Anda di halaman 1dari 10

HUMANIORA

VOLUME 16 Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra


No. 1 Februari 2004 Halaman 17 - 26

SEJARAH / SASTRA
Kuntowijoyo*

ABSTRAK

Di Indonesia sejarah dan sastra menjadi satu dalam mitos sampai awal abad ke-20.
Ketika kesadaran mitis itu berakhir, keduanya berjalan senndiri-sendiri. Sekalipun keduanya
merekam realitas, tetapi sejarah adalah ilmu, sastra adalah imajinasi.
Sejarah dan sastra berbeda dalam struktur dan substansi. Dalam struktur sejarah ada
evidensi, informasi, fakta, dan berguna untuk menjelaskan realitas. Dalam struktur sastra
ada strukturalisasi kemungkinan, ekspresi, imajinasi, dan berguna untuk mengadili realitas.
Sementara itu, substansi sejarah adalah objektifikasi kehidupan karena ia harus sadar akan
perubahan. Sastra adalah subjektifikasi kehidupan dan acuannya adalah keabadian.

Kata kunci : kesadaran mitis - struktur - substansi - kesadaran historis - fungsi akademis
- fungsi sosial

PENGANTAR Sartono Kartodirdjo pada 1987, A. Teuw


menyimpulkan, “syukurlah ada sastra dan
ejarah sebagai ilmu hidup di tengah ilmu sejarah sebagai dua ragam peng-
dunia realitas, pekerjaannya ialah ungkapan persepsi manusia tentang dirinya”
merekonstruksikan realitas itu. (Teeuw, dalam Alfian dkk, 1987: 11-33).
Sastra sebagai seni hidup dalam dunia Katanya, orang yang ingin mencari informasi
imajinasi, pekerjaannya ialah meng- yang “tepat” tentang priyayi dapat membaca
ekspresikan imajinasi itu. Sejarah dan sastra buku Sartono Kartodirdjo dkk. mengenai
berbeda dalam struktur dan substansi. peradaban priyayi, sedangkan kalau orang
Perbedaan itu—sebagaimana dikatakan ingin mengetahui rekaman manusia dengan
oleh Thomas Clark Pollock dalam The latar belakang dunia Jawa dan kepriyayian
Nature of Literature, Its Relation to Science: dapat membaca novel Arswendo Atmowiloto,
Language in Human Experience—ialah Canting. Atau—artikel ini ingin menambah-
karena sejarah adalah referential symbol- kan—orang dapat membaca novel Umar
ism, sedangkan sastra adalah evocative Kayam, Para Priyayi, dan novel Kuntowijoyo,
Pasar.
symbolism (Pollock, 1965: passim). Seja-
Kedua jenis pengungkapan pengalaman
rah merujuk pada sesuatu di luar dirinya
itu di Indonesia menjadi satu sampai zaman
(referensi), sedangkan sastra merujuk pada
modern. Tidak seperti dalam kebudayaan
dirinya sendiri (ekspresi). Namun, keduanya Yunani, misalnya, sejarah dan sastra sudah
adalah symbolic form—istilah Cassirer— lama terpisah. Epos Homerus, Iliad dan
yang diciptakan manusia. Odyssey (perang antara Yunani dan Troya,
Justru karena perbedaan itulah kedua- mencapai bentuk final pada c. 800 BC) telah
nya saling melengkapi. Dalam sebuah mengindikasikan perpisahan antara dewa-
seminar untuk menghormati sejarawan dewa dan manusia, suatu hal yang terus

* Staf Pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

17
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

berlanjut dalam drama-drama Yunani. Kesa- adalah pengesahan atas dinasti Mataram.
daran mitis berakhir ketika orang mampu Di dalamnya ada klaim mengenai silsilah
membedakan antara “the I” dan “the thou” (Aku yang menyurut ke belakang sampai di satu
dan engkau), orang menemukan “the I”, pihak ada Nabi Adam, di lain pihak ada para
manusia sebagai pribadi (Casirer, 1972: 195- dewa. Kita baca, “Poenika sedjarahipoen
198). para ratoe ing tanah Djawi wiwit Nabi Adam
apepoetra Sis. Esis apepoetra Noertjahja,
KESADARAN MITIS Noertjahja apepoetra Noerasa, Noerasa
apepoetra sanghjang Wening, sanghjang
Menurut Cassirer kesadaran mitis Wening apepoetra sanghjang Toenggal.
adalah sebuah synthetic unity, dan merupa- Sanghjang Toenggal apepoetra batara
kan hasil dari bekerjanya intuisi atau pikiran Goeroe” ('s-Gravenhage: M. ijhoff, 1941).
murni. Berbagai kesan inderawi disintesis- Babad Dipanegara juga berupa legitimasi
kan dalam satu entitas spiritual itu melalui klaim Dipanegara atas kerajaan Yogyakarta
objektivisasi (Casirer, 1972: 29). Tidak heran (Carey, 1986).
bahwa dalam mitos itulah dewa-dewa, Rupanya, hanya kerajaan-kerajaan
manusia, sejarah, dan peristiwa keseharian besar, seperti Melayu dan Mataram, dengan
tercampur, termasuk sejarah dan sastra. tradisi sastra tulis menciptakan mitos-mitos
Adapun fungsi mitos dalam masyarakat politik untuk memberikan legitimasi atas
kuno menurut Mircea Eliade adalah (1) hegemoni politiknya. Sebaliknya, fungsi
melukiskan sejarah dari perilaku-perilaku mitos, sejarah, dan sastra dalam masyara-
supranatural, (2) sejarah itu dianggap mutlak kat kesukuan tidak bersifat sakral tapi profan
benar dan keramat, (3) mitos selalu ber- semata. Ketiganya hanyalah refleksi kultu-
hubungan dengan “penciptaan” tentang ral, hiburan, dan sejarah. James J. Fox
keberadaan, institusi, dan perilaku, (4) memberi contoh tentang penggunaan sastra
dengan mengetahui mitos tentang “asal- lisan untuk klaim “historis” atas mata air dan
muasal” orang dapat melakukan kontrol dan kepemimpinan dalam “masyarakat pemugar-
memanipulasi sesuatu sesuai kemauan, an” (pemakai air, semacam subak) di Pulau
dan (5) dengan “menghayati” mitos orang Roti. Kita baca, “Demikianlah maka leluhur
hidup di dalam yang serba keramat, mem- Suki dan leluhur Modok sangat yakin bahwa
punyai kekuatan untuk berada di atas leluhur Kunaklah yang pertama-tama
peristiwa-peristiwa (Eliade, 1968: 18-19). melihat air, dan mereka pun sepakat bahwa
Oleh karena itu, Shelly Errington yang itu adalah milik Kunak, ...” (Fox, dalam
mempelajari hikayat—dengan mengutip Carey, 1986: 10-25; Fox, 1985: 48).
Malinowski—mengatakan bahwa mitos
dalam hikayat bertujuan sebagai alat Kesadaran Mitis Berakhir
pembenar tertib sosial. Meskipun didasarkan Kesadaran mitis (dan hitoriografi tradi-
pada kejadian yang sungguh-sungguh, tetapi sional) berakhir, dan mulailah hitoriografi
pengarang mitos (yang selalu anonim) mem- modern. Permulaan historiografi modern di
punyai maksud politik, yaitu usaha mem- Indonesia ditandai dengan terbitnya buku
perkuat kedudukan sang patron. Fungsi Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschowing
teks tidak sekuler, yaitu untuk mencatat van de Sadjarah van Banten pada 1913,
sejarah, tapi mempunyai fungsi magis. waktu itu muncullah sejarah kritis.
Dalam Hikayat Hang Tuah dikatakan, “Inilah Dasawarsa 1910 dalam sejarah Indone-
hikayat Hang Tuah, yang sangat setia pada sia sibuk dengan membongkar masa lalu,
rajanya dan berperilaku dengan kepatuhan institusi dan kebudayaannya. Karena itu,
yang luar biasa melayani rajanya. Suatu kali dasawarsa itu patut kita sebut sebagai
turunlah seorang raja dari surga” (Errington, dasawarsa dekonstruksi. Ada kesatuan
dalam Reid, 1979: 26-42). wacana dalam dasawarsa itu, ada unities
Pernyataan Errington itu juga berlaku of discourse—demikian istilah Michel
dalam babad. Babad Tanah Jawi, misalnya, Foucault. (Foucault, 1991).

18
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

Inilah yang terjadi di Kerajaan Sura- pada 1918 dengan gerakan “Jawa Dipo”
karta, tempat kesadaran mitis itu muncul di (bahasa Jawa “ngoko”, tanpa tataran), yang
permukaan sejarah dan menjadi kenyataan diikuti oleh gerakan “Madura Dipo”.
sehari-hari. Raja Surakarta dipercaya me- Semua orang menjelang dan pada
ngawini Ratu Laut Selatan, Nyi Loro Kidul, 1910-an mempunyai ideologi kemajuan
dan bercintaan di Panggung Sangga- melawan kebekuan masa lalu. Budi Utomo
buwana. Raja adalah sahabat danyang (berdiri 1908), Muhammadiyah (berdiri 1912),
besar penunggu Gunung Merapi, Gunung dan bahkan Abipraya (perkumpulan priyayi
Lawu, dan sumber air Bengawan Solo di “abdi dalem”, berdiri menjelang abad ke-20)
Dlepih. Bukan itu saja. Tahi kerbau raja, Kyai mempunyai ideologi kemajuan. Dengan dalih
Slamet, dapat menjadi obat, nasi raja yang kemajuan pula para abdi dalem mencukur
didapat waktu perayaan Sekaten dapat rambut (semula rambut digelung) dan orang-
menyuburkan tanah. Bertapa yang sejati orang Cina memotong kucir. Kata “kemajuan”
adalah seba di keraton. Mati yang paling menjadi alasan untuk membuang etiket-
mulia ialah mati di bawah kaki raja. Raja etiket Jawa lama. Dalam Serat Subasita
adalah “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun karangan Padmasusastra, etiket Jawa
Khalifatullah Sayidin Panatagama Ingkang dirasionalisasikan (mencari kepatutan baru)
Jumeneng ing Surakarta Adiningrat”. Raja dengan mengacu etiket Belanda. Misalnya,
adalah “dewa yang turun ke bumi”. Bila supaya tidak degsura (sewenang-wenang),
sedang duduk di singgasana raja mirip biarkan gigi putih, jangan dihitamkan (sisig);
dengan Kresna titisan Dewa Wisnu, demi- apalagi dengan gaya penthulan (meng-
kian gambaran dalam Serat Wedhamadya hitamkan semua gigi, kecuali dua gigi
karangan Sruyadiningrat. Ada busana, tengah-atas). Di Surakarta, tempat bertahan-
sungai, dan tempat-tempat terlarang bagi nya tatanan lama, tatanan lama itu ditolak,
wong cilik. “Mistisisme politik” itu juga men- bahkan dalam mimpi, ilusi, dan halusinasi
jadi stratifikasi sosial. “Priyayi cara priyayi, dengan sebuah counter culture. (Kunto-
wong cilik cara wong cilik”, demikianlah wijoyo, 1999: 70-81)
kesimpulan dari Serat Mas Jenthu Inggih Sementara itu, Indische Partij (Bandung,
Mas Nganten karya RMA Jayadiningrat I. 1912) menolak Hindia-Belanda dan berjuang
Akan tetapi, perubahan sedang terjadi, untuk mendirikan negara merdeka (onafhan-
dunia sedang bergerak (Doenia Bergerak, kelijkheid). Mas Marco dari Surakarta
nama majalah pimpinan Mas Marco, Solo dalam Doenia Bergerak (1914) mengecam
1914). Untuk menandai perubahan-per- Mindere Welvaart Commissie dengan me-
ubahan yang sedang terjadi, Takashi Shi- nyebutnya Mindere WC. Di Surakarta juga,
raishi menulis An Age in Motion: Popoular dalam sastra RB. Soelardi dengan Serat
Radicalism in Jawa, 1912-1926. (Shiraishi, Riyanto (1920) melukiskan bahwa priyayi
1990) Pada dekade itu Pemerintah Kolonial keturunan harus memberi tempat pada
memaksakan reformasi hukum dan peng- priyayi baru (Raden Mas Riyanto kawin
gunaan tanah di Surakarta. Pada waktu dengan Raden Ajeng Srini). Perkumpulan-
yang sama didirikan Sarekat Islam (SI, Solo, perkumpulan priyayi baru berdiri di daerah
1911), yang menandai mobilitas sosial kelas Gubernemen: Reksa Wibawa dan Panti
menengah wong cilik. Mereka menjadi kaya Harsoyo di Surabaya, Mardi Raharjo di
oleh usaha batik, melebihi kekayaan para Madiun, dan Hamong Praja di Nganjuk.
priyayi abdi dalem; stratifikasi sosial tradi- Dalam agama, di Surakarta Al-Quran
sional dilecehkan. Pada waktu itu pula ada diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, satu
penolakan terhadap “feodalisme”. Ketika Haji hal yang menimbulkan polemik pada 1910-
Saman-hudi—Ketua SI—mengunjungi an. Aliran theosophie masuk dan mendapat
Konggres SI (1913) di Surabaya, ia disambut pengikut di antara priyayi Mangkunegaran.
dengan genderang dan bukannya dengan Susuhunan Surakarta, panatagama (pe-
gamelan; ungkapan protes terhadap nanggungjawab tertinggi agama Islam)
“feodalisme”. Anti “feodalisme” memuncak menerima masuknya gereja Kristen untuk

19
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

pribumi (1910). Tari erotis tayuban oleh para karena sedih”, itu baru plot. Demikian juga
priyayi dikecam koran setempat di Sura- dalam konstruksi evidensi harus ada inter-
karta, Darmo Konda, sebagai pemborosan. pretasi dan eksplanasinya supaya sejarah
Orang non bangsawan dapat memberi bukan hanya narasi, tapi benar-benar sebuah
ceramah (lezing) pada bangsawan dalam konstruksi evidensi.
pertemuan Budi Utomo di Surakarta. Sastra adalah strukturasi dari kemung-
Dengan kata lain, the conscious kinan. Semula kemungkinan itu hanya beru-
maupun the unconscious menolak tatanan pa serpihan-serpihan, kemudian sastrawan
lama. Kesadaran mitis berakhir. Kesadaran memberinya struktur (plot), di antaranya
mitis didekonstruksi. Sebagaimana sebuah dengan mencipta tema, karakter, konfik, dan
prisma menguraikan sebuah sinar, synthetic resolusi konflik itu. Perbedaan terpenting
unity realitas teruraikan, semua unsurnya dengan sejarah, kalau dalam sejarah penga-
mempunyai tempat sendiri-sendiri. Sejarah laman (evidence) itu sepenuhnya kenyataan
mempunyai alamat, sastra mempunyai konkret, maka dalam sastra pengalaman itu
addres. Lalu apa perbedaan antara sejarah sebagian besar hanya berupa kemungkinan-
dan sastra? kemungkinan. Maka, orang mengatakan
bahwa sastra adalah strukturasi dari
PERBEDAAN STRUKTUR kemungkinan. (Kuhns, 1974).

Struktur yang dimaksud di sini adalah Informasi dan Ekspresi


“manner of organizing” (Webster’s New
World College Dictionary). Struktur adalah Pada mulanya, realitas itu berserakan
construct dalam sejarah atau form dalam berupa pecahan-pecahan yang tak teratur.
sastra. Orang memerlukan informasi utuh mengenai
realitas yang sepotong-sepotong, sebab jika
Konstruksi Evidensi dan Strukturasi tidak demikian, realitas itu tak bisa dipa-
Kemungkinan hami. Ilmu datang untuk memberi tatanan
(order) dari realitas, tergantung dari perspek-
Sejarah dan sastra adalah gejala penga- tifnya. Demikianlah, psikologi berbeda dalam
laman kemanusiaan. Mengawali sebuah bab menangkap realitas itu dengan sosiologi,
mengenai rekonstruksi masa lalu, Allan J. ilmu politik berbeda dengan antropologi, dan
Lichtman dan Valerie French dalam seterusnya. Sejarawan yang melakukan
Historians and the Living Past mengatakan, rekonstruksi atas realitas juga tergantung
“Sherlock Holmes dan sejarawan mempu- kepada tema yang dipilih. Sejarah politik
nyai banyak persamaan”. (Lichtman dan menulis politiknya, sejarah ekonomi menulis
French, 1978: 14). Kata mereka selanjutnya, kehidupan ekonomi. Sejarah sebenarnya
seperti detektif yang mengumpulkan bukti mempunyai potensi menjadi the ultimate
untuk mengungkap kejahatan, sejarawan interdisciplinarian, tetapi tidak urung ter-
juga mengumpulkan bukti untuk meng- gantung pada sejarawannya. Sejarawan
ungkap masa lalu. Dan dari seluruh proses menulis berdasarkan spesialisasinya. Ada
metode sejarah, yang paling mirip dengan memang general history atau total history,
sastra ialah interepretasi dan eksplanasi. tetapi juga bergantung pada definisi general
Mengutip E. M. Forster dalam Aspects of dan total itu. Jadi, apakah sejarah itu?
the Novel, sejarawan Amerika, Lee Benson, Dengan caranya sendiri sejarah adalah ilmu.
mengatakan bahwa mengkonstruksikan Sejarah adalah ilmu, “no less and no more”,
sejarah sama dengan sastrawan yang mem- kata J. B. Bury pada 1903, seratus tahun
buat plot. (Benson, 1966: 34-62). Forster yang lalu. (Bury, 1972: 209-233).
mengatakan bahwa kalau ada cerita “ratu Sastra adalah ekspresi. Sastra yang
meninggal kemudian raja mangkat”, itu bukan baik adalah ekspresi yang lengkap. Sastra
plot tapi narasi. Kalau cerita itu menyatakan memang merujuk realitas. Tanpa “merusak”
bahwa “ratu meninggal kemudian raja mangkat realitas, sastra juga memberi order dengan

20
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

caranya sendiri. Caranya? Sastra selalu cara yang dekat dengan keperluan kita, yaitu
lebih besar daripada realitas, tapi tidak interpretative dan empathetic. Intepretative
meninggalkannya. Sastra yang meninggal- berarti menulis sejarah bukan “apa yang
kan realitas, akan ditinggalkan realitas. terjadi” tapi “apa yang mungkin terjadi”.
Ekspresi estetis akan kehilangan fungsi Empathetic artinya menulis sejarah dengan
sosial. Sastra sebagai sastra harus punya rasa empati, yaitu melupakan pikiran sendiri,
esthetical distance dengan realitas. Kalau supaya dapat memahami pikiran orang lain.
tidak ada jarak estetis, sastra akan terjatuh Filsuf sejarah Wilhelm Dilthey manyebutnya
menjadi jurnalisme, pidato, laporan bisnis, dengan verstehen, understanding.
laporan cuaca, tulisan ilmiah, atau essai Sastra adalah imajinasi tentang realitas,
filsafat. Mengenai realitas, bahkan sastra bukan realitas yang aktual. Orang yang
dapat membangun realitasnya sendiri demi melihat pelangi, membayangkan hujan.
ekspresi. Namun, harus selalu dicatat Orang yang melihat asap, membayangkan
bahwa sastra bagaimanapun bentuknya api. Pengetahuan orang dicapai di antaranya
adalah discursive art (terurai) yang harus dengan imajinasi, karenanya imajinasi
terbaca pesannya meskipun penikmatannya mempunyai indispensable function dalam
berurutan waktu. Adapun seni yang lain, seni hidup kita. Berbeda dengan mimpi yang
lukis, misalnya, juga ekspresi, tetapi seni pasif dan unconscious, imajinasi itu aktif dan
lukis adalah representational art, seni dua conscious. Itulah sebabnya orang dapat
dimensi yang cara menikmatinya hanya melakukan kontrol atas imajinasinya, men-
dengan memandang, penikmat dapat jadikannya koheren (padu) dan konsisten
menangkap pesannya dalam sekali menatap (taat azas). Struktur yang bernama sastra
dari kanan ke kiri dan dari atas ke bawah— adalah hasil dari imajinasi kreatif pengarang-
discursive dan representational adalah nya. Namun, sama-sama aktif, sastrawan
peristilahan Suzanne K. Langer. Jadi apakah itu mencipta, sedangkan ilmu (termasuk
sastra itu? Sastra adalah seni. Seni adalah sejarah) adalah membuat. Bagi sejarawan
eskpresi (Collingwood, 1972: 105-124). bahan-bahan tersedia dalam realitas (benda,
dokumen, ingatan), sedangkan sastrawan
Fakta dan Imajinasi harus “mencipta” realitas imajiner. (Colling-
wood, 1972: 125-153; 195-224)
Begitu pentingnya masalah fakta yang
menjadi tulang punggung tulisan sejarah itu, Menjelaskan dan Mengadili
sehingga dalam semua buku pengantar
tentang penelitian sejarah, “What is histori- Tugas sejarah adalah memberi penjelas-
cal fact?”, selalu menjadi bagian penting. an (explanation), bukan mengadili. Untuk
Misalnya, dalam buku Louis Gottschalk, dapat menjelaskan perlu adanya intellectual
Understanding History: A Primer of Historical detachment, ada disengagement, seorang
Method, dan buku Jacques Barzun & Henry sejarawan tidak boleh berpihak. Pemihakan
F. Graff, The Modern Researcher: The akan menjatuhkan seorang intelektual men-
Classic Manual on All Aspects of Research jadi clerk, mengkhianati profesinya. Demi-
and Writing. Memang fakta yang credible kian juga terlarang untuk moralisasi sejarah.
dari dokumen yang authentic selalu penting. Sejarawan harus membiarkan gejala sejarah
Akan tetapi, sejarawan tidak boleh kena “bicara”, bukan sejarawannya sendiri. Ada
penyakit fetisisme fakta, mengganggap fakta dua aliran tentang penjelasan sejarah, yaitu
adalah unggulan ilmu sejarah. Sejarawan Positivisme dan Hermeneutik (Lorenz, 1987).
tidak berhenti dengan menemukan fakta. Positivisme menggunakan istilah erklaren
Menurut Michael Stanford dalam The Nature (menerangkan) dan Hermeneutik verstehen
of Historical Knowledge ada sembilan cara (memahami, mengerti). Istiah verstehen,
yang harus dilalui supaya fakta menjadi understanding sangat penting dalam penaf-
tulisan sejarah. (Stanford, 1987: 111-112). siran, terutama bila penjelasan itu menyang-
Dari kesembilan cara itu setidaknya ada dua kut perorangan. Dalam menulis biografi atau

21
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

pemikiran, sejarawan harus menemukan world”, “human world”, “social historical world”,
pemaknaan subjektif dari pelaku terhadap “mind affected world”, “objective human world”,
gejala-gejala sejarah yang melingkunginya. atau “objectification of life”. (Dilthey, 1962:
Rumusnya adalah penemuan dari “the I in passim). Definisi dari “objectification of life”
the Thou”, “Akunya engkau”—demikian kata ialah segala jejak manusia yang secara aktif
Wilhelm Dilthey. dibuatnya: sistem, institusi, dan peristiwa-
Sastra memang lahir untuk suatu nilai, peristiwa dari “mind-affected world”. Karena
kesadaran, dan kebenaran. Itu semua ada- itu, sejarah berbeda dengan filsafat yang
lah pengadilan. Kalau sejarah adalah rekam- membahas pengalaman manusia secara
an tentang “perbuatan, perkataan, dan metafisik, tidak seperti ilmu-ilmu alam yang
pemikiran” yang terjadi, maka sastra adalah meneliti fisik manusia, dan juga tidak seperti
strukturasi dari apa yang seharusnya terjadi, seni yang berupa “emotive expression”.
yang seharusnya “dikatakan, diperbuat, dan Sejarah memahami manusia melalui bukti-
dipikirkan” orang. Sastra yang tidak me- bukti objektif, tidak melalui perenungan
ngandung penilaian adalah pengkhianatan abstrak atau imajinasi. Sejarawan bekerja
moral, kata Ayn Rand dalam Romantic dengan fakta-fakta objektif yang “given” dan
Manifesto. Sastra harus mengajarkan a berada di luar dirinya. Manusia melakukan
moral sense of life (Rand, 1971: 142-152). objektifikasi dirinya ke dalam sejarah, sejara-
Demikianlah novel Boris Pasternak, Dr. wan mempelajari gejala-gejala objektif itu.
Zhivago adalah gugatan pada Revolusi Sastra tidak berhubungan dengan fakta-
Komunis yang tak berperikema-nusiaan, fakta objektif yang berada di luar dirinya,
novel George Orwell, 1984 adalah kecaman tetapi dengan nilai-nilai subjektif yang ada
terhadap fascisme, drama dan puisi-puisi W. dalam dirinya. Sastra menjadi penjaga nilai-
S. Rendra selama Orde Baru adalah kritik- nilai moral. Tugas seorang sastrawan ialah
kitiknya pada Orba, cerpen Danarto Jejak memberi MAKNA subjektif dan fungsi sebuah
Tanah adalah pengadilan terhadap para hasil sastra ialah sebagai sarana perenungan
pengembang yang tak peduli nasib orang yang tepat (a calculated trap of meditation)
kecil. Bahkan, puisi-puisi transendental (de Rougemont, 1965: 173-186). Kalau orang
Abdul Hadi WM adalah serbuan dari langit melihat bahwa hakikat krisis kontemporer
atas materialisme. Sastra sebagai “cons- adalah krisis moral maka sastra adalah
tructed language” harus mengadili gejala- medium yang pas. Krisis itu bagi sastrawan
gejala sejarah yang merusak kemanusiaan adalah rumahnya, “a poet in destitute time”,
dan eksistensinya, dan yang tidak bisa kata Martin Heidegger tentang “What Are
diselesaikan oleh ilmu. Sastra adalah komit- Poets For?” dalam Poetry, Language,
men pengarang kepada Tuhan dan kemanu- Thought (Heidegger, 1975). Memberi
siaan. Kata Paul Goodman, “Writing is not MAKNA itu sangat relevan dan fungsional.
boring. It is the way I pray to God and my Sastrawan memberi makna subjektif pada
present community” (Goodman, 1971: 242). kehidupan, dan manusia mempunyai sarana
untuk merenungkan hidupnya.
PERBEDAAN SUBSTANSI
Kesadaran Perubahan dan Kesadaran
Kalau waktu membicarakan struktur kita Keabadian
membahas perbedaan sejarah dan sastra
sebagai bentuk kesadaran, di bawah ini kita Perubahan sosial-budaya yang kita
akan melihat perbedaan kandungan inginkan ialah penyebaran rasionalitas. Kita
(content) keduanya. belajar dari Max Weber bahwa masyarakat
tradisional dan karismatis akan digantikan
Objektifikasi dan Subjektifikasi oleh masyarakat legal-rasional. Artinya, kita
memerlukan perubahan. Perubahan adalah
Wilhelm Dilthey mengatakan bahwa proses. Tidak usah dijelaskan bahwa sejarah
mata kajian ilmu sejarah ialah “historical adalah tempat yang baik untuk belajar

22
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

perubahan. Definisi Marc Bloch bahwa sejarah hanya dengan roti saja”). Apalagi dengan
adalah “a science of human evolution” potongan realitas aktual. Lalu dengan apa
menyarankan adanya “a sense of change” realitas aktual atau potongannya harus
dalam ilmu sejarah (Bloch, 1953: 14). dilengkapi? Dengan realitas simbolis.
Sastra selalu bersikap terhadap sejarah Sastra adalah realitas simbolis. Seba-
manusia. Buku Kenneth Burke, Attitude gai penutur realitas—menurut Mircea
toward History merekam pandangan- Eliade—sastra memiliki kualitas kembar: di
pandangan itu (Burke, 1961). Ia menyimpul- satu pihak mengungkapkan realitas historis,
kan bahwa saat ini manusia mengalami di lain pihak mempunyai kekuatan magis dari
alienation, manusia tidak lagi memiliki ciptaan imajiner (Eliade, 1968: 192). Ia
dunianya. Alienasi itu dua macam, yaitu mengatakan selanjutnya bahwa fungsi satra
material dan spiritual. Mereka yang disingkir- dalam masyarakat modern mirip seperti
kan dari “barang-barang” (sandang, papan, fungsi mitos bagi masyarakat primitif, yaitu
pangan, tanah) mengalami alienasi material. kekuatan untuk “keluar dari belenggu
Alienasi spiritual terjadi bila seseorang WAKTU”. Kita ingin memperpanjang waca-
diasingkan dari keperluan-keperluan spiri- na tentang “belenggu waktu” itu. Sejarah
tualnya (pendidikan, kemerdekaan, demo- hanya mencoba menemukan satu realitas,
krasi, HAM, persahabatan, keakraban). realitas aktual atau realitas historis. Sastra
Menurut hemat kami, sekarang ini manusia sekaligus mengungkap realitas histo-ris dan
mengalami alienasi spiritual karena ada realitas imajiner. Jadi, sastra mempu-nyai
objektivasi, massifikasi, teknifikasi, dan peran ganda terhadap kemanusiaan: meng-
saintifikasi. Kata Burke selanjutnya, mereka utuhkan “pengalaman” manusia tentang
yang mengalami alienasi akan berusaha realitas dan membawa manusia keluar dari
memiliki kembali (reposess) dunia ini. Untuk belenggu waktu.
alinasi material ada revolusi-revolusi. Untuk
alinasi spiritual diperlukan nilai-nilai tran- KESADARAN HISTORIS
sendental. Nilai transendental itu ialah
gerakan ke atas menuju Tuhan. Tuhan Al- John Lukacs dalam mencoba memberi
Baaqiy, Tuhan Yang Maha Abadi. definisi kesadaran sejarah mengatakan
bahwa history has become a form of thought
Realitas Aktual dan Realitas Simbolis manusia modern (Lukacs, 1968: 5). Sejarah
berpengaruh dalam cara berpikir manusia
Sejarah adalah pengetahuan yang modern. Berbeda dengan kesadaran mitis
terpotong (mutilated knowledge), kata Paul yang pra-rasional, kesadaran sejarah adalah
Riceour sebagaimana ditirukan oleh Paul kesadaran rasional.
Veyne dalam Writing History. (Veyne, 1984: Di bawah ini adalah pembicaraan
13). Historiografi sebenarnya tidak dapat tentang fungsi sejarah dan sastra, sendiri-
memberi pengetahuan tentang masa lampau sendiri atau bersama-sama, ketika historical
selengkapnya. Dari buku Thomas Stamford thinking sudah menjadi cara berpikir
Raffles The History of Java sejarah naratif manusia modern.
yang ditulis hampir dua abad lalu sampai
tiga jilid besar tulisan Denys Lombard, Nusa Akademis
Jawa: Silang Budaya yang menulis sejarah
mentalitas (pembaratan, Islamisasi, Hindui- Untuk mempertemukan sejarah dan
sasi) tidak pernah dapat melukiskan kese- sastra itu secara akademis di Yogyakarta
luruhan “history as actuality” orang Jawa. (24-29 Juli 1983) diadakanlah sebuah
Keduanya hanyalah “written history”, hanya seminar (Yogyakarta: 1986). Dalam pengan-
potongan-potongan realitas aktual. Kita ingin tar untuk penerbitan hasil seminar itu, Taufik
menyatakan bahwa manusia tidak hidup Abdullah mengatakan bahwa sejarawan
“hanya dengan realitas aktual saja” (Ini tidak boleh membatasi diri dengan pergulat-
peniruan ungkapan Milovan Djilas, “tidak an untuk kritik sumber semata tetapi harus

23
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

memperluas konsep sejarahnya. Ia meng- Kyai Haji Rifa’i dari Kalisalak (Pekalo-
anjurkan supaya agenda sejarawan yang ngan), sehingga ia dihukum-buang oleh
pertama-tama ialah interpretasi atas simbol- Belanda. Ada mitos tentang superioritas
simbol, termasuk sastra. Apa sebab? abangan di depan kaum santri dalam
Sastra—seperti sejarah—adalah “culturally Serat Gatholoco. Ada mitos Indonesia
constructed”, sehingga tidak lepas dari dijajah 350 tahun. Pembongkaran ter-
konteks realitas. hadap beberapa mitos sudah dilakukan
Mengenai pertemuan sejarah dengan oleh G. J. Resink. Ada mitos tentang
sastra secara akademis, M.C. Ricklefs nasionalisme dengan buku Muhammad
dalam “Indonesian History and Literature” Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih.
menyatakan bahwa apapun sumber yang Kita ingin ada mitos baru yang positif,
dipakai, sejarawan haruslah menerapkan rasional, dan historis. Bagi sejarawan
historical criticism, dapat menggunakan modern yang punya komitmen, sejarah
hasil sastra, tetapi tidak mengekor pada yang rasional dapat menjadi mitos baru.
filologi, semiotika, atau metode kritik sastra Buku-buku Sartono Kartodidjo, Pengan-
yang lain. (Ricklefs, : 199-110). Sejarah dan tar Sejarah Indonesia yang bertema
sastra adalah dua disiplin terpisah, masing- integrasi nasional, Parakitri T. Simbolon,
masing dengan struktur tersendiri. Alias, ada Menjadi Indonesia yang bertema “men-
independensi. Sejarah mempunyai perta- jadi Indonesia adalah proses sejarah
nyaan dan metolodologi mandiri. yang riil, bukan ideologi yang abstrak”,
Jadi dalam historiografi Indonesia, dan Dami N. Toda, Manggarai Mencari
setidaknya kita temukan tiga pendapat Pencerahan Historiografi, dengan tema
tentang hubungan sejarah dan sastra. Perta- pluralitas etnis dapat menjadi langkah
ma, sejarah perlu memperluas interpretasi awal ke arah mitos baru yang historis.
dengan memakai kekayaan khazanah Supaya buku-buku itu menjadi bacaan
sastra, jangan terpaku pada fakta (Taufik umum, kiranya versi “sejarah populernya”
Abdullah). Kedua, sejarah dan sastra mem- perlu diusahakan.
punyai tugas sendiri-sendiri yang saling (2). Examplary Center. Penulisan sejarah
melengkapi: sejarah mengungkap gejala yang emotif juga dapat menjadi mitos
“dunia luar” sosial, sedangkan sastra meng- rasional. Tema-tema seperti heroisme
ungkap gejala “dunia dalam” individual (A. (perbuatan-perbuatan besar) dan zero-
Teeuw). Ketiga, sejarah mempunyai perta- isme (mereka yang sengaja “menghi-
nyaan dan metodologi sendiri, dan semua langkan diri” di tengah masyarakat)
sumber (termasuk sastra) terkena kritik dapat menjadi langkah awal. Metodenya
sejarah yang tak bisa ditawar. Fakta adalah murni sejarah, misalnya sejarah lisan.
segalanya bagi sejarah. (M.C. Ricklefs). Hanya saja temanya memang dengan
Pandangan kedua pastilah dianut oleh non- kesengajaan dipilih tema-tema yang
historian, dan pandangan-pandangan perta- emotif: pribadi-pribadi yang dapat men-
ma dan ketiga dianut oleh para sejarawan jadi examplary center. Dalam sejarah
yang selalu menghadapi ketegangan internal agama Kristen, “sacred history” selalu
waktu menghadapi hasil sastra. dipelihara, di samping ada “history” yang
profan (Stevenson, 1969). Apa salahnya
Sosial kalau masyarakat Indonesia juga punya
semacam “sacred history” tentang
(1). Mitos Sejarah. Kita sudah mempunyai heroisme dan zeroisme. Buku epos
mitos-mitos sejarah yang pra-rasional. sejarah oleh Cornelius Ryan, A Bridge
Dalam masyarakat kolonial di masa lalu Too Far dapat menjadi contoh peng-
ada mitos “pribumi yang pemalas”. Ada gunaan sejarah lisan untuk heroisme
mitos mengenai “pembangkangan umat (dan zeroisme).
Islam” sebagaimana terekam dalam (3). Novel Sejarah. Novel-novel sejarah
Serat Cabolek yang mendiskreditkan sudah ditulis, misalnya Abdul Muis

24
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

menulis Robert Anak Surapati, untuk Collingwood, R. G. 1972. The Principal of Art.
membangkitkan nasionalisme. Tema- Oxford: Oxford University Press.
tema dalam (1) dan (2) juga dapat dijadi- de Rougemont, Denis. "Religion and the Mission
kan novel sejarah, karena novel sejarah of the Artist," dalam Stanley Romaine
adalah sastra yang menggunakan gejala Hopper (ed.). 1965. Spiritual Problems in
sejarah sebagai bahan baku (tokoh dan Contemporary Literature. New York: Harper
peristiwa sejarah). Dalam novel sejarah, Torchbooks.
yang penting dijaga ialah local color dan
historical truth (Kuntowijoyo, 1987: 127-
Dilthey, Wilhelm. 1962. Pattern and Meaning in
136). History: Thoughts on History and Society. New
York: Harper Torchbooks.
(4). Sejarah dan Sastra Dialektis. Sejarah
dan sastra harus berani berhadap- Eliade, Mircea. 1968. Myth and Reality. New York:
hadapan dengan masyarakat, menjadi Harper & Row Publishers.
kritik sosial. Ini berarti menjadikan ke- Errington, Shelly. "Some Comments on Style in
duanya “subversif”. Selama ini sudah the Meaning of the Past," dalam Anthony
ada sastra dialektis, tapi belum ada Reid dan David Marr. 1979. Perception of
sejarah dialektis, semacam radikalisme the Past in Southeast Asia. Singapore:
historis yang ada di Amerika.
Heinemann Educational Books (Asia) Ltd.
Sejarah dan sastra dapat menjadi sara-
na pembentukan masyarakat baru atau Foucault, Michel. 1991. The Archaelogy of
manusia baru di Indonesia. Knowledge. New York: Routledge.
Fox, James J. "'Standing' in Time and Place: The
DAFTAR RUJUKAN Structure of Rotinese Historical Narrative,"
dalam Peter Carey. 1986. Ekologi Kebudayaan
___________. 1986. PapersoftheFourth Jawa & Kitab Kedung Kebo. Jakarta: Pustaka
Indonesian-Dutch History Conference Azet.
Yogyakarta 24-29 July 1983: Volume Two, Fox, James J. 1985. Bahasa, Sastra dan Sejarah:
Literature and History. Yogyakarta: Gadjah Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat
Mada University Press.
Pulau Roti. Jakarta:ILDEP.
___________. 1941. PoenikaSeratBabadTanah
Goodman, Paul. 1971. Speaking and Languages:
Djawi, Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi
Defense of Poetry. New York: Random House
Ing Taoen 1647. 's-Gravenhage: M. ijhoff.
Inc.
Benson, Lee. "Causation and the American Civil
War: Two Appraisals," dalam A.S. Eisenstadt Heidegger, Martin. 1975. Poetry, Language,
(ed.). 1966. The Craft of American History, Thought. New York: Harper Colophon
VolI. New York: Harper Torchbooks. Books.
Bloch, Marc. 1953. Historian's Craft. New York: Kuhns, Richard. 1974. Structure of Experience:
Vintage Books. Essays on the Affinity between Philosophy and
Burke, Kenneth. 1961. Attitude toward History. Literature. New York: Harper Torchbooks.
Boston: Beacon Press. Kuntowidjoyo. 1987. "Peristiwa Sejarah dan
Bury, J. B. "History as a Science," dalam Fritz Stern Karya Sastra," dalam Budaya dan Masyarakat.
(ed.). 1972. The Varieties of History. USA: Yogyakarta: Tiara Wacana.
Meridian Books. Kuntowijoyo, "Raja, Priyayi, dan Kawula: Sura-
Carey, Peter. 1986. Ekologi Kebudayaan Jawa & karta, 1900-1915." Laporan Penelitian.
Kitab Kedung Kebo. Jakarta: Pustaka Azet. Yogyakarta, tidak diterbitkan.
Casier, Ernst. 1972. The Philosophy of Symbolic Lichtman, Allan J. dan Valerie French. 1978.
Forms: Mythical Thought (Volume 2). New Historians and the Living Past. Arlington
Haven: Yale University Press. Heights, Illinois: Harlan Davidson, Inc.

25
Kuntowijoyo, Sejarah / Sastra

Lorenz, Chris. 1987. De Constructie van het Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular
Verleden: Een Inleiding in de Theorie va de Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca, NY:
Geschiedenis. Amsterdam: Boom Meppel. Cornell University Press.
Lukacs, John. 1968. Historical Consciousness or Stanford, Michael. 1987. The Nature of Historical
the Remembered Past. New York: Harper & Knowledge. New York: Basil Blackwell Inc.
Row, Publishers. Stevenson, W. Taylor. 1969. History as Myth: The
Pollock, Thomas Clark. 1965. The Nature of Import for Contemporary Theology. New York:
Literature, Its Relation to Science: Language in Seabury Press.
Human Experience. New York: Gordian Press Teeuw, A. "Tentang Priyayi, Sastra dan Sejarah,"
Inc. dalam T. Ibrahim Alfian dkk. (eds). 1987.
Rand, Ayn. 1971. "Art and Moral Treason," dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis:
The Romantic Manifesto. New York: New Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada
American Library. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta:
Gadjah Mada Univesity Press.
Ricklefs, M.C. "Indonesian History and Literature,"
dalam T. Ibrahim Alfian et al. Dari Babad dan Veyne, Paul. 1984. Writing History. Middletown.
Hikayat sampai Sejarah Kritis. Connecticut: Wesleyan University Press.

26

Anda mungkin juga menyukai