Anda di halaman 1dari 29

KAJIAN NASKAH

BABAD BEDHAHING
MANGIR
KAJIAN NASKAH
BABAD BEDHAHING MANGIR

Penanggung Jawab:
Much. Guntari, S.H.

Tim Pengkaji:
Djoko Dwiyanto
Bugiswanto
H. Pardiyono

Program Kegiatan Pengkajian Koleksi


MUSEUM NEGERI SONOBUDOYO
DINAS KEBUDAYAAN
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2013
Babad Bedhahing Mangir | 3

Pengantar

Sesuai dengan Program Kerja dan Kegiatan yang telah


disusun oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta
melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum
Sonobudoyo, maka pada tahun anggaran 2013 ini Pengkajian
Benda Koleksi Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta
diarahkan pada koleksi filologika, khususnya Babad Bedhahing
Mangir dan Serat Kawruh Kalang. Naskah Babad Bedhahing Mangir
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan memfasilitasi
bagi pengguna sumber belajar di Museum Negeri Sonobudoyo,
baik pelajar-mahasiswa maupun peneliti pada umumnya
tentang tokoh sejarah yang pernah ikut mengisi panggung
sejarah di wilayah Yogyakarta. Sumber sejarah berbasis naskah
Babad sangat perlu dilakukan, karena selain dapat memberikan
tambahan wawasan dan warna pembahasan terhadap topik atau
pokok bahasan suatu peristiwa sejarah, juga karena semakin
langkanya pengkaji naskah-naskah babad sejarah. Oleh karena
itu, pengkajian Babad Mangir ini selain bernilai akademik,
4 | Museum Sonobudoyo

khususnya bidang kajian filologi, juga diharapkan dapat


bermanfaat bagi masyarakat pemerhati dan berfungsi sebagai
informasi serta publikasi kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara itu, Serat Kawruh Kalang yang dikaji oleh Tim
lain, diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan
pertimbangan dalam upaya pelestarian tinggalan arsitektur
tradisional melalui pengetahuan tentang arsitektur tradisional.
Secara praktis hasil kajian Serat Kawruh Kalang ini dapat
mendukung rencana penerbitan Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta tentang Pola Arsitektur Bangunan di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dengan demikian, hasil kajian kedua
naskah ini memilki manfaat pengembangan ilmu dan sekaligus
fungsi praktis. Sesuai pula dengan program kegiatan, pada saat
yang bersamaan, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta juga sedang mempersiapkan sebuah produksi film
semi dokumenter tentang Tokoh Ki Ageng Mangir Wanabaya,
sehingga hasil kajian Babad Bedhahing Mangir diharapkan juga
dapat menambah referensi dalam penulisan naskah cerita film
yang akan diproduksi. Selama ini, kisah tentang tokoh Ki Ageng
Mangir bertumpu pada naskah Babad Tanah Jawi (Raharjo, ed.
dkk., 2008), sehingga narasinya perlu pengayaan dari sumber
lain, yaitu Babad Bedhahing Mangir koleksi Museum Sonobudoyo.
Setelah dilakukan pengkajian terhadap Babad Bedhahing
Mangir, ternyata terdapat kisah tentang Ki Ageng Mangir
Wanabaya yang berguru kepada Seh Malaya. Oleh karena itu,
pada masa yang akan datang perlu dilakukan kegiatan
pengkajian terhadap kisah berbagai naskah karya sastra yang
berisi tentang kisah Seh Malaya ini.

Yogyakarta, 30 Agustus 2013

Tim Pegkaji
Babad Bedhahing Mangir | 5

Daftar Isi
PENGANTAR .................................................................................. 3

BAB I
DESKRIPSI NASKAH BABAD BEDHAHING MANGIR .......... 9

BAB II
PENGKAJIAN ISI BABAD BEDHAHING MANGIR .................. 13
A. Rangkuman Isi Naskah Babad Bedhahing Mangir
B. Latar Belakang Penulisan Naskah Babad Bedhahing Mangir
C. Penokohan Ki Ageng Mangir Wanabaya
D. Nilai-nilai Budaya yang terkandung dalam Babad Bedhahing
Mangir

BAB III
KESIMPULAN ................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 35

LAMPIRAN:
1. Transliterasi Babad Bedhahing Mangir ........................ 37
2. Foto Naskah Babad Bedhahing Mangir ........................ 107
Babad Bedhahing Mangir | 7

BAB I
Deskripsi Naskah Serat Babad
Bedhahing Mangir

1. Judul Naskah :
Babad Bedhahing Mangir
2. Tempat Penyimpanan :
Ruang Koleksi Naskah
3. Judul :
Babad Bedhahing Mangir
4. Penulisan judul Teks :
Babad Mataram
5. Nama Penulis : -
6. Tarikh penulisan : -
7. Tempat penulisan : -
8. Pemrakarsa Penulisan : -
9. Tarikh Penyalinan :
Awal Abad 20
10. Tempat Penyalinan :
Surakarta
11. Nama penyalin : -
12. Pemrakarsa Penyalin :
Paku Buwana IX
13. Tujuan penyalinan :
Untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi
8 | Museum Sonobudoyo

pada waktu yang telah berlalu


14. Keadaan Naskah :
Cukup baik tetapi banyak kertas yang terkena asam
dan halaman yang sudah rapuh
15. Penjilidan :
Kendor
16. Kertas :
Folio bergaris
17. Warna kertas :
Kecoklatan
18. Jenis Bahan Sampul Naskah Teks Serat Babad Mangir:
Kertas Karton
19. Jumlah Baris Setiap Halaman :
17 baris
20. Tebal Naskah :
1 cm
21. Ukuran sampul naskah :
21 x 34
22. Ukuran halaman :
21 x 33,5
23. Ukuran Teks :
13,5 x 23,5
24. Isi Naskah :
Peristiwa tertumpasnya Ki Wanabaya oleh
Panembahan Senapati
25. Jenis Naskah :
Sejarah
26. Bentuk teks :
Puisi / Tembang Macapat
27. Jenis Huruf :
Bata sarimbag
28. Jumlah pupuh :
11 Pupuh
1. Pupuh Dandhanggula
2. Pupuh Pocung
3. Pupuh Sinom
Babad Bedhahing Mangir | 9

4. Pupuh Kinanthi
5. Pupuh Pangkur
6. Pupuh Maskumambang
7. Pupuh Gambuh
8. Pupuh Mijil
9. Pupuh Gambuh
10. Pupuh Asmaradana
11. Pupuh Darma

29. Penomoran Halaman :


Asli memakai angka Arab
30. Karakteristik Huruf Teks:
Banyak tulisan yang tembus
31. Warna Tinta :
Hitam
32. Bahasa Teks Serat Babad Mangir :
Bahasa Jawa dan sering diselipkan kata-kata Jawa Kuna dan Arab.
Pembagian Halaman Serat Babad Mangir: Halaman ganjil di
sebelah kiri dan halaman genap di sebelah kanan.
33. Tulisan :
Tintanya banyak asam sehingga tulisan tembus
34. Letak Teks :
Lembar sisi kanan untuk halaman genap
dan sisi kiri untuk halaman ganjil
35. Jumlah Halaman Teks Babad Mangir :
Halaman yang ditulisi: ii , 1 – 98
36. Tanda Air/Cap Kertas : -
37. Wedana renggan (Hiasan gambar): -
38. Teks Babad Mangir Koleksi Sonobudoyo:
terdapat dua teks Babad Mangir
1. Babad Bedhahing Mangir kode Koleksi MSB S 55 / PBA 16
2. Cerita Babad Mangir kode koleksi: MSB. F 18 / PBB 17

Isi Cerita Babad Mangir:


Berawal dari keturunan Brawijaya IV
berakhir terjadinya pusaka Tombak Baru Kuping
Babad Bedhahing Mangir | 11

BAB II
Pengkajian Isi
Babad Bedhahing Mangir

A. Rangkuman Isi Naskah Babad Bedhahing Mangir


Dengan pupuh Dhandhanggula kisah Kyai Ageng Mangir
dimulai. Di dalam pupuh ini diceritakan kisah pada jaman
Mataram.
Sudah menjadi kenyataan bahwa pada zaman dahulu,
yaitu zaman Mataran, ada seorang pemuda ksatria, bernama
Kyai Ageng Wanabaya, tinggal di Desa Mangir, yang masih
termasuk wilayah daerah Mataram. Kyai Ageng Wanabaya
mempunyai senjata tombak bernama Kyai Barukuping yang
mempunyai kekuatan luar biasa. Senjata yang ampuh ini
menyebabkan Kyai Ageng Wanabaya merasa tidak perlu
memberi penghormatan kepada Panembahan Senapati, raja di
Mataram.
Sudah banyak sahabat kanan-kirinya mengingatkan
kepada Kyai Ageng Wanabaya agar memberikan penghormatan
kepada Panembahan Senopati di Mataram, supaya masyarakat di
Mangir dapat hidup tenteram dan damai. Daerah kanan-kiri
12 | Museum Sonobudoyo

Desa Mangir telah tunduk kepada Mataram dan apalagi Mangir


lebih kecil daerahnya dibanding Mataram.
Kyai Ageng Wanabaya berpendapat bahwa daerah
Mangir bukan milik kerajaan Mataram tetapi milik Tuhan dan ini
tanah leluhur dari orang tua kami. Kyai Ageng Wanabaya tidak
mau tunduk kepada sesama manusia, sehingga sahabat-
sahabatnya heran kenapa tidak memikirkan kesejahteraan
masyarakatnya.
Sudah tiba waktunya, Kyai Ageng Wanabaya
meninggalkan keduniawian pindah kedunia kapanditan.
Kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yang kemudian
bernama Kyai Ageng Wanabaya, seperti nama orang tuanya.
Tabiat anaknya juga seperti orang tuanya bahkan melebihi,
menuruti kehendaknya sendiri, sombong, angkuh bahkan berani
menentang Mataram.
Pada waktu itu Panembahan Senapati berkuasa di
kerajaan Mataram, resah memikirkan Kyai Ageng Wanabaya
yang tidak patuh dan mempunyai tombak Barukuping yang
sangat sakti. Di dalam suatu rapat paripurna Adipati Mandaraka
memberikan masukan agar Kyai Ageng Wanabaya tidak
diserbu tetapi melalui pendekatan diplomasi dengan dibujuk
saja.
Di dalam tembang Pocung Panembahan Senopati
menerima masukan dari Adipati Mandaraka. Dari hasil
musyawarah akhirnya diputuskan agar R.Ay. Pambayun yang
diberi tugas untuk melaksanakan siasat yang telah diatur oleh
para pembesar di Mataram. Siasat yang akan dijalankan dengan
cara mengamen wayang di daerah Mangir. R.Ay. Pambayun dan
teman-teman disuruh menggunakan nama samaran.
R.Ay. Pambayun patuh kepada perintah orang tuanya.
Sebelum berangkat menuju Mangir, Panembahan Senopati
berpesan, agar nanti setelah bertemu dengan Kyai Ageng
Wanabaya :
1. Jangan selalu menuruti kehendaknya Kyai Ageng
Wanabaya.
Babad Bedhahing Mangir | 13

2. Bujuklah Kyai Ageng Wanabaya agar bersedia


menghadap Panembahan Senopati.
3. Setelah bersedia menuruti permintaanmu, layanilah
Kyai Ageng Wanabaya sebaik-baiknya.
4. Kemudian carilah tombak Barukuping sampai ketemu
dan usapkaplah dengan pakaian dalammu sampai tiga
kali.
Setelah pesan-pesan itu disampaikan, Panembahan Senopati
kemudian menceritakan asal-usul tombak Barukuping.
Secara ringkas cerita itu adalah sebagai berikut. Pada
suatu waktu ada seorang gadis/endang hamil atas perbuatan
seorang pendeta/guru. Setelah lahir berupa ular. Setelah besar
ular menanyakan siapa ayahnya. Dijawab oleh Endang bahwa
ayahnya bertapa di puncak gunung. Ular pergi ke puncak
gunung, dan bertemu dengan sang Pendeta. Sang Pendeta tidak
mengakui kalau itu anaknya. Dia mau menerima jika naga dapat
melingkari puncak Gunung.
Di dalam tembang Kinanthi, diceritakan bahwa kurang
selangkah lagi dapat bertemu antara kepala dengan ekor. Agar
kepala dengan ekor dapat bertemu, maka lidah naga disuruh
menjulurkan. Setelah menjulur lidah naga dipotong oleh Sang
Pandita. Lidah naga oleh Sang Pandita ditaruh di atas pohon, lalu
menjadi mata tombak dan tangkainya. Jadilah tombak
Barukuping dan seketika itu Sang Pendeta menghilang.
Selanjutnya R.Ay. Pambayun dan rombongan berangkat
mengamen. Panembahan Senopati mengumumkan bahwa putri
Pambayun pergi meninggalkan kerajaan. Siapa yang dapat
menemukan akan dijadikan menantu dan diangkat menjadi
Adipati jika laki-laki.
Di dalam tembang Pangkur, R.Ay. Pambayun dan
rombongan meninggalkan kerajaan sampailah di Gunung Sewu.
Di gunung ini masyarakat baru menyelenggarakan bersih desa,
sehingga banyak yang mananggap wayang. Dari mulut ke mulut
terdengarlah oleh Kyai Ageng Wanabaya bahwa pertunjukan
wayang orang yang mengamen bagus dan sindennya cantik.
14 | Museum Sonobudoyo

Kyai Ageng Wanabaya menginginkan menanggap wayang.


Melihat permainan yang bagus dan sinden yang cantik, Kyai
Ageng Wanabaya akhirnya jatuh cinta kepada sang sinden.
Setelah itu bertemulah Kyai Ageng Wanabaya dengan
R.Ay. Pambayun. Dalam kesempatan ini digunakan oleh R.Ay.
Pambayun untuk mencari tombak Barukuping (Baruklinting).
Setelah tombak diketemukan, maka pesan Panembahan Senopati
dilaksanakan. Beberapa lama kemudian Pambayun berterus
terang kepada Kyai Ageng Wanabaya bahwa sebetulnya ia
adalah anak Raja di Mataram.
Di dalam Pupuh Mijil, dikisahkan bahwa Kyai Ageng
Wanabaya merasa terjebak, tetapi R.Ay. Pambayun dapat
menghibur dengan berkata semua dosa Kyai Ageng Wanabaya
saya yang menanggung. Dahulu pernah diumumkan bahwa
putri raja Mataram pergi. Siapa yang dapat menemukan akan
dijadikan menantu dan diangkat menjadi putra Adipati. Raja
Mataram akan senang, karena:
1. Mempunyai anak menantu yang terkenal di Jawa
2. Anak menantu keturunan pendeta terkenal
3. Prajurit yang gagah perkasa
4. Mempunyai sejata yang hebat.
Setelah mendengar perkataan R.Ay. Pambayun, Kyai
Ageng Wanabaya ingin menepati janji ketika jatuh cinta kepada
R.Ay. Pambayun, yaitu ingin menghadap raja Mataram.
Pambayun semakin leluasa berada di Mangir dan lama-kelamaan
dapat menemukan tempat penyimpanan tombak Barukuping.
Pada kesempatan ini dipergunakan untuk mengusap senjata
tombak Barukuping tiga kali, dengan pakaian dalamnya.
Selanjutnya di dalam Pupuh Gambuh diceritakan bahwa
dhalang dan niyaganya ternyata juga berpura-pura. Ki Dhalang
aslinya berasal dari Kediri. Pergi dari Kediri karena terjadi
peperangan. Dhalang bertemu dengan Pambayun di hutan dan
baru mengetahui jika Pambayun anak raja Mataram setelah
bertemu dengan Kyai Ageng Wanabaya.
Babad Bedhahing Mangir | 15

Di dalam Pupuh Asmaradana diceritakan bahwa Kyai


Ageng Wanabaya yang sudah beristri R.Ay. Pambayun ingin
berangkat ke Mataram menghadap dan mengantar istrinya.
Dhalang dan segenap niyaga ikut mengiringinya. Setelah
mengetahui hal ini, niyaga Sandimurcita memberitahu Adipati
Martalaya bahwa Kyai Ageng Wanabaya sudah dapat dibujuk
dan ingin menghadap Panembahan Senopati, maka semua
prajurit disiapkan. Kyai Ageng Wanabaya berangkat ke Mataram
bersama 20 prajurit yang membawa tombak Barukuping.
Di kerajaan Mataram semua hal telah dipersiapkan.
Sandiguna menghadap sang raja dan melaporkan Kyai Ageng
Wanabaya ingin menghadap Kanjeng Panembahan Senopati.
Kyai Ageng Wanabaya menyampaikan salam taklim, Pambayun
sudah menjadi istri Kyai Ageng Wanabaya, dan Kanjeng
Panembahan Senopati mengijinkan Kyai Ageng Wanabaya
menghantarkan putrinya dan menyerahkan hasil bumi Mangir.
Selanjutnya Kanjeng Panembahan Senopati menerima
semuanya dan merasa senang dapat mempunyai menantu yang
gagah perkasa. Suasana ini lah yang ditunggu-tunggu dan semua
peristiwa yang lalu telah dimaafkan.
Kemudian Adipati Mandaraka dan prajurit lainnya
disuruh menjemput di Bantul.
Di dalam Pupuh Durma diceritakan ketika Kyai Ageng
Wanabaya sampai di Bantul disambut suka cita. Tumenggung
Wiraguna memberitahukan bahwa setelah sampai di Mataram
Kyai Ageng Wanabaya akan disambut layaknya pengantin.
Dengan demikian Kyai Ageng Wanabaya akan lama tinggal di
Mataram. Oleh karena itu, prajurit Mangir tidak ikut ke Mataram,
sebaiknya kembali ke Mangir. Sampai di Mataram Kyai Ageng
Wanabaya dan Pambayun digandeng masuk ke kraton, dikawal
oleh P. Mangkubumi dan P. Singasari. Kyai Ageng Wanabaya
dan istri disambut dengan suatu pesta yang sangat meriah.
Setelah beberapa saat P. Mangkubumi mengumumkan bahwa
Kyai Ageng Wanabaya diangkat menjadi Adipati membawahi
daerah Kedu dan Begelen. Adipati Wanabaya dinobatkan
16 | Museum Sonobudoyo

dengan sebuah pesta pora yang meriah.


Seperti biasanya, Kanjeng Panembahan Senopati dihadap
para pembesar dan prajurit. Kali ini Kanjeng Panembahan
Senopati meletakkan tombak Kyai Pleret di atas batu tempat
duduk dan di bawah pahanya. Ketika itu, Adipati Wanabaya
menghadap dan ingin mencium lutut Kanjeng Panembahan
Senopati. Bersamaan itu lah nafsu amarah Kanjeng Panembahan
Senopati kemudian tumbuh. Tombak Kyai Pleret yang berada di
bawah paha kemudian dihujamkan ke dada Kyai Ageng
Wanabaya. Selanjutnya Kyai Ageng Wanabaya ingin menubruk
Kanjeng Panembahan Senopati, tetapi dapat dihindari dan
akhirnya jatuh terkena batu dan kemudian kepalanya diinjak
oleh Kanjeng Panembahan Senopati dan Kyai Ageng Wanabaya
tewas seketika. Setelah itu bumi Mangir dibagi menjadi tujuh
bagian dan dibagikan kepada prajurit-prajurit yang telah berjasa
membinasakan Kyai Ageng Wanabaya. (Koleksi Museum
Sonobudoyo: MSB S 55 / PBA 16).
B. Latar Belakang Penulisan Naskah Babad Bedhahing Mangir
Museum Negeri Sonobudoyo menyimpan beratus-ratus
koleksi naskah tulisan tangan, berbahasa Jawa, Jawa Kuna, Bali,
dan Bahasa Sunda. Secara ringkas informasi tentang koleksi
naskah Museum Sonobudoyo adalah sebagai berikut.
1. Koleksi naskah dengan kode PB, yaitu naskah yang
dahulu dimiliki oleh Panti Budoyo, yaitu sebuah yayasan
yang didirikan pada tahun 1930 untuk membantu dalam
pelestarian tradisi kesusastraan Jawa dengan jalan
membeli naskah dari berbagai tempat di pulau Jawa dan
Madura.
2. Koleksi naskah dengan kode SK, yaitu koleksi naskah
yang dahulu pernah digunakan sebagai sumber-sumber
penelitian dan dikumpulkan oleh Java Instituut.
3. Koleksi naskah dengan kode SB, yaitu naskah koleksi
Museum Sonobudoyo yang dikumpulkan oleh museum
sendiri, baik sebelum negara Republik Indonesia
Babad Bedhahing Mangir | 17

merdeka maupun setelah merdeka.


4. Naskah-naskah lontar koleksi Java Instituut. Koleksi ini
kebanyakan berasal dari pulau Bali, Jawa timur bagian
utara, dan Jawa timur bagian timur, dengan bahasa Jawa
kuna, Bali, dan Jawa.
Di antara sekian banyak naskah yang dimiliki oleh
Museum Sonobudoyo, terdapat naskah Babad Bedhahing
Mangir sebanyak dua eksemplar, yang pertama dengan
huruf Jawa dan berbahasa Jawa, berbentuk tembang
macapat dengan kode MSB S. 55. Naskah ini kondisinya
sudah rapuh dan sangat riskan (mengandung banyak
risiko) jika dilakukan pembacaan, karena huruf-hurufnya
mulai rontok dimakan usia. Naskah Babad Bedhahing
Mangir ini pernah ditransliterasi oleh Yacobus Mulyadi
pada tahun 1982, tetapi transliterasi ini dianggap kurang
tepat/akurat karena banyak terjadi penulisan dan
pemenggalan kata yang tidak taat asas dan kurang tepat,
sehingga sering terjadi lakuna atau peloncatan penulisan.
Naskah Babad Bedhahing Mangir yang kedua dengan kode
MSB F. 18 / PBB 17 diberi judul naskah Sorosilah Empu.
Naskah ini terdiri atas beberapa judul, salah satunya
adalah Babad Bedhahing Mangir.
Di dalam Kajian ini dipilih Naskah Babad
Bedhahing Mangir dengan kode MSB S. 55 dengan
maksud agar dapat mewujudkan pelestarian naskah,
sekaligus pendokumentasian isi dan makna yang
terkandung dalam naskah itu. Pada gilirannya, sesuai
dengan program kegiatan Museum Negeri Sonobudoyo,
seluruh naskah yang tersimpan di dalam koleksi museum
ini dapat menjadi sumber belajar bagi para pemerhati di
bidang kebudayaan, khususnya khasanah sastra Jawa.
C. Penokohan Ki Ageng Mangir Wanabaya
Di antara mitos yang berkembang di kalangan
masyarakat Jawa di wilayah budaya Jawa terkait dengan tokoh-
18 | Museum Sonobudoyo

tokoh yang berperan dalam panggung sejarah Kerajaan


Mataram, maka tokoh Ki Ageng Mangir dikesankan sebagai
tokoh yang antagonis. Tokoh ini hidup sezaman dengan
Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram (1470–1601M).
Di dalam mitos itu dikisahkan bahwa Ki Ageng Mangir, nama
yang lebih populer daripada Ki Ageng Wanabaya dari Mangir,
adalah tokoh “pambalela” terhadap kekuasaan Kerajaan
Mataram, yang sekaligus menjalin percintaan dengan putri
kerajaan yang bernama Putri Pembayun (putri sulung raja). Oleh
karena itu, kemudian diciptakan siasat penaklukan /
penangkapan terhadap Ki Ageng Mangir dengan menggunakan
umpan Putri Pembayun. Pada akhirnya, setelah wafat Ki Ageng
Mangir juga dimakamkan di kompleks makam raja-raja
Mataram, tetapi dalam posisi separuh badan (bagian dada dan
kepala) berada di kawasan makam dan separuh badan lainnya di
luar pagar makam.
Namun demikian, secara kronologis sebenarnya tokoh Ki
Ageng Mangir Wanabaya dapat dibagi dalam tiga fase atau
periode, yaitu periode pertama pasca Kerajaan Majapahit atau
bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintara (sekitar
1478 M). Periode Kedua saat babad alas Mangir dan menjadi cikal
bakal Dusun Mangir, dan periode ketiga saat mempertahankan
'kemerdekaan' Perdikan Mangir hingga harus berhadapan
dengan penguasa Mataram, yaitu Panembahan Senapati.
1. Periode awal Ki Ageng Mangir Wanabaya
Kisah ini dimulai dengan petualangan Ki Ageng
Megatsari yang memulai perjalanan dari wilayah Dander
Gunungkidul, setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Ia
mendapat wangsit agar pergi menuju Mangir, suatu wilayah
yang terletak di pinggir Sungai Progo. Secara genealogis
sebenarnya ia masih keturunan Raja Brawijaya V dari Majapahit.
Bumi Mataram dituju sebagai tempat 'lelana' salah satu
keturunan raja Majapahit pada saat yang bersamaan ketika
Raden Patah mendirikan Kerajaan Bintara Demak. Menurut
Babad Bedhahing Mangir | 19

Babad Tanah Jawi, pasca keruntuhan Kerajaan Majapahit, Sunan


Kalijaga telah menjadi guru dari para tokoh yang mendukung
berdirinya Kerajaan Demak Bintoro, di antaranya Ki Ageng Sela,
Ki Ageng Ngenis, dan anak cucunya Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng
Pemanahan, dan Mas Karebet yang berasal dari Tingkir yang
kelak dikenal dengan Sultan Hadiwijaya. Demikian pula di
wiayah selatan Pulau Jawa juga ada tokoh bernama Ki Ageng
Mangir Wanabaya yang berguru kepada Sunan Kalijaga dan
memperoleh pusaka Kiai Baru Kuping.
Selanjutnya dikisahkan, ketika konflik para tokoh Islam
dengan para pembesar Kerajaan Majapahit, Sunan Kalijaga telah
mengambil kebijakan untuk melerainya. Di antaranya Pageran
Sendang Sedayu diungsikan ke arah selatan bernama bumi
Mataram (dekat Mangir), Adipati Terung dipersilakan
menyeberang ke Demak Bintoro dengan pengatar surat dari
Sunan Kudus, dan Prabu Brawijaya V diungsikan secara diam-
diam ke tempat yang dirahasiakan (Raharjo, 2002: halaman 30).
Sebelum diungsikan Prabu Brawijaya memang telah menerima
'wangsit' yang mengisyaratkan bahwa sudah sampai waktunya,
sesuai janjinya, ia akan segera digantikan oleh putranya sendiri
yang bernama Dipati Nataraja (Raden Patah) yang didukung
oleh para Wali. Oleh karena itu, ketika ia meninggalkan Kerajaan
Majapahit hanya meninggalkan Permaisuri Dyah Ratu
Andarawati yang telah memeluk agama Islam.
Beberapa saat setelah Prabu Brawijaya V meninggalkan
kerajaan, Adipati Natapraja mengunjungi kerajaan Majapahit
untuk menghadap ayahandanya, terutama untuk menyelesaikan
kesalahpahaman dengan saudaranya (Adipati Terung). Tetapi,
ternyata kedatangannya disambut sukacita dan bahkan diikuti
dengan 'boyongan kedaton' dari Majapahit ke Demak Bintoro.
Dalam boyongan itu tidak hanya barang-barang berharga dan
bahan banguan untuk melengkapi bangunan Masjid Demak,
tetapi juga Permaisuri Dyah Ayu Andarawati ikut serta ke
Demak Bintoro dan akhirnya diperistri oleh Sunan Kudus hingga
wafatnya.
20 | Museum Sonobudoyo

Beberapa saat setelah berdirinya Kerajaan Islam Demak


Bintoro, maka para Wali kemudian mulai dengan menyebar ilmu
pengetahuan agama atau “mbabar pangawikan”. Di antara para
pengikut para Wali ini adalah tokoh-tokoh atau pemuka wilayah
yang pernah hidup pada masa Kerajaan Majapahit. Para tokoh
pada masa Kerajaan Majapahit disebut dengan Akuwu, sehingga
mereka berdomisili di Pakuwon. Gelar atau sebutan yang mereka
sandang adalah Ki Ageng. Ketika para Wali menyebarkan ilmu
agama Islam, maka para Ki Ageng ini juga ikut bangkit sebagai
agen-agen penyebaran agama Islam dengan cara mengembara.
Para Ki Ageng ini ketika mengembara akhirnya menempati
daerah-daerah yang subur dan pernah menjadi pemukiman
masyarakat masa Kerajaan Mataram Kuna. Di antara Ki Ageng
yang membuka kembali wilayah bagian barat Bengawan Solo
adalah Ki Ageng Pemanahan yang mendukung penuh pendirian
Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Selain itu
juga ada nama Ki Ageng Mangir yang menempati wilayah lain di
tepi Sungai Progo dan berdekatan dengan Samudra Indonesia. Ki
Ageng Mangir yang bernama asli Pangeran Megatsari (putra
Prabu Brawijaya V) inilah yang kemudian dikenal sebagai cikal
bakal Dusun Mangir.
2. Babad Alas dan Cikal Bakal Dusun Mangir
Kisah tumbuh dan berdirinya Dusun Mangir dimulai
dengan pelarian dua orang penting dari Majapahit, yaitu
Sendang Sedayu dan Adipati Terung. Ketika itu dalam
perjalanan mengembara mereka diberi bantuan oleh Ki Angeng
Mangir Megatsari. Perjalanan Sendang Sedayu ke Bumi Mataram
kemudian disusul oleh Adipati Terung, setelah menyesali
perbuatannya. Begitu mendalam penyesalannya sehingga dia
sempat mengganti nama dengan Panembahan Bodo, karena
menganggap perbuatannya yang bodoh itu. Tokoh ini kemudian
mendirikan Masjid dan Pesantren di Desa Pawijenan (sekarang
bernama Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul). Identifikasi tinggalan
Panembahan Bodo ini berupa kompleks makam Sewu dan
Babad Bedhahing Mangir | 21

Masjid Kauman yang terletak di Desa Wijirejo. Di antara tokoh


yang dimakamkan di kompleks ini adalah Raden Trenggono
putra Adipati Terung.
Di antara ratusan putra dan putri Prabu Brawijaya V,
terdapat dua nama yang terkait dengan wilayah Mangir. Putra
nomor 43 menurut Babad Tanah Jawi bernama Raden Jaka Balud
tidak lain adalah Ki Ageng Megatsari yang kelak bernama Ki
Ageng Mangir I yang menempuh perjalanan ke Bumi Mataram
dan menjadi salah satu murid Sunan Kalijaga. Nama lain adalah
putra nomor 26 bernama Raden Bondansurati yang memiliki
putra bernama Raden Jaka Umbul atau Raden Jaka Wanabaya.
Tokoh ini dalam perjalanan waktu diambil menantu oleh Ki
Ageng Mangir I (Ki Ageng Megatsari) dan meneruskan
pembangunan Desa Mangir dengan nama Ki Ageng Mangir II (Ki
Ageng Mangir Wanabaya). Tokoh ini lah yang kemudian
mengembangkan Desa Mangir yang telah dirintis oleh cikal-
bakalnya.
Daerah Mangir meskipun berdiri hampir bersamaan
dengan Kerajaan Islam Bintoro Demak, karena para tokohnya
sama-sama pelarian dari Kerajaan Majapahit, tetapi hampir tidak
pernah menjalin komunikasi dengan pusat kerajaan itu hingga
zaman Kerajaan Pajang di pedalaman. Oleh karena itu, penguasa
Desa Mangir dan segenap penduduknya seolah-olah benar-
benar menikmati suasana kenyamanan dan ketenteraman
sebagai daerah yang merdeka/otonom. Ki Ageng Mangir
berbeda dengan para Ki Ageng yang hidup di sekitar pusat
kekuasaan dan terlibat dalam lingkaran kekuasaan. Bahkan para
Ki Ageng ini ada yang berhasil menurunkan penguasa-penguasa
besar karena berhasil menghimpun wilayah yang lebih luas,
sumber perekonomian yang lebih banyak, dan membangun
pusat-pusat pemerintahan. Di antara mereka antara lain adalah
Mas Karebet (Sultan Hadiwijaya) dan Danang Sutawijaya
(Panembahan Senapati) (Raharjo, dkk., 2008: hlm. 63).
22 | Museum Sonobudoyo

3. Mempertahanan Kedaulatan Mangir Wanabaya


Pada masa peralihan dari Kerajaan Pajang menjadi
Kerajaan Mataram, maka Panembahan Senopati sebagai
penguasa baru tidak bersedia menempati kerajaan di Pajang,
tetapi lebih senang tinggal di Mataram. Demikian juga dalam hal
penggunaan gelar, dia lebih suka menggunakan gelar
Panembahan daripada Sunan, sehingga ia bergelar Panembahan
Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram (Raharjo, ed. dkk., 2008: hlm.
102). Gelar Panembahan memiliki arti yang lebih luas daripada
Sunan, yaitu selain sebagai pemimpin ia juga seorang guru dan
panutan masyarakat.
Pada masa awal Kerajaan Mataram, situasi politik juga
mempengaruhi suasana hubungan antara pusat dan daerah.
Pemerintah Pusat yang kala itu di bawah Pemerintah Kompeni
Belanda, lebih memusatkan perhatian terhadap pusat-pusat
kekuasaan tradisional sebagai penguasa daerah, yaitu kerajaan-
kerajaan di seluruh wilayah nusantara. Oleh karena itu,
hubungan antara pusat kekuasaan lokal (kerajaan) dengan unit-
unit kekuasaan di daerah jarang dipublikasikan secara luas. Salah
satu sejarah lokal yang tidak terlalu diperhatikan khalayak
adalah hubungan antara Kerajaan Mataram dengan penguasa di
sekitarnya, termasuk penguasa daerah Mangir.
Secara ringkas dikisahkan bahwa pada saat memerintah
di Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati sudah mendengar
bahwa di wilayah Bumi Mangir yang letaknya tidak terlalu jauh
dari Kerajaan Mataram, seseorang bernama Ki Ageng Mangir
Wanabaya telah berkuasa dan tidak mau tunduk kepada
kekuasaan Mataram (Raharjo, ed. dkk., 2008, hlm. 103). Beberapa
alasan yang digunakan untuk tidak mau tunduk antara lain
alasan keyakinan atau kepercayaan, mempertahankan tanah atau
wilayah yang telah dirintis oleh leluhurnya, dan merasa lebih
dahulu berkuasa di suatu wilayah yang independen atau
merdeka.
Sebenarnya Panembahan Senopati pernah memiliki
pengalaman dalam diplomasi untuk menundukkan penguasa
wilayah yang dianggap 'membangkang' atau mbalelo, yaitu ketika
Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, yang tidak bersedia
tunduk kepada kekuasaan Kerajaan Pajang. Cara yang dilakukan
pada saat itu adalah dengan kekerasan atau perang. Tetapi, dia
menginginkan bahwa upaya diplomasi yang akan dilakukan
terhadap Ki Ageng Mangir Wanabaya berbeda, harus lebih
manusiawi dan berbudaya. Pada akhirnya, Panembahan
Senopati mengutus putri kesayangannya, yaitu Putri Pembayun
(putri sulung) untuk menyelesaikan sikap Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Proses perundingan akhirnya dilakukan dengan
pendekatan diplomasi budaya, yaitu dengan mengirimkan misi
kesenian ke wilayah Desa Mangir. Misi perdamaian itu
dilakukan dengan penyamaran para punggawa sebagai seniman.
Adipati Martalaya berperan sebagai dhalang Sandiguna disertai
Putri Pembayun yang berperan sebagai Waranggana dan
dikawal seorang Bupati Wanita bernama Nyai Adirasa. Sebagai
penabuh gamelan adalah Ki Sandisasmita dan Ki Suradipa
sebagai penabuh kendang. Rombongan kesenian ini, ketika telah
tiba di Dusun Mangir, akhirnya melakukan pergelaran atau
'ngamen' bersamaan dengan penyelenggaraan acara 'merti
dusun'.
Secara ringkas dikisahkan bahwa Ki Ageng Mangir
Wanabaya IV yang memang masih perjaka terpikat pada
kecantikan Sang Waranggana yang duduk di belakang Ki
Dhalang Sandiguna. Setelah pergelaran Wayang selesai, maka
rombongan dijamu di rumah Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Benih-benih cinta antara Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan
Sang Waranggana (Putri Pembayun) yang tumbuh ketika itu
berujung pada pernikahan. Setelah direstui oleh kedua
orangtuanya, maka Sang Waranggana akhirnya menjadi Nyai
Ageng Mangir Wanabaya. Dengan peristiwa pernikahan itu,
maka secara politis sesungguhnya Bumi Mangir sudah menjadi
bagian dari wilayah Kerajaan Mataram. Tetapi, sikap Ki Ageng
Mangir Wanabaya yang dilandasi oleh keyakinan belum
24 | Museum Sonobudoyo

bersedia tunduk kepada kekuasaan Kerajaan Mataram.


Di dalam perjalanan waktu, akhirnya Ki Ageng Mangir
Wanabaya mengetahui bahwa isterinya adalah Sekar Kedaton
Kerajaan Mataram. Ia merasa bahwa tidak pernah tunduk
kepada penguasa Mataram, tetapi kenapa dapat menjadi
menantunya? Dengan berpegang teguh pada harga diri dan
pesan leluhurnya agar menjaga kemandirian Desa Mangir, maka
Ki Ageng Mangir Wanabaya sempat ragu-ragu untuk mengambil
sikap. Dia benar-benar berada di persimpangan jalan, antara
mengemban amanah leluhur untuk mempertahankan
kemandirian Desa Mangir dengan besarnya benih cinta yang
tertambat pada gadis yang bernama Putri Pembayun. Pada
akhirnya, Ki Ageng Mangir meyakini bahwa peristiwa ini
memang sudah suratan takdir Illahi. Buah cintanya ternyata juga
telah berwujud benih yang bersemi di dalam kandungan sang
isteri, Putri Pembayun atau Nyai Ageng Mangir Wanabaya.
Bujuk rayu sang isteri agar segera menghadap ayahandanya di
Kerajaan Mataram sangat menyulitkan posisi Ki Ageng Mangir
Wanabaya. Akhirnya ia telah menyiapkan diri untuk
menghadapi ayah mertuanya, Panembahan Senopati di Kerajaan
Mataram.
Ki Ageng Mangir Wanabaya akhirnya memenuhi
permintaan isterinya untuk segera menghadap mertuanya di
kerajaan Mataram. Ia tetap berbekal harga diri dan martabat
Bumi Mangir yang dilambangkan dengan membawa senjata
tombak pusaka Kiai Barukuping (Baruklinting). Di lain pihak,
persiapan yang diadakan di kerajaan Mataram untuk
menyambut kedatangan Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah
sebagaimana layaknya upacara 'ngunduh mantu'. Namun
demikian, skenario pertemuan itu ternyata telah diatur
sedemikian rupa. Rombongan Ki Ageng Mangir yang jumlahnya
sangat banyak ketika memasuki wilayah Kedaton dihentikan di
Bangsal Pacaosan. Mereka dijamu dengan makan-minum
sepuasnya, sehingga hanya kedua mempelai yang
diperkenankan memasuki lingkungan dalam istana. Pada saat
itulah dikisahkan terjadnya musibah, yaitu tewasnya Ki Ageng
Mangir di tangan mertuanya sendiri, yaitu Panembahan
Senopati. Sejak itulah kisah tentang 'pambalela' atau
pembangkangan oleh penguasa daerah Mangir telah berakhir.
D. Nilai-nilai Budaya yang terkandung dalam Babad
Bedhahing Mangir
Sebagaiamana diketahui, setiap karya sastra yang ditulis
pasti memiliki maksud dan tujuan agar dapat dibaca oleh
generasi berikutnya. Oleh karena itu, naskah karya sastra, lebih-
lebih karya sastra klasik, mengandung beranekaragam jenisnya,
antara lain berupa suluk, ajaran moral, dan kesenian. Demikian
pula naskah Babad Bedhahing Mangir, meskipun tokoh yang
diceritakan dikenal umum melalui narasi-narasi sejarah sebagai
tokoh antagonis atau 'pambalela', tetapi dalam pengkajian ini
ternyata juga dapat dijumpai nilai-nilai budaya yang patut untuk
disebarluaskan. Nilai-nilai itu antara lain adalah sebagai berikut.
1. Perjuangan yang dilakukan oleh Ki Ageng Mangir yang
diilhami dan didukung oleh para Wali pada hakikatnya
adalah penanda terjadinya perubahan budaya, terutama
berkembangnya pengaruh budaya Islam dengan
berdirinya kerajaan Bintara Demak.
2. Perjalanan petualangan Ki Ageng Mangir mulai dari
Majapahit, singgah ke Dender
Gunung kidul, hingga mengembangkan Desa Mangir
hakikatnya adalah 'ngudikawruh' memburu ilmu rasa
spiritual dan kanuragan. Olah rasa diperoleh atas
bimbingan para Wali hingga mencapai kesempurnaan
spiritual (karomah), sedangkan olah kanuragan
disimbolisasi dengan proses terbentuknya pusaka
Baruklinting (Barukuping).
3. Makna yang terkandung dalam pusaka Barukuping
adalah bahwa lidah dan teliga seseorang sebagai sarana
mengangkat derajat hidupnya, yaitu dengan perkataan
yang bijaksana dan pendengaran yang tajam terhadap
26 | Museum Sonobudoyo

lingkungannya.
4. Sebagai penerus dinasti Ki Ageng Mangir, maka dalam
mengemban amanah nenek moyangnya dalam
membangun Desa Mangir tidak diperkenankan
mengumbar hawa nafsu kekuasaan dan agar hidup
dengan corak gotong-royong, karena agama Islam tidak
membedakan sesama manusia kecuali amal baiknya serta
iman dan takwanya. Oleh karena itu, Ki Ageng Mangir
Wanabaya sangat terkenal santun dan menjadi panutan.
(Raharjo, ed. dkk., 2008, hlm. 100-101).
BAB III
Kesimpulan

Secara fisik kondisi Serat Babad Bedahing Mangir


meskipun sudah rapuh tetapi masih dapat dilacak bentuk
hurufnya sebelum aus sama sekali, sehingga mendesak untuk
segera dilakukan pengkajian. Upaya pengkajian dengan
melakukan alih aksara pernah dilakukan pada tahun 1982 oleh
Yacobus Mulyadi, tetapi hasilnya belum menggembirakan,
terutama karena kurang lengkap dan meloncat-loncat.
Pengkajian ini selain difokuskan pada isi dan arti penting naskah
Babad Bedhahing Mangir, sekaligus juga dilakukan revisi dan/atau
pembetulan pembacaan pada naskah aslinya. Hasil pembacaan
ulang, jika memungkinkan, akan disertakan sebagai lampiran
dalam pengkajian ini.
Seperti disebut di muka, bahwa tokoh Ki Ageng Mangir
Wanabaya yang dalam narasi sejarah selama ini sering
dikesankan sebagai tokoh antagonis atau “pambalela”, ternyata
melalui naskah Babad Bedhahing Mangir ini juga ditemukan
beberapa ajaran moral yang cukup penting sebagai suatu nilai
budaya. Ki Ageng Mangir Wanabaya merupakan tokoh pemuda
yang aktif, setia, dan patuh pada janji. Hal ini dapat diketahui
ketika Ki Ageng Mangir Wanabaya jatuh cinta kepada Rara
Pembayun. Pada saat itu Ki Ageng Mangir Wanabaya berjanji
akan bersedia menghadap Panembahan Senapati, jika Rara
Pambayun bersedia menjadi istri Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Selain itu, banyak nasihat yang telah dijalankan oleh Ki
Ageng Mangir Wanabaya walaupun dengan cara yang amat
susah dan berat. Misalnya, ketika harus bertapa di Gua Langse
selama empat puluh hari empat puluh malam, kemudian bertapa
di Gunung Mangir, dan juga bertapa di Gunung Merapi. Bentuk
perjuangan dengan bertapa itu menunjukkan betapa gigih dan
patuhnya pada nasihat para leluhurnya, jika akan memperoleh
hasil seperti yang dicita-citakannya. Salah satu ajaran moral yang
pantas dilakukan pengkajian lebih lanjut adalah dalam
pembentukan watak Ki Ageng Mangir Wanabaya yang gigih dan
pemberani melalui pendidikan dari Seh Malaya, terutama dalam
hal sarengat (syariah), tarekat, hakekat, dan makripat (ma'rifat).
Demikian lengkapnya tahapan ajaran dalam sufisme ini, maka
perlu pengkajian lebih lanjut terhadap Naskah Seh Malaya
meliputi siapa sebenarnya tokoh Seh Malaya dan apa saja Ajaran
dari Seh Malaya.
Pustaka Acuan

Mulyadi, Yacobus, 1982, BABAD BEDHAHING MANGIR, (Alih


Aksara), Yogyakarta: Museum Sonobudoyo (belum
diterbitkan).
Raharjo, M. Daim, ed. dkk., 2008, KI AGENG MANGIR. Cikal
Bakal Desa Tertua di Bantul, Team Projotamansari,
Yogyakarta: Yayasan Projo Tamansari, Bantul (Pengantar:
Prof. Dr. Damardjati Supadjar).

Naskah Koleksi Museum Sonobudoyo:

1. Babad Bedhahing Mangir kode koleksi:MSB S 55 / PBA 16


2. Cerita Babad Mangir kode koleksi: MSB. F 18 / PBB 17

Anda mungkin juga menyukai