Anda di halaman 1dari 35

Dalam dunia pengetahuan sejarah, babad merupakan karya penulisan sejarah (historiografi) tradisional

yang mulai muncul pada abad XVI-XIX, dengan focus ceritera pada ceeritera sejarah dari berbagai
masyarakat tradisional setelah tahun 1500-an. penulisan babad selain di Jawa juga terdapat di berbagai
daerah seperti Madura (babad Madura, babad sumenep) di bali (babad buleleng, babad bla batuh), di
Kalimantan dan Sumatra disebut Hikayat, atau sejarah (Hikayat Banjar, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah
Melayu) dan Sulawesi.

Secara etimologis babad berarti membuka, merambah, atau menebang pohon-pohon dihutan, kemudian
juga menangkas semak belukarnya. Itulah sebabnya barangkali pada umumnya babad menuliskan
ceritera tentang pembukaan suatu daerah atau hutan, kemudian didirikan suatu ibu kota kerajaan atau
pemerintahan diatasnya. Contohnya babad Majapahit, Babad Mataram, , Babat Kartasura, Babad
Pacitan, Babat Banyumas, dan lain-lain. Pusat ceritanya menitikberatkan pada hal ikhwal atau daerah
tertentu atau bersifat local, misalnya: Babad Pasuruan,Babad Demak, Babad Gresik, Babad Cirebon,
Babad Pacitan, Babad Banyumas, dan lain-lain. Ada pula babad yang ceriteranya menfokuskan pada
periode tertentu atau mempersempit rentang waktunya, dengan pokok ceritera yang berkisar pada
peristiwa-peristiwa tertentu, contoh : Babad Pacinan, Babad Palihan Nagari, Babad Pakepung, Babad
Trunajaya, Babad Dipanagara, dan lain-lain. Disamping penggolongan diatas adapula jenis babad yang
mempunyai ruang lingkup spasial maupun temporal hampir meliputi keseluruhannya, hingga babad
tersebut memilki jangkauan wilayah dan waktu paling luas, yaitu : Babad Tanah Jawi. Dalam hal ini Babad
Tanah Jawi lazim disebut sebagai “tradisi besar” sedangkan beberapa jenis babad lainnya yang berpusat
pada ceritera sezaman atau setempat dinamakan sebagai “tradisi kecil”.

Babad merupakan salah satu peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan yang digarap secara tradisional
(tidak menggunakan metode keilmuan yang bersifat analistis dan kritis-modern. Karena itu babad juga
disebut karya moder). Karena itu babad juga sering disebut sebagai karya penulisan sejarah tradisional,
isi atu muatan ceritera babad terdiri dari unsure sastra dan sejarah. Dengan demikian babad juga disebut
karya satra sejarah. Unsur sastranya terdiri dari mitos, legenda, biografi, ramalan simbolisme, pemali,
sugesti dan lain-lain unsur-unsur sastra ini kemudian dicampur adukkan dengan unsur-unsur sejarah:
misalnya : tokoh panembahan senopati (sejarah) diceritakan sebagai keturunan majapahit (sejarah)
lewat keturunan bidadari nawang wulan (mitos), lewat perantara andaru / pulung / cahaya dinyatakan
akan menjadi raja tanah jawa (ramalan). Senapati mendapat dukungan orang suci sunan kalijaga
(bagiografi) dan seterusnya. Adapun unsure-unsur sejarah yang akan digunakan terlebih dahulu harus
dibandingkan dengan sumber-sumber lain guna memperoleh kebenaran berdasarkan prinsip “coherence
theory of truth”
Meskipun babad sebagai sumber sejarah telah tercampur aduk dengan unsur-unsur satra yang bersifat
fiktif seperti telah dikemukakan , akan tetapi kenyataan menujukkan betapapun juga, penulisan sejarah
tradisional merupakan salah bentuk kesadaran, keinsyafan, dan usaha masyarakat tradisional abad XVI-
XVII untuk meneruskan tradisi masa lampaunya kepada generasi berikutnya. Halite disebabkan pada
masa prakolonial, di nusantara terdapat sebagai kesatuan sosio cultural yang ebrsifat local ayau regional,
seperti jawa, Madura, melayu, bugis, banjar dan seterusnya. Ternyata tiap-tiap system sisio cultural itu
meskipun memiliki pola hampir sama namun menunjukkan perkembangannya sebara khusus.

Di Indonesia terdapat suatu kontinum perkembangan kesatuan sosio cultural itu. Misalnya di Jawa ada
kontinuitas dari masyarakat zaman majapahit dan masyarakat jawa pada zaman mataram, masyarakat
melayu abadXVI sampai abad XIX, dan masyarakat bali sampai abad XIX. Dalam perkembangan dan
pertumbuhan sejarahnya dari yang masih seder4hana sampai yang telah berkembang sedemikina
komplek, kesatuan-kesatuan dan kebiasaan sosio-kultural yang sudah ada tidak hilang atau lenyap,
melainkan tetap berkembang, dan bahkan mengalami perkembangan sedemikian rumit seperti halnya di
jawa sesudah periode kartasura. Dalam hal ini penulisan sejarah tradisional seperti babad, menjadi
sarana pengabdian proses perkembangn tersebut. Wang gung wu menegaskan bahwa penulisan sejarah
tradisional, memeng bukan ditunjukkan untuk kepentingan sejarah akan tetapi penulisan itu dapat
dikatakan mendekati kesadaran asli dalam hal kesadaran sejarah masyarakat (zoon historican).

Sebagai karya yang mengandung unsure sejarah, babad juga disebut karya sastra sejarah karena adanya
paduan antara fiktif yang menjadi karya utama sastra. Karena tercampur aduknya antara unsure fiktif
dan unsure sejarah, maka sangat sulit untuk memisahkan mana yang dongeng, dan mana yang fact atau
sejarah. Maka apabila kitamenggunakan babad sebagai sumber sejarah, maka kita harus bisa
mengeluarkan dulu unsure yang bersifat fiktif itu. Karena itu ceritera dalam babad tidak bisa dipercaya
begitu saja.

Sebagai suatu karya penulisan sejarah tradisional, babad memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Merupakan ceritera tentang nenek moyang yang dijalin dalan dalam bentuk mitos dan legenda.

Fokusnya pada kehidupan ceritera, bukan pada kebenaran yang berlandaskan fakta-fakta.

Tinjauan sejarahnya berdasarkan kosmis-magic (kekuatan alam dan kekuatan gaib)

Pandangan bersifat mitis dan siklis, yang menganggap dunia sama dalam berbagai kurun waktu.

Pendekatan bersifat global dan bersifat umum (umume : Jawa) terdapat berbagai peristiwa dan
kehidupan.
Bila isinya disampaikan secara lisan atau ceritera dari mulut ke mulut ceritera itu disebut dengan tutur,
kandha atau tradisi lisan, yang dinamakan pula dengan leluri.

Karya Sastra Pada Masa Perkembangan Islam

Pengaruh Islam dalam sastra Melayu tidak langsung dari Arab, tetapi melalui Persia dan India yang
dibawa oleh orang-orang Gujarat. Dengan demikian, sastra Islam yang masuk ke Indonesia sudah
mendapat pangaruh dari Persia dan India.

Meskipun menurut sejarah, Persia dan India ditaklukkan oleh Islam, namun kebudayaan dari kedua
negara tersebut lebih besar pengaruhnya. Karya sastra masa Islam banyak sekali macamnya, antara lain
sebagai berikut.

a. Babad ialah cerita berlatar belakang sejarah yang lebih banyak di bumbui dengan dongeng.
Contohnya: Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Giyanti, dan sebagainya.

1) Babad Tanah Jawi

Kitab ini berisi silsilah raja-raja Jawa dimulai dari Nabi Adam sampai dengan Bathara Guru. Bathara Guru
bertakhta di Suralaya berputra lima orang di antaranya adalah Bathara Wisnu yang kemudian turun ke
dunia menjadi raja pertama di Pulau Jawa dengan gelar Prabu Set. Jadi, Bathara Wisnulah yang
menurunkan raja-raja Jawa.

2) Babad Demak

Kitab ini berisi tentang kisah berdirinya Kerajaan Demak yang dipelopori oleh Raden Patah dan Wali
Songo. Sebelum Kerajaan Demak berdiri, telah ada tanda-tanda yaitu pindahnya sinar cahaya kekuasaan
dari Majapahit ke Demak.

3) Babad Giyanti

Kitab ini berisi tentang perjuangan Pangeran Mangkubumi di Surakarta sampai dinobatkannya menjadi
Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Perbedaan;
Secara umum

perbedaan keempatnya bisa dilihat dari cara penuturan dimana Babad dan hikayat

ditulis dalam bentuk prosa sementara suluk biasanya ditulis dalam dua bentuk yakni macapat
(tembang/puisi tradisional jawa) dan prosa. Adapun syair ditulis

dalam bentuk puisi (bukan prosa).

Berdasarkan

sifatnya, maka babad dan hikayat dikategorikan sebagai historiografi

tradisional sementara suluk dan syair tidak termasuk ke dalam historiografi

tradisional.

Umumnya Babad dan

suluk dijumpai di tanah jawa sementara hikayat dan syair banyak dijumpai di

luar jawa.

Untuk memahami

perbedaan lebih lanjut keempat karya sastra ini, berikut penjelasan masing masing:
HIKAYAT

Hikayat merupakan

karya sastra islam dengan bentuk prosa yang isinya memuat kisah kisah,

undang-undang, silsilah, keagamaan bahkan sejarah. Isi hikayat sudah bercampur

dengan hal hal supranatural seperti mitos jadi sejarawan memilih tang

menggunakannya sebagai sumber sejarah. Hikayat ini dijumpai pada wilayah

melayu, di tanah jawa ia bernama babad.

BABAD

Babad merupakan

kitab sastra dalam bentuk prosa yang isinya menceritakan riwayat raja raja,

kisah raja raja dan lain lain. Tokoh yang diceritakan dalam babad ini dianggap

nyata hanya saja penokohannya sangat kental dengan hal hal berbau supranatural.

Oleh sebab itu beberapa sejarawan menolaknya sebagai sumber sejarah karena

ahistoris. Namun beberapa sejarawan juga tetap menggunakan babad (seperti babad

tanah jawi) sebagai sumber rujukan sejarah namun hanya bagian bagian yang

dianggap logis dengan pendekatan yang kritis.


Adapun contoh babad

adalah Babad Tanah Jawi yang berisi silsilah raja raja mataram kuno sampai ke

mataram islam. Babad tanah jawi ditulis oleh Carik Braja di tahun 1788 atas permintaan

Sunan Paku Buwono III. Contoh babad lainnya adalah babad demak, babad gianti

dan lain lain.

Babad dan hikayat

kurang lebih sama hanya saja babad adalah penyebutan di wilayah jawa sementara

hikayat adalah penyebutan di wilayah melayu.

SULUK

Suluk merupakan

kitab yang ditulis dalam bentuk prosa dan kadang macapat yang kental dengan unsur tasawuf atau halhal
kebatinan. Sifat pantheisme suluk sangat kental dimana di dalamnya

menjelaskan mengenai bersatunya manusia dengan Allah. Karena sifatnya yang

patheisme tersebut, suluk tak bisa dijadikan sumber sejarah.


Suluk banyak

dihasilkan oleh para pujangga juga para wali. Contoh suluk adalah tembang

tamsil gubahan sunan bonang, suluk sukarsa tentang hakikat pemimpin, suluk syarab

al asyiqin tentang tahap tahapan pencapaian makrifat dan lain lain.

SYAIR

Syair merupakan karya

sastra berupa puisi (bukan prosa) yang terdiri atas bait bait dan larik dengan

akhir kalimat dengan bunyi yang sama. Syair ini biasanya ditulis untuk

melukiskan suatu kejadian, sebagai sarana penyampai nasehat, kasih sayang dan

cinta, agama dan lain lain. Contoh syair adalah syair perang Banjarmasin, syair

perahu, syair siak sri indrapura dan lain lain.

Catatan:

Dalam buku pelajaran

sejarah, babad, suluk, hikayat dan juga syair disebutkan sebagai karya sastra

peninggalan islam di Indonesia. Namun keberadaan Babad harus digaris bawahi karena

sebelum islam datang, Babad di tanah jawa sudah ada misalnya babad pasundaan,

babad parahiyangan dll.

Mengenal dan memahami Babad

A. Pengantar

“Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih
sireng swagotra kabeh (Ramayana, I.4).”
Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis baru dalam berbagai bidang
kehidupan politik, sosial budaya, bahkan moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali.
Krisis tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal maupun internal, dan konflik
dapat memicu terjadinya disintegrasi.

Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat kaya dengan peninggalan budaya
atau warisan budaya masa lampau. Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara
berbagai jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah yang masih hidup dan
berkembang di tengah – tengah kehidupan masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai
dan peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan
tata pemerintahan, adat istiadat, keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya.

Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini
merupakan perpanjangan masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada masa kini
semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan memperhatikan latar historisnya (kehidupan
masa lampau). Hal ini berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lampau, misalnya
tentang buah pikiran, pandangan, nilai – nilai yang pernah hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh
karena itu, babad mempunyai peranan penting.

Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah bagaimana cara kita memandang,
memahami, dan memerankan babad pada kehidupan ini? Hal inilah menurut hemat saya perlu
didiskusikan pada kesempatan ini.

B. Apa itu Babad

Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah – daerah lain, seperti Sulawesi
Utara, babad disebut lontara, di Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra,
dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan
sebutan kronikel (Soedarsono, 1985).
Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut Darusuprapta (1976), babad adalah salah
satu jenis karya sastra – sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, anatar lain
berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968)
menjelaskan babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu
bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat – sifat dan tingkat kultur
mempengaruhi dan bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur
yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih
berupa cerita daripada uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah.
Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik atau genealogik yang mengandung unsur –
unsur kesastraan. Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi, pada prinsipnya
babad merupakan teks – teks historis yang dikemas dengan unsur – unsur kesastraan.

C. Hakikat Babad

Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas dalam babad telah berpadu
dengan kreativitas. Maka realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah
mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan
menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah
dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan
makna lewat cerita. Oleh karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku dalam
kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian
makna dan eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara faktual tetapi
masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam
tegangan history dan story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan
dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak
tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap, selalu
fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama
penting dan relevennya. Ia harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga
cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah
manusia yang latar belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh
pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio – budaya pada masa dan masyarakat
tertentu (Teeuw, 1988).
D. Sifat Babad

Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas, maka babad memiliki sifat – sifat
sakral-magis (dikramatkan), religio-magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan
alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa), hagiografis (mengandung kemukjizatan
menyimpang dari hukum alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat atau
bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan, suara gaib, tabir mimpi), istana sentris
(berpusat pada kerajaan), pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal (bersifat
kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).

E. Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada hakikatnya merupakan penafsiran
terhadap kenyataan, alternatif kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan itu,
makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya
kiranya babad dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara
masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep –
konsepsi sosio-religius yang mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari segi
proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai
interaksi simbolik. Babad sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu sama lain
atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan
budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam menanggapi
kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dipandang
sebagai suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks
inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan
dapat dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan mengingat
peristiwa – peristiwa historis dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat
memahami dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi
babad hendaknya dipahami sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad
memiliki hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal ini karena dalam
ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta
dan data yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi
pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam
babad sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik sumber, babad dibaca
berdampingan dengan sumber – sumber lainnya.

Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan
pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu, fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan)
asal – usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal lainnya. Sehubungan dengan
fungsi legitimasi inilah faktor – faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan
satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat dibutuhkan
dalam upaya menambah kakramatan dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.

Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu kepercayaan (sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus
ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal
maka tak sayang) orang tersebut hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya
kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula diamanatkan dalam petikan Kekawin
Ramayana di atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang
Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa
kepada Tuhan (bhakti ring dewa).

Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan (pratisantana) dalam menjalankan
kewajiban masing – masing. Dalam tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk
penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan
kristalisasi pandangan hidup dan ajaran – ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan
demikian karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan,
kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk
lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial.
Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap
linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali sebagai makhluk sosial. Dalam
tataran ini babad merupakan kepaduan antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan
usaha pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun Tuhan dalam satu
keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling
murni yang tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur pada masa lalu). Akan
menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang
babad sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk pelaksanaan dharma masing –
masing (dharma agam dan dharma nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur
itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang diberi makna pada
masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat
pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka
mereka akan menikmati haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman
dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak dan melupakan kewajiban apa yang
diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun eksaternal.

Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni yang lain, seperti seni
pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali
mengambil sumber pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih
dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya
kesinambungan yang mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme,
hagiografi, mitologi, dan sugesti.

PEMBAHASAN

BABAD PASEK

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan
selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung
Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara
Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana
menggoyangkan nusa ini.

Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka
berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan
Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga
Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis
Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.

Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang
hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai
angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman –
dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air
salodaka (air belerang) dari sana.

Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima
(Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak
keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus
menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu
berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.

Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang
Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya
engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.

Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya Tuhanku
Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami
masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami
tempuh”.

Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya
segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.

Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading,
kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir
berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.

Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para
Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku
telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana, menyertai anakku
Hyang tiga itu”.

Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang
berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini
diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah duduk
sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena raja itu
selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa dan kawitan – kawitan.

Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya
mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini
berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian datanglah
orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong,
membawa sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau orang Bali, akan pergi
kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”

Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke Dalempuri,
mempersembahkan bakti kepada Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem?
Apa yang engkau minta disana?”

“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam –
tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab orang –
orang Bali.

Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak
mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak
ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.

Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua
kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.

Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada
Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang sangat
panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha
patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka berdua menjadi
tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada hentinya sehingga
merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai Tukad
Petanu.

Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa -
dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan, karena
kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu mengertilah Bhatara bahwa
laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji –
panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang sangat besar dan mujarab
menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.

Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.

Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca
Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin
ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat.
Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya, supaya
mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan kependetaan. Jangan hendaknya anak
cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga –
moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu
diselenggarakan tempat – tempat pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula
tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca
Pandita itu diperciki tirtha Amertha baiknya.

Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang (kapu
– kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla)
tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).

Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di Pantai
Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan
tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud menyembah lalu berkata.
“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk
mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya dituntun oleh
adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat
yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus – putusnya
bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan filsafat mengenai Ketuhanan.

Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya
Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat

oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya
menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.

Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.

“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama –
sama duduk dengan kakak”!

Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah
pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian
seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.

Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana dan
Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa
kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan – akan
mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan
ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas dengan weda jaya – jaya,
selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru
berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik berdua”. Marilah sama- sama kita duduk
adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta
empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?
“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya
datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan,
Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci (Wijaksara).

Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta
empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan sekalian
orang sama girang menghaturkan sembah.

Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri seorang wanita
anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang Pamanea.
Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang
Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak
Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra bernama Mpu Wiradharma.

Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka
mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu
Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama Mpu
Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.

Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya
Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu
Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok rupanya, namanya masing –
masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni
Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.

Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi
Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki –
laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang perempuan bernama: Ni
Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan
Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya. Apabila salah seorang dari
keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku
dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang
hina.__
Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya di
Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang
panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan berperahu kayu pelud
yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang, silahkan
duduk”.

“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui kekuasaan
bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika
demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor ayam baru bertelur tiga
butir”.

“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan bhatin
hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu
datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga butir telur itu
ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur
ini?

“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman


pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur
yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah yang lahir dari
padanya”.

Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang dibicarakan
tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.

Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari
dalamnya”?

“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih dulu.
Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari
dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.

Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”
Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.

Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya
menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu
terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.

Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta
dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur
mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba persatukan
pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.

“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan
semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.

Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga
panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba
yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha Kamandalu
asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya
air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula: “Kakak pendeta telur yang
masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik –
baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru
pecah telur itu, memang benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang,
berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu
mengucapkan kutuk katanya.

“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian tidak
boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka
kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa penyu bertelur di
daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan
kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu
Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali
dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage,
sedangkan Sugihan atau Ulihan Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.
Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa,
setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel
menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon diri daripada
kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah
selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan perjalannya ke Jawa
berparhyangan di Pejarakan.

Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan
maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan atau roh
suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu
Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua,
sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata.
Pada suatu ketika pada saat akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di
Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama
Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan
Mpu Dangka.

Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun
(Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari
Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba maksudnya kita harus
berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”.
Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka kakak, marilah
berkemas berangkat”.

Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih
untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari
Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.

Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi
sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali
menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap roh – roh
suci leluhurnya).
Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak
dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi
Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).

Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika
bernama Ni Dewi Adnyani.

Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna
Dewi Sumanggali.

Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu
Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.

Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu
bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya
Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.

Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya
Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.

Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan dua
pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya masing –
masing.

Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang Hyang
Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.

Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak
melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang,
seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu
Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu
berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira Ragarunting.

Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki
bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.

Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat melakukan
dharma kepanditaan.

Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha, diusir
oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma,
Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi dari Daha disertai oleh
anak cucunya berasrama di Tumapel.

Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu
Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu
Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara Majapahit, di sanalah mereka
berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).

Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang
bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya)
Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang laki perempuan
yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya Mpu
Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes, yang laki – laki bernama Mpu Purwa.
Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang
bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan
anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.

Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh
anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan bernama
Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang Wira dangka yang bernama
Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan
bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit, diceritakan setelah wafatnya Shri Aji
Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis
telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi
sepi negara Bali, pelaksanaan adat agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di
Pulau Bali.

Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara
supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di Gelgel, di
Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat keselamatan dan supaya menjadi
Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah
Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh anak istri dan putranya semua.

Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera
memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera
memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih. Orang – orang
Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing – masing.
Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik belang kalung.

Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa,
kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di
Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.

Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan, demikian
juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel, dan di Cilayukti,
mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel
membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu,

karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.

Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel.
Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta
mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di Bali.
Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura
lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan lainnya.
Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para
leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya
mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri yaitu cucunya Sang
Mpu Prateka.

Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki bernama Kyai Smaranatha beristrikan
cucunya Mpu Wiradangka bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare Angon.

Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa Manikhyang lalu berputra dua orang
laki – perempuan. Yang laki – laki bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama Ni Luh
Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya bernama I Pasek Gelgel. Demikian
riwayatnya dahulu keadaan para Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun – turunannya tidak taat
kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang menjadi orang tani. Disebutkan pula
anaknya Mpu Ketek bernama Arya Kepasekan. Anaknya ini beranak pula 2 orang laki perempuan, yang
laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh
Gusti Pasek Agung Subadra berputra 2 orang laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar.

Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang Kulputih saudara dari mangku Sang
Kulputih, adalah seorang anaknya bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung Subadra
berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung Pasek Subadra. Dan putranya Mpu
Kananda dulu yang bernama Mpu Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang Kulputih, Sang Kulputih ada
dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh Sorga, bertempat tinggal di desa Sorga
sama –sama taat beryoga semadi di Besakih. Sekalian turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang
Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana bernama Mpu Wiranatha telah bernama Mpu Purwanatha,
Mpu ini berputra bernama Arya Tatar. Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya
bernama De Pasek Tatar. Apa sebabnya demikian, karena lahirnya dahulu dari seorang perempuan dari
Shri Aji Tatar.

Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama: Mpu Lempita, Mpu Panandha,
dan Mpu Pastika.

Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di Cilayukti melakukan yoga sangat
taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu terhitung Kempiang dari
saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan anaknya Arya Tatar lalu bernama
Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan Patih oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan
Dalem Masula – Masuli dulu.

Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran Tangkas sedang remaja putri, diambil
istri oleh Kyai Pasek Agung Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri Agung merasa akan
diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia beramanat kepada I Gusti Agung Pasek Gelgel
katanya: “Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapa menyerahkan
diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada
seorang anakku perempuan saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapa akan berikan kepadamu
Gusti Agung.

Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba sedikit serta pelayanan 200 orang,
semuanya itu anakku mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian apabila bapa
pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan upacara jenazahku. Yang penting permintaanku
adalah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu sendiri. Dan peringatanku
kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya Pangeran Mas kepada leluhur kita, yaitu supaya
jangan putus turun – turunan kita dengan sebutan Bandesa. Sebabnya ialah supaya mudah oleh beliau
kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir dari beliau.

Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa minta kepadamu, bila kemudian
ada anugerah Tuhan kepadamu terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh Tangkas,
supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu sampai kemudian, supaya mudah leluhur
kita mengingati turun – turunannya nanti di Sorga.

Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek Gelgel
belum berani memutuskan sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan suadara – saudara
sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian saudara – saudaranya, maka ketika itu barulah I
Gusti Pasek Gelgel menurut katanya Gusti Tangkas Kori Agung.

Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh Tangkas dengan upacara yang besar
dan meriah. Kecuali dari sanak saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang yang turut
memeriahkan perkawinan itu.
Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang banyak, selalu menjadi tangan kaki
Dalem, pengatur balai Agung di pelosok desa di Bali.

Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang sulung bernama De Gurun Pasek
Gelgel menjadi kepala pengatur Bale Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek Togog menjadi
pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal Rajapurana, ahli kependetaan dan segala
pengetahuannya terutama upacara jenazah serta adat penyelesaiannya, sampai kepada kemoksaan dan
kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya laki – laki yang sulung bernama I Dukuh
Ambengan, adiknya De Dukuh Sabudi yang bungsu Dukuh Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan
kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak bernama De Dukuh Prawangsa, semua
mengembangkan turunan, semua itu berasal dari satu kawitan.

Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh Tangkas Kori Agung berputra empat
orang laki – laki, yang sulung bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa Tangkas, I Nyoman Pasek
Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.

Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh Dalem ke desa – desa yaitu: I Bendesa
Muncan membukti sawah winih 50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa Sebetan mabukti
winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa Sangkiding mabukti winih 50, I Bendesa
Sabegan mabukti winih 50, I Bendesa Timbrah mabukti winih 50, yang bernama Atakapi. Dan I Bendesa
Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih 50, adapun I Bendesa Manikan mabukti winih
100, I Bendesa Ujung mabukti winih 50.

Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale Agung yaitu: I Pasek Budaga, De Pasek
Sangkan Buana, De Pasek Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek
Bebetin, dan De Pasek Depaa.

I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan Pasek Akah, I Pasek Tabola, I Pasek
Wangsian. Adapun De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek
Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran, semuanya itu turunan De Pasek
Gelgel.

Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi Tohjiwa, anak – anaknya juga
banyak, semuanya menjadi penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.
Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya, adiknya bernama De Pasek
Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah, De Pasek ring
Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De Pasek Pupuan, De Pasek Sanda, sekian
jumlah turunan Kyai Pasek Tohjiwa.

Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari Gelgel menuju Bale Agung di
seluruh Bali. Anaknya tertua bernama Pasek Padang Subadra, beruma di Padang, menyelenggaraan Pura
Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura Dalem menjadi Pamangku, sebab
itu bernama Dukuh Suladri. Semenjak itu bernama Dalem Suladri.

Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek Dukuh Pahang, De Pasek
Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De Juntal.
Demikian banyak turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya bercabang ranting.

Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek Tatar, adik – adiknya Ki Pasek
Panataran di Desa Telengan, De Pasek Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale Agung, De Pasek
Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan turunannya.

Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung, De
Pasek prateka ring Akah, De Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.

Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin berkembang.

Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha menuju Majapahit menuju Danghyang
panataran, di sana berputra dua orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di tempat Dnaghyang
Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke Brambangan Keniten semuanya, diterima
oleh Dalem juru di Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan adalah timbul pertikaian – pertikaian,
sebab disangka permaisurinya Keniten menaruh cinta kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang
guna – guna, sebab itu harum bau keringatnya.
Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh istrinya mengarangkan hal dirinya
sebab itu ada termasuk dalam nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku tidak lain
permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.

Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali, mengendarai Waluhkele, tangan
dan kakinya digunakan dayung dan kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan jukung
bocor.

Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu saat turun Danghyang Nirartha di
Kapurancak yaitu di Pantai Pulau Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan memenuhi
kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem Baturenggong seakan – akan
Parupati.

Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu meneruskan perjalanannya ke daratan,


diiringi oleh istri dan tujuh orang anaknya.

Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena ditanya ditanya pendeta, menunjuk
arah ke Timur. Dalam perjalanan menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera besar
menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata: “Hai kera besar berikanlah kami
jalan.” Lalu kera itupun menghindarkan diri, maka pendeta beserta rombongannya melanjutkan
perjalannya.

Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar menghadang di perjalanan, mulutnya
menganga setinggi orang berdiri. Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam perutnya maka
dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian keluarlah beliau dengan wajah muka
yang hitam warnanya. Dengan hal yang demikian larilah anak istrinya kemudian warna muka pendeta itu
berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula anak istrinya, tetapi sayang seorang anaknya
hilang. Putrinya yang hilang itu bernama Ida Ayu Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu
merupakan orang halus yang luput dari umur tua dan mati. Beliaulah dianggap Dalem Melanting di
Pulaki. Demikian diceritakan.

Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani, dan kebetulan waktu itu orang –
orang desa Gadingwani diserang penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya (adem,
susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah Kepala Desa (Bendesa)
Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia menghadap
dengan sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya (diniksan).

Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di seluruh Desa Mas. Maka Pangeran
menghadap kepada pendeta, dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama
kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara). Demikianlah riwayatnya.

Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu ayahnya pergi ke Gelgel akan memberi
tirtha pembersihan (ndisain) Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di Banjarwani Tengah dulu, di
rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu ditinggalkan oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu
beliau mengutuk desa disana yaitu disebelah Utara Rambut Siwi, orang desa di sana sebanyak 800
perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya
jangan terus mengutuk desa itu, sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni Ayu Swabhawa tidak
meluluskan. Hanya ada pemberiannya yaitu santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati
bernama Canting Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana. Semua itu boleh dipakai
oleh Bedesa Mas dan turun- turunannya selama hidup dalam Pulau Bali.

Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh orang –
orang yang tidak kelihatan yang disebut Sumedang.

Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang Sidhimantra berputra seorang laki –laki yang
tabiatnya suka benar berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik Angkeran. Dahulu
semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian, sangat duka cita, lalu dicuri genta bajra
pendeta (ayahnya) yang bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali menuju Tolangkir yaitu: di
Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke ujung hidung (angkrana sika) pada sudut
sebuah goa, seraya membunyikan genta I Brahmana itu. Maak terdengarlah suara genta itu oleh Bhatara
Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar menjumpai orang yang membunyikan bajra itu,
katanya: “Apa sebabnya engkau Bagus datang ke Bali memanggil aku ini” Ida Manik Angkeran menjawab:
“Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin mohon bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu
menang dalam perjudian, untuk bekal ke Majapahit.

Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang dalam sambungan ayam supaya
banyak mendapat mas, pulanglah engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara mengulangi
sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari tempatnya akhirnya ia berkata:
“Ya Bhatara hamba ucapkan terima kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum hamba meninggalkan tempat
ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”

Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah bagian ke dalam goa, maka terlihat oleh
Manik Angkeran sebuah Intan besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga Raja. Gairah
hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak tertahan olehnya, lalu segera menghunus keris
pejenengan yang bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan kepada ekor Bhatara itu. Sekali
parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera diambil intan itu, terus dilarikan.

Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang demikian itu, segera bekas tapak kaki
Manik Angkeran itu dijilat yang sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar hangus menjadi
abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja tetap berduka cita.

Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan terjadi sesuatu bahaya yang menimpa
diri anaknya, karena tidak kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung ayam. Ketika itu
kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra hendak memuja, dicarinya genta bajra si
Brahmana sudah hilang, kian bertambah duka cita Sang Pendeta dan merasa dalam bathinnya: “Wahai
kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar
api.

Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali menuju ke Besakih. Di muka goa
Bhatara Naga Raja beliau memuja. Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta memuja,
tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya Bhatara Naga Basuki. Terlihatlah
oleh Bhatara seorang pendeta pucat lesi wajah durjanya bersanda: “Apa sebab Sang gede datang ke Bali
memujaku?”

“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab Bhatara Sidhimantra. Sabda
Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik Angkeran sangat
durhaka kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede? Apa ingin supaya ia hidup?
Saya akan meluluskan apabila Sang Gede dapat menyambung ekorku kembali sebagai sediakala.”

Demikian sabda Bhatara.


Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara
Naga Raja yang putus itu dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala tidak ada
cacatnya.

Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram Sang Gede, mulai saat ini berhenti
bernama Mpu Bekung, Mpu Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang lihatlah anak Sang
Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat abu anaknya, tampak sebuah intan di
dalamnya. Intan itu diambil lalu abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra. Seketika itu Manik Angkeran
hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu, segera bangun menggapai intan itu,
hendak melarikan diri. Danghyang Sidhimantra cepat berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan
yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang membawanya”.

Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar memperhatikan orang memanggil namanya.
Terlihatlah olehnya Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki. Manik
Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku Manik Angkeran, ketahuilah dirimu
bahwa engkau telah mati kemarin, disebabkan karena terlalu durhaka kepada Bhatara. Kini demi belas
kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada Bhatara supaya menjadi juru sapu
Bhatara Gunung Agung, diberi wewenang turun menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.

Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah, demikian pula terhadap Bhatara
Nagaraja. Danghyang Sidhimantra gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah menuruti
nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke Jawa. Setelah sampai di Pantai Desa
Gadingwani maka beliau berhenti berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika tidak dibuatkan empengan, tentu
I Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika (melihat ujung hidung) mempersatukan
bathinnya untuk mengadakan suatu ciptaan. Tiba – tiba Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu
digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu hubungan laut Utara dengan laut Selatan merupakan selat
kecil dinamai segara Rupet.

Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan
turunan – turunan Ida Manik Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.

Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas membuat pula pura disana diberinya
nama juga Bukeabe, yang patut diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama oleh
turun – turunan I Pangera Mas.
Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat dengan persembahyangannya
terhadap Pura Pule dan Bukeabe, seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut
kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan menyalahi tata tertib/susila, tidak putus –
putusnya dirundung kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam. Demikianlah amanat I
bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah engkau anak cucuku lupa terhadap amanatku ini”.
Demikianlah kata Bendesa Mas terakhir.

Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek dan I Bendesa Mas, yaitu:

Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana, menggunung pitu, ancak taman, kapas
warna sembilan, karang liman, memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap dengan
segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang, berkemul, terpana, paturalangan yang
berbentuk serba bintang, boleh dipergunakan nista media utar, matebas – tebas, utamanya dengan uang
8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.

Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus, Amanat paduka Bhatara Sakti
Wahurawuh demikian itu dinasehatkan oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.

KESIMPULAN

BABAD PASEK

Berdasarkan penjabaran Babad Pasek diatas dapat saya tarik kesimpulan:

1. Bahwa pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas dengan unsur – unsur
kesastraan.
2. Masyarakat Bali mengenal kawitannya berdasarkan fakta dan bukti – bukti yang ada bukan pada
khayalan dan cerita semata. Untuk itu semua babad yang ada di Bali pada dasarnya bersifat sakral magis,
religio magis, legendaris, mitologis, hagiografis, simbolis, sugestif, istana sentris, pragmentaris, raja
kultus, dan lokal.

3. Babad berfungsi antara lain yaitu:

a. Untuk melegitimasi (mengesahkan) asal – usul/silsilah leluhur, kejadian/peristiwa, desa, pura atau
hal – hal lainnya.

b. Sebagai penghormatan kepada leluhur.

c. Sebagai penuntun para keturunan dalam menjalankan kewajibannya masing – masing.

d. Sebagai sumber inspirasi seni.

Babad merupakan salah satu peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan yang digarap secara tradisional
(tidak menggunakan metode keilmuan yang bersifat analistis dan kritis-modern. Karena itu babad juga
disebut karya moder). Karena itu babad juga sering disebut sebagai karya penulisan sejarah tradisional,
isi atu muatan ceritera babad terdiri dari unsure sastra dan sejarah. Dengan demikian babad juga disebut
karya satra sejarah. Unsur sastranya terdiri dari mitos, legenda, biografi, ramalan simbolisme, pemali,
sugesti dan lain-lain unsur-unsur sastra ini kemudian dicampur adukkan dengan unsur-unsur sejarah:
misalnya : tokoh panembahan senopati (sejarah) diceritakan sebagai keturunan majapahit (sejarah)
lewat keturunan bidadari nawang wulan (mitos), lewat perantara andaru / pulung / cahaya dinyatakan
akan menjadi raja tanah jawa (ramalan). Senapati mendapat dukungan orang suci sunan kalijaga
(bagiografi) dan seterusnya. Adapun unsure-unsur sejarah yang akan digunakan terlebih dahulu harus
dibandingkan dengan sumber-sumber lain guna memperoleh kebenaran berdasarkan prinsip “coherence
theory of truth”

Meskipun babad sebagai sumber sejarah telah tercampur aduk dengan unsur-unsur satra yang bersifat
fiktif seperti telah dikemukakan , akan tetapi kenyataan menujukkan betapapun juga, penulisan sejarah
tradisional merupakan salah bentuk kesadaran, keinsyafan, dan usaha masyarakat tradisional abad XVI-
XVII untuk meneruskan tradisi masa lampaunya kepada generasi berikutnya. Halite disebabkan pada
masa prakolonial, di nusantara terdapat sebagai kesatuan sosio cultural yang ebrsifat local ayau regional,
seperti jawa, Madura, melayu, bugis, banjar dan seterusnya. Ternyata tiap-tiap system sisio cultural itu
meskipun memiliki pola hampir sama namun menunjukkan perkembangannya sebara khusus.

Di Indonesia terdapat suatu kontinum perkembangan kesatuan sosio cultural itu. Misalnya di Jawa ada
kontinuitas dari masyarakat zaman majapahit dan masyarakat jawa pada zaman mataram, masyarakat
melayu abadXVI sampai abad XIX, dan masyarakat bali sampai abad XIX. Dalam perkembangan dan
pertumbuhan sejarahnya dari yang masih seder4hana sampai yang telah berkembang sedemikina
komplek, kesatuan-kesatuan dan kebiasaan sosio-kultural yang sudah ada tidak hilang atau lenyap,
melainkan tetap berkembang, dan bahkan mengalami perkembangan sedemikian rumit seperti halnya di
jawa sesudah periode kartasura. Dalam hal ini penulisan sejarah tradisional seperti babad, menjadi
sarana pengabdian proses perkembangn tersebut. Wang gung wu menegaskan bahwa penulisan sejarah
tradisional, memeng bukan ditunjukkan untuk kepentingan sejarah akan tetapi penulisan itu dapat
dikatakan mendekati kesadaran asli dalam hal kesadaran sejarah masyarakat (zoon historican).

Sebagai karya yang mengandung unsure sejarah, babad juga disebut karya sastra sejarah karena adanya
paduan antara fiktif yang menjadi karya utama sastra. Karena tercampur aduknya antara unsure fiktif
dan unsure sejarah, maka sangat sulit untuk memisahkan mana yang dongeng, dan mana yang fact atau
sejarah. Maka apabila kitamenggunakan babad sebagai sumber sejarah, maka kita harus bisa
mengeluarkan dulu unsure yang bersifat fiktif itu. Karena itu ceritera dalam babad tidak bisa dipercaya
begitu saja.

Sebagai suatu karya penulisan sejarah tradisional, babad memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Merupakan ceritera tentang nenek moyang yang dijalin dalan dalam bentuk mitos dan legenda.

Fokusnya pada kehidupan ceritera, bukan pada kebenaran yang berlandaskan fakta-fakta.

Tinjauan sejarahnya berdasarkan kosmis-magic (kekuatan alam dan kekuatan gaib)

Pandangan bersifat mitis dan siklis, yang menganggap dunia sama dalam berbagai kurun waktu.

Pendekatan bersifat global dan bersifat umum (umume : Jawa) terdapat berbagai peristiwa dan
kehidupan.
Bila isinya disampaikan secara lisan atau ceritera dari mulut ke mulut ceritera itu disebut dengan tutur,
kandha atau tradisi lisan, yang dinamakan pula dengan leluri.

Anda mungkin juga menyukai