Anda di halaman 1dari 13

Sejarah AGASTYA PEMIMPIN MANDALA KAWI DAN KAILACA DI

HASIN

Oleh: Ferry Riyandika

PENDAHULUAN

Tantu Panggelaran merupakan sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan
manusia di Pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia serta mengisahkan tentang
pendirian mandala-mandala di tanah Jawa khususnya di daerah Jawa Timur pada masa lampau.
Tantu Panggelaran yang bertarikh saka 1557 (1635 Masehi) berbentuk bahasa Jawa Kuna.
Penyusunan kitab ini terletak di Kabuyutan Nanggaparwwata (1924: 128). Perkembangan kisah
pemindahan Gunung Mahameru di Pulau Jawa dalam Tantu Panggelaran ini dapat diceritakan
secara ringkas sebagai berikut.

Pada mulanya Pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa
selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air).
Oleh karena itu, Pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapkannya, sehingga agar tidak
bergoncang lagi. Melihat keadaan tersebut para dewa mengangkat puncak Gunung Mahameru
(Gunung Semeru) dari India (Jambudwipa) dan ditempatkan di Pulau Jawa. Namun yang terjadi
adalah, bahwa Pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh
karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan
gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah
gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu
keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi (Soekmono, 1985: 47).

Dalam ajaran agama Hindhu dan Budhha dikenal adanya konsepsi makrokosmos (susunan alam
semesta) bahwa alam semesta berbentuk lingkaran pipih seperti piringan dengan Gunung
Mahameru sebagai titik pusat alam semesta merupakan tempat persemayaman para dewa.
Sebelumnya, Jambudwipa damai dan tenang, tetapi tiba-tiba tanahnya berguncang dan
terombang-ambing diterpa gelombang samudera. Akhirnya para dewa berusaha untuk
memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa yang masih aman sebagai tempat kehidupan
manusia yang baru. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru
berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang Pulau Jawa antara lain di Jawa
Timur menjadi Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjuna (Arjuno)
dan Gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar
pada gunung Brahma (Bromo) dan menjadi Gunung Semeru. Puncak Mahameru sendiri adalah
Gunung Penanggungan atau Pawitra (Heine, 1982: 4-6).

Identifikasi tokoh Agastya di Jawa

Agastya dalam Candi Hindu aliran Siwa selalu di letakkan pada relung bagian Selatan. Dari
Kitab Ramayana VII: 57 dapat diperoleh informasi tentang kelahiran Agastya dari ibunya yaitu
Urwaci. Di kisahkan bahwa brahmana (Wasistha) dan raja (nimi) yang kehilangan tubuhnya
akhirnya menemui Dewa Brahma. Mereka disarankan untuk memasuki benih dari Dewa Waruna
dan Dewa Mitra. Dewa Mitra memiliki pasangan seorang bidadari bernama Urwaci. Saat Dewa
Waruna melihat Urwaci, tertariklah untuk merayu Urwaci. Maka terjadilah perselingkuhan,
setelah diketahui oleh Dewa Mitra maka Urwaci di usir dari kahyangan ke bumi. Jadilah Urwaci
seorang manusia dan setelah genap waktunya maka lahirlah benih dari Dewa Waruna menjadi
Agastya dan benih Dewa Mitra sebagai Wasistha (Poerbatjaraka, 1992: 3-6).

Dari cerita-cerita susastra dari India, Agastya dihubungkan dengan penaklukan Gunung Vindhya
dan juga penyeberangan ataupun peminuman air laut di arah selatan sampai kering. Hal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa Agastya dalam mitologi Hindu merupakan tokoh yang diperintahkan
untuk menyebarkan ajaran Weda ke arah Himalaya (Meru) ke selatan termasuk Nusantara
(Poerbatjaraka, 1992: 43 ; Suwardono, 2001: 16).

Agastya ke Jawa mengembangkan suatu ajaran yang ternyata adalah ajaran Hindhu Siwa. Hal ini
dapat kita lihat dari keterangan Kitab Smaradahana, dari masa raja Kamecwara dari Kerajaan
Daha, Kadiri. Dalam sarga XXXVIII: 13-14 yang terjemahannya adalah sebagai berikut:

Ada satu negeri ditunjuk oleh Parwati. Negeri tengah di jawa yang teramat indah di selatan
dikelilingi oleh laut garam seperti Meru, suci dan senantiasa dikunjungi oleh Rsi yang sangat di
hormati Agastya. Sejarahnya dimasa lampau didengarkan. Buku termasyur kumara di kasmir
dalam perjalanan yuga langsung disumpah oleh Dewa Civa menjadi pulau indah sekali, besar
dan berbentuk lipung (Krom, dalam Poerbatjaraka, 1992: 44).

Sebagai murid Siwa, Agastya diperintahkannya untuk menjaga gerbang masuk di arah selatan
Mahameru. Hal ini sesuai dengan isi kitab Tantu Panggelaran dimana Kala dan Anukala menjaga
gerbang barat dari Mahameru. Gana diposikan penjaga arah Timur, Ibu Gauri atau Durga
Mahisasuramardini di sebelah utara, sedang Agastya sebagai murid spesial Siwa diletakkan
untuk menjaga daerah selatan (Poerbatjaraka, 1992: 132). Menurut uraian Pigeaud (1924: 254),
menyatakan bahwa tokoh-tokoh yang disini disatukan menjadi satu kumpulan sebagai penjaga
Mahameru, sudah terkenal dan belum pernah digabungkan seperti itu dimanapun juga....

Pada umumnya di Nusantara, khususnya Jawa, Agastya disebut pula sebagai Siwa Mahaguru
dengan ciri-ciri sebagai seorang tua berperut buncit (lambodhara), berjenggot tebal runcing,
bertangan dua yang sebelah kanan membawa aksamala (tasbih) atau trisula dan sebelah kiri
membawa kendi air kehidupan (kamandalu). Namun penyamaan Agastya dengan Siwa
Mahaguru terdapat kontradiktif yang mencolok bila dilihat dari ciri arca dan gambaran dari
literatur atau cerita tentang panteoan Hindhu tersebut. Dalam beberapa cerita historis, kita ambil
contoh dari Pararaton saat raja Dandang Gendis (Kertajaya/ Crenga raja terakhir Panjalu, Kadiri)
berubah wujud jadi Siwa Mahaguru, ciri-cirinya adalah bertangan empat dan memiliki mata
ketiga, ciri khas Civa.

I ........ Dangdang Gendis angadegaken tumbak, ladayenipun tinancebaken ring lemah, sira ta
alinggih, ring pucuking tumbak, tur anandika: ..lah para bhujangga delengen kacaktiningsun. Sira
ta katon acaturbhuja, atrinayana, saksat bhatara guru rupanira.......

Terjemahan:
I ...... Dangdang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia
duduk di ujung tombak, seraja berkata: ...nah, tuan-tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami. Ia
tampak berlengan empat, bermata tiga, semata-mata bhatara guru lah perwujudannya.....
(Padmapuspita, 1996, 21 ; 63).

Dari urain tersebut dapat disimpulkan bahwa Agastya tidak sama dengan Bhatara Guru (Siwa
Mahaguru), melainkan merupakan penjelmaan dari Dangdang Gendis sebagai Bhatara Guru.
Raja ini merupakan seorang pemuja Bathara Guru. Pemujaan ini biasanya dilakukan oleh
anggota komunitas rsi yang biasanya bertempat tinggal di tempat sunyi pada lereng-lereng
gunung dan di dalam hutan. Rsi pada umumnya telah tinggi pengetahuan keagamaannya,
sehingga mereka lebih banyak memuja dewa di dalam fikirannya (manasa / antara-puja), dan
tidak memerlukan arca atau benda lain untuk sarana pemujaan (Santiko, 1995: 127). Dengan
adanya cara pemujaan dewa di dalam fikiran itu, sebagai rsi (rajarsi) maka Raja Kadiri terakhir
(Dandang Gendis) memiliki ilmu keagamaan yang berkeyakinan dapat bersatu dengan dewa
yang dipujanya. Tidak mengherankan apabila Krtajaya dalam Kitab Pararaton dilukiskan
mengubah diri sebagai Bhatara Guru guna meyakinkan para pujangga akan klaimnya sebagai
penjelmaan Dewa Siwa di dunia.

Suatu peninggalan di Candi Deogarh dan Travancore yang berasal dari masa Gupta dinasti
Maurya, India, terdapat arca Agastya namun memiliki bentuk tubuh yang ramping tidak buncit
seperti umumnya di candi-candi Jawa. Di Indonesia, Dalam Oudheidkundige Verslag 1923
(bijlage K) pada gambar-gambar koleksi Museum Sriwedari, tokoh No. A, yang oleh Bosch
diberi nama Maitreya, namun sangat jelas sekali merupakan ciri-ciri dari Agastya yang memiliki
kumis dan janggut runcing , dan juga terlihat kendi di tangan kiri yang diletakkan rendah. Bentuk
arca ini juga normal (tanpa perut buncit) juga tidak terdapat yajnopawita (Poerbatjaraka, 1992:
134-135).

Di Malang tepatnya di lereng Timur Gunung Kawi di Dukuh Gasek, Desa Karangbesuki,
Kecamatan Sukun, Kota Malang, terdapat situs kecil yang diberi nama Candi Karangbesuki. Di
situs inilah ditemukan arca tokoh Agastya, Arca ini dahulu ditempatkan di dalam punden makam
di bawah pohon beringin. Karena bencana angin dahan pohon beringin tersebut putus dan
menimpa punden makam. Akhirnya arcanya kemudian diamankan dan dirawat oleh pihak SDN
Karangbesuki 3 (Suwardono, e.a, 1996: 7). Oleh pemerintah Kota Malang, akhirnya sekarang
disimpan di Museum Mpu Purwa Kota Malang.
Ciri dari tokoh ini adalah orang tua berjenggot runcing, perut ramping, bertangan dua, sebelah
kanan membawa trisula dan sebelah kiri telah putus. Dari tangan sebelah kiri yang sikapnya agak
diturunkan kebawah, maka dapat disimpulkan, bahwa patahan pergelangan tangan arca ini
membawa sebuah kamandalu. Prasasti Dinoyo I pada sekitar abad VIII tersebut mengisahkan
tentang peristiwa peresmian arca Aghastya baru yang dibuat dari batu hitam yang indah. Arca ini
dimaksudkan sebagai pengganti bagi arca terdahulu yang terbuat dari kayu cendana dan ketika
itu sudah lapuk sama sekali. Pada perhelatan keagamaan itu raja menghadiahkan pula bangunan
untuk keperluan kerja bagi para brahmana dan perumahan untuk menampung para tamu, beserta
persediaan makanan, tempat tidur dan pakain (Soekmono, 1977: 116: Cahyono, 2006: 4). Raja
membuat bangunan suci (candi) yang sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) ini digunakan
untuk sarana membinasakan penyakit yang menghilangkan (semangat) (Poerbatjaraka, 1976: 92-
98). Pembangunan tempat tersebut sesuai dengan nama desa yang sekarang di tempatkan Candi
Karang Besuki, yaitu tempat keselamatan.

Identifikasi Nama Gunung Kawi

Gunung Kawi merupakan batas alam antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Malang.
Gunung ini terdiri dari Gunung Kawi-Butak (2651 m dpl-2868 m dpl) (Bemmelen, 1949: 30),
ternyata ditilik dari segi historisnya, telah dikenal sejak masa pemerintahan Kerajaan
Kanjuruhan, yang kala itu berpusat di daerah Malang. Kerajaan Kanjuruhan ini meninggalkan
kepada kita tentang informasi penting tentang keberadaan Gunung Kawi yang termaktub dalam
Prasasti Dinoyo I, yang bertarikh Saka 682 (760 Masehi).
Prasasti tersebut memuat inti tentang adaanya seorang raja yang bijaksana dan berkuasa yang
bernama Dewasigha. Di bawah naungan pemerintahannya, api putikecwara memancarkan
sinarnya, yang menerangi kelilingnya. Seorang anaknya, yakni raja Gajayana seorang raja
pelindung manusia memiliki putri yang bernama Uttejana. Raja tersebut memberi ketentraman
kepada Brahmana dan rakyat pemuja Agastya. Raja membuat bangunan suci (candi) yang sangat
bagus bagi sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan
(semangat) (Poerbatjaraka, 1976: 92-98).

Berdasarkan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran, Agastya mendapatkan pertapaan di


Gunung Kawi. Semenjak itu Gunung Kawi menjadi miliknya, yakni sebagai tanda penugasan
bagi Batara Guru (Ciwa). Berikut kutipan dari teks Tantu Panggelaran:
Ucapen ta laksana bhatara Jagatwicesa, anggasta yinuganira hinasti, siniramning tatwamrtha
ciwamba, yinuganira matmahana dewata purusangkara. Inararan bhagawan Agasti, inanugrahan
kawikun de bhatara, kinwan matyapaha ring gunung kawi. Tinher makadrwya kang gunung kawi
pinakapacihna pawkas bhatara Guru (Pigeaud (1924: 92).

Artinya:
Untuk bicara tentang cara-cara Batara Jagadwicesa; dia mengarahkan yoganya pada ibu jarinya,
dan menjadikannya abu, yang kemudian disiramnya dengan air suci Tattwamrta dan melakukan
yoga, sehingga menjadi dewata bertubuh manusia. Dia mendapatkan nama Agasti yang
terhormat; sebagai tanda kehormatan dia menerima kedudukan wiku dari Bhatara, dan menerima
perintah melakukan pertapaan di Gunung Kawi. Sejak itu gunung Kawi menjadi miliknya,
sebagai tanda penugasan Bhatara Guru (Poerbatjaraka, 1992: 40).

Adapun nama Kawi berasal dari kata Kavya (Kawi), yang berarti syair yang dilagukan. Ada
pula yang menghubungkan istilah ini dengan awi yang berarti golongan orang-orang di antara
watek i jro (manilala drwya haji) (Zoedmulder, 1995: 475 ; 86). Oleh karenanya, Gunung
Kawi adalah sebuah gunung yang pada masa lampau banyak dikenal oleh para pertapa, rsi atau
bujangga sebagai tempat pertapaan dan tempat pembuatan syair (Kawi).

Lokasi Gunung Kawi juga didukung oleh uraian dari kisah perjalanan Bujangga Manik di daerah
tersebut.
cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang
kiduleunana. Sadatang ka Pamijahan..

Terjemahan:
.......tiba ke Sagara Dalem, berjalan lewat Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, dijelajahi arah
selatannya. Setiba ke Pamijahan (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).

Nama Sagara Dalem dalam urain kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak diantara Gunung
Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada disebelah barat Gunung Semeru. Nama
Dukuh Sagara Dalem merupakan nama lama untuk sebuah Dukuh Segaran yang terletak di Desa
Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).
Kagenengan pada masa sekarang merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten
Malang yaitu Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak Kecamatan Pakisaji
atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau
merupakan tempat dimana terdapat suatu kelompok komunitas keagamaan (Noordyun & A.
Teeuw, 2009: 513)kemungkinan juga tinggalan tersebut merupakan alat pertanggalan masa
lampau.
Oleh sebab itu dapat difahami jika Candi Badut, Candi Karang Besuki dan Candi Songgoriti di
Batu dinyatakan sebagai tempat pemujaan terhadap Bathara Guru, bahkan Candi Sirahkencong
yang terletak di barat daya atau selatan kaki Gunung Kawi juga digunakan sebagai tempat
pemujaan terhadap Bathara Guru (Riyandika, 2010: 3).

Identifikasi Nama Macin (Hasin).

Dalam Kitab Tantu Panggelaran diberitakan bahwa Agastya melakukan perjalanan untuk
mengunjungi Bhagawan Markandeya di Mandala Kailaca di Hasin, berita tersebut dikutip
sebagai berikut:

.......... Kari tang raray manangis makanangkanangan. Tuminghal ta Bhagawan Agasti, mawlas
tumon ambeknira ring kesesinikang raray tininggalaknibhunya. Sinambutnira tang raray, nher
dinus dinulangnira, iningunira ring yoga samadi. Atuha tang raray wkasan, winawanira
mangulwan maring macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan
Markandeya......... (Pigeaud, 1924:126).
Artinya:
.......... anak-anak yang ditinggalkan itu menangis berteriak. Agasti yang terhormat itu
melihatnya. Dia merasa kasihan menyaksikan keadaan anak-anak yang memilukan, karena
ditinggal oleh ibu mereka. Dia mengambil anak-anak itu, membasuhnya, memberinya makanan
dan merawatnya dengan yoga dan semedi. Ketika anak-anak laki-laki itu akhirnya menjadi
dewasa, dibawanya mereka kebarat, ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala Markandeya yang
terhormat...... (Poerbatjaraka, 1992: 51-52).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam uraian Kitab Tantu Panggelaran
diberitahukan bahwa Agastya yang berasal dari Gunung Kawi melakukan perjalanan bersama
kedua anak angkatnya ke arah barat untuk mengunjungi Bhagawan Markandeya di Mandala
Kailaca di Hasin.
Nama Hasin atau Macin mengingatkan kita pada Prasasti Baru yang bertarikh Saka 952 (1030
Masehi) prasasti ini merupakan tamraprasasti (prasasti logam) yang keberadaannya sekarang di
Kota Surabaya. Pada prasasti ini dikatakan bahwa Raja Airlangga memberikan hadiah tanah
sebagai sima kepada warga Baru dikarenakan raja telah berdazar apabila raja mengalahkan Raja
Hasin maka Desa Baru akan dianugerahkan tanah sima (Sumadio, 1992: 180-181).

Dimanakah letak Hasin?. Dalam isi kitab Tantu Panggelaran, Hasin atau Macin merupakan
daerah yang terletak di ....mangulwan maring Macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala
Bhagawan Markandeya......... (mereka kebarat, ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala
Markandeya yang terhormat), ....saking Pacira mangulwan maring Macin... (dari Pacira
kebarat sampailah di Macin) dan ...... sira saking Macin, mangetan sira tumut ta sira bhatari
Paramecwari. Mararyyan ta sira ring Gunung Wilis... (dari Macin kearah timur ikutlah bhatari
Paramecwari. Tibalah sampai di Gunung Wilis) (Pigeaud, 1924:126: 70; 84).

Menurut Poerbatjaraka (1992: 52), daerah Macin, atau Hasin harus dicari di Barat Gunung Kawi
dan dalam Kitab Parararon telah diberitakan tentang istri-istri Raja Dandang Gendis (Krtajaya)
diantaranya Dewi Hasin (1976: 40). Macin atau Hasin dalam kitab Tantu Panggelaran terletak di
sebelah barat Gunung Wilis serta juga di sebelah barat Pacira. Bila daerah Pacira berada di timur
Hasin atau Masin, maka daerah ini harus dicari diantara lembah Gunung Kawi ke barat hingga
lembah atau kaki gunung di wilayah barat Gunung Wilis. Di daerah Kabupaten Tulungagung
terdapat nama yang mirip dengan nama Pacira yaitu Pasir. Pasir merupakan nama dukuh yang
terletak di Desa Junjung Kecamatan Sumber Gempol. Lokasinya di sisi utara Pegunungan Kapur
Selatan. Di dusun tersebut terdapat beberapa peninggalan arkeologi yang salah satunya berupa
Situs Gua Pasir yang dahulu digunakan sebagai karsyan. Hal ini didukung dengan pahatan
dinding berupa adegan seorang petapa yang sedang digoda oleh hawa nafsu.

Dalam situs tersebut menurut Krom (1923) dan Verbeek terdapat kronogram Saka 1325, 1224
Saka, dan 1228 Saka yang menunjukkan pada era Majapahit. Menurut Munandar disebutkan
bahwa Situs Gua Pasir sejaman dengan Gua Selomangleng. Berdasarkan persamaan bentuk
pahatannya yan diperkirakan berasal dari abad X-XI Masehi sampai pada masa Kerajaan
Majapahit (Cahyono, 2010: 20-21).
Apabila anggapan ini benar, maka Hasin atau Macin letaknya harus dicari di sebelah barat
Dukuh Pasir. Di wilayah Kabupaten Trenggalaek terdapat sebuah nama Sungai yang mengalir
kearah Kabupaten Tulungagung yaitu Sungai Ngasinan yang sumber airnya berasal dari Gunung
Wilis. Sungai ini merupakan salah satu bagian hulu Sungai Brantas yang alirannya kemudian
masuk ke Sungai Ngrowo dan terakhir ke Sungai Brantas. Apabila Sungai ini benar dan dapat di
setujui maka Ngasinan merupakan nama arkhais dari Hasin atau Macin, tempat raja Hasin
berkuasa maka tepat sekali apabila daerah Hasin atau Masin yang terletak di Kabupaten
Trenggalek di tempatkan di sebelah barat Dukuh Pasir, Kabupaten Tulungagung.

Hal ini dapat di dukung dan diperkuat juga dengan apa yang diterangkan dalam Prasasti Baru
yang dikeluarkan Raja Airlangga diatas, bahwa Baru merupakan sebuah watek atau paraman
yang ditujukan untuk pemujaan (kabaktyan) terhadap sang hyang huwan sang hyang depur sang
hyang kawyolan sang hyang roh. Nama salah satu tempat pemujaan tersebut terdapat nama sang
hyang kawyolan. Nama ini boleh jadi sekarang menjadi Desa Kamulan. Sedangkan nama Desa
Baru yang termuat dalam Prasasti Baru boleh jadi sekarang menjadi Desa Baruharjo. Ketiga
nama tempat tersebut yaitu Sungai Ngasinan, Baruharjo, dan Kamulan sekarang berada di
Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Namun di sebelah utara Kabupaten Trenggalek
tepatnya di Kabupaten Ponorogo terdapat Sungai Asin. Tidak menutup kemungkinan Hasin
merupakan kawasan yang letaknya di antara Sungai Ngasinan di Trenggalek dan Sungai Asin di
Ponorogo. Krtajaya Sendiri dalam Kitab Pararaton di jelaskan bahwa memiliki istri tiga
diantaranya adalah Dewi Hasin.

Sedangkan nama Kailaca dalam Tantu Panggelaran disebutkan sebagai berikut . maring
macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan Markandeya......... (Pigeaud,
1924:126) yang berarti ..ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala Markandeya yang
terhormat...... (Poerbatjaraka, 1992: 51-52). Dimanakah letak puncak Kailaca?. Di Kecamatan
Pogalan, Desa Ngadirenggo terdapat sebuah anak Gunung Wilis bagian barat daya, tepatnya
bukit yang bernama Gunung Tumpaknyadran yang dibawahnya di aliri Sungai Ngasinan. Nama
Tumpaknyadran memiliki arti Tumpak yaitu naik, sedangkan Nyadaran adalah suatu
kegiatan upacara keagamaan atau ritual suatu keagamaan atau kepercayaan guna untuk
memperoleh sesuatu dan keselamatan. Jadi nama Gunung Tumpaknyadran merupakan gunung
yang digunakan untuk suatu tempat kegiatan upacara keagamaan atau ritual keagamaan untuk
mencari berkah.

Hal ini dapat dipertegas lagi bahwa di dekat Gunung Tumpaknyadran yaitu disebelah utara
terdapat nama Gunung Sentono. Sentono memiliki pengertian tempat persemayaman. Pengertian
kedua istilah ini sama dengan puncak Kailaca yang dimana merupakan sebuah tempat penjaga
kediaman Dewa Siwa. Apabila kita hubungkan dengan Gunung Wilis yang merupakan salah satu
gunung suci di Jawa, maka dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Tantu Panggelaran sesuai
dan memiliki persamaan, dimana disebutkan bahwa Agastya merupakan penjaga kediaman
Dewa Siwa bagian selatan (Poerbatjaraka, 1992: 130).

Selain itu di Kabupaten Trenggalek tepatnya di Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan terdapat
tinggalan arkeologi berupa struktur bangunan candi. Candi tersebut bernama Candi Brongkah
yang letaknya tidak begitu jauh dengan Sungai Ngasinan. Apakah situs ini memiliki kaitannya
dengan Raja Hasin atau tempat mandala Bhagawan Markandeya masih harus diteliti lebih lanjut.
Diposkan oleh TATKALAM di 22.55

KISAH BHAGAWAN WYASA

Category: Cerita Hindu


Published Date

Written by Super User

Hits: 250

Oleh : I Gede Agus Surya Negara

Bhagawan Wyasa adalah seorang rohaniawan dan sastrawan terkenal. Dia adalah penulis epos
terbesar di dunia, Mahabharata. Mahabharata bercerita tentang peperangan antara Panca
Pandawa dan Kurawa di medan perang Kurusetra. Beliau juga berperan dalam pembagian Weda
(kitab suci umat Hindu) menjadi empat bagian yang kita kenal sekarang dengan Catur Weda.

Bhagawan Wyasa dikenal juga dengan nama Krishna Dwapayana. Beliau lahir di Uttar Pradesh,
India. Orangtua beliau bernama Rsi Parasara dan Satyawati. Nama Krishna Dwapayana
memiliki arti tersendiri. Krishna artinya hitam dan Dwapayana artinya di tengah pulau. Disebut
demikian karena beliau berkulit kehitaman dan lahir di tengah sebuah pulau di Sungai Yamuna.
Anak itu kemudian berkembang dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya yang seorang Rsi
(rohaniawan).
Beliau dikenal oleh umat Hindu sebagai pembagi Weda menjadi empat bagian atas wahyu dari
Tuhan yang Maha Tunggal, yakni : Reg Weda , Sama Weda, Yayur Weda dan Atharwa Weda.
Karena jasa beliau inilah, beliau disebut dengan Weda Wyasa ( Pembagi Weda ). Dalam proses
pembagian ini ia dibantu oleh murid-muridnya, yakni Samantu, Pulaha, Jaimini dan
Wesampayana.

Selain dikenal sebagai seorang pembagi Weda, Bhagawan Wyasa dikenal juga sebagai penulis
kitab riwayat Mahabharata, namun dia juga berperan sebagai seorang tokoh dalam riwayat yang
ia susun itu. Kebetulan, Wyasa tinggal di sebuah hutan di dekat Kurusetra sehingga ia tahu
secara persis peristiwa perang Baharatayudha sedetail-detailnya. Pernah suatu ketika Aswatama
berlindung di tempatnya. Tak lama kemudian Arjuna dan para Panca Pandawa mengejarnya.
Terjadi perkelahian disitu. Baik Arjuna dan Aswatama sempat ingin mengeluarkan senjata sakti
Brahmastra, namun dicegah oleh Bhagawan Wyasa.

Dalam proses penulisan Mahabharata, sebenarnya bukan Bhagawan Wyasa yang menulis
kisahnya. Atas persetujuan Sang Hyang Brahma, Hyang Ganapati (Ganesha) datang untuk
membantu menuliskan riwayat Mahabharata tersebut. Bhagawan Wyasa diminta oleh Ganesha
untuk menuturkan kisah Mahabharata tersebut selama dua tahun tanpa henti, sedangkan Ganesha
yang menuliskan tuturan Bhagawan Wyasa itu. Setelah kitab itu selesai, murid murid Bhagawan
Wyasa menuturkan cerita tersebut secara berulang ulang sehingga menyebar ke seluruh dunia.

Menurut kisah, Bhagawan Wyasa moksa seusai perang Bharatayudha selesai. Ia moksa bersama
raganya dengan dijemput oleh kereta emas ke swargaloka atas jasa jasanya di dunia ini.

Rsi Byasa

Byasa (Sansekerta: ; Vysa) (dalam pewayangan disebut Resi Abyasa) adalah figur penting dalam agama
Hindu. Beliau juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa
sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda. Beliau juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana.
Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat
hidupnya diceritakan dalam Mahabharata. Dalam Mahabharata, dapat diketahui bahwa orangtua Resi Byasa adalah
Bagawan Parasara dan Dewi Satyawati (alias Durgandini atau Gandhawati).
Kelahiran

Dalam kitab Mahabharata diketahui bahwa orangtua Byasa adalah Resi Parasara dan Satyawati. Diceritakan bahwa
pada suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati
menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh
kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia
terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki
yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara berkata bahwa ia
bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara menyembuhkan
Satyawati dalam sekejap.

Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua
mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna, konon terletak di dekat kota
Kalpi di distrik Jalaun di Uttar Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar pulau
tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya, lahirlah seorang anak yang sangat luar biasa. Ia diberi
nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam (krishna) dan lahir di tengah pulau (dwaipayana). Anak tersebut
tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi.

Weda Wyasa

Umat Hindu memandang Krishna Dwaipayana sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian (Catur
Weda), dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda Wyasa yang artinya "Pembagi Weda". Kata Wyasa berarti
"membelah", "memecah", "membedakan". Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa dibantu oleh empat
muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana.

Telah diperdebatkan apakah Wyasa adalah nama seseorang ataukah kelas para sarjana yang membagi Weda.
Wisnupurana memiliki teori menarik mengenai Wyasa. Menurut pandangan Hindu, alam semesta adalah suatu
siklus, ada dan tiada berulang kali. Setiap siklus dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, yang
memiliki empat zaman, disebut Catur Yuga (empat Yuga). Dwapara Yuga adalah Yuga yang ketiga. Purana (Buku
3, Ch 3) berkata:

Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara), Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat
manusia, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati
terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia membuat Weda empat
bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk
mengklasifikasi, dikenal dengan nama Wedawyasa.

Tokoh Mahabharata

Byasa dalam pewayangan

Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis
(pencatat) sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu.
Ibunya (Satyawati) menikah dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citrnggada dan
Wicitrawirya. Citrnggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena
kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yaja
(upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta
menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai.

Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Wyasa yang
sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata
bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati
mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada
Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga
wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama
Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasmani,
maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau
menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu
bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura.
Ketika Gandari kesal karena belum melahirkan, sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu, maka
kandungannya dipukul. Kemudian, seonggok daging dilahirkan oleh Gandari. Atas pertolongan Byasa, daging
tersebut dipotong menjadi seratus bagian. Lalu setiap bagian dimasukkan ke dalam sebuah kendi dan ditanam di
dalam tanah. Setahun kemudian, kendi tersebut diambil kembali. Dari dalamnya munculah bayi yang kemudian
diasuh sebagai para putera Dretarastra.

Wyasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha, sehingga ia
tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri.
Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta
para Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan
senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti.

Penulis Mahabharata

Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa
Brahma, Hyang Ganapati (Ganesha) datang membantu Byasa. Ganapati meminta Wyasa agar ia menceritakan
Mahabharata tanpa berhenti, sedangkan Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, Mahabharata
berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha, Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana
menuturkannya berulang-ulang dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai