaksanakan Pembangunan Lima Tahun seperti
yang ditugaskan oleh MPRS (Lampiran Keputusan Presiden RI No. 319
1968, Pasal 1). Repelita I bertujuan untuk menaikkan taraf kehidupan
rakyat banyak dan yang sekaligus meletakkan dasar-dasar yang kuat
bagi Pembangunan Nasional dan disusun dengan pendekatan yang
realistis dan pragmatis serta berlandaskan pada aspirasi-aspirasi rakyat.
Sasaran pembangunan yang hendak dicapai adalah pangan, sandang,
perbaikan prasarana, perusamahan rakyat, perluasaan lapangan
pekerjaan dan kesejahteraan rohani.
Dalam melaksanakan pembangunan ini maka titik beratnya
dipusatkan pada bidang pertanian dengan berdasarkan pada strategi
pembangunan untuk mendobrak keterbelakangan ekonomi. Keadaan
iklim, tanah dan persediaan tenaga kerja serta adanya teknologi, bibit
dan cara-cara baru dalam pertanian dapat berpengaruh besar pada
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peningkatan produksi pertanian tidak
terbatas pada peningkatan jumlah beras tetapi juga peningkatan mutu
dan produksi perkebunan yang dapat dieskpor sehingga dapat
menambah devisa. Hasil devisa dapat digunakan untuk mengimpor
barang-barang modal dan alat-alat perlengkapan yang berguna bagi
pembangunan.
Strategi pembangunan Repelita I meliputi tiga pokok bidang yang
strategis yaitu pertanian, industri dan pertambangan serta prasarana,
dimana pertumbuhan masing-masing sektor akan saling terkait
sehingga akan bermuara pada kebutuhan tenaga kerja serta tenaga ahli.

365
Pengayaan Materi Sejarah

Dalam usaha meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi


pengangguran, maka pemerintah melakukan program-program seperti
transmigrasi dan usaha bantuan pangan dari luar negeri untuk upah
kerja. Program lainnya adalah keluarga berencana untuk mengurangi
kecepatan pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesehatan
masyarakatnya. Prioritas lainnya adalah perencanaan pendidikan yang
disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan (Lampiran Keputusan
Presiden RI No. 319 1968). Perhatian yang sama besarnya diberikan
pada bidang agama, hukum, dan ekonomi sehingga setiap warga
negara dapat maju ekonominya, sehat jasmani dan rohanai,
berpendidikan dan beragama serta dapat menumbuhkan kesadaran
hukum, dan mendapatkan jaminan dan kepastian hukum.
Repelita II dimulai dari tahun 1974 dengan dikeluarkannya Kepres
No. 11 Tahun 1974 tentang Repelita II 1974/75 – 1978/79. Pada saat
pelaksanaan Repelita I berakhir dengan segala hasil jerih payah yang
dicapai saat itu, maka terbukalah kesempatan baru yang lebih luas bagi
rakyat Indonesia untuk melanjutkan langkah perjuangan dalam
pembangunan bangsa dan negara (Lampiran Keputusan Presiden
Nomor 11 1974). Tujuan Repelita II adalah meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang kuat
untuk thap berikutnya. Selain itu di Repelita II digarap masalah-masalah
yang belum dapat diselesaikan pada saat Repelita I seperti perluasan
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pembagian hasil
pembangaunan, perbaikan struktur pasar yang masih pincang,
peningkatan laju perkembangan ekonomi di wilayah transmigrasi,
peningkatan partisipasi rakyat melalui koperasi, masalah pendidikan
serta masalah sosial lainnya.
Perencanaan dan pelaksanaan program-program di Repelita II
dijiwai oleh lima azas pembangunan nasional yang ditetapkan dalam
GBHN yaitu azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, demokrasi,
adil dan merata serta perikehidupan dalam keseimbangan. Dengan
memperhatikan azas-azas tersebut maka pembangaungan nasional
tidak akan sekedar diarahkan kepada tercapainya hasil-hasil fisik dan
kesejahteraan material semata tetapi juga pembinaan faktor manusianya
dengan bersumber pada tata dasar dan falsafah hidup bangsa yaitu
Pancasila. Di Repelita II selain memantapkan stabilitas ekonomi juga
memantapkan stabilitas di bdiang politik.

366
Pengayaan Materi Sejarah

Kelangsungan dan pemantapan stabilitas politik akan terjamin,


apabila aspirasi dan cita-cita bangsa serta cara-cara mencapai cita-cita
itu dapat dilaksanakan berdasarkan kesepatan dan keputusan bersama
dari seluruh bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (Lampiran
Keputusan Presiden Nomor 11 1974, 28). Pembinaan hubungan
fungsionil antara lembaga Tertinggi Negara dapat berfungsi dengan
baik demi keserasian dan kedayagunaan hubugan antara MPR dengan
Presiden selaku Mandararis MPR serta hubungan Presiden dengan
lembaga tinggi lainnya. Peningkatan partisipasi Rakyat dilakukan juga
termasuk ABRI sebagai kekuatan sosial dalam pelaksanaan tugas-tugas
nasional, dengan melaksanakan inti terpenting dari Demokrasi Pancasila
yaitu keikutsertaan rakyat.
Bertolak dari hasil-hasil yang telah dicapai dalam Repelita I dan
kesinambungan pembangunan yang telah menjadi patokan, maka
dalam Repelita II telah ditingkatkan hasil-hasil positif yang telah dicapai
selama Repelita I sambil menyempurnakan kekurangan-kekurangan dan
sejauh mungkin menghindarkan akibat-akibat negatif yang timbul
bersama dengan hasil-hasil tersebut. Dengan memperhatikan hasil-hasil
pembangunan yang dicapai dalam Repelita II, maka terciptalah keadaan
yang mantap untuk memulai Repelita III pada 1 April 1979 sampai
dengan 31 Maret 1984 (Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 7
1979, 18). Berbagai bidang yang belum sepenuhnya dapat dipecahkan
dalam Repelita II seperti peningkatan laju pembangunan ,di daerah-
daerah tertentu, peningkatan kemampuan yang lebih cepat dari
golongan ekonomi lemah, pembinaan koperasi, peningkatan produksi
pangan dan kebutuhan pokok lainnya, transmigrasi, perumahan,
perluasan fasilitas pendidikan, perawatan kesehatan dan berbagai
masalah sosial lainnya akan diberikan perhatian yang lebih mendalam di
Repelita III. Tujuan Repelita III adalah:
1. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
seluruh rakyat yang makin merata dan adil.
2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan
berikutnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut dan berpegang teguh kepada
petunjuk GBHN, maka pelaksanaan Repelita III dilanjutkan dengan
berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yang meliputi:

367
Pengayaan Materi Sejarah

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada


terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dalam Repelita III pemerataan pembangunan dan pembagian
hasilnya akan tercermin pada setiap kebijaksanaan pembangunan yang
menuju terciptanya keadilan sosial dan dituangkan dalam 8 (delapan)
jalur pemerataan, yaitu (Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 7 1979,
21):
1. pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak,
khususnya pangan, sandang dan perumahan;
2. pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan;
3. pemerataan pembagian pendapatan;
4. pemerataan kesempatan kerja;
5. pemerataan kesempatan berusaha;
6. pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
7. pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah
air;
8. pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pemerintah melakukan langkah-langkah pemerataan di seluruh
wilayah Indonesia terutama untuk pangan dengan mengusahakan
tersedianya 9 bahan pokok dengan harga yang stabil dan terjangkau
oleh rakyat banyak terutama peningkatan jumlah produksi beras dan
perbaikan gizi. Bidang pertanian masih menjadi prioritas utama di
Repelita III dengan usaha peningkatan hasil produksi beras per hektar
tanah. Selain kebutuhan pangan, kebutuhan sandang diyakini akan
terpenuhi dari produksi dalam negeri sementara untuk memenuhi
kebutuhan perumahan, pemerintah menyediakan kemudahan dalam
membangun perumahan rakyat yang sederhana, murah dan yang dapat
menjamin kesehatan serta kesejahteraan keluarga melalui PERUMNAS.
Pemerataan di bidang pendidikan dititikberatkan pada perluasan
pendidikan dasar dengan program wajib belajar dengan menambah
kesempatan belajar pada tingkat SD/MI sehingga seluruh anak usia 7-12
tahun dapat mengikuti proses belajar di SD/MI. Selain itu dibuat
program pemberantasan buta huruf dan program kerja sambil belajar

368
Pengayaan Materi Sejarah

sehingga orang dewasa yang kurang mendapat pendidikan dapat


menambah keterampilan kerjanya. Dalam bidang kesehatan,
pemerintah akan menambah Puskesmas dengan pembagian 1
puskesmas untuk 30.000 penduduk. Selain itu juga dibangun Rumah
Sakit Umum bagi kabupaten/kotamadya yang belum memiliki rumah
sakit.
Pemerataan pendapatan dilakukan pemerintah dengan melakukan
usaha-usaha guna mempertinggi penghasilan kelompok masyarakat
dengan mata pencaharian yang mempunyai pengasilan yang rendah
sehingga mengurangi ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.
Kebijakan dan langkah-langkah kegiatan akan diarahkan kepada
terwujudnya pola hidup sederhana dan rasional ekonomis yaitu tatanan
hidup bermasyarakat dan lingkungan sehari-hari, saling tenggang rasa
dengan menyesuaikan pendapatan dan kebutuhan secara rasional.
Pemerataan pendapatan untuk petani dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada petani unutk mengusai tanah pertanian yang
diperlukan mulai dari hak sewa sampai dengan hak milik. Untuk
mendukung hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
terkait dengan ketentuan hak atas tanah sehingga memberikan
kepastian hukum bagi pemilik tanah terutama petani (Lampiran
Keputusan Presiden RI Nomor 7 1979).
Prioritas lainnya dalam Repelita III adalah pemerataan kesempatan
kerja dengan mempercepat pertumbuhan lapangan kerja. Perluasan
kesempatan kerja merupakan kebutuhan yang mendesak sehingga
diperlukan berbagai kebijakan yang dapat menciptakan kegiatan kerja,
pembangunan industri, pembangunan sarana dan prasaran, pemilihan
teknologi tepat guna dan lain sebagainya sehingga dapat mengurangi
pengangguran. Penekanan kebijaksanaan kesempatan kerja ditekankan
pada Proyek Padat Karya Gaya Baru yang bertujuan untuk memperluas
kesempatan kerja produktif dalam pembangunan atau rehabilitasi
sarana ekonomi yang akan dilaksanakan di kecamatan-kecamatan yang
tergolong miskin dan relatif padat penduduk.
Program transmigrasi tetap dilakukan yang bertujuan untuk
meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga kerja, pembukaan dan
pengembangan daerah produksi serta pertanian batu dalam rangka
pembangunan daerah. Penyelenggaraan transmigrasi bersifat lintas
sektoral sehingga pemerintah dapat melakukan persiapan dengan

369
Pengayaan Materi Sejarah

matang mengenai penyediaan tanah garapan, penyelesaian masalah


kepemilikan tanah serta pembangunan yang mencukupi.
Kesempatan berusaha dilakukan pemerintah dengan menciptakan
iklim yang sehat seperti mengusahakan ketentraman dan keaman usaha
serta menyederhanakan prosedur perijinan terutama untuk pengusaha
kecil golongan ekonomi lemah. Para pengusaha akan dibantu dengan
penataran dan konsultasi dan dengan penyediaan kredit dengan syarat
ringan. Pemasaran produknya pun dikembangkan organisasi
pemasaran (trading house). Pemasaran produk dilakukan melalui
koperasi, sehingga pemerintah membentuk Koperasi Unit Desa (KUD)
yang dibantu oleh manajer yang berwirausaha dan pembantu manajer
yang terampil.
Pemerintah di Repelita III melakukan pula pemerataan kesempatan
berpartisipasi bagi generasi muda dan perempuan. Generasi muda dan
perempuan akan diberikan penyuluhan-penyuluhan yang mampu
memberdayakan diri sendiri sehingga dapat memainkan peranannya
secara langsung di berbagai bidang. Peranan masyarakat terutama
generasi muda dan wanita dapat membantu pemerintah dalam usaha
untuk melakukan pemerataan penyebaran pembangunan ke seluruh
tanah air. Pembangunan di desa dan kota akan berjalan seimbang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Pembangunan
dalam Repelita III diutamakan untuk daerah-daerah terbelakang, minus
dan padat penduduk.
Pemerataan penyebaran pembangunan di Indonesia masih
dipusatkan pada bidang pertanian dengan melakukan kegiatan
intensifikasi dan diversifikasi pertanian tanaman pangan dan juga
pembangunan industri yang disesuaikan dengan prioritas dan
kebutuhan pembangunan daerah. Industri akan dibangun di daerah
tertentu. Target Repelita III adalah menyelesaikan pembangunan
kawasan industri di Ujung Pandang dan Medan. Selain itu akan
dikembangkan pula Pusat Pengembangan Industri Kecil (PPIK) sebagai
sarana pembinaan industri kecil dan program listrik pedesaan (Lampiran
Keputusan Presiden RI Nomor 7 1979).
Dalam hal pemerataan kesempatan memperoleh keadilan,
pemerintah melakukan pembangunan dan pembinaan bidang hukum
sehingga dapat tercipta ketertiban dan kepastian hukum untuk
memperlancar pelaksanaan pembangunan. Untuk itu pemerintah

370
Pengayaan Materi Sejarah

membentuk Pengadilan Negeri di setiap Kotamadya/Kabupaten dan


Penadilan Tinggi di setiap Provinsi sehingga kesadaran hukum alam
masyarakat akan ditingkatkan serta dilakukan sikap penegak hukum ke
arah tegaknya hukum, keadilan, perlindungan harkat dan martabat
manusia, ketertiban dan kepastian hukum.
Berdasarkan hasil-hasil pembangunan dalam Repelita III serta
belajar dari pengalaman berharga selama Repelita I, II dan III yang
sudah dilaksanakan dan sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN,
maka tujuan pembangunan Repelita IV adalah meningkatkan traf hidup,
kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan
adil, serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan
berikutnya (Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 21 1984, 17).
Sasaran pembangunan Repelita IV sesuai dengan Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang diletakkan pada pembangunan bidang
ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan
usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik
industri berat maupun ringan yang akan terus dikembangkan dalam
Repelita-repelita selanjutnya.
Masalah yang belum dapat dipecahkan dalam Repelita III seperti
masalah peningkatan laju pembangunan di daerah-daerah tertentu,
peningkatan produksi pangan dan kebutuhan pokok lainnya,
peningkatan kemampuan golongan ekonomi lemah, Koperasi,
Kependudukan, pemilikan dan penggunaan tanah, transmigrasi,
perumahan, perluasan fasilitas dan peningkatan mutu pendidikan,
pelayanan kesehatan dan gizi, pembinaan hukum, ketertiban
masyarakat, kelestarian lingkungan hidup serta masalah-masalah lain di
berbagai bidang pembangunan akan berusaha diselesaikan di Repelita
IV ini.
Trilogi pembangunan masih akan dilanjutkan seperti pada
Repelita-repelita sebelumnya dengan memeperluas delapan jalur
pemerataan yang sudah dijalankan pada Repelita III, sehingga secara
keseluruhan keadilan sosial akan mendapat perhatian yang lebih besar
dalam Repelita IV. Selain itu, pelaksanaan pembangunan nasional harus
berjalan bersama-sama dengan pembinaan dan pemeliharaan stabilitas
nasional terutama di bidang politik, sosial dan ekonomi. Stabilitas
nasional merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan keberhasilan

371
Pengayaan Materi Sejarah

pelaksanaan pembangunan nasional sehingga tercipta stabilitas


nasional yang sehat dan dinamis (Lampiran Keputusan Presiden RI
Nomor 21 1984, 20).
Stabilitas di bidang politik akan dimantapkan melalui usaha-usaha
dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dengan
cara seluruh organisasi sosial politik serta organisasi kemasyarakatan
hanya menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas berorganisasi.
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
yang mulai dilaksanakan sejak Repelita III akan ditingkatkan dan
diperluas pemasyarakatannya sehingga akan meningkat pula kesadaran
politik masyarakat, setiap warga negara, partai politik dan Golkar,
organisasi kemasyarakatan serta seluruh pemerintahan. Peningkatan
kesadaran politik oleh seluruh masyarakat merupakan salah satu kunci
pokok bagi pemantapan stabilitas politik.
Kemantapan di bidang stabilitas ekonomi merupakan prasyarat
bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Repelita IV akan melanjutkan
dan meningkatkan kebijaksanaan ekonomi yang selama ini telah berhasil
baik seperti anggaran belanja yang berimbang dan dinamis, tersedianya
barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang cukup tersebar dan
merata dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak,
keseimbangan moneter serta hal lainnya yang akan disempurnakan dan
dipadukan dengan usaha-usaha yang mendorong pemerataan dan laju
pembangunan pada umumnya. Pengendalian tingkat laju inflasi akan
dilakukan dengan perkiraan laju inflasi rata-rata sekitar 8% setahun 8.
Sesuai dengan GBHN, maka Pembangunan Jangka Panjang (PJP)
25 tahun pertama akan dirampungkan dengan selesainya pelaksanaan
Repelita V. Repelita V merupakan pencapaian sasaran untuk
menciptakan tahapan tinggal landas mulai Repelita VI. Tinggal landas
dapat diartikan sebagai suatu proses panjang yang berkesinambungan
yang akhirnya akan membawa bangsa Indonesia pada tujuan
pembangunannya. Dalam masa tinggal landas bangsa Indonesia secara
berangsur-angsur dan kecepatan yang semakin meningkat, makin
mengembangkan dan memantapkan ciri-ciri suatu negara dan
masyarakat yang maju, adil, makmur, lestari dan tetap berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 13
1989, 19-20).

372
Pengayaan Materi Sejarah

Permasalahan pokok yang dihadapi dalam Repelita V adalah


bagaimana melakukan pemantapan, konsolidasi dan peningkatan
pembangunan di setiap bidang kehidupan bangsa agar bangsa
Indonesia siap untuk memasuki awal dari tahap tinggal landas dalam
Repelita VI. Masalah yang paling mendesak pada Repelita V khusus di
bidang ekonomi yaitu penyediaan lapangan kerja produktif dalam
jumlah yang cukup dan merata bagi angkatan kerja yang terus
meningkat. Untuk mencapai sasaran ini, maka selama Repelita V
diusahakan laju pertumbuhan ekonomi yang memadai dan sekaligus
disertai dengan pemerataan yang makin meluar, stabilitas yang makin
mantap, pola penyerapan tenaga kerja yang makin serasi antar sektor,
antara kegiatan dan antar daerah, serta perubahan struktur ekonomi
yang makin seimbang.
Seperti digariskan oleh GBHN, dalam Repelita V pelaksanaan
kebijaksanaan pembangunan akan tetap bertumpukan pada Trilogi
Pembangunan. Kerangka kebijaksanaan pembangunan seperti diuraikan
di atas merupakan upaya untuk memadukan pertumbuhan ekonomi
dan transformasi struktur ekonomi dengan pe-merataan pembangunan
khususnya melalui penciptaan lapangan kerja produktif yang makin luas
dan merata, dengan pengembangan sumber daya manusia sebagai satu
wahana sentralnya. Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tersebut
akan didukung oleh program-program yang secara langsung
menunjang tercapai-nya pemerataan pembangunan di berbagai bidang
seperti penyediaan pangan, sandang, perumahan, pendidikan,
kesehatan, dan kesempatan berusaha. Dalam hubungan ini program-
program pemerataan yang telah dilaksanakan dalam Repelita IV akan
dilanjutkan dan disempurnakan pelaksanaannya. Sementara itu dalam
kaitan dengan aspek stabilitas, kebijaksanaan fiskal, moneter dan neraca
pembayaran yang dalam Repelita IV telah berhasil memelihara dan
mengamankan stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis, akan
dilanjutkan pelaksanaannya dalam Repelita V9.
Repelita VI merupakan awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP)
25 tahun kedua yang merupakan proses kelanjutan, peningkatan,
perluasan dan pembaharuan dari PJP 25 Tahun pertama dan bertujuan
untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir
batin sebagai lamdasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Titik berat PJP

373
Pengayaan Materi Sejarah

kedua diletakkan pada bidang ekonomi yang merupakan penggerak


utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia
dan didorong untuk saling memperkuat, terkait dan terpadu dengan
pembangunan bidang-bidang lain yang dilaksanakan seirama, selaras
dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam
rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional (Lampiran
Keputusan Presiden RI Nomor 17 1994, 33-36).
Tujuan pembangunan Lima Tahun Keenam adalah (Lampiran
Keputusan Presiden RI Nomor 17 1994, 47):
1. Menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan
masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas sumber
daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang
lebih selaras, adil, dan merata.
2. Meletakkan landasan pembangunan yang mantap untuk tahap
pembangunan berikutnya.
Sasaran Umum Pembangunan Lima Tahun Keenam adalah
tumbuhnya sikap kemandirian dalam diri manusia dan masyarakat
Indonesia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas
rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan
kesejahteraan lahir batin. Dengan ditetapkannya bidang ekonomi
sebagai titik berat yang merupakan penggerak utama Pembangunan
Jangka Panjang Kedua, seiring dengan kualitas sumber daya manusia,
maka prioritas Pembangunan Lima Tahun Keenam adalah
pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan
antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dikembangkan
sebagai berikut (Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 17 1994, 48):
1. Penataan industri nasional yang mengarah pada penguatan dan
pendalaman struktur industri yang didukung kemampuan teknologi
yang makin meningkat; peningkatan ketangguhan pertanian;
pemantapan sistem dan kelembagaan koperasi; penyempurnaan
pola perdagangan, jasa dan sistem distribusi; pemanfaatan secara
optimal dan tepat guna faktor produksi dan sumber daya ekonomi
serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prasyarat
terbentuknya masyarakat industri yang menjamin peningkatan
keadilan, kemakmuran, dan pemerataan pendapatan serta
kesejahteraan rakyat, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

374
Pengayaan Materi Sejarah

2. Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat


kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi
melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional
yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan
perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang
pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang makin mantap.
Berdasarkan sasaran umum di atas maka sasaran bidang
pembangunan dalam Repelita VI tetap diprioritaskan pada bidang
ekonomi; kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan; agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa; ilmu pengetahuan dan
teknologi, hukum, politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi
dan media massa; serta pertahanan keamanan dengan kebijaksanaan
pembangunan tetap pada Trilogi Pembangunan. Pembangunan
nasional disesuaikan dengan perubahan dan gejolak dunia sehingga jika
ditemukan kendala maka antisipasi dan penanganannya dapat
dilakukan sedini mungkin.
Pembangunan nasional difokuskan pada kegiatan produksi
barang dan jasa yang dibutukan masyarakat, peningkatan industri,
pertanian yang makin maju dan efisien, penciptaan dan perluasan
lapangan kerja, perdaganan dalam negeri, sistem transportasi sebagai
urat nadi kehidupan ekonomi, pos dan telekomunikasi yang mendukung
kegiatan pembangunan, pariwisata untuk meningkatkan devisa,
optimalisasi kekayaan alam yang potensial, energi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, kehutanan, pembangunan daerah sebagai
bagian integral pembangunan nasional, program transmigrasi, kelautan,
kedirgantaraan, koperasi, sektor keuangan terutama investasi modal
asing dan dalam negeri, kesejahteraan rakyat, pendidikan nasional,
kebudayaan nasional, kesehatan, keluarga sejahtera, kependudukan,
pembinaan generasi muda dan wanita, perumahan dan pemukiman,
olahraga, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, ilmu
pengetahuan dan teknologi, hukum, otonomi daerah, politik, aparatur
negara, serta pembangunan pertahanan dan keamanan10.

5.7. Orde Pembangunan


Keberhasilan pembangunan masa Orde Baru tertuang dalam
Repelita VI pada Bab 2 tentang Hasil Pembangunan Jangka Panjang
Pertama. Sasaran utama PJP I adalah terciptanya landasan yang kuat

375
Pengayaan Materi Sejarah

bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan


sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Dalam pelaksanaannya, titik berat pembangunan diletakkan
pada bidang ekonomi dengan sasaran utama untuk mencapai
keseimbangan antara bidang pertanian dan bidang industri, serta
terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat (Lampiran Keputusan Presiden RI
Nomor 17 1994, 80). Sasaran pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bidang Ekonomi selama 25 tahun pertama masa Orde Baru telah
dengan pesat mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi
terpimpin menjadai ekonomi yang terbuka dan penerapan prinsip
anggaran berimbang dan dinamis, sistem devisa bebas, mendorong
penanaman modal, serta kebijakan ekonomi makro yang
menhasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Struktur ekonomi juga telah berkembang dari ekonomi agraris
tradisional menjadi ekonomi yang lebih maju yang didukung oleh
industri yang makin kuat dan pertanian yang semakin tanggung
sehingga kebutuhan pokok rakyat telah terpenuhi secara merata.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun sebesar 6,8%, jumlah
penduduk miskin dari asalnya 60% dari jumlah penduduk di tahun
1970 menjadi sekitar 15% di tahun 1990, laju inflasi di tahun 1992
mencapai 5% pertahun setelah pada tahun 1966 mencapai 650%,
perolehan devisa semakin tinggi dan penerimaan dalam negeri
terus meningkat.
Peningkatan terjadi pula pada kemampuan lembaga keuangan
dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,
meningkatnya neraca pembayaran serta tercapainya swasembada
beras pada tahun 1984. Daya serap tenaga kerja semakin tinggi
dengan penciptaan lapangan kerja dalam jumlah yang besar dan
mutu yang meningkat diiringi dengan pergeseran struktur tenaga
kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya. Program transmigrasi
telah berhasil mendorong persebaran penduduk yang lebih
seimbang dan pendapatan asli daerah telah berkembang pesat dari
tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan rata-rata ekonomi di
tiap daerah.
2. Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
dan Sosial Budaya meliputi pembangunan dan rehabilitasi tempat
peribadatan dan pengadaan kitab suci serta meningkatkan mutu
pendidikan agama. Dalam bidang pendidikan partisipasi murni

376
Pengayaan Materi Sejarah

sekolah dasar meningkat dari 41,4% pada tahun 1968/69 menjadi


93,5% pada tahun 1993/94. Keberhasilan tersebut dimungkinkan
semenjak pencanangan wajib belajar 6 tahun pada tahun 198411.
Dalam bidang iptek keberhasilan didukung oleh keberadaan peneliti
yang berkualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai. Sementara pembangunan kesehatan serta program
keluarga berencana mampu menekan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia dan menekan angka kematian bayi baru lahir.
Pemerintah menyediakan pula pembangunan perumahan dan
pemukiman dengan 3 program utama, yaitu program perumahan
rakyat, penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan
permukiman sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat terutama kelompok masyarakat tidak mampu.
3. Bidang politik, aparatur pemerintah, hukum, penerangan dan
media massa dan hubungan luar negeri telah berhasil diterapkan
pada PJP I. Politik yang diterapkan adalah demokrasi Pancasila
sebagai landasan yang kuat bagi kemajuan dan kemandirian
bangsa. Sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Orde Baru,
pada tahun 1978 MPR dengan Ketetapan Nomor II/MPR/1978 telah
menetapkan Eka Prasetya Pancakarsa sebagai Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan demikian,
telah ada penuntun dan pegangan bagi sikap dan tingkah laku
setiap manusia Indonesia dalam penghayatan dan pengamalan
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan
bernegara. Pemilu telah dilaksanakan lima kali secara tepat waktu,
dwifungsi ABRI telah menjadi keyakinan dan milik bersama
sehingga stabilitas politik dapat berjalan sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Kemampuan aparatur pemerintah dikembangkan melalui
pendayagunaan manajemen pembangunan dengan proses
perencanaan dari bawah ke atas dan dari atas kebawah sehingga
memungkinkan untuk menampung aspirasi, kebutuhan,
permasalah dan spesifikasi daerah dengan diterapkan pula
pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan pengawasan
masyarakat. Dalam bidang penegakan hukum pemerintah sudah
mengeluarkan peraturan perundangan, membentuk petugas
penegakan hukum serta meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dengan memberikan bantuan hukum.

377
Pengayaan Materi Sejarah

Di bidang penerangan dan media massa telah diperluas penyebaran


informasi tentang kebijakan dan hasil pembangunan kepada
masyarakat melalui media informasi, seperti radio, televisi, film,
pers, pameran serta surat kabar. Di bidang hubungan luar negerim
penerapan prinsip politik luar negeri bebas aktif secara konsekuen
memungkinkan Indonesia berperan aktif dalam menggalang kerja
sama luar negeri secara bilateral dan melalui berbagai organisasi
internasional.
4. Bidang pertahanan dan keamanan masih menitikberatkan pada
pembangunan komponen kekuatan inti yaitu ABRI dengan
memelihara stabilitas keamanan nasional. Pembangunan
pertahanan keamanan negara selama Pembangunan Jangka
Panjang Pertama telah berhasil meningkatkan kesadaran bela
negara dan mengembangkan kemampuan bangsa untuk mengatasi
segala tantangan yang dihadapi bangsa dan negara, yang
tercermin dalam terpeliharanya stabilitas nasional yang dinamis
sehingga pembangunan nasional dapat berlangsung dengan lancar
dan aman. Kebutuhan personel, alat utama, serta sarana dan
prasarana pendukungnya, baik jumlah maupun kualitas, masih
perlu ditingkatkan sesuai dengan tuntutan pengamanan
pembangunan mengingat luas, posisi wilayah negara, dan jumlah
penduduk yang besar, serta kemungkinan tantangan global yang
makin meningkat.
Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak dapat memisahkan
masalah pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan rata-
rata yah harus dilaksanakan bersama-sama. Menurut Agus Suparno12
(2012) dalam (Kasenda 2013, 47), pemerintah lebih menekankan
kepada pentingnya pertumbuhna ekonomi daripada pemerataan
pendapatan selama 25 tahun pertama pemerintahan Orde Baru. Rizal
Mallarangeng13 (2008) dan Kuskridho Ambardi14(2009) dalam (Kasenda
2013, 47) menyebutkan keberhasilan perekonomian Indonesia dalam
menarik minat investor asing dikarenakan terbitnya dua undang-undang
sesuai dengan resep liberal dalam mengelola perekonomian yaitu UU
tentang penanaman modal asing dan modal dalam negeri dengan
pokok-pokok penting sebagai berikut:

378
Pengayaan Materi Sejarah

1. Jaminan tidak akan ada nasionalisasi aset perusahaan asing, namun


bila terjadi ada kompensasi yang memadai
2. Jangka waktu operasi perusahaan asing 30 tahun dan dapat
diperpanjang
3. Pembebasan bea masuk serta pajak untuk periode tertentu
4. Jaminan perusahaan asing dapat memilih sendiri manajemen dan
pekerja teknis mereka dan dapat membawa pulang keuntungan
atau modal mereka dengan leluasa.
Warisan kebijakan ekonomi Soekarno yang dipertahankan oleh
Soeharto adalah hubungan ekonomi dengan Jepang. Setelah Jepang
setuju untuk membayar pampasan perang yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia untuk pembangunan Bali Beach Hotel (Kasenda
2013, 53). Namun tetap saja dalam menata ekonominya Orde Baru
cenderung berorientasi ke Barat dengan membentuk IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia) pada tahun 1967 di Amsterdam,
dilanjutkan dengan pembukaan kantor perwakilan IMF dan Bank Dunia
(Syabirin 2014, 48-49). Hanya dalam tempo 2 tahun setelah
perombakan pemerintah stabilitas moneter sudah tercapai dengan
cukup baik. Perlu diakui, Soeharto membawa kembali investasi dari luar
negeri yang praktis menghilang di bawah pemerintahan sebelumnya.
Soeharto berkonsentrasi pada pembangunan dalam negeri dan
pembangunan ekonomi dengan didukun masyarakat internasional
dengan mendukung program reformasi Soeharto dalam menjadwal
utang-utang Indonesia (Wanandi 2014, 124). Keberhasilan kebijakan
ekonomi Soeharto menimbulkan pertanyaan tentang apa yang telah
terjadi, dan sejak kapan proses pembusukan dimulai sehingga Orde
Baru berakhir tragis dan krisis ganda melanda Republik Indonesia.

5.8. Keberhasilan Orde Baru


Indonesia mengalami kemajuan diberbagai bidang karena mampu
mengimplementasikan program-program di setiap repelita (Sanusi
2014, 79-139).
1. Bidang pertanian dan produksi pangan, Indonesia berhasil
mengubah status negaranya yang semula kekurangan pangan dan
merupakan negara pengimpor beras menjadi salah satu negara
pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada
beras pada tahun 1984. Swasembada beras merupakan prestasi

379
Pengayaan Materi Sejarah

tersendiri pemerintah Indonesia karena sempat menjadi price


leading dalam perdagangan beras internasional yang berarti harga
beras di pasaran dunia ditentukan oleh permintaan Indonesia.
Keberhasilan ini menghasilkan penghargaan bagi Presiden Soeharto
dari FAO (Food and Agriculture Organization) di Roma Italia pada
14 November 1985.
2. Pembinaan olahraga khususnya bulu tangkis berhasil dilakukan oleh
Indonesia dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya di
Olimpiade Barcelona untuk cabang bulu tangkis. Keberhasilan
tersebut berlanjut pada olimpiade tahun 1996, dan 2000. Prestasi
lain, walau tidak menorehkan emas diraih pula pada cabang
olahraga atletik dengan berhasilnya pelari Indonesia masuk
perempat final di Olimpiade 1984 di Los Angeles. Prestasi lainnya
diraih oleh cabang olahraga panahan dengan mendapatkan medali
perak di Olimpiade Seoul 1988.
3. Indonesia berhasil mengembangkan teknologinya dengan
membuat pesawat terbang modern dengan teknologinya sendiri.
Pendirian industri pesawat terbang sebenarnya sudah dimulai sejak
masa orde lama dengan keluarnya surat yang berisi pembentukan
Lembaga Persiapan Industri Penerbangan yang diresmikan pada 16
Desember 1961 dan bertugas menyiapkan pembangunan industri
penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi
penerbangan di Indonesia. Setelah melalui perjalanan panjang,
pada tanggal 28 April 1976 Indonesia memiliki PT Industri Pesawat
Terbang Nurtanio dengan Dr. B.J. Habibie sebagai direktur utama
dan diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1976. Tahun 1985
Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah nama menjadi Industri
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). IPTN berhasil membuat
pesawat N-250 dan berhasil menerbangkannya pada tanggal 10
Agustus 1995 selama 55 menit dari lapangan udara Husein
Sastranegara Bandung. Pesawat ini dinamakan Gatotkaca disebut
sebagai andalan produk IPTN dan masyarakat Indonesia.
4. Satelit Palapa adalah keberhasilan Indonesia yang lain di bidang
teknologi. Merupakan satelit pertama yang diluncurkan pada
tanggal 9 Juli 1976 sehingga daerah-daerah bagian Indonesia
mendapatkan kemudahan berkomunikasi dan menyebarkan
informasi yang dimungkinkan. Sampai berakhirnya orde baru selain
Satelit Palapa A1, diluncukan pula satelit lainnya seperti Palapa A2,
B1, B2, dan Indosat.

380
Pengayaan Materi Sejarah

5. Di bidang kesehatan, Indonesia berhasil melaksanakan program-


program untuk menciptakan masyarakat yang sehat. Lembaga
kesehatan berkembang pesat dengan diperbanyak jumlah
Puskesmas sampai pelosok negeri, dan pengiriman dokter inpres
agar dapat menjangkau wilayah terpencil. Selain itu Indonesia
melalui Bio Farma berhasil mengembangkan vaksin cacar sehingga
dinyatakan bebas cacar dan polio oleh WHO pada tahun 1974.
Program keluarga berencana merupakan salah satu program yang
sukses dilakukan sehingga angka kelahiran dapat dibatasi. Jumlah
peserta KB meningkat dari 1,7 juta orang di repelita 1 menjadi 21,5
orang di repelita 5 sehingga berhasil menekan laju pertambahan
penduduk Indonesia. Program KB menhasilkan penghargaan di
bidang kependudukan dari PBB di tahun 1989.
6. Program wajib belajar merupakan salah satu program yang sukses
di bidang pendidikan. Program ini diawali dengan pembangunan
SD inpres diseluruh Indonesia, sehingga semua wilayah mempunyai
SD Inpres. Program ini dicanangkan pada 2 Mei 1984 dengan
program wajib belajar enam tahun atau setingkat SD. Ada juga
program Kelompok Belajar yang merupakan program pengenalan
huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf berusia 10-
45 tahun. Program ini berhasil menurunkan jumlah penduduk
yang buta huruf dari tahun ke tahun. Program beasiswa pun
digulirkan di pemerintahan Orde Baru untuk memfasilitasi siswa
yang berasal dari golongan tidak mampu tetapi mempunyai otak
yang cerdas dan ingin bersekolah. Program beasiswa yang
digulirkan cukup banyak, namun yang terkenal adalah beasiswa
Supersemar.
7. Taman Mini Indonesia Indah merupakan objek wisata yang menjadi
kebanggaan rakyat Indonesia. Walaupun pada awalnya banyak
yang menghalang-halangi pembangunan TMII namun TMII terus
tumbuh sebagai sebuah proyek yang memberikan gambaran
lengkap Indonesia. Keyakinan tentang pendirian TMII terungkap
dari ucapan Soeharto sebagai berikut:
“Saya tahu ada kelompok tertentu yang ingin rnenjadikan
proyek yang kami cita-citakan itu sebagai issue politik. Mereka
mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan
nasional. Saya pernah mengingatkan bahwa saya tidak akan
membiarkan cara-cara yang tidak demokratis seperti yang
dilakukan oleh beberapa orang dan akan menindak orang orang

381
Pengayaan Materi Sejarah

yang bersangkutan itu jika mereka terus melakukan tindakan


mereka yang dapat mengganggu stabilitas nasional. „Kalau
mereka tidak mengerti akan kalimat – tidak akan saya biarkan,
terus terang saja, akan saya tindak‟, kata saya, Demi
kepentingan Negara dan Bangsa, “Super Sernar” bisa saya
pergunakan untuk mengatakan „keadaan darurat‟ Saya
bertanggungjawab kepada rakyat dan Tuhan dalam
mempergunakannya” (Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya 1989, 315).

Pendirian TMII merupakan gagasan dari Ibu Tien Soeharto yang


sering melihat langsung uraian Presiden Soeharto mengenai
kebesaran, keanekaragaman dan kekayan budaya Indonesia yang
seharusnya dipelihara dan dilestarikan sebagai aset nasional.
Berdasarkan hal ini maka dalam pikiran Ibu Tien Soeharto untuk
membuat proyek yang dapat menggambarkan “Indonesia yang
besar itu ke dalam bentuk yang kecil”. Taman Mini Indonesia Indah
dilengkapi dengan kolam besar dengan pulau-pulau yang
menggambarkan lautan serta wilayah Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. TMII mewakili berbagai potensi dan kondisi
alamiah, tokoh sejarah, flora dan fauna, suku bangsa, adat istiadat,
agama dan kebudayaan daerahnya. Tujuan pendirian TMII
berdasarkan amanat Presiden Soeharto untuk menciptakan
keseimbangan dan pembangunan fisik ekonomi dan mental
spiritual yang disebut dengan 5 aspek dan prospek yaitu: spiritual,
pendidikan dan kebudayaan serta teknologi ekonomi dan
kesejahteraan.

5.9. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)


Menjelang tahun 1988 spekulasi mengenai pergantian presiden
mulai mengkhawatirkan Soeharto, ditambah dengan mulai
berkurangnya dukungan militer, sehingga mulai mencari sekutu lain.
Presiden Soeharto mulai menggunakan latar belakang
Muhammadiyahnya dalam setiap pidatonya dan menyebutkan dirinya
pernah menjadi guru dan dibesarkan sebagai anak angkat keluarga
santri (Greg Barton, 2010) dalam (Kasenda 2013, 179). Perjalanan
ibadah haji pada tahun 1990 mendapat berbagai tanggapan. Pakar

382
Pengayaan Materi Sejarah

politik menyebutkan ini adalah pertanda ketaatan dan suatu langkah


biasa dalam kehidupan seseorang di kalangan umat Islam. Namun ini
juga berarti, haji-nya Presiden Soeharto memiliki implikasi politis dan
sebagai langkah ke arah rekonsisiliasi dengan umat Islam. Kepulangan
dari ibadah haji itulah yang membuat Soeharto menambah namanya
dengan sebutan Haji Muhammad Soeharto.
Tahun 1990 Presiden, mensponsori pembentukan ICMI dan
mendukung Habibie sebagai ketua ICMI. Kejadian ini merupakan awal
di persona non grata-kan CSIS yang sejak awal menjadi lembaga
penasehat presiden. ICMI disambut hangat oleh kalangan muslim
menengah di perkotaan termasuk sejumlah LSM dan intelektual yang
awalnya beroposisi terhadap pemerintah. ICMI berhasil
mengembangkan struktur organisasinya di tingkat nasional, provinsi
hingga kabupaten dengan dukungan langsung Soeharto. Jumlah
anggota ICMI mencapai 42.000 dengan anggota dari birokrat, aktivitas
sosial muslim dan kaum intelektual universitas yang ingin mendapatkan
akses ke pusat kekuasaan negara (Kasenda 2013, 180).
Kebijakan pro Islam dengan cepat diadopsi dengan pendidiran
bank syariah, harian Republika, majalah mingguan Umat yang
disupervisi oleh tokoh ICMI. ICMI adalah bagian paling penting dari
strategi Soeharto untuk mengakomodasi dan mengkooptasi potensi
kelas menengah muslim dan pada saat yang bersamaan memperkuat
basis sosial dan politik bagi dirinya sendiri. ICMI menjadi kendaraan
politik baru bagi Soeharto.

5.10. Kejatuhan Orde Baru


Soeharto berada pada puncak kekuasaanya di pertengahan era
1980an. Tidak ada keputusan yang cukup luas dapat diambil tanpa
pesetujuannya. Legitimasinya sebgaai penyelenggara pembangunan
perekonomian pun semakin kuat saat menyurutnya ancaman
keambrukan perekonomian akibat anjolknya harga minyak. Soeharto
mengembangkan konsep bangsa baru bagi Indonesia yang dibangun di
atas landasan pertumbuhan dan stabilitas yang dinyatakannya sendiri
dalam kepuasan dan berbagai keberhasilan yang diraih. Soeharto
menjadi pemimpin terkenal di dunia, banyak pemimpin lainnya yang
ingin belajar bagaimana cara menjalankan pemerintahannya. Namun
tepat pada saat Soeharto mencapai puncak kekuasaannya, dinamika

383
Pengayaan Materi Sejarah

yang beraksi di dalam dunia politik dan masyarakat Indonesia ternyata


mulai menggerogoti landasan kekuasaannya (Kasenda 2013, 176-177).
Berawal dari krisis ekonomi di Asia yang meluas mulai dari negara
di Asia Timur kemudian meluas sampai Indonesia dan menjalar juga
menajadi krisis politik. Di Korea Selatan, Thailan dan Indonesia, krisis
ekonomi berujung kepada pergantian kekuasaan politik. Di Indonesia,
Pemerintah sudah melikuidasi 16 Bank Swasta, kurs rupiah atas dollar
terus merosot, walau paket IMF sebanyak 23 Milyar dollar AS sudah
dijanjikan (Denny J.A. 2006, 17). Ledakan ekonomi Orde Baru pada
tahun 1990 dibangun dengan utang luar negeri yang sangat besar
sehingga nilai rupiah turun nilainya ditambah dengan faktor kekeringan
yang melanda Indonesia. Kemarau panjang menimpa Indonesia pada
tahun 1997.
Krisis keuangan di Indonesia berdampak pada kehdupan sehari-
hari rakyat. Jatuhnya nilai tukar rupiah membuat harga barang impor
meningkat tajam. Perusahaan memotong gaji para pegawai agar dapat
bertahan. Soeharto enggan mengimplementasikan paket reformasi
ekonomi IMF karean dianggap merugikan kepentingan bisnis
keluarganya an pengusaha kroni disekelilingnya (Syamsul Hadi15, 2006
dalam (Kasenda 2013, 209). Hal ini berdampak pada munculnya
gerakan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi.
Bulan April 1998, gerakan mahasiswa berulang-ulang menjadi
berita mass media di tanah air, Ribuan mahasiswa dari berbagai
universitas, dengan jaket almamaternya masing-masing, bergabung
menjadi satu, Berbagai aksi keprihatinan berulang-ulang digelar, mulai
dari Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai ke Ujungpandang,
Berbagai universitas negeri terkemuka terlibat, seperti UI, ITB, UGM
ditambah beberapa universitas swasta lainnya, Slogan yang
dikumandangkan pun beragam, namun seputar reformasi ekonomi dan
politik (Denny J.A. 2006, 21).
Walaupun demonstrasi mahasiswa terus berlangsung selama
sidang MPR tanggal 1-11 Maret 1998 dan menuntut Presiden Soeharto
mundur, namun tidak menyurutkan Soeharto yang kembali terpilih
secara aklamasi sebagai presiden dalam sidang MPR tersebut. Sehingga
Soeharto memasuki tahun ke-32 kekuasaanya sebagai pemimpin
Indonesia. Hasil tersebut membuat situasi politik semakin memburuk.
Demonstrasi mahasiswa semakin meluas dengan target politiknya kian

384
Pengayaan Materi Sejarah

jelas yaitu menuntut Soeharto Mundur (Kasenda 2013, 212-214).


Insiden penting yang paling berpengaruh terhadap membesarnya
gelombang anti Orde Baru adalah peristiwa tewasnya empat mahasiswa
Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 akibat tembakan peluru tajam.
Tewasnya empat mahasiswa tersebut diikuti kerusuhan massa di pusat-
pusat kegiatan ekonomi. Massa yang terkesan terorganisisr bergerak
menuju pusat-pusat keramaian membuat provokasi terhadap massa
setempat untuk melakukan kekerasan, menjarah, membakar dan
pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa (Muridan S. Widjojo, 1999 dalam
(Kasenda 2013, 217).
Gerry van Klinken16 (2000) mengatakan dalam (Kasenda 2013,
221), para penjarah kebanyakan penduduk miskin perkotaan anti
Tionghoa yang tidak memiliki keterwakilan dalam panggung politik
Orde Baru. Secara umum mereka adalah orang-orang yang mengalami
alienasi dalam simbol-simnol yang tidak terjangkau seperti bank, mesin
ATM, supermarket, hotel dan mobil milik orang Tionghoa. Sejak
kejadian tersebut, beberapa tokoh senior militer menyadari kedudukan
Soeharto tidak dapat dipertahankan dan mulai menurunkan Soeharto
dari kekuasaannya. Sementara itu tokoh sipil dengan diprakarsai oleh
Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MAR) untuk mewadahi
kerja sama berbagai organisasi dan perorangan yang memiliki komitmen
reformasi untuk demokrasi. MAR menuntut Presiden Soeharto
mengundurkan diri agar seluruh proses reformasi untuk demokrasi
dapat berjalan lancar dan damai.
Pada saat kerusuhan terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di
Kairo Mesir dan menyatakan siap mundur dan tidak akan
mempertahankan kedudukannya sebagai presiden dengan kekuatan
senjata dengan catatan semua itu harus dilakukan secara konstitusional.
Pada tanggal 16 Mei 1998, sekembalinya dari Kairo, Presiden Soeharto
menerima delegasi UI yang menyampaikan aspirasi masyarakat yang
meminta Presiden Soeharto untuk mundur. Dalam pertemuan tersebut,
Presiden mengatakan “Menjadi presiden bukan keinginan saya,
melainkan wujud tanggung jawab sebagai Mandataris MPR. Karena itu,
bila dikehendaki setiap saat saya siap lengser keprabon sejauh dilakukan
secara konstitutional dan damai (James Luhulima17, 2007 dalam
(Kasenda 2013, 225). Namun kepada rombongan delegasi MPR/DPR,
Presiden Soeharto menyatakan pemerintah akan mengadakan reformasi,
reshuffle kabinet dan membentuk Kopkamtib untuk melindungi rakyat,

385
Pengayaan Materi Sejarah

warga negara, aset nasional dan mengamankan Pancasila dan UUD


1945 (Firdaus Syam18, 2008 dalam (Kasenda 2013, 226).
Tanggal 18 Mei 1998, Ketua MPR/DPR Harmoko dan para
wakilnya membacakan keterangan pers yang antara lain mengatakan
“demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan
bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Pernyataan tersebut
mendapat tentangan keras dari pendukung Soeharto termasuk ABRI
yang pada saat itu dipimpin oleh Jenderal TNI Wiranto dan menyatakan
bahwa pernyataan Pimpinan MPR/DPR sebagai penyataan individu dan
tidak memiliki dasar hukum Ahmad Gaus19 (2010) dalam (Kasenda
2013, 228). Pernyataan pimpinan ABRI menimbulkan kekecewaan
dikalangan pendukung reformasi, bahkan Amien Rais menyampaikan
pidato yang cukup keras dan ditujukan pada ABRI bahwa”ABRI hanya
punya dua pilihan, berpihak kepada 200 juta rakyat Indonesia atau
seorang kakek yang telah berusia 78 Tahun”.
Pukulan terakhir terhadap pemerintahan Soeharto bukan datang
dari luar melainkan dari dalam rezimnya sendiri. Pimpinan DPR sekali
lagi meminta presiden turun dari jabatannya disertai ultimatum
mengundurkan diri mulai hari Jumat atau menghadapi impeachment
(pemberhentian) dari DPR. Soeharto masih mempunyai rencana
membentuk kabinet Reformasi, namun 14 menteri di Bappenas
mengirim surat pada presiden yang isinya tidak bersedia diikutsertakan
dalam Kabinet Pembangunan VII yang direformasi Akbar Tandjung20
(2008) dalam (Kasenda 2013, 234) sehingga Presiden Soeharto tidak
jadi menumumkan Kabinet Reformasi yang dijanjikan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.06 WIB Presiden memasuki
Residential Room didampingi oleh putri sulungnya Siti Hardiyanti
Rukmana dan para menteri dan memberikan pernyataan, “Saya
memutuskan untuk berhenti dari jabatan saya sebagai presiden
terhitung sejak saya bacakan penyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei
1998. Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden Prof. Dr. Ing.
B.J. Habibie akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris
MPR 1998-2003”. Pada kesempatan ini Soeharto juga mengucapkan
terima kasih atas bantuan dan dukungan rakyat selama memimpin dan
minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya.
Berita pengunduran diri Soeharto hari Kamis 21 Mei 1998, segera
menjadi berita dunia, Berbagai media besar di Amerika Serikat, mulai

386
Pengayaan Materi Sejarah

dari New York Times, Wall Street Journal sampai Washington Post,
menjadikan peristiwa ini sebagai berita utama, Sementara CNN terus
menerus mengulang kisah ini di TV, Berbagai media di Amerika Serikat
menggambarkan bahwa seorang politisi besar dunia era perang dingin
telah turun tahta. Untuk pertama kalinya selama tiga puluh dua tahun,
Indonesia harus tumbuh tanpa dipimpin oleh Soeharto lagi, Sebuah era
politik baru terbuka, namun masih tidak pasti apakah pergantian
pimpinan ini akan membawa perubahan yang substansial, Tidak pasti
pula apakah ia juga akan menghasilkan pemerintahan yang kuat secara
politik (Denny J.A. 2006, 33).

5.11. Masa Transisi Orde Baru ke Orde Reformasi


Pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, menandai roda
reformasi yang mulai bergulir. Kevin O‟Rouke dalam (Kemdikbud 2012,
642) melihat reformasi sebagai sebuah momentum ketika ada keinginan
untuk berubah. Masyarakat mengharapkan perbaikan kehidupan
demokrasi dan kesejahteraan melalui gerakan reformasi. Namun Orde
Baru sebagai sistem ternyata tidak tumbang dalam waktu singkat dilihat
dari naiknya Habibie yang disebut sebagai “presiden secara kebetulan
(president by accident)” (O‟Rouke dalam (Kemdikbud 2012, 649).
Keabsahan pengangkatan Habibie dipertanyakan karena tidak dilakukan
di depan MPR. Selain itu, menurut Emmerson, B.J. Habibie tidak akan
mengganti kebijakan yang telah dilakukan kecuali memperbaiki rezim
Soeharto.
Kedudukan Habibie yang sebelumnya merupakan anak
kesayangan Soeharto dan murid politiknya dianggap sebagai
penghalang bergulirnya reformasi. Namun ternyata Habibie dengan
cepat merombak sebagian besar dari warisan pendahulunya. Kabinet
reformasi menggantikan Kabinet Pembangunan masih diisi oleh meteri
lama, namun paling tidak Habibie sudah melakukan perubahan dengan
memisahkan jabatan jaksa agung dan gubernur bank sentral dari
kabinet sehingga tidak dapat didepolitisasi dan dapat mendorong
penerapan hukum yang lebih netral dan kebijakan moneter yang lebih
independen (Kemdikbud 2012, 650).
Habibie memang tidak dapat mengubah secara drastis sistem
yang ada di Indonesia. Habibie tidak akan melakukan revolusi karena
rakyat sudah cukup menderita. Reformasi, seperti yang sering dikatakan

387
Pengayaan Materi Sejarah

Habibie bukanlah suatu revolusi namun merupakan evolusi yag


dipercepat. Berbagai perubahan revolusioner dilakukan dimana
perubahan tersebut tidak akan pernah terjadi sebelumnya di bawah
kekuasaan Orde Baru (Kemdikbud 2012, 652). Keputusan penting yang
dilakukan oleh Habibie pada masa pemerintahannya yang singkat
adalah:
1. Melaksanakan pemilu di tahun 1999 walaupun secara
konstitusional pemilu dapat diselenggarakan setelah masa
jabatan berakhir. Diselenggarakan oleh KPU dengan 40
kontestan yang berpartisipasi. Walau Habibie kalah karena
laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, namun
tradisi yang telah ditetapkan masih berlangsung.
2. Mengeluarkan undang-undang otonomi sekaligus mengakhiri
sistem pemerintahan yang sentralistik.
3. Mengeluarkan undang-undang yang mengapresiasi kebebasan
berpendapat, sehingga setiap orang bebas untuk menerbitkan
surta kabar, majalah, stasiun radio dan televisi.
4. Mengakhiri masalah Timor Timur dengan menawarkan kepada
masyarakat Timor Timur untuk memilih tetap sebagai WNI atau
menjadi negara merdeka (Kemdikbud 2012, 654-656).
Walaupun reformasi belum sepenuhnya berjalan, namun
semangat reformasi telah nampak apalagi setelah ditetapkannya
Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Pemerintah yang Bersih dan Bebas dari Kolusi Korupsi dan Nepotisme
yang justru menjadi masalah pelik yang dihadapi Habibie dalam
melaksanakannya. Namun Habibie sudah memperkenalkan banyak
perubahan fundamental untuk membawa kembali negara bangsa ke
cita-cita idealnya yang secara jelas telah ditetapkan oleh pendiri Republik
Indonesia.

5.12. Refleksi
Pada saat Soekarno menandatangani Supersemar dan
kewenangan ada di tangan Soeharto, sesungguhnya kekuasaan Presiden
Soekarno sudah tidak ada lagi karena PKI sudah dibubarkan oleh
Soeharto. Apalagi setelah penyerahan kekuasaan secara resmi pada
tanggal 23 Februari 1967, Presiden dengan resmi menyerahkan
kekauasaan pemerintah kepada pengemban TAP MPRS

388
Pengayaan Materi Sejarah

No.IX/MPRS/1966 kepada Jenderal Soeharto. Akhir kekuasaan Soekarno


diperkuat dengan ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 melalui
sidang istimewa pada 12 Maret 1967 yang mengangkat Letjen Soeharto
sebagai Pejabat Presiden, sehingga sebagai simbol pun Soekarno tidak
diakui sebagai pemegang kekuasaan (Poesponegoro dan Notosusanto
1984, 415).
Pidato Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada tanggal 16
Agustus 1967 di depan Sidang Istimewa DPR-GR menyebutkan bahwa
seluruh tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara harus
berdasarkan pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Orde Baru lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap segala bentuk
penyelewengan dan bentuk koreksi total terhadap orde lama (Abdullah
2009, 363). Di Era Soekarno, berdasarkan kepada pemikiran bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur sehingga
memunculkan ideologi yang beraneka ragam seperti nasionalis, agama,
dan komunis. Hal ini membuat Soekarno berfikir untuk menggabungkan
paham tersebut menjadi satu yaitu Nasakom yang bertujuan agar
bangsa ini tidak terpecah. Padahal, hal ini tidak mungkin dapat terjadi,
menggabungkan tiga ideologi dalam satu negara. Dampaknya, ada
keinginan dari Soekarno untuk merubah dasar negara.
Setelah Soeharto berkuasa pembangunan ekonomi mengalami
kemajuan yang pesat terutama dalam bidang pertanian, pendidikan,
kesehatan dan pembangunan sarana prasarana. Sejak itu, kota-kota
baru bermunculan di Indonesia seperti Tangecrang, Depok, Bekasi,
Cimahi, Sidoarjo dan banyak kota lainnya. Selain itu, perguruan tinggi
di seluruh Indonesia terus meningkat. Pendidikan tinggi menjadi salah
satu fokus utama pemerintah untuk membentuk generasi muda bangsa
yang berkompeten dalam melaksanakan pembangunan di segala sektor.
Untuk itu pemerintah membentuk lembaga pemberi beasiswa agar
seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan tinggi
(Kemdikbud 2012, 325)
Sejarah Orde baru adalah sejarah sebuah bangsa sebagai sebuah
bagian dari masa lalu yang berpengaruh tehadap masa kini dan masa
depan kita. Tuntutan untuk melukiskan masa lalu berdampingan
dengan rekonstruksi sejarah yang mempersoalkan makna (Kasenda
2013, 258). Berdamai dengan sejarah menjadikan keharusan untuk
menyelesaikan sejarah dan kalau pelu dengan menulis sejarah baru.

389
Pengayaan Materi Sejarah

Taufik Abdullah dalam Daniel Dhakidae21 (2011) dalam (Kasenda 2013,


258) mengatakan, sejarah harus dihadapi dengan rasa tanpa dendam,
tanpa nostalgia dan dijadikan sebagai alat untuk memahami perilaku
manusia dalam proses perubahan dan sumber kearifan pembebasan
dari beban dan trauma masa lalu.
Setelah tidak menjabat Presiden dan menyerahkan jabatannya
kepada B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto kembali
menjadi rakyat biasa. Hari-hari kehidupannya dilalui dengan
bercengkerama bersama cucu-cucu dalam kesederhanaannya.
Walaupun tahu kondisi rakyat Indonesia setelah Soeharto turun dari
jabatan, namun sesuai janjinya untuk lengser keprabon, madeg
pandhita maka Soeharto menempatkan diri sebagai seseorang yang
selalu memberikan nasihat dan dukungan kepada pejabat pemerintah
berikutnya agar dapat membawa bangsa menjadi lebih baik.

Dr. Rudy Gunawan, M.Pd.

390
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
Berdasarkan wawancara dengan Jenderal Polisi Sutjipto di Jakarta tanggal 2 Juli
1971
2
Jusuf Wanandi adalah seorang aktivis berlatar pendidikan hukum dan salah satu
pendiri Centre for Strategic and International Studies. Berperan sebagai orang
dalam di lingkaran potirik yang berpuluh tahun bekerja dengan para penasihat
utama Presiden sehingga dapat menceritakan beberapa peristiwa dalam sejarah
modern Indonesia sejak jaman Orde Baru
3
Baca penjelasana Pj. Presiden mengenai masalah nasional yang penting dan
mendesak di depan DP-MPRS tanggal 29 Februari 1968.
4
Harold Crouch. Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta:Sinar Harapan, 1986), hlm
248-275. Lihat juga Jend. A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 8
(Jakarta:Gunung Agung, 1985)
5
Baca buku R. William Liddle. Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia di Awal Orde
Baru. Jakarta
6
Lihat Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Sejarah Singkat Perjuangan ABRI 1945-1990,
Pusjarah ABRI, Jakarta 1990 halaman 134
7
Lihat lebih lanjut pada tulisan Nugroho Notosusanto (Editor), Tercapainya
Konsensus Nasioanl 1966-1969, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal. 85
8
Lebih lanjut silahkan baca buku I s.d. buku IV tentang Repelita IV. Dapat diunduh
di (Bappenas 2009, http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-
utama/dokumen-perencanaan-dan-pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-
lima-tahun-repelita/)
9
Lebih lanjut silahkan baca buku I s.d. buku IV tentang Repelita V. Dapat diunduh di
(Bappenas 2009, http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-utama/dokumen-
perencanaan-dan-pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-lima-tahun-
repelita/)
10
Lebih lanjut silahkan baca buku I s.d. buku VI tentang Repelita VI. Dapat diunduh
di (Bappenas 2009, http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-utama/
dokumen-perencanaan-dan-pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-lima-
tahun-repelita/)
11
Untuk keberhasilan pendidikan di jenjang SMP, SMA dan Perguruan tinggi serta
keberhasilan bidang olahraga dapat dibaca dalam (Lampiran Keputusan Presiden RI
Nomor 17 1994, 101-103)
12
Baca “Reformasi & Jatuhnya Soeharto. 2012. Jakarta:Kompas

391
Pengayaan Materi Sejarah

13
Baca “Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. 2008. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia dan Freedom Institute
14
Baca “ Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia
Era Reformasi. 2009. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
15
Baca “Strategi Pembangunan Mahathir &Soeharto: Politik Industrialisasi dan
Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia. 2005. Jakarta:Pelangi Cendekia.
16
Baca: “Kerusuhan Mei dalam Edward Aspinall, Herbert Feith dan Gerry va Klinken
(ed). 2000. Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Presiden Soeharto. Yogyakarta:LkiS.
17
Baca “Hari-hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan
Beberapa Peristiwa Terkait. 2007. Jakarta:Kompas
18
Baca buku “Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko”. 2009. Jakarta.
Gria Media.
19
Baca buku “Api Islam Nurcholish Madjid:Jalan Hidup Seorang Visioner. 2010.
Jakarta:Kompas.
20
Baca “The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era
Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
21
Baca lebih lanjut buku Daniel Dhakidae mengenai “Cita-cita Kesatuan, Bahasa
dan Kebangsaan: Melawat ke Kongres Pertama setelah Delapan Puluh Lima Tahun”.
Prisma. Volume 30 No.2 Tahun 2011

392
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 6
Masa Reformasi (1998-sekarang)

6.1. Pendahuluan

Presiden Soeharto dalam pidato mengatakan bahwa


“…setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan padangan
pimpinan Dewan perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi yang
ada di dalamnya, saya memutuskan untk menyatakan berhenti
dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia ….”1

Pernyataan berhenti Presiden Soeharto dalam pidatonya,


menandai babak baru sejarah Indonesia, yaitu memasuki era reformasi.
Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan di bidang
sosial, politik, hukum dan agama di suatu masyarakat atau negara.
Secara politis, reformasi adalah suatu gerakan yang menghendaki
adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Era reformasi
di awali pada masa akhir pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.
Pemerintahan Orde Baru yang menjalankan pemerintahan secara
otoriter dan sentralistik tidak memberikan ruang demokrasi yang
memadai bagi rakyatnya untuk berpartisipasi penuh dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tuntutan reformasi telah muncul sejak masa Orde Baru,
tuntutan ini semakin menguat ketika krisis ekonomi melanda Asia. Krisis
yang membawa jatuhnya nilai rupiah dan berdampak menggerus
segala bidang kehidupan masyarakat, mulai dari bidang ekonomi, politik
dan sosial. Krisis ekonomi yang muncul sejak pertengahan tahun 1997,

393
Pengayaan Materi Sejarah

akhirnya meruntuhkan pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa


selama 32 tahun. Krisis ekonomi menjadi pembuka jalan bagi
masyarakat Indonesia menuju harapan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sehat.2
Tuntutan reformasi merupakan sebuah titik kulminasi dari
gerakan aksi protes mahasiswa yang tumbuh di lingkungan kampus
secara nasional sejak awal 1998. Aksi ini dilakukan untuk menekan
pemerintah agar melakukan perubahan politik dengan melaksanakan
reformasi secara total. Aksi-aksi mahasiswa tidak hanya melalui aksi
turun ke jalan melakukan demontrasi, namun mahasiswa juga mulai
menggulirkan wacana penentangan politik secara terbuka terhadap
penguasa Orde Baru. Wacana yang digulirkan mahasiswa mendapat
dukungan dari kalangan cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Wacana yang mereka gulirkan adalah menuntut pelaksanaan
proses demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Selain itu, mahasiswa juga menuntut terwujudnya
rule of law dan good governnance untuk mampu mengawal jalannya
pemerintahan yang bersih. Reformasi bagi mahasiswa bukan hanya
sebuah era, namun juga sebuah proses yang terus diperjuangkan,
diwujudkan dan dipelihara hingga terbentuknya suatu pemerintahan
yang sesuai dengan tuntutan reformasi. Hal inilah yang menjadi
Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintahan BJ Habibie dan pemerintahan-
pemerintahan berikutnya, yaitu Abdurrahman Wahid, Megawati, dan
Susilo Bambang Yudhoyono.

6.2. Tuntutan dan Agenda Reformasi


Krisis ekonomi yang bermula di Thailand terus merembet ke
beberapa negara Asia lainnya, termasuk Indonesia didalamnya. Krisis
ekonomi ini menurut laporan IMF, merupakan krisis multidimensi, yaitu:
Currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis serta foreign debt
crisis. Di Indonesia, krisis tersebut mulai terasa sejak pertengahan Juli
1997. Hal ini terlihat dari pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat pada akhir Agustus 1997 masih berkisar Rp2.682,00
per US$ 1, yang merupakan penurunan dan titik terendah dalam
sejarah nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kondisi ini
mendorong pemerintah, melalui Bank Indonesia, mengintervesi nilai
tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem

394
Pengayaan Materi Sejarah

mengambang bebas. Kebijakan ini pada awalnya mampu meredam


gejolak rupiah hingga September 1997. Namun setelah itu nilai tukar
rupiah terus merosot dan terjun bebas, dan pada awal 1998 nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS berada pada Rp16.000,00 per US$1. Kondisi
tersebut membawa dampak merosotnya GNP Indonesia dari
US$1300 menjadi US$400. Kondisi ini berdampak besar pada
perekonomian Indonesia, diantaranya merosotnya secara drastis
cadangan devisa Indonesia menjadi sekitar 14 miliar dolar Amerika,
jatuhnya bursa saham di Jakarta, dan bangkrutnya perusahaan-
perusahaan besar di Indonesia yang berdampak pada pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. 3
Krisis ekonomi yang menjerat Indonesia sejak 1997 mendorong
Presiden Soeharto meminta bantuan International Monetary Fund (IMF).
Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mengikuti resep yang diberikan
IMF. Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan
syarat pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan-
kebijakan, terutama kebijakan ekonomi. Diantara syarat-syarat tersebut
adalah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Pada 15
Januari 1998, Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF, Michele
Camdesius menandatangani Letter of Intent (LOI/ Nota Kesepakatan).
Kemudian hasil kesepakatan tersebut disampaikan Presiden Soeharto
dalam pidatonya di Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1
Maret 1998. Presiden Soeharto menyatakan menerapkan konsep IMF
Plus untuk mengatasi krisis yang terjadi.4
Hasil penandatangan LOI dengan IMF ternyata tidak mampu
memperbaiki perekonomian Indonesia, namun yang terjadi sebaliknya,
kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Blunder terbesar
kebijakan IMF adalah mengharuskan Indonesia menutup (melikuidasi)
16 bank umum yang menyebabkan perbankan Indonesia semakin
berantakan yang membawa dampak pada nilai rupiah.5 Terjadi Rush6
yang membawa dampak pada banyaknya uang yang beredar di
masyarakat semakin meningkat.
Pada awalnya kegagalan ini tidak membuat pemerintah
Indonesia menghentikan kerja samanya, pada 15 Januari 1998, Presiden
Suharto menandatangani nota kesepahaman kedua dengan IMF yang
berisi 50 butir kesepakatan. Sepekan kemudian Presiden Soeharto
membuat pernyataan mengagetkan dunia internasional, bahwa

395
Pengayaan Materi Sejarah

“Kesepakatan pemerintah dengan IMF akan membawa Indonesia pada


liberalisme. Kesepakatan IMF itu tidak sesuai dengan semangat UUD
1945 khususnya pasal 33.” Namun tidak disebutkan butir mana yang
bertentangan dengan pasal UUD 1945. Pernyataan Presiden tersebut
menyiratkan bahwa Indonesia tidak akan melaksanakan kesepahaman
dengan IMF yang berisi 50 butir. Situasi tarik menarik antara pemerintah
dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi semakin memburuk.7
Krisis ekonomi semakin diperburuk dengan munculnya krisis
politik yang berawal dari Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada 29
Mei 1997, yang mendudukan Golkar sebagai pemenang pemilu,
mengungguli PPP dan PDI. Kemenangan Golkar sudah sesuai perkiraan
masyarakat, perhatian masyarakat tercurah pada Sidang Umum MPR
1998 yang dimulai pada 11 Maret 1998. Sidang Umum ini secara
aklamasi memilih kembali Soeharto sebagai presiden RI untuk ke tujuh
kalinya dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Tiga hari setelah
pemilihan, pada 14 Maret 1998, Soeharto berhasil membentuk kabinet
barunya dengan menyertakan Siti Hardiyanti Rukmana, anak perempuan
Soehato sebagai Menteri Sosial, dan Bob Hasan, sebagai Menteri
Perdagangan dan Perindustrian. Langkah Presiden Soeharto semakin
memanaskan situasi politik di tengah tuntutan pemberantasan KKN.8
Situasi sosial politik semakin buruk ketika ada peningkatan
angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan angka
kesempatan kerja. Kondisi ini mendorong munculnya tuntutan suksesi
kepemimpinan di tingkat nasional. Tuntutan ini semakin kuat ketika
mahasiswa kampus-kampus besar di berbagai kota mulai menyuarakan
aspirasi mereka. Aksi ini sebenarnya di awali aksi mahasiswa UGM pada
Desember 1997 yang menginginkan Suharto tidak terpilih kembali
sebagai presiden, namun kurang mendapat perhatian media. Aksi
berikutnya dilakukan di Kampus UI Depok dan Salemba yang menuntut
Orde Baru secara sadar dan damai mundur karena dianggap gagal
menjalankan amanat rakyat.9 Aksi mereka terus berlanjut menyuarakan
isu-isu penurunan harga sembako, penghapusan monopoli, KKN dan
suksesi kepemimpinan Nasional.
Namun isu-isu yang disuarakan mahasiswa yang juga menjadi
tuntutan rakyat kurang mendapat respon dari pemerintah. Pemerintah
lebih mengambil kebijakan menaikan Bahan Bakar minyak (BBM) dan
Tarif Dasar Listrik (TDL) tanpa melalui persetujuan dari DPR. Kebijakan

396
Pengayaan Materi Sejarah

pemerintah tersebut menyebabkan mahasiswa melakukan aksi yang


semakin berani, aksi yang sebelumnya di dalam kampus mulai bergerak
ke luar dari kampus mereka. Aksi-aksi mahasiswa mulai dilakukan
diberbagai kota merespon kebijakan pemerintah tersebut. Aksi-aksi
mahasiswa di berbagai kota yang menolak kenaikan BBM dan TDL
berubah menjadi kerusuhan masal. Respon aparat yang berlebihan dan
cenderung brutal, mendorong masyarakat bergabung dengan aksi
mahasiswa, sehingga aksi semakin besar. Aksi-aksi berkembang bukan
hanya dilakukan oleh mahasiswa, namun ada juga aksi yang
dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang berakhir dengan kerusuhan
yang diwarnai dengan tindakan anarkis, pembakaran, penjarahan dan
perilaku kriminal lainnya.
Kondisi tersebut menyebabkan trade mark Orde Baru yang
menjunjung tinggi stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi
goyah. Aksi-aksi turun ke jalan semakin marak dari berbagai kelompok
masyarakat, termauk mahasiswa dan para akademisi yang tidak puas
terhadap kepemimpinan Soeharto mulai bermunculan. Mereka
mendatangi gedung DPRRI untuk mengajukan tuntutannya agar
Presiden Soeharto melakukan reformasi.10
Kondisi negara yang sedang mengalami krisis, tidak menyurutkan
Presiden Soeharto untuk menghadiri Konferensi G 15 pada 9 Mei 1998,
di Kairo (Mesir). Menjelang keberangkatannya, Presiden Soeharto
meminta masyarakat untuk tenang dan memahami kebijakan kenaikan
BBM dan TDL. Soeharto juga menyerukan kepada lawan–lawan
politiknya bahwa pasukan keamanan akan bertindak tegas terhadap
setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian kerusuhan tetap
tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes dari berbagai kalangan
komponen masyarakat terus berlangsung.
Aksi-aksi mahasiswa, masyarakat dan kalangan cendekiawan yang turun
ke jalan pun akhirnya berujung dengan bentrokan antara pengunjuk
rasa dan aparat. Salah satunya adalah aksi yang terjadi pada 12 Mei
1998. Pada hari itu sejumlah mahasiswa Trisakti yang didampingi
dosennya mengadakan aksi unjuk rasa di gedung DPR RI. Mereka
berhadapan langsung dengan aparat yang menjaga gedung DPR RI
secara ketat. Aksi yang pada awalnya berjalan dengan damai berakhir
dengan kerusuhan. Kekacauan terjadi tatkala para mahasiswa Trisakti
akan kembali ke kampus mereka, petugas keamanan yang pada

397
Pengayaan Materi Sejarah

awalnya menjaga mereka, melakukan aksi penekanan terhadap


rombongan mahasiswa hingga ke depan kampus Universitas Trisakti.
Kondisi ini semakin kacau ketika ada penembakan terhadap mahasiswa
dengan menggunakan peluru tajam sehingga menewaskan enam orang
mahasiswa. Penggunaan peluru tajam ini melanggar prosedur yang
ada.11
Keesokan harinya, pada 13 Mei 1998, pasca pemakaman korban
penembakan Trisakti, ribuan masa melakukan aksi berkabung dikampus
Trisakti. Saat masa mulai membanjiri wilayah sekitar kampus Trisakti
untuk ikut bergabung, aparat keamanan berupaya mencegah aksi
tersebut. Sikap aparat keamanan ini membuat masa mengamuk dan
mulai melakukan aksi pelemparan dan perusakan. Aksi ini mendorong
terjadinya kerusuhan sosial dan aksi penjarahan selama dua hari
terhadap beberapa sentra bisnis, mal-mal dan sentra pertokoan di
wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang yang berdampak langsung pada
jatuhnya nilai rupiah.12
Aksi mahasiswa yang kurang mendapatkan tanggapan
pemerintah mendorong mahasiswa mengadakan aksi keluar kampus
masing-masing. Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering berlanjut
menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat
Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan
menawarkan dialog. Dari dialog tersebut diharapkan komunikasi antara
pemerintah dan masyarakat kembali terbuka. Namun mahasiswa
menganggap bahwa dialog dengan pemerintah tidak efektif karena
tuntutan pokok mereka adalah apa yang tercantum dalam 6 agenda
reformasi. Keenam agenda tersebut adalah
1. Suksesi kepemimpinan nasional
2. Amendemen UUD 1945
3. Pemberantasan KKN
4. Penghapusan dwifungsi ABRI
5. Penegakan supremasi hukum,
6. Pelaksanaan otonomi daerah
Mahasiswa berpendapat bahwa mitra dialog yang paling efektif
adalah lembaga kepresidenan dan MPR, karena agenda utama gerakan
reformasi menurunkan Soeharto dari jabatan presiden.
Kondisi sosial politik yang bergerak semakin tidak kondusif
membuat Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir.

398
Pengayaan Materi Sejarah

Disisi lain, aksi mahasiswa semakin meluas sejak tanggal 14 Mei 1998
dan mendapat dukungan dari masyarakat. Aksi mereka mulai menduduki
gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
Aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, yang
mendapat dukungan masyarakat luas, berhasil menduduki gedung
DPR/ MPR RI dan nyaris tidak ada satupun pihak penjaga keamanan
yang mengusir mereka. Mereka menjadikan gedung DPR/MPR RI sebagai
pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki
gedung rakyat. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR dan
memintanya untuk mengambil sikap yang tegas. Tekanan mereka mulai
membuahkan hasil ketika pada 18 Mei 1998, Harmoko ketua DPR/ MPR
RI, meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya
demi kepentingan nasional.13
Dalam menindaklanjuti tuntutan tersebut Soeharto melakukan
pertemuan dengan ulama dan tokoh masyarakat, antara lain
Abdurrahman Wahid (ketua PB NU), Emha Ainun Nadjib (Budayawan),
Nurcholish Madjid (Ketua Yayasan Paramadina), Ali Yafie (Ketua MUI),
Malik Fadjar (Muhammadiyah), Yusril Ihza Mahendra (FHUI), Cholil Bisri
(Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), Achmad Bagdja
dan Ma‟ruf Amin (NU). Pertemuan tersebut membahas kondisi terakhir
terkait tuntutan mahasiswa dan elemen masyarakat yang tetap
menginginkan Presiden Soeharto mundur. Namun Presiden Soeharto
merespon dengan membentuk Komite Reformasi dan melakukan
reshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan menganti menjadi Kabinet
Reformasi. Kepercayaan diri Soeharto akhirnya runtuh setelah upaya
membentuk Kabinet Reformasi pada tanggal 20 Mei 1998 gagal. 14
Memanfaatkan momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei,
Amin Rais pada awalnya menggagas mengadakan doa bersama di
lapangan Tugu Monas. Namun, Amin Rais membatalkan rencana
tersebut karena di kawasan tersebut telah bersiaga 80.000 tentara
bersenjata lengkap. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung
ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko
kembali meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri pada
Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan memilih presiden baru.
Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII
mengundurkan diri, diantaranya Ginajar Kartasamita. 15

399
Pengayaan Materi Sejarah

Pada 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto


menyatakan muncur dari jabatan presiden yang telah dipegang selama
32 tahun atau turun ke prabon. Soeharto mengucapkan terima kasih
dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Soeharto kemudian
digantikan B.J. Habibie. Indonesia memasuki sebuah era baru yang
kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.

6.3. Perkembangan Politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan di


Era Reformasi
6.3.1. Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie
a. Dari Teknorat Menuju Birokrat
Reformasi merupakan suatu proses berlangsungnya pergeseran
dan perubahan dari suatu sistem yang kurang demokratis menuju ke
arah sistem yang lebih demokratis. Dalam pelaksanaanya, reformasi
mencakup hal-hal yang berkaitan dengan persamaan dalam politik,
sosial dan ekonomi. Hal ini menjadi beban di pundak presiden-
presiden Indonesia pasca Presiden Soeharto.
Setelah Presiden Soeharto lengser dari jabatannya, Indonesia
memasuki babak baru. Masyarakat berharap pada perbaikan kehidupan
demokrasi dan kesejahteraan melalui gerakan Reformasi. Habibie
sebagai wakil presiden, berdasarkan UUD 1945 Pasal 8 menerima
estafet kepemimpinan nasional menggantikan Soeharto sebagai sebagai
Presiden Republik Indonesia ke-3 dan diambil sumpahnya oleh Ketua
Mahkamah Agung di Istana Negara. Pelantikan Habibie sebagai
presiden pada awalnya memunculkan perbedaan pendapat mengenai
keabsahan dan kelayakan BJ Habibie. Mengacu pada Dasar UUD
1945, Pasal 8 dan TAP MPR No.VII/MPR/1973, maka Habibie sah secara
konstitusional. Namun bila memperhatikan UUD 1945 pasal 9
“Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini menyebabkan pengangkatan Habibie tidak lepas dengan
kontroversi. Namun menurut Nurcholish Madjid, bahwa itu merupakan
alasan yang paling akal, karena bahwa gedung DPR/ MPR RI sudah

400
Pengayaan Materi Sejarah

diduduki oleh ribuan Mahasiswa sehingga tuntutan pasal 9 tidak bisa


dilaksanakan. Hal ini menghindari kekosongan kekuasaan yang
dikhawatirkan akan terjadi chaos. Kontroversi tersebut lambat laun
mulai lenyap. 16
Alasan praktis yang masuk akal, seperti diungkapkan oleh
Nurcholish Madjid bahwa gedung DPR/ MPR RI sudah diduduki oleh
ribuan Mahasiswa sehingga tuntutan pasal 9 tidak bisa dilaksanakan.
Hal ini menghindari kekosongan kekuasaan yang dikhawatirkan akan
chaos.
Pada saat BJ Habibie melakukan pengambilan sumpah jabatan
sebagai presiden, di depan Istana Negara, sebagian masyarakat
melakukan aksi penolakan terhadap pelantikan B.J. Habibie sebagai
Presiden RI. Alasan mereka Soeharto dan B.J Habibie diangkat dalam
satu paket sebagai presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu
keduanya harus mengundurkan diri secara bersama-sama dan MPR
harus memilih presiden dan wakil presiden baru. Namun persoalan ini
lambat laun mulai lenyap.
Kenaikan Habibie sebagai Presiden, pada awalnya disangsikan
akan mampu melakukan agenda reformasi yang diembannya. Karena
dengan mundurnya Soeharto, negara bangsa berhadapan dengan
begitu banyak tantangan. Indonesia masa kini harus hidup dalam
lingkup tuntutan tiga lapisan zaman sejarah yang sepertinya telah
bersatu balas dendam akan masa lalu, kebutuhan mendesak akan masa
kini serta tantangan masa depan.17 Habibie dihadapkan dengan situasi
krisis ekonomi terburuk dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Kondisi ini
disebabkan adanya krisis mata uang yang didorong adanya hutang luar
negeri yang luar biasa besar. Kondisi ini menyebabkan turunnya nilai
tukar rupiah menjadi seperempat dari nilai tukar pada 1997. Krisis ini
menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri dan
manufaktur serta sektor finansial. Hal tersebut semakin diperparah
dengan adanya musim kemarau yang berkepanjangan yang berdampak
pada turunnya produksi beras.
Kerusuhan Mei 1998 menghancurkan pusat-pusat bisnis
perkotaan, khususnya di kalangan investor keturunan Cina yang
memainkan peran dominan dalam ekonomi Indonesia. Larinya modal ke
luar negeri, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang

401
Pengayaan Materi Sejarah

menjadikan upaya pemulihan menjadi sangat lamban, sehingga


berdampak pada tingkat infasi yang tinggi.
Pengunduran diri Presiden Soeharto menciptakan perasaan
senang secara umum. Namun tuntutan demokratisasi sistem politik,
pemilihan umum untuk memilih DPR/MPR yang akan memilih presiden
baru masih muncul di kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok pro
demokrasi. Di samping tuntutan berbagai tuntutan seperti yang disebut
di atas, pemerintah juga berada di bawah tekanan untuk
menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi warisan dari
Orde Baru.18
Habibie mengemban tugas untuk memimpin pemerintahan
transisi untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi dan
sesegera mungkin mengatasi kemelut yang terjadi. Habibie
menggambarkan kondisi Indonesia saat itu, seperti pesawat yang
tengah mengalami “Super Stall”, yang memiliki daya angkatnya nol dan
akan jatuh. Sementara 210 juta penumpang yang ada di dalamnya
tidak menyadari pesawat akan jatuh. Oleh karena itu, sebagai kopilot,
Habibie harus berani mengambil alih kendali dan menyelamatkan
pesawat. Siapapun yang menjadi kopilot di saat seperti itu tidak dapat
melakukan sesuatu menurut keinginannya, namun harus berkompromi
dengan keadaan, jika tidak maka Indonesia akan terpecah belah.
Pesawat Indonesia akan jatuh jika berbagai persoalan ekonomi, politik,
sosial dan psikologis, warisan pemerintahan sebelumnya (Orde Baru)
tidak segera diatasi. 19
Mensikapi kritik terhadap dirinya yang dinilai tidak tepat
menangani keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis multi dimensi.
B.J. Habibie menegaskan bahwa ia berkomitmen untuk melakukan
reformasi di bidang politik, hukum dan ekonomi. Secara tegas Habibie
menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden adalah sebuah
amanat konstitusi. Ia berjanji akan menyusun pemerintahan yang
bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan perubahan yang digulirkan
oleh gerakan reformasi 1998. Pemerintahan Habibie akan menjalankan
reformasi secara bertahap dan konstitusional serta berkomitmen
terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan politik yang
demokratis dan meningkatkan kepastian hukum.

402
Pengayaan Materi Sejarah

b. Menata Pemerintahan Baru Menuju Reformasi Birokrasi


Langkah awal yang dilakukan Habibie dalam mengurai permasalahan
Indonesia saat itu adalah membentuk Kabinet Reformasi Pembanguan.
Hal ini sejalan dengan pidato pertama Habibie pada 21 Mei 1998,
pada pukul.19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung
melalui RRI dan TVRI, yang bertekad untuk melaksanakan reformasi.
Tekad tersebut merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie untuk
menjawab tuntutan Reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa point
penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan
proses reformasi di ketiga bidang yaitu :
1. Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai
perundang-undangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas
kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana
yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Di bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-Undang
Subversi.
3. Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-
undang yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat.

Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4 Menteri


Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara
yang memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang menangani
tugas khusus. Kabinet tersebut mencerminkan semua unsur kekuatan
bangsa yang terdiri dari berbagai elemen kekuatan politik yang ada pada
masyarakat, seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur
daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga
swadaya masyarakat. Kebijakan Habibie mengikutsertakan kekuatan
sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi, profesional dan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat), diharapkan muncul sinergi dari semua
unsur kekuatan bangsa yang dilibatkan. Langkah Habibie ini semacam
rainbow coalition merupakan langkah demokratisasi awal untuk
menjawab tuntutan reformasi.20
Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakan semua
komitmen yang telah disepakati dengan pihak luar negeri, khususnya
dengan melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan
kesepakatan dengan IMF. Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi

403
Pengayaan Materi Sejarah

kerjasama regional dan internasional, seperti yang telah dilaksanakan


selama ini dan akan berusaha dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
mengembalikan dinamika pembangunan bangsa Indonesia yang
dilandasi atas kepercayaan nasional dan internasional yang tinggi.
Dalam pandangan Habibie, Reformasi sesungguhnya tidak
berarti suatu perubahan total, melainkan suatu perbaikan pesat tanpa
mengganggu kesinambungan. Hal ini dibuktikan dengan kerja Habibie
yang menjabat presiden dalam waktu singkat menghasilkan 16 UU, 68
PP, 130 dekrit presiden dan 12 Kepres di bidang ekonomi; 31 UU, 59
PP, 132 Dekrit Presiden dan 11 Kepres dalam bidang politik; serta 19
UU, 4 PP, 38 Dekrit Presiden dan 8 Kepres ditambah 2 peraturan
pemerintah sebagai pengganti hukum di bidang HAM. Habibie dengan
kabinet yang dipimpinya berhasil melakukan perubahan dan
mempercepat proses evolusioner yang cukup penting. Hal ini tidak akan
pernah terjadi sebelumnya di bawah rezim kekuasaan orde baru. 21
B.J. Habibie, dalam sidang kabienet pertamanya memberikan arahan
bahwa pemerintah harus mampu mengatasi krisis ekonomi dengan dua
sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan
berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Pusat perhatian
Kabinet Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas,
produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi peran
perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena terbukti memiliki
ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.
Untuk menyehatkan nilai tukar rupiah yang terus merosot, BJ Habibie
mengumumkan pemisahan Bank Indonesia (BI) dari pemerintahan
dengan tidak memasukan Gubernur BI dalam Kabinet Reformasi
Pembangunan. Habibie berpedapat bahwa BI harus menjadi lembaga
independen yang mampu membuat kebijakan yang logis tanpa inervensi
politik. Di sisi lain, negara juga dilarang meminjam dana ke BI, harus ke
pasar modal. Kebijakan ini diharapakan mampu menguatkan nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing terutama dola Amerika serikat.22
Habibie juga tetap mempertahan kebijakan mata uang rupiah
bergerak sesuai dengan ekonomi pasar, membebaskan semua tahanan
politik, memberikan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan
berdemontrasi serta berkunjung ke DPR untuk berkonsultasi tentang
jadual Sidang Istimewa. Apa yang dilakukan habibie adalah sesuai
dengan tuntutan rakyat melalui reformasi.23

404
Pengayaan Materi Sejarah

Pengalamannya selama 24 tahun di pusat kekuasaan


membuatnya berkesimpulan bahwa permasalahan utama mereformasi
birokrasi adalah memisahkan birokrasi dengan pengaruh kepentingan
politik praktis. Kalau tidak dipisahkan akan melahirkan kekuasaan
ekslusif yang akan membawa pada sikap otoritarian.
Pada 10-13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi
di segala bidang. Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam
menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah
terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR. antara lain:
mengamandemen UUD 1945 tanpa melalui referendum; Masa jabatan
presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas,
masing masing lima tahun (Tap MPR No.XIII/ MPR/1998); Agenda
reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa
kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik dan berbagai perubahan
terhadap Dwifungsi ABRI; tentang Hak Azasi Manusia, Habibie
mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan politik dan narapidana
politik.
Tuntutan terhadap reformasi politik dari banyak kalangan adalah
amandemen UUD 1945. Amandemen terhadap UUD 1945 karena
menjadi salah satu sumber permasalahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara selama ini. Kekuasaan presiden menurut UUD
1945 sangat besar, tidak memiliki check and balances system, terlalu
fleksibel, sehingga banyak penyalahgunaan dalam pelaksanaannya,
pengaturan hak azasi manusia yang minim dan kurangnya pengaturan
mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.24
Oleh karena amandemen UUD 1945 yang dilakukan untuk
mencegah munculnya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan
yang tidak terbatas, maka diberlakukan pembatasan masa jabatan
Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi Presiden
sebanyak dua kali masa jabatan saja. Hal ini berlaku pada pemilihan
umum 1999.
Langkah lain yang dilakukan Habibie adalah mereformasi Golkar
menjadi partai politik melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa. Ia juga
membubarkan Keluarga Besar Golkar yang merupakan koalisi Golkar,
ABRI dan Utusan Daerah.25

405
Pengayaan Materi Sejarah

Habibie juga melakukan kebijakan baru dengan melarang


rangkap jabatan pemerintahan dengan pimpinan partai Politik.
Kebijakan ini berdampak pada mundurnya Akbar Tanjung selaku ketua
partai Golkar dan Hamzah Haz selaku ketua PPP.
Dalam melaksanakan reformasi, terdapat tiga permasalahan
nasional yang membayangi stabilitas nasional, yaitu Timor Timur, Aceh
dan Irian Jaya. Untuk menghindari kekacauan dan instabilitas ekonomi-
politik ketika proses reformasi berjalan, Habibie mengajukan Otonomi
Daerah yang lebih demokratis dan semakin luas sebagai solusi penangan
masalah Aceh dan Irian Jaya. Kebijakan ini diharapkan akan
meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah
ditetapkan melalui Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
c. Partai Politik dan Pemilu 1999
Salah satu misi terpenting pemerintahan Habibie adalah
membuka jalan peralihan demokratis dengan mempercepat
pelaksanaan pemilihan umum. Habibie memandang bahwa pemilu
merupakan instrumen terpenting dalam membangun demokrasi. Oleh
karena itu Habibie meminta DPR untuk melakukan perubahan terhadap
UU pemilihan umum. Karena sistem politik yang ada sangat
mengistimewakan golkar. Sistem tersebut membuat DPR/ MPR tidak
memiliki legitimasi di mata masyarakat. Legitimasi masyarakat sangat
diperlukan dalam mengubah situasi krisis yang tidak terprediksi menjadi
terprediksi. Faktor inilah yang mendorong Habibie menyiapkan pemilu
secepatnya. Langkah awal yang dilakukan oleh Habibie adalah
memberikan kebebasan berpolitik dengan mencabut aturan
pembatasan partai politik. Kebijakan tersebut memunculkan kebebasan
untuk mendirikan partai politik, sehingga sampai pertengahan Oktober
1998 tercatat sebanyak 80 partai politik baru, bahkan ketika Pemilihan
Umum akan dilaksanakan, jumlahnyab mencapai 141 partai. Setelah
diverifkasi oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi 95 partai, dan yang
berhak mengikuti Pemilihan Umum 48 partai.
Pemilihan umum 1999, merupakan tonggak terpenting dalam
pembangunan demokrasi di Indonesi, karena ini menjadi langkah awal
pemilu yang demokratis. Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan pemilu
dengan multipartai.
Setelah UU pemilihan umum disahkan, presiden membentuk
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari

406
Pengayaan Materi Sejarah

wakil partai politik dan wakil pemerintah. Hal yang membedakan pemilu
1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955) adalah diikuti
oleh banyak partai. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang tergolong
singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat
dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak
pihak, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai tanpa
ada kekacauan yang berarti meski dikuti partai yang jauh lebih banyak,
pemilu kali ini juga mencatat masa kampanye yang relatif damai
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berdasarkan laporan Komisi
Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye,
baik karena kekerasan maupun kecelakaan dibanding dengan 327 orang
pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh tiga partai. Ini juga
menunjukkan rakyat kebanyakan lebih rileks melihat perbedaan. Pemilu
1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang paling
demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI),
pada 1 September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil
pembagian kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi
di DPR, atau 90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul
sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi, Golkar
memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34 kursi.
Kebijakan Ekonomi
Pada masa awal dilantik sebagai presiden RI ke tiga, B.J. Habibie mewarisi
kondisi ekonomi yang sangat kritis, inflasi mencapai 650%, nilai tukar
rupiah amblas dari Rp 2400an menjadi Rp15000an pada Juni 1998.
Kondisi ini membuat sistem perbankan mati dan bisnis mengalami
kebekuan. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka PHK.
Oleh karena itu, sesuai dengan Tap MPR tentang pokok-pokok reformasi
yang menetapkan dua arah kebijakan pokok di bidang ekonomi, yaitu
penanggulangan krisis ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai rupiah
dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga
terjangkau, serta berputarnya roda perekonomian nasional, dan
pelaksanaan reformasi ekonomi. Presiden BJ.Habibie melakukan
kebijakan ekonomi dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter
Internasional yang dimodifkasi dengan mempertimbangkan kondisi

407
Pengayaan Materi Sejarah

perekonomian Indonesia yang semakin memburuk. Reformasi ekonomi


mempunyai tiga tujuan utama yaitu: (1) Merestrukturisasi dan
memperkuat sektor keuangan dan perbankan; (2) Memperkuat basis
sektor riil ekonomi; (3) Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi
mereka yang paling menderita akibat krisis.
Secara perlahan Habibie berhasil membawa perekonomian
Indonesia ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
ekonomi sebelumnya yang sangat buruk. Pemerintahan Habibie
berhasil menurunkan laju infasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai
kembali berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifkan adalah
nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga nilai
tukar rupiah menyentuh Rp. 6.700,00 per US$ 1 pada Juni 1999. Nilai
tukar rupiah sedikit melemah mencapai Rp. 8000,-per US$ 1, ketika
eskalasi politik naik menjelang Sidang Umum MPR.
Sesuai TAP MPR No.X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis
di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dan krisis ekonomi,
Pemerintah kemudian menerapkan Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS). Program Jaring Pengaman Sosial, di bidang kesehatan dan
pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi
krisis.
Kebebasan Pers: langkah awal kebebasan berpedapat
Habibie menyadari bahwa tuntutan rakyat menjelang reformasi
adalah penghormatan terhadap hak-hak dasar seorang manusia, yaitu
masalah HAM. Salah satu kebijakan habibie terkait dengan itu adalah
pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media
massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir dibredel
melalui mekanisme pencabutan Surat Izin Terbit. Hal penting lainnya
dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa
adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi
profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota
satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh
pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh
pemerintah. Era Habibie diberi kebebasan untuk membentuk berbagai
organisasi profesi.
Kebijakan ini membawa dampak positif bagi pertumbuhan pers
di Indonesia. Pada masa orde baru media cetak hanya sejumlah 289,
pada masa habibie mencapai 1398. Maraknya penerbitan disebabkan

408
Pengayaan Materi Sejarah

kebijakan pencabutan SIT oleh Habibie. Karena menurut Habibie


kebebasan pers yang profesional merupakan pilar penting bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia.
d. Membuka Jalan Kemerdekaan Timor Timur
Pada 24 Juni 1998, Habibie menerima kunjungan Uskup Dili
Carlos Filipe Ximenes Belo di Bina Grha untuk membicarakan masalah
Timor Timur. Berdasarkan pembicaraan dengan Uskup Belo, Habibie
berpendapat bahwa permasalahan Timor Timur harus segera
diselesaikan sebelum presiden RI ke-4 terpilih jangan menjadi beban
Reformasi. Persoalan Timor Timur merupakan permasalahan nasional
yang panjang cerita sejarahnya. Timot Timur yang berintegrasi ke
Indonesia pad 17 Juli 1976, dianggap PBB sebagai aneksasi Indonesia
terhadap Timor Timu. Oleh karena itu dunia internasional meminta
penyelesaian masalah Timor Timur dilakukan melalui referendum.
Berbagai upaya perundingan telah dilakukan oleh pihak terkait, yaitu
PBB, Portugal dan Indonesiua. Dalam perundingan Tripartit, PBB dan
Portugal turut mendesak Indonesia untuk mengadakan referendum di
Timor Timur. 26
Posisi Indonesia di forum internasional selalu dipojokkan.
Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra
Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan
masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh
masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia
menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur.
Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda,
yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10
tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-
pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan
referendum, untuk memastikan rakyat „Timor-Timur memilih otonomi
atau kemerdekaan.
Menghadapi situasi tersebut, pemerintah kemudian
menawarkan dua opsi kepada rakyat Timor Timur, yaitu otonomi yang
luas dan berpisah dari NKRI.27
Dalam Perjanjian Tripartit yang disahkan pada 5 Mei 1999 di
New York, Indonesia, Portugal dan PBB sepakat untuk menjalankan jajak
pendapat. Jajak pendapat rakyat Timor Timur akan menentukan nasib
mereka sendiri. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk United Nasions

409
Pengayaan Materi Sejarah

Mission in East Timor (UNAMET) pada 11 Juni 1999. Habibie dan Koffi
Annan bersepakat untuk merahasiakan hasil jajak pendapat hingga 72
jam setelah hasilnya diketahui. Jajak pendapat diselenggarakan pada 30
Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak
pendapat adalah 78.5% menolak dan 21,5% menerima. Habibie
menerima informasi melalui telefon dari Kofi Annan pada tanggal 4
September 1999. Sekjen PBB tersebut menyampaikan akan melakukan
konferensi pers untuk mengumumkan hasil jajak pendapat tersebut.28
Sikap Sekjen PBB yang melakukan konferensi pers dianggap
Habibie melanggar kesepakatan. Hal tersebut berdamapak munculnya
kerusuhan sosial di Timor Timur pada 6 September 1999. Kondisi
tersebut mendorong pemerintah mengumumkan kondisi Darurat
Militer. Sehingga demi kemanusiaan, pemerintah Indonesia menyetujui
percepatan pengiriman pasukan multinasional di Timor Timur.
Hasil jajak pendapat kemudian dilaporkan Habibie ke MPR.
Habibie mengatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
dan itu sesuai dengan nilai dasar dari UUD 1945. Presiden Habibie
mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut
dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan
terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sidang Umum MPR RI pada 19
Oktober 1999, memutuskan hasil jajak pendapat tersebut diterima dan
ditetapkan dalam TAP MPRRI No. V/MPR/1999 tentang penyataan
pendapat Timor Timur. Dengan demikian Timor Timur resmi berpisah dari
Indonesia. Sesuai dengan perjanjian New York, ketetapan tersebut
mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik, terhormat dan
damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah
bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab,
demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Gerak Reformasi Hukum
Kebijakan Habibie di bidang hukum disesuaikan dengan Tap
MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum yang arahnya untuk
menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang
hukum. Reformasi dibidang ini sekaligus untuk menunjang upaya
reformasi di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.
Keberhasilan Habibie menyelesaikan 68 produk perundang-
undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya dalam waktu
16 bulan. Setiap bulan rata-rata dapat dihasilkan sebanyak 4,2 undang-

410
Pengayaan Materi Sejarah

undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa


Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun
(0,34 per bulan).
Untuk meningkatkan kinerja aparatur negara penegak hukum,
BJ Habibie melakukan reorganisasi kepolisian, Kepolisian dikembangkan
keberadaannya dan dipisahkan dari organisasi Tentara Nasional
Indonesia. Jadi fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait ke dalam
kerangka sistem penegakan hukum.
Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam
kehidupan nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi
negara yang selama ini seakan-akan disakralkan haruslah ditelaah
kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang penting untuk
menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang akan datang semakin
mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan ke
arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan. Untuk itu
pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No 11/1978
mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum
diberlakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut.
Setelah pemilihan umum hasilnya di umumkan dan terbentuk
anggota DPR/MPR periode 1999-2004 kemudian dilaksanakan Sidang
Umum MPR mulai 1 sampai 21 Oktober 1999. Amin Rais dari Partai
Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung
dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada 14 Oktober 1999,
Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di
depan Sidang Umum MPR. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober
1999, dari sebelas fraksi yang menyampaikan pemandangan umumnya,
hanya empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan enam fraksi
lainnya masih belum menentukan putusannya. Kebanyakan fraksi itu
memberikan catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban
Habibie itu. Masalah diangkat diantaranya masalah Timor-Timur,
pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak Azasi
Manusia.29
Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum
fraksi-fraksi, MPR dalam sidangnya pada 20 Oktober 1999, dini hari

411
Pengayaan Materi Sejarah

akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses


voting. Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais
menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa
pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak. Mengetahui pidato
pertanggungjawabannya ditolak, Presiden Habibie tetap
memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa
dia ikhlas menerima keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung
jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga menyatakan
mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya.30
Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan
agenda pemilihan presiden dilaksanakan. Beberapa calon diantaranya
adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza
Mahendra. Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya
beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden.
Lewat dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman
Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan
suara. Ia mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Peristiwa ini menjadi akhir dari kekuasaan
Presiden Habibie yang berlangsung kurang lebih 17 bulan.

6.3.2. Masa Presiden Abdurrahman Wahid


a. Munculnya Poros Tengah
Kiprah Aburrahman Wahid, akrab di panggil Gus Dur, dalam politik
praktis diawalinya dengan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada 1999. Pada pemilu 7 Juni 1999, PDIP keluar sebagai partai yang
memperoleh suara paling banyak, sehingga PDIP yakin Megawati
Soekarnoputri dapat merebut kedudukan Presiden. Namun suasana
politik menjadi tegang tatkala partai-partai Islam menolak tokoh
perempuan menjadi pemimpin negara. Penolakan tersebut membuat
ketegangan semakin memuncak dan masyarakat khawatir akan
terjadinya bentrok diantara kalangan yang bersih tegang. Namun ketika
Amin Rais muncul dengan membangun kekuatan poros tengah31 dan
mengajukan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Menurut
Amin Rais, Abdurrahman Wahid merupakan satu-satunya tokoh Islam
yang bisa diterima oleh semua kalangan. Sehingga naiknya
Abdurrahman Wahid diharapkan akan meredakan konflik diantara
sesama anak bangsa.

412
Pengayaan Materi Sejarah

Terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada 20


Oktober 1999 tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-
partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid
mengungguli calon presiden PDI-P, Megawati Soekarno Putri dalam
pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam
rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih
menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam
pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik
menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999. 32
Presiden Abdurrahman Wahid mengawali kiprahnya sebagai presiden
mengawal cita-cita reformasi dengan membentuk Kabinet Persatuan
Nasional. Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari partai-partai politik yang
sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni
PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P.
b. Reformasi Birokrasi
Reformasi terhadap lembaga pemerintahan terjadi pada masa
awal pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dua departemen
yang kuat sejak masa Orde Baru, dilikuidasi. Kedua departemen tersebut
adalah Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Presiden
Abdurrahman Wahid berargumentasi sebagai perampingan struktur
pemerintahan. Pemerintah Abdurrahman Wahid juga berpandangan
bahwa aktivitas yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat
dilaksanakan oleh pemerintah daerah sehubungan dengan otonomi
daerah. Namun dari sisi politik, kebijakan pembubaran Departemen
Penerangan merupakan upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang
sosial dan politik, mengingat departemen tersebut merupakan alat
pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa.
Departemen lainnya yang mengalami reformasi birokrasi adalah
departemen pekerjaan umum. Departemen ini kemudian diubah
menjadi kementrian Permukiman dan Prasarana Wilayah.33
Kebijakan Abdurrahman Wahid melikuidasi Departemen
Penerangan dan Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen
Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999
tertanggal 26 Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas
dan fungsi termasuk susunan organisasi dan tata kerja departemen ini
tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10

413
Pengayaan Materi Sejarah

November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen


Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165
tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini
memiliki nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden
Habibie, sektor kelautan Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber
daya alam besar justru belum mendapat perhatian serius dari
pemerintah sebelumnya. Selain explorasi dan eksploitasi sumber daya
kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut
meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal
dan pengembangan budi daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.
c. Resolusi dan Solusi
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, konflik politik di Aceh
dan Papua masih belum terselesaikan. Solusi yang dilakukan oleh
pemerintahan sebelumnya lebih cenderung menggunakan pendekatan
militer. Aspirasi masyarakat di kedua wilayah konflik itu tidak didengar,
sehingga konflik tidak pernah diselesaikan dengan tuntas. Oleh karena
itu Abdurrahman Wahid mengambil pendekatan kebudayaan untuk
menyelesaikan persoalan keamanan di kedua daerah tersebut. Hal ini
memungkinkan terjadinya dialog secara terbuka. Cara ini menimbulkan
kelegaan di kalangan masyarakat Aceh dan Papua. Abdurrahman Wahid
dikenal sebagai presiden yang kaya akan pendekatan kebudayaan dan
semangat Humanis. Di era ini pula nama Irian Jaya di ubah menjadi
Papua.34
Ada satu hal yang menarik dari pernyataan Abdurrahman Wahid terkait
dengan penyelesaian konflik Aceh adalah ketika ia di wawancara oleh
Radio Netherland. Ia menyatakan bahwa “ sebagai seorang Demokrat
saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan
nasib sendiri. Akan tetapi sebagai seorang Republik, saya diwajibkan
untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan
amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000.
Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat,
provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah
pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara
dapat memilih langsung wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan
Perwakilan tersebut.

414
Pengayaan Materi Sejarah

Reformasi ABRI
Abdurrahman Wahid juga memiliki visi untuk melakukan
reformasi internal dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI). Reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas unsur TNI dan Polri. Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh
Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan terutama
dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi.
Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk mengembalikan
fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri
dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman
kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam
menjaga keamanan dan ketertiban. Namun dalam situasi tertentu kedua
kekuatan ini dapat bekerja sama dan saling membantu untuk
kepentingan bangsa dan negara. Abdurrahman Wahid menyebutnya
agar bisa berdiri secara mandiri dan menjadi kekuatan nasional yang
profesional.35
Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap TNI yang terlibat
dalam politik penguasa, sehingga menodai kemandirian lembaga TNI.
Untuk menyokong kebijakan ini, Abdurrahman Wahid kemudian
mengusulkan ke MPR untuk membuat ketetapan yang terkait dengan
pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan. Ketetapan inilah
yang menjadi landasan hukum pemisahan TNI dan Polri.36
Kebijakan Pendidikan: Penyetaraan pendidikan formal dan nonformal
Riwayat pendidikan Abdurrahman Wahid mempertemukan dua model
pendidikan, yaitu pendidikan formal (sekolah negeri) dan pendidikan
nonformal (pesantren). Menurut Abdurrahman Wahid, pendidikan
nonformal mempunyai peran penting dalam pendidikan karakter
kebangsaan.
Reformasi pendidikan yang diusulkan oleh Abdurrahman Wahid terletak
pada otonomi dan pemetaan tugas yang komprehensif dan
kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatur dunia
pendidikan. Salah satu implementasi pemikiran ini adalah
dikeluarkannya keputusan presiden terkait perubahan status beberapa
perguruan tinggi negeri dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi
Perguruan Tinggi yang berbadan hukum milik negara. Perguruan tinggi
tersebut diantara adalah UI, UGM, UNDIP, UNPAD, IPB, dan ITB.

415
Pengayaan Materi Sejarah

Di sisi lain Abdurrahman Wahid juga berpendapat bahwa


pendidikan universal bisa tumbuh di sekolah maupun di masyarakat.
Oleh karena itu muncul istilah yang diakui secara resmi dalam kebijakan
pendidikan nasional yaitu pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan PT)
dan pendidikan nonformal (keluarga, lingkungan kerja, komunitas sosial
dan lain-lain). Cetak biru pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan
universal tertual dalam UU no 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (khusus bidang pendidikan)37
Kebijakan Akomodasionis
Abdurrahman Wahid Sudah dikenal sebagai tokoh pluralis sebelum ia
menjadi presiden. Ia berpendapat bahwa setiap warga negara, tanpa
memperhatikan etnis, agama dan aliran politiknya memiliki hak dan
kedudukan yang sama. Pemikiran tersebut merupakan esensi dari ajaran
agama apapun karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Prinsip
inilah yang dipegang Abdurrahman Wahid dalam berbagai aktivitasnya.
Sikapnya yang mengayomi kaum minoritas merupakan
perwujudan dari pemikirannya tentang Islam rahmat bagi alam semesta.
Ketika menjadi presiden, gagasan tentang pluralis dan pembelaan hak
kaum minoritas direalisasikan dengan mencabut Inpres No 14 tahun
1967. Selanjutnya Presiden Abdurrahman Wahid pemulihan hak
minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka
yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun
2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu.
Melalui keputusan itu pula Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan
Imlek sebagai hari libur nasional. Pada masa pemerintahannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara
dalam kehidupan umat beragama. Lebih lanjut, Presiden
Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa “Kita hanya akan mampu
menjadi bangsa yang kokoh, kalau umat beragama yang berbeda dapat
saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling
menghormati.” Kebijakan ini menjadikan Abdurrahman Wahid
memperoleh gelar Bapak Tionghoa Indonesia.38
Di sisi lain, Presiden Abdurrahman Wahid mengambil sikap
yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya
terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden
Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam
masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak

416
Pengayaan Materi Sejarah

kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai


aksi penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya. Dalam
kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan
kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun
1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan
penyebaran Marxisme dan Leninisme. Gagasan tersebut mendapat
tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan
tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi
tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan
niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan
MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman
Wahid dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene
justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden adalah
gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel
adalah negara yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan
pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang
mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel
sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan
berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember
1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses
hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses
hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan
Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar
negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai
terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Langkah Kontroversi
Akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial
mendapat tantangan keras dari organisasi massa dan partai politik Islam
yang semula mendukungnya, kecuali NU dan PKB. Selain gagasannya

417
Pengayaan Materi Sejarah

yang kontroversial, Presiden Abdurrahman Wahid memiliki hubungan


kurang harmonis dengan DPR dan beberapa menteri dalam kabinetnya.
Ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden
memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan
penjelasan yang dapat diterima oleh DPR. Seperti pemberhentian
Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal,
Nurmachmudi Ismail Selaku Menteri Kehutanan dan Jusuf Kalla sebagai
Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang menyebabkan DPR
mengajukan hak interpelasinya.39
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid
dan jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya
dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana
Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35
miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta
dollar AS. Kondisi ini mendorong DPR membentuk Panitia Khusus
(Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden
Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut. Pansus menduga ada peran
Abdurrahman Wahid dalam pencairan dan penggunaan dana
Yanatera.40
Kasus tersebut mendorong DPR mengadakan rapat paripurna
untuk memberikan tanggapan dan pemandangan umum fraksi-fraksi
atas hasil kerja Pansus. Satu hal yang menjadi sorotan masyarakat
adalah bahwa kasus ini sangat kontradiktif dengan upaya
pemberantasan KKN yang seharusnya gencar dilakukan pemerintah dan
tentunya berlawanan dengan upaya dan cita-cita reformasi terutama
upaya untuk menghapuskan praktek KKN yang merajalela pada masa
pemerintahan Orde Baru. Rakyat menaruh harapan besar di pundak
Presiden Abdurrahman Wahid untuk membenahi tatanan pemerintahan
dan memperbaiki berbagai penyelewengan yang dilakukan pada masa
pemerintahan Orde Baru.41
Pada 1 Februari 2001, DPR menyetujui dan menerima hasil kerja
Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang
dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk
mengingatkan bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu
UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN.
Namun Presiden Abdurrahman Wahid menggangap memorandum

418
Pengayaan Materi Sejarah

tersebut tidak memenuhi landasan konstitusional. Ia tiak bisa menerima


memorandum tersebut. Sikap Presiden tersebut kemudian direspon DPR
dengan mengeluarkan memorandum yang ke dua dalam rapat
paripurna pada 30 April 2001. Rapat tersebut memberikan laporan
pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap
memorandum pertama.
Laporan pandangan fraksi-fraksi membuat hubungan Presiden dan
DPR semakin memanas. Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
pernyataan bahwa jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar
Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan
darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula
akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri
untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu
yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah.
Pernyataan tersebut meningkatkan ketegangan para pendukung
presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan
pendukung Presiden Abdurrahman Wahid melakukan aksi menentang
diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menurunkan
Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Aksi ini berujung pada
pengrusakan dan pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung
termasuk kantor milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang
dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR.42
Kejaksaan Agung, dua hari menjelang pelaksanaan Sidang
Paripurna DPR, mengumumkan hasil penyelidikan kasus skandal
keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang
diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid bahwa hal tersebut
tidak terbukti melibatkan Abdurrahman Wahid. Jaksa Agung, Marzuki
Darusman, menyampaikan hasil akhir dari pemeriksaan tersebut kepada
pimpinan DPR pada 28 Mei 2001.
Ketegangan yang terjadi antara pendukung presiden dan
pendukung Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk
menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap
bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR
kemudian menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR
mengadakan Sidang Istimewa MPR. permohon DPR tersebut kemudian
direspon oleh MPR dengan menyelenggarakan Sidang Istimewa yang
dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais pada 21 Juli 2001. Di sisi lain

419
Pengayaan Materi Sejarah

Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan


mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa
sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah
dan illegal.43
Menyadari posisinya yang terancam, Presiden selanjutnya
mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001 yang
kemudian disebut juga sebagai Dekrit Presiden, yang berisi (1)
pembekuan MPR dan DPR RI;(2) mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat; dan (3) mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan
menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde
Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung. Namun isi dekrit tersebut tidak dapat berjalan
dengan semestinya karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk
mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak menjalankan
tugasnya. Hal ini karena menurut Panglima TNI Widodo AS, sejak
Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan
diri dalam politik praktis.44
Kebijakan yang diambil oleh TNI dan Polri turut memuluskan
jalan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dengan agenda pemandangan
umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman
Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk menerima
atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.II/MPR/2001 tentang
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan
Ketetapan MPR No.III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden
Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh
anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden
dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan
menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang
Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. MPR
kemudian memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan
mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden
kelima Republik Indonesia pada 23 Juli 2001.

420
Pengayaan Materi Sejarah

6.3.3. Masa Presiden Megawati Soekarno Putri


Membangun Pemerintahan Baru
Perjalanan politik megawati terbilang cepat, karena ia baru masuk
arena politik pada 1987 ketika ia memutuskan masuk Partai Demorasi
Indonesia. Pada tahun itu pula ia menjadi anggota DPR dari daerah
pemilihan Jawa Tengah. Pada 1993, ia menjadi ketua umum PDI. Ia
belajar politik bukan dari sekolah, namun dari pengalaman bersama
ayahnya, Presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Ia menjadi teman diskusi
Soekarno setelah menerima tamu-tamu politiknya. Megawati sendiri
menuturkan bahwa “dari situlah saya mulai banyak tahu (politik).
Bahkan jika ada peristiwa nasional atau internasional yang menarik
perhatian Bapak, kepada kami sering diberi penjelasan. Itulah masa
paling berharga.”45
Masuknya Megawati dalam dunia politik sudah diperhitungkannya
dengan matang. Ia sudah mempertimbangkan resiko yang akan
ditanggungnya ketika memilih masuk kedunia politik praktis. Masuknya
Megawati dalam dunia politik membuat saudara-saudaranya terkaget-
kaget, karena Megawati dikenal sebagai penari yang bersuara lembut
dan bergerak dengan halus.46
Langkah awal Presiden Megawati menjalankan tugasnya
sebagai presiden kelima Republik Indonesia adalah membentuk Kabinet
Gotong Royong. Kabinet gotong royong memiliki lima agenda utama
yaitu (1)membuktikan sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN;
(2) menyusun langkah untuk menyelamatkan rakyat dari krisis yang
berkepanjangan; (3) meneruskan pembangunan politik; (4)
mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial
kultural yang kondusif untuk memajukan kehidupan masyarakat sipil;(5)
menciptakan kesejahteraan dan rasa aman masyarakat dengan
meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia.47
Sejarah mencatat beberapa kebijakan penting Presiden
Megawati Soekarnoputri selama memerintah sebagai Presiden RI kelima
antara lain ia membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan,
memerangi terorisme, menjaga integrasi bangsa, menghasilkan UU
kekerasan dalam Rumah Tangga, menetapkan kuota wajib 30%
perempuan dalam pemilu legislatif, menetapkan anggaran pendidikan
sebesar 20% APBN, membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, membentuk Mahkamah Konstitusi (MK), menyelenggarakan

421
Pengayaan Materi Sejarah

pemilihan presiden langsung, melakukan reformasi hukum,


menstabilkan prekonomian dan menghentikan hutang luar negeri.
Menata Konstitusi dan Memberantas Korupsi
Tantangan berat Presiden Megawati yang dihadapai Megawati pada
masa awa; pemerintahannya adalah upaya untuk memberantas KKN.
Hal ini disebabkan banyaknya kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang
belum tuntas dan ditambah kasus KKN pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid. Untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN,
pemerintahan Presiden Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana
Korupsi setelah keluarnya UU RI No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Namun
pembentukan komisi ini menuai kritik karena pada masa Abdurrahman
Wahid telah dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN). Keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang
tindih dari tugas yang diembannya. Pada masa pemerintahan Megawati
sendiri, kedua komisi tersebut tidak berjalan secara maksimal sehingga
diakhir pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN ada yang
belum diselesaikan.
Pada era ini, MPR juga melakukan kembali amandemen terhadap UUD
1945 pada tanggal 10 November 2001. Amandemen tersebut meliputi
penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan kedaulatan berada di
tangan rakyat. Salah satu perubahan yang penting adalah terkait
dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dan akan diterapkan pada pemilu tahun 2004.
Perubahan ini menyebabkan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum
bukan hanya memilih calon anggota legislatif, namun juga presiden
dan kepala daerah secara terpisah. Hal lain yang dilakukan terkait
dengan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah
pembatasan wewenang MPR, kesejajaran kedudukan antara presiden
dan DPR yang secara langsung menguatkan posisi DPR, kedudukan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penetapan APBN yang diajukan oleh
presiden dan penegasan wewenang BPK.48
Bagian yang penting dalam amandemen yang dilakukan MPR adalah
terkait dengan upaya pemberantasan KKN. Upaya yang dilakukan
adalah penegasan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen
untuk menyelenggarakan peradilan yang adil dan bersih guna
menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah

422
Pengayaan Materi Sejarah

Agung. Amandemen ini memberikan kekuatan bagi penegak hukum


untuk menembus birokrasi yang selama ini disalahgunakan untuk
mencegah penyelidikan terhadap tersangka kejahatan terlebih jika
sebuah kasus menimpa pejabat pemerintah yang tengah berkuasa.
Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita reformasi di bidang hukum adalah
pencanangan pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan
dikeluarkannya UUD no 24 tentang Mahkama Konstitusi 23 Agustus
2003. Lembaga ini dibuat untuk menjaga UUD 1945 sebagai asas
bersama dalam kehidupan bernegara.
Selain beberapa amandemen terkait masalah hukum dan pemerintahan,
pemerintahan Presiden Megawati juga berupaya melanjutkan upaya
reformasi di bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-
undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat dari sisi kebebasan
mengeluarkan pendapat, keberadaan kedua undang-undang tersebut
berdampak positif namun di sisi lain berbagai media yang diterbitkan
oleh partai-partai politik dan LSM seringkali melahirkan polemik dan
sulit dikontrol oleh pemerintah.
Menata Ekonomi Nasional
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1998 belum dapat diselesaikan
oleh dua presiden sebelumnya sehingga pemerintahan Megawati
mewarisi berbagai persoalan ekonomi yang harus diselesaikan. Masalah
ekonomi yang kompleks dan saling berkaitan menuntut perhatian
pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki
kehidupan rakyat. Pada 5 September 2003, Presiden Megawati
mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 tahun 2003 tentang paket
kebijakan ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja
sama dengan IMF. Kerja sama dengan pemberian pinjaman sebesar
US$9miliar akan berakhir pada November 2003. Paket kebijakan
pemulihan ekonomi menyeluruh ini diharapkan dapat menggerakkan
sektor riil dan keuangan agar dapat menjadi stimulus pemulihan
ekonomi.
Kondisi yang kondusif selama masa pemerintahan Megawati
berdampak positif pada perkembangan sektor ekonomi. Hal ini
membuat pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di
bidang ekonomi dan dianggap berhasil membangun kembali
perekonomian bangsa yang sempat terpuruk sejak beralihnya
pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Habibie.

423
Pengayaan Materi Sejarah

Salah satu indikator keberhasilan pemerintahan Presiden Megawati


adalah rendahnya tingkat infasi dan stabilnya cadangan devisa negara.
Nilai tukar rupiah relatif membaik dan berdampak pada stabilnya harga-
harga barang. Kondisi ini juga meningkatkan kepercayaan investor
terhadap perekonomian Indonesia yang dianggap menunjukkan
perkembangan positif. Kenaikan infasi pada Januari 2002 akibat
kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai bencana lainnya juga
berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002.
Namun berbagai pencapaian di bidang ekonomi pemerintahan
Presiden Megawati mulai menunjukkan penurunan pada paruh kedua
pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003 nilai tukar rupiah
yang sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian melemah
seiring menurunnya kinerja pemerintah. Di sisi lain, berbagai pencapaian
tersebut juga tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang
ternyata masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Popularitas pemerintah juga menurun akibat berbagai kebijakan yang
tidak populis dan meningkatkan infasi. Meningkatnya infasi berdampak
buruk terhadap tingkat inflasi riil. Diantara kebijakan tersebut adalah
kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan negara. Selain itu,
persoalan hutang luar negeri juga menjadi persoalan pada masa
pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang luar negeri
mengambil porsi APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari total
penerimaan pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebesar 219,4 triliun
rupiah. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengalami defsit anggaran
dan kebutuhan pinjaman baru.
Presiden Megawati menyadari bahwa bidang yang mendapat
perhatian dalam jangka pendek pemerintahannya adalah penguatan
infrastruktur untuk pemberdayaan rakyat banyak. Salah satu fokus
perhatiannya adalah masalah kelautan. Bentuk konkret komitmen
tersebut adalah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan.
Landasan pemikiran yang digunakan oleh Presiden Megawati adalah
terjadinya ketimpangan perhatian antara pembangunan darat dan laut.
Meski sebagai negara kepulauan dengan sebagian besar wilayahnya
perairan, sejak lama kebijkan pemerintah lebih cenderung ke darat,
padahal laut menyimpan poetensi yang sangat besar. Pemerintah

424
Pengayaan Materi Sejarah

membaca potensi perikanan dan kelautan sebagai salah satu cara


mempercepat pemulihan kondisi perekonomian49.
c. Masalah Disintegrasi dan Kedaulatan Wilayah
Untuk meredam keinginan melepaskan diri kedua provinsi tersebut,
Presiden Megawati melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan
permasalahan disintegrasi dan memperbaiki persentase pembagian hasil
sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah di kedua
propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. lb/2001 dan UU No. 21/2001
baik propinsi NAD dan Papua akan menerima 70% dari hasil
pertambangan minyak bumi dan gas alam. Upaya Presiden Megawati
untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan rakyat propinsi
NAD juga dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja ke Banda Aceh
pada tanggal 8 September 2001. Dalam kunjungan kerja tersebut,
presiden melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato
di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Pada kesempatan tersebut,
presiden mensosialisasikan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi
khusus Provinsi NAD. Presiden Megawati juga menandatangani prasasti
perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe menjadi
universitas negeri.
Terkait dengan Poso, upaya penyelesaian secara damai juga dilakukan
untuk menyelesaikan konflik horizontal yang dipicu kebencian berbasis
SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan). Konflik Poso ini
menyebabkan hilangnya jiwa, rusaknya sarana dan prasarana serta
memunculkan krisis sosial yang perlu segera diselesaikan. Upaya
pemulihan dilakukan oleh pemerintah melalui Operasi Pemulihan
Keamanan yang diikuti dengan dialog yang menghasilkan deklarasi
damai di Malino Sulawesi Selatan.
Konflik Maluku, yang berlangsung sejak 1999, melibatkan antar
kelompok dalam masyarakat melahirkan krisis sosial yang cukup dalam.
Sampai-sampai Presiden Megawati khawatir akan hilangnya satu
generasi di Maluku jika persoalan Maluku tidak segera diselesaikan.
(Kemendikbud, 2015, hal 210). Untuk itu pemerintah kemudian
menerapkan kebijakan status darurat sipil yang diikuti upaya dialog
yang menghasilkan Deklarasi Malino II.
Terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah, pemerintahan Presiden
Megawati berupaya untuk melanjutkan kebijakan otonomi daerah yang
telah dirintis sejak 1999 seiring dengan dikeluarkannya UU No. 2 tahun

425
Pengayaan Materi Sejarah

1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah. Upaya ini


merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang politik,
pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya
alam daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. Upaya
desentralisasi politik dan keuangan ini sejalan dengan struktur
pemerintahan di masa mendatang dimana masing-masing daerah akan
diberi wewenang lebih besar untuk mengelola hasil-hasil sumber daya
alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki.
Upaya Presiden Megawati untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI juga
diuji saat pemerintah berusaha untuk menyelesaikan sengketa status
Pulau Sipadan dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia. Sengketa status
kedua pulau tersebut tidak dapat diselesaikan melalui perundingan
bilateral antara pemerintah Indonesia dan Malaysia.Kedua negara
sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional di Den
Haag. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah memperjuangkan
pengakuan internasional bahwa kedua pulau tersebut merupakan
bagian dari wilayah Republik Indonesia. Namun Mahkamah
Internasional pada akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari Malaysia. Dari 17 hakim yang terlibat dalam
proses keputusan Mahkamah Internasional, satu-satunya hakim yang
memberikan keputusan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian
dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang
ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas
10,4 hektar dan Pulau Ligitan yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan
pukulan bagi diplomasi luar negeri Indonesia setelah terlepasnya Timor
Timur. Kasus ini juga menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri
Indonesia saat berhadapan dengan negara lain terutama dalam sengketa
perbatasan dengan negara-negara tetangga.
d. Otonomi Daerah
Terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah, pemerintahan
Presiden Megawati berupaya untuk melanjutkan kebijakan otonomi
daerah yang telah dirintis sejak 1999 seiring dengan dikeluarkannya UU
No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah. Upaya
ini merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang
politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber
daya alam daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. Upaya
desentralisasi politik dan keuangan ini sejalan dengan struktur

426
Pengayaan Materi Sejarah

pemerintahan di masa mendatang dimana masing-masing daerah akan


diberi wewenang lebih besar untuk mengelola hasil-hasil sumber daya
alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki.
Otonomi daerah merupakan isu penting sejak bergulirnya
reformasi pada 1998. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru,
rakyat di beberapa daerah mulai menyuarakan ketidakpuasan mereka
terhadap sistem sentralisasi kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat
yang sangat kuat. Kepala daerah yang bertugas di beberapa daerah
mulai dari posisi gubernur hingga bupati seringkali bukan merupakan
pilihan masyarakat setempat.Pada masa pemerintahan Orde Baru, para
pejabat yang bertugas di daerah umumnya adalah pejabat yang
ditunjuk oleh pemerintah pusat dan memerintah sesuai keinginan
pemerintah pusat.Masalah di daerah semakin kompleks saat pejabat
bersangkutan kurang dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat
setempat.Faktor inilah yang membuat isu mengenai otonomi daerah
menjadi penting sebagai bagian dari reformasi politik dan sosial
terutama di beberapa wilayah yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Proses pelaksanaan otonomi daerah berikut pengadaan
perangkat hukumnya berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum
berikutnya yang akandiselenggarakan pada 2004. Sejalan dengan
rencana pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah secara aktif
mengeluarkan beberapa undang-undang yang mendukung pelaksanaan
otonomi daerah sekaligus memberikan pedoman dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan dan pengawasan saat undang-undang
tersebut diberlakukan.Terkait dengan itu, pemerintah mengeluarkan UU
No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan
DPRD. Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU
No. 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD serta UU No. 23 tahun 2003 mengenai pemilihan presiden dan wakil
presiden. Untuk melengkapi berbagai perangkat hukum mengenai
otonomi daerah yang sudah ada, pemerintahan Presiden Megawati di
tahun terakhir masa pemerintahnnya mengeluarkan UU No. 32 tahun
2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat antara lain
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan asas-
asas penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat di daerah
dan kepala daerah menjadikan pelaksanaan otonomi daerah semakin

427
Pengayaan Materi Sejarah

memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk berperan lebih besar


dalam memajukan wilayah mereka.Terpilihnya wakil rakyat dan kepala
daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan
lebih dapat mengakomodasi keinginan masyarakat karena memahami
seluk beluk masalah dan potensi masyarakat dan sumber daya alam
yang dimiliki oleh wilayah bersangkutan disamping lebih memahami
karakter dan adat istiadat yang berlaku di wilayah tersebut.
e. Upaya Pemberantasan KKN
Kendati berhasil melakukan berbagai pencapaian di bidang
ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan produk undang-
undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden
Megawati belum berhasil melakukan penegakkan hukum (law
enforcement).Berbagai kasus KKN yang diharapkan dapat diselesaikan
pada masa pemerintahannya menunjukkan masih belum maksimalnya
upaya Presiden Megawati dalam penegakkan hukum terutama kasus-
kasus KKN besar yang melibatkan pejabat negara. Belum maksimalnya
penanganan kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya
jumlah dan kualitas aparat penegak hukum sehingga proses hukum
terhadap beberapa kasus berjalan sangat lambat dan berimbas pada
belum adanya pembuktian dari kasus-kasus yang ditangani. Namun
keseriusan pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi
tercermin dari dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang
dikeluarkan khusus untuk memerangi korupsi.
Pengeluaran produk hukum tentang Tipikor diikuti dengan
dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), PP No, 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan
Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2 Tahun 2002 tentang
Penambang Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelepemilihan umusaian
Kewajiban Pemegang Saham.

428
Pengayaan Materi Sejarah

Politik Perempuan dan Penguatan Pendidikan


Terkait dengan pendidikan, Megawati menyebutkan bahwa
“Pembangunan Indonesia jangan hanya bersifat fisik, tetapi juga
mental, spiritual dan akhlak, artinya pembangunan dua dimensi.
Pembangunan ekonomi juga disertai pembangunan politik.
Pembangunan harus ditujukan untuk rakyat, dimana mereka tidak
hanya menjadi obyek, melainkan turut menjadi subyek. Pembangunan
berkelanjutan dilakukan dengan cara meningkatkan mutu pendidikan.
Pada era Megawatilah sistem pendidikan nasional disahkan, dengan
ditetapkannya UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Salah satu kebijakan yang menjadi harapan semua orang
adalah terkait dengan alokasi dana pendidikan melalui APBN dan APBD
sebesar 20%. Alokasi dana sebesar tersebut membuat sektor
pendidikan menjadi bagian paling banyak menerima porsi belanja
negara. Tujuan awal dari regulasi kebijakan di bidang pendidikan ini
adalah menambah daya tampung sekolah, meningkatkan kualitas
pendidikan dasar dan menengah, meningkatkan kesamaan kesempatan
memperoleh pendidikan bagi keluarga kurang mampu, meningkatkan
relevansi dan kualitas perguruan tinggi, meningkatkan kinerja SDM dan
lembaga pendidikan serta menuntaskan wajib belajar 9 tahun.50
Kebijakan tersebut juga berdampak pada sektor lainnya, profesi
guru yang awalnya bukan suatu profesi pavorit dan jauh dari
kesejahteraan, berubah menjadi profesi yang akhirnya menjadi rujukan.
Hal ini karena kesejahteraan guru mulai meningkat dan profesionalitas
guru dan kualifikasi guru juga ditingkatkan, seperti guru SD tidak lagi
lulusan sekolah guru biasa, SPG, melainkan minimal D2, dan kualifikasi
ini dinaikkan di tahun-tahun berikutnya.
Terkait dengan pembelaan kaum perempuan, Megawati
mengeluarkan kebijakan yang cukup progresif, yaitu UU no 23 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan dalam UU
pemilu disebutkan bahwa kuota perempuan minimal 30% untuk
anggota legislatif. Dua UU ini suatu upaya untuk memberdayakan
perempuan dalam semua lini kehidupan.51

429
Pengayaan Materi Sejarah

Pemilu 2004
Setelah amandemen ke empat UUD 1945 selesai dilakukan,
pemerintah bersama DPR berkewajiban menerbitkan sejumlah
produk hukum yang selaras dengan UUD. UU yang berhasil
ditetapkan oleh pemerintah dan DPR adalah UU No 30 tahun
2002 tentang Partai Politik, UU No 13 tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU No 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR,
DPD dan DPRD, serta UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden. P emilu 2004 merupakan
implementasi dari UU yang yang baru ditetapkan. Pemilu 2004
pertama kalinya masyarakat memilih wakil rakyat mereka, baik
tingkat pusat maupun daerah daerah, dan presiden dan wakil
presiden secara langsung. Pemilu anggota legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden memiliki keterkaitan erat karena
setelah pemilu legislatif selesai, makan partai yang memiliki
suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat
mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya
untuk maju ke pemilu presiden. Jika dalam pemilu presiden dan
wakil presiden terdapat satu pasangan yang memperoleh suara
lebih dari 50%, maka pasangan tersebut dinyatakan sebagai
pasangan pemenang pemilu presiden. Namun jika pemilu
presiden tidak terdapat pasangan yang mendapatkan suara lebih
dari 50%, maka pasangan yang mendapatkan suara tertinggi
pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden putaran
kedua.inn52

Pemilu legislatif 2004 yang diselenggarakan pada tanggal 5


April 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Lima partai politik yang berhasil
mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar (24.480.757 atau
21,58% suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB
(11.989.564 atau 10,57% suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara)
dan PAN (7.303.324 atau 6,44% suara). Berdasarkan perolehan suara
tersebut, KPU meloloskan lima pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang dianggap memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan

430
Pengayaan Materi Sejarah

berdasarkan Keputusan KPU no. 36 tahun 2004 untuk mengikuti


pemilihan presiden dan wakil presiden yaitu:
1. Wiranto dan Salahuddin Wahid (calon dari partai Golkar).
2. Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi (calon dari
PDI-P).
3. M. Amien Rais dan Siswono Yudohusodo (calon dari PAN).
4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (calon
dari Partai Demokrat).
5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar (calon dari PPP)
Pemilu presiden diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004.
Namun belum menghasilkan satu pasangan yang mendapatkan suara
lebih dari 50%, sehingga pemilu presiden diselenggarakan dalam dua
putaran. Pada pemilu presiden putaran kedua yang diselenggarakan pada
20 September 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Muhammad Jusuf Kalla mengungguli pasangan Megawati
Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi. Pada pemilu putaran kedua
tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62%, sementara pasangan
Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi memperoleh
44.990.704 suara atau 39,38% .53

6.3.4. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Membangun Pemerintah Prorakyat
Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapan SBY,
merupakan presiden RI keenam. SBY merupakan presiden yang pertama
dipilih secara langsung oleh rakyat pada pemilu 2004. Susilo Bambang
Yudhoyono dilantik oleh MPR sebagai presiden RI ke-6 pada 20
Oktober 2004. Setelah sukses mengawal transisi politik dan ekonomi
pada 2004-2009, SBY terpilih kembali sebagai presiden dalam satu
putaran pemilihan presiden 2009. Tidak lama setelah terpilih pertama
kali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera membentuk
susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia
Bersatu.

431
Pengayaan Materi Sejarah

Sejak awal pemerintahannya, SBY memprioritaskan untuk


menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta
pemberantasan KKN yang dicanangkan dalam program 100 hari
pertama pemerintahannya. Program pengentasan kemiskinan terkait
langsung dengan upaya pemerataan dan pengurangan kesenjangan
serta peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang
masih tertinggal. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah
bantuan langsung tunai (BLT). BLT diberikan secara bersyarat bagi 500
ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348 kecamatan.
Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan.54
Selain program yang berfokus pada manusia dan rumah
tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk
memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah,
fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dan lain lain. Program 100 hari
pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan
prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah
penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian konfik di Aceh dan
Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi yang efektif
untuk pendidikan nasional. 55
Sejak krisis melanda Indonesia pada 1998, kondisi
perekonomian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih. Upaya
pengentasan kemiskinan sudah dicanangkan sejak presiden sebelumnya
masih belum terlaksana sepenuhnya. Kondisi semakin diperparah dengan
terjadinya bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh yang
merenggut banyak korban dengan kerugian material yang sangat besar.
Presiden SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB I) segera mengambil
langkah-langkah penanggulangan pasca bencana. Salah satunya adalah
dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005
mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra
Utara. Selain itu dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Nias.56
Upaya untuk pengentasan kemiskinan pada masa SBY,
direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian.
Anggaran untuk sektor ini pada awalnya hanya sebesar 3,6 triliun
rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah. Untuk mendukung

432
Pengayaan Materi Sejarah

perbaikan di sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah


bagi petani.
Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, SBY juga
berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan meningkatkan
anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun
2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007. Seiring dengan itu, program
bantuan operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di
sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus
sekolah dari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5% pada tahun 2006.
Selain untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik,
pemerintah juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga
pendidik melalui sertifikasi guru dan dosen.
Dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, SBY
membuat kebijakan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke
puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan
Masyarakat Miskin dan beberapa kali menurunkan harga obat generik. 57
Pemerintahan sby memberikan perhatian besar pada
permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan,
pengembangan usaha kecil menengah, peningkatan kesejahteraan PNS,
prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan buruh. Pelayanan dan
fasilitas publik juga ditingkatan. Di bidang hukum, upaya pemerintah
untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan
supremasi hukum juga mendapat perhatian pemerintah.
b. Menjaga Kesolidan Pemerintahan
Dalam upaya mencapai program-program yang sudah disusun
diperlukan suatu pemerintahan yang solid. Sebab pemerintahan yang
solid berpengaruh terhadap kelancaran jalannya program-program
pemerintah. Oleh karena itu upaya untuk menjaga kesolidan
pemerintahan menjadi satu faktor penting untuk keberhasilan program
pemerintah. Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi
sebelumnya, pembentukan kabinet pemerintah merupakan hasil dari
koalisi partai-partai yang mendukung salah satu pasangan calon
presiden saat pemilu presiden, dengan demikian keberadaan koalisi dan
hubungan partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY harus dijaga
kesolidannya.Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah
pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat

433
Pengayaan Materi Sejarah

dengan partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY.


Pembentukan Setgab bertujuan untuk menyatukan visi dan misi
pembangunan agar arah koalisi berjalan seiring dengan kesepakatan
bersama. Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai
dengan etika demokrasi dan dibentuk sebagai sarana komunikasi politik
pada masa pemerintahan SBY.58
Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan,
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melanjutkan
reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan
sebelumnya pada era reformasi. Upaya untuk penerapan otonomi
daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan
memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara
proporsional dan seimbang.59 Selain itu, pemerintah juga
mengupayakan reformasi birokrasi yang mengedepankan aspek
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi menciptakan good
governance. Reformasi birokrasi diharapkan dapat meningkatkan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena proses pengambilan
keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh
masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait
langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti masalah kenaikan
BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.
Untuk mampu membangun komunikasi yang efektif dengan
masyarakat, pemerintah memaksimalkan penggunaan media sosial
seperti SMS online dan twitter. Media tersebut dimanfaatkan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan serta
dapat dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-
masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai
kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.
c. Menyelesaikan konflik dalam negeri
Permasalahan konflik dalam negeri di era pemerintahan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono masih terus berlangsung. Upaya yang
dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah
mencegah terjadinya disintegrasi di wilayah konfik. Konfik
berkepanjangan di Aceh dan Papua yang belum berhasil diselesaikan
pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat perhatian
serius pada masa SBY. Kendati telah dilakukan pendekatan baru melalui
dialog pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie termasuk dengan

434
Pengayaan Materi Sejarah

mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru,


namun konfik di Aceh tidak kunjung selesai. Pada masa pemerintahan
SBY, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum
dialog mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional. Di
tingkat internasional, upaya tersebut menghasilkan Geneva Agreement
(Kesepakatan Penghentian Permusuhan/ Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA). Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah
menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus menjadi kerangka
dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak yang berseteru
di Aceh. Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite
keamanan bersama belum mampu menciptakan perdamaian yang
sesungguhnya. Belum dapat dilaksanakannya kesepakatan tersebut
dikarenakan minimnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan
DPR maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak GAM
(Gerakan Aceh Merdeka).60
Selain berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui
perundingan, Presiden SBY juga melakukan pendekatan langsung
dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh
pada 26 November 2004. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan otonomi
khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas. Presiden juga berupaya
untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya
menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah
Aceh secara permanen.
Selain konflik di Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konfik
berskala luas adalah konflik bernuansa agama di Poso. Konflik yang
dimulai pada 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa pemerintahan
Presiden SBY. Salah satu kebijakan presiden untuk menyelesaikan konfik
Poso adalah dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No 14 Tahun 2005
tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso.
Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:
1. Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui
langkah-langkah komprehensif, terpadu dan terkoordinasi.
2. Menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi dan teror serta
mengungkap jaringannya.
3. Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap
memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001.

435
Pengayaan Materi Sejarah

Selain konfik Aceh dan Poso, konfik lain yang mendapat perhatian
serius pemerintah adalah konfik di Papua. Seperti halnya konfik di Aceh,
upaya untuk menyelesaikan konfik di Papua juga mengedepankan aspek
dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya
perlawanan dan keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri
dari NKRI. Oleh karena itu sudah sewajarnya perhatian pemerintah lebih
diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan sumber
daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian
dan pemahaman birokrasi, terlebih propinsi Papua memiliki sumber daya
alam besar terutama di sektor pertambangan.Terkait dengan itu, Presiden
SBY juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua. Otonomi
khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan,
perlindungan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua.Kebijakan
tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar
agar rakyat Papua dapat menikmati rasa aman dan tentram di tengah
derap pembangunan.61
d. Pemilu 2009
Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat
kepadanya. Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang
berkorelasi dengan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang
efektif di lapangan. Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi
faktor penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan
termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan
perguruan tinggi. Di sisi lain, situasi dalam negeri yang semakin kondusif
termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan
investor asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Kondisi ini
membantu mengurangi angka pengangguran yang di awal
pemerintahan Presiden SBY masih sangat tinggi. Keberhasilan beberapa
program pembangunan tidak terlepas dari adanya stabilitas politik,
keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.
Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadi modal bagi Presiden

436
Pengayaan Materi Sejarah

Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai calon presiden


pada pemilu presiden tahun 2009. Berpasangan dengan seorang ahli
ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil
mendapatkan kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia
untuk masa pemerintahan berikutnya.Pada pemilu presiden yang
diselenggarakan pada 8 Juli 2009 pasangan SBY-Boediono berhasil
memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.
Pemberantasan Korupsi
Reformasi TNI
Kesadaran ABRI dalam melakukan perubahan pemikiran tidak
muncul begitu saja. Hal ini berawal dari pemikiran perwira ABRI
angkatan 1970an yang sadar akan perlunya keterbukaan dalam tubuh
ABRI, seperti Mayjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen TNI Fachrul
Razi, Mayjen TNI Agus Widjojo, Mayjen TNI Agus Wirahadikusuma,
Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim. Kesadaran ini muncul dari sikap
keterbukaan mereka dalam berkomunikasi dengan berbagai kalangan,
baik dengan para akademisi, ulama, budayawan, politisi dan tokoh
masyarakat lainnya. Mereka mampu mengembangkan dialog dengan
berbagai kalangan dan mau menerima kritik dari berbagai kalangan
dan tidak alergi dengan perubahan dan pembaruan.62
Salah satu pemikiran perubahan terlihat dari pemikiran yang
disampaikan Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono dalam seminar di
Seskoad Bandung pada 1996. Inti pemikiran tersebut antara lain,
pertama, dalam peran social politiknya, ABRI tidak harus selalu berada
di depan. Kedua, ABRI tidak harus menguasa jabatan kekaryaan, seperti
Gubernur dan Bupati. Ketiga, dalam menjalankan peran sosial politiknya
tidak harus dijalankan secara langsung. Keempat, ABRI harus melakukan
political sharing dengan elemen bangsa lainnya. Pemikiran ini menjadi
embrio reformasi di tubuh ABRI yang kemudian dilakukannya pasca
terjadinya reformasi. Saat itu ia menjabat sebagai Assospol dari
Kassospol ABRI, yang kemudian diangkat menjadi Kassospol. 63
Untuk menghindari cara pandang di ruang public yang
memungkinkan terjadi revolusi, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan
Kasospol ABRI, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian menyusun
konsep reformasi sewaktu Soeharto masih berkuasa. Reformasi yang
dilakukan ABRI harus dilaksanakan secara konstitusional, bertahap,
konseptual, terarah dan tepat sasaran. Kondisi masyarakat menjelang
Sidang Umum MPR 1998, wacana tentang reformasi berkembang

437
Pengayaan Materi Sejarah

sangat kuat, oleh karena itu ABRI merasa tertantang untuk


menyuarakan hal yang sama. Hal ini terlihat dari pembahasan dalam
fraksi ABRI yang intinya menyangkut dua isu utama agenda reformasi
nasional. Pertama, desakan dan tuntutan agar krisis moneter dan krisis
ekonomi dapat segera diatasi sehingga tidak memunculkan tuntutan
yang lebih besar lagi. Kedua, desakan dan tututan agar dilakuan
reformasi yang menyeluruh, khsususnya di bidang ekonomi, politik dan
hukum.64
ABRI kemudian menyusun rumusan reformasi yang kemudian
diajukan ke DPR, pemerintah dan masyarakat. Hasil rumusan itu
memunculkan empat konsep reformasi hasil rumusan ABRI. Pertama,
Agenda reformasi di bidang politik, hukum, budaya dan hankam;
Kedua, Prioritas reformasi; Ketiga, pelaksanaan secara bertahap; dan
keempat pengendalian reformasi.
Di dalam tubuh ABRI sendiri terdapat berbagai pandangan
terhadap reformasi, ada kelompok konservatif, kelompok radikal dan
kelompok akomodatif. Kelompok konservatif tidak bisa menerima
perubahan, kelompok ini cenderung mempertahankan status. Kelompok
radikal menginginkan ABRI berubah secara cepat seperti tuntutan
mahasiswa dan masyarakat yang menuntut secepatnya penghapusan
Dwi Fungsi ABRI. Sedangkan kelompok akomodatif bisa menerima
perubahan secara bertahap dan berkelanjutan. Berbagai upaya
dilakukan di tubuh ABRI yang akhirnya mengambil keputusan
melakukan reformasi yang dilakukan secara gradual, konseptual dan
konstitusional.
Upaya mereformasi ABRI yang dilakukan Habibie diawali
dengan idenya memisahkan jabatan Menghankam dan Pangab. Posisi
Menhamkam bisa dijabat oleh tokoh sipil sedangkan Pangab haruslah
seorang jenderal dan posisi ini diberikan secara bergiliran kepada semua
angkatan. Ide Habibie terkait mereformasi ABRI adalah memisahkan
ABRI dengan Kepolisian Republik Indonesia. Nama ABRI kemudian
diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dua lembaga ini diberi
tugas dengan perbedaan yang jelas. TNI bertugas mengamankan dan
memelihara kedaulatan Negara dan mencegah terjadinya perang,
sedangkan kepolisian bertugas menegakkan hukum dan memerangi
kejahatan. Segala bentuk pelanggaran perundang-undangan ditangani
polisi. Kepala kepolisian bertanggung jawab kepada presiden. Namun
karena pertimbangan situasi politik ide ini belum dijalankan Habibie dan
baru dilaksanakan pada masa Gus Dur.

438
Pengayaan Materi Sejarah

Refleksi
Jakarta, Jumat, 21 Mei 1998, pukul 08.30, Wakil Presiden
Republik Indonesia, B.J. Habibie dengan tergesa-gesa dan tegang
bersegera menuju ke Medan Merdeka Utara. Ditempat itu, Istana
Merdeka, hari itu terukir sejarah baru Indonesia. Presiden Soeharto
membacakan pidato terkait keputusannya untuk berhenti dari
jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia. Seusai Soeharto
membacakan pernyataan singkatnya, B.J. Habibie kemudian diambil
sumpahnya sebagai presiden RI ke tiga. Muncullah Era Reformasi.
Era Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan Orde
Baru memberikan ruang seluas-luasnya bagi perubahan sistem dan
penerapan demokrasi di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang
sangat sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-
wilayah yang dianggap kurang mendapat perhatian. Selain itu,
pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di daerah-daerah
terutama para kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh pemerintah
pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap pemerintah.
Dengan kondisi sepertio itu, Habibie adalah sosok yang paling
berperan pada masa awal reformasi. Habibie mampu membangun
fondasi tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Kondisi
sosial politik yang sulit pada saat itu mendorong Habibie untuk mampu
bergerak cepat mengawal jalannya reformasi di segala bidang.
Reformasi bagi Habibie adalah evolusi yang dipercepat.
BJ Habibie mengemban tugas memimpin pemerintahan transisi
untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi secara
menyeluruh dan mendasar, serta sesegera mungkin mengatasi kemelut
yang sedang terjadi. Mensikapi kritik yang menilai dirinya tidak tepat
menangani Indonesia yang sedang dilanda krisis multi dimensi, Habibie
menanggapinya dengan kerja, melakukan reformasi di bidang politik,
hukum dan ekonomi. Kebijakan utama yang dia lakukan langkah demi
langkah dan tahap demi tahap untuk akhirnya Habibie membawa
Indonesia bangkit kembali dari keterpurukan.
Langkah Awal Habibie adalah mengurai permasalahan yang ada
menjadi beberapa tahap langkah, salah satunya adalah bagaimana dia
mengimplementasikan salah satu tuntutan rakyat yaitu, adanya
kebebasan dan kemerdekaan. Turunan dari tuntutan tersebut adalah
penghormatan Hak Azasi Manusia dan demokrasi.

439
Pengayaan Materi Sejarah

Langkah awal yang dilakukan Habibie dan diikuti oleh presiden-


presiden lainnya adalah Reformasi Birokrasi. Langkah ini diawalai
dengan reformasi di bidang politik dengan memperbarui UU yang ada
dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik. Sebagai
contoh adalah UU yang terkait dengan pemilu. Kebijakan ini diikuti pula
oleh Megawati. Megawati adalah presiden pertama menjalankan
sistem pemilihan umum secara langsung.
Habibie juga melihat bahwa permasalahan utama dalam
merefromasi birokrasi adalah memisahkan birokrasi dengan pengaruh
kepentingan politik praktis. Langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah
mereformasi tubuh Golkar dengan memisahkan Golkar dari ABRI dan
Utusan daerah dan melarang ketua partai merangkap jabatan
pemerintahan dengan presiden partai. Ini menjadi langkah awal
perubahan birokrasi kita. Kebijakan ini kemudian didimplementasi juga
oleh presiden-presiden selanjutnya. Walaupun kebijakan tidak boleh
rangkap jabatan akhirnya hanya pada masa Habibie dijalankannya.
Habibie juga merencanakan pemisahan ABRI dengan Kepolisian
Republik Indonesia. Ide pemisahan ini disertai dengan pembedaan kerja
yang jelas. TNI mengawal dan mengamankan kedaulatan negara
sedangkan Polri bertugas menegakkan hukum dan memerangi
kejahatan. Ide ini terimplementasi secara penuh pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tonggal terpenting lainnya adalah membuka jalan peralihan
demokrasi dengan mempercepat jalannya pemilihan umum. Bagi
Habibie pemilu adalah instrumen demokrasi yang membagi kekuatan
rakyat untuk bersaing secara terbuka. Jaman Habibielah yang membuka
kembali kran partai politik, sehingga peserta pemilu 1999 jauh lebih
banyak dibaningkan dengan pemilu sebelumnya. Kebijakan ini diikuti
oleh Megawati yang pertama kali menerapkan pemilihan umum secara
langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden dan anggota
Dewan.
Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk
mendapatkan ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur wilayah
sendiri menjadi keinginan masyarakat di daerah-daerah yang pada
akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi daerah. Habibie
mengawali langkah ini yang bertujuan untuk mengatasi kesenjangan
sosial ekonomi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pembagian
hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah
pusat dan daerah juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
Penerapan otonomi daerah tersebut diiringi dengan perubahan sistem

440
Pengayaan Materi Sejarah

pemilu dan diselenggarakannya pemilu langsung untuk mengangkat


kepala dareah mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota.
Di bidang pers, euphoria demokrasi juga melahirkan sejumlah
media massa baru yang lebih bebas menyuarakan berbagai aspirasi
masyarakat. Namun, kebebasan di bidang pers harus tetap
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam menyebarkan
berita. Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap
mengedepankan fakta sehingga euphoria kebebasan pers yang telah
sekian lama terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Jika kita mengenang masa-masa yang tidak mudah di awal krisis
besar pada 1998, Indonesia berada dalam kondisi yang porak poranda.
Kondisi politik, ekonomi, sosial dan keamanan terguncang sangat
hebat. Api, amarah dan darah tercecer di sudut-sudut negeri ini.
Permusuhan dan kebencian sesama elemen bangsa berada pada posisi
yang sangat kritis, yang setiap saat bisa meledak menghancurkan negeri
ini.
Salah satu elemen bangsa yang menjadi sasaran amarah,
kebencian dan permusuhan elemen bangsa lain adalah ABRI, yang saat
itu masih bergabung antara TNI dan Polri. Kondisi seperti ini bisa
membawa Indonesia pada suatu Coup atau pengambil alih kekuasaan.
Namun yang terjadi berbeda. Sejumlah perwira mampu berfikir dengan
jernih untuk melakukan perubahan sekaligus mau melakukan reformasi
untuk menjawab tantangan jaman.
Kebijakan yang diambil ABRI ikut menjadi andil dalam sejarah
reformasi di Indonesia. Reformasi ABRI menjadi sebuah persitiwa
penting yang ikut mengantar perubahan kehidupan sosial dan politik
bangsa Indonesia. Keberhasilan ABRI melakukan reformasi menjadi
sesuatu yang penting dalam proses pembelajarn sejarah bagi generasi
penerus bangsa baik dari elemen TNI dan Polri maupun elemen
Masyarakat pada umumnya.

Abdurakhman

441
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan :

1
CNN Indonesia, “Mantap Mundur, Suharto Rebut Pulpen dari Tangan Yusril”,
21 Mei 2015
2
Susanto Zuhdi, (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah (Vol. 8), Jakarta: PT
Ichtriar van Houve dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, hal.640.
3
Marwati Djoenedpoesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Poestaka, 2008. Hal.
4
Anhar Gonggong dan Musya Asyarie (ed). Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. 2005. Hal.
5
Kompas, “Pemerintah Tutup 16 Bank”, 2 November 1997
6
Rush adalah penarikan uang dalam jumlah sangat besar oleh masyarakat
7
Majalah Tempo, 9 Februari 2014.
8
Anhar Gongong, Op.Cit.
9
Republika, “ Mahasiswa dan Alumni UI Gelar Keprihatinan”, 26 Februari
1998.
10
Susanto Zuhdi, Op.Cit. hal.
11
Susanto Zuhdi, Op.Cit. hal. 460
12
Ibid. hal.461
13
Anhar Gonggong, Op.Cit. hal. 196
14
Ibid. hal 196-197
15
Susanto Zuhdi. Op.Cit. hal.
16
Susanto Zuhdi, Op.Cit. hal. 64…
17
Ibid. hal. 64…..
18
Anhar, Op.Cit. hal. 202
19
Julius Pour dkk, Presiden Republik Indonesia 1945-201, Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2015, hal. 138
20
Ibid. hal. 139
21
Susanto Zuhdi, Op.Cit. hal 64..

442
Pengayaan Materi Sejarah

22
Pour, Loc.Cit. hal. 139
23
Ibid.
24
Perhatikan pasal-pasal UUD 1945 sebelum amandemen tentang fungsi dan
kedudukan presiden
25
Pour, hal. 140
26
Ibid. hal. 154-155
27
Timor Timur merupakan propinsi yang Pendapatan Asli u (PAD) sangat kecil,
sehingga subsidi pemerintah jauh lebih besar dibandingkan PADnya. Subsidi
yang diberikan ke Timor Timur jauh lebih besar dibandingkan propinsi
Indonesia yang lainnya.
28
Loc.Cit. hal. 155.
29
Anhar, Loc.Cit. hal. 213
30
Ibid.
31
Poros Tengah adalah aliansi partai politik Islam pada pemilihan presiden 199
yang bertujuan untuk menempatkan calon presiden alternatif untuk bersaing
dengan calon presiden dari PDI-P. Calon presiden tersebut adalah
Abdurrahman Wahid.
32
Anhar, hal. 215.
33
Ibid. hal,219
34
Pour, hal. 178
35
Pour, hal. 179
36
Ibid.
37
Pour, hal. 187.
38
Ibid. hal 180
39
Anhar, hal.220
40
Anhar, Op.Cit. hal. 220
41
Ibid.
42
Ibid. hal. 222-223
43
Ibid, hal. 224
44
Ibid.

443
Pengayaan Materi Sejarah

45
Pour, Loc.Cit. hal 198
46
Ibid.
47
Anhar, hal 224
48
Ibid. hal. 226
49
Pour, hal.208-209
50
Pour, hal 214
51
Ibid. hal. 215
52
Ibid. hal. 216
53
Anhar, hal. 239
54
Putu Suasta, Menegakkan Demokrasi, Mengawal perubahan, Jakart: Lestari
Kiranatama, 2013, hal 31-33
55
Anhar, hal. 243
56
Susilo Bambang Yudhoyono, SBY Selalu Ada Pilihan, Jakarta: Buku Kompas,
2014
57
Suasta, hal. 33-36
58
Suasta, Ibid, hal 25
59
Ibid.
60
Yudhoyono, hal.
61
Pour, hal 294
62
Susanto, hal 619-620
63
Pour, hal.237
64
Susanto, hal 620

444
Pengayaan Materi Sejarah

Bab. 7
Membalikan Stigma Kolonial Seperempat Manusia:
Indonesia di Tengah Arus Globalisasi dan Revolusi
Teknologi

Dengan masygul, Mas Marco Kartidokromo menyaksikan praktik


kolonial yang bekerja dalam sistem perkeretaapian pulau Jawa yang
telah mapan pada dekade pertama abad 20. Ke-masygulan-nya itu ia
tulis dalam selebaran yang pimpin sendiri dan diberi nama Doenia
Bergerak di tahun 1915. Diskriminasi khas kolonial. ―Seorang ... Jawa
sama sekali tidak bisa masuk ke peron stasiun‖, tulisnya. Namun, ―kalau
kebetulan... keturunan Belanda dan Cina, dipersilahkan masuk bahkan
duduk di bangku‖. Mas Kromo menyebutkan diskriminasi kolonial
tersebut sebagai praktik ―seperempat manusia‖.1
Mas Kromo sangat tepat tatkala ia mengatakan bahwa dibalik
praktik teknologi tercanggih kala itu, sesungguhnya telah terjadi upaya
―pen-seperempat-an manusia‖ kaum pribumi.2 Memang, teknologi dan
dignity (harga diri) adalah dua sisi dari satu mata uang. Begitulah yang
terjadi pada tanggal 10 Agustus 1995, 80 tahun kemudian setelah Mas
Kromo menuliskan perlawanannya itu. Hari ini, kata Habibie, untuk ―...
mengenang 50 tahun Indonesia merdeka, kita membuktikan kepada diri
kita sendiri bahwa kita sama seperti orang Jerman dan yang lain, bisa
juga membuat pesawat terbang komersial‖.3 Hari itu, 10 Agustus 1995,
teknologi tercanggih di zamannya tidak sedang merepresentasikan
pandangan seperempat manusia tersebut—seperti yang dimasgulkan
oleh Mas Marco. Justru uji coba terbang pesawat CN 250 untuk
pertama kalinya di depan khalayak luas—dan sebagai seratus persen
buatan para insinyur Indonesia itu---adalah untuk menunjukkan bahwa
orang Indonesia adalah juga sepenuh-penuhnya manusia.4 ―Industri
pesawat terbang dan industri teknologi tinggi sejenisnya hanya...

445
Pengayaan Materi Sejarah

pendobrak pembuka mata kita semua bahwa kita putra-putra Indonesia


sama saja dengan orang Jerman, sama saja dengan orang Amerika‖,
tulis Habibie—yang kemudian menjadi Presiden Indonesia ketiga dan
tersingkat dalam sejarah Republik.5
Di mata Habibie sendiri, penguasaan teknologi pesawat
dirgantara adalah strategi ―mulai di akhir dan berakhir di awal‖.6 Bukan
saja penguasaan teknologi dirgantara adalah yang paling sulit, dan bila
telah menguasainya dengan mudah dapat menguasai teknologi yang
lebih rendah tingkat kesulitannya, seperti teknologi kendaraaan
bermotor (mobil atau sepeda motor). Teknologi juga berarti
pemakmuran dan penyejahteraan sekelompok masyarakat ke tingkat
kehidupan yang lebih layak.
Lebih dari itu, penguasaan teknologi dirgantara adalah soal
emansipasi sosial dan pemanusiaan orang Indonesia secara kolektif
kebangsaan. Habibie sendiri sering mengatakan bahwa penguasaan
teknologi dirgantara bukan semata-mata mimpi dirinya secara personal,
melainkan adalah cita-cita kolektif kebangsaan para pemimpin nasional
generasi Bung Karno. Habibie yang dikirim belajar itu adalah gelombang
ke empat di tahun 1954. Gelombang pertama dikirim pada tahun 1951,
ketika Habibie sendiri baru kelas satu SMA.7
Teknologi adalah soal nasionalisme, soal pengakuan sebagai
manusia. Inilah retorika yang selalu menyertai argumen Habibie tatkala
ia membicarakan pentingnya penguasaan teknologi.8 Motivasi
nasionalistik dan pemanusiaan berteknologi tersebut dapat dipahami
bila kita lacak konteks biografi Habibie sendiri ketika ia masih muda,
tatkala konsep dirinya tengah terbentuk.9 Ia dapat belajar teknologi
dirgantara adalah karena visi pemimpin nasional pada awal tahun 1950-
an, yang hendak menciptakan manusia unggul dalam bidang teknologi.
Habibie sendiri—sebagaimana dikemukakan pada bagian akhir tulisan
ini—diusap-usap kepalanya oleh Muhammad Yamin, sambil
mengatakan bahwa dirinya adalah penerus masa depan bangsa, dan
didoktrin harus berperan strategis di masa depan seperti halnya peran
kesejarahan yang dimainkan sekelompok pemuda Jepang di era
Restorasi Meiji abad ke-18.10
Bab ini coba mendiskusikan kaitan nasionalisme (sebagai
penegasan harga diri kolektif bangsa), teknologi, dan globalisasi, hal
mana telah dirintis sekaligus diinspirasikan oleh Mràzek11 dan Goss.12.

446
Pengayaan Materi Sejarah

Kita bedah dahulu pengertian teknologi dan dimensi-dimensinya,


setelah itu kita bahas globalisasi sebagai fenomena sehari-hari dan
sebagai fenomena kesejarahan.13 Hal tersebut tersimpulkan melalui frase
revolusi teknologi, untuk mengilustrasikan secara tajam watak dari
teknologi. Bila teknologi baru ditemukan, ia mengubah susunan
masyarakat secara amat radikal dan mendasar. Sejarah manusia menjadi
berubah karena ditemukan (invensi) dan diinovasikan teknologi baru.
Ciri masyarakat lama seolah-olah lenyap, terkubur sejarah.
Kini temuan dan inovasi teknologi dihitung bulanan. Masyarakat
pun berubah jauh lebih cepat. Di era mutakhir, sejak sistem teknologi
ponsel ditemukan dan mendapat inovasi hingga generasi terbaru, pola
hubungan sosial antar orang bergeser. Ponsel telah ―mendekatkan yang
jauh, tapi juga menjauhkan yang dekat‖. Terjadilah apa yang disebut
deteritorialiasi ruang sosial: ruang dan waktu seolah-olah tidak ada.
Setiap orang dapat menghubungi yang lain, kapan saja, dan dimana
saja. Tentu saja, selain temuan sistem ponsel dan kemudian internet,
fenomena deteritorialisai, juga disumbang oleh temuan teknologi
transportasi khususnya pesawat terbang. Di sini, kita catat bukan saja
pesawat terbang tipe baru ditemukan hingga jumlah yang lebih banyak
manusia dapat diterbangkan dan dengan waktu yang lebih cepat.
Namun, inovasi manajemen sistem pesawat terbang komersial yang
lebih inovatif telah membuat sejumlah orang naik pesawat terbang
dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan dekade
sebelumnya. Dengan demikian, sejumlah orang yang mengalami gejala
deteritorialsiasi kian bertambah. Deteritorialisasi sebagai manifestasi
globalisasi terkini itulah yang akan kita bicarakan.
Selain program alih teknologi tinggi yang diprakrasi Habibie
tersebut, juga dikemukakan fenomena revolusi hijau. Namun
sebelumnya, kita diskusikan dulu karakteristik teknokratik Orde Baru
(bagian keempat), yang kemudian melahirkan revolusi hijau (bagian
kelima) dan alih teknologi pesawat terbang tersebut (ketujuh). Terakhir
barulah kita bicarakan globalisasi ekonomi yang digerakkan oleh
perusahaan multinasional. Saat ini perusahaan multinasional adalah
garda depan dalam menghasilkan dan mengelola teknologi paling
mutakhir.

447
Pengayaan Materi Sejarah

7.1. Konsep, Ciri-ciri, dan Alih Teknologi


Konsep teknologi berasal dari dua kata: teknos dan logos.
Teknos adalah cara, sementara logos adalah ilmu. Kamus Besar Bahasa
Indonesia mendefinisikan teknos atau teknik sebagai ―cara (kepandaian
dan sebagainya) membuat sesuatu‖ atau ―cara sistematis membuat
sesuatu‖. Jadi teknologi adalah ilmu atau pengetahuan mengenai teknik
atau cara-cara. Penerapan setiap ―teknik atau cara‖ ini memiliki
pengertian agar selalu lebih mudah. Jadi, teknologi adalah penerapan
cara-cara tertentu agar dalam mengerjakan sesuatu dapat dikerjakan
dengan mudah, cepat, efektif dan efisien.14

Coba perhatikan ilustrasi berikut!


Jika sebuah pisang yang terhalang oleh jeruji besi, ditaruh di hadapan
manusia dan monyet, apa yang terjadi? Monyet akan terus menerus
berusaha mengambil pisang itu tanpa menghiraukan halangan jeruji
tersebut. Ia akan terus berusaha walaupun selalu gagal. Berbeda
dengan manusia. Manusia sadar bahwa di hadapannya ada jeruji besi.
Ia juga sudah memperkirakan bahwa tangannya itu tidak akan sampai
untuk mengambil pisang tersebut. Ia kemudian berfikir: bagaimana
caranya mengambil pisang tersebut. Tengok kiri kanan, ternyata di
sampingnya ada ranting pohon. Maka ranting pohon tersebut lalu
dijadikan alat untuk mengambil pisang. Unsur kreatif inilah yang
membedakan manusia dengan monyet. Meski tahu bahwa di
sampingnya ada ranting pohon, monyet tidak mampu berfikir apa
kegunaan ranting tersebut.

Ilustrasi di atas mengantarkan pada pemahaman bahwa


teknologi adalah sebuah alat. Teknologi dibuat agar manusia lebih
mudah mencapai keinginannya. Atau meminjam bahasa Soekanto,15
teknologi adalah ―perangkat tindakan-tindakan untuk mencapai
tujuan‖. Ia merupakan peralatan material, yang meliputi alat-alat,
teknik, dan pengetahuan, dengan mana manusia memenuhi kebutuhan
dan keinginannya.16 Dengan pengertian ini kita bisa paham: mengapa
pada masa Revolusi Industri, manusia menggunakan mesin-mesin
sebagai ganti tenaga manusia dan hewan dalam aktivitas produksi.
Pergantian itu dimaksudkan agar proses produksi dapat berjalan lebih

448
Pengayaan Materi Sejarah

cepat, hasilnya lebih baik, dan dalam jumlah yang lebih banyak. Jadi di
sini tersimpul makna: ―memudahkan mencapai tujuan‖. Alhasil,
penerapan teknologi selalu dilandasi oleh etos efektif dan efisien.
Pengertian sederhana ini bisa kita perdalam dengan merujuk
pada pendapat para ahli. Menurut Webster‘s New World
Encyclopedia,17 teknologi adalah penerapan segi-segi praktis dari ilmu
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi teknologi memiliki dua
unsur utama: (1) aspek teoritis, prinsip, dan kaidah-kaidah sains; dan (2)
bentuk konkritnya, bisa berbentuk mesin, dan bisa pula berbentuk
perkakas. Namun bagi kebanyakan orang, teknologi selalu diasosiakan
dengan mesin-mesin. Pendapat ini tidak salah, hanya kurang tepat.
Mesin hanyalah wujud konkrit teknologi, dan bukan teknologi itu
sendiri. Jadi pengertian teknologi itu sendiri lebih abstrak.
Teknologi adalah sejenis ilmu. Yaitu, bagaimana membuat cara-
cara atau teknik-teknik yang berdasarkan prinsip sains dan
menerapkannya untuk efisiensi kebutuhan dan kerja manusia. Dalam
kaitan ini, Soekanto membedakan antara pengertian teknik dan
teknologi. Teknik adalah ―perangkat tindakan-tindakan untuk mencapai
tujuan‖. Sementara teknologi mengandung tiga pengertian. (1)
penerapan (aspek-aspek praktis—pen) ilmu pengetahuan, (2) pola
praktik semua sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan
(3) semua cara untuk mencapai tujuan....‖.18
Jadi ―bahan mentah‖ teknologi adalah kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Tanpa pengetahuan atau teori-teori
sains tersebut, tidak mungkin tercipta suatu mesin yang dapat membuat
hidup manusia menjadi lebih mudah. Begitu pula tanpa ditindaklanjuti
dengan penciptaan mesin, kegunaan praktis teori-teori sains tersebut
tidak banyak bermanfaat. Teori-teori tersebut hanya disimpan dalam
buku-buku dan hanya dikonsumsi oleh para ilmuwan. Untuk ilustrasi
tadi, kita sajikan contoh bagaimana Thomas Alva Edison menemukan
bola lampu pijar.
Edison menemukan bola lampu pijar yang sangat spektakuler itu
didasarkan pada teori listrik yang telah dikembangkan oleh Micheal
Faraday, seorang ilmuwan besar Inggris yang hidup beberapa generasi
sebelumnya. Dalam teori listrik Faraday itu, diungkapkan bahwa energi
listrik dapat berubah menjadi semacam lampu. Pengetahuan teoritis
perubahan energi listrik menjadi semacam lampu ini dipahami secara

449
Pengayaan Materi Sejarah

sangat mendalam oleh Edison. Sekalipun ia telah mengusai


pengetahuan listrik dari Faraday dengan sangat baik, senyatanya tidak
mudah bagi Edison untuk mempraktikan gagasan Faraday ini. Edison
dan timnya harus melakukan percobaan beribu-ribu kali untuk
mempraktikan gagasan Faraday. Berkali-kali bola lampu tidak menyala.
Mereka melakukan percobaan terus-menerus seolah-olah tanpa rasa
bosan. Terus menerus mereka membuat benang katun, kawat, tempat
logam, tungku serta diiringi dengan penantian panjang dan sangat
melelahkan. Hingga akhirnya mereka dapat menemukan cara kerja
mengubah energi listrik menjadi bola lampu pijar.
Berdasarkan teori listrik Faraday itu, Edison juga dapat
mengembangkan (menginovasikan) telepon yang sebelumnya telah
ditemukan oleh Alexander Graham Bell. Telepon yang dibuat Bell itu
masih sangat sederhana. Cara kerjanya meniru sistem kerja telinga
manusia. Bila ada suara, suara itu akan menyebabkan getaran pada
gendang telinga, dan oleh gendang telinga getarannya itu dikirim ke
otak dan pesan-pesannya tersebut diterima. Mekanisme ini ditiru Bell.
Bila seseroang berbicara di telepon, suara dari pembicara itu
menyebabkan getaran pada suatu tiruan gendang telinga yang disebut
diafragma. Diafragma itu dibuat dari piringan besi yang berbentuk
ceper dan tipis. Diafragma akan bergetar bila terdorong oleh suara
manusia. Ia akan bergerak sendiri ke arah magnet, dan menginduksi
sejumlah kecil arus listrik. Akhirnya, arus listrik tersebut akan mengubah
dirinya menjadi getaran yang akan diteruskan pada diafragma yang
lain.
Prinsip kerja telepon Bell ini sesungguhnya juga merupakan
pengembangan lebih lanjut dari teori listrik yang dirumuskan oleh
Faraday. Dalam salah satu bukunya, Faraday mengatakan bahwa
dengan mengaktifkan suatu elektromagnetik, listrik akan membuatnya
bergerak. Gagasan listrik Faraday ini dikembangkan sebagai dasar untuk
membuat telepon oleh Bell. Namun hasilnya belum optimal. Suara yang
dihasilkan masih redup, aneh, dan tidak bisa dipahami.
Edison yang amat mengusai teori listrik Faraday, akhirnya
memperbaiki sistem kerja telepon Bell. Ia mengaplikasikannya dengan
cara berbeda. Edison tidak menggunakan magnet sama sekali. Justru ia
menerapkan prinsip listrik tahanan—yang juga ide dari Faraday—untuk
membuat variasi arus listrik. Arus listrik pun dapat dialirkan melalui

450
Pengayaan Materi Sejarah

karbon. Hasilnya, arus listrik mengalir cukup kuat hingga mampu


membawa suara pembicara menjadi lebih jelas.
Edison dan Bell telah melakukan berbagai terobosan ilmiah agar
ilmu pengetahuan itu memiliki manfaat praktis bagi banyak orang.
Edison dan Bell merupakan dua individu yang kreatif, dan mampu
mengembangkan serta menerapkan lebih jauh teori listrik yang telah
dirumuskan oleh Faraday. Kita berhutang budi pada Edison dan Bell,
karena telah berkontribusi praktis: menemukan (invensi) dan
mengembangkan (inovasi) telepon dan lampu pijar. Kepada Faraday kita
juga berhutang budi karena dia telah mengembangkan teori listrik.

1. Teknologi Individual, Teknologi Kolektif.


Dua terminologi tersebut dilandaskan dari segi penggunaannya:
ada teknologi yang digunakan secara personal, ada pula yang harus
dilakukan secara bersama-sama. Terminologi ini penting kita bahas
karena dua alasan. Pertama, pada dua terminologi tersebut terdapat
proses evolusi perkembangan, selain juga evolusi penggunaannya.
Teknologi yang paling pertama, yang paling awal, dan paling purba
yang dikenal dalam sejarah manusia ialah teknologi sebagai
perpanjangan tangan manusia secara individual. Kita namakan ia
sebagai teknologi individual, karena fungsinya sebagai alat bantu orang
perorang. Pisau umpamanya adalah alat bantu untuk memotong
daging, sebagai kepanjangan tangan orang perorang.
Selain teknologi individual, kita jumpai pula teknologi kolektif.
Teknologi kolektif adalah teknologi yang dalam penggunaannya mesti
dilakukan secara bersama-sama (jadi berbeda dengan teknologi
individual yang hanya digunakan orang perorang). Tipe teknologi ini
dapat dijumpai pada teknologi dalam proses produksi baik di sektor
pertanian, industri (dalam bentuk pabrik), senjata perang, dan sistem
transportasi.
Kedua, alasan sebagai argumen tipe ideal. Konsep tipe ideal
dipinjam dari Max Weber untuk menggambarkan pen-tipologian atau
pengklasifikasian secara ideal, atau sempurna. Karena sifatnya yang
ideal atau sempurna itu, sejatinya pada tingkat kenyataan tidak ada
yang seideal yang dirumuskan. Justru karena ada idealisasi tipe-tipe
itu—padahal tidak ada yang sempurna pada tingkat kenyataan—tipe

451
Pengayaan Materi Sejarah

ideal berfungsi sebagai alat bantu analisis. Tipe ideal berfungsi sebagai
alat timbang, sekaligus daya dorong pikir, untuk menelaah fenomena di
tingkat realitas. Jadi, sesungguhnya apa yang disebut teknologi
individual dan teknologi kolektif, pada tingkat kenyataannya bercampur
baur. Suatu teknologi kolektif pada dasarnya adalah kumpulan
teknologi individual yang bersifat sistemik.
Kita awali dengan membahas teknologi individual. Kapak,
tombak, dan pisau merupakan perkakas pertama yang ditemukan oleh
manusia sebagai alat berburu dan meramu. Pisau, umpamanya,
ditemukan oleh manusia purba tatkala tangannya sudah tidak mampu
lagi memotong daging hasil buruannya. Ia pun akhirnya menggunakan
batu sebagai alat potongnya. Lambat laun timbul gagasan untuk
menajamkan salah satu sudut batu tersebut.
Setelah ditemukan gagasan menajamkan salah satu sudut batu
tersebut, proses pengembangan batu pisau pun terus berlanjut. Bentuk
pisau terus dikembangkan oleh manusia purba sehingga makin enak
dipakai. Dalam kaitan ini misalnya, sejarahwan mencatat tiga periode
purba proses pengembangan pisau batu dalam masa berburu dan
meramu. Yaitu teknologi berburu dan meramu tingkat awal (paleolitik),
teknologi berburu dan meramu tingkat menengah (mesolitik), dan
teknologi berburu dan meramu tahap akhir (neolitik).
Selanjutnya, setelah ditemukan teknik pengecoran besi dan
tembaga, proses pengembangan pisau berubah arah. Pengembangan
pisau tidak lagi dilakukan dari sudut bentuknya agar enak dipakai,
melainkan berubah dari sudut bahan dasarnya. Bahan dasar pisau pun
berubah: dari batu menjadi tembaga dan besi. Sungguhpun bahan
dasar pisau berubah, tetapi ide dasar pisau (seperti bentuk dan
kegunaanya) terus berlanjut. Kemudian, bentuk pisau pun semakin
bervariasi sesuai dengan kegunaannya (pisau dapur, pisau cukur, dan
lain sebagainya). Hal tersebut juga disebabkan karena memang bahan
dasar besi dan tembaga memungkinan bentuk pisau dikembangkan
secara lebih beraneka ragam.19
Sementara, bajak dan pacul adalah salah contoh teknologi
kolektif. Untuk mengolah sawah, bajak dan pacul harus dikerjakan
secara bersama-sama. Keduanya bersifat saling melengkapi. Bajak
digunakan dengan cara ditarik dengan tenaga hewan (sapi atau kerbau)
agar tanah menjadi gembur. Sementara cangkul merupakan benda

452
Pengayaan Materi Sejarah

material yang dipakai untuk menghancurkan lumpur dan membersihkan


rumput. Bajak dan pacul hanya dua eleman dari rangkaian alat dan
elemen lain proses mengolah lahan sawah.
Ilustrasi pabrik juga dapat menjadi contoh bekerjanya sistem
teknologi kolektif. Di berbagai pabrik kita jumpai suatu sistem produksi
yang ditujukan untuk menghasilkan suatu barang. Dalam sistem
produksi itu, teknologi memainkan peranan penting. Mesin pemintal
kain, umpamanya, harus dioperasikan oleh banyak orang. Proses
menggunakan mesin tersebut melibatkan banyak orang, dan suatu
teknik pengolahan untuk apa teknologi itu digunakan, dan bagaimana
mengatur sekelompok manusia yang berkumpul di dalam pabrik
tersebut.
Contoh lainnya ialah produksi mobil. Secanggih apa pun
teknologi yang digunakan, tetap harus melibatkan banyak orang.
Sebagian pekerja memasang fisik mobil. Sebagian yang lain mengecat.
Begitu pula dengan industri televisi. Pun, baru bisa kita nikmati setelah
dikelola secara kolektif. Ada acara yang disajikan. Harus ada stasiun
televisi yang menyiarkan acara tersebut. Pembuatan dan penyiaran acara
oleh stasiun televisi juga sudah tentu melibatkan banyak orang secara
terorganisir. Dengan kata lain, proses berteknologi yang bersifat kolektif
tersebut terkait erat dengan soal manajemen atau sistem produksi.

2. Alih Teknologi
Tidak scmua masyarakat mampu menciptakan dan
mengembangkan teknologi. Karena tidak seluruh masyarakat memiliki
kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan tcrjadinya penemuan dan
pengembangan teknologi baru tersebut. Dengan kata lain, ada sebagian
masyarakat yang mampu menciptakan dan mengembangkan teknologi.
Namun ada pula yang hanya menjadi pengguna atau konsumen
teknologi. Untuk menyiasati kelemahan pihak terakhir itu, mereka pada
umumnya melakukan program alih teknokolgi.
Penemuan dan pengembangan suatu teknologi harus dilihat
sebagal hasil hubungan timbal balik antara berbagai pihak dalam
masyarakat. Teknologi tidak jatuh dan langit Di balik penemuan dan
perkembangan sebuah teknologi baru, terdapat proses-proses sosial
ekonomi bahkan faktor politik yang melatarbelakanginya. Pertama,

453
Pengayaan Materi Sejarah

teknologi ditemukan lantaran ada sistem perangsang atau imbalan. Ia


bisa berupa imbalan materi atau prestise sosial yang diperoleh. Kedua,
adanya sekelompok orang yang khusus berkonsentrasi menciptakan dan
mengembangkan teknologi.
Sebagai contoh, pada masyarakat Eropa dan Amerika pada abad
ke-18, hak paten ternyata menjadi salah satu faktor pendorong
penemuan dan pengembangan teknologi tersebut. Para penemu dan
pengembang teknologi baru, selalu saja mendaftarkan hasil karyanya itu
kepada kantor hak paten. Dengan haknya itu, mereka banyak yang
kemudian bekerja sama dengan pemilik modal memproduksi ciptaannya
itu secara besar-besaran sehingga memperoleh keuntungan yang
maksimal.
Begitu juga, penemuan dan pengembangan berbagai teknologi
yang spektakuler pada masa Islam, yang merupakan puncak peradaban
pertanian, ialah karena para ‗rekayasawan‖ dipandang sebagai profesi
didikan (learned profession) yang prestesius, dengan sebutan
kehormatan muhandis.20 Profesi muhandis ini harus menguasai aspek-
aspek teoritis-ilmiah, seperti matematika, astronomi, kimia, dan fisika.
Bahkan ada banyak muhandis yang juga seorang teoritikus ilmiah. Jabir
adalah seorang muhandis yang sekaligus ahli kimia. Al-Kindi adalah ahli
metalurgi yang juga fisikawan. Al-Razi adalah juga seorang ahli fisika
dan ahli kimia. Akan tetapi ada pula ilmuwan yang mengkhususkan diri
sebagai seorang muhandis saja, misalnya Al-Jazari.
Gelar profesi lain yang dikenal pada masa itu adalah al-mi‘mar
(―arsitek‖) dan al-hasib (harfiah artinya ‗orang yang menghitung‖;
sekarang kurang lebih sama dengan ahli teknik sipil). Sebagian para
muhandis ini memulai karir mereka sebagai pekerja bangunan, tukang
kayu, dan pekerja mekanik. Kemudian mereka melengkapinya dengan
mempelajari ilmu-ilmu rakayasa dan ilmu teoritis lainnya hingga
akhirnya menjadi seorang muhandis yang ulung. Akan tetapi ada pula
para muhandis yang mengawali karirnya sebagai seorang ilmuwan yang
pandai dalam bidang pertukangan. Kepandaiannya itu kemudian
dipraktikkan hingga akhirnva ia dikenal sebagai seorang muhandis.
Para muhandis ini juga kadang kala memiliki pengaruh pada
pengambilan keputusan raja. Mereka diberi gaji yang tinggi dan diberi
penghargaan untuk prestasi-prestasi tertentu. Banu bersaudara
misalnya, memiliki pengaruh besar pada diri Khalifah Al-Ma‘mun,

454
Pengayaan Materi Sejarah

penguasa Baghdad pada masa itu. Demikian pula dalam lingkungan


istana kerajaan Mamluk, terdapat kantor Muhandis A1-‘Ama‘ir (arsitek
bangunan). Kantor ini bertanggung jawab atas semua bangunan,
perencanaan kota, dan pengambil keputusan tentang orang-orang
yang akan diberi pekerjaan dalam pendirian sebuah bangunan. Selain
itu dibangun pula kantor-kantor lain untuk para muhandis yang
berkenaan dengan urusan konstruksi dan peralatan sistem irigasi.
Alih teknologi dapat dipahami sebagai ―suatu proses dimana
suatu negara dapat bebas memilih ... pengetahuan sains dan teknologi
yang paling cocok untuk kondisi alam, tujuan pembangunan, daya
serap serta pola hidup yang bersangkutan (Capriles dikutip dari Munir,
1996: 4). Pengertian alih teknologi ini bersifat ideal. Pengertian ideal ini
tidak dapat diterapkan pada setiap kasus. Definisi lain menyatakan bahwa
alih teknologi adalah ―tindakan untuk membeli teknologi dari negara lain
dengan dasar menguntungkan bagi kedua belah pihak, dengan demikian
terdapat harga yang harus dibayar untuk mcndapatkan teknologi
tersebut,‖ (Ali 1992 dikutip dari Munir 1996: 5).
Namun rupanya tidak mudah melakukan proses alih teknologi
tersebut. Banyak prasyarat yang harus dimiliki. Kualifikasi sumber daya
manusia dengan keahlian spesifik dan kemampuan mengorganisir diri
adalah dua contoh prasyarat tersebut. Masalah dan proses alih
teknologi rupanya tidak hanya bertalian dengan masalah-masalah teknis
dan modal saja, melainkan juga terkait dengan masalah sikap mental,
pandangan hidup, dan tata nilai tertentu. Alih teknologi akan
membawa perubahan. Sebaliknya, perubahan mental dan sosial juga
diperlukan untuk proses alih teknologi.
Dalam kasus di Indonesia, alih teknologi dilakukan oleh
pemerintah dan perusahaan swasta. Dalam masa kolonial, alih teknologi
terpusat di sekitar perkebunan. Namun alih teknologi yang sistematis
terjadi sejak tahun 1970-an, melalui kebijakan industrialisasi sekaligus
menjadi lanskap beroperasinya perusahaan multinasional di Indonesia.
Industrialisasi ini ditujukan sebagai industri subtitusi import karena
sebelumnya ekonomi Indonesia mengandalkan ekspor dari hasil
perkebunan dan barang tambang. Sesuai dengan zamannya, etos alih
teknologi tidak lagi dilakukan untuk kepentingan kolonialisme, tetapi
selalu berdiri di atas argumen nasionalisine, dan diletakkan dalam
bingkai kebangsaan.

455
Pengayaan Materi Sejarah

Sebenarnya pada 20 tahun pertama Orde Baru (1965-1980-an)


industrialisasi tidak dimaksudkan untuk alih teknologi. Ia lebih
merupakan bagian dan upaya untuk memperbaiki ekonomi. Belakangan
setelah munculnya teknokrat-teknolog, proses alih teknologi dilakukan
secara sadar, dan terencana secara sisternatis. Mulanya para teknokrat-
teknolog itu bermarkaskan di Pertamina. Tokoh utamanya ialah BJ.
Habibie (lihat kembali bagian D.2 dan D.3). Melalui kedekatannya
dengan Presiden Soeharto, maka beberapa rencana para teknolog-
teknokat ini diangkat menjadi kebijakan strategis nasional.

―Usaha kita untuk menguasai dan mengembangkan


teknologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dan
perjuangan kita membentuk hidup esok yang lebih baik,
bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan membentuk
diri kita sebagai bangsa‖.21

Kendati secara retoris untuk kepentingan bangsa, namun pada


praktiknya masih terjadi perdebatan: siapakah yang dapat merasakan
alih teknologi tersebut. Terdapat dua golongan yang berbeda pendapat.
Satu kelompok berpendapat, bahwa alih teknologi harus ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Namun
kelompok kedua berpendapat sebaliknya. Bahwa alih teknologi terlebih
dahulu harus ditujukan dalam rangka pertumbuhan ekonomi terlebih
dahulu. Baru setelah terjadi pertumbuhan ekonomi dilakukan
pemerataan, atau istilahnya pembagian kue (trickle down effect).
Pendapat kelompok kedua didasari oleh argumen bahwa jika tidak ada
pertumbuhan ekonomi, apa yang harus dibagikan. Atau dalam bahasa
yang lebih analogis, buat kue terlebih dahulu baru bisa dibagikan. Kalau
tidak ada kuenya, apa yang harus dibagikan.

‗..., kebangsaan jauh lebih luas dari dipenuhinya persyaratan


formal kemerdekaan politik. Di dalam arti ini, kebangsaan
ditandai oleh kemampuan berdiri sendiri secara ekonomis,....
Di bidang ekonomi, kebangsaan berarti kemampuan
menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan sendiri serta
barang-barang dan jasa yang dibutuhkan di pasar dunia untuk

456
Pengayaan Materi Sejarah

dipertukarkannya dengan barang dan jasa yang diperlukan,


tetapi yang tak dapat, atau tidak ekonomis jika dihasilkan
sendiri. Untuk kesemua ini kemampuan untuk menguasai serta
mengembangkan teknologi sangat penting. Tanpa
kemampuan ini kekayaan alam yang berlimpah pun tak akan
merupakan harta yang terkuasai. Sedangkan dengan
dikuasainya ilmu pengetahuan dan teknologi, langkanya
sumber daya alam tidaklah merupakan hambatan yang tak
teratasi. Lihatlah Jepang.22

Tersurat dan penyataan Habibie bahwa orientasi penguasan


ilmu dan teknologi berada dalam bingkai dan tegak di atas argumen
kebangsaan. AIih teknologi yang dilakukan memiliki tujuan ganda: (1)
menghasilkan barang dan jasa untuk keperluan sendiri, dan (2) untuk
dipertukarkan dengan barang dan jasa yang diperlukan tetapi yang
tidak dapat, atau tidak ekonomis jika dihasilkan sendiri.
Bersamaan dengan menguatnya wacana teknologi tinggi dan
canggih yang dipelopori Habibie tersebut, pada awal tahun 1970-an
juga berkembang wacana apa yang disebut teknologi tepat guna.
Konsep teknologi tepat guna sendiri merupakan pembahasa-
Indonesiaan dari terminologi yang sama dalam bahasa Inggris, yakni
intermediate-technology, appropiate-technology, atau progresive
technology.23 Konteks yang lain dari lahirnya konsep ini, ialah sebagai
respon terhadap praktik industrialisasi di Indonesia yang bersifat padat
modal, digerakkan oleh perusahaan multinasional, dan melulu
berorientasi bisnis atau komersial.24
Tabel 1 memperlihatkan alasan-alasan pentingnya penggunaan
teknologi tepat guna bagi Industrialisasi Indonesia di awal tahun 1970-
an. Pelibatan usaha kecil dan terserapnya sejumlah tenaga kerja
Indonesia yang berketerampilan rendah adalah sebagian alasan yang
dikemukakan. Namun banyak ekonom tidak menempatkan teknologi
madya sebagai harga mati. Bagi Sarbini misalnya25, teknologi madya
merupakan langkah transisi. Kelak secara perlahan; dan bila kebiasaan,
mentalitas, tingkat laku, dan keterampilan teknis orang-orang Indonesia
kian membaik, teknologi madya tersebut dialihkan menjadi teknologi
maju. Argumen Sarbini memang tidak mempertentangkan teknologi
madya (intermediate technology) dengan teknologi maju (advance

457
Pengayaan Materi Sejarah

technology). Sungguhpun begitu, Sarbini tetap menekankan arti


pentingnya teknologi madya sebagai pilar pembangunan ekonomi
nasional. Teknologi madya tersebut ia pandang cocok dengan
kebutuhan dan tantangan masyarakat Indonesia kala itu.
Tabel 1. Teknologi Tepat Guna dan
Perbandingannya dengan Teknologi Maju

Teknologi Tepat Teknologi Maju Konteks Tantangan


Guna
Berbiaya murah Berbiaya tinggi Industrialisasi dan pembangunan
ekononi nasional yang sebagian
besar bertumpu pada kehadiran
perusahaan multinasional, juga
harus sesuai dengan kenyataan:
Menyerap banyak Sedikit menyerap 1. Rendahnya tingkat
tenaga kerja tenaga kerja keterampilan, pendidikan,
dan mentalitas industrial
tenaga kerja Indonesia
Cocok dengan Membutuhkan 2. Sebanyak-banyaknya
kapasitas produksi, sistem manajemen menyediakan lapangan
corak manajemen, modern, tingkat kerja bagi tenaga kerja
dan tingkat keterampilan Indonesia
keteraempulan tinggi, dan
3. Usaha kecil menengah
usaha kecil dan mentalitas serta
yang jumlahnya banyak
menengah skala kecakapan
itu harus terlibatnya
rumah tangga berorganisasi yang
dalam industrialisasi dan
tinggi
pembangunan ekonomi
nasional.
4. Masih rendahnya
kapasitas produksi dan
kapasitas manajerial usaha
kecil dan menengah
tersebut
Diolah dari Sarbini 1972 dan Harahap 1972
Mengapa teknologi madya begitu penting sebagai pilar
pembangunan ekonomi nasional? Sarbini menjawab dengan argumen
berikut. Pertama, tekologi maju berwatak padat modal atau berbiaya
tinggi. Jumlah tenaga kerja yang terserap menjadi sedikit, bila teknologi

458
Pengayaan Materi Sejarah

tinggi tersebut diterapkan. Tenaga kerja yang terserap pun harus


memiliki keterampilan dan pendidikan yang tinggi. Tenaga kerja
tersebut juga harus berdisiplin dan memiliki kecakapan berorganisasi.
Sementara, jumlah angkatan kerja Indonesia sangat banyak: kurang
terampil, berpendidikan rendah, dan kurang cakap dalam berorganisasi.
Jelas mereka membutuhkan lapangan kerja, sebagai sumber
penghasilan dan kesejahteraan pribadi dan keluarga mereka.
Kedua, teknologi tinggi tidak dapat diterapkan di usaha kecil
dan menengah yang bersifat rumah tangga, yang memiliki pekerja 5
hingga 100 orang.26 Padahal, jumlah usaha kecil menengah berskala
rumah tangga itu sangatlah banyak. Meninggalkan mereka karena
dorongan pertumbuhan ekonomi dan alasan penyediaan produk
substitusi impor, adalah tidak mungkin. Dalam konteks itulah, teknologi
madya menjadi sangat tepat. Selain berbiaya murah, tipe teknologi
tersebut cocok dengan kapasitas produksi yang tidak membutuhkan
kemahiran manajemen rumit dan berketerampulan tinggi. Dengan
teknologi madya, masyarakat ekonomi lemah tersebut dapat menikmati
program pembangunan nasional.27
Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1979, diskursus
Teknologi Tepat Guna tidak lagi berkutat sebatas proses produksi dan
pemberi nilai tambah (added value) tetapi juga telah diberikan dimensi
pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut misalnya dikemukakan oleh
Siswosoedarmo28, sebagai ―...penerapan ilmu pengetahuan untuk
tujuan-tujuan praktis, [t]eknologi yang dipakai harus yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan warga desa‖. Diungkapkan pula bahwa:

―usaha penerapan teknologi itu sesuai dengan lingkungannya,


dapat diterima masyarakat setempat, tidak merusak tradisi-
tradisi yang positif, meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan
memperbesar kesempatan kerja, tidak merusak lingkungan
hidup dalam arti fisik maupun mental spiritual dan memenuhi
kebutuhan pokok warga pedesaan.
Dengan demikian, penerapan teknologi bukan saja merupakan
proses teknologi, akan tetapi harus dipandang sebagai paduan
proses ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi itu sendiri. ....
teknologi tersebut harus memenuhi empat syarat, yaitu dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis, dapat dimanfaatkan dan

459
Pengayaan Materi Sejarah

dikelola secara ekonomis, dapat diterima oleh masyarakat dan


serasi dengan lingkungan pedesaan, dan menunjang proses
pembangunan desa‖.29

Singkat kata, wacana teknologi tepat guna yang berkembang di awal


tahun 1970-an tersebut, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dapat langsung dimanfaatkan dan dinikmati oleh masyarakat
setempat.
2. Dapat menciptakan kegiatan yang selaras dengan keadaan sosial
dan budaya setempat.
3. Diprakarsai, mendapat partisipasi, meningkatkan kesempatan
berusaha, meningkatkan kerja dan meningkatkan penghasilan
masyarakat setempat.
4. Dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, mutu produksi,
meningkatkan jumlah dan mutu tenaga manusia, menggalakkan
inovasi dan kreativitas masyarakat setempat.
5. Meningkatkan daya guna sumber daya alam setempat.
6. Peralatannya mudah ditangani, dirawat, atau dibuat oleh
masyarakat setempat.
7. Dari segi ekonomis: teknologi itu dapat dibiayai oleh modal
sendiri yang dapat diadakan oleh masyarakat setempat.

Rangkuman
Teknologi tidak hanya dapat dipahami sebagai benda-benda
konkrit saja, seperti mesin, alat, perkakas, dan lain sebagainya. Seperti
terlihat dari akar katanya, teknologi adalah sebuah ilmu, yakni ilmu
untuk membuat suatu alat, perkakas, mesin, atau bentuk-bentuk konkrit
lainnya. Teknologi adalah penerapan kaidah dan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan untuk memudahkan aktivitas atau pekerjaan manusia.
Jadi, teknologi memiliki empat komponen. (1) pengetahuan:
seperangkat gagasan bagaimana mengerjakan sesuatu, (2) tujuan:
untuk apa ―sesuatu‖ itu digunakan, (3) aktivitasnya harus terpola dan
terorganisasikan, dan (4) aktivitas pendukung agar hal tersebut dapat
berjalan efektif.

460
Pengayaan Materi Sejarah

Pada masa sekarang, prinsip teknologi sebagai alat (kepanjangan


tangan) manusia masih berlanjut. Prinsip ini masih dijumpai pada tang,
obeng, pisau, sepeda; meskipun nuansanya lebih canggih dari pada
masa sebelumnya. Secara prinsip, bentuk maupun kegunaan teknologi
modern berkembang sangat pesat. Hal itu dikarenakan teknologi
tersebut merupakan penerapan praktis prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
modern.
Dari segi penggunaannya, ada teknologi yang dipakai secara
individual, orang perorang; ada pula teknologi yang digunakan secara
bersama-sama, kolektif. Tang, obeng, dan sepeda adalah contoh yang
pertama. Prinsip utamanya ialah sebagai alat atau kepanjangan tangan
manusia. Tangan kita jelas sulit untuk mencabut paku atau
menancapkan mur. Karena itu dibuatlah tang dan obeng untuk
memudahkan pekerjaan. Sementara, sepeda adalah alat untuk
mempercepat perjalanan kita, sebagai alat kepanjangan tubuh secara
keseluruhan.
Adapun teknologi kolektif adalah teknologi yang dalam
penggunaannya mesti dilakukan secara bersama-sama. Televisi, baru
bisa kita nikmati setelah dikelola secara kolektif. Ada acara yang
disajikan. Harus ada stasiun televisi yang menyiarkan acara tersebut.
Pembuatan dan penyiaran acara oleh stasiun televisi juga sudah tentu
melibatkan banyak orang secara terorganisir. Teknologi yang bersifat
kolektif ini juga dapat dijumpai pada pabrik-pabrik yang menghasilkan
suatu barang. Produksi mobil misalnya. Secanggih apa pun teknologi
yang digunakan, tetap harus melibatkan banyak orang. Sebagian
lainnya memasang fisik mobil. Sebagian yang lain mengecat. Dengan
kata lain, proses berteknologi yang bersifat kolektif tersebut terkait erat
dengan soal manajemen atau sistem produksi.

7.2. Dampak Revolusioner Teknologi


Teknologi membuat hidup menjadi lebih mudah. Suatu
pekerjaan akan lebih mudah dan efisien bila dibantu teknologi. Peran
inilah yang dimainkan oleh teknologi sebagai alat, sebagai kepanjangan
anggota tubuh manusia yang pada umumnya berbentuk perkakas.
Fungsi mempermudah tersebut terus berlanjut setelah ditemukannya
teknologi sebagai perluasan tubuh manusia secara keseluruhan, bukan
hanya sekedar kepanjangan anggota tubuh semata. Pada tingkat ini,
bukan hanya alat yang harus disesuaikan dengan manusia, tetapi
manusialah yang justru harus menyesuaikan diri dengan alat.

461
Pengayaan Materi Sejarah

Contoh tentang alat ini ialah sepeda. Sepeda alat kepanjangan


dari fungsi lari manusia. Bersepeda bahkan lebih cepat dari berlari.
Namun, agar mahir bersepeda, seseorang harus belajar keras terlebih
dahulu. Ia harus belajar menyeimbangkan badan. Pada saat yang sama,
kakinya menggowes. Tangannya memegang stang sambil mengatur
kesimbangan badan. Mata tetap awas melihat ke jalan. Sewaktu-waktu
matanya itu memerintahkan tangan untuk belok kiri, badannya agak
condong ke kiri, sambil kakinya menggowes perlahan. Ketiga anggota
tubuh itu harus bergerak secara sinkron. Bila tidak: penyepeda itu akan
jatuh tersungkur.
Baik sebagai kepanjangan tangan maupun sebagai
kepanjangaan tubuh secara keseluruhan, kedua tipe teknologi ini
berpengaruh kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebagai
contoh, ialah peran bajak dan pacul yang sangat menentukan dalam
proses mengolah lahan sawah. Bukan hanya itu. Bahkan dua perkakas
tersebut ternyata mampu mengubah pola hidup suatu masyarakat.
Setelah pacul dan bajak ditemukan, terjadi perubahan pola mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari: dari pola
hidup berburu-meramu berpindah-pindah menjadi pola hidup menetap-
agraris. Pacul dan bajak rupanya memungkinkan suatu masyarakat
memiliki pola hidup menetap dengan mengandalkan pertanian-kebun
bahkan kemudian bersawah dan menanam gandum. Lebih dari itu.
Kedua peralatan material itu pula yang memungkinkan masyarakat
manusia membangun peradaban.
Dalam kaitan ini terjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan
arkeolog tentang peranan bajak dan pacul terhadap transformasi pola
hidup tersebut. Satu pendapat mengatakan bahwa perubahan pola
hidup itu merupakan akibat langsung dari temuan bajak dan pacul—
penemuan teknologi yang spektakuler pada zaman itu. Dengan kedua
alat itu, masyarakat berburu dan meramu memutuskan untuk menetap
dengan cara mengolah tanah untuk ditanam dan memelihara binatang
piaraan untuk dimakan.30 Dengan kata lain, teknologi pacul dan
bajaklah yang telah mengubah pola hidup masyarakat berburu dan
meramu. Pemahaman telah menjadi klasik dan diyakini kebenarannya.31
Akan tetapi, belakangan, penjelasan itu digugat. Pergeseran
tersebut terdorong oleh ditemukannya data mutakhir bahwa ternyata
kualitas hidup manusia berburu dan meramu jauh lebih makmur dari

462
Pengayaan Materi Sejarah

pada manusia menetap. Para arkeolog menemukan fakta bahwa


kandungan gizi pada tengkorak manusia berburu dan meramu jauh
lebih baik. Dari temuan itu, terbangun sebuah penjelasan bahwa sangat
tidak mungkin masyarakat berburu dan meramu mengubah pola
hidupnya secara tiba-tiba menjadi sistem bertani-kebun, hanya karena
dorongan pacul dan bajak. Sebab, tenaga yang harus dikeluarkan pada
pola hidup bertani jauh lebih besar dari pada pola hidup berburu dan
meramu. Sedangkan dari segi hasil, perolehan berburu dan meramu
juga jauh lebih baik dari pada bertani-kebun.
Atas dasar temuan paling mutakhir itu, sebagian ilmuwan
menolak teori yang menyatakan bahwa pacul dan bajak adalah faktor
yang menyebabkan perubahan pola hidup tersebut. Mereka
menunjukkan faktor lain yang lebih signifikan, yakni ledakan penduduk.
Ledakan penduduk itulah membuat persediaan makanan menipis. Pun,
lantaran ledakan penduduk yang pertama dalam sejarah manusia
tersebut, jumlah kelompok berburu bertambah banyak. Padahal—
seperti kita tahu—bahwa areal untuk berburu dan meramu sangatlah
luas, jauh lebih luas berkali lipat dari sistem pertanian menetap. Karena
itulah, lantaran kian banyaknya kelompok berburu dan meramu
tersebut, areal perburuan mereka kian sempit. Pada sisi lain, sangat
tidak mungkin bagi sebuah kelompok pemburu yang satu untuk pindah
ke wilayah lain yang memiliki persediaan makanan lebih banyak. Karena
sudah barang tentu, wilayah tersebut sudah menjadi hak milik
kelompok berburu yang lainnya.
Agar tetap bertahan hidup, tak ada cara lain kecuali harus
mengubah pola hidup mereka: menjadi hidup menetap. Mereka pun
membentuk wilayah tertentu yang secara adat bisa dijadikan sebagai
ladang. Sambil membangun penjelasan ini, para ilmuwan mengatakan
bahwa sebenarnya sejak awal, manusia berburu dan meramu telah
mengenal bajak dan pacul dan pengetahuan berladang. Akan tetapi
mereka tidak menggunakan teknologi tersebut karena tenaga yang
harus dikeluarkan jauh lebih besar. Mereka ― terpaksa ― mempraktikkan
ilmu yang telah lama mereka miliki tadi, karena hanya hal itu sebagai
satu-satunya cara agar tetap bertahan hidup.
Betapapun sengitnya perdebatan posisi teknologi dalam revolusi
pertanian di atas, para ilmuwan tetap bersetuju mengenai implikasi
revolusioner pemakaian teknologi tersebut dalam kehidupan
masyarakat. Andaikan ledakan penduduk memang terjadi, namun saat
itu teknologi pacul dan bajak belum ditemukan, dapatkah pola hidup

463
Pengayaan Materi Sejarah

menetap-bertani terbentuk? Jawabannya adalah tidak mungkin. Bajak


dan pacul telah turut mendorong perubahan revolusioner pola hidup
masyarakat manusia untuk pertama kalinya.
Itu merupakan perubahan pertama dalam sejarah manusia. Ia
disebut revolusi pertanian (agricultural revolution). Pola hidup menetap
ini memungkinkan masyarakat manusia membangun peradaban. Hal
tersebut memungkinkan mereka menemukan dan mengembangkan
teknologi-teknologi baru pada tahap yang lebih lanjut. Pada akhirnya
mempermudah pekerjaan dan kehidupan masyarakat manusia.
Dengan pola hidup menetap ini, manusia pertanian dapat
menemukan roda. Lagi-lagi teknologi roda memberikan dampak
revolusioner dalam kehidupan mereka. Roda telah mendorong revolusi
transportasi. Roda telah memungkinkan manusia membuat kereta
berkuda, dan membuat sistem jalan yang dapat dilalui oleh kereta kuda.
Kereta kuda adalah teknologi perluasan tubuh manusia secara
keseluruhan. Kereta kuda—yang menggunakan sistem roda tersebut—
merupakan sejenis teknologi pertama yang tidak lagi tergantung pada
tenaga manusia. Sumber energinya adalah dari tenaga hewan. Dengan
temuan kereta kuda itu hidup manusia menjadi lebih mudah. Manusia
bisa pergi ke mana saja dengan jumlah tenaga yang jauh lebih ringan.
Bahkan dengan adanya kereta kuda dan sistem jalan yang terhubung
satu dengan yang lain, masyarakat manusia dapat membangun
imperium kekuasaan yang amat luas. Kereta dan sistem jalan itu
memungkinkan sistem administrasi pemerintahan dijalankan. Sang
Pusat dapat mengendalikan wilayah-wilayah bawahannya meskipun
sangat jauh. Di Eropa misalnya, terbentuknya Imperium Romawi karena
adanya sistem yang terhubung antar wilayah tersebut. Bahkan hingga
abad pertengahan, warisan sistem jalan Romawi ini masih menjadi urat
nadi sistem sosial ekonomi dan politik Eropa saat itu.
Di Indonesia sendiri, terdapat dua contoh untuk
menggambarkan dampak revolusioner roda, kereta kuda, dan sistem
jalan terhadap tatanan sosial kemasyarakatan. Pertama ialah terjadi di
Kerajaan Pajajaran. Terdapat empat jalur perhubungan Kota Pakuan
(Pajajaran) yang berada di pedalaman dengan bandar internasionalnya
yang terletak di utara Pulau Jawa (lihat Peta 1). Dua perhubungan
sungai (melalui Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung) dan dua jalur
darat. Jalan darat bagian barat melalui Ciampe, Jasinga, hingga Banten.
Sementara jalur timur melalui Cileungsi hingga Warunggede
Tanjungpura. Tentu saja lantaran keberadaan kereta kuda tersebut,

464
Pengayaan Materi Sejarah

Pajajaran memiliki perhubungan darat yang canggih untuk ukuran


zaman itu.
Ilustrasi kedua ialah keberadaan jalan pos atau De Grote Posteg
yang dibangun semasa Deandels menjadi Gubernur Jenderal di Hindia
Timur (1808-1811) (lihat Peta 2). Kendati sisi negatif proses
pembangunan itu telah banyak ditulis dan dikritik para sejarawan,
namun sekurang-kurangnya keberadaan jalan itu telah mengubah
perhubungan antar wilayah di Jawa belahan utara .32 Mobilitas orang
dan hasil bumi kian cepat. Distribusi padi dan kopi di wilayah yang
dilalui Jalan Pos di Priangan (Cianjur, Bandung, hingga Sumedang), kian
mudah tersalurkan dengan jumlah yang banyak. Bila sebelumnya hasil
bumi itu mesti dipikul, kini dapat menggunakan pedati, tentu dengan
jumlah yang jauh lebih banyak. Pada sisi lain, lantaran Jalan Pos pula,
keuntungan yang diperoleh dari distribusi orang dan hasil bumi oleh
Pemerintah Kolonial kian banyak.
Temuan-temuan teknologi lain terus bermunculan pada masa
pertanian ini. Puncak peradaban pertanian terjadi pada masa Islam.
Pada masa itu, ditemukan berbagai teknologi yang spektakuler untuk
ukuran zamannya. Pada masa Islam ini, teknologi atau mesin dirancang
dan diinovasikan mendapatkan sumber energi dari alam (air maupun
angin). Tidak lagi tergantung kepada energi manusia.
Lagi-lagi, terjadi revolusi kedua yang juga dipicu oleh sebuah
temuan teknologi. Bila pada yang pertama, pacul dan bajak menjadi
faktor pengubah pola hidup dari berburu dan meramu menjadi
menetap-bertani. Maka, revolusi yang kedua ini diawali oleh temuan
mesin uap James Watt-lah yang mengubah karakter teknologi
tradisional. Mesin modern pertama temuan Watt itu tidak tergantung
pada tenaga manusia dan alam, melainkan dapat menggerakan dirinya
sendiri melalui sistem tenaga uap. Mesin Uap (sebagai representasi
teknologi modern yang paling pertama) tidak membutuhkan tenaga
hewan. Ia telah memiliki sumber tenaganya sendiri. Sementara, bila
menggunakan bajak (sebagai representasi teknologi modern) sebagai
alat bantu untuk mengolah sawah, ia membutuhkan tenaga hewan dan
manusia. Tenaga manusia yang dikeluarkan untuk menggerakkan bajak
jauh lebih besar dari pada mesin uap.
Dampak revolusioner pemakaian teknologi modem tersebut
terjadi ketika mesin uap ciptaan James Watt itu digunakan untuk
mengerakkan mesin-mesin pemintal dalam pabrik tekstil di Inggris.

465
Pengayaan Materi Sejarah

Mesin pemintal kapas yang digerakkan oleh mesin uap tersebut


membuat hasil produksi naik berlipat-lipat. Lebih dari itu. Pembangunan
pabrik-pabrik pemintal tidak harus dekat dengan sungai, yang dulu
dipergunakan untuk menggerakan mesin-mesin pemintal tradisional.
Produksi pabrik tidak tergantung lagi kepada alam. Pabrik pemintal
kapas dapat dibangun di mana saja, dan dapat memproduksi kapan
saja
Pada saat yang sama, terjadi pula perubahan dalam cara atau
sistem pemakaian mesin tersebut. Mesin pemintal kapas yang digerakan
oleh mesin uap itu tidak dapat lagi dikendalikan oleh seorang manusia,
tetapi oleh sekelompok manusia yang terorganisir dan terlatih. Orang
pun harus belajar untuk mengendalikan mesin pemintal, yang digerakan
oleh sistem uap tersebut. Dengan kata lain, pada tahap ini teknologi
tidak dapat dilihat sebagai ―kawan‖ (seperti kereta kuda, misalnya)
apabila sebagai ―pembantu‖ (seperti perkakasa). Pada tahap ini,
teknologi harus diperlukan sebagai ―lawan‖. Ia harus ditundukkan agar
dapat digunakan semestinya.33

7.3. Teknologi Modern: Ciri dan Evolusinya


Pada masyarakat modern, teknologi telah mendapatkan wujud
dan maknanya yang nyaris berbeda seratus persen dari teknologi
masyarakat tradisional. Sekurang-kurangnya terdapat enam ciri utama
teknologi modern. Pertama, teknologi modern adalah teknologi yang
dapat digunakan di mana dan kapan saja. Penggunaannya tidak
tergantung pada energi alam (air dan angin) dan tenaga hewan.
Sebaliknya teknologi tradisional adalah teknologi yang sebaliknya. Jika
tidak digerakan oleh tenaga hewan, pastilah teknologi tradisional
digerakan oleh angin atau air. Jadi, aspek sumber tenaga ini merupakan
pembeda utama antara teknologi modern dengan teknologi tradisional.
Wataknya yang mandiri ini bermula dari ditemukannya mesin
uang James Watt. Mesin uap merupakan penemuan teknologi pertama
yang dapat menghasilkan tenaganya sendiri. Teknologi ini
sesungguhnya merupakan pengembangan sistem torak, suatu sistem
kerja yang berkembang sebelumnnya. James Watt mengembangkan
sistem torak ini hingga menjadi tumpuan dalam mengembangkan
mesin uap karyanya itu.

466
Pengayaan Materi Sejarah

Mesin uap James Watt ini kemudian digunakan untuk


mengganti berbagai mesin tradisional yang memperoleh pasokan energi
dari sungai, tenaga hewan maupun angin. Mula-mula mesin uap James
Watt ini digunakan sebagai alat pompa untuk mengeluarkan air dari
pertambangan batu bara di Inggris. Akan tetapi, penggunaan mesin
uap yang paling fenomenal tatkala ia diterapkan dalam industri
pemintalan di Inggris sebagai pengganti mesin-mesin tradisional. Dalam
proses penerapan ini, mesin uap James Watt dikembangkan lebih jauh
hingga bentuk dan sistem kerjanya lebih maju
Akibat penerapan mesin uap ini, pabrik tekstil dapat dibangun
di sembarang tempat. Industri tekstil di Inggris tidak harus selalu
dibangun di pinggir sungai agar mesin pemintal tradisionalnya
memperoleh pasokan tenaga. Demikian pula, penerapan mesin uap ini
telah memungkinkan pabrik tekstil tersebut dapat beroperasi sepanjang
tahun, tidak harus menunggu musim hujan sewaktu mesin permintal
tradisional digunakan.
Setelah diterapkan pada bidang produksi, satu titik tumpu lain
loncatan penggunaan mesin uap ini ialah terjadi tatkala ia digunakan
pada bidang transportasi. Tahun 1804 kereta api uap pertama
diluncurkan, dan mampu menarik gerbong tujuh puluh orang serta besi
seberat sepuluh ton. Tiga tahun lebih awal, mesin uap berhasil menjadi
sumber penggerak sebuah kapal laut. Dan 18 tahun kemudian, sebuah
kapal uap melakukan perjalanan bersejarah melintasi Samudra Atlantik.
Fungsi signifikan mesin uap ini terus berlanjut. Inovasi
pengguna mesin uap terus dilakukan para ahli secara
berkesinambungan. Baru setelah Edison menemukan lampu pijar listrik
dan Disel menemukan teknologi mesin (yang sekarang dikenal dengan
sebutan mesin disel), sumber tenaganya itu berbeda dengan sistem
mesin uap James Watt. Para pengembang teknologi tidak lagi terpaku
untuk mengembangkan mesin uap. Invensi dan inovasi teknologi
mengalami diversifikasi. Banyak pihak mulai memperhatikan dan
mencoba menggali manfaat listrik dan mesin disel. Dapat pula
dikatakan bahwa setelah penemuan manfaat listrik oleh Edison ini,
inovasi penerapan mesin uap mengalami fase menurun.
Kedua, dari aspek motif. Teknologi modern lahir dan terdorong
oleh hasrat untuk menguasai alam. Penemuan teknologi modern
terbaru senantiasa dimaknai sebagai kemenangan manusia atas alam.

467
Pengayaan Materi Sejarah

Alam adalah lawan yang harus ditaklukan. Ia mengandung misteri yang


harus dipahami. Karena itu tugas sains adalah menguak misteri tersebut
dan menemukan prinsip-prinsip yang melandasi setiap misteri alam.
Setiap temuan yang dapat menyingkap dan memformulasikan prinsip-
prinsip alam berarti telah menaklukan alam.34 Sebagai contoh, ketika
alat transportasi modern berhasil ditemukan dan dikembangkan (seperti
mobil, kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang), manusia modern
seolah-olah telah berhasil memperpendek jarak. Persepsi tentang jarak
berubah. Jarak tidak lagi menjadi hambatan bagi manusia modern.
Orang pertama yang merumuskan orientasi keilmuan demikian
secara sistematis adalah Francis Bacon (1561-1626). Pertama-tama yang
dilakukannya adalah pemisahan sains dan teologi, hingga lambat laun
sains dapat mandiri, memiliki bentuk dan wadahnya sendiri. Menurut
Bacon, ilmu harus memberikan kemampuan untuk mengatasi kekuatan-
kekuatan alam melalui penciptaan dan penemuan-penemuan.
Menjelaskan sebuah peristiwa berarti pula harus menjelaskan sebab
munculnya peristiwa itu, dan memastikan hubungan yang tetap antara
sebab dan akibatnya. Dengan berpegang pada hubungan kausal ini,
maka muncullah suatu peristiwa yang dapat diramalkan dengan
kepastian yang tinggi. Pada akhirnya, pengetahuan untuk meramalkan
dalam arti tertentu berarti juga menguasainya, yaitu dengan menguasai
kausalitas yang ada dalam peristiwa itu. Dengan demikian, pengetahuan
tersebut tidak saja memberikan kemampuan bagi manusia untuk
memanipulasi atau mengendalikan proses-proses alam, tetapi juga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya. Efficient causes telah
menjelma menjadi technical know-how, ilmu menjadi teknik dan
pengetahuan menjadi kekuasaan35
Ketiga, teknologi modern juga dicirikan oleh orientasinya yang
serba komersial. Sebagai penerapan sains modern, setiap penemuan
dan pengembangan selalu dipahami sebagai kepanjangan tangan dan
hasrat manusia, dan dibuat untuk melayani dan memudahkan pekerjaan
tangannya. Dimensi komersial itu melekat pada dua aspek berikut. (1)
Pada dirinya teknologi telah menjadi komoditi yang laku
diperjualbelikan. (2) Teknologi menjadi bernilai jual tinggi apabila ia
dapat mempercepat proses produksi sekaligus memperbanyak hasil
produksi. Teknologi modern menjadi pendorong industrialisasi.
Sebaliknya, industrialisasi juga merupakan salah satu faktor pendorong
penemuan dan pengembangan teknologi baru. Berbagai industri

468
Pengayaan Materi Sejarah

dengan sengaja melakukan investasi untuk menemukan dan


mengembangkan sebuah teknologi baru yang memang bernilai sangat
mahal.
Keempat, teknologi modern dicirikan oleh sistem hak individual
yang dilegalisasikan oleh hak paten. Kepemilikan individual ini harus
dilihat sebagai kompensasi biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
menemukan dan mengembangkan teknologi modern. Pada sisi lain, hak
individual juga mengisyaratkan bahwa kepemilikan teknologi akan
berakibat diraupnya keuntungan yang besar di kemudian hari.
Kepemilikan individual di atas juga memperlihatkan bahwa tidak
setiap masyarakat mampu menemukan dan mengembangkan teknologi
modern. Dibutuhkan pendidikan, keterampilan yang tinggi, dan sistem
sosial spesifik bila satu masyarakat dapat menciptakan dana
mengembangkan teknologi modern. Dengan adanya sistem hak milik
tersebut, pihak lain tidak boleh meniru suatu teknologi baru. Meniru
dan mengembangkan teknologi tersebut tanpa seizin pemilik hak
patennya adalah suatu kejahatan.
Sementara teknologi pada masyarakat tradisional adalah milik
umum. Teknologi lahir begitu saja ketika dibutuhkan, dan dibuat untuk
dipakai. Mereka meningkatkan teknologinya ketika mengetahui
sebaiknya bagaimana, karena mereka ingin lebih mudah mengerjakan
pekerjaannya. Tidak adanya penelitian yang intensif juga membuat
teknologi tradisional dapat dikategorikan sebagai teknologi awam.
Teknologi tersebut dapat dibuat oleh hampir seluruh anggota
masyarakatnya lantaran tingkat kerumitannya yang relatif rendah,
sehingga tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi untuk
membuatnya.
Kelima, pada dirinya teknologi modern memiliki nilai jual yang
tinggi. Itulah sebabnya banyak pihak yang tidak segan-segan
menginvestasikan modal untuk penelitian dasar, agar berhasil
menciptakan dan mengembangkan teknologi baru, seraya
membayangkan keuntungan yang besar di kemudian hari. Akibatnya,
perkembangan ilmu pengetahuan pun (sebagai bahan dasar penemuan
dan pengembangan teknologi baru) juga berorientasi lebih praktis.
Orientasi ilmu pengetahuan tidak lagi sekedar untuk kesenangan atau
kearifan semata—sebagaimana ditunjukkan oleh legenda Aristoteles

469
Pengayaan Materi Sejarah

yang mengusir muridnya karena ia menanyakan manfaat praktis


matematika.
Keenam, teknologi modern identik dengan kapitalisme dan
globalisasi. Tuntutan untuk menerapkan teknologi modern pada proses
produksi ini karena tersedianya pasar yang akan mengkonsumsi hasil
produksinya itu. Pasar memang memberikan rangsangan sekaligus
menuntut ketersediaan suatu produk dalam skala besar. Inilah
sebabnya mengapa teknologi yang terkait dengan proses produksi
tersebut terus dikembangkan, agar jumlah produksi dapat
dilipatgandakan untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut.
Pada era kapitalisme, temuan dan pengembangan teknologi
modern baru telah menjadi faktor pendorong ekspansi perusahaan
multinasional. Bahkan perusahaan mutlinasional adalah soko guru
kapitalisme, dan ruang geraknya pun telah melampaui kedaulatan
negara. Sistem manajemen, produksi, dan pemasaran perusahaan
multinasional menjadi lebih efektif dan mencakup banyak negara.
Dalam konteks globalisasi, teknologi modern telah mendorong proses
apa yang disebut deteritorialisasi; ruang dan jarak seolah-olah tidak ada.
Bahkan setelah ditemukannya sistem teknologi modern nirkabel (seperti
ponsel dan internet), hal tersebut telah menghubungkan wilayah-
wilayah yang secara ril berjauhan.
Secara historis, cikal bakal perusahaan mukltinasional itu muncul
dalam bentuk inovasi teknologi yang terkait dengan proses produksi
yang dilakukan oleh para pengusaha swasta di Eropa Barat dan Amerika
Serikat untuk mempercepat dan melipatgandakan produksinya pada
pertengahan abad dua puluh. Hanya dalam kurun dari lima puluh
tahun, pola usaha perusahaan ini bergeser, yang semula memiliki pola
dalam bentuk perdagangan internasional menjadi perluasan sistem
produksi ke setiap masyarakat yang menjadi pangsa pasarnya. Pabrik-
pabrik perusahaan multinasional didirikan di setiap negara yang menjadi
pangsa pasarnya. Dengan demikian, dunia usaha (sebagaimana
dicontohkan oleh perusahaan multinasional di atas) merupakan salah
satu aktor yang berperan dalam menemukan, mengembangkan, dan
menerapkan teknologi modern.
Dalam kerangka ini, pemerintah memiliki peran yang signifikan
dalam menemukan, mengembangkan, dan menerapkan sebuah
teknologi baru. Pemerintah yang sadar akan arti penting teknologi

470
Pengayaan Materi Sejarah

mutakhir tentu akan mendorong, menerapkan, bahkan mengalihkan


teknologi baru untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang
dihadapinya. Peran signifikan pemerintah di atas semakin penting ketika
America Serikat menyelenggarakan program pembangunan dunia
ketiga sebagai siasat untuk membendung pengaruh komunis pada
tahun 1950-an, sebagaimana akan kita diskusikan pada Bagian E.

7.4. Globalisasi sebagai Deteritorialisasi


Untuk mudahnya, kita pahami saja globalisasi sebagai
deteritorialisasi. Deteritorialisasi ialah suatu persepsi seakan-akan jarak
atau ruang kian menyempit. Seolah-olah yang jauh terasa dekat.
Padahal, jarak sebenarnya tidak berubah sama sekali. Hanya karena ada
kemajuan teknologi, seolah-olah jarak tidak lagi berarti.
Taruhlah waktu tempuh Jakarta-Bandung. Kini jarak sejauh 200
kilometer itu dapat ditempuh hanya 1,5 hingga 2 jam saja. Padahal 15
tahun sebelumnya, jarak tempuhnya harus menghabiskan waktu 5 jam.
Bahkan, sebelum tahun 1978, sebelum Tol Jagorawi dibuka, waktu
tempuh Jakarta Bandung ialah 7 hingga 9 jam.
Pandangan ―dekatnya‖ Jakarta-Bandung di atas, karena
perpaduan dua faktor berikut: (1) adanya teknologi jalan tol dan (2)
inovasi sistem teknologi kendaraan mobil. Teknologi jalan tol telah
membuat lajur jalan seolah-olah terus lurus, tak berkelok-kelok. Bila ada
jurang, dibangunlah jembatan penghubung yang panjang. Bila ada
bukit, dibuatlah terowongan hingga jalan tetap lurus. Jalan terus lurus,
melintasi bukit dan jurang.
Sistem teknologi kendaraan mobil pun jauh berkembang. Kini,
berkecepatan di atas 100 kilometer dapat dilaju dengan aman dan
nyaman. Berjam-jam dengan kecepatan di atas 100 kilometer, mobil
mesin tetap terkontrol; dan body mobil tidak bergoyang-goyang. Hal
tersebut terjadi setelah ditemukan sistem suspensi baru, dan sistem
pendingin mesin yang lebih baik. Teknologi telah membuat laju
kecepatan kian tinggi. Waktu tempuh pun kian pendek. Persepsi sosial
jarak pun berubah: Bandung seolah-olah ada di ―belakang‖ Jakarta.
Begitu pula dengan sistem teknologi telepon genggam (ponsel)
kita dapat menghubungi atau dihubungi siapa saja, kapan saja, dan di
mana saja. Kita tetap diam di tempat. Hanya jemari saja yang memijit

471
Pengayaan Materi Sejarah

nomor yang dituju. Tak lama, orang yang dituju tersambung, di mana
dan kapanpun. Hampir seluruh wilayah di Nusantara ini bisa dihubungi,
asalkan ada apa yang disebut sinyal. Apalagi bila kita menggunakan
teknologi internet, kita pun dapat bercakap-cakap tatap muka dengan
sistem softwear seperti Yahoo Massenger atau Skype. Kita ngobrol
berlama-lama sambil bertatap muka. Lewat internet kita bisa mengakses
data, mengirim pesan, atau membuat publikasi. Bahkan kini, internet
telah berfungsi seperti toko yang online atau maya.
Kini pun orang bepergian ribuan kilometer hanya sehari pulang
pergi. Dapat saja, paginya seseorang berkunjung ke Medan dengan
pesawat paling pagi dari Jakarta. Ia pulang pada hari itu, dengan
pesawat terakhir. Jarak ribuan kilometer dapat ditemuh dalam beberapa
jam oleh teknologi pesawat terbang. Bahkan melalui inovasi manajemen
perusahaan pesawat terbang komersial, bepergian dengan pesawat
tidak lagi menjadi barang mewah seperti dua puluh tahun yang lalu.
Banyak perusahaan penerbangan yang menawarkan tiket murah.
Mereka umumnya memangkas berbagai biaya yang tidak perlu.
Misalnya, memotong biaya agen dan menjualnya melalui sistem on line.
Pembeli potensial jadinya dapat membeli harga tiket sesuai dengan tarif
yang dikenakan perusahaan, tidak ditambah keuntungan sang agen.
Perusahaan penerbangan juga biasanya memberikan kuota terbatas
melalui apa yang disebut tarif promo. Sekitar 3-4 bangku setiap
pesawat diberi label tiket promo. Harganya jauh lebih murah
dibandingkan dengan tiket konvensional. Semakin jauh hari membeli
tiket promo ini semakin murah. Begitu pula dengan harga konvensional
melalui sistem online. Bila membelinya jauh hari, harganya lebih murah.
Dengan penjualan sistem online ini, perusahaan penerbangan telah
dapat menaksir jumlah penumpangnya.
Agar tarif murah, perusahaan penerbangan juga memotong
berbagai biaya untuk yang berkategori kenyamanan. Misalnya, tidak
disediakan makan minum ketika terbang. Bila ingin makan minum
harus membeli. Pramugari seolah-olah membuka warung saat
mengudara. Penumpang juga tidak perlu membayar bagasi, bila hanya
sekedar membawa barang ke kabin. Bila akan membawa bagasi, yang
bersangkutam mesti membayar biaya tambahan. Jadi, bila hanya ingin
terbang murah, penumpang dapat memilih untuk mengurangi tingkat
kenyamanan mereka sendiri.

472
Pengayaan Materi Sejarah

Dengan pesawat berbayar murah ini, kian banyak orang yang


dapat pergi-pulang dengan pesawat terbang. Naik pesawat tidak lagi
esklusif, hanya milik orang yang memiliki uang banyak. Sejumlah orang
yang memiliki uang pas-pasan juga dapat pergi dengan pesawat
asalkan tahu caranya, yakni memesan secara online jauh-jauh hari. Kian
banyaknya pengguna pesawat, pengguna telepon genggam dan
internet itu membuat semakin banyak orang yang memiliki persepsi
deteritorialisasi. Deteritorialisasi kemudian menjadi fenomena
kemasyarakatan, karena kian banyaknya orang yang memiliki persepsi
yang sama.
Di Indonesia, teknologi telepon genggam atau teknologi seluler
dengan sistem GSM masuk di penghujung tahun 1996. Kemudian
berkembang pula sistem teknologi kartu prabayar di awal 1998. Pada
penghujung tahun 2002, berkembang pula penggunaan teknologi
CDMA. Masuknya sistem teknologi seluler itu membuat banyak warga
Indonesia yang beralih menggunakan telepon seluler dan nirkabel
karena dinilai lebih praktis dan sesuai dengan kebutuhan mobilitas
para penggunanya yang relatif tinggi.36
Gambar 1.
Pertumbuhan Pengguna Telepon Seluler, Kabel, dan Nirkabel 37

Sumber: BPPT (dikutip dari Muslim 2010: 37)

473
Pengayaan Materi Sejarah

Gambar 1 di atas memperlihatkan meningkatnya pengguna


telepon seluler dengan sangat pesat. Bahkan di tahun 2007, jumlah
penggunanya di Indonesia mencapai 70 juta. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan pengguna telepon kabel yang berjumlah stagnan sejak
tahun 1998 hingga 2007. Melonjaknya pengguna telepon seluler
tersebut merepresentasikan pula meluasnya fenomena deteritorialisasi.
Pandangan bahwa seolah-olah jarak tidak berarti hinggap di kepala
pengguna telepon seluler yang berjumlah hingga tujuh juta tersebut.
Sementara itu, sistem teknologi internet sistem kabel masuk ke
Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an. Tahun tahun 1995,
tercatat sekitar 10.000 pengguna internet, dan angka itu menjadi
100.000 pada tahun 1997. Kemudian, menurut Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di
Indonesia mencapai 2,4 juta orang pada akhir tahun 2001 dan 63 juta
orang pada tahun 2012. 60%-nya didominasi oleh usia muda 12—35
tahun. Mereka ini termasuk kategori generasi yang lahir dan dibesarkan
dalam pola hidup yang serba digital dan terbiasa saling terkoneksi
dalam sebuah jaringan maya. Bahkan survey yang dilakukan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia38 menunjukkan 65% pengguna
Internet Indonesia lebih sering terkoneksi melalui ponsel. Karena
saat ini, kian banyak ―ponsel-pintar‖ dengan harga yang makin
terjangkau dan biaya akses yang juga semakin murah.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia39 juga
mencatat tiga kecenderungan menguatnya fenomena pemaduan sistem
teknologi telekomunikasi seluler dengan teknologi internet. Pertama,
tergesernya fungsi ponsel standar menjadi smartphone atau ponsel
pintar. Kedua, menguatnya penggunaan sistem aplikasi untuk
mengakses internet pada sistem ponsel pintar tersebut. Ketiga, makin
baiknya kapasitas, kecepatan, dan ketersediaan jaringan hingga ke
pelosok daerah. Tak ayal lagi, hal tersebut kian menjadikan banyak
orang Indonesia yang mengalami gejala deteritorialisasi sebagai
pertanda kecenderungan globalisasi mutakhir.
Sebenarnya rintisan deteritorialisasi melalui pemanfaatan
teknologi telekomunikasi telah dilakukan sejak awal-awal Pemerintahan
Orde Baru. 16 Agustus 1976 adalah hari dimulainya revolusi
telekomunikasi di Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Orde Baru telah
menjadi penggerak utama penggunaan sistem teknologi satelit tersebut.

474
Pengayaan Materi Sejarah

Sejak hari itu, Indonesia memiliki satelit telekomunikasinya secara


mandiri, bernamakan SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa,
dan telah menjadi jangkar bagi industri telekomunikasi nasional.
Pemanfaatan Satelit Palapa tersebut telah mengubah hubungan-
hubungan telekomunikasi di Indonesia. Kontak-kontak telepon,
telegrap, dan telex di seluruh Indonesia kian lancar. Begitu juga
jangkauan TVRI dan RRI kian meluas, hingga dapat menjangkau seluruh
kepulauan Indonesia.
Satelit ini dinamakan Palapa, diambil dari Sumpah Gajah Mada
yang terkenal itu. Palapa adalah simbol penyatuan Nusantara.40 Bila
Gajah Mada penyatukan Nusantara melalui angkatan laut, Pemerintah
Orde Baru menyatukannya dengan menggunakan sistem satelit
telekomunikasi. Beroperasinya satelit Palapa generasi pertama ini
ditopang oleh 40 stasiun bumi yang tersebar di 26 ibukota provinsi dan
14 tempat yang lainnya.
Indonesia adalah negara berkembang pertama yang menjadi
pelopor memanfaatkan satelit untuk kebutuhan telekomunikasi
domestik dan integrasi nasional.41 Ibrahim memperlihakan berbagai
aspek persatuan atau integrasi nasional yang diperkuat oleh keberadaan
Satelit Palapa tersebut, yakni: mempermudah komunikasi seluruh
provinsi dan kawasan industri besar, meningkatkan kualitas komunikasi
publik, meningkatan kualitas siaran televisi dan radio hingga ke tingkat
desa, dan meningkatkan jaringan komunikasi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.42
Pada tahap pertama itu, Indonesia memiliki dua satelit yakni
Satelit Palapa A dan Satelit Palapa B. Satelit Palapa A memiliki 12
transponder dan Satelit Palapa B memiliki 24 transponder. Wilayah kerja
Satelit Palapa A mencakup Indonesia dan ASEAN, dan Satelit Palapa B
meliputi Indonesia, ASEAN, dan Papua Nugini. Bila disewa, tarif Palapa
A waktu itu ialah US$ 693.000/transponder/tahun. Dalam hal ini,
Arismunandar mencatat dengan bangga43:
―Manfaat SKSD ternyata... bukan cuma dirasakan oleh
masyarakat Indonesia, tetapi oleh negara-negara tetangga kita
di ASEAN. Filipina, Malaysia, Thailand dan Sungapura juga
berminat menyewa transponder Palapa untuk keperluannya.
Filipina.. menyewa 1 1/2 transponder, Malaysia... 1
transponder, Thailand ... 1 transponder, sedangkan Singapura

475
Pengayaan Materi Sejarah

menyewa Palapa untuk keperluan hubungan lintas batas


antara Singapura dan beberapa kota di Indonesia.‖

Di Indonesia sendiri, sejak dioperasikannya Satelit Palapa,


pembicaraan telepon meningkat tajam. Dari 1.137.971.712 pulsa pada
tahun 1976 menjadi lebih tiga kali lipat pada tahun 1980, yakni
3.353.441.979 pulsa. Generasi Palapa pertama ini (Palapa A dan Palapa
B) beroperasi hingga tahun 1983, atau tujuh tahun. Keduanya
digantikan Palapa generasi kedua (Palapa B1 dan B2) sampai tahun
1990. Ditegaskan pula oleh Ginanjar, saat itu Ketua Bappenes pada
Senin 7 Juni 1993.44
―SKSD waktu itu hanya ada di Indonesia dan Kanada di luar
Amerika Serikat. Itu ditentang Bank Dunia. Ternyata itu suatu
proyek yang sangat sukses, ekonomis, dan menghasilkan. Kita
tidak rugi. Sistem itu sudah sukses dalam mendukung
pembangunan selanjutnya‖

Tabel 2. Nama dan Peluncuran Satelit Palapa


Tipe Satelit Palapa Peluncuran
Palapa A1 1976
Palapa A2 10 Maret 1977
Palapa B1: 18 Juni 1983
Palapa B3: 21 Maret 1987
Palapa B4: 13 Mei 1992

Sementara itu, arti pentingnya Jalan Tol di Indonesia bermula


pada tahun 1978, saat digunakannya jalan bebas hambatan pertama,
yakni jalan Jakarta-Bogor-Ciawi sejauh 60 km. Setelah itu dibangun pula
jalan tol lainnya dalam rangka memperlancar perhubungan dan
pertumbuhan ekonomi baik di Pulau Jawa dan maupun luar Jawa. Di
Sumatera Utara misalnya, dibangun Jalan Tol Belawan-Medan
(menghubungkan Kota Medan dengan Pelabuhan Belawan) tahun 1986
sejauh 34,7 km. Di Jawa sendiri, dibangun jalan tol Jakarta-Merak

476
Pengayaan Materi Sejarah

sepanjang 98 km pada tahun 1984, dan Jalan Tol Jakarta Cikampek


sejauh 73 kilometer pada tahun 1985-1987 (1988 dapat digunakan).
Tahun 1987 di Jakarta, dibangun jenis jalan tol baru: berbentuk
jalan layang yang menghubungkan Tanjung Priok-Cawang. Pada saat
pembangunannya, proses pembuatan jalan tol tersebut tidak boleh
menganggu arus lalu lintas, karena akan menghambat proses ekspor-
import barang. Blessing in diguise. Akhirnya, ditemukanlah teknologi
pembangunan jalan yang awalnya dicor segaris jalan, kemudian diubah
menjadi melintang. Teknik ini ditemukan oleh Ir. Tjokorde Raka
Sukawati, dan oleh Presiden Soehato dinamakan teknologi Sosrobahu.
Jalan Tol layang Tanjung Priok-Cawang sendiri diresmikan pada tahun
1990.
Teknologi Sosrobahu ini menjadi kebanggaan teknologi tol
nasional. Ia memiliki hak paten. Teknologi Sosrabahu ini kemudian
digunakan di Seatle (Amerika Serikat), Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Singapura. Bahkan Korea Selatan ingin membeli hak cipta teknologi
Sosrobaru.
Tahun 1997, panjang jalan tol mencapai 553.418 km, dikelola
oleh BUMN Jasa Marga dan ada pula yang dikelola swasta. Tahun 1998,
dibangun Jalan Tol Makasar-Bandar di Sulawesi sepanjang 11,57 km.
Sejak tahun 2014 sedang dibangun jalan tol Jayapura-Merauke (5,3 km)
dan Sorong Manokwari (5,153 km). Jalan tol Cipularang (Cikampek-
Purwakarta-Padalarang-Cileunyi ) sendiri—yanag menjadi ilustrasi
pembuka Bagian D ini—dapat digunakan pada tahun 2005. Ia
sebenarnya adalah gabungan dua jalan tol yang telah ada sebelumnya,
yakni jalan tol Jakarta-Cikampek (dibangun 1985-1987 sepanjang 73
kilometer) dan jalan Purbalenyi (1988-1992; 33 km). Cipularang sendiri
dibangun sejak 2003 hingga 2005 sejauh 54 kilometer, melewati
wilayah pegunungan dan jurang yang curam.
Selain teknologi Sasrabahu, teknologi jalan tol di Indonesia juga
mengenal apa yang disebut sistem cakar ayam. Teknologi ini merupakan
temuan utama insinyur Indonesia dalam bidang teknik sipil. Penemumya
bernama Sedyatmo (lihat Foto). Sedyatmo menemukan teknologi Cakar
Ayam ini jauh lebih dahulu dari pada Cokorde. Teknologi yang
ditemukan oleh Sedytamo ini menggunakan analogi cakar ayam untuk
memperlihatkan kekuatan mencengkram teknik sipil tersebut, dan dapat

477
Pengayaan Materi Sejarah

digunakan pada tanah yang tidak stabil seperti di wilayah rawa-rawa. Ia


ditemukan pada tahun 1962.
Awalnya ialah tantangan menghadapi Asian Games tahun 1962.
Pada waktu itu, sebagai petinggi di Kemanterian Pekerjaan Umum,
kantor Sedyatmo harus membangun instalasi gardu listrik di wilayah
rawa-rawa, Ancol, Jakarta bagian utara. Gardu itu selalu amblas setelah
dibangun. Dari tiga gardu, baru satu yang selesai. Padahal, tak lama lagi
Asian Games akan digelar, dan pasokan listrik harus teralirkan. Maka,
Sedyatmo terus berpikir, akhirnya ia menemukan sistem pembetonan
yang disebut sebagai Cakar Ayam tersebut (lihat Gambar 2).
Seperti halnya Cokorda, Sedyatmo pun adalah seorang insinyur
yang berprestasi. Ia adalah lulusan Technische Hoogeschool te
Bandoeng, Sekolah Teknik zaman Belanda (sekarang ITB) tahun 1934,
sealmamater dengan Bung Karno. Ia pun lulus amat cepat untuk ukuran
waktu itu, yakni empat tahun. Ia mulai belajar pada tahun 1930 dan
lulus tahun 1934. Ia pun menjadi dosen di almameternya sejak tahun
1951, dan pada tahun 1974 dianugerahi gelar Doktor Honorus Causa
oleh ITB. Prestasinya itu dikenang oleh ITB. Bahkan sejak tahun 2013,
ITB menganugerahi Sediyatmo Award bagi mahasiswa strata dua dan
strata tiga ITB yang berprestasi.
Lantaran temuan sistem Cakar Ayamnya, gardu listrik di areal
rawa-rawa Ancol berhasil dibangun. Asian Games yang merupakan
politik Mercusuar Soekarno pun sukses, karena pasokan listrik dapat
dialirkan. Kemudian, teknologi Cakar Ayam itu digunakan untuk
membangun apron (halaman parkir pesawat terbang) di Bandara
Juanda Surabaya (waktu itu masih menjadi pangkalan TNI AU), Bandara
Polonia Medan. Yang paling terkenal, sistem Cakar Ayam ini juga
digunakan untuk membangun jalan tol ke Bandara Soekarno Hatta yang
dibangun di atas rawa-rawa.
Fenomena deteritorialisasi juga terjadi pada masyarakat-
masyarakat pesisir atau maritim Nusantara. Waktu tempuh dan jumlah
orang yang hilir-mudik antar pulau kian cepat dan dalam jumlah yang
semakin banyak. Perhubungan laut mengalami apa yang disebut
motorisasi perahu. Keterintegrasian sosial ekonomi dan kontak-kontak
sosial masyarakat kepulauan pun kian meningkat.

478
Pengayaan Materi Sejarah

Tahap pertama motorisasi perahu itu terjadi pada perahu-perahu rakyat


yang secara turun-temurun dibuat dari kayu, baik perahu antar pulau
atau perahu di perairan pedalaman, terusan, dan sungai. Perahu
tersebut semula digerakkan oleh layar dan dayung. Kemudian, agar
perahu tersebut dapat melaju lebih cepat, dayung dan layar digantikan
dengan motor mesin sebagai penggeraknya. Upaya itu pada awalnya
adalah inisiatif pemilik perahu. Belakangan, hal tersebut menjadi
kebijakan negara dan dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perhubungan Laut No. DAL/11/19/13 tertanggal 18 April 1975
(berisikan ketentuan-ketentuan pengaturan hal-hal yang bersangkutan
dengan usaha motorisasi perahu layar tradisional). Setelah itu
dikeluarkan pula Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut
No. DAL/11/1/1 tertanggal 24 Maret 1977 yang berisikan 15 pasal
ketentuan/ketetapan mengenai Ketentuan tentang Penyelenggaraan
dan Pengusahaan Pelayaran Rakyat.45
Pada tahap ini, posisi motor mesin hanyalah menempel pada
kapal. Dengan kata lain, konstruksi kapal sesungguhnya tidak dirancang
untuk mesin bermotor tersebut. Sebagai dampak lanjutan motorisasi
perahu, para pembuat perahu atau disebut galangan perahu rakyat
kemudian membangun konstruksi perahu yang mengakomodir
keberadaan motor mesin tersebut. Konstruksi perahu kayu bermotor
kemudian pun menjadi lebih rumit, karena harus memiliki ruang untuk
fondasi mesin, poros dan daun baling-baling. Akan tetapi secara
keseluruhan, sistem keperahuan tradisonal sebagaimana dilakukan dari
dulu tetap dipertahankan. Keberadaan motor penggerak memang
mengubah disain perahu, namun nyata tidak mengubah disain dasar
perahu warisan nenek moyang tersebut.
Tabel 3 memperlihatkan perkembangan motorisasi perahu di
tingkat nasional yang tumbuh hingga mencapai 36,58% sampai tahun
1993. Sementara Tabel 4 juga memperlihatkan pesatnya keberadaan
kapal motor yang disain konstruksinya dirancang dengan keberadaan
motor tersebut di sebuah kabupaten dan pada dawarsa pertama abad
21. Tabel 4 juga memperlihatkan kian berkurangnya jumlah perahu
motor tempel dan perahu tanpa motor.

479
Pengayaan Materi Sejarah

Tabel 3. Perkembangan Motorisasi Perahu 1968-1993


Tahun 1968 1988 1991 1993
Jenis
Perahu 5.707 114.064 122.609 133.200
Motor (2,1%) (34,13%) (35.11% (36,58%)
Perahu Tanpa 278.206 220.138 226.610 230.900
Motor (97,99%) (65,87%) (64.89%) (63,42%)
Jumlah 283.206 334.202 349.219 364.100
Diolah dari Pidato Presiden tentang Repelita V46

Tabel 4. Perkembangan Motorisasi Perahu/Kapal Ikan


di Kota Bitung Sulawesi Utara 2006-2010

Tahun Perahu Perahu Motor Kapal Motor Jumlah


Tanpa Motor Tempel
2006 1.029 520 409 1.600
2007 700 510 776 1.986
2008 690 515 778 1.983
2009 679 522 782 1.983
2010 467 49 1.139 1.655
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung 47

Sebagai contoh ialah fenomena motorisasi perahu yang terjadi


pada masyarakat bahari Kepulauan Tukang Besi Sulawesi Tenggara.
Motoritasi perahu telah dikenal sejak awal pelaksanaan kebijakan
pemerintah tersebut pada tahun 1977. Mereka memiliki perahu lokal
yang khas yang bernama Perahu Lambo. Perahu ini menjadi ikon betapa
dalam dan pentingnya pelayaran yang mereka lakukan, sebagai urat
nadi perhubungan maupun sebagai dinamika sosial ekonomi dan
kebudayaan di masyarakat kepulauan tersebut. Dalam 20 tahun, sistem
pelayaran tradisional yang mereka miliki telah berubah menjadi sistem
pelayaran modern. Motoritasi justeru menghidupkan secara lebih

480
Pengayaan Materi Sejarah

dinamik pola pelayaran tradisional mereka. Tahun 1997, 20 tahun


setelah dicanangkan, semua Perahu Lambo di kepulauan Tukang Besi
telah dilengkapi dengan mesin.48
Selain dalam hal kian cepat dan massalnya perhubungan laut,
motorisasi perahu juga berdampak pada meningkat dan kian meluasnya
tangkapan ikan. Motorisasi perahu (bersama-sama dengan modernisasi
peralatan tangkap) telah mendorong hasil tangkapan ikan yang kian
menaik. Begitu pula, dengan adanya perahu motor, areal tangkap ikan
kian harus ke laut lepas. Butuh biaya yang lebih besar, karena harus
menyediakan BBM yang lebih banyak. Hal tersebut hanya dapat
dilakuan oleh nelayan bermodal besar. Benar bahwa motorisasi perahu
telah memperbesar hasil tangkapan ikan. Akan tetapi motorisasi perahu
justeru kian menajamkan kesenjangan sosial dengan nelayan kecil.49

7.5. Teknokrat Orde Baru dan Konteks Alih Teknologi


1. Teknokrat-Ekonom
Secara harfiah teknokrat terdiri dari dua kata yakni teknos dan
kratos. Teknos berarti cara atau teknis, dan kratos berarti pemerintahan.
Teknokrat adalah sekelompok orang yang duduk di pemerintahan yang
selalu memikirkan cara-cara yang rasional dalam mengelola negara.
Varian lain istilah ini adalah teknokratik, teknokratis dan teknok-
ratisme.50 Teknokratik atau teknokratisme adalah hal pengelolaan
organisasi dan manajemen sumber daya pada negara industri oleh
kelompok teknis. Sementara teknokratis ialah berperannya kelompok
teknis dalam hal-hal yang menyangkut pengelolaan organisasi dan
manajemen sumber daya pada negara industri.
Seorang teknokrat akan menemukan cara yang efektif untuk
mencapai tujuan pembangunan dengan menekan biaya hingga sekecil-
kecilnya. Ia yakin benar bahwa persoalan apapun akan selalu dapat
diterjemahkan menjadi masalah teknis, dan untuk setiap masalah teknis
itu akan selalu dapat ditemukan cara-cara yang sesuai untuk
memecahkannya. Bila seorang teknokrat berhasil menemukan cara-cara
pemecahan tersebut, kedudukannya semakin kuat. Dengan keahliannya
itu, ia akan memiliki akses untuk mempengaruhi kekuasaan. Dengan
kata lain, seorang teknokrat tidak sekedar seorang teknisi yang hanya
menjadi pelaksana. Ia juga memiliki hasrat kuat untuk ikut

481
Pengayaan Materi Sejarah

―menentukan‖ dan menguasai mekanisme-mekanisme penting dalam


mempengaruhi kekuasaan politik.
Di Indonesia, gejala teknokrat masuk dan mempengaruhi
pengambilan keputusan di pemerintahan sesungguhnya merupakan
gejala lama. Fenomena tersebut bahkan telah terjadi di era perang
kemerdekaan. Tahun 1948, Syahrir telah memasukkan para ilmuwan
dalam kabinetnya. Tugas para teknokrat tersebut (ilmuwan yang duduk
di pemerintahan) adalah memikirkan cara-cara yang tepat untuk
memulai pembangunan semesta di Indonesia.
Pada akhir tahun 1950-an, Kabinet Juanda melakukan hal yang
sama dengan Kabinet Syahrir. Malah Kabinet Juanda ini dijuluki ―Zaken
Kabinet‖ atau kabinet ahli. Banyak para ilmuwan yang menjadi menteri
dan kemudian berhasil menyusun rencana pembangunan Indonesia
yang dikenal dengan sebutan ―Rencana Pembangunan Semesta
Indonesia‖.
Namun, baik Kabinet Syahrir maupun Kabinet Juanda tidak
dapat melaksanakan program-program pembangunan. Kabinet Syahrir
hanya berada dalam tataran niat, sementara Kabinet Juanda sudah
mencapai tarap penyusunan rencana pembangunan yang lebih
sistematis dan relatif matang. Keduanya belum dapat merealisasikan
pembangunan, karena kondisi keamanan dan politik yang labil. Kabinet
Syahrir menghadapi perang kemerdekaan, berkonsentrasi menahan
serbuan Belanda dan mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan
kondisi sosial politik pada saat Kabinet Juanda begitu labilnya sehingga
kabinet tidak dapat bekerja dengan efektif.
Sadar bahwa kondisi sosial politik yang stabil adalah prasyarat
pembangunan. Maka stabilitas merupakan target utama ketika Orde
Baru berkuasa. Angkatan Darat, yang merupakan inti Orde Baru, bekerja
sekuat tenaga agar kondisi sosial politik bergerak ke arah yang stabil.
Maka, setelah rejim pemerintahan ini dapat menciptakan kondisi politik
yang stabil, Orde Baru mulai bekerja untuk memperbaiki perekonomian
Indonesia peninggalan Soekarno. Sebagai perancang perbaikan
ekonomi Indonesia tersebut, Jenderal Soeharto merekrut para Dosen
dari Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia untuk membantunya dalam
hal merancang dan melaksanakan program-program pertumbuhan
ekonomi. Kelak, para perancang ini disebut sebagai teknokrat. Dan,
selama Jenderal Soeharto memegang tampuk kekuasaan selama 32

482
Pengayaan Materi Sejarah

tahun (1967-1998), Indonesia sesungguhnya memasuki sistem


teknokratisme.
Dalam konteks di atas, penting dipahami adanya semacam
pembagian tugas antara para teknokrat dan ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, kini bernama Tentara Nasional Indonesia). ABRI
bertugas mempertahankan stabilitas, sementara para teknokrat bekerja
untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Jenderal Soeharto dan ABRI
sejatinya adalah penguasa Orde Baru. Teknokrat adalah pembantu ABRI.
Oleh karena itu, perbaikan ekonomi yang dilakukan teknokrat senantiasa
harus sesuai dengan konsepsi ABRI tentang pembangunan bangsa.
Para teknokrat yang direktur ABRI adalah para ekonom dari
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Secara kebetulan mereka juga
para pengajar Seskoad (Sekolah Tinggi Staf dan Komando Angkatan
Darat) di Bandung dan melalui Lembaga Pendidikan Tinggi Militer ini
terjalin kerjasama diantara mereka. Sering pula interaksi mereka tidak
hanya terjadi di ruang-ruang kelas saja. Mereka juga sering berdiskusi
tentang kondisi ekonomi Indonesia hingga larut malam. Buruknya
kondisi transportasi pada saat itu (Tahun 1950-an dan awal 1960-an)
menyebabkan para ekonom harus menginap di Bandung hingga
sepekan lamanya.
Diskusi mereka yang mendalam dan terumuskannya rancangan
perbaikan ekonomi di atas, membuat ABRI menjadikan perbaikan
ekonomi sebagai program prioritas setelah mereka memegang tampuk
kekuasaan Negara pasca G 30 S/ PKI. Teknokrat-ekonom tersebut
adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, dan
Muhammad Sadli. Mereka diberi posisi sebagai Penasehat Ekonomi
Presiden Soeharto melalui Keppres No. 195 tanggal 15 Juni 1968.
Melalui Kepres yang sama, diangkat pula Soemitro Djojohadikusumo,
Radius Prawiro, dan Frans Seda. Pengangkatan ini berlangsung tiga
bulan setelah Jenderal Soeharto secara resmi menjabat Presiden.
Pengangkatan di atas dapat dilihat sebagai formalisasi aliansi
konkrit antara ekonom dan ABRI. Pada sisi lain, sesungguhnya terjadi
pula aliansi dalam bentuk yang lebih konsepsional melalui seminar di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan judul ―Tren Baru
Ekonomi Indonesia‖, yang diselenggarakan pada tanggal 11 Januari
1967 dan dihadiri oleh Jenderal Soeharto sendiri. Seminar ini
menghasilkan konsepsi perbaikan ekonomi Indonesia yang lebih

483
Pengayaan Materi Sejarah

sistematis. Pada sudut lain, hasil seminar tersebut dapat juga dipandang
sebagai bentuk formalisasi hasil-hasil diskusi antara para ekonom dan
Jenderal Angkatan Darat di Seskoad pada era sebelumnya.
Para ekonom ini kemudian berhasil menyusun Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) 1968, dan kemudian disyahkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). GBHN ini menjadi landasan
dasar diawalinya rangkaian pembangunan nasional jangka panjang
dengan sistem pentahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pelita
yang pertama sendiri mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969.
Inti dari kinerja para teknokrat ini adalah pertumbuhan ekonomi
dengan mengandalkan ekspor dan industrialisasi. Kebijakan ekonomi
para teknokrat ini amat berlawanan dengan orientasi ekonomi era
Soekarno. Bila kebijakan ekonomi Soekarno adalah Berdikari (Berdiri di
atas Kaki Sendiri): tidak menerima sama sekali investasi dari negara lain
dan perusahaan multinasional. Program ekonomi Presiden Seokarno
berkebalikan. Melalui Undang-undang Penanaman Modal No. 1/1969,
Orde Baru melakukan kebijakan liberalisasi ekonomi. Perusahaan
multinasional berbagai negara diundang menanamkan modalnya di
Indonesia—bahasan rinci tentang perusahaan multinasional akan
dibicarakan pada bagian H tulisan ini. Apa yang dituju melalui kebijakan
liberalisasi ekonomi atau penamanam modal asing ini ialah industri
subtitusi import.51
Industri Subtitusi Import (ISI) adalah kebijakan ekonomi yang
berupaya agar import barang dan teknologi menjadi diproduksi di
dalam negeri. Misalnya, motor. Di tahun 1960-an, motor bebek Honda
dari diimport built-in mentah-mentah begitu rupa dari Jepang. Melalui
kebijakan Penanaman Modal 1969, perusahaan multinasional Honda
tidak boleh mengimport motor yang telah jadi. Bila Honda ingin
menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasarnya, ia harus mendirikan
cabang perusahaan dan pabrik motornya itu di Indonesia.
UU No. 1969 juga mengatur bahwa bila perusahaan
multinasional mendirikan cabangnya di Indonesia, maka cabangnya itu
haruslah berbentuk perusahaan joint ventura (perusahaan patungan
dengan pengusaha nasional). Dalam kasus sepeda motor Honda,
perusahaan itu akhirnya membangun perusahaan ―baru‖ yang bernama
PT. Astra Honda Motor yang memiliki pabrik di Sunter, Jakarta Utara.
Honda berpatungan dan bekerja sama dengan William Soerjadjaja—

484
Pengayaan Materi Sejarah

seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang juga dikenal sebagai


pengusana klien Presiden Soeharto.52
Maka mulailah PT. Astra Honda Motor berperan sebagai industri
pengganti import. Untuk pertama kalinya, Pabrik Astra Honda berfungsi
sebagai pabrik rakitan. Sepeda motor tidak lagi diimport built-in. Sejak
saat itu, hanya mesin-mesin motor yang diimport. Seluruh body motor
dirakit dan sebagian bahannya diolah di dalam negari. Sebagai pabrik
rakitan pada tahap yang paling awal itu, Astra Honda Motor memiliki
tiga fungsi dampak berganda (multiplayer effect). (1) Pabrikan itu jelas
menyerap tenaga kerja: dari pekerja kasar, setengah terampil, pekerja
terampil (blue colour job), hingga pegawai kelas menengah (white
colour job). (2) Sebagai pabrik rakitan, tentu tidak semua bahan dasar
body motor dibuat oleh Astra. Astra sendiri tidak mampu menyediakan
semua bahan dasar tersebut. Di sini kemudian lahirlah sistem orderan,
atau putting out system. Astra misalnya memesan baut kepada pihak
lain. Sehingga kemudian lahirlah pabrikan rumah tangga pembuatan
baut di Kabupaten Tegal. Tentu sistem orderan ini akhirnya menyerap
tenaga kerja dan menggerakan sistem ekonomi desa-desa di Kabupaten
Tegal.53
(3) Lokasi perusahaan dan pabrik Astra Honda juga mengalami
perubahan sosial akibat keberadaannya itu. Perlu diketahui tatkala
pabrik Honda dibangun di wilayah Sunter, areal itu adalah rawa-rawa.
Setelah pabrik itu berdiri, muncullah (a) pedagang sektor informal, yang
menyediakan kebutuhan pangan para pekerja Astra. Tentu saja pekerja
Astra banyak yang tidak sempat memasak makanan sendiri. Akibatnya
mereka mengandalkan asupan makanannya dengan cara membeli, baik
untuk makanan pokok (membeli nasi dan lauk-pauk) maupun makanan
tambahan (misalnya membeli jajanan baso dan mie ayam). Akhirnya di
sekitar pabrik, banyak pedagang kuliner yang berjualan di sana.
(b) Pekerja Astra juga perlu pondokan. Hal itu utamanya
dibutuhkan bagi pekerja bawah perusahaan tersebut, karena umumnya
mereka adalah migran dari desa-desa luar Jakarta. Maka, muncullah
sistem kontrakan rumah di sekitar pabrik yang dapat ditempuh dengan
jalan kaki. Akhirnya, sistem fisik sosial, komposisi penduduk, bahkan
sistem sosial ekonomi wilayah Sunter berubah sama sekali dengan tata
sosial di era sebelumnya.

485
Pengayaan Materi Sejarah

Tentu, di tahun 2015 ini, fungsi Honda Astra Motor tersebut


tidak lagi hanya sekedar pabrik rakitan. Kini, Astra Honda motor telah
juga mampu membuat mesin motor, sehingga dapat memproduksi
motor secara utuh. Namun demikian, rakitan dan mesin itu tetap
disupervisi oleh kantor pusat Honda yang berada di Tokyo Jepang.
Sistem supervisi itu memang dimungkinkan karena ditemukannya
teknologi untuk proses tersebut. Apalagi di era internet dan sistem
teknologi ponsel, sistem tersebut sangatlah lebih dimungkinkan.
Memang beroperasinya perusahaan multinasional di banyak negara,
dapat dilakukan karena ditemukan sistem telepon interlokal di akhir
tahun 1950-an. Dengan sistem telepon interlokal itu, kantor pusat di
suatu negara dapat mengontrol dan mensupervisi perusahaan cabang
dan pabrik-pabrik yang beroperasi di negara yang lain. Temuan
teknologi tersebut membuat perusahaan multinasional dapat
melakukan relokasi produksi.
Ilustrasi pola relokasi produksi semacam Honda di atas dapat
kita perpanjang, dan hal tersebut telah melahirkan dampak berganda
yang signifikan dalam sistem masyarakat Indonesia. Apalagi kemudian,
relokasi produksi itu dibuat dalam paket sistem kawasan industri.
Berubahnya tata sosial fisik dan struktur pekerjaan merupakan dua
contoh perubahan sosial ekonomi yang signifikan dan terjadi di dalam
masyarakat Indonesia. Untuk memperlihatkan hal tersebut, adalah
penting untuk menyimak hasil penelitian Koentjaraningrat di kawasan
Pasar Rebo Jakarta pada awal 1970-an.54
Kawasan Pasar Rebo hingga Cimanggis (di timur Jakarta)
ditetapkan sebagai kawasan industri—bersama-sama dengan Pulau
Gadung)—di awal tahun 1970-an, sebagai implementasi UU No.
1/1969. Sejak era kolonial, Pasar Rebo dan Cimanggis adalah penghasil
pertanian buah-buahan untuk dipasarkan di Jakarta.55 Setelah banyak
pabrik perusahaan multinasional berdiri di kawasan tersebut (seperti
Bayer, Frisian Flag, dan Biskuit Khong Guan), sistem pertanian buah di
kawasana itu memudar, dan pada akhirnya di tahun 1990an hilang
sama sekali. Kebun buah awalnya berganti menjadi lapak pedagang
makanan dan rumah kontrakan para buruh. Lambat laun, karena sistem
jalan raya yang sudah mapan sejak era kolonial, banyak pendatang yang
bertempat tinggal di kawasan itu. Hamparan kebun buah berganti
menjadi hamparan rumah. Akhirnya, sistem pertanian buah hanya the
lost world (dunia yang hilang) di Pasar Rebo dan Cimanggis.

486
Pengayaan Materi Sejarah

Selain industrialiasi melalui relokasi perusahaan multinasional di


atas, awal tahun 1970-an teknokrat juga merancang program
modernisasi pertanian—yang belakangan dikenal sebagai Revolusi Hijau.
Program ini bertujuan mempertinggi produktivitas lahan dan kuantitas
hasil pertanian, khususnya padi. Caranya ialah mengubah pola-pola
pertanian tradisional menjadi pola-pola pertanian modern, dengan
melakukan penerapan teknologi mekanik (peralatan atau mesin-mesin
pertanian), penerapan teknologi kimia (pupuk kimia-buatan dan obat-
obatan kimia pembasmi hama), dan penerapan bio-teknologi (bibit
unggul padi varietas modern). Selanjutnya, modernisasi pertanian ini
juga ditopang oleh pengadaan dan perbaikan sarana irigasi teknis dan
penguatan lembaga-lembaga pertanian modern (lembaga kredit,
koperasi, dan sistem penyuluhan).56
Hasil modernisasi pertanian ini ialah meningkatnya produktivitas
lahan, meluasnya areal panen, produktivitas lahan, dan melonjaknya
produksi pangan (khususnya beras) secara nasional hingga hingga akhir
1980-an. Lonjakan hasil pertanian ini berhasil membawa Indonesia,
yang merupakan negara pengimport beras terbesar di dunia, menjadi
negara yang mampu berswasembada pangan pada tahun 1984. Tentu
saja ini adalah sejarah yang patut dibanggakan. Meski begitu, tekanan
pada hasilnya secara agregat nasional ini, memiliki implikasi begitu rupa
di tingkat lokal. Hal tersebut dikarenakan modernisasi pertanian tersebut
memang senafas dengan pertumbuhan ekonomi—sebagaimana
tekanan Trilogi Pembangunan Orde Baru. Tentang hal ini akan dibahas
rinci di bagian F tulisan ini.
Sementara itu, pada aras nasional, sesungguhnya swasembada
beras yang berujung pada terkendalinya harga beras oleh pemerintah
Orde Baru tersebut—sebagaiamana ditunjukkan Rahardjo—sebenarnya
menyediakan subsidi secara tidak langsung bagi industri nasional. Harga
beras yang murah dan terjangkau oleh daya beli golongan masyarakat
terbawah bawah, membuat para buruh tetap dapat memenuhi
kebutuhan dasar pangan mereka. Sungguh pun upah kerja yang mereka
terima telah murah pula.57

2. Teknokrat-Teknolog
Di awal dekade 1970-an, sistem ekonomi Indonesia dianugerahi
boom minyak. Boom minyak merupakan terminologi metafor untuk

487
Pengayaan Materi Sejarah

mengilustrasikan penghasilan ―berlebih‖ ekspor minyak Indonesia


karena Negara-negara Arab mengembargo (menghentikan pengiriman)
minyak ke Negara-negara Barat yang telah membantu Israel. Salah satu
dampaknya dalam pengelolaan negara di era Orde Baru itu ialah
dirancangnya alih teknologi tinggi, khususnya pembuatan industri
pesawat terbang.
Awal tahun 1970-an, Presiden Soeharto memanggil pulang
seorang ahli aeronetika lulusan Universitas Achen, salah satu universitas
terkemuka di Jerman. Ia telah lama menetap di Jerman. Orang itu
bernama Habibie. Di Jerman, Habibie pernah menjabat sebagai wakil
presiden perusahaan penerbangan komersial ternama. Menurut
memoar yang ditulis Habibie sendiri,58 ia dipanggil menghadap Presiden
Soeharto di rumah Sang Presiden di Cendana. Dalam pembicaraan yang
amat personal dan santai di tengah malam itu, Presiden Soeharto
meminta Habibie menyiapkan segala sesuatunya (rancangan alih
teknologi tinggi dan penyiapan daya manusia) untuk membangun
industri dirgantara nasional.
Di tahun 1974, ia kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai
staf pada Divisi Pengembangan Teknologi Tinggi Pertamina. Sejak masa
sekolahnya di Jerman, Habibie memang selalu mengimpikan bahwa
pembangunan Indonesia selayaknya berlandasan pada pengembangan
teknologi tinggi. Ia membicarakan keinginannya itu dengan teman-
temannya. Tidak mengherankan ketika Habibie memiliki jabatan
strategis dalam pengembangan teknologi tinggi, teman-temannya
tersebut diajak serta. Terbentuklah semacam kelompok teknolog yang
berbasis di Pertamina.
Posisinya yang strategis di Pertamina ini membuat Habibie
memperoleh dua hal. Pertama, Pertamina yang memiliki dana ―berlebih‖
akibat boom minyak tersebut, mampu membiayai eksperimen teknologi
tingginya yang memang membutuhkan biaya yang besar. Kedua, dan
ini yang paling penting, Pertamina telah mimberikan jalan pintas untuk
dekat dengan Sekretariat Negara, dan akhirnya kepada Presiden
Soeharto. Perlu diketahui sejak boom minyak, Pertamina kian berperan
sebagai sumber dana untuk proyek-proyek politik Angkatan Darat.
Akhirnya, hubungan antara Habibie dan pimpinan Angkatan Darat
(termasuk Presiden Soeharto) semakin akrab.

488
Pengayaan Materi Sejarah

Setelah di Pertamina, ia kemudian diangkat menjadi Menteri


Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Habibie pun semakin akrab
dengan Presiden Soeharto. Begitu akrab dan besarnya kepercayaan
Presiden Soeharto kepada Habibie, tercermin dari ucapan Soeharto
sendiri. ―Saudara Habibie boleh berbuat apa saja untuk pembangunan
di sini. Cuma satu yang tidak boleh yaitu melakukan revolusi‖.59 Dengan
kepercayaan yang begitu besar dari Kepala Negara sehingga
membuatnya mudah mendapatkan dukungan. Habibie tampil dengan
kepeloporannya dalam bidang-bidang industri strategis. Mulailah ia
mendirikan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sebagai
basis organisasi induknya.
Dari Gedung BPPT di Jalan Thamrin, ia mulai merancang dan
mengelola berbagai industri strategis, di bawah koordinator suatu
lembaga yang bernama BPIS (Badan Perencana Industri Strategis).
Demikianlah, BPIS ini kemudian menjadi induk dan payung bagi
berbagai industri strategis lainnya, seperti IPTN (Industri Pesawat
Terbang Nurtanio) di Bandung, PT PAL (Perusahaan Armada Laut) di
Surabaya, Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) di Serpong (kini Kota
Pamulang Selatan), dan sebagainya. Berbagai industri strategis tersebut
telah melahirkan karya nyata. IPTN berhasil membuat CN-235 (bekerja
sama dengan Casa Spanyol). Perusahaan nasional berplat merah ini juga
berhasil membuat pesawat CN-250 pada tahun 1995, hasil rekayasa
insinyur Indonesia; dan pada tahun 2013, direncanakan akan membuat
pesawat terbang bermesin jet. Begitu pula dengan PT. PAL,
berkedudukan di Surabaya, juga berhasil membuat berbagai kapal laut.
Antara teknokrat-ekonom dan teknokrat-teknolog memiliki
strategi yang berbeda dalam upaya meningkatkan pembangunan
Indonesia. Para teknokrat-ekonom menganggap bahwa pembangunan
harus ditempuh dalam tahap-tahap tertentu yang membutuhkan waktu
lama. Kelompok ini menekankan orientasi pada pasar bebas atas dasar
keunggulan komparatif (comparative advantage) yang berorientasi
ekspor (export oriented industrialization), dan menekankan efisiensi
serta cenderung anti terhadap praktik-praktik proteksi. Sementara itu,
kelompok teknokrat-teknolog lebih mengajukan alternatif kepada
strategi yang berorientasi pada teknologi tinggi. Prioritas tekanannya
adalah proyek-proyek besar yang padat modal, seperti terlihat pada
industri-industri strategis di bawah BPIS. Tujuan utama industri strategis

489
Pengayaan Materi Sejarah

tersebut adalah berorientasi pada industri subsitusi import (import


substitution industry).
Perbedaan strategi pembangunan di atas mengakibatkan
terjadinya tarik-menarik dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan
ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, ialah di saat terdapat dana
berlimpah hasil boom minyak, hal tersebut meningkatkan peran
teknolog secara signifikan. Industri-industri strategis semakin tumbuh
dan dibarengi oleh kebijakan proteksi yang melingkupi industri strategis
tersebut. Namun ketika terjadi resesi ekonomi, turunnya kurs rupiah,
merosotnya iklim usaha, dan anjloknya harga minyak bumi, hal tersebut
telah mengembalikan peran ekonom untuk menyehatkan kembali
perekonomian nasional. Maka keluarlah berbagai instrumen kebijakan
yang mengarah pada deregulasi dan debirokratisasi. Harapannya adalah
menaikkan ekspor non-migas dan meningkatkan sektor perbankan agar
dapat menyediakan dana bagi pembangunan. Di sini, Presiden Soeharto
berperan sebagai penengah. Karena peran presidenlah, maka kedua
kelompok teknokrat tersebut saling mengisi.
Dengan demikian, naik turunnya peran teknokrat-teknolog
maupun teknokrat-ekonom sangat ditentukan oleh iklim ekonomi dan
kebijakan dari Presiden Soeharto sendiri. Sampai pertengahan tahun
1990-an, nampaknya peran teknokrat-teknolog menaik. Hal tersebut
dipicu oleh suatu peristiwa di tanggal 10 Agustus 1995. Pada tanggal
itu, pesawat terbang CN-250, hasil rekayasa insinyur Indonesia,
mengudara. Hari yang membanggakan. Indonesia telah memasuki era
teknologi dirgantara. Tanggal 10 Agustus pun diresmikan sebagai Hari
Teknologi Nasional. Lebih dari itu, Presiden Soeharto mencanangkan
pembuatan pesawat bermesin jet, yang direncanakan akan terbang
perdana pada tahun 2013. Suatu rencana besar yang hingga kini belum
kunjung terealisasikan.

3. Biografi Singkat Bacharuddin Jusuf Habibie


Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare-pare, Gorontalo,
pada 25 Juni 1936. Di awal tahun 1950-an, keluarga Habibie yang
sudah ditinggal wafat ayahnya, pindah ke Bandung. Di kota yang
berjulukan Paris van Jawa itu, ibunyalah yang menjadi kepala keluarga
dan pencari nafkah untuk membesarkan anak-anaknya. Kota Bandung
dipilih, karena di sana tersedia sarana pendidikan yang memadai untuk

490
Pengayaan Materi Sejarah

kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Mereka membeli sebidang


tanah, sebagiannya dibangun untuk disewakan. Habibie sendiri masuk
SMA di Bandung pada tahun 1951, dan tamat dengan nilai yang luar
biasa pada tahun 1954. Ia pun mendaftarkan diri menjadi mahasiswa
Fakultas Teknik yang kala itu merupakan bagian dari Universitas
Indonesia (sekarang ITB—Institut Teknologi Bandung).
Atas usaha ibunya, Habibie memperoleh informasi tentang
peluang belajar di Jerman, dan bantuan pemerintah sekiranya ia belajar
di Negeri yang pernah dikuasai fasisme Nazi itu. Melalui Kementerian
Pendidikan, ia mendapatkan visa dan penukaran uang Jerman, yang
kala itu masih bersistem terpusat. Habibie memang tidak mendapatkan
beasiswa. Ibunyalah—yang seorang janda—membiayai sekolahnya di
Jerman hingga strata dua. Lantaran ia tidak mendapatkan beasiswa
sekaligus dibiayai seorang Ibu, tidak ada pilihan lain bagi Habibie kecuali
harus berjuang belajar dengan fasilitas yang cenderung seadanya—
sebagaimana ia tulis sendiri dalam memoarnya di tahun 2010.
Di awal tahun 1950-an, Presiden Soekarno memang bermaksud
mengirimkan anak-anak bangsa yang cerdas untuk belajar teknologi
dirgantara dan maritim ke luar negeri. Hasratnya ini kemudian
dijabarkan menjadi kebijakan Kementerian Pengajaran (nama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu). Rupanya ibu
Habibie mendengar informasi ini. Maka tanpa sungkan, ia menanyakan
ihwal informasi tersebut, dan berupaya agar anaknya dapat melanjutkan
belajar ke Jerman.
Tahun 1955, Habibie merantau ke Jerman. Ia diterima belajar
konstruksi pesawat terbang di Technische-Hochschule, Aachen, Republik
Federal Jerman (Jerman Barat). Sebelum angkatannya dikirim,
sebenarnya telah dikirim tiga angkatan untuk belajar teknologi
dirgantara dan maritim di Jerman. Mereka yang dikirim adalah angkatan
pertama pada tahun 1950, angkatan kedua pada tahun 1951 dan
angkatan ketiga pada tahun 1952 dan tahun 1953. Sementara Habibie
sendiri termasuk angkatan keempat yang dikirim pada tahun 1955.
Kelak ketika telah meluncurkan CN-250 buatan IPTN, Habibie
mengenang tugas keempat angkatan ini sebagai tonggak awal
penguasaan teknologi tinggi. Sebab pada tahap yang awal ini,
pemimpin bangsa telah berfikir jauh ke depan, di luar konteks hanya
sekedar merdeka. (Saat melepas keberangkatan angkatan keempat

491
Pengayaan Materi Sejarah

tersebut, Muhammad Yamin, kala itu menteri Pendidikan, mengusap-


ngusap kepala Habibie sambil mengatakan bahwa anak-anak itu adalah
harapan bangsa di masa depan.60
Di Aachen, prestasi Akademik Habibie sangat menonjol. Ia lulus
dengan predikat cumlaud (sangat baik). Lima tahun kemudian, tahun
1960, dia menyandang gelar Diploma-Ingenier bagian mesin jurusan
konstruksi pesawat terbang. Selanjutnya, atas prestasinya ini, Habibie
diterima bekerja sebagai asisten peneliti di Institut Konstruksi Ringan
pada almamaternya itu. Sambil bekerja, Habibie melanjutkan belajar
untuk memperoleh gelar doktor, pada jurusan dan almamater yang
sama. Di sela-sela kesibukannya bekerja dan belajar, Habibie pulang ke
Tanah Air setelah tujuh tahun merantau. Dan dalam suatu
kepulangannya itu, ia menikahi Hasri Ainun Besari, seorang dokter
lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (12 Mei 1962).
Setelah mendapat gelar doktor di tahun 1965, Habibie diterima
bekerja di Hambrug Flugzueugbau, sebuah perusahaan pembuat
pesawat terbang yang bernama Messerschmidt-Bölkow Blohm (MBB) di
Hambrug. Menurut memoar Habibie,61 ia tidak boleh pulang oleh Pak
Harto. Habibie harus bekerja untuk mematangkan terlebih dahulu ilmu
konstruksi pesawat terbang, agar lebih tuntas dalam penguasaan
teknologi dirgantara. Prestasi kerja Habibie terus menaik. Pada tahun
1966 ia menjabat Kepala R&D (Riset dan Pengembangan) Analisis
Struktur MBB. Tahun 1969 ia menjabat Kepala Divisi Metode dan
Teknologi Pesawat Komersial dan Pesawat Angkut Militer MBB. Bahkan
sejak tahun 1973, Habibie diangkat menjadi Direktur Pengembangan
dan Penerapan Teknologi MBB. Hal tersebut mengantarkan Habibie
memiliki begitu banyak hak paten—diantaranya yang terkenal ialah apa
yang disebut Habibie Crack, teknik penghitungan matematik untuk
memprediksi dan memperbaiki sambungan sayap dengan tubuh
pesawat.
Habibie memang seorang yang enerjik. Di tahun 1974 ia masih
memegang dua jabatan strategis di dua negara sekaligus. Di Jerman
Barat, Habibie telah menempati posisi Wakil Presiden dan Direktur
Teknologi MBB. Di tahun yang sama, jauh dari Jerman, yakni di
Indonesia, Habibie pun menjabat ia menjabat dua posisi sekaligus. Yakni
sebagai Kepala Divisi Advanced Technology Pertamina dan Penasehat

492
Pengayaan Materi Sejarah

Teknologi Penerbangan yang bertanggung jawab langsung kepada


Presiden Soeharto.

7.6. Revolusi Hijau dan Swasembada Beras


Sebagai suatu kebijakan nasional, sejatinya modernisasi
pertanian bukanlah murni inovasi para teknokrat Orde Baru. Rintisan
semacam modernisasi pertanian dalam skala lokal sebenarnya dapat
ditelusuri hingga awal tahun 1960-an. Yaitu, saat sekelompok
mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institut
Pertanian Bogor) melakukan program Demas (Demonstrasi Massal),
suatu program yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip bertani
modern pada sekelompok petani tradisional, agar hasilnya jauh lebih
maksimal dan dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Demas
menanamkan apa yang disebut Panca Usaha Tani, yakni penggunaan
variates unggul, pupuk kimia, pestisida, perbaikan cara bertanam, dan
penyediaan irigasi yang baik.
Ide Demas ini kemudian diformulasikan menjadi program
pembangunan pertanian yang berskala nasional pada tahun 1964,
dengan nama Bimas (Bimbangan Massal). Bimas merupakan program
penyuluhan pertanian, ditambah dengan pemberian kredit kepada para
petani oleh pemerintah. Pola penyuluhan pertanian dalam Bimas tidak
ditujukan secara perseorangan tetapi dilakukan secara berkelompok
dalam suatu kelompok hamparan sawah. Dibentuk semacam kelompok
tani yang terdiri atas para petani dalam satu hamparan sawah. Dalam
kelompok tani itulah, pemberian informasi, penanaman cara bertani
modern, dan bantuan bersubsidi diberikan. Tahun 1969, Program Bimas
ini kemudian dikembangkan menjadi Inmas (Intensifikasi Massal),
dengan format dan tujuan yang serupa dengan Bimas.
Inmas ini kemudian ditransformasikan menjadi program
modernisasi pertanian berskala nasional, dengan cakupan yang lebih
luas, target terukur, dan pentahapan yang lebih sistematis. Targetnya
ialah meningkatkan produktivitas lahan dan kuantitas hasil pertanian,
khususnya padi. Untuk itu, pemerintah memberikan subsidi untuk
menerapkan teknologi mekanik (misalnya traktor dan huller—penggiling
padi menjadi beras), bantuan urea dan pestisida bersubsidi (penerapan
teknologi kimia), dan bantuan padi bibit unggul bersubsidi (penerapan
bio-teknologi). Inmas menjadi jalur kelembagaan untuk menerapkan

493
Pengayaan Materi Sejarah

tiga tipe teknologi pertanian bersubsidi tersebut. Inmas dapat dikatakan


sebagai wadah kelembagaan dibalik program modernisasi pertanian
tersebut.
Belakangan, aspek kelembagaan modernisasi pertanian ini
mengalami penataan ulang. Tahun 1980 Inmas diubah menjadi Insus
(lntensifikasi Khusus). Ternyata hasil Insus lebih baik dari Bimas,
sebagaimana terlihat dalam Tabel 5. Yakni, meningkatnya total produksi
48,6%, dari 26.282,663 ton menjadi 38.236,4 ton. Tahun 1987, Insus
ditransformasikan kembali menjadi Supra Insus. Dapat dikatakan Supra
Insus adalah penyempurnaan Insus. Supra Insus merupakan program
yang mendorong penggunaan zat perangsang tumbuhan, dan
memfasilitasi kerja sama antar kelompok hamparan.
Tabel 6 memperlihatkan hasil penerapan tiga tipe teknologi
pertanian di atas, dan juga inovasi aspek kelembagaannya. Luas areal
penen meningkat 29,6%, dari 8.508,598 hektar pada Pelita 1 menjadi
11.021,8 hektar pada Pelita V. Pun, produktivitas lahan meningkat
setiap hektarnya, dari 26.100 kg setiap hektar pada Pelita I menjadi
43.750 kg perhektar, atau naik 67,7% dalam 25 tahun. Begitu pula,
total produksi padi nasional juga meningkat 114,5% pada akhir Pelita V
(lihat kembali Tabel 5). Peningkatan produktivitas lahan dan
melonjaknya produksi pangan (khususnya beras) secara nasional di atas
dapat dilihat sebagai hasil sukses penerapan bibit unggul padi.
Penerapan bibit unggul padi sesungguhnya telah menambah
jumlah panen dan memperpendek masa tanam. Panen menjadi tiga kali
setahun, dibandingkan penggunaan bibit lama-konvensional yang
hanya maksimal dua kali dalam setahun. Masa tanam pun menjadi lebih
pendek, hanya empat bulan, berbanding dengan bibit konvensional
yang masa tanamnya enam bulan. Sawah pun dapat panen tiga kali
setahun. Tentu saja hasil padi yang diperoleh tersebut lebih banyak dari
pada yang hanya dua kali panen dalam setahun.
Prinsip pengolahan masa tanam dan pola pemanenan juga
mengarah pada intensifikasi. Pengolahan tanah untuk siap ditanam padi
menjadi lebih cepat karena menggunakan traktor. Waktu dan tenaga
untuk mengolahnya lebih efisien dan intensif. Bila data pada Tabel 6
kita cermati, jumlah pengguna mesin pengolah lahan atau traktor kian
banyak. Dengan demikian, luas lahan yang siap ditanam kembali setelah
panen, menjadi lebih luas. Waktu tanam kian cepat. Produki sawah pun
kian membesar.

494
Pengayaan Materi Sejarah

Proses pemanenan padi bibit unggul juga dapat dilakukan


dalam waktu yang lebih cepat dari pada pola panen padi konvensional.
Tinggi padi bibit unggul lebih pendek. Alat potong harus digunakan
adalah arit—bukan anai-anai, alat potong panen pada konvensional
karena tumbuh jauh lebih tinggi dari pada padi bibit unggul. Maka,
sebagian besar pemotong panen padi bibit unggul adalah laki-laki.
Karena alasan kemampuan tenaga dan fisik yang lebih besar, laki-laki
dapat memotong padi dengan arit lebih cepat dari pada perempuan.
Penggunaan pestisida atau teknologi kimia pemberantasan
jasad-pengganggu yang naik 88,6% dalam empat tahun (1988-1992;
lihat kembali Tabel 6), dapat menjelaskan mengapa produktivitas lahan
menjadi meningkat (lihat kembali Tabel 5). Penggunaan pestisida
menyebabkan serangga, hama, dan tikus menjadi mati, dan mereka
tidak lagi memakan hasil panen. Hasil panen pun tidak terganggu,
bahkan bertambah.
Juga makin meningkatnya penggunaan mesin pengolah gabah
64,8% dalam empat tahun menjadi 408.831 menyebabkan pengolahan
gabah/padi menjadi beras semakin cepat dan terjadi dalam jumlah yang
kian meningkat (lihat Tabel 6). Itu artinya, orientasi padi untuk dijual
juga kian banyak. Jumlah padi yang beredar di pasar nasional juga
semakin naik. Stok beras nasional bertambah. Hal ini akhirnya yang
membuat swasembada beras yang pernah dicapai Indonesia di era Orde
Baru, dan akhirnya memberikan subsidi tidak langsung untuk
industrialisasi nasional.
Tabel 5. Perkembangan Produksi Padi Per Pelita
Luas Areal Produksi Rata- Total Produksi
Panen (Ha) rata Perhektar (Ton)
(100 kg/h)
Pelita 1 8.508.598 26,10 22.464,376
Pelita II 8.803.564 26,29 26.282,663
Pelita III 9.763,6 29,85 38.236,4
Pelita IV 10.521,2 42,47 44.725,6
Pelita V 11.021,8 43,75 48.181,1
Diolah dari Biro Pusat Statistik 1973-1993 (Dikutip dari Sundjojo 1997)

495
Pengayaan Materi Sejarah

Swasembada beras sebagai hasil sukses modernisasi pertanian di


atas memang adalah salah satu prestasi besar Pemerintahan Orde Baru
yang amat membanggakan. Tekanan pada hasilnya secara agregat
nasional itu dilandaskan pula pada karakter pertumbuhan ekonomi yang
merupakan prioritas pertama dari tiga target besar dalam sistem Trilogi
Pembangunan Orde Baru. Lantaran tekanannya pada peningkatan
produksi padi tersebut, maka sekurang-kurangnya revolusi hijau ini
memiliki empat implikasi di tingkat lokal perdesaan.
Pertama, rupanya program ini tidak memperhatikan aspek
stratifikasi masyarakat perdesaan. Hanya petani kaya saja yang mampu
memiliki akses ke program modernisasi pertanian tersebut sehingga
mereka pun dapat meningkatkan hasil pertaniannya. Seiring dengan itu,
terjadi penciutan pendapatan para buruh tani. Tanah yang semula
banyak membutuhkan tenaga, menjadi berkurang setelah adanya
traktor. Terjadilah akumulasi kekayaan di satu pihak. Petani kaya
semakin leluasa mendapatkan akses dan pemupukan sumber ekonomi.
Sementara implikasi sebaliknya terjadi pada buruh tani. Bahkan banyak
buruh tani yang kehilangan pekerjaan.
Kedua, kemudian muncul pengelompokan sosial yang
didasarkan pada perbedaan penguasaan sumber-sumber produksi.
Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang semula menjadi ladang pekerjaan
kaum perempuan menjadi hilang. Menumbuk padi dan memanen
adalah sebagian lahan pekerjaan yang dimaksud. Setelah masuknya
bibit unggul, tinggi padi semakin pendek. Oleh karena itu, teknik
memanen tidak lagi dengan anai-anai tetapi menggunakan arit.
Pergeseran alat panen ini mengimplikasikan bahwa panen
membutuhkan tenaga yang besar, dan itu hanya dapat dilakukan oleh
kaum laki-laki.
Apalagi setelah masuknya huller (mesin pengolah padi mnenjadi
beras). Pola pengelolaan beras tidak lagi bertumpu pada kaum
perempuan, melainkan oleh sebuah mesin yang dimiliki oleh petani
kaya. Tersudutlah wanita miskin. Mereka kehilangan mata
pencahariannya. Sementara surplus ekonomi semakin terpusat di
tangan petani kaya. Tersudutnya kaum wanita miskin ini mengakibatkan
petani gurem dan buruh tani kehilangan salah satu pilar ekonominya.

496
Pengayaan Materi Sejarah

Tabel 6
Perkembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia

Persentase
Jenis Teknologi 1988 1989 1990 1991 1992
Kenaikan
Mesin Pengolah Lahan
1. Traktor Roda Dua 16.804 20.541 23.430 28.894 33.846 17,2
2. Traktor Roda 4.316 4.640 4.524 5.085 4.557 2,05
Empat
Jenis Pemberantasan 982.824 1.056.141 114.496 1.213.568 1.169.106 88,6
Jasad Pengganggu*
Mesin Pengolah Gabah 22.104 250.641 150.684 29.091 408.831 64,8
Keterangan:
*Terdiri atas Hand Spraver, Knapstok Molor Spayer, Power Spaxer, Swing Fog, dan
Emposon Tius
** Terdiri atas perontok padi, pembersih gabah, penyosoh beras, penggiling padi besar,
penggiling padi kecil, rice milling unit, dan englebreg
Diolah dari Biro Pusat Statistik 1973-1993 (Dikutip dari Sundjojo 1997)
Dulu sebelum masuknya berbagai tipe teknologi pertanian
tersebut, pilar ekonomi rumah tangga petani gurem dan buruh tani
adalah penghasilan suami dan istrinya. Setelah teknologi pertanian
merambah desa, keluarga tersebut kehilangan salah satu pilar
ekonominya. Seiring dengan itu, melalui huller terjadi pula pengalihan
surplus ekonomi ke petani kaya.
Ketiga, sedemikian besarnya fenomena penghilangan pekerjaan
tersebut, namun hal tersebut tidak sampai berujung pada pembentukan
polarisasi sosial. Yakni, ada petani yang kekayaannya dan tanahnya
makin luas, dan di pihak lain terdapat buruh tani tanpa tanah yang
hanya mengandalkan penghasilan dari menjual tenaganya. Menurut
Hayami dan Kikuchi, yang terjadi adalah kekayaan yang berjenjang. 62
Ada petani kaya yang memiliki tanah yang luas, petani bertanah agak
luas, bertanah sempit (petani gurem), dan buruh tani.
Terbentuknya kepemilikan tanah berjenjang ini—menurut
Hayami dan Kikuchi—menunjukkan bekerjanya faktor-faktor
kebudayaan desa. Betapapun rasionalnya seorang petani kaya, ia tetap
memperhatikan kultur pertanian yang hidup di pedesaan. Mereka
dituntut mendistribusikan penghasilan dan kekayaannya itu kepada

497
Pengayaan Materi Sejarah

petani gurem dan buruh tani. Perayaan desa, upacara keagamaan, atau
menyerap tenaga kerja yang berlebih (oleh Geertz disebut involusi
pertanian),63 adalah beberapa contoh mekanisme redistribusi tersebut.
Sekilas nampak bahwa mekanisme redistributif tersebut
merugikan petani kaya, karena kuatnya tekanan kultur kolektif
masyarakat pertanian desa. Akan tetapi bila dicermati lebih jauh,
mekanisme redistribusi tersebut sesungguhnya telah menjaga
keharmonisan desa, dan akhirnya membuat petani kaya tetap dapat
memperoleh surplus pertanian tersebut. Bila saja petani kaya tidak
mendistribusikan sebagian surplus ekonominya itu, atau ia
mengabaikan kultur tersebut, kemungkinan besar ia akan didesas-
desuskan oleh masyarakat lapis terbawah sebagai orang pelit. Ujungnya
ialah, ia akan sulit sekali mempekerjakan buruh tani untuk mengolah
sawahnya.64
Kiranya penting pula diulas konsep involusi pertanian dari Geertz
(1963/1983) yang menunjuk pada fenomena terserapnya sejumlah
pekerjaan pada lahan tertentu. Konsep ini dirumuskan di akhir tahun
1950-an, jauh sebelum terjadinya revolusi hijau, sebagai tekanan kultur
lokal untuk menyediakan pekerjaan bagi warga komunitas perdesaan.
Sebenarnya pekerjaan mengolah sawah dapat dikerjakan tiga orang.
Akan tetapi karena tiga orang tetangganya yang lain menganggur,
mereka akhirnya diikutsertakan dalam olah tani tersebut. Disebabkan
jumlah pekerja melebihi kapasitas sebenarnya, maka baik petani pemilik
maupun buruh tani sama-sama mendapat penghasilan yang lebih
sedikit. Petani pemilik harus mengeluarkan upah yang lebih banyak dari
pada yang semestinya. Sementara keenam petani tersebut tidak
mendapat upah sebesar bila dikerjakan hanya oleh tiga orang. Gejala ini
disebut oleh Geertz sebagai shared of poverty (kemiskinan yang
terbagi).
Keempat, revolusi hijau menguatkan sistem ekonomi uang dan
kian mengintegrasikan sistem ekonomi desa ke dalam sistem ekonomi
makro yang melingkupinya. Sebagian besar hasil pertanian
diperjualbelikan. Uang pun banyak yang mengalir ke pedesaan dan
semakin berfungsi sebagai penggerak kehidupan sehari-hari lokal,
menggantikan sistem barter, simbosis mutualisme, atau mekanisme
redistribusi yang lain. Hubungan sosial ekonomi desa dengan kota kian
menguat. Pada akhirnya, kota pun semakin mempesona di mata

498
Pengayaan Materi Sejarah

penduduk miskin desa. Apalagi bila mereka jumpai mata pencaharian


bertani semakin sulit untuk menjadi sandaran kehidupan. Akhirnya,
banyak penduduk perdesaan yang terdorong mencari pekerjaan di kota
dan melakukan proses migrasi dari desa ke kota.65

7.7. Alih Teknologi Dirgantara Nasional dan Industri Pesawat Terbang


Nurtanio
Industri Pesawat Terbang Nurtanio (selanjutnya disingkat IPTN)
yang berkedudukan di Bandung mulai beroperasi pada tahun 1976,
sesaat setelah mendapatkan lisensi untuk memproduksi pesawat
helikopter NBO-105. Helikopter NBO-105 ini merupakan hasil rancang
bangun MBB (Messerschmidt-Bölkow Blohm) di Hambrug, Republik
Federal Jerman), sebuah perusahan pesawat terbang komersial di
Jerman, karena pemrakarsa dan Direktur Utama IPTN pernah bekerja di
perusahaan tersebut. Di MBB, Habibie memulai karirnya dari bawah.
Setelah meraih gelar sarjana strata tiga, Habibie bekerja sebagai asisten
peneliti hingga menjabat wakil presiden dan direktur teknologi MBB
pada tahun 1974-1978. Posisinya sebagai wakil presiden MBB dialihkan
menjadi Penasehat Dewan Direksi MBB karena Habibie diangkat menjadi
Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada tahun 1978.
Peran Habibie sangatlah besar dalam peristiwa
penandatanganan perjanjian lisensi pembuatan helikopter NBO-105.
Pada saat yang bersamaan, Habibie menjabat dua posisi strategis di dua
perusahan pada dua negara. Tentu, posisinya sebagai Direktur Utama
IPTN membantunya meyakinkan Presiden Soeharto bahwa penting sekali
mendapatkan lisensi pembuatan helikopter untuk alih teknologi yang
berjangka panjang—suatu kepercayaan baru alih teknologi selama
kurun kemerdekaan. Sementara posisinya sebagal wakil presiden dan
direktur teknologi MBB juga turut mempengaruhi proses pengambilan
keputusan bahwa sangat penting memberikan lisensi kepada pihak
IPTN. Hal tersebut akan menguntungkan MBB dalam jangka panjang
karena Indonesia adalah pasar terbesar dalam hal pesawat-pesawat
ringan. Bisa juga dikatakan bahwa MBB mempercayai IPTN karena
direktur utamanya adalah salah satu pemimpin utama mereka sendiri.
Kiranya hal itu tidak berlebihan bila diingat bahwa sewaktu IPTN berdiri,
karyawannya hanya berjumlah 500 orang (dan hanya memiliki
17 insinyur yang ahli di bidang penerbangan), sebuah jumlah yang kecil

499
Pengayaan Materi Sejarah

bagi sebuah perusahaan pesawat terbang. Pemberian lisensi itu adalah


sebuah keberanian.
Dengan lisensi dari MBB di atas mulailah IPTN beroperasi. IPTN
pun mulai melakukan tahap pertama dari empat tahap yang
direncanakan untuk alih teknologi dirgantara. Tahap pertama adalah
penguasaan teknologi tinggi atas dasar lisensi. IPTN menyebut tahap
alih teknologi ini sebagai progressive manufacturing plan. Pada mulanya
pesawat-pesawat terbang tersebut didatangkan secara built-up. Pada
tahap berikutnya, pesawat terbang tersebut tidak didatangkan secara
built—up, tetapi dirakit di Bandung. Dengan demikian, jumlah jam kerja
IPTN semakin meningkat. Dan ketika IPTN telah mampu membuat
komponen-komponen pesawat terbang, jumlah jam kerja IPTN
meningkat dua kali lipat.66
Pada tahap pertama ini, IPTN sukses besar. IPTN dapat
memproduksi berbagai jenis pesawat terbang. Diantaranya adalah NC-
212-100 ―Aviocer‖, helikopter Nbell-412, dan NAS-332 Super Puma.
Tahap penguasaan teknologi melalui sistem lisensi ini dimulai dari
tahun 1976-1980 (lihat Tabel 7). Pun, di tahun yang sama, Perusahaan
Casa Spanyol mcmberikan lisensi untuk membuat berbagai komponen
pesawat terbang. Semula, komponen tersebut diproduksi hanya untuk
kebutuhan dalam negeri. Namun memasuki tahun 1990-an, IPTN telah
mampu mengekspor komponen-komponen yang dibutuhkan Casa.

Tabel 7. Empat Tahap Alih Teknologi Dirgantara IPTN


No. Tahun Tahap Hasil Produksi
1 1976-1980 Penguasaan teknologi Dapat memproduksi
melalui lisensi berbagai jenis
pesawat
2 1980-1990 Integrasi teknologi Berhasil memproduksi
canggih dalam disain dan CN-234. 40% hasil
pembuatan produk- kerja Casa Spanyol
produk baru dan 60% hasil karya
IPTN

500
Pengayaan Materi Sejarah

3 1990-1995 Penyempurnaan teknologi Memproduksi secara


yang telah ada, dan 100% CN-250
pengembangan teknologi (mengudara pada
baru dalam rangka tanggal 10 Agustus
merancang dan membuat 1995)
produk-produk masa
depan
Direncanakan
membuat pesawat jet
ukuran sedang N-
2130 yang akan
mengudara pada
tahun 2013
4 Tahap Penelilian dasar secara
keempat besar-besaran
akan
dilakukan
pada awal
abad ke-21
Diolah dari Habibie 1995
Pada 1980, IPTN memasuki tahap kedua alih teknologi
dirgantaranya. Pada 21 Februari 1980, didirikan sebuah perusahaan
patungan bernama AIRTEC (Aircraft Technology Industries) yang
bertujuan membuat rancangan pesawat CN-235. Perusahaan patungan
itu juga melakukan pengembangan lebih lanjut sehingga pesawat
tersebut memperoleh sertifikat internasional agar dapat dipasarkan
secara nasional dan internasional. AIRTEC berkedudukan di Madrid
Spanyol. Sahamnya dipegang masing-masing 50%.
Sampai permulaan tahap kedua ini, perusahaan multinasional
yang tertarik bekerja sama dengan IPTN hanya perusahaan-perusahaan
Eropa. Mereka melakukan berbagai kerja sama dengan IPTN karena
melihat potensi Indonesia sebagai pasar terbesar pesawat-pesawat
ringan. Pesawat-pesawat menengah seperti F-27 dan F- 28 yang
pernah menjadi kebanggaan Fokker (Belanda), pasar terbesarnya adalah
Indonesia. Begitu pula pasar terbesar pesawat menengah Twin Otter,
adalah juga Indonesia. Dengan demikian, motif utama kesediaan kerja
sama berbagai perusahaan asing itu adalah motif ekonomi. Belakangan,

501
Pengayaan Materi Sejarah

ketika AS dan Perancis bersaing untuk menjual pesawat tempurnya di


awal tahun 1990-an, tersimpul pula kepentingan strategis-politis, yang
mendampingi kepentingan ekonomi.
Melihat IPTN tumbuh pesat dengan bekerja sama dengan
perusahaan-perusahaan dari Eropa, barulah General Electric (sebuah
perusahaan pembuat mesin-mesin pesawat terkemuka Amerika Serikat)
bersedia menjalin kerja sama dengan IPTN. Tampaknya General Electric
pelit melakukan alih teknologi. Bentuk kerja samanya itu hanya berupa
pemakaian jasa perusahaan terkemuka tersebut untuk merawat mesin-
mesin pesawat dan mesin-mesin industri yang dikelola bersama dengan
IPTN. Walaupun tidak semendalam kerja sama dengan perusahaan-
perusahaan Eropa, terjadi juga alih teknologi. Sehingga pada tahun
1983, IPTN berhasil mendirikan Divisi Universal Maintenance Center.
Pada tahun 1982, kerja sama serupa dilakukan dengan Boeing.
KaIi ini IPTN menggunakan jasa Boeing untuk meningkatkan
kemampuan manajemen IPTN agar efisien dan mampu berproduksi
secara maksimal. Pada tahun itu pula IPTN berhasil bekerja sama
dengan Bell Helicopter Textron Inc. untuk memproduksi helikopter Nbel
11-412 atas dasar lisensi.
Berbagai perusahaan asing Eropa dan AS terus-menerus bekerja
sama untuk membuat pesawat dan helikopter dengan lisensi karena
mereka tahu bahwa Indonesia merupakan pasar terbesar berbagai jenis
pesawat yang dilisensikan tersebut. Apalagi mereka tahu bahwa
Pemerintah Orde Baru berniat secara sungguh-sungguh
mengembangkan industri dirgantara nasional. Ha1 itu terlihat ketika
pemerintah mengeluarkan kebijakan proteksi untuk memberi
kesempatan agar produksi IPTN laku atau terbeli di pasaran domestik.
Karena itulah, berbagai pemakai pesawat terbang ringan nasional
akhirnya membeli produk-produk IPTN.
Selain menjalin kerja sama dalam bentuk lisensi, perusahaan dari
berbagai negara itu mengeruk keuntungan sebagai pemasok komponen
pesawat yang dibutuhkan oleh IPTN (lihat Tabel 8). Tabel 9
menunjukkan bahwa Amerika Serikat mengincar pasar Indonesia dalam
hal komponen-komponen pesawat terbang tersebut. Utamanya mereka
mengincar IPTN dalam hal produksi pesawat dengan lisensi, karena
dipastikan bahwa produksi IPTN akan laku di pasaran domestik.

502
Pengayaan Materi Sejarah

Tabel 8
Negara-negara Pemasok Suku Cadang Pesawat Terbang untuk IPTB
Nama Pemasok 1983 1984 1985
Amerika Serikat (1) US$ 178 ribu 1) US$ 119,4 2) US$ 235ribu
ribu
Spanyol 3) US$ 138 ribu 4) US$ 39,6 ribu 4) US$ 93 ribu
Jerman Barat 3. US$ 97,8 ribu 2) US$ 84,6 3) US$ 187 ribu
ribu
Inggris 4. US$ 80,6 ribu 4) US$ 66,4 1) US$ 627 ribu
ribu
Diolah dari Chaniago 1990: 67-68

Tabel 9
Kerja Sama IPTN dengan Perusahaan Multinasional
1976 1977 1980 1982
MBB Lisensi Aerospatille Lisensi Gener Partner Boeing (AS) Peningkatan
(Jerman pembua (Perancis) dua jenis al kerja untuk manajemen
Barat) tan helikopter Electri merawat IPTN
helikopt Puma c (AS) mesin-
er NBO- NAS-330 mesin
105 dan pesawat
Superpu IPTN.
ma NAS- Kemudian,
332 menjadi
Devisi
Perawatan
pada tahun
1983
Casa Lisensi Casa Mendirika Bill Pembuatan
(Spanyol) pembua (Spanyol n Helicopter Helikoper
tan perusaha Textron Inc Nbell-412
pesawa an (AS)
t patungan
komute Aircraft
r NC- Techology
212 Industries
yang
memprod
uksi CN-
235
MBB Pembuatan
helikoper
NBK-117

503
Pengayaan Materi Sejarah

Selain melalui lisensi, perusahaan multinasional itu juga meraih


keuntungan besar dari sewa jasa tenaga terampil proses belajar-
mengajar dalam rangka alih teknologi dirgantara. Keuntungan itu
diperoleh melalui latihan intensif (seperti training, magang, konsultasi,
pendidikan, dan latihan berkala); maupun kegiatan non-intensif
(seminar dan kunjungan ke lokasi pabrik) yang diselenggarakan oleh
IPTN. Alih teknologi dirgantara nasional tersebut memang
membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, dan tingkat
kesulitan yang tinggi. IPTN harus membuat kontrak tenaga asing baik
sebagai individu maupun berbentuk kontrak dengan perusahaan asing
multinasional.

Tabel 10
Perkembangan Tenaga Teknik/Konsultan Asing di IPTN 1981-1988

Jumlah Tenaga Kerja Asing


Negara 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 Total
Asal
Amerika - - 9 42 9 50 15 6 121
Serikat
Jerman 5 13 1 32 9 3 - - 54
Barat
Spanyol 17 7 - 2 9 3 - - 38
Perancis 2 1 - - 5 5 5 - 18
Belanda - - - 5 - - - - 5
Inggris - - - - - 3 2 3 7
Jepang - - - - 1 - - - 1
Total 24 21 10 62 33 61 22 9 242
Cat: terdapat pula kontrak kerja teknik dan konsultan secara pribadi, bukan
atas nama perusahaan multinasional. Jumlahnya adalah 9 orang dalam periode
di atas.
Diolah dari Chaniago 1990.

504
Pengayaan Materi Sejarah

Tabel 10 dan 11 menunjukkan betapa banyaknya tenaga asing


dan lamanya kontrak mereka di IPTN. Data tersebut juga menyiratkan
bahwa IPTN dipandang sebagai pasar sewa tenaga terdidik. Tidak saja
dari segi jumlah, tetapi juga dari lamanya kontrak kerja tersebut.
Amerika Serikat mendominasi pasar tenaga ahli asing tersebut melebihi
Jerman Barat dan Spanyol, dua negara yang telah terlebih dahulu
menjalin kontrak kerja dengan IPTN. Bagi IPTN sendiri, banyaknya sewa
tenaga kerja asing dan lama kontraknya itu tentu harus mengeluarkan
biaya besar. Oleh karena itu, yang ditekankan bukan sekedar tenaga
kerja asing itu bekerja dengan baik di IPTN. Lebih dari itu, diharapkan
tenaga kerja IPTN sendiri dapat belajar berbagai segi dari tenaga asing
itu, baik dalam hal kecakapan teknik, etos kerja, dan alih teknologi
dirgantara yang lainnya.
Di awal tahun 1990-an, alih teknologi dirgantara nasional
memasuki babak baru. Pemerintah Orde Baru berniat membeli pesawat
tempur canggih F-16 milik Amerika Serikat. Rupanya Amerika Serikat
memasukkan pertimbangan strategis-politis dalam penjualan pesawat
terbang tersebut—tidak semata-mata keuntungan finansial semata.
Begitu pentingnya makna politisnya itu, penjualan F-16 tersebut harus
dengan persetujuan Kongres. Kongres pun menyetujui menjual 12
pesawat tempur F-16 dengan pertimbangan:
1. Indonesia merupakan negara moderat yang anti komunis dan
lebih condong ke Barat;

2. Bersamaan dengan penjualan ke Indonesia, AS juga menjual F-


16 ke bebarapa negara Asia Tenggara. Penjualan secara
bersamaan itu dimaksudkan agar tercapai kesamaan standara
pesawat tempur sehingga terjadi keseimbangan kawasan; dan

3. Sebagai bujukan terselubung agar Indonesia mendukung secara


tidak langsung hadirnya pangkalan AS di Filipina.

505
Pengayaan Materi Sejarah

Tabel 11
Jumlah Tenaga Teknik/Konsultan Asing dan Masa Kontrak Kerja
di IPTN 1981-1988
No. Negara Asal Jumlah Personel Masa Kontrak (dalam
bulan)
1. Amerika 121 2.492
Serikat
2. Jerman Barat 54 1.344
3. Spanyol 38 690
4. Perancis 18 411
5. Belanda 5 59
6. Inggris 5 3
7. Jepang 1 *
*Tidak ada informasi lama kontrak
Diolah dari Chaniago 1990
Sewaktu Pemerintah Indonesia mengungkapkan niatnya bahwa
ingin membeli pesawat tempur, berbagai negara bersaing menawarkan
produk pesawat tempurnya. General Dynamic. perusahaan pembuat F-
16 harus bersaing keras dengan Mirage 2000 buatan Avios Marcel-
Dassault-Brequet Avialion (AMD-BA) Perancis. Baik AMD dan General
Dynamic berusaha menawarkan segala yang terbaik kepada Indonesia.
Perancis menawarkan offset 25%, imbal beli perdagangan (counter
trade) sebesar 80%, di samping menawarkan untuk membantu
Indonesia merancang dan mengembangkan pesawat tempurnya sendiri.
Sedangkan AS tidak memberikan penawaran dua yang terakhir. AS
hanya menawarkan offset sebesar 35%.
Hal yang tidak dilakukan oleh Pemerintah Perancis, bahwa AS
memanfaatkan kesamaan sistem militer dan kedekatan ikatan profesi
dengan Indonesia untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
sehingga Pemerintah Orde Baru akhirnya membeli F-16.67 Untuk
pembelian F-16 tersebut, Habibie memiliki alasan spesifik.
Menurutnya,68 faktor yang mempengaruhi pembelian F-16 adalah daya
tarik offsetnya yang 35%. Dengan begitu kedua belas F-16 yang

506
Pengayaan Materi Sejarah

berharga 350—400 juta dollar, 35%-nya itu dapat kembali untuk


lapangan pekerjaan di IPTN. Dan bersamaan dengan itu, akan terjadi
alih teknologi, dan keterampilan engineer di IPTN dapat berkembang.
IPTN membuat komponen utama pesawat tempur F-I 6 untuk 400
pesawat tempur angkatan udara AS. Komponen utama itu meliputi
pembuatan tujuh komponen ringan berupa pembuatan kepak sayap
(wing flaperon), lapisan ekor (skin), sirip vertikal, pintu mesin depan,
pilar bahan bakar, pilar senjata, dan pintu roda pesawat.

7.8. Globalisasi Ekonomi dan Perusahaan Multinasional


Selain deteritorialisasi, globalisasi juga bisa berbentuk dalam
bidang ekonomi—dan hal tersebut disebut sebagai globalisasi ekonomi.
Secara harfiah, globalisasi ekonomi dapat dipahami sebagai aktivitas-
aktivitas ekonomi, baik produksi, konsumsi, maupun distribusi, yang
mengglobal, lintas negara, atau melampaui negara—trans-nasional.
Lintas negara itu berarti aktivitas ekonomi bergerak dan direstui oleh
negara tersebut—karena lawan kata dari ekonomi transnasional adalah
ekonomi nasional. Dalam aktivitas lintas negara, ada aturan negara yang
dituju dan negara asal yang tercakup. Misalnya, ada aturan cukai bila
import, atau aturan perusahaan bila membuka cabang di negara tujuan.
Singkat kata, globalisasi ekonomi adalah beroperasinya aktivitas dan
hubungan-hubungan ekonomi pada skala trans-nasional.69
Lebih lanjut, Tonkiss juga mencirikan enam aspek globalisasi
ekonomi, yakni (1) perdagangan, (2) investasi kapital, (3) pasar
keuangan, (4) organisasi produksi, (5) organisasi jasa, dan (6)
internasional division of labour (pembagian kerja internasional).70
Bekerjanya keenam aspek tersebut, sejatinya dapat dilihat juga sebagai
bergesernya peran negara yang secara konvensional harus menjaga
ekonomi nasionalnya. Di sini, negara itu terikat bahkan dipaksa oleh
perjanjian semacam pasar bebas (supranegara) yang kadangkala lebih
berkuasa (powerfull) dari pada negara yang bersangkutan. Akhirnya,
aktivitas ekonomi tersebut bergerak hilir mudik tanpa mengikuti
prosedur dan aturan internal di tingkat negara secara konvensional.
Komoditi maupun orang bermobilitas lantaran antar negara dalam satu
kawasan terikat perjanjian sebagai kawasan ekonomi.

507
Pengayaan Materi Sejarah

Setelah kita bahas keenam penyangga globalisasi ekonomi,


tibalah kita diskusikan penggerak globalisasi ekonomi. Lagi-lagi bila
merujuk Tonkiss,71 ia menyebutkan dua penggerak utama globalisasi
ekonomi yakni (1) perusahaan transnasional atau perusahaan
multinasional (TNC-MNC) dan (2) adanya invensi dan inovasi teknologi.
Ia juga menyebutkan tiga jenis teknologi yang mengubah dunia
sehingga berwatak globalisasi, yakni (a) teknologi telekomunikasi seluler
dan informasi (internet), (b) teknologi transportasi, dan (c) teknologi
produksi
Perusahaan multinasional atau kadang kala disebut secara
bergantian dengan perusahaan trans-nasional, adalah perusahaan yang
melakukan kcgiatan utamanya di berbagai negara. Lingkup kegiatan
perusahaan ini adalah membeli, menghasilkan, dan atau menjual
barang-barang dan jasa komersial lintas negara. Mengenai jumlah
negara yang harus dicapai agar memenuhi kualifikasi sebagai
perusahaan multinasional, tidak ada batasan yang pasti. Namun yang
jelas, perusahaan hanya dapat dikategorikan sebagai perusahaan
multinasional manakala perusahaan tersebut menjalankan usahanya
tidak saja di dalam negeri, melainkan juga melewati batas-batas negara.
Oleh karena itu, sebagian ilmuwan misalnya Kuin—lebih menyukai
istilah transnasional dari pada multinasional, karena wataknya yang
lintas (trans) nation atau negara.72 Sebagian besar perusahaan
transnasional ini dimiliki perorangan, tetapi ada juga yang dimiliki oleh
pemerintah.
Perusahaan multinasional tidaklah sejenis. Tetapi beraneka
ragam baik dalam hal ukuran maupun sifat usaha mereka. Perdagangan
merupakan kegiatan transnasional yang tertua. Setelah revolusi
industri—terlebih lagi sesudah revolusi transportasi—kegiatan
transnasional merambah dalam bidang pertanian dan perkebunan. Pada
tahap ini kegiatan transnasional sangat bersifat kolonial. Dengan kata
lain, orientasi kolonial tadi telah mengubah kegiatan perusahaan
transnasional dalam bidang perdagangan menjadi perusahaan
transnasional dalam bidang pertanian dan perkebunan komersial. Di
Indonesia, perusahaan transnasional dengan pengertian terakhir ini,
mulai masuk pada tahun 1870, ketika Pemerintah Kolonial Belanda
mulai menjalankan kebijakan liberalisasi ekonomi. Maka berbondong-
bondonglah pengusaha swasta Belanda dan Eropa lainnya

508
Pengayaan Materi Sejarah

menanamkan modalnya, membuka perkebunan-perkebunan besar,


terutama di Jawa dan Sumatera.
Jenis perusahaan transnasional yang ketiga adalah perusahaan
transnasional yang bergerak dalam bidang pengangkutan antar negara,
dan karena itu mereka mendirikan cabangnya di berbagai negara.
Munculnya perusahaan ketiga ini dimungkinkan dan dipercepat oleh
penerapan mesin uap pada kapal laut. Perjalanan kapal laut menjadi
lebih cepat. Laut Atlantik—yang merupakan pelayaran teramai yang
menghubungkan Eropa dan Amerika—menjadi jalur operasi mereka.
Ketika revolusi transportasi (ditemukannya kereta api, mobil dan
pesawat terbang), muncul pula perusahaan transnasional dalam bidang
transportasi tersebut. Selain itu, bisnis perbankan dan asuransi,
percetakan dan penerbitan, dan tidak kalah pentingnya pariwisata
merupakan lahan yang digarap oleh perusahaan multinasional.
Perusahaan multinasional ini termasuk kelompok pelayanan jasa.
Namun dari segi operasinya, perusahaan multinasional memiliki
kesamaan. Mereka merupakan satu organisasi yang tersebar di sejumlah
negara. Perusahaan multinasional dapat mengerahkan manusia, modal,
dan informasi menurut jalur organisasinya tersebut. Pun, mereka
memiliki kebebasan memindahkan sumber-sumber daya yang mereka
miliki. Karena itu, mereka tidak tergantung pada kebijakan nasional
suatu negara, bahkan dapat melepaskan diri dari pengaruh negara,
tempat mereka beroperasi.
Menurut Kuin tidak banyak perusahaan yang sejak awalnya
langsung beroperasi pada tingkat internasional.73 Sebagian besar
perusahaan yang kini mendapat julukan perusahaan transnasional atau
perusahaan multinasional itu pada mulanya adalah perusahaan yang
hanya beroperasi di tingkat nasional. Mereka terus berkembang dan
memperbesar diri sehingga –dalam waktu yang relatif lama—mampu
mengembangkan diri ke negara-negara lainnya.
Di Indonesia, globalisasi ekonomi dalam pengertian di atas,
dapat dilacak pada dua tahap yakni liberalisasi ekonomi pada masa
kolonial Belanda 1870 dan liberalisasi ekonomi Orde Baru tahun 1969.
Sejak tahun 1870-an itu, perusahaan multinasional mulai berperan
sentral, menggeser peran dominan pemerintah kolonial. Perusahaan
multinasional itu membuka berbagai perkebunan: teh, kopi, gula, dan
karet. Pemerintah kolonial sendiri berfungsi sebagai penyedia sarana

509
Pengayaan Materi Sejarah

jalan dan jaringan rel kereta uap;74 pembangunan pelabuhan;


pencarian, penelitian, pengembangan, dan penyediaan bibit unggul
untuk budidaya komersial; pengembangan ilmu botani yang
berpusatkan di Kebun Raya Buitenzorg sebagai basis pengembangan
perkebunan komersial;75 dan meyediakan sekolah-sekolah kolonial untuk
bumiputera. Mengenai peran sekolah, hal tersebut misalnya
diungkapkan oleh Bung Karno, sebagaimana ia tuturkan sendiri kepada
Cindy Adam.76
―Kurikulum kami disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
dalam pemerintahan jajahan. Ilmu yang kupelajari merupakan
ilmu untuk kepentingan kaum kapitalis; misalnya, pengetahuan
tentang sistem pengairan. Ini bukanlah tentang bagaimana cara
terbaik mengairi sawah. Yang diberikan hanyalah tentang sistem
pengairan untuk tanaman tebu dan tembakau. Ini adalah irigasi
untuk kepentingan imperialisme dan kapitalisme, jadi irigasi
bukan untuk memberi makan rakyat yang kelaparan, melainkan
untuk membikin gendut pemilik kebun.
Pelajaran kami dalam pembuatan jalan tidak mungkin akan
menguntungkan rakyat. Jalan-jalan tidak dibangun menembus
hutan atau antarpulau sehingga rakyat dapat bepergian lebih
mudah. Kami hanya diajar merencanakan jalan-jalan tambahan
sepanjang pantai dari pelabuhan ke pelabuhan sehingga pabrik-
pabrik dapat mengangkut barang-barang secara maksimal dan
komunikasi yang cukup antara kapal-kapal yang berlayar.
Ambillah matematika. Tak ada universitas di manapun yang
memberi pelajaran sebuah rantai ukuran. Di sini pelajaran itu
diberikan. Ini menyangkut sebuah pita yang panjangnya 20
meter yang hanya dipakai oleh para pengawas para buruh di
perkebunan-perkebunan. Di ruangan bagan, kalau kami
membuat rencana kota, kami harus bisa menunjukkan lokasi
―Kabupaten‖, yaitu tempat tinggal Bupati yang mengawasi
rakyat desa yang melakukan kerja paksa.
Pada minggu wisuda aku mendiskusikan hal ini dengan Rector...
dari Sekolah Tinggi Teknik ini, Professor Ir. G. Klopper M.E.
―Mengapa kami dijejali dengan pengetahuan-pengetahauan
yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi kolonial
terhadap kami?‖ tanyaku.

510
Pengayaan Materi Sejarah

―Sekolah Teknik Tinggi ini,‖ demikian ia menerangkan,


―didirikan ... utamanya untuk memajukan politik Den Hag di
Hindia. Agar ... mempercepat ekspansi dan eksploitasi,
pemerintah kami merasa perlu ... mendidik lebih banyak
insinyur dan pengawas yang berpengalaman.‖
―Dengan kata lain, alasan kaum pribumi diijinkan memasuki
perguruan tinggi ini pertama-tama untuk memungkinkan
Belanda mengekalkan politik imperialisme di sini?‖ tanyaku.
―Ya, itu benar,‖ dia menjawab.‖

Sedangkan liberalisasi ekonomi Orde Baru 1967 sejatinya


berfungsi sebagai penyedia lanskap beroperasinya perusahaan
multinasional di Indonesia. Kebijakan tersebut membuka ruang sosial
ekonomi sehingga perusahaan multinasional dapat mendampingi
perusahaan negara sebagai soko guru ekonomi nasional, bahkan
mampu membatasi ruang gerak Koperasi—meski dalam Konstitusi
lembaga ini dimitoskan sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Bahkan
dari sudut penguasaan teknologi industri, perusahaan multinasional
berperan sentral dalam sistem ekonomi nasional Indonesia bahkan
hingga kini.
Untuk menyiasati berbagai hambatan dan sebagai strategi
menguasai pasar negara sasaran, perusahaan multinasional melakukan
apa yang disebut sebagai desentralisasi produksi. Yakni, perusahaan-
perusahaan transnasional tersebut mendirikan pabrik di negara-negara
yang merupakan pangsa pasarnya, dengan didasarkan kalkulasi
perhitungan biaya pengangkutan dan produksi yang lebih murah.
Dengan menempatkan pabriknya sedekat mungkin ke pasar, maka biaya
produksi, penyimpanan, dan pengangkutan menjadi lebih murah. Selain
itu, desentralisasi produksi dapat berkonsentrasi penuh untuk berinovasi
dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negara tersebut. Di
mata perusahaan multinasional, desentralisasi produksi dianggap lebih
efisien dan efektif.
Bagi negara yang menjadi lokasi desentralisasi produksi,
sebagian mereka menyambutnya gembira, karena alasan: (1)
mendorong kemajuan industri dalam negerinya, (2) menciptakan
pekerjaan baru, dan (3) menaikkan tingkat kehidupan umum. Namun

511
Pengayaan Materi Sejarah

karena perusahaan multinasional hanya tunduk kepada kantor pusat di


negara induknya, dan dapat melepaskan diri dari kebijakan negara yang
menjadi pangsa pasarnya itu, hal tersebut memunculkan dilema.
Padahal, setiap negara pengundang perusahaan transnasional ingin
agar perusahaan multinasonal tunduk pada kebijakan-kebijakannya. Bila
dirasa merugikan, dengan mudah perusahaan transnasional dapat
memindahkan pabrik-pabriknya itu ke negara yang lebih
menguntungkan. Akibatnya, para pekerja lokal yang bekerja di berbagai
perusahaan transnasional terancam kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia, keberadaan perusahaan multinasional Jepang
amatlah vital, khususnya di sektor industri kendaraan bermotor dan
elektronik. Secara garis besar, kekuatan perusahaan multinasional
Jepang di Indonesia dapat dibagi dua.77 Pertama, dalam dataran proses
produksi, perusahaan-perusahaan Jepang memiliki manajemen
perburuhan yang harmonis, eratnya kerja sama dengan pemerintah,
tenaga kerja yang setia, dan keberhasilannya ―meniru‖ teknologi Barat.
Kedua, perusahaan-perusahaan Jepang selalu
mengembangkan produk-produknya menjadi serba kecil
(miniaturization) yang hemat ruang dan hemat bahan bakar.
Terminologi Jepang untuk melukiskan inovasi teknologi tersebut adalah
frase ―keihatu-tan-sho‖, harfiah berarti ―ringan, tipis, pendek, dan
kecil‖. Mereka berusaha membuat produknya sekecil mungkin. Ringan
menurut beratnya, tipis menurut ketebalannya, pendek menurut
panjang maupun periode pemakaiannya, dan kecil menurut ukuran dan
harganya. Semua produknya itu dirancang hemat energi, hemat bahan
mentah, hemat waktu, dan hemat ruang.
Didorong oleh etos ―keihatu-tan-sho‖ini, mereka
mengalokasikan anggaran riset secara besar-besaran. Hal tersebut juga
ditunjang oleh karakter pasar domestiknya yang cenderung homogen,
sehingga riset dapat dilakukan secara serentak. Akhirnya perusahaan-
perusahaan Jepang dapat membuat miniatur pesawat TV, kalkulator,
mobil dan truk kecil. Kecenderungan miniaturisasi ini juga ditopang oleh
sifat orang Jepang yang cermat dan ulet. Dengan demikian, karena
dorongan pasar domestiknya yang homogen, hal tersebut telah
mendorong perusahaan Jepang mendominasi pasar mikro-elektronik.78
Dari segi orientasi produksi tersebut, Jepang mampu memelopori abad
mikro-elektronika.

512
Pengayaan Materi Sejarah

Hingga saat ini, banyak perusahaan multinasional Jepang yang


melakukan desentralisasi produksi, khususnya kepada negara-negara
berkembang yang industrialisasinya masih dalam tahap awal—seperti
Indonesia. Dengan investasi ke newly industrializing countries (negara-
negara industri baru) tersebut, perusahaan-perusahaan Jepang dapat
menarik berbagai keuntungan. Pertama, biaya produksi di negara-
negara tersebut jauh lebih murah. Terutama karena murahnya biaya
pengangkutan bahan mentah dan upah buruh. Kedua, negara-negara
tersebut punya hasrat untuk maju. Karena itu, produktivitas tenaga lokal
NIC tergolong cukup tinggi. Ketiga—dan ini yang terpenting—dengan
membangun pabriknya di sana, berarti perusahaan tersebut lambat laun
dapat mengusai pasar domestik negara tersebut yang sedang tumbuh.
Itulah yang dilakukan perusahaan Jepang pada dekade 1970-an,
terutama investasi untuk industri elektronik dan listrik.
PT. Nasional Gobel adalah contoh yang tepat tentang proses
desentralisasi produksi perusahaan multinasional Jepang di atas. PT.
National Gobel adalah sebuah perusahaan joint ventura (patungan)
dengan Matshushita Electric dari Jepang di tahun 1970, sekaligus
pelopor industri elektronik nasional. Perusahaan ini memproduksi radio,
televisi, lemari es, baterai dan lain-lain dengan merk Nasional, dan
kemudian berubah menjadi merk Panasonic. Sebenarnya, sebelum
Gobel mendirikan perusahaan patungan dengan Matshushita tersebut,
ia telah merintis industri elektorik di akhir tahun 1950-an. Produksinya
yang terkenal ialah sejenis radio transistor yang terkenal dengan sebutan
Radio Cawang (lihat foto) dan televisi yang dipasarkan ketika TVRI
berdiri dan Asian Games yang diselenggarakan pada tahun 1962.79
Di tahun 1960-an, Radio Cawang adalah radio yang paling
populer. Radio ini adalah rakitan inovatif perusahaan Gobel yang waktu
itu menjadi perusahaan radio transistor pertama di Indonesia. Merk
radio itu adalah Cawang dengan komponen dari Austria. Perusahaannya
sendiri masih berskala kecil, bernama PT. Transistor Radio Mfg. Co.80
Gobel, untuk meringkas nama lengkap Thayeb Mohammad
Gobel, lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara pada tahun 1920-an. Layaknya
anak muda segenerasinya, etos patriotisme sangat mempengaruhi
perkembangan jiwa Gobel. Pada usia belia ia merantau ke Jakarta.
Berjenis pekerjaan di berbagai perusahaan ia jalani. Namun
ketidakpuasan menyebabkan Gobel membangun perusahaannya sendiri.

513
Pengayaan Materi Sejarah

Pada awal tahun 1950-an, ia membuka usaha kecil, yakni membuat


semir sepatu. Usaha itu bangkrut. Tak putus asa, ia kemudian
mendirikan PT. Transistor Radio yang memproduksi Radio Cawang dan
menjadi kenangan kolektif banyak pihak hingga saat ini. Perusahaan
transistornya itu cukup berkembang. Gobel selalu menjaga hubungan
baik dengan para pejabat. Untuk radio transistor merk Cawangnya itu,
ia tak segan-segan memberikannya sebagai hadiah kepada para pejabat
di akhir tahun 1950-an.
Ketika dibangun stasiun televisi, berkat kedekatannya dengan
pejabat, Gobel mendapatkan order untuk membuat televisi. Uniknya,
produk pertamanya itu justeru ia hadiahkan untuk Fatmawati, istri
Presiden Soekarno. Hal itu dapat dilihat sebagai dorongan patriotisme
sekaligus investasi bisnis kepada para pejabat. Tatkala usahanya nyaris
bangkrut di penghujung tahun 1960-an, ia mencoba menjalin kerja
sama bisnis dengan Matshushita Electric, sebuah perusahaan elektronik
terkemuka Jepang yang berkantor pusat di Osaka Jepang. Gobel adalah
tipikal pengusaha ulet dan pandai melihat peluang. Di akhir tahun
1960-an itu, ia melihat peluang investasi perusahaan multinasional di
Indoensia akibat liberalisasi ekonomi melalui Undang-undang
Penanaman Modal Asing No. 1/1967. Penanaman modal asing itu harus
berbentuk perusahaan patungan (joint ventura) antara perusahaan
multinasional dan pengusaha nasional.
Berbagai tahapan persiapan pun dilakukan oleh kedua belah
pihak untuk mendirikan perusahaan patungan di atas. 27 Juli 1970,
perusahaan patungan itu ditandatangani dengan bernama Nasional
Gobel. Tahun 1971, kipas angin Nasional dipasarkan, disusul pesawat
TV hitam putih, dan baterai bermerk Nasional.81 Alih teknologi
elektronika pun yang terjadi semakin intens, disebabkan adanya transfer
teknologi dari Matshushita. Banyak karyawan Nasional Gobel yang
dikirim ke Jepang untuk belajar teknologi elektronika. Secara berjenjang,
hasil belajar itu kemudian disebarkan kepada karyawan yang lain. Sering
pula, sepulang dari kunjungan ke luar negeri, Gobel acapkali membawa
teknologi elektronika paling mutakhir. Misalnya ia membawa jenis
televisi terbaru.
Karyawannya ia perintahkan untuk membongkar televisi
tersebut, lalu mempelajari seluk beluk televisi itu agar dapat membuat
hal yang sama dengan biaya yang lebih murah. Nasional Gobel pun

514
Pengayaan Materi Sejarah

berkembang pesat. Jumlah karyawannya lebih dari 10.000 orang.


Setelah Gobel meninggal dunia, kepemimpinan perusahaan itu
dipegang oleh anaknya, Rachmat Gobel, yang pada tahun 2014
diangkat menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Presiden Jokowi.

7.9. Penutup
Rintisan penguasaan teknologi modern yang penuh liku dalam
sejarah masyarakat Indonesia mutakhir memang sudah sepantasnya
dilandasi etos patriotistik. Seperti terekspresikan dalam berbagai
ungkapan lisan maupun tulisan Habibie, penguasaan teknologi itu
didorong oleh hasrat ingin sepenuh-penuhnya dihargai sebagai manusia
yang setara, sederajat dengan bangsa-bangsa yang lain, sekaligus
antitesis stigma kolonial sebagai ―seperempat manusia‖. Begitulah yang
terjadi ketika empat gelombang anak muda Indonesia dilepas oleh
Menteri Pengajaran Muh. Yamin untuk belajar teknologi tinggi ke Eropa
di awal tahun 1950-an. Itu pula hasrat utama tatkala Koesnoto
Setyodiwiryo (sedikit biolog Indonesia lulusan Universitas Wageningen
Belanda) dan kawan-kawannya mendirikan Akademi Biologi di Ciawi
pada awal 1950-an, dan berujung kian berperan strategisnya biolog
Indonesia dalam mengelola Kabun Raya Bogor.82
Pun, etos yang sama telah menggerakkan Harsono dan kawan-
kawannya di Balai Percobaan Buah-buahan Pasar Minggu Jakarta,
sehingga Balai itu berperan mempercepat kawasan selatan Jakarta
sebagai penghasil buah-buahan utama hingga awal tahun 1970-an.83
Juga hasrat yang sama menjadi pendorong Sediyatmo menemukan
teknologi Cakar Ayam. Ia tidak ingin menanggung malu bila Asian
Games gagal, karena tidak adanya pasokan listrik ke Senayan bila gardu
listrik di Ancol gagal dibangun.
Dalam fungsinya sebagai pendorong fenomena deteritorialisasi,
penerapan teknologi di Indonesia telah menjadi fondasi utama
globalisasi. Teknologi telekomunikasi seluler yang kemudian berpadu
dengan teknologi internet, jaringan jalan tol yang kian terhubung dan
makin panjang, dan fenomena menguatnya industri pesawat terbang
komersial, telah menjadi faktor pendorong meluasnya fenomena
deteritorialisasi di banyak warga Indonesia. Begitu pula, globalisasi
sebagai meluasnya aktivitas ekonomi lintas-negara, juga telah
melahirkan adopsi teknologi di sebagian anak bangsa—sebagaimana

515
Pengayaan Materi Sejarah

diperlihatkan oleh biografi Thayeb Muhammad Gobel dengan Radio-


Cawangnya84 dan munculnya industri rumah tangga logam di Tegal.85
Akan halnya dengan industri pembuatan pesawat terbang,
industri rakitan kendaraan bermotor, rintisan industri televisi, dan
industri rumah tangga logam adalah sedikit contoh proses alih
teknologi di tengah globalisasi ekonomi yang layak kita cermati. Kini,
fungsi kepeloporan negara dalam penguasaan teknologi memang telah
usai karena dihantam ―badai IMF‖ di tahun 1998. Bagaimana pun
penilaian kita terhadap kepeloporan negara dalam soal penguasaan
teknologi tinggi di era Orde Baru—benar salah, baik buruk—ia sudah
menjadi kenyataan sejarah.
Sungguh pun begitu, tanggung jawab negara dalam
penguasaan teknologi tinggi tetap dinantikan dan mesti direalisasikan,
saat ini maupun di masa mendatang. Negara bisa bertindak sebagai
perlaku, atau juga dapat berperan sebagai fasilitator. Di atasnya,
masyarakat sipil dapat berkiprah secara maksimal. Semoga.

Asep Suryana

516
Pengayaan Materi Sejarah

Catatan Akhir :

1
Lihat tulisan Mas Marco Kartidokromo dalam Doenia Bergerak vol. 1 no. 2 (1915):
5-6, dikutip dari Rudolf Mràzek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi
dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, terjemahan Hermojo, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006 [2002], hal. 21.
2
Untuk memperlihakan perlawanan Mas Marco Kartodikromo terhadap stigma
seperempat manusia, lihat Takashi Shirashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat
di Jawa 1912-1926, penerjemah Hilmad Farid, Jakarta: Pustaka Utama, 1997 [1990],
hlm. 107-122, utamanya hlm. 115-116. Mengenai gambaran secara keseluruhan
semangat perlawanan tokoh pergerakan nasional terhadap stigma kolonial
seperempat manusia di atas, lihat Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011,
hlm. 237-246.
3
Lihat Mata Najwa 5 Februari 2014, diakses dari www. youtube.com dengan kata
kunci Mata Najwa-Habibie Hari ini, diakses 1 Mei 2015. Lihat juga Lihat Bacharudin
Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun, Jakarta: THC Mandiri, 2010, hlm. 162.
4
Lihat Bacharudin Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun, hlm. 162-172. Lihat juga
Fachmy Casofa, Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah, Jakarta: Tiga Serangkai, 2014,
hlm. 3-10. Habibie selalu menekankan spirit nasionalistik dan pemanusiaan orang
Indonesia dalam ceramah-ceramahnya dalam soal penguasaan teknologi
dirgantara, khususnya kepada kalangan muda. Untuk contoh apresiasi pandangan
kaum muda yang berbeda generasi dengan Habibie dan tercerahkan oleh ceramah
Habibie, lihat Fazrah Lillah Rizki Heryanda, “Pesan Eyang Habibie untuk Sang Cucu”,
m.kompasiana.com/post/read/502168/1/pesan-eyang-habibie-untuk-sang-
cucu.html, diakses 1 Mei 2015.
5
Andi Makmur Makka (Editor), Jejak Pemikiran B.J. Habibie: Peradaban Teknologi
untuk Kemandirian Bangsa, Bandung: Mizan, 2010, hlm. 208.
6
Andi Makmur Makka (Editor), Ibid., hlm. 289-295. Lihat juga B.J. Habibie, Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa: Menuju Dimensi Baru
Pembangunan Indonesia, Jakarta: Cidesindo, 1995.
7
Julious Pour, dkk, Presiden-presiden Republik Indonesia 1945-2014, Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebuayaan Republik Inonesia, 2014, hlm. 126.
8
Lihat kesaksian Fazrah ketika ia mendengarkan ceramah Habibie di Dies Natalis
ITS ke-52, Fazrah Lillah Rizki Heryanda, “Pesan Eyang Habibie untuk Sang Cucu”,

517
Pengayaan Materi Sejarah

m.kompasiana.com/post/read/502168/1/pesan-eyang-habibie-untuk-sang-
cucu.html, diakses 1 Mei 2015.
9
Untuk analisis tentang pembentukan konsep diri Habibie tersebut, lihat Julious
Pour, dkk. Op. Cit, hlm. 126-137.
10
Lihat Majalah Tempo, 18-24 Agustus 2014.
11
Rudolf Mràzek, Op. Cit.
12
Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: dari Hindia Belanda sampai
Orde Baru, terjemahan Agung Sedayu dan Tasha Agrippina, Depok: Komunitas
Bambu, 2014 [2011], hlm. 55-93. Lihat juga Andrew Goss, “Decent Colonialism?
Pure Science and Colonial Ideology in the Netherlands East Indies, 1910-1929”,
Journal of Southeast Asia Studies 40.1 (February 2009): 187-214.
13
Secara garis besar terdapat dua definisi konseptual globalisasi, yang keduanya
pun sama-sama digerakan oleh teknologi. Pertama, globalisasi dalam wujud paling
mutakhir, sebagai fenomena deteritorialisasi dan menjadi pijakan konseptual
artikel ini. Kedua, ialah globalisasi sebagai fenomena interkoneksi atau
keterhubungan sosial ekonomi dan budaya. Tentu saja keterhubungan tersebut
bertumpu pada teknologi, bahkan teknologi berperan sentral. Keterhubungan darat
misalnya, jelas membutuhkan jalur jalan dan kereta roda. Begitu pula
keterhubungan lewat jalur laut—yang banyak menjadi fokus studi “globalisasi”
dalam kajian ilmu sejarah—membutuhkan sistem perkapalan dan sistem navigasi
pelayaran, dari sistem teknologi kapal layar, navigasi bintang, ditemukannya
kompas, kapal uap, hingga kapal yang lebih modern. Kiranya studi studi Denys
Lombard dapat menjadi ilustrasi globalisasi sebagai keterhubungan sosial ekonomi
dan budaya lewat pelayaran beserta implikasi internasional dan lokalnya. Lombard
memperlihakan adanya empat pola interkoneksi yang saling bersilangan dan
berwatak kosmopolit di ulau Jawa. Keempatnya ialah keterhubungan dengan Barat,
Islam, Cina, dan India. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian I:
Batas-Batas Pembaratan, alih bahasa Winarsih Partaningrat Arifin dkk, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000 [1990). Lihat juga Karya Lombard Jilid kedua dan
ketiga yang ada di Daftar Pustaka.
14
Lihat Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, hlm. 1654.
15
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1985, hlm. 507.
16
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno, Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm.
637.

518
Pengayaan Materi Sejarah

17
Webster’s New World Encyclopedia, New York: Prantice-Hall, 1992.
18
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 507-508.
19
Untuk memahami bentuk-bentuk teknologi individual di masyarakat awal
kepulauan Nusantara beserta kondisi sosial ekonomi yang melingkupinya baik
periode berburu dan meramu maupun masa perundagian awal, lihat Sartono
Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1975. Lihat juga Peter Bellwood, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia,
edisi revisi, alih bahasa T.W. Kamil, Jakarta Gramedia Pustaka, [1985] 2000; dan Ina
E. Slamet-Velsink, Emerging Hierarchies: Processes of Stratification and Early State
Formation in the Indonesian Archipelago (Preshistory and the Ethnografic Persent),
Leiden: KITLV Press, 1995.
20
Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R. Hill, Teknologi dalam Sejarah Islam,
penerjemah Yuliani Liputo, Bandung: Penerbit Mizan, 1993.
21
B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa, hlm. 42.
22
B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa.
23
Filino Harahap, “Teknologi Tepat Bagi Pembangunan”, Prisma No. 5 Agustus
1972, hlm. 58.
24
Lihat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Multinational Corporation dan Proses
Industrialisasi Kita”, Prisma No. 5 Agustus 1972, hlm. 45-57. Lihat juga K. Gunadi,
“Industri, Modal Asing, dan Kesempatan Kerdja, Prisma No. 5 Agustus 1972, hlm.
36-44.
25
Sarbini Sumawinata, “Perspektif Pembangunan Djangka Pandjang: Beberapa
Gagasan Strategis Sampai Tahun 2000”, Prisma No. 5 Agustus 1972, hlm. 3-21.
26
Ibid, hlm. 13-14.
27
Lihat argumen sama yang dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo, “Teknologi
Tepat Guna bagi Industri Pedesaan”, dalam Prisma No. 6 Juni, Jakarta: LP3ES, 1979,
hlm. 35-49; dan Muhammadi Siswosoedarmo, ”Strategi Pembangunan Daerah
Pedesaan dan Kebutuhan Pengembangan Teknologi Tepat Guna”, dalam Prisma
No. 6 Juni, Jakarta: LP3ES, 1979, hlm. 26-34.
28
Muhammadi Siswosoedarmo, ”Strategi Pembangunan Daerah Pedesaan dan
Kebutuhan Pengembangan Teknologi Tepat Guna”, dalam Prisma No. 6 Juni,
Jakarta: LP3ES, 1979, hlm. 26-34.
29
Ibid.

519
Pengayaan Materi Sejarah

30
Menarik dicermati periodesasi atau pembabakan perkembangan teknologi
prasejarah Indonesia dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid I yang diketuai
Sartono Kartodirdjo. Buku yang terbit tahun 1975 tersebut dan buku pertama yang
mendeskripsikan secara detil zaman prasejarah nasional dari sudut Indonesiano-
sentris, diperiodesasikan sebagai (1) Masa Berburu dan Mengumpul Makanan
Tingkat Sederhana, (2) Masa Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Lanjut, (3)
Masa Bercocok Tanam, dan (4) Masa Perundagian. Meski pada masa bercocok
tanam, masyarakat prasejarah Indonesia telah menetap, namun semua alat dan
perkakas yang digunakan saat itu masih terbuat dari batu. Baru pada masa
Perundagian, alat-alata tersebut terbuat dari perunggu dan besi. Untuk informasi
tentang kondisi teknologi prasejarah Indonesia itu lihat Sartono Kartodirdjo,
Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, hlm. 77-259.
31
Peter Bellwood, Op. Cit., hlm. 298-311; dan Ina E. Slamet-Velsink, Op. Cit., hlm.
50-56. Lihat juga Sugeng Prakoso, Model Asal Mula Produksi Pangan di Indonesia,
Depok: Skripsi Sarjana Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia, 1998.

32
Lihat Djoko Marihandono, “Mendekonstruksi Mitos Jalan Cadas Pangeran 1808:
Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan”, Makalah 70 Tahun Prof. Dr. RZ. Leirissa,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 29-30 April 2008. Lihat juga Djoko
Marihandono, Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Deandels
1808-1810: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte, Disertasi Departemen
Sejarah Fakuktas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 2005.

33
Penting ditekankan pengertian revolusi yang dilekatkan pada penggunaan
teknologi baru ini. Pelekatan terminologi revolusi ini pertama kalinya dikemukakan
oleh Blanqui (1837) dan Friedrich Engels (1845) untuk melukiskan perubahan-
perubahan sosial yang radikal akibat ditemukannya teknik-teknik industri baru di
Inggris pada akhir abad ke-18. Perubahan-perubahan itu terjadi secara cepat,
mendasar, dan dalam skala yang luas, sebagai implikasi sosial ekonomi penggunaan
teknik-teknik dan alat-alat baru dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Barat
pada waktu itu. Lihat Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, alihbahasa Samekto, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm.
33.
34
Sebelum revolusi industri, ilmu pengetahuan merupakan kesenangan pribadi
orang kaya yang memiliki banyak waktu luang. Kegunaan praktisnya nyaris tidak
disentuh, malah kemungkinan besar sama sekali diabaikan. Konon ketika seorang
murid Ariestoteles menanyakan manfaat praktis matematika. Filosof legendaris
tersebut tersinggung dan marah besar. Ia mengusir muridnya itu. Lihat B. Paul

520
Pengayaan Materi Sejarah

Horton dan L. Chester Hunt, Sosiologi Jilid 1, Jakarta: Erlangga, 1987, hlm. 354-
356.
35
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan: Kumpulan Karangan, Jakarta:
LP3ES, 1987, hlm 3.
36
Erlinda Muslim, Rahmat Nurcahyo, Aziz Priyanto, Nanda Prasetya,
Niftahuljannah, “Analisis Industri Telekomunikasi di Indonesia”, Jurnal Manajemen
Teknologi Volume 9 Nomor 1 2010, hlm. 37.
37
Dikutip dari Ibid, hlm. 37.
38
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Profil Pengguna Internet
Indonesia 2012, Jakarta: MarkPlus, 2013, hlm. viii.
39
Ibid, hlm. ix.
40
Marwah Daud Ibrahim, “Planning and Development of Indonesia’s Domestic
Communications Satellite System Palapa”. Online Journal of Space Communication
Issue 8: Regional Development: Indonesia. Fall, 2004, hlm. 22.
41
Ibid, hal. 22-23.
42
Ibid, hlm. 24.
43
Satrio Arismunandar, “Bisnis Telekomunikasi di Indonesia: Prospek dan
Tantangan”, 2001, www.academia.edu, diakses, 1 Mei 2015.
44
Kompas. “Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita: Pengembangan Teknologi
Tinggi Paralel dengan ‘Broad-Based Tech”, 7 Juni 1993, hlm. 1.

45
Lihat David Hughes, The Indonesian Cargo Sailing Vessels and the Problem of
Technology Choise for Sea Transport in a Developing Country: A Study of
Consequences of Perahu Motorization Policy in the Context of the Economic
Regulation of Inter Island Shiping, PhD Thesis Departemen of Maritime Studies,
University of Wales, 1984.
46
Dikutip dari Henry Sitorus, Teknologi Tangkap Ikan dan Perubahan Struktur Sosial
Ekonomi Nelayan di Kecamatan Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera
Utara, Depok: Tesis Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia, 1997.
47
Dhian Theresia Kenanga, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usaha Perikanan
Tangkap dengan Kapal Motor (Studi Kasus di Kota Bitung Sulawesi Utara 2012).
Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, 2013.

521
Pengayaan Materi Sejarah

48
Ali Hadara, “Dinamika Pelayaran Tradisiosnal Orang Buton Kepuluan Tukang
Besi”, Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta, 14-17 November 2006.
49
Bagong Suyanto, “Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan
Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan Harga BBM”,
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik Vol. 24. No. 1 Januari-Maret 2011, hlm.
74-83. Lihat juga Awaluddin Hamzah, “Transformasi Moda Produksi Masyarakat
Pesisir: Studi Kasus Nelayan Bajo di Desa Latawe Kabupaten Muna”, Jurnal Agriplus
Vol. 22 No. 1 2013, hlm. 65-71.
50
Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 1654.
51
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta:
LP3ES, 1989.
52
Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980, Jakarta: LP3ES, 1991.
53
Untuk informasi industri logam di Tegal, lihat Tulus Tambunan, “Do Multinational
Companies Transfer Technology to Local Small and Medium-Sized Enterprises? The
Case of the Tegal Metalworking Industry Cluster in Indonesia”, dalam Eric Rugraff
dan Micheal W. Hansen (Eds.), Multinational Corporation and Local Firm in
Emerging Economies, Amsterdam: Amsterdam University Press. 2011, hlm. 75-100.
54
Koentjaraningrat, “Masyarakat Desa di Selatan Jakarta”, Masyarakat Indonesia:
Seri Monografi No. 1, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1975.
55
Koentjaraningrat, 1975. Lihat juga Koentjaraningrat, "Ciracas dan Cilangkap, Dua
Desa di Pasar Rebo, Selatan Jakarta", dalam Koentjaraningrat (editor), Masyarakat
Desa di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1984, hlm. 377-456; dan Asep Suryana, Pasar Minggu Tempo Doeloe:
Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah 1921-1966, Jakarta: LIPI Press, 2012, hlm.
129-162.
56
Nanu Sundjojo, Perubahan Aktivitas Gotong-Royong pada Masyarakat Desa:
Kasus Desa Pasir Panjang Tasikmalaya Jawa Barat, Depok: Skripsi Program Studi
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, 1997.
57
M. Dawam. Rahardjo, “Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia”, Prisma
No. 5 tahun XXII, Jakarta: LP3ES, hlm. 13-18.
58
Lihat Bacharudin Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun, hlm. 78-89.
59
G. Dwipayana dan Ramadhan KH., Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
60
Lihat Majalah Tempo, 18-24 Agustus 2014.

522
Pengayaan Materi Sejarah

61
Habibie dan Ainun, hlm. 37-44.
62
Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi, Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan
Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, terjemahan Zahara Dalier
Noer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987 [1981].
63
Clifford Geertz, “Agricultural Involution”, dalam Hans-Dieter Evers (Editors),
Sociology of South-East Asia: Readings on Social Change and Development, Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1980, hlm. 200-208. Untuk lengkapnya lihat juga
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta:
Bharata Karya Aksara, 1983 [1963].
64
James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan
Sehari-hari Kaum Tani, terjemahan A. Rahman Zaenudin, Sayogyo, dan Mien
Joebhar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000 [1985].
65
Rohman Achwan, “Revolusi Hijau”, dalam Jurnal Masyarakat No. 2 1990, hlm. 10-
20.
66
B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa, 1995, hlm.
291.
67
Andrinof A Chaniago, ”Pengalihan Teknologi, Peranan Amerika Serikat dan Kasus
IPTN”. Prisma No. 8 Tahun XIX, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm 59-71.
68
Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa, hlm. 302.
69
Fran Tonkiss, Contemporary Economic Sociology: Globalisation, Production,
Inequality, London: Routledge, 2006, hlm. 4-9.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Pieter Kuin (Penyunting), Perusahaan Trans Nasional, penerjemah S. Maimun,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1987
73
Ibid, hlm. 8.
74
Rudolf Mràzek, Op. Cit., hlm. 3-60
75
Lihat Andrew Goss, Op. Cit., 2014 [2011], hlm. 55-93. Lihat juga Andrew Goss,
“Decent Colonialism?..”, Loc. Cit., 187-214.
76
Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan
Syamsul Hadi, Yogyakarta: Media Presindo dan Yayasan Bung Karno, 2014 [1965],
hlm. 80.

523
Pengayaan Materi Sejarah

77
Lihat Terutomo Ozawa, “Perusahaan Transnasional Jepang: Jangan Panik”, dalam
Pieter Kuin (Penyunting), Perusahaan Trans Nasional, penerjemah S. Maimun,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1987, hlm. 56-58.
78
Lawrence G. Franko, “Rahasia Pangkalan yang Kuat”, dalam Pieter Kuin
(Penyunting), Ibid, hlm. 58-65.
79
Seluruh informasi yang berkaitan dengan riwayat hidup Gobel diambil dari
Ramadhan KH., Gobel: Pelopor Industri Elektronika Indonesia dengan Falsafah
Usaha Pohon Pisang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm, 98, 117-121.
80
Ramadhan KH, Gobel..., hlm. 95-99.
81
Ibid, hlm. 213-231.
82
Andres Goss, Belenggu, Op. Cit., hlm. 243-286.
83
Asep Suryana, Op. Cit., hlm. 129-162.
84
Lihat Ramadhan KH., Gobel, Op. Cit., hlm, 98, 117-121. Bandingkan dengan
perjalanan bisnis Liem Sioe Liong dalam Eddy Soetriyono, Kisah Sukses Liem Sioe
Liong, Jakarta: Indomedia, 1989, khususnya hlm. 1-43.
85
Tulus Tambunan, Op. Cit., hlm. 75-100

524
Pengayaan Materi Sejarah

Daftar Pustaka

Abdulgani, Roeslan, 1980. The Bandung Connection. The Asia-Africa


Conference in Bandung in 1955. Singapore : Gunung Agung
Abdulgani, Roeslan. The Bandung Connection: Konferensi Asia-Afrika di
BandungTahun 1955. Jakarta: Gunung Agung, MCMLXXX.
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian (Editor Umum). Indonesia dalam Arus
Sejarah, Jilid 7 Pasca Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baroe atas
kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2012.
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian (editor). 2012. Indonesia dalam Arus
Sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve dan Kementerian
pendidikan dan Kebudayaan RI.
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian. Indonesia dalam Arus Sejarah.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2012
Abdullah, Taufik. 2009. Indonesia: Toward Democracy. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Abdullah, Taufik. 2015. Di Sekitar Pengajaran Sejarah Yang Reflektif dan
Inspiratif. Makalah disampaikan dalam Worskop Penulisan
Sejarah. Direktorat Sejarah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan 26 Maret 2015.
Achwan, Rohman. 1990. “Revolusi Hijau”. Dalam Jurnal Masyarakat No.
2: hlm. 10-20.
Adam, Cindy. 2014 [1965]. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia. Terjemahan Syamsul Hadi. Yogyakarta: Media
Presindo dan Yayasan Bung Karno.

525
Pengayaan Materi Sejarah

Al-Hassan, Ahmad Y. dan Donald R. Hill. 1993. Teknologi dalam Sejarah


Islam. Penerjemah Yuliani Liputo. Bandung: Penerbit Mizan.
Anak Agung Gde Agung, Ide. 1983. Renville. Jakarta: Sinar Harapan.
Anak Agung Gde Agung, Ide.1985. Dari Negara Indonesia Timur
Hingga Negara Indonesia Serikat. Yogyakarta: Penerbit
Universitas Gajah Mada.
Arismunandar, Satrio. 2001. Bisnis Telekomunikasi di Indonesia: Prospek
dan Tantangan. www.academia.edu. Diakses 1 Mei 2015.
Arto, Soegih, Sanul Daca; Jakarta: Merdeka Sarana Usaha, 1989.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2013. Profil Pengguna
Internet Indonesia 2012. Jakarta: MarkPlus.
Bappenas. 2009. “Dokumen Rencana Pembangunan Lima Tahun.”
bappenas.go.id. 29 Januari. http://www.bappenas.go.id/data-
dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-
pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-lima-tahun-
repelita/.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: Yayasan LKiS, 2003
Basri, Jusmar. “Operasi Penumpasan DI/TII di Jawa Tengah”, dalam
Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat Sejarah dan tradisi
TNI, 2003, hlm. 137 – 150.
Bellwood, Peter. 2000 [1985]. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Edisi
Revisi. Alih Bahasa T.W. Kamil. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Buzan, Barry. 1998, dalam Asia-Pacific In The New Worl Order. London:
Routledge
Casofa, Fachmy. 2014. Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah, Jakarta:
Tiga Serangkai.
Chaniago, Andrinof A. 1990. ”Pengalihan Teknologi, Peranan Amerika
Serikat dan Kasus IPTN”. Majalah Prisma No. 8 Tahun XIX.
Jakarta: LP3ES: 59-71.
Crockatt, Richard (2001) “The End of the Cold War,” in Baylis, John &
Smith, Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd
edition, Oxford University Press, hal.96

526
Pengayaan Materi Sejarah

David Rees, 1968 . The Age of Containment, The Cold War (London,
1968
Denny J.A. 2006. Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.
Departemen Penerangan, Susunan Kabinet Republik Indonesia 1945-
1970, Jakarta: Pradnja Paramita, 1971.
Departemen Pertahanan Keamanan, Doktrin Kekaryaan ABRI, Jakarta:
Departemen Pertahanan Keamanan, 1975.
Departemen Pertanian. 1994. Presiden Soeharto dan Pembangunan
Pertanian. Jakarta: PT Citra Media Persada.
Diah, B. M. ,Meluruskan Sejarah, Jakarta: PT. Merdeka Press, 1987.
Dijk, C. Van. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. (Terj, Pustaka Utama
Grafiti). Jakarta: Pustaka Utama Grafitipers, 1987.
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI,
2007.ASEAN Selayang Pandang.Jakarta : Departemen Luar
Negeri RI
Djalal, Hasjim. “Deklarasi Djuanda dalam Perspektif Sejarah”. dalam
Kasijanto Sastrodinomo (ed.) 50 Tahun Deklarasi Djuanda:
Sejarah Kewilayahan Indonesia. (Kumpulan Makalah), Jakarta:
Direktorat Geografi, Direktorat Sejarah dan Purbakala
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.
Djamhari, A, Saleh, et,al. , Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986.
Djamhari, A. Saleh, Memoar Jenderal (Pur) Soemitro, Jakarta: PT Sinar
Cakra Sakti, 1998.
Dwipayana G. Ramadhan K. H, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan
Saya, Otobiografi, Jakarta, PT Citra Lamtoro Gung Persada,
1989.
Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan,
dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.

527
Pengayaan Materi Sejarah

Emerson, Donal K. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,


Masyarakat, Transisi (Terj. Donal K Emerson). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2001.
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Ithaca, Cornell University Press. 1962.
Feith, Herbert. The Indonesian Election of 1955. Ithaca, New York:
Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Cornell
University, 1957.
Franko, Lawrence G. 1987. “Rahasia Pangkalan yang Kuat”. Dalam
Pieter Kuin (Penyunting). Perusahaan Trans Nasional. Penerjemah
S. Maimun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia.
Friedman, Thomas L. 2005. The World Is Flat-Sejarah Ringkas Abad 21.
Jakarta: Dian Rakyat
Geertz, Clifford. 1980 [1963]. “Agricultural Involution”. Dalam Hans-
Dieter Evers (Editors). Sociology of South-East Asia: Readings on
Social Change and Development. Kuala Lumpur: Oxford
University Press. Hal. 200-208.
Geertz, Clifford. 1983 [1963]. Involusi Pertanian: Proses Perubahan
Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Gie, Soe Hok. “Operasi Penumpasan RMS di Maluku” , dalam Himpunan
Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2003,
hlm. 108 – 122.
Gonggong, Anhar dan Musya Asyarie (ed). Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.
2005
Gonggong, Anhar. Abdul Kahar Mudzakar: Dari Patriot hingga
Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992.
Goss, Andrew. 2009. “Decent Colonialism? Pure Science and Colonial
Ideology in the Netherlands East Indies, 1910-1929”. Journal of
Southeast Asia Studies 40.1 (February 2009): 187-214.
Goss, Andrew. 2014 [2011]. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: dari
Hindia Belanda sampai Orde Baru. Terjemahan Agung Sedayu
dan Tasha Agrippina. Depok: Komunitas Bambu.

528
Pengayaan Materi Sejarah

Gunadi, K. 1972. “Industri, Modal Asing, dan Kesempatan Kerdja.


Dalam Prisma No. 5 Agustus. Jakarta: LP3ES. Hlm. 36-44.
Habibie, B.J. 1995. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan
Bangsa: Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta:
Cidesindo.
Habibie, B.J. Detik-detik Yang Menentukan: Jalan Panjang
IndonesiaMenuju Demokrasi. Jakarta: The Habibie Center
Mandiri. 2006.
Habibie, Bacharudin Jusuf. 2010. Habibie dan Ainun. Jakarta: THC
Mandiri.
Hadara, Ali. 2006. “Dinamika Pelayaran Tradisiosnal Orang Buton
Kepuluan Tukang Besi”. Makalah Konferensi Nasional Sejarah
VIII, Jakarta. 14-17 November.
Ham, Ong Hok. “Operasi Penumpasan Pemberontakan PRRI di
Sumatra”, dalam Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat
Sejarah dan Tradisi TNI, 2003, hlm. 178 – 193.
Hamzah, Awaluddin. 2013. “Transformasi Moda Produksi Masyarakat
Pesisir: Studi Kasus Nelayan Bajo di Desa Latawe Kabupaten
Muna”. Jurnal Agriplus Vol. 22 Nomor 1: 65-71.
Harahap, Filino. 1972. “Teknologi Tepat Bagi Pembangunan”. Dalam
Prisma No. 5 Agustus. Jakarta: LP3ES. Hlm. 58-62.
Harahap, Zainabun. “Operasi Penumpasan DI/TII Kahar Muzakar. dalam
Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Pusat Sejarah dan tradisi TNI,
2003, hlm. 164 – 177.
Hardi, Api Nasionalisme, Cuplikan Pengalaman, Jakarta: Gunung Agung,
1983.
Harvey, Barbara Sillars. Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. (Terj.
Inkultra). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Hatta Mohamad. 1978. Memoir. Jakarta: Tintamas.
Hatta, Mohamad-Anak Agung. 1987. Surat Menyurat Hatta dan Anak
Agung: Menjunjung Tinggi Keagungan demokrasi dan
Mengutuk Kelaliman Diktator. Jakarta: Sinar Harapan.

529
Pengayaan Materi Sejarah

Hatta, Mohammad Hatta, 1951. Mendayung Antara Dua Karang,


Kementerian Penerangan Republik Indonesia 1951
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987 [1981]. Dilema Ekonomi Desa:
Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan
di Asia. Terjemahan Zahara Dalier Noer. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Heryanda, Fazrah Lillah Rizki. 2015. “Pesan Eyang Habibie untuk Sang
Cucu”. m.kompasiana.com/post/read/502168/1/pesan-eyang-
habibie-untuk-sang-cucu.html. Diakses 1 Mei 2015.
Horton, B. Paul dan L. Chester Hunt. 1987. Sosiologi Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
https://history.state.gov/milesstones/1989-1992/fall-of-communism
(diunduh pada 16 Mei 2015)
Hughes, David. 1984. The Indonesian Cargo Sailing Vessels and the
Problem of Technology Choise for Sea Transport in a Developing
Country: A Study of Consequences of Perahu Motorization Policy
in the Context of the Economic Regulation of Inter Island
Shiping. PhD Thesis, Departemen of Maritime Studies, University
of Wales.
Hughes, John, The End of Soekarno, Singapore: Archipelago Press,
2002.
Ibrahim, Marwah Daud. 2004. “Planning and Development of
Indonesia‟s Domestic Communications Satellite System Palapa”.
Online Journal of Space Communication Issue 8: Regional
Development: Indonesia. Fall
Idris, Kemal, Bertarung dalam Revolusi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996.
Jamison, Andrew. 2006. “Technology”. Dalam Bryan S. Turner (General
Editor). The Cambridge Dictionary of Sociology. New York:
Cambridge University Press. Hlm. 624-625.
Kahin, George Mc. Turnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik
Naasionalisme dan Revolusi Di Indonesia. Sebelas maret
University Press dan Pustaka Sinar Harapan.

530
Pengayaan Materi Sejarah

Kahin, George McTurnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. (Terj.


Nin Bakdi Sumanto). Jakarta: Sebelas Maret University Press
bekerja sama dengan Pustaka Sunar Harapan, 1995.
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Kanumoyoso, Bondan. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Kartodirdjo, Sartono dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kasenda, Peter. 2013. Soeharto:Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan
Kekuasaan Selama 32 Tahun. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Kemdikbud. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kemdikbud. 2014. Presiden Republik Indonesia 1945-2014. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi Djawa Timur,
(1954).
KH., Ramadhan. 1994. Gobel: Pelopor Industri Elektronika Indonesia
dengan Falsafah Usaha Pohon Pisang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan: Kumpulan
Karangan. Jakarta: LP3ES.
Koentjaraningrat. 1975. “Masyarakat Desa di Selatan Jakarta”.
Masyarakat Indonesia: Seri Monografi No. 1. Jakarta: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Koentjaraningrat. 1984. "Ciracas dan Cilangkap, Dua Desa di Pasar
Rebo, Selatan Jakarta". Dalam Koentjaraningrat (Editor).
Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 377-456.
Komisi Pemilihan Umum. 2010. Pemilu untuk Pemula. Jakarta: Komisi
Pemilihan Umum. http://kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf.

531
Pengayaan Materi Sejarah

Kompas, Harian Pagi. 1966. “Presiden Memerintahkan Letdjen Soeharto


bertindak menjelamatkan Revolusi.” KompasData on Instragram.
14 Maret. https://instagram.com/p/0Fuay1IUiu/.
Kompas. “Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita: Pengembangan
Teknologi Tinggi Paralel dengan „Broad-Based Tech”. 7 Juni
1993: 1.
Kuin, Pieter (Penyunting). 1987. Perusahaan Trans Nasional. Penerjemah
S. Maimun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1972, “Multinational Corporation dan
Proses Industrialisasi Kita”. Dalam Prisma No. 5 Agustus. Jakarta:
LP3ES. Hlm. 45-57.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan
pelaksanaannya dewasa ini:kumpulan karangan dan pidato
Mochtar Kusumaatmadja. (ed. Edy Damian). Bandung : Alumni
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsepsi Hukum Negara Nusantara: pada
Konferensi Hukum Laut III. Bandung: PT Alumni, 2003.
Laeyendecker L. 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi. Alihbahasa Samekto. Jakarta:
Gramedia.
Lafaber, Walter . 1976. American, Rusia, and The Cold War 1945-1975,
3 ed, New York, 1976,
Lampiran Keputusan Presiden Nomor 11. 1974. “Rencana
Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II).”
Lampiran Keputusan Presiden RI No. 319. 1968. “Rentjana
Pembangunan Lima Tahun 1969/70 - 1973/74.”
Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 13. 1989. “Rencana
Pembangunan Lima Tahun Kelima (Repelita V) 1989/90 -
1993/94.”
Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 17. 1994. “Rencana
Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) 1994/95 -
1998/99.”

532
Pengayaan Materi Sejarah

Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 21. 1984. “Rencana


Pembangunan Lima Tahun Keempat (Repelita IV) 1984/85 -
1988/89.”
Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 7. 1979. “Rencana
Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Repelita III) 1979/80 -
1983/84.”
Lapian, A.B. & P.J. Drooglever (penyunting).1992. Menelusuri
Linggarjati. Jakarta: Grafiti.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Leirissa, R.Z. “Operasi Penumpasan Pemberontakan Permesta di
Sulawesi”, dalam Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat
sejarah dan Tradisi TNI, 2003, hlm. 194 – 207.
Leirissa, R.Z. 2006. Kekuatan Ketiga: Dalam Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah.
Leirissa, R.Z. Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Jakarta:
Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indoensia, 1975.
Lombard, Denys. 2000 [1990]. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian III:
Indianisasi. Alih bahasa Winarsih Partaningrat Arifin dkk. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys. 2000 [1990]. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian I:
Batas-Batas Pembaratan. Alih bahasa Winarsih Partaningrat
Arifin dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys. 2000 [1990]. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian II:
Jaringan Asia. Alih bahasa Winarsih Partaningrat Arifin dkk.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Low, L.1996. Regional Integration and the Asia –Pacific : The ASEAN
Free Trade Area. Oxford University Press
Luhulima, James. 1998. Asia Tenggara dan Negara Luar Yang
Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan. Jakarta :
PT Grasindo

533
Pengayaan Materi Sejarah

Luhulima, James. 2006. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965-


Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain. Jakarta: Kompas.
Machmud, Amir, Surat Perintah 11 Maret 1966 Super Semar Tonggak
Sejarah Perjuangan Orde Baru, Jakarta, 1985.
Mackie, Jamie , 2005. Bandung 1955. Non –Aligment Movement and
Afro-Asian Solidarity . Singapore Solidarity.Didier Millet
Majalah Tempo, 18-24 Agustus 2014.
Makka, Andi Makmur (Editor). 2010. Jejak Pemikiran B.J. Habibie:
Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa. Bandung:
Mizan.
Manafe, Aco. 2007. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung: Keunggulan
Diplomasinya Membela Negara. Jakarta: PT. Inti Lopo Indah.
Marihandono, Djoko. 2005. Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan
Herman Willem Deandels 1808-1810: Penerapan Instruksi
Napoleon Bonaparte. Disertasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia.
Marihandono, Djoko. 2008. “Mendekonstruksi Mitos Jalan Cadas
Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan”. Makalah
70 Tahun Prof. Dr. RZ. Leirissa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, 29-30 April 2008.
Martodidjojo, Mangil, H. , Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967,
Jakarta: Grasindo, 1999.
Mas‟oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-
1971. Jakarta: LP3ES.
Moertopo, Ali. 2004. “Strategi Pembangunan Nasional.” Dalam
Kebijakan Politik Fusi: Suatu Tujuan Politik Kepartaian Rezim
Orde Baru, oleh Eka Nova Prasetya Pinem, 48. Medan: FISIP
Universitas Sumatera Utara.
Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir: politik dan Pengasingan Di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mràzek, Rudolf. 2006 [2002]. Engineers of Happy Land: Perkembangan
Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Terjemahan
Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

534
Pengayaan Materi Sejarah

Muhaimin, Yahya A. 1991. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi


Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.
Muslim, Erlinda; Rahmat Nurcahyo, Aziz Priyanto, Nanda Prasetya,
Niftahuljannah. “Analisis Industri Telekomunikasi di Indonesia”.
Jurnal Manajemen Teknologi Volume 9 Nomor 1 2010.
Nasution, A.H. ,ABRI Penegak Demokrasi UUD‟45, Jakarta: Seruling
Masa, 1966.
Nasution, A.H. ,Memenuhi panggilan Tugas, Jilid 7, Masa Konsolidasi
Orde baru, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988.
Nasution, A.H. ,Menegakkan Keadilan dan Kebenaran, II,Jakarta: PT.
Seruling Masa, 1998.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta:
LP3ES, 1980.
Notosusanto, Nugroho, Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan
Pancasila Yang Otentik, Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1979.
Notosusanto, Nugroho. 1985. “Tercapainya Konsensus Nasional 1966-
1969.” Dalam Pancasila Ideologi dan Dasar Negara RI, oleh
Departemen Penerangan. Jakarta: Departemen Penerangan.
Notosusanto, Nugroho. 1985. Ikhtisar Sejarah RI (1945 – Sekarang).
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
Ozawa, Terutomo. 1987. “Perusahaan Transnasional Jepang: Jangan
Panik”. Dalam Pieter Kuin (Penyunting). Perusahaan Trans
Nasional. Penerjemah S. Maimun. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan PT. Gramedia.
Panggabean, M. ,Berjuang Dan Mengabdi, Jakarta: Sinar Harapan,
1993.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed).
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Jakarta: PN Balai Pustaka,
2008
Poesponegoro, Marwati Djoenet, dan Nugroho Notosusanto. 1984.
Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Depdikbud dan Balai
Pustaka.
Pour, Julious dkk. 2014. Presiden-presiden Republik Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. .

535
Pengayaan Materi Sejarah

Pour, Julius dan Kawan-kawan. Presiden Republik Indonesia 1945.


Jakarta; Kemendikbu, 2014.
Prabowo, D.Et.al.2005. AFTA suatu Pengantar; Jakarta : BPFE
Prakoso, Sugeng. 1998. Model Asal Mula Produksi Pangan di Indonesia.
Depok: Skripsi Sarjana Program Studi Arkeologi Universitas
Indonesia.
Prijadi, Daska. “Operasi Penumpasan “APA” di Bandung” , dalam
Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi
TNI, 2003, hlm. 84 – 95.
Pusaka Indonesia. 2015. “Mengenang Supersemar dan Kontroversinya.”
pusakaindonesia.org. 11 Maret.
http://www.pusakaindonesia.org/mengenang-supersemar-dan-
kontroversinya/.
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983).
Jakarta: Markas Besar TNI.
Rahardjo, M. Dawam. 1979. “Teknologi Tepat Guna bagi Industri
Pedesaan”. Dalam Prisma No. 6 Juni. Jakarta: LP3ES. Hlm. 35-
49.
Rahardjo, M. Dawam. 1993. “Politik Pangan dan Industri Pangan di
Indonesia”. Prisma No. 5 tahun XXII. Jakarta: LP3ES. Hlm. 13-
23.
Ramstetter, Eric D dan Fredrik Sjoholm. 2006. “Multinational
Corporation in Indonesia and Thailand: An Overview of Effect on
Wages, Productivity, and Export”. Dalam Eric D Ramstetter dan
Fredrik Sjoholm (Eds.). Multinational Corporation in Indonesia
and Thailand: An Overview of Effect on Wages, Productivity, and
Export. Palgrave Macmillan: 3-31.
Rocamora, J. Eliseo. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan
Runtuhnya PNI, 1946 – 1965. (Terj. Daniel Dhakidae). Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Rugraff, Eric dan Micheal W. Hansen. 2011. “Multinational Corporation
and Local Firm in Emerging Economies: an Introduction”. Dalam
Dalam Eric Rugraff dan Micheal W. Hansen (Eds.). Multinational

536
Pengayaan Materi Sejarah

Corporation and Local Firm in Emerging Economies. Amsterdam:


Amsterdam University Press. 13-50.
Saelan, Maulwi H. ,Dari Revolusi‟45 Sampai Kudeta‟65, Jakarta: Yayasan
Hak Bangsa, 2001.
Salam, Solichin, 90 Tahun Bung Karno Dalam Kenangan, Jakarta:
Yayasan Pendidikan Bung Karno, 1991.
Sanders, P. 1980. “Sjahrir dan Perjanjian Linggarjati” dalam Rosihan
Anwar (editor). Mengenang Sjahrir. Jakarta: PT. Gramedia.
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan
Terhadap Realitas Sosial. Terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno.
Jakarta: Rajawali Press.
Santoso, Rochmani. “Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis”,
dalam Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat Sejarah dan
Tradisi TNI, 2003, hlm. 96 – 107.
Sanusi, M. 2014. Kenangan Inspiratif Orde Lama dan Orde Baru.
Yogyakarta: Saufa.
Sastroamidjojo, Ali. Tonggak-tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta,
1974.
Scott, James C. 2000 [1985]. Senjatanya Orang-orang yang Kalah:
Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Terjemahan
A. Rahman Zaenudin, Sayogyo, dan Mien Joebhar. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sherry, Jhon C. 1963. History of Western Civilization (1560- to the
Present), New York
Shirashi, Takashi. 1997 [1990]. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926. Penerjemah Hilmad Farid. Jakarta: Pustaka
Utama.
Silalahi, Pande Radja. “Di Mana Tempat APEC: Gerbong atau
Lokomotif?” Kompas, 16 November 2000
Silbey, Susan. 2006. “Science and Technology Studies”. Dalam Bryan S.
Turner (General Editor). The Cambridge Dictionary of Sociology.
New York: Cambridge University Press. Hlm. 536-540.

537
Pengayaan Materi Sejarah

Siswosoedarmo, Muhammadi. 1979.”Strategi Pembangunan Daerah


Pedesaan dan Kebutuhan Pengembangan Teknologi Tepat
Guna”. Dalam Prisma No. 6 Juni. Jakarta: LP3ES. Hlm. 26-34.
Sitorus, Henry. 1997. Teknologi Tangkap Ikan dan Perubahan Struktur
Sosial Ekonomi Nelayan di Kecamatan Sibolga Kabupaten
Tapanuli Tengah Sumatera Utara. Depok: Tesis Departemen
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus darul
Islam Aceh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Slamet-Velsink, Ina E. 1995. Emerging Hierarchies: Processes of
Stratification and Early State Formation in the Indonesian
Archipelago (Preshistory and the Ethnografic Persent). Leiden:
KITLV Press.
Soebandrio, Dr. H. ,Kesaksianku Tentang G-30-S, Jakarta: Forum
Pendukung Reformasi Total, 2001.
Soeharto, Dr. R. ,Saksi Sejarah Mengikuti Perjuangan Dwitunggal,
Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Soeharto. 1967. “Pidato Pejabat Presiden: Orde Baru.”
Soeharto. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta:
Citra Kharisma Bunda.
Soejono, R.P dan R.Z. Leirissa (editor pemutakhiran). 2008. Sejarah
Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik
Indonesia, jld VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekanto, Soerjono. 1985. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Soemiarno, Slamet, dkk. Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Depok, Balai Penerbit FKUI, 2009.
Soenario, SH. , Prof. , Banteng Segitiga, Jakarta, 1998.
Soetriyono, Eddy. 1989. Kisah Sukses Liem Sioe Liong. Jakarta:
Indomedia. 1989.
Somantri, Gumilar R dan Asep Suryana. 2001. Sosiologi Alih Teknologi.
Pusat Penerbitan Universita Terbuka.

538
Pengayaan Materi Sejarah

Sophiaan, Manai, Kehormatan Bagi Yang Berhak, Jakarta: Yayasan


Mencerdaskan Bangsa, 1994.
Suasta, Putu. Menegakkan Demokrasi, Mengawal perubahan, Jakarta:
Lestari Kiranatama, 2013.
Sujono, R.P. dan R.Z. Leirissa (Editor Umum Pemutakhiran). Sejarah
Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik
Indonesia (1942 – 1998). Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Sumawinata, Sarbini. 1972. “Perspektif Pembangunan Djangka
Pandjang: Beberapa Gagasan Strategis Sampai Tahun 2000”,
Dalam Prisma No. 5 Agustus. Jakarta: LP3ES. Hlm. 3-21.
Sundjojo, Nanu. 1997. Perubahan Aktivitas Gotong-Royong pada
Masyarakat Desa: Kasus Desa Pasir Panjang Tasikmalaya Jawa
Barat. Depok: Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Indonesia.
Surat Kabar
Surjomihardjo, Abdurahman. 1977. Pemekaran Kota Jakarta, Jakarta:
Jambatan.
Suryana, Asep. 2012. Pasar Minggu Tempo Doeloe: Dinamika Sosial
Ekonomi Petani Buah 1921-1966. Jakarta: LIPI Press.
Suyanto, Bagong. 2011. Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan
Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat
Kenaikan Harga BBM. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan
Politik Vol. 24. No. 1 Januari-Maret: hal 74-83.
Syabirin, Tabrani. 2014. Menjinakkan Islam: Strategi Politik Orde Baru.
Jakarta: Teras.
Tambunan, Tulus. 2011. “Do Multinational Companies Transfer
Technology to Local Small and Medium-Sized Enterprises? The
Case of the Tegal Metalworking Industry Cluster in Indonesia”.
Dalam Eric Rugraff dan Micheal W. Hansen (Eds.). Multinational
Corporation and Local Firm in Emerging Economies. Amsterdam:
Amsterdam University Press: 75-100.

539
Pengayaan Materi Sejarah

Tempo. 1997. “Saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno: Perjalanan


Terakhir Bung Besar.” Analisa dan Peristiwa. 5 April.
http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm.
The History of the European Union. http:// europe.eu/about-eu-
histoty/index_en.htm (diunduh pada 16 Mei 2015)
The, Anne Marie. “Operasi Penumpasan DI/TII di Jawa Barat”, dalam
Himpunan Seri Bacaan Prajurit. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi
TNI, 2003, hlm. 123 – 136.
Theresia Kenanga, Dhian. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Usaha Perikanan Tangkap Dengan Kapal Motor (Studi Kasus di
Kota Bitung Sulawesi Utara 2012). Yogyakarta: Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Atmajaya.
Thorsen, Dag Einar dan Amund Lie.t.t, What is Neoliberalism? (pdf),
dalam http://folk.uio.no/daget/neoliberalism.pdf (diunduh pada
25 juni 2015)
Tobing, K.M.L. 1987. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Persetujuan
Roem- Royen dan KMB. Jakarta: CV Haji Masagung.
Toer, Pramoedya Ananta, et. al. ,Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu
Presiden Soekarno, Jakarta: Hasta Mitra, 1998.
Tonkiss, Fran. 2006. Contemporary Economic Sociology: Globalisation,
Production, Inequality. London: Routledge.
Transkrip wawancara Nugroho Notosusanto Kapusjarah ABRI dengan
Presiden Soeharto, tanggal 3 Maret 1977.
U.S. Department of State Office of the Historian . Fall of Communism in
Eastern Europe 1989.
U.S. Department of State Office of the HistorianThe Collapse of the
Soviet Union. https://history.state.gov/milesstones/1989-
1992/collapse-soviet-union. (diunduh pada 16 Mei 2015)
United State Information Agency (USIA), 2010. Garis Besar Sejarah
Amerika. Jakarta
Van Grasstek, Craig. 2013. The History and Future of World Trade
Organization. Geneva: World Trade Organization

540
Pengayaan Materi Sejarah

Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik


Indonesia 1965-1998. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Webster‟s New World Encyclopedia. 1992. New York: Prantice-Hall.
Wibisono, Christianto, Aksi-Aksi Tritura Kisah Sebuah Partnership 10
Djanuari – Maret 1966, Jakarta: Pusat Sejarah Angakatan
Bersendjata, 1970.
Wild, Colin dan Peter Carey. 1986. Gelora Api Revolusi: sebuah Antologi
Sejarah. Jakarta: PT Gramedia.
Wilopo. Zaman Pemerintahan Partai-partai dan Kelemahan-
kelemahannya. Jakarta: Yayasan Idayu, 1976.
Wulan, G. Ambar. 2008. “Pertentangan Soekarno Vs Sutan Sjahrir di
Masa Peralihan Kekuasaan dari Sistem Presidensial ke Sistem
Parlementer” dalam Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra dan Departemen sejarah FIB UI.
Wulan, G. Ambar. 2009. Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada
Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Jakarta: Rajawali Pers.
Yudhoyono, Susilo Bambang. SBY Selalu Ada Pilihan. Jakarta: Buku
Kompas. 2014
3o Tahun Indonesia Merdeka 1945 -1949. Jakarta: PT. Tira Pustaka,
1983.

Surat Kabar
Angkatan Bersendjata, 11 Maret 1966.
Angkatan Bersendjata, 12 Maret 1966.
Angkatan Bersendjata, 14 Februari 1966.
Angkatan Bersendjata, 17 Januari 1966.
Angkatan Bersendjata, 18 Februari 1966.
Angkatan Bersendjata, 18 Januari 1966.
Angkatan Bersendjata, 19 Januari 1966.

541
Pengayaan Materi Sejarah

Angkatan Bersendjata, 20 Januari 1966.


Angkatan Bersendjata, 26 Februari 1966.
Angkatan Bersendjata, 26 Januari 1966.

542

Anda mungkin juga menyukai