Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERAN INDONESIA DALAM UPAYA MENCIPTAKAN


PERDAMAIAN DUNIA

DISUSUN OLEH:
1. Arta Eka Rajagukguk
2. Chelsea Panggabean
3. Gabriella Saragih
4. Hugo Sanyes
5. Putri Wanda Sinaga

SMA N 3 TARUTUNG
TARUTUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kehendaknya
makalah yang berjudul “Peran Indonesia dalam Upaya Menciptakan Perdamaian
Dunia” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini,
semua isi ditulis berdasarkan buku – buku, jurnal dan referensi yang berkaitan dengan
Peran Indonesia dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia.
Makalah ini dapat selesai berkat adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat, terutama Guru Sejarah Indonesia Bu Reny Angely Siringo-
ringo, S.Pd. yang telah memberikan saran demi kelancaran dan kelengkapan makalah
ini. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan – kekurangan.
Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan kami terima dengan senang hati
demi perbaikan makalah lebih lanjut.

Tarutung, 20 Februari 2022

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................ii
Daftar isi...........................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
1.4 Manfaat.......................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................................................3
2.1 Pembentukan ASEAN................................................................................3
2.1.1 Sejarah Berdirinya ASEAN............................................................3
2.1.2 Prinsip Dasar Pembentukan ASEAN.............................................7
2.1.3 Tujuan Pendirian ASEAN..............................................................8
2.1.4 Visi Dan Pilar ASEAN...................................................................8
2.2 Pembentukan OKI....................................................................................12
2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya OKI.............................................12
2.2.2 Tujuan OKI..................................................................................14
2.2.3 Anggota OKI...............................................................................14
2.2.4 Peran Indonesia dalam OKI.........................................................16
2.3 Deklerasi Djuanda....................................................................................18
2.4 Jakarta Informal Meeting..........................................................................21
2.4.1 Jakarta Informal Meeting (JIM) I................................................21
2.4.2 Jakarta Informal Meeting (JIM) II...............................................23

BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................26
3.1 Kesimpulan...............................................................................................26

Daftar Pustaka .................................................................................................................27

iii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya Indonesia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan negara lain, karena
keterbatasan SDA maupun kemampuan Indonesia di dalam mengatasi permasalah di dalam
negeri. Indonesia secara eksternal perlu membangun dan menjalin kerjasama yang baik
dengan negara lain, mengapa demikian? Selain akibat dari keterbatasan kemampuan,
Indonesia juga perlu menghindari intervensi maupun gangguan dari negera lain, melalui
adanya hubungan yang baik.
Secara Internal mengapa indonesia perlu mengambil peran dalam perdamaian dunia
yakni, sebagai pengimplementasian tujuan berbangsa dan bernegara yang terkandung di
dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 yakni, ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
sehingga Indonesia turut berpartisipasi di dalam pembentukan organisasi ASEAN maupun
OKI, Deklarasi Djuanda, bahkan hingga turut berkontribusi di dalam menengahi konflik
antara Kamboja dan Vietnam. Melalui makalah ini, kami akan menjelaskan bagaimana peran
Indonesia di dalam dunia hubungan internasional, serta bagaimana proses kegiatan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembentukan ASEAN?


2. Apa peran Indonesia dalam organisasi OKI?
3. Bagaimana proses pelaksanaan Deklarasi Djuanda?
4. Mengapa Indonesia harus turut serta dalam JIM I dan II? Bagaimana proses pelaksanaan
kegiatan tersebut?

1.3 Tujuan

1. Menganalisis bagaimana peran Indonesia dalam upaya menciptakan perdamaian dunia


2. Menginformasikan proses pembentukan organisasi ASEAN dan OKI
3. Menginformasikan bagaimana proses pelaksanaan Deklarasi Djuanda

1
1.4 Manfaat

1. Menambah wawasan peserta didik mengenai peran indonesia dalam upaya menciptakan
perdamaian dunia
2. Sebagai sumber referensi bagi karya ilmiah berikutnya
3. Meningkatkan rasa cinta dan ketertarikan peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah,
bahwa sejarah memiliki dampak yang begitu besar hingga masa kini.

2
BAB II
Pembahasan
2.1 Pembentukan ASEAN
2.1.1 Sejarah Berdirinya ASEAN
Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan Sekutu yang terdapat
di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia Tenggara (South East
Asia Command) Komando ini berpangkalan di Kolombo, Sri Lanka, wilayah Asia Selatan,
hal ini dikarenakan wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama Perang
Dunia ke-II berlangsung. Pasukan ini memang khusus disiapkan sebagai bagian dari strategi
merebut kawasan Asia Tenggara dari Jepang dalam Perang Asia Pasifik.
Adapun yang termasuk dalam wilayah Komando Asia Tenggara itu adalah negara-
negara yang sekarang bernama Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia,
Singapura, Brunei, Filipina dan Indonesia. Jauh sebelumnya, kawasan ini oleh orang Eropa
disebut sebagai Wilayah Timur (oriental) atau Timur Jauh (far east), Cina menyebutnya
Wilayah Selatan (nanyang), India menyebut Hindia Belakang, Jepang menyebut “Nan Yo”
(Asia Timur Raya) dan PBB menyebutnya Asia Timur Jauh.
Pada dekade awal 1960-an, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sarat konflik dan
terpecah belah. Hal ini disebabkan oleh sangat kuatnya pengaruh negara- negara luar
kawasan yang mencengkram sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini
merupakan efek yang ditimbulkan oleh kemunculan dua negara super power “pemenang”
Perang Dunia ke-II yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kemudian melahirkan sekutu-
sekutu dalam bentuk pakta pertahanan seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization)
dan Pakta Warsawa.
Dengan konstelasi demikian, tidak heran jika kawasan Asia Tenggara, menjadi lahan
perebutan dari kekuatan dua super power tersebut. Sebut saja Inggris yang “bermain” di
Malaysia (dulu bernama Malaya) dan Singapura, Amerika Serikat di Filipina dan Uni Soviet
di kawasan Indocina (Kamboja, Vietnam dan Laos). Menyikapi fenomena ini, maka muncul
upaya-upaya untuk melepaskan kawasan Asia Tenggara dari pengaruh kekuatan negara luar
kawasan.
Regionalisme Asia Tenggara pertama kali dimunculkan Dr. Abu Hanifah ketika Asian
Relations Conference berlangsung di New Delhi, India, pada tahun 1947. Ide pembentukan
kelompok Asia Tenggara muncul pada konferensi itu sebagai jawaban atas keyakinan para
anggota delegasi Asia Tenggara bahwa negara-negara besar, India, dan China tidak dapat

3
diharapkan untuk mendukung perjuangan nasional mereka. Pada pertemuan itu, tulis Abu
Hanifah, para anggota delegasi Indonesia, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, serta
Malaya (Singapura dan Malaysia) membahas tentang suatu perhimpunan negara-negara Asia
Tenggara yang secara erat bekerja sama. Pada awalnya hanya dalam masalah ekonomi dan
kebudayaan, dan dalam perkembangan berikutnya barulah merajut kerja sama politik.
Beberapa delegasi bahkan bermimpi lebih jauh, yakni terbentuknya suatu Federasi Asia
Tenggara.45 Pembahasan tentang kegunaan regionalisme pada waktu itu mencerminkan
ketidakmampuan negara-negara Asia Tenggara untuk meraih kepercayaan diri tanpa usaha
bersama.
Kemudian muncul upaya yang dilakukan oleh Thailand, Filipina dan Malaysia yang
membentuk ASA (Association of Southeast Asia) pada tahun 1961 yang bertujuan untuk
bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Indonesia yang menganut
kebijakan non-blok, menyatakan tidak tertarik untuk bergabung dalam ASA. Faktor
utamanya adalah status Thailand dan Filipina yang saat itu masih tergabung dalam SEATO
(South East Asia Treaty Organization)46 yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dan status
Malaysia yang masih dikuasai oleh Inggris. Namun, nasib ASA ini tidak berumur panjang.
Faktor nya adalah konflik berkepanjangan antara Malaysia dan Filipina dalam permasalahan
perebutan wilayah Sabah dan kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia semakin
membuat suram potensi kerjasama regional.
Seiring dengan berputarnya bandul perjalanan sejarah, kepemimpinan Soekarno
tumbang dan digantikan oleh Soeharto dengan bendera Orde Baru di tahun 1966 berdampak
pada perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya terhadap kawasan Asia
Tenggara. Sejak itu, kebijakan politik luar negeri Orde Baru adalah memberi prioritas pada
kawasan Asia Tenggara dan normalisasi hubungan bilateral maupun internasional dengan
berbagai pihak. Keduanya merupakan satu rangkaian kebijakan yang saling terkait.
Kebijakan normalisasi hubungan ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif
di kawasan Asia Tenggara, sehingga akan lebih mudah bagi Indonesia untuk mendorong
kerjasama yang lebih maju dan konstruktif. Salah satunya adalah kebijakan untuk
menormalisasi hubungan dengan Malaysia yang beku akibat kebijakan konfrontasi.
Normalisasi ini dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1966, ketika Menlu Adam Malik dan
Menlu Malaysia Tun Abdul Razak bertemu di Jakarta dan menandatangani persetujuan
normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.
Membaiknya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, serta
Malaysia dengan Filipina, memicu munculnya pemikiran untuk membangun sebuah

4
perhimpunan kerjasama regional baru di Asia Tenggara. Beberapa pendapat yang
mengemuka adalah menghidupkan kembali ASA. Namun hal ini ditolak mentah-mentah oleh
Indonesia yang masih berpendapat ASA adalah kepanjangan tangan dari SEATO buatan
Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia tidak menginginkan status keanggotaan baru dari
perhimpunan yang sudah ada. Sebagai jalan keluar, Indonesia mengajukan usul untuk
membentuk suatu perhimpunan regional yang semua anggotanya memiliki status dan hak
yang sama.
Pada awalnya, nama yang diusulkan bagi perhimpunan tersebut adalah SEAARC
(South East Asian Association for Regional Cooperation). Namun hal ini ditolak oleh Menlu
Thailand Thanat Khoman yang berpendapat nama tersebut mirip dengan kata shark (ikan
hiu). Akhirnya, nama usulan Menlu Adam Malik, yakni ASEAN (Association of South East
Asian Nations) disepakati sebagai nama bagi perhimpuan regional baru di Asia.
Negara-negara pendiri ASEAN tersebut menginginkan keikutsertaan seluruh negara
di Asia Tenggara untuk bergabung dalam perhimpunan ini. Akan tetapi situasi politik saat itu
sangat tidak memungkinkan. Upaya yang pernah dilakukan oleh Indonesia untuk
mewujudkan keikutsertaan negara lain adalah diplomasi terhadap Myanmar dan Kamboja.
Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan image ASEAN sebagai organisasi pro-
Barat, dikarenakan seluruh pendirinya adalah negara-negara non- komunis. Namun,
Myanmar dan Kamboja menolak bergabung dan tetap memilih untuk netral, namun tidak
akan menentang pembentukan ASEAN.
Akhirnya, setelah melalui serangkaian proses panjang, pada tanggal 8 Agustus 1967
bertempat di Bangkok, Thailand, draft Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Menteri Luar
Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Abdul
Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu
Singapura S. Rajaratnam.51 Para negara tersebut tercatat sebagai pendiri sekaligus anggota
pertama dari perhimpunan regional baru di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya terkini,
anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara Asia Tenggara yakni para negara pendiri dan
negara-negara anggota baru, yakni Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja.
Berangkat dari konteks kelahirannya, ada tiga alasan utama yang melatar belakangi
berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga
stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan forum bagi
penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.

5
Satu hal yang disadari semua pihak dalam pembentukkan ASEAN, bahwa setiap
kerjasama regional tidak akan berguna dan bertahan lama, jika tidak didasarkan pada
landasan yang kuat. Yang dimaksud dengan landasan yang kuat adalah bidang- bidang yang
paling sedikit mengandung unsur perbedaan dan paling banyak mengandung kepentingan
bersama, serta yang berkemampuan menunjang bidang lainnya.
Keputusan untuk menentukkan bidang ekonomi sebagai dasar ASEAN mencerminkan
jauhnya pandangan serta penyesuaian dengan kondisi ideal masa itu. Bagaimana tidak,
konfrontasi antar negara baru berakhir, hubungan antar negara masih diselimuti sikap
kecurigaan. Oleh karena itu bidang ekonomi merupakan pilihan tepat pada saat itu. Kemudian
diikuti dengan bidang budaya mengingat dalam bidang itu tidak terdapat perbedaan yang
terlalu signifikan. Namun yang perlu ditegaskan, hal tersebut akan berubah mengikuti
kebutuhan dan situasi dunia internasional yang terus berubah.
Dalam perjalanannya, ASEAN pernah terancam bubar oleh dua permasalahan besar,
yakni: pertama, krisis pada bulan Maret 1968. Saat itu muncul ketegangan dalam hubungan
Malaysia dan Filipina akibat sebuah krisis yang disebut sebagai The Corregidor Affairs.
Pokok persoalannya adalah adanya isu pemanfaatan Pulau Corregidor sebagai tempat
pemusatan latihan tempur bagi satuan militer khusus Muslim oleh pemerintah Filipina untuk
menyerang wilayah Sabah. Maka, meledaklah konflik diplomatik yang puncaknya adalah
pemutusan hubungan diplomatik kedua negara pada tahun 1968. Namun, atas peran besar
Indonesia melalui Presiden Soeharto sebagai mediator, konflik ini dapat diatasi. Terbukti,
pada bulan Desember 1969, kedua negara menyepakati pemulihan hubungan diplomatiknya.
Ancaman kedua yakni, ketika Pemerintah Singapura menjatuhkan hukuman mati
terhadap dua anggota KKO (Korps Komando AL) Indonesia yang tertangkap saat melakukan
sabotase di era konfrontasi Indonesia-Malaysia pada bulan Oktober 1968.56 Pada titik inilah,
Indonesia menunjukkan sikap kedewasaan dan kepemimpinannya dengan tidak melakukan
tindakan gegabah. Proses penyelesaian masalah ini dijalankan tetap dalam koridor diplomasi.
Hal ini dilakukan agar kelangsungan hidup ASEAN tetap terjaga. Setelah sempat beku,
hubungan kedua negara membaik setelah pada bulan Mei 1973, PM Lee Kuan Yew
berkunjung ke Indonesia dan melakukan acara tebar bunga di kedua makam prajurit yang
digantung di Singapura.
Walaupun seringkali diguncang dengan memanasnya hubungan antar negara anggota,
ASEAN sejak pendiriannya sampai dengan dekade 1990-an mendapatkan pujian dari dunia
internasional sebagai salah satu organisasi kawasan yang sukses di kalangan negara-negara
berkembang. ASEAN dinilai mampu menyatukan negara- negara di kawasan yang dikenal

6
sebagai Balkan of the East (Balkan di Timur) atau kawasan yang penuh pergulatan,57
sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Yang unik dari organisasi ASEAN adalah selama empat puluh tahun, keberadaan dan
bentuk kerja sama berlangsung efektif meski tanpa konstitusi, anggaran dasar atau piagam
resmi. ASEAN bergerak hanya berdasarkan dokumen pendirian yakni Deklarasi Bangkok
1967. Sementara itu, deklarasi hanyalah merupakan pernyataan politik yang tidak mengikat
dan memerlukan ratifikasi. Karena itu kerja sama ASEAN bersifat longgar dan informal,
berdasarkan musyawarah atau konsensus dan sering dijuluki sebagai “The ASEAN Way”.
Hal ini berlangsung sampai dengan adanya Piagam ASEAN yang baru disepakati pada KTT
ASEAN XIII di Singapura, tahun 2007 lalu. Meski demikian, ASEAN mampu menciptakan
dan menjaga perdamaian serta stabilitas sebuah negara.

2.1.2 Prinsip Dasar Pembentukan ASEAN


Sesuai dengan Perjanjian Persahabatan dan Kerja sama Asia Tenggara atau yang
dikenal dengan Deklarasi Bangkok, pendirian ASEAN didasarkan kepada prinsip-prinsip
berikut.

1. Saling menghormati dan menghargai kemerdekaan, kedaulatan. kesamaan, keutuhan


wilayah, dan identitas nasional setiap negara anggota
2. Setiap negara dijamin haknya untuk mempertahankan eksistensinya tanpa campur
tangan, rongrongan, dan penindasan pihak lain.
3. Tidak saling mencampuri urusan dalam negeri pihak lain Penyelesaian sengketa dan
perselisihan dengan cara damai
4. Menghindarkan penggunaan kekuatan militer
5. Kerja sama yang efektif di antara negara-negara anggota

7
2.1.3 Tujuan Pendirian ASEAN

Sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi pendiriannya, ASEAN memiliki tujuh tujuan,
yaitu:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pembangunan budaya di
negara-negara anggotanya. Tujuan ini akan dicapai melalui usaha keras dalam
semangat kesetaraan dan kemitraan, dengan harapan dapat memperkuat landasan
terwujudnya masyarakat makmur dan damai di negara-negara Asia Tenggara.
2. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara melalui hubungan
antarnegara anggota yang berdasarkan sikap saling menghormati hukum dan prinsip-
prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
3. Meningkatkan kerja sama secara aktif dan saling membantu dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi.
4. Bekerja sama saling membantu dalam bentuk memberikan pelatihan dan sarana
penelitian dalam bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi Mengefektifkan
kerja sama dalam bidang pertanian, industri dan perluasan perdagangan Pencapaian
tujuan ini antara lain dilakukan dengan berbagai cara, termasuk usaha mengkaji
persoalan-persoalan komoditas perdagangan internasional, pengembangan sarana
transportasi dan komunikasi, serta peningkatan standar hidup rakyat negara-negara
anggota.
5. Mengembangkan kajian-kajian mengenai negara-negara di Asia Tenggara
6. hubungan kerja sama erat yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga
regional maupun internasional yang memiliki tujuan serupa dan mengupayakan
berbagai cara agar hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut semakin erat.
Dengan adanya kerja sama seperti itu diharapkan kawasan Asia Tenggara menjadi
wilayah yang aman dan stabil. Meski demikian, asosias ini bukan dimaksudkan sebagai
aliansi militer

2.1.4 Visi dan Pilar ASEAN


Visi ASEAN yang hendak diwujudkan adalah terwujudnya kerja sama dinamis di
antara negara-negara Asia Tenggara secara damai, stabil, dan sejahtera. Visi ini merupakan
hasil kesepakatan para pemimpin negara-negara ASEAN. Visi ini ditindaklanjuti dengan
dicetuskannya tiga pilar kerja sama ASEAN.

8
1. Komunitas Keamanan ASEAN atau ASEAN Security Community
Pilar ini merupakan penopang hubungan di bidang politik dan keamanan. Berkat pilar
ini, sejak berdirinya ASEAN tidak pernah terjadi ketegangan politik dan keamanan yang
berbahaya di antara negara-negara anggotanya. Berdasarkan pilar ini, para pemimpin ASEAN
bertekad menempuh cara-cara damai dalam mengatasi setiap perbedaan dan perselisihan di
antara negara anggotanya.
Cara-cara damai yang ditempuh adalah
1. Menciptakan situasi politik yang kondusif. Menyusun norma-norma kehidupan
bersama.
2. Mencegah terjadinya konflik di antara negara-negara anggota.
3. Penyelesaian konflik yang terjadi. Penciptaan situasi damai setelah konflik berakhir
4. Menerapkan mekanisme yang paling baik dalam mengatasi segala persoalan.
Implementasi cara-cara tersebut tertuang dalam berbagai kesepakatan yang dibangun
dari tahun ke tahun.
Kesepakatan yang berkaitan dengan politik dan keamanan adalah: Deklarasi zona
damai bebas dan netral yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 27 November 1971.
Deklarasi Kerukunan yang ditandatangani di Bali pada 24 Februari 1976. Perjanjian
persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara yang ditandatangani di Bali pada 24 Februari
1976. Deklarasi ASEAN mengenai Laut Cina Selatan yang ditandatangani di Manila pada 22
Juli 1972. Perjanjian mengenai zona bebas nuklir di Asia Tenggara yang ditandatangani di
Bangkok pada 15 Desember 1997. Deklarasi Persahabatan II yang ditandatangani di Bali
pada 7 Oktober 2003.

2. Komunitas Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community.


Pilar ini menopang tercapainya tujuan akhir kerja sama ekonomi negara-negara
ASEAN. Tujuan tersebut adalah terciptanya wilayah perekonomian yang stabil, makmur, dan
kompetitif atau berdaya saing. Integrasi perekonomian akan dicapai dengan cara
membebaskan aliran barang, jasa, investasi, dan modal di antara negara-negara anggota
ASEAN. Selain itu, diupayakan perkembangan ekonomi yang wajar, penurunan angka
kemiskinan, dan meminimalisasi kesenjangan sosial-ekonomi. Diperlukan strategi yang dapat
menyatukan potensi-potensi yang ada di negara anggota dan sekaligus dapat meningkatkan

9
daya saing ekonomi ASEAN. Untuk mencapai komunitas ekonomi ASEAN, negara anggota
ASEAN telah menyepakati beberapa hal, yaitu:
1. Memperbaharui mekanisme dan langkah-langkah yang dapat memperkuat
pelaksanaan ASEAN Free Trade Area atau AFTA, ASEAN Framework Agreement
on Services atau AFAS, dan ASEAN INvestment Area atau AIA.
2. Mempercepat integrasi beberapa sektor kegiatan ekonomi yaitu sektor angkutan
udara, produksi berbasis pertanian, otomotif, e-commerce, elektronik, perikanan,
pelayanan kesehatan, produksi berbahan karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, dan
produksi berbasis kayu. Mempermudah pergerakan pengusaha, tenaga kerja terampil,
dan berbakat.
3. Memperkuat mekanisme yang ada pada lembaga-lembaga yang dimiliki ASEAN.

3. Komunitas Sosio-Kultural ASEAN atau ASEAN Socio-Cultural Community


Komunitas sosio-kultural ASEAN merupakan suatu kemitraan negara-negara Asia
Tenggara yang saling peduli dan membentuk identitas bersama. Komunitas sosio-kultural
bertujuan untuk memupuk kerja sama bidang pembangunan sosial sehingga dapat
meningkatkan standar hidup kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia di ASEAN adalah kunci keberhasilan bagi penanganan
pengangguran, penghapusan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesetaraan pertumbuhan
ekonomi. Beberapa upaya ASEAN dalam mencapai tujuan tersebut adalah:
1. Program kesejahteraan sosial, keluarga, dan kependudukan.
2. Program penanganan HIV/AIDS. Program perawatan kesehatan bagi penduduk usia
lanjut. Jaringan keamanan dan kesehatan kerja.
3. Program penyiapan generasi muda untuk menghadapi globalisasi. Jaringan universitas
di negara-negara anggota ASEAN.

4. Hubungan ASEAN dengan Negara- Negara di luar Anggotanya


Salah satu mitra hubungan ASEAN yang belum masuk menjadi anggota adalah India,
Singapura mendukung masuknya india ke dalam ASEAN, tetapi Indonesia, Malaysia, dan
Pakistan belum menyetujui Walaupun demikian, ASEAN tetap bekerja sama dengan India,
terutama dalam bidang ekonomi (investasi), penelitian ilmiah, teknologi, pariwisata dan
perdagangan.
Berikut ini kerja sama-kerja sama yang dilakukan ASEAN dengan negara atau kelompok
negara di luar ASEAN:

10
1. Hubungan dengan Uni Eropa (Sejak Maret 1980)
Kerja sama ini pada bidang perdagangan, pertanian, dan kegiatan ilmiah (penelitian)
2. Hubungan dengan Australia
Kemajuan ASEAN membuat Australia pada tahun 1994 tertarik untuk bekerja sama
dengan ASEAN Kerja sama itu dalam kerangka AFTA (ASEAN Free Trade Area). Selain
itu, CER (Closer Economic Relations). yaitu suatu perjanjian antara Australia dengan
Selandia Baru juga mengadakan kerja sama dengan ASEAN. 3. Forum ASEAN Plus Tiga
(ASEAN Plus Tree)
3. Pada tahun 1999 ditandatangani kesepakatan kerja sama antara negara-negara ASEAN
dengan tiga negara Asia Timur Laut, yaitu Cina, Jepang, dan Republik Korea Mereka
bertemu setiap tahun dalam forum yang disebut ASEAN Plus Tree. Kerjasama ini meliputi
bidang keamanan, kejahatan antarnegara, perdagangan dan investasi, lingkungan hidup,
keuangan dan pembiayaan, pertanian dan kehutanan, energi, pariwisata, kesehatan,
perburuhan, seni dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi informasi dan
komunikasi, pembangunan dan kesejahteraan sosial, kepemudaan, pembangunan daerah
pedesaan, dan pemberantasan kemiskinan. Forum ini juga merintis terbentuknya East Asia
Free Trade Area (EAFTA) sebagai tujuan jangka panjang.
4. Forum Mitra Dialog (Dialogue Partners)
Negara-negara yang tergabung dalam forum mitra dialog ASEAN adalah Australia,
Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Republik Korea, Selandia Baru (New Zealand),
Federasi Rusia, Amerika Serikat, Pakistan, dan Program Pembangunan PBB.
5. Berbagai Forum Kerja sama dengan Negara-negara Berkembang ASEAN
Aktif mengadakan hubungan dengan organisasi yang beranggotakan negara-negara
berkembang, yaitu Economic Cooperation Organization (ECO), Gulf Cooperation Council
(GCC), Rio Group (RG), South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC),
South Pacific Forum (SFF), dan yang terbaru adalah Asian-African Sub- Regional
Organization Conference (AASROC). Di samping itu, sebagian besar negara-negara anggota
ASEAN juga bekerja sama dengan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Asia-
Europe Meeting (ASEM), dan East Asia-Latin America Forum (EALAF), walaupun bukan
dalam ikatan ASEAN.

11
2.2 Pembentukan OKI
2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya OKI ( Organisasi Kerjasama Islam)
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara
Islam mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22 – 25 September 1969,
dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam,
penghormatan pada Piagam PBB dan hak asasi manusia. Pembentukan OKI semula
didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang dihadapi umat
Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid Suci Al-Aqsa pada
tanggal 21 Agustus 1969.

Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di


antara negara anggota, mengoordinasikan kerja sama antarnegara anggota, mendukung
perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan
membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI
saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di kawasan
Asia dan Afrika.

Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada
masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma
sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di
seluruh dunia

Adapun secara singkat, terbentuknya OKI bisa dilihat dari perjalanan organisasi ini dari
tahun ke tahun, sebagai berikut:

1. Pada tahun 1964, dilaksanakan KTT Arab di Mogadishu timbul ide menghimpun
kekuatan Islam dunia dalam satu wadah organisasi Internasional.
2. Pada tahun 1965, dilaksanakan Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Arab Saudi
dihasilkan ide untuk menjadikan Islam menjadi sebuah kekuatan menonjol dan
menggalang solidaritas diantara negara berpenduduk mayoritas muslim demi usaha
melindungi umat Islam dari gangguan kehormatannya, khususnya zionisme Israel di
Al Quds.

12
3. Pada tahun 1967, Pecah perang Timur Tengah melawan Israel, sehingga
menimbulkan rasa solidaritas yang semakin kuat diantara negara-negara Timur
Tengah.
4. Pada tahun 1968, Raja Faisal dari Saudi Arabia melakukan penggalangan dukungan
pembentukan OKI dengan melakukan kunjungan ke beberapa negara Islam.
5. Pada tahun 1969, Israel pada tanggal 21 Agustus 1969 melakukan perusakan dan
pembakaran di Masjid Al-Aqsa, sehingga menyebabkan klimaks akan kemarahan
umat Islam dunia akan tindakannya tersebut.
6. Pada tahun 1970 merupakan pertemuan pertama konferensi Islam pada tingkat
menteri luar negeri (meeting of Islamic Conference of Foreign Minister, ICFM) di
Jeddah yang memutuskan berdirinya sekretariat permanen OKI yang menjadi tempat
sekretaris jenderal. Yang mana pada tahun 2011-2012 ini, Prof Ekmeleddin Ihsanoglu
adalah sekretaris Jenderal ke-9 yang telah terpilih pada pertemuan tingkat menteri luar
negeri ke-31 pada bulan Januari tahun 2005.

Piagam OKI yang baru-baru ini telah sepakati bersama telah diadopsi dari pertemuan
tingkat tinggi Islam ke-11 di Dakar pada 13-14 Maret 2008 yang mana telah menelurkan
komitmen dan prinsip organisasi dan tujuan pokok yaitu penguatan solidaritas dan kerjasama
antara negara anggota. Di 40 tahun terakhir ini, keanggotaan OKI telah bertambah pesat,
yaitu dari 25 negara menjadi 57 negara-negara. OKI memiliki sebuah kehormatan untuk
menggembleng umat menjadi satu tubuh dan secara aktif mewakili kaum muslimin dengan
memberikan dukungan atas segala harapan sekitar 1.5 Miliar umat Islam di dunia.

OKI memiliki badan penasihat dan juga hubungan kerjasama dengan PBB dan
organisasi internasional pemerintah lainnya untuk melindungi kepentingan vital umat muslim
dan bekerja untuk penyelesaian konflik dan persengketaan yang menyertakan anggotanya.
Dalam usaha perlindungan nilai-nilai kebenaran Islam dan kaum muslimin, organisasi ini
telah mengambil beberapa langkah dalam menghilangkan persepsi yang salah dan memiliki
27 sokongan yang kuat dalam menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang berlawanan
dengan kaum muslimin dalam segala bentuknya dan perwujudannya.

Negara-negara anggota OKI berhadapan dengan banyak tantangan di abad 21 ini dan
untuk membahas akan tantangan ini, pada sesi pertemuan luar biasa ketiga konferensi tingkat
tinggi di Makkah pada tahun 2005 menghasilkan "cetak biru" yang disebut dengan 10 Tahun
Program Aksi (the Ten-Year Program of Action) yang mana menghasilkan program rencana;

13
kerjasama masa depan negara-negara anggota OKI, mempromosikan toleransi dan sikap
moderat, modernisasi, reformasi secara luas segala aspek aktivitas, termasuk didalamnya
yaitu sains dan teknologi, pendidikan, peningkatan perdagangan, penekanan good
government dan mempromosikan hak asasi manusia (HAM) di dunia muslim, khususnya
penghormatan terhadap hak anak-anak, perempuan, lansia, dan nilai-nilai terpuji dalam
keluarga yang diajarkan dalam Islam.

2.2.2 Tujuan OKI


Pada dasarnya, organisasi ini dibentuk untuk membentuk solidaritas dan kooperasi antar
negara anggota (OIC, n.d.). Tujuan-tujuannya bisa kita bedah sebagai berikut.

● Meningkatkan solidaritas Islam, dengan mengadakan aktivitas sosial, ekonomi,


saintifik, dan budaya (Britannica, 2022).
● Mengkoordinasi kerja sama.
● Mendukung perdamaian dan keamanan internasional.
● Melindungi tempat suci umat Islam.
● Membantu perjuangan Palestina.
● Dalam mencapai tujuan-tujuan di atas, ada beberapa prinsip OKI yang menjadi
pegangan dasar organisasi.
● Anggota OKI memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang setara.
● Tidak ikut campur tangan dalam isu domestik negara anggota.
● Menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah setiap negara anggota.
● Menggunakan cara damai (negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan arbitrase) untuk
menyelesaikan konflik.
● Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah,
persatuan nasional atau kemerdekaan politik negara anggota.

2.2.3 Anggota OKI


Saat ini, OKI beranggotakan 57 negara yang tersebar di empat benua. Berikut daftar negara
anggota OKI beserta kapan bergabungnya:

1. Azerbaijan – Bergabung 1992


2. Yordania – Bergabung 1969
3. Afghanistan – Bergabung 1969
4. Albania – Bergabung 1992
5. Uni Emirat Arab (UEA) – Bergabung 1972

14
6. Indonesia – Bergabung 1969
7. Uzbekistan – Bergabung 1996
8. Uganda – Bergabung 1974
9. Iran – Bergabung 1969
10. Pakistan – Bergabung 1969
11. Bahrain – Bergabung 1972
12. Brunei Darussalam – Bergabung 1984
13. Bangladesh – Bergabung 1974
14. Benin – Bergabung 1983
15. Burkina Faso – Bergabung 1974
16. Tajikistan – Bergabung 1992
17. Turki – Bergabung 1969
18. Turkmenistan – 1992
19. Chad – Bergabung 1969
20. Togo – Bergabung 1997
21. Tunisia – Bergabung 1969
22. Algeria – Bergabung 1969
23. Djibouti – Bergabung 1978
24. Arab Saudi – Bergabung 1969
25. Senegal – Bergabung 1969
26. Sudan – Bergabung 1969
27. Suriah – Bergabung 1972
28. Suriname – Bergabung 1996
29. Sierra Leone – Bergabung 1972
30. Somalia – Bergabung 1969
31. Irak ¬ Bergabung 1975
32. Oman – Bergabung 1972
33. Gabon – Bergabung 1974
34. Gambia – Bergabung 1974
35. Guyana – Bergabung 1998
36. Guinea – Bergabung 1969
37. Guinea-Bissau – Bergabung 1974
38. Palestina – Bergabung 1969
39. Comoros – Bergabung 1976

15
40. Kyrgyzstan – Bergabung 1992
41. Qatar – Bergabung 1972
42. Kazakhstan – Bergabung 1995
43. Kamerun – Bergabung 1974
44. Pantai Gading – Bergabung 2001
45. Kuwait – Bergabung 1969
46. Lebanon – Bergabung 1969
47. Libya – Bergabung 1969
48. Maladewa – Bergabung 1976
49. Mali – Bergabung 1969
50. Malaysia – Bergabung 1969
51. Mesir – Bergabung 1969
52. Maroko – Bergabung 1969
53. Mauritania – Bergabung 1969
54. Mozambik – Bergabung 1994
55. Niger – Bergabung 1969
56. Nigeria – Bergabung 1986
57. Yaman – Bergabung sejak 1969

2.2.4 Peran Indonesia dalam OKI


Sebagai anggota OKI, Indonesia memiliki peran yang pasang surut di OKI. Delapan peran
Indonesia dalam OKI diantaranya adalah:

1. Hadir dalam KTT I di Rabat

Indonesia menjadi salah satu dari 24 negara yang menghadiri KTT I di Rabat, Maroko
yang menjadi awal berdirinya OKI. Pada tahun-tahun awal peran Indonesia di OKI masih
terbatas. Keanggotaan Indonesia di OKI sempat menjadi satu, baik di kalangan OKI maupun
di dalam negeri. Saat piagam pertama OKI dicetuskan pada tahun 1972, Indonesia menolak
menahan diri untuk menjadi anggota resmi OKI. Hal ini karena berdasarkan UUD 1945,
yakni Indonesia bukanlah negara Islam.

Namun, muncul tuntutan aspirasi dan politik dalam negeri yang menyebabkan
Indonesia mulai berperan aktif di OKI pada tahun 1990-an Hal ini ditandai dengan hadirnya
Presiden Soeharto untuk pertama kalinya hadir dalam KTT ke-6 OKI yang diselenggarakan
di Senegal, Desember 1991. Kehadiran Presiden Soeharto tersebut menjadi langkah awal

16
perubahan kebijakan politik luar negara Indonesia, yakni untuk lebih aktif di OKI. Namun,
peran Indonesia dalam OKI tidak terlalu dominan sebagaimana peran Indonesia dalam
ASEAN maupun peran Indonesia dalam GNB.

2. Gagasan “Tata Informasi Baru Dunia Islam”

Indonesia mempelopori gagasan perlunya “Tata Informasi Baru Dunia Islam”. Hal ini
dikemukakan dalam Konferensi Menteri-Menteri Penerangan OKI tahun 1988.

3. Ketua Panitia Enam

Peran aktif Indonesia di OKI yang menonjol adalah pada tahun 1993. Indonesia
menerima mandat sebagai ketua Committee of Six. Indonesia bertugas melawan perlawanan
damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan Pemerintahan Filipina.

4. Tuan Rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24

Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTM-OKI) ke-24 di


Jakarta pada tahun 1996. KTM ini dilaksanakan tanggal 9 -13 Desember 1996. Pada KTM
tersebut fokus pembicaraan mengenai citra Islam dunia internasional. Pada KTM OKI telah
memutuskan beberapa masalah regional dan internasional, yakni sebagai berikut:

1. Masalah Palestina adalah masalah utama bagi dunia Islam


2. Mengecam kebijakan keras Israel yang menghambat proses perdamaian
3. Mengakui integritas & kedaulatan Bosnia Herzegovina sesuai batas-batas wilayahnya
secara internasional
4. Mengimbau diadakannya penyelesaian damai di wilayah Jammu dan Kashmir,
menyatakan perlunya menghormati hak rakyat Kashmir untuk menentukan nasibnya
sendiri, dan mengecam tegas pelanggaran hak-hak asasi manusia di tempat itu
5. Menghimbau agar pihak-pihak yang berseteru di Afghanistan segera mengadakan
gencatan senjata
6. Menyerukan kepada Irak untuk sungguh-sungguh bekerja sama dengan Komite
Palang Merah Internasional dalam upaya mengimplementasikan resolusi PBB
(terutama yang menyangkut kekhawatiran para tawanan perang Kuwait)
7. Mengecam tindakan agresi Amerika Serikat terhadap Libya
8. Mendukung dengan tegas posisi Indonesia di Timor Timur

5. Mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Sepuluh Tahun OIC

17
Indonesia mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Sepuluh Tahun OIC pada KTT OKI
ke-14 di Dakar, Senegal. Indonesia mempunyai ruang untuk lebih berperan dalam
memastikan implementasi reformasi OKI tersebut dengan diadopsinya piagam ini. Indonesia
berkomitmen untuk menjamin kebebasan, toleransi, harmonisasi dan memberikan bukti nyata
akan keselarasan antara Islam, modernitas, dan demokrasi.

6. Tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi OKI 2014

Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi OKI 2014, yakni di Jakarta.

7. Tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI

Indonesia menjadi tuan rumah dari Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI,
tepatnya di Jakarta. Konferensi ini diadakan tanggal 6 – 7 Maret 2016. Menurut Menteri Luar
Negeri Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, KTT Luar Biasa OKI ini diadakan
sebagai bentuk upaya nyata negara-negara OKI untuk mendorong penyelesaian konflik di
Palestina. Situasi di Palestina semakin hari semakin memburuk. Hal ini utamanya terkait
status kota Al Quds (Yerusalem) yang diokupasi oleh Israel. Palestina telah diakui oleh 137
negara dan berhasil menjadi negara peninjau PBB. Keberhasilan ini merupakan keberhasilan
dari proses komunitas internasional, termasuk Indonesia.

8. Mendamaikan negara-negara Islam yang bersengketa

Indonesia banyak menjadi penengah dari pertentangan antara kelompok progresif


revolusioner dengan kelompok pengasingan. Hal tersebut dikarenakan Indonesia menganut
politik luar negeri bebas aktif, sehingga tidak memihak kepada siapapun termasuk Bangsa
Arab. Indonesia membantu dalam mendamaikan perselisihan antara Pakistan dan
Bangladesh. Hal tersebut diakui oleh negara Islam. Indonesia juga memperjuangkan masalah
minoritas Muslim Moro di Filipina Selatan dalam forum OKI.

2.3 Deklarasi Djuanda

Seiring perkembangan dalam sejarah Indonesia, perairan Indonesia menjadi salah satu
hal yang sangat vital dalam berbagai kegiatan. Berbagai kegiatan itu berupa kegiatan
perdagangan, transportasi, mata pencaharian, hiburan, dan sebagainya. Dari berbagai kegiatan
tersebut, terciptalah potensi-potensi yang istimewa. Potensi-potensi ini mempengaruhi bangsa
lain sehingga ada keinginan dari mereka untuk menguasai daerah kedaulatan.

18
Pada awal kemerdekaan Indonesia, persoalan wilayah (teritorial) menjadi salah satu
isu strategis dimana masih diberlakukannya Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939). Muhammad
Yamin, salah satu tokoh republik pada saat itu menyinggung pembahasan mengenai
pentingnya wilayah lautan melalui pernyataannya, “Tanah air Indonesia ialah terutama
daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu
pulau yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika tidak tepat dilaksanakan dengan
begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan dengan Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu selat yang
luas atau yang sangat sempit. Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar “laut
merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan sangat merendahkan kedaulatan
negara dan merugikan kedudukan pelayaran, perdagangan laut dan melemahkan pembelaan
negara. Oleh sebab itu, maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan
daerah, air lautan manakah yang masuk lautan lepas.”
Pada awal kemerdekaan, batas laut Indonesia hanya berjarak 3 mil laut dari pantai
setiap pulau (Coastal Baseline), yaitu perairan di sekitar kepulauan Indonesia bekas Hindia
Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939). Namun, peraturan
perbatasan ini adalah warisan kolonial. Belanda tidak lagi cocok untuk memenuhi
kepentingan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, sesuai dengan deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957, lahirlah konsep
Nusantara.
Mochtar Kusumaatmadja, salah satu kelompok penyusun Undang-Undang Laut
Teritorial dan Lingkungan Laut, mengenang asal-usul Deklarasi Djuanda saat itu,
menyatakan bahwa kelompok tersebut berhasil menetapkan lebar laut teritorial sebesar 12 mil
untuk perkembangan hukum internasional. Kemudian Chaerul Saleh (Menteri Veteran)
mendatanginya dan tidak setuju dengan usulan redaksi tersebut. Pasalnya, ketika aturan
diterapkan antar pulau di Indonesia, terdapat laut lepas, sehingga kapal asing bisa bebas
masuk dan keluar. Hal ini jelas dapat "mengganggu" hak awal Indonesia untuk menentukan
nasib sendiri. Chaerul Saleh mengusulkan untuk menutup perairan dalam (Laut Jawa) agar
tidak masuk kategori laut dalam. Mochtar kemudian menjawab bahwa hal itu tidak mungkin
karena tidak sesuai dengan hukum internasional saat itu dan berjanji akan membicarakannya
dengan tim.  
Lalu pada Jumat 13 Desember 1957, Tim RUU Laut Teritorial bertemu Perdana
Menteri Djuanda. Dia diminta untuk menjelaskan hasil desain tim. Mochtar Kusumaatmadja

19
sebagai ahli Hukum Internasional (Hukum Laut) tampil ke depan untuk menjelaskan. Fakta
di atas memunculkan tiga aktor penting hingga dikeluarkannya Deklarasi Djuanda, yaitu;
Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja dan Chaerul Saleh. Satu hal yang pasti, Deklarasi
Djuanda merupakan keputusan Djuanda karena posisinya saat itu ialah sebagai pengambil
kebijakan. Pada dasarnya penjelasan Djuanda menjelaskan hal berikut:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak
tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan
wilayah Indonesia
Dalam Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip- prinsip
negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah
Republik Indonesia, dan bukan kawasan bebas dan dari situlah negara Indonesia disebut
negara kepulauan. Deklarasi itu mendapat tentangan dari beberapa negara, namun pemerintah
Indonesia meresmikan deklarasi itu menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Wilayah Negara RI yang semula luasnya 2.027.087 km2 (daratan) bertambah luas lebih
kurang menjadi 5.193.250 km2 (terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah kira-
kira 3.106.163 km2 atau kita-kira 145%.Manfaat dari Deklarasi Djuanda ini berlanjut kepada
bertambah besarnya perairan laut Indonesia,disamping itu juga perairan laut indonesia yang
kaya akan hasil laut menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kaya akan hasil laut.
Sesuai data Konferensi Hukum Laut yang baru telah ditandatangani oleh 130 negara dalam
UNCLOS III (Konferensi Hukum Laut) di teluk Montenegro, Kingston, Jamaica, pada
tanggal 6 - 10 Desember 1982, yang memutuskan beberapa ketentuan untuk wilayah kelautan
di Indonesia:
1. Batas laut territorial selebar 12 mil.
2. Batas zona bersebelahan adalah 24 mil.
3. Batas ZEE adalah 200 mil.
4. Batas landas benua lebih dari 200 mil
Implementasi setelah deklarasi Djuanda dilihat dari tingkat perlindungan perbatasan
perairan masih belum maksimal dikarenakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah pertama, luasnya wilayah perairan Indonesia, kedua, ketimpangan infrastruktur
perbatasan perairan, dan ketiga, keterbatasan sumber daya manusia di perbatasan perairan di
Indonesia.

20
2.4 Jakarta Informal Meeting
2.4.1 Jakarta Informal Meeting (JIM) I
Sejak penggunaan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa internasional
dianggap tidak lagi rasional, maka penyelesaian sengketa bergeser kepada bentuk
penyelesaian dengan cara damai seperti negosiasi demi terp eliharanya perdamaian dan
keamanan dunia. Sehingga kondisi ini menyebabkan konflik dalam dunia internasional
biasanya diselesaikan melalui negosiasi di antara pihak yang berkonflik. Namun dalam
kondisi konflik yang berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi antar
pihak yang bertikai semata, maka diperlukan mediasi yang dilakukan oleh mediator untuk
membantu terciptanya resolusi konflik di antara pihak yang bertikai. Mediasi sendiri dapat
diartikan sebagai sebuah tindakan yang berkenaan untuk memunculkan intervensi demi
membantu menyelesaikan konflik dan sengketa di antara dua pihak atau lebih.
Di dalam mengimplementasikan tujuan berbangsa dan bernegara yang terkandung di
dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 yakni, ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
Indonesia turut berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik terlihat dari
keikutsertaannya pada Jakarta Informal Meeting atau JIM. Jakarta Informal Meeting
merupakan sebuah pertemuan yang diadakan oleh Indonesia dalam rangka untuk
menyelesaikan sebuah konflik. Pelaksanaan Jakarta Informal Meeting dilatarbelakangi oleh
adanya peristiwa penggulingan kekuasaan pemerintah yang terjadi di Kamboja. Peristiwa itu
terjadi saat perang antara Kamboja dengan Vietnam masih berlangsung. Konflik itu
mendorong Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaiannya. Jakarta Informal
Meeting dilakukan sebanyak dua kali. Jakarta Informal Meeting I dilaksanakan di Bogor pada
5-28 Juli 1988 dan Jakarta Informal Meeting II dilaksanakan di Jakarta pada 19-21 Februari
1989.
Perang besar yang terjadi antara Kamboja dan Vietnam selama bertahun-tahun
menyebabkan banyaknya korban jiwa. Konflik antara Kamboja dan Vietnam dipicu oleh
pergolakan dan besarnya ketegangan politik dalam negeri. Perang antara Republik Sosialis
Vietnam melawan Pemerintah Demokratik Kamboja berlangsung sejak tahun 1975. Puncak
penyerangan Vietnam terhadap Pemerintahan Demokratik Kamboja terjadi pada 25
Desember 1978 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Pol Pot. Berawal ketika terjadi
pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot.
Pemerintahan Pol Pot memiliki program menjadikan negara Kamboja sebagai negara agraris.

21
Tetapi program tersebut tidak berhasil sehingga menyebabkan kelaparan dan wabah penyakit
serta pembantaian massal oleh rezim Khmer Merah. Hal tersebut mengakibatkan
pembantaian warga keturunan Vietnam di Kamboja yang akhirnya membuat Vietnam
menyerang Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan pembantaian tersebut. Vietnam
mengirim 150.000 tentara untuk menyerang Kamboja dan berhasil menjatuhkan
pemerintahan Khmer Merah. Lalu dilakukan pengangkatan pemimpin Kamboja dibawah
kekuasaan Vietnam yaitu Heng Samrin. Sejak itu, terjadi perang saudara antara kelompok
bersenjata di Kamboja dan pemerintahan yang didukung oleh pasukan Vietnam.
Perang antara Kamboja dan Vietnam mengakibatkan terancamnya keamanan politik
di kawasan asia tenggara. Konflik di Kamboja yang berkepanjangan membuat negara-negara
di asia tenggara yang bergabung dalam ASEAN mendukung dan mempercayai Indonesia
sebagai penengah dalam menyelesaikan proses perdamaian di Kamboja. Pemerintahan
Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri yaitu Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja
terus berusaha untuk kemungkinan terjadinya proses perdamaian di Kamboja. Akhirnya pada
tahun 1988, pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Menteri Luar Negeri yaitu Ali Alatas
berhasil menyelenggarakan pertemuan antara pihak-pihak yang bertikai di Kamboja.
Dalam pelaksanaannya, Indonesia berupaya untuk menjadi pihak sentral. Hal itu
dilakukan untuk melancarkan upaya penyelesaian konflik antara Kamboja dan Vietnam. Pada
JIM I yang dilaksanakan pada bulan Juli 1988, masing-masing pihak yang terlibat konflik
mengirimkan perwakilannya. Pihak Indonesia diwakili oleh Mochtar Kusumaatmadja,
Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja diwakili oleh Norodom Sihanouk, pemerintah
Vietnam diwakili oleh Nguyen Co Tach dan Republik Rakyat Kamboja diwakili oleh Hun
Sen. Dalam JIM I, Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja yaitu Norodom Sihanouk
mengusulkan tiga tahap rencana untuk menyelesaikan Perang Indocina III. Tiga usul tersebut
yaitu melakukan gencatan senjata antara kedua belah pihak Kamboja dan Vietnam,
pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan mundur
pasukan Vietnam dari Kamboja dan penggabungan semua kelompok bersenjata di Kamboja
ke dalam satu kesatuan. Usulan tersebut disetujui dan dibahas kembali dalam Jakarta
Informal Meeting II.

22
2.4.2 Jakarta Informal Meeting (JIM) II

Dalam pelaksanaan hubungan internasional, Indonesia tidak hanya aktif mengikuti


berbagai organisasi internasional. Namun, Indonesia turut serta dalam perdamaian dunia,
banyak peran penting yang sudah dilakukan Indonesia seperti Misi Garuda, dan Jakarta
Informal Meeting. Indonesia hadir dalam JIM untuk menyelesaikan konflik internal yang
terjadi di kamboja. Tindakan ini dilakukan Indonesia juga bertujuan untuk menjalin
hubungan apabila sewaktu – waktu Indonesia membutuhkan bantuan. Konflik kamboja
adalah salah satu contoh konflik internal yang memakan waktu cukup lama dan menelan
banyak korban sehingga peran pihak ketiga sangat dibutuhkan dalam penyelesaiannya.
Konflik ini pertama kali dipicu oleh bangkitnya pergolakan dan besarnya friksi
ketegangan politik dalam kamboja. Sihanouk yang diangkat sebagai Pangeran Kamboja
mendeklarasikan untuk pertama kalinya politik luar negeri Kamboja sebagai negara yang
netral sehingga ia berusaha untuk tidak terlibat dalam perang Vietnam yang tengah
berkecamuk. Namun keputusan tersebut ternyata malahmemancing reaksi negatif dari para
petinggi militer Pangeran Sihanouk yaitu Jenderal Lon Nol yang merupakan aliansi pro-
Amerika.Pada bulan Maret 1970, saat Sihanouk tengah melakukan kunjungan ke Moskow,
Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk menggulingkan Sihanouk dari tampuk
kepemimpinan. Sihanouk kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan
memutuskan beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan menentang pemerintahan Lon
Nol.
Khmer Merah dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan Lon Nol dan mengubah
bentuk kerajaan menjadi Republik Demokratik Kamboja yang dipimpin Pol Pot. Namun
kepemimpinan Pol Pot tidak membawa hasil yang baik melalui tragedy Cambodia The Year
Zero. Program ini membuat sekitar 3 juta rakyat kamboja tewas akibat kelaparan, wabah
penyakit, dan pembantaian.
Demi mewujudkan keinginan Vietnam untuk menyatukan Indochina dalam suatu
negara dibawah kekuasaan Vietnam, Vietnam memanfaatkan momen ini. Pada akhir 1978,
terjadi bentrokan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga
terjadi pembantaian orang – orang Vietnam di kamboja, sehingga Vietnam menyerang
kamboja dengan tujuan menghentikan genosida besar – besaran di kamboja. Invasi ini
berhasil menggulingkan Khmer Merah dan Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja
dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negara.

23
Pembentukan ini tentunya ditentang keras oleh kaum nasionalis kamboja, termasuk
sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk Coalition Government of Democratic
Kampuchea (CGDK). Perang yang menyebabkan kesengsaraan sangat memprihatinkan bagi
rakyat Kamboja inilah yang mendorong Indonesia memulai upaya mediasi untuk mencari
penyelesaian yang adil dan damai.
Pada Mei 1984 diadakan pertemuan tahunan ASEAN tingkat Menteri di Jakarta untuk
menindaklanjuti kasus ini. Pertemuan ini membahas penyelesaian konflik kamboja melalui
jalur damai dan Indonesia terpilih menjadi interlocutor antar ASEAN dan Vietnam. Pada
tahun 1988 Menteri luar negeri Ali Alatas bertindak sebagai tokoh kunci terhadap jalannya
proses mediasi, hingga tercapai lembaran baru bagi kamboja. Pada tahun 1988, dia
menindaklanjuti usulan Menlu sebelumnya Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal
di Jakarta. Ali alatas berkunjung ke ibukota negara – negara ASEAN dengan tujuan
membujuk negara – negara lainnya agar mengadakan pertemuan. Pertemuan pertama dikenal
dengan Jakarta Informal Meeting I dan pertemuan kedua dikenal dengan Jakarta Informal
Meeting II.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM
II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati
berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari
hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan
seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September
1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas
pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer
dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.
Keikutsertaan Australia dalam JIM II melalui perdana menteri Gareth Evans,
mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi:
1. Mendorong upaya gencatan senjata
2. Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik
3. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga kedaulatan
kamboja sampai pemilihan umum diadakan.
Demi lancarnya rencana maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan
internasional yang memiliki tanggung jawab untuk memantau jalannya proses perdamaian
ini. Selanjutnya adalah menentukan langkah-langkah tepat yang harus diambil guna
mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat
mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan adalah

24
kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional dalam rangka
pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara di kawasan dan
pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan
ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama
atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II.
Pasca Jakarta Informal Meeting mulai melibatkan negara–negara di luar ASEAN yang
menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai perdamaian kamboja telah mencapai tingkat
internasional. Indonesia yang berperan sebagai mediator memasuki tahapan yang lebih
progresif karena adanya partisipasi aktif PBB melalui dewan keamanan dalam berbagai
tahap mediasi. Pada tahun 1990-an diadakan Paris International Conference (PIC), PBB
menghasilkan Supreme National Council. SNC bertujuan menyelesaikan masalah dengan
damai yang menyeluruh.
Kemudian dalam rangka mematangkan kerangka kerja tersebut guna mencapai suatu
dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang menyeluruh terhadap konflik Kamboja, di
gelarlah Informal Meeting on Cambodia (IMC) I dan II di Jakarta. Akhirnya, setelah proses
perundingan yang panjang maka pada 23 Oktober 1991 dilaksanakan Paris International
Conference on Cambodia di bawah pimpinan Co-Chairman Indonesia dan Perancis yang
memberi hasil ditandatanganinya dokumen perjanjian Paris. Isi perjanjian ini adalah kamboja
akan diberikan ketentuan untuk mempromosikan rekonsiliasi nasional. Lalu, untuk
memastikan pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri, rakyat kamboja akan melaksanakan
pemilihan umum yang bebas dan adil. Pihak internasional juga akan melakukan gencatan
senjata dan menangani perlindungan Hak Asasi Manusia. Kesepakatan ini akhirnya menandai
perjuangan akhir dari upaya perdamaian di Kamboja dan memulai pemerintahan baru.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perdamaian dan keamanan internasional merupakan hal yang sangat penting bagi
suatu negara. Sebab hal itu dapat membuat warga negara merasa nyaman dan tenteram ketika
menduduki negara tersebut. Tak heran, jika banyak negara pun selalu berupaya untuk
menciptakan perdamaian, bukan saja di negaranya sendiri tetapi juga di dunia. Indonesia
salah satunya, yang memiliki peran aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.
Perdamaian dunia sendiri, seperti diketahui, merupakan sebuah gagasan kebebasan,
perdamaian, dan kebahagiaan bagi seluruh negara dan/atau bangsa. Perdamaian dunia
melintasi perbatasan melalui hak asasi manusia, teknologi, pendidikan, teknik, pengobatan,
diplomat dan/atau pengakhiran seluruh bentuk pertikaian.
Indonesia sendiri, sebagai negara yang berdasarkan hukum, tak kalah memiliki peran
dalam menciptakan perdamaian dunia. Keikutsertaan Indonesia untuk menciptakan
perdamaian dunia ini mengacu pada amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu dalam rangka mewujudkan
perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Melihat betapa pentingnya partisipasi suatu negara di dalam perdamaian dunia, kita sebagai
bagian terkecil dari suatu negara juga dapat menciptakan perdamaian di lingkungan kita,
melalui mengikuti peraturan dan norma yang ada, ikut serta dalam organisasi yang ada di
masyarakat, bahkan hingga dengan ikut dalam gotong royong ataupun siskamling yang
merupakan kegiatan kemasyarakatan yang juga berdampak besar bagi kehidupan kita.

26
Daftar Pustaka
Suhardi. 2010. Serba Tahu tentang Dunia. Yogyakarta: Pustaka Anggrek
Prasetyono, Tri. 2020. Mengenal ASEAN dan Negara-negaranya. Semarang: ALPRIN
https://asean.org/what-we-do (diakses pada 2 februari 2023)
Samsul. 2016. Excellent Sejarah Bandung:Yrama Widya
https://doc.lalacomputer.com/makalah-oki-organisasi-kerjasama-islam/

https://doc.lalacomputer.com/makalah-oki-organisasi-kerjasama-islam/

https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fdocplayer.info%2Fdocs-images
%2F65%2F53746637%2Fimages%2F3-0.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fdocplayer.info
%2F53746637-Bab-i-pendahuluan-oki-merupakan-kependekan-dari-organisasi-kerjasama-islam-
berganti-
nama.html&tbnid=MGQNYcCHcNiMWM&vet=1&docid=3kCd2hD6SwgZaM&w=689&h=411&hl
=in-ID&source=sh%2Fx%2Fim

https://www.zenius.net/blog/oki-organisasi-kerja-sama-islam

https://kemlu.go.id/portal/id/read/129/halaman_list_lainnya/organisasi-kerja-sama-islam-oki

http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?
article=386972&val=8521&title=IMPLEMENTASI%20DEKLARASI%20DJUANDA
%20DALAM%20PERBATASAN%20PERAIRAN%20LAUTAN%20INDONESIA

file:///Users/artaeka/Downloads/3780-11284-1-SM%20(1).pdf

A.R, M. (2009). Universitas Indonesia. Peran Indonesia Dalam ..., 1-24.Aqil, A.


(t.thn.). http://eprints.umm.ac.id/27852/2/jiptummpp-gdl-achmadaqil-32160-2-bab1.pdf
Kharti, I. S. (2018, Mei 14). Sejarah Kelas 12 | Peran Indonesia dalam
Menjaga Perdamaian di Asia
https://blog.ruangguru.com/peran-indonesia-dalam-menjaga-perdamaian-di-asiaYusof
Ishak Institute - ISEAS. (Juni 1989). Contemporary Southeast Asia Vol. 11, No. 1.
Consensus Statement of the Chairman of the Jakarta Informal Meeting , 107-111
Yet Stone Channel. 2021. _JIM (Jakarta Informal
Meeting)_. https://www.youtube.com/watch?v=fPLwreJW1IY, diakses pada Minggu, 12 Februari
2023 pukul 11.30
https://bpkpenabur.or.id/bekasi/smak-penabur-harapan-indah/berita/berita-lainnya/
peran-indonesia-dalam-menciptakan-perdamaian-di-kamboja-melalui-jakarta-informal-
meeting

27
28

Anda mungkin juga menyukai