Anda di halaman 1dari 138

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENGARUH PERUBAHAN FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN


DI KAWASAN PUSAT KERAJAAN BONE MASA SILAM TERHADAP SPIRIT DAN CITRA
URBAN CULTURE KOTA WATAMPONE, SULAWESI SELATAN

MORFOLOGI KOTA DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL


KERAJAAN BONE DI KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE

Peneliti:
Ketua : Dr. Giosia Pele Widjaja, IAI.
Anggota : Dr. Yohanes Karyadi Kusliansjah, IAI.

Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik


Universitas Katolik Parahyangan
PENGANTAR

Sulawesi Selatan, khususnya kota bersejarah Watampone merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki nilai sejarah, budaya dan arsitektur kota yang kaya sebagai salah satu kota
kerajaan Bone, yang pernah berjaya pada masanya. Hasil penelitian ini yang telah berhasil
menemukenali karakteristik morfologi kota dan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone di
kawasan kota bersejarah Watampone. Hasil penelitian ini juga diharapkan tidak hanya untuk
menambah khasanah pengetahuan dalam bidang arsitketur kota, khususnya terkait dengan kota-kota
kerajaan di Indonesia, melainkan juga dapat memberikan informasi mengenai hal-hal penting terkait
artefak dan situs-situs arsitektural yang penting untuk dilestarikan dan dimanfaatkan dalam rangka
pembangunan berkelanjutan di kawasan kota bersejarah Watampone.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
dukungan yang telah diberikan kepada LPPM Unpar yang telah mendanai penelitian ini dan seluruh
pihak di kota Watampone yang telah memberikan data, informasi dan kesempatan untuk
melaksanakan penelitian ini dengan baik dan lancar. Terima kasih pula kepada Direktoral
Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta yang telah mengundang Penulis sebagai narasumber dalam
acara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan kawasan Watampone.

Salam Sejahtera bagi kita semua,

Dr. Giosia Pele Widjaja, IAI.

Dr. Yohannes Karyadi Kusliansjah, IAI.

vi
PHYSICAL ENVIRONMENT SETTLEMENT CHANGE EFFECT
IN THE CENTER OF THE BONE KINGDOM PAST SPIRIT AND IMAGE
URBAN CULTURE WATAMPONE, SOUTH SULAWESI

MORPHOLOGY AND ARCHITECTURAL SITES OF BONE KINGDOM


IN WATAMPONE HISTORIC DISTRICT

Abstract
The historic district of Watampone is the heart of the capital of Bone Regency. This historic
district was a town-walled of the Central Bugis Kingdom of Bone. Now, the development
phenomena of Watampone has an impact on occurre the physical environment or changes
in the urban morphology which resulted in increasingly waning image of Watampone as
historic district in South Sulawesi. Nevertheless, the old district of this still leaves some of
the city's heritage (urban heritage). This research aims to identify of morphology and
architectural sites of the Bugis Kingdom of Bone remains which still exist as well as it’s
influence on the image of the historic district of Watampone until today. The results of this
study found that physical, morphological Watampone region is no longer shows the
remains of the royal city of Bugis Bone in the past. However, sites of architectural heritage
Bone royal past that still survive are still enough to support the region's image as a historic
city neighborhood. Urban mophology and architectural sites attributes of Bone Kingdom in
Historic City Region Watampone which is the key aspects of identity and architectural
image of the region, namely the expression of physical design, reflects the cultural identity
and values.

Keywords: Historic District, Urban Morphology and Architectural Sites.

vii
PENGARUH PERUBAHAN FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN
DI KAWASAN PUSAT KERAJAAN BONE MASA SILAM TERHADAP SPIRIT DAN CITRA
URBAN CULTURE KOTA WATAMPONE, SULAWESI SELATAN

MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL KERAJAAN BONE


DI KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE

Abstrak

Kawasan Kota Bersejarah Watampone merupakan jantung ibukota Kabupaten Bone.


Kawasan Kota Bersejarah ini pada masa silam merupakan sebuah kota benteng pusat
kerajaan Bugis Bone. Kini, Gejala perkembangan kota Watampone pada saat ini telah
berdampak pada terjadinya perubahan fisik lingkungan atau morfologi kawasan yang
mengakibatkan semakin memudarnya citra kota Watampone sebagai kawasan bersejarah
di Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan kota tua ini masih menyisakan beberapa
warisan kota (urban heritage). Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali morfologi dan
situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih bertahan hingga saat
ini serta pengaruhnya terhadap citra kawasan kota bersejarah Watampone pada saat ini.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa secara fisik, morfologi kawasan Watampone sudah
tidak memperlihatkan lagi sisa-sisa kota kerajaan Bugis Bone pada masa silam. Namun
demikian, situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone masa silam yg masih bertahan
hingga kini masih cukup mendukung citra kawasan ini sebagai kawasan kota bersejarah.
Atribut morfologi dan situs-situs arsitektural kerajaan Bone pada Kawasan Kota Bersejarah
Watampone yang merupakan aspek penentu identitas dan citra arsitektural kawasan. yaitu
pada ekspresi desain fisik, mencerminkan identitas budaya dan nilai sejarahya.

Kata Kunci: Kawasan Kota Bersejarah, Morfologi Kota dan Situs Arsitektural.

viii
DAFTAR ISI

Lembar pengesahan ii
Bukti Pelaksanaan Seminar iii
Lembar Penyelesaian Kegiatan Penelitian iv
Pengantar vi
Abtract vii
Abstrak viii
Daftar Isi ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian 2
1.3. Lokus Penelitian 2
1.4. Metoda Penelitian 5
1.5. Sistematika Pembahasan Laporan Penelitian 6

BAB 2 KAWASAN KOTA BERSEJARAH: TINJAUAN TEORITIK 7


2.1. Kawasan Kota Bersejarah 7
2.2 Identitas Kota 14
2.3. Citra Kota 17
2.4. Hubungan Antara Identitas dan Citra Kota 20

BAB 3 SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE DAN PERKEMBANGAN KOTA


WATAMPONE PADA ERA PRA-KOLONIAL DAN KOLONIAL. 22
3.1. Sejarah Kerajaan Bugis Bone 22
3.1.1. Pra Kolonial: Awal Pembentukan Kerajaan Bugis Bone 22
3.1.2. Kerajaan Bugis Bone Menjadi Kerajaan Islam 31
3.1.3. Kerajaan Bugis Bone Pada Masa Kolonial Belanda 37
3.2. Perkembangan Kota Watampone sebagai Pusat Kerajaan Bugis
Bone 75
3.2.1. Kawerang sebagai Embrio Kota Kerajaan Bugis Bone 76
3.2.2. Dari Kawerang menjadi Kota Benteng Lalebbata 80
3.2.3. Dari Lalebbata menjadi Kota Watampone 82

ix
BAB 4 MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTUR KERAJAAN BONE DI
KAWASAN KOTA BERSEJARAH WATAMPONE 83
4.1. Morfologi Kawasan Watampone 83
4.1.1. Peruntukan Lahan Kawasan 87
4.1.2. Intensitas Pembangunan dan Tata Massa Bangunan 91
4.1.3. Ruang Terbuka Kawasan 94
4.1.4. Sarana Pemerintahan dan Pelayanan Umum 96
4.1.5. Sarana Pendidikan 100
4.1.6. Sarana Kesehatan 102
4.1.7. Sarana Peribadatan 104
4.1.8. Sarana Perdagangan dan Niaga 106
4.1.9. Sarana Ruang Terbuka, Taman dan Lapangan Olah Raga 109
4.1.10. Sarana Perumahan 112
4.2. Situs-Situs Arsitektural Peninggalan Kerajaan Bugis Bone 114
4.2.1. Situs Manurunge 116
4.2.2. Situs Tanah Bangkalae 117
4.2.3. Situs La Pawawoi Saoraja 117
4.2.4. Situs Bola Soba 122
4.2.5. Situs Makam Raja-Raja Bone 124
4.2.6. Situs Masjid Tua Al-Muhajidin 124
4.2.7. Situs Patung Arung Palakka 125

BAB 5 KESIMPULAN 126

Daftar pustaka 129

Lampiran: Pertanggungjawaban keuangan penelitian

x
REKAPITULASI ANGGARAN PENELITIAN

4.1. Rekapitulasi Pembiayaan Penelitian

No. Uraian Jumlah **


LPPM Total
1 Gaji Peneliti dan Upah Surveyor 3.520.000
2 Bahan Habis Pakai dan Peralatan 3.000.000
3 Perjalanan Survei 4.400.000
4 Lain-lain 1.080.000
Jumlah Biaya 12.000.000
** termasuk pajak 10,5%

4.2. Gaji dan Upah

Jumlah Honor/ Biaya


No. Pelaksana Kegiatan Jumlah
Jam/Minggu Jam (Rp.)
1 Peneliti 1 1* 50.000 1.320.000
2 Anggota peneliti 1 1* 40.000 960.000
3 Anggota peneliti 1 1* 35.000 840.000
4 Petugas Survei 1 surveyor 4** 12.500 400.000
Jumlah Biaya 3.520.000
*dihitung untuk 6 bulan; 4 minggu per bulan ** per hari/ 8jam

4.2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan

Biaya Satuan Biaya


No. Bahan Volume
(Rp.) (Rp.)
1 Beli peta dan buku data kota 1 500000 500.000
2 Bi.penyusunan peta digital kota 1 1500000 1.500.000
3 Buku memo surveyor 2 50.000 100.000
4 Beli map folder 2 25.000 50.000
5 Alat tulis + CD 1 25.000 25.000
4 Kertas HVS 80 grm 1 rim 125.000 125.000
5 Tinta printer 1 700.000 700.000
Jumlah Biaya 3.000.000

4.3. Perjalanan Survei

No. Tujuan Volume Biaya Satuan (Rp.) Biaya (Rp.)


1 Taxi kota Bandung 2 50.000 100.000
2 Travel Bdg-Cirebon pp 2 x2 500.000 2.000.000
3 Konsumsi perjalanan tim 2x2 150.000 600.000
4 Hotel 2 450.000 900.000
5 Taxi di kota Cirebon 2 400.000 800.000
Jumlah Biaya 4.400.000

xi
4.4. Lain-lain

Biaya Satuan Biaya


No. Uraian Kegiatan Volume
(Rp.) (Rp.)
Penelusuran bahan pustaka+
1 1 150.000 150.000
Print
Biaya administrasi,
2 1 100.000 100.000
korespondensi, telepon
3 Snack penelitian 4x6 5000 120.000
6 Pengurusan perijinan survei 4 perijinan 50.000 200.000
Pencetakan print dummy
7 1 150.000
laporan Color+BW
Fotocopy laporan(1 exp. terdiri
8 100 lembar 1 muka, HVS, 80 3 exp. 150/lb 45.000
gram)
Print color 30 lb isi laporan 3 exp 90000 270.000
Penjilidan laporan tahun
9 3 exp. 15000 45.000
pertama
Jumlah Biaya 1.080.000

xii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kawasan Kota Bersejarah Watampone merupakan jantung atau pusat dari ibukota
Kabupaten Bone. Kawasan Kota Bersejarah ini pada masa silam merupakan kota
Benteng pusat kerajaan Bone. Kini, kawasan ini telah menjadi kawasan kota tua dan
masih menyisakan beberapa warisan kota (urban heritage). Namun tidak sedikit dari
bangunan dan elemen-elemen spesifik kota Watampone tersebut tidak dapat dinikmati
karena telah banyak yang dihancurkan dan diganti dengan bangunan-bangunan
bergaya modern tanpa konsep yang jelas dan memiliki nilai arsitektur yang lebih
rendah dibanding dengan bangunan yang dihancurkan.

Dalam perkembangannya sampai saat ini, di kawasan Kota Bersejarah Watampone ini
pusat kegiatan didominasi oleh perkantoran pemerintahan Kabupaten Bone, sentra
ekonomi, pendidikan dan layanan umum lainnya. Pusat konsentrasi kota akan terjadi
pada kawasan ini pada jam sibuk dari pagi hingga sore. Kota Watampone juga
melakukan pembenahan guna memaksimalkan pelayanan umum dan pengembangan
kota. Dengan menggunakan jantung kota sebagai sentralisasi perkantoran
pemerintahan kabupaten Bone, maka kawasan ini sangat efesien dalam menunjang
kota. Kecenderungan umum yang terjadi pada kawasan kota bersejarah Watampone
ini, antara lain telah terjadi gejala:
1. Pembangunan fisik lingkungan perkotaan yang berlangsung dengan cepat
sehingga cenderung tidak terkendali dan mengarah pada pembentukan wilayah
kumuh, yang tidak serasi, tidak efisien, tidak nyaman, dengan ketersediaan sarana
dan prasarana yang tidak memadai.
2. Pembangunan fisik akan berlangsung secara parsial sehingga akan membentuk
“pulau-pulau” (enclave) kawasan baru tidak membentuk suatu tata ruang kota yang
serasi dan tidak memiliki citra visual yang baik.

1
1.2. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini terletak pada adanya gejala perkembangan kota yang demikian
pada akhirnya berdampak pada terjadinya perubahan fisik lingkungan permukiman
yang terjadi di kawasan Pusat kerajaan Bone Masa Silam di kota Watampone. Hal ini
dalam perkembangannya berdampak lebih jauh terhadap mulai memudarnya identitas
dan citra kota Watampone sebagai kawasan bersejarah di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka muncul pertanyaan Dengan demikian,
tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi morfologi dan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis
Bone yang masih bertahan hingga saat ini.
2. Mengidentifikasi citra kawasan kota bersejarah Watampone pada saat ini.

1.3. LOKUS PENELITIAN

Lokasi penelitian ini berada kota Watampone yang berada di provinsi Sulawesi
Selatan dan juga merupakan ibukota Kabupaten Bone. Kota Watampone
terletak di 174 km ke arah Timur dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yaitu
Kota Makassar. Secara geografis Kota Watampone terletak pada 04 0 13’-150
07’ LS dan 1190 45’ – 1200 30’ memiliki luas wilayah kurang lebih 126,35 km2,
dengan batas-batas administrasi di sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Awangpone, Timur berbatasan dengan Teluk Bone, Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Barebbo dan Palakka dan sebelah Barat
berbatasan dengan Kecamatan Palakka. Lokus penelitian ini adalah sebuah
kawasan historis yang dahulu merupakan kawasan pusat kerajaan Bone yang ditandai
batasnya oleh jalur-jalur jalan kota yang dahulunya merupakan bangunan dinding
benteng kerajaan.

2
Gambar 1.1. Konteks dan lokasi kawasan penelitian di Kota Watampone
Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan

3
Gambar 1.2. Delineasi Kawasan yang menjadi lokus penelitian

Lokus penelitian ini ditetapkan dengan dasar bahwasannya kawasan tersebut


merupakan kawasan bersejarah. Parameter yang menentukan urgensinya adalah
kawasan bersejarah Watampone ini merupakan warisan budaya tersebut tergolong
sangat memenuhi kriteria konservasi yakni usianya telah bahkan lebih dari satu abad.
Selain itu kawasan tersebut juga memiliki potensi sebagai suatu locus solus maka
kawasan tersebut memiliki nilai lebih yang merekam peristiwa-peristiwa penting yang
berhubungan dengan sejarah sosial, ekonomi dan atau peristiwa politik baik yang
berskala lokal, regional, nasionai hingga internasional. Selain itu pula, penetapan lokus
penelitian didasarkan pada keutuhan dan eksistensi keseluruhan morfologi bangunan,
path, batas tepian, tetenger, distrik, nodes, ketinggian bangunan.

4
1.4. METODE PENELITIAN

Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan pengetahuan morfologi kota sebagai


pendekatan dan alat analisis dengan prosedur pengumpulan data dan analisa sebagai
berikut :

1.4.1. Prosedur pengumpulan data:


 Mengumpulkan landasan teori dan data mengenai objek dengan studi literatur /
kepustakaan.
 Ilmu mengenai morfologi dan citra kota dalam arsitektur banyak terdapat dalam
literatur. Data-data mengenai objek sejenis pun banyak terdapat dalam literatur,
maka sebelum mengumpulkan data objek dari lapangan, pembahasan mengenai
objek sejenis dipelajari terlebih dahulu, sebagai perbandingan dengan objek di
lapangan.
 Mengumpulkan data-data objek dengan survey lapangan. Yakni dengan
mengamati objek secara langsung. Melihat kegiatan masyarakat yang bermukim di
kawasan pusat kerajaan Bone masa silam pada saat ini, melihat proses
bermukimnya.
 Pengambilan gambar/ foto dengan menggunakan kamera.

1.4.2. Prosedur analisis data:


1. Analisis Deskriptif pada objek yang di bahas.
 Mendeskripsikan lingkungan permukiman, unsur-unsur lingkungan permukiman
seperti rumah, fasilitas umum, fasilitas sosial serta sarana dan prasarana lainnya
dan lain-lain yang tampak pada kehidupan sehari-hari.
 Mendeskripsikan bentuk dan pola fisik lingkungan permukiman serta faktor-faktor
yang mempengaruhi citra kota Watampone pada saat ini.
2. Analisis Kualitatif, yakni didasarkan pada perbandingan antara studi literatur dengan
keadaan sesungguhnya di lapangan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif
dengan pertimbangan bahwa penelitian mengenai kawasan kota bersejarah pada
umumnya lebih memiliki kaitan dengan nilai-nilai keejarahan dan nilai-nilai sosio
kultural yang memiliki makna dan nilai heterogen serta pengertian simbol-simbol
tradisi yang bersifat metaforik yang berpengaruh terhadap citra kotanya.

5
1.5. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:


Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, lokus
penelitian, metoda penelitian dan sistematikan pembahasan laporan penelitian.
Bab 2 Kawasan Kota Bersejarah: Kajian Teori. Bab ini berisi telaah teoritik guna
memberikan wawasan mengenai pemahaman tentang kawasan kota bersejarah dan
hubungannya dengan citra dan identitas kota.
Bab 3 Sejarah Kerajaan Bone dan Perkembangan Kota Watampone dari era Pra
Kolonial hingga masa Kolonial. Bab ini berisi penjelasan tentang sejarah kerajaan
Bone masa silam, dari mulai masa awal pembentukannya hingga berada di bawah
kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Penjelasan tentang aspek kesejarahan ini
dilakukan melalui metoda desk-study dengan menelaah kajian-kajian sejarah kerajaan
Bone yang telah ada dan kemudian disusun kembali untuk kepentingan penelitian ini.
Penjelasan aspek kesejarahan ini sangat penting guna memberikan wawasan
mengenai latar konteks, baik dari aspek politik dan kekuasaan serta sosial budaya
yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kotanya. Materi di
dalam bab ini selanjutnya membahas tentang perkembangan kota Watampone dari
mulai masa awal pembentukannya hingga berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia
Belanda yang telah berubah-ubah nama dari Kawerang sebagai embrio kota, berubah
menjadi Lalebata sebagai kota benteng dan akhirnya menjadi Watampone sebagai
kota pusat kerajaan Bone.
Bab 4 Morfologi dan Situs-Situs Arsitektural Pembentuk Citra Kawasan Kota
Bersejarah Watampone pada era Post-Kolonial. Bab ini berisi penjelasan dari hasil
analisis morfologi kawasan yang membedah unsur-unsur pembentuk kawasan seperti
tata guna lahan, sarana dan prasarana kawasan, jaringan jalan, ruang terbuka, tata
bangunan dan arsitektur bangunan termasuk bangunan-bangunan situs peninggalan
kerajaan Bone masa silam. Telaah morfologi ini memberikan masukan bagi interpretasi
tentang citra kawasan kota bersejarah Watampone ini di masa sekarang.
Bab 5 Kesimpulan, berisi sintesa dari hasil penelitian ini dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.

6
BAB 2
KAWASAN KOTA BERSEJARAH : TINJAUAN TEORITIK

2.1. KAWASAN KOTA BERSEJARAH

Kawasan Kota Bersejarah dan Konservasi Kawasan bersejarah atau kota lama di
Indonesia mengalami tekanan pembangunan. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aset
budaya berupa bangunan dan kawasan kota lama/tua terancam oleh modernisasi.
Pembangunan kota yang kurang dapat mengakomodasi kepentingan budaya, hanya
berkonsentrasi pada fokus pembangunan ekonomi, seringkali mengakibatkan kota tidak
lagi menyisakan warisan bersejarah, berupa bangunan dan kawasan lama sebagai tanda-
tanda/penciri peradaban. Atas dasar pertimbangan dinamika pembangunan dan dampak
pembangunan berupa potensi hilangnya warisan sejarah tersebut, maka sudah
selayaknya dilakukan sejumlah upaya perlindungan. Pelestarian memang dilematis, pada
satu sisi mencoba mempertahankan, namun di sisi lain justru harus mengakomodasi
perubahan. Pengendalian perubahan merupakan salah satu hal penting dalam proses
perlindungan aset bersejarah.

Implementasi kegiatan konservasi, sebagai payung dari kegiatan pelestarian,


sebagaimana kerap diberitakan, masih bersifat trial dan eror, dan belum diformulasikan
sebagai sebuah kebijakan publik. Sejumlah upaya telah dilakukan, namun memang
persoalan implementasi di lapangan tidak mudah dan masih membutuhkan proses
pematangan. Kriteria penetapan, penggolongan serta tindakan seperti apa yang mesti
dilakukan, sejauhmana intervensi boleh dilakukan, seberapa besar perubahan dizinkan,
serta implikasi terhadap setting lingkungan masih menyisakan sejumlah pertanyaan,
misalnya adakah dampak terhadap keutuhan struktur/morfologi kawasan akibat sisipan
bangunan baru (infill) selain persoalan visual? Selain itu ada perbedaan perlakuan
(treatment) yang mendasar antara objek konservasi berupa bangunan tunggal dengan
objek konservasi berupa kawasan.

7
Perbedaan ini juga menimbulkan sejumlah catatan, yang perlu dituntaskan. Sehubungan
dengan hal tersebut, UU 11/2010 Cagar Budaya secara eksplisit sudah menyatakan
keberadaan kawasan cagar budaya, namun operasionalisasi dan implementasi proses
perlindungan masih terbuka lebar. Sejumlah kecil kota besar memang sudah memiliki
daftar bangunan/kawasan yang dilindungi, namun implementasinya belum secara eksplisit
merujuk kepada arahan yang baku. Sebagai sebuah wacana pelestarian berbasis
kawasan (area-based conservation), bukanlah sesuatu yang baru, karena Konvensi
UNESCO 1972 tentang kategori cultural heritage juga menyatakan adanya situs (sites),
selain kelompok bangunan (groups of building) dan monumen (monuments). Hingga saat
ini dalam praktek kegiatan pelestarian masih masih bersifat eksperimental.

Berbeda dengan museum, kota merupakan sebuah organisme hidup, dan kota memuat
segala cerita kehidupan masyarakatnya, sehingga tidak mungkin me-museum-kan kota.
Cerita akan tanda-tanda peradaban tersebut mesti dipertahankan untuk dapat diteruskan
kepada generasi selanjutnya. Oleh karenanya, tanda-tanda berupa kawasan kota lama
sudah semestinya dan perlu dimanfaatkan kembali, sebagai penyertaan fabric kedalam
kerangka modernisasi. Di dalam pemanfaatan tersebut, perlu ada penafsiran, yakni
memberi makna kembali melalui perubahan dan penyesuaian fungsi dan aktivitas. Pada
dasarnya, perubahan dan penyesuaian fungsi/aktivitas dan fisik menjadi bagian utama
dalam kegiatan pelestarian. Hal ini mengindikasikan adanya proses belajar dan
bagaimana keberlanjutan artefak dapat sekaligus menjadi bagian dari kebutuhan
kontemporer. Hal yang sulit dihindari adalah sebuah keniscayaan, bahwa konservasi
harus menjadi kerangka kebijakan modernisasi, selaian kenyataan bahwa kegiatan
pelestarian tidak bisa dilepaskan di dalam konteksnya, yakni masyarakat itu sendiri.
Terkait dengan kemiripan peran museum sebagai wadah penyimpan memori kolektif,
makalah ini membahas potensi kota dan kemungkinan pendekatan dalam memanfaatkan
tanda-tanda peradaban untuk memperkaya kualitas kota.

Menurut Ouf (2001) selama lima dekade terakhir konservasi lingkungan perkotaan (urban
conservation) telah berkembang secara signifikan menjadi bagian dari disiplin rancang
kota (urban design), yang secara khusus menangani upaya-upaya perlindungan kawasan
kota tua/bersejarah. Awalnya, kawasan kota lama/bersejarah hanya dianggap sebagai
8
tempat (locus) bagi monumen atau objek arsitektur yang dilestarikan. Konservasi
lingkungan perkotaan ini ternyata juga menarik minat para perancang dan pengelola kota,
yang perduli terhadap pembentukan identitas kota dengan nilai kesejarahan sebagai
bagian dari identitas kota yang otentik. Selain itu, khususnya dalam dekade terakhir ini,
terindikasi meningkatnya peran perancang kota (urban designer) dan tumbuhnya
pemahaman baru tentang urban heritage juga membawa kebaharuan dalam pendekatan
praksis dan teoretis pada kajian lingkungan perkotaan.

Diskursus terkini tentang pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) tidak lagi
sekedar dibatasi pada upaya mempertahankan keaslian (authenticity) 2 sejarah kota,
namun justru lebih banyak membahas penciptaan pengalaman urban (experience) yang
khas serta tetap memiliki identitas kesejarahan. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan
sebuah sense of place dinilai jauh lebih penting ketimbang hanya sekedar melakukan
restorasi (detail) elemen fisik urban. Penciptaan suasana (experience) ini bisa dilakukan
melalui tindakan-tindakan sbb.: a. pemilihan kawasan-kawasan (bersejarah) kota yang
perlu dilestarikan, b. pemilihan bagian kota yang penting bagi upaya
pelestarian/konservasi, dan c. melalui pemilihan elemen-elemen khas urban, misalnya
RTH, badan air, aktivitas dlsb., yang memang perlu dipertahankan. Terkait bahasan urban
conservation di atas, Punter dan Carmona (1997), menegaskan bahwa gagasan tentang
kelestarian kualitas ruang kota (urban space) telah mewarnai diskusi tentang
pelestarian/konservasi lingkugan perkotaan (urban conservation) modern.

Wacana ini bertolak dari kondisi, bahwa dari pengalaman internasional kegiatan
pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) memang memperlihatkan adanya
kepentingan yang berseberangan (conflicting interest) antara displin arkeologi dan displin
rancang kota (Ouf, 2001). Arkeologi memiliki fokus kajian pada restorasi monumen
sebagai objek, sedangkan disiplin rancang kota (urban design) secara tegas menyatakan
pentingnya kelestarian semangat zaman (spirit of the past) melalui kualitas ruang kota.
Meski demikian, pada prakteknya Ouf (1999) melihat adanya potensi kolaborasi antara
arkeolog, perencana kota, arsitek, arsitek lanskap dan perancang kota demi terujudnya
pengalaman urban yang utuh dan memiliki identitas kesejarahan. Untuk mencapai tujuan
tersebut masing-masing disiplin, maka berbeda dengan pemahaman dunia Barat tentang
9
authenticity yang lebih menekankan pada ranah material/fisik, Larkham (1996)
menjelaskan bahwa otentisitas, khususnya pemahaman di dunia Timur, tidak sekedar
berada pada tataran material objek (fabric). Konsep authenticity (keaslian) justru dipahami
pada aspek kelestarian dari tradisi dan teknik membangun, serta pada kelestarian
fungsi/pemakaian yang menjamin kelangsungan/keberadaan artefak tersebut. Pendlebury
(2009) dan Orbașli (2008) mencontohkan dengan kasus kuil Shinto di Jepang.
Penghancuran dan rekonstruksi bangunan yang terjadwal dinilai, sebagaimana tersirat di
dalam Dokumen Nara (1994), sebagai sebuah upaya pelestarian tradisi membangun yang
tidak melulu kepada budaya material (tangible), serta mengilustrasikan siklus kehidupan
yang sesungguhnya yang sarat makna (intangible).

Arkeolog dan arsitek perancang kota, harus bisa menerima kenyataan adanya diversifikasi
upaya tentang metodologi, yang bervariasi dari mulai pekerjaan restorasi monumen,
rehabilitasi bangunan, pembuatan replika bangunan yang telah hancur, dan bahkan
hingga kepada upaya pelestarian kawasan/situs. Pada realitanya, pelestarian kawasan
bersejarah kota (urban heritage conservation) memang bukan sekedar upaya untuk
mempertahankan dan menciptakan hubungan visual yang harmonis antara bentuk-bentuk
lama dan baru. Pemanfaatan bangunan-bangunan tua pada kawasan bersejarah memiliki
kontribusi penting dalam upaya peningkatan kualitas kawasan, dan sekaligus membuka
peluang proses apresiasi budaya. Oleh karenanya, penciptaan sense of place lebih dari
hanya sekedar mengembalikan keaslian (authenticity) kawasan kota.

Intervensi fisik (new in-fill developments) justru harus dibuat lebih bermakna dan responsif,
demi terjaminnya keberlanjutan sosial, budaya dan lingkungan. Artinya, pelestarian
melalui intervensi fisik mesti dipahami pula sebagai sebuah upaya atau kegiatan
berkelanjutan dalam membentuk lingkungannya. Diskusi tentang urban conservation ini
mengungkapkan adanya pergeseran substansi desain sebagai sekedar “penampilan
eksternal”. Perhatian tidak sekedar pada bahasan ranah townscape, tetapi mencakup
ranah publik dan ruang publik, serta pergeseran fokus kepada persepsi publik dan
penciptaan pengalaman/suasana yang ditawarkan oleh keberadaaan bangunan dan ruang
kotanya. Pergeseran dan perubahan tersebut berkaitan dengan perkembangan
pendekatan pelestarian kontemporer, dimana fokus tidak lagi hanya pada bangunan
10
tunggal, tetapi secara substansi dan spatial meluas, karena adanya pertimbangan
fungsional maupun kesadaran dari aspek ekologis. Hal ini menjadi sebuah legitimasi
bahwa adanya perubahan, pergeseran dan perluasan makna, membutuhkan pengkajian
dan pengujian ulang terhadap kebijakan perlindungan yang ada (Jokilehto, 1999). Dalam
hal ini maka, perancang kota perlu lebih kritis ketika membaca/menafsirkan otentisitas di
dalam konteks urban, mengingat kompleksitas urban sebagai objek dan keberhasilan
untuk mencapainya. Singkatnya, konservasi lingkungan perkotaan dianggap berhasil bila
bersifat responsif dan memiliki kontribusi nyata. Pelestarian Berbasis Kawasan Kualitas
tempat yang khas memang tidak sekedar dibentuk oleh bangunan saja, tetapi juga oleh
elemen rancang kota lainnya seperti: pola dan struktur jalan, jalur pedestrian dan
batasbatas kawasan, material bangunan dan bahan penutup jalan, fungsi bangunan
campuran khusus, ruang-ruang publik dan privat, seperti misalnya kebun, taman,
daerah/ruang hijau, pepohonan dan street furniture, yang secara keseluruhan memiliki
kontribusi signifikan, termasuk aktivitas khas dan semua elemen pentinglainnya yang
diyakini juga merupakan bagian dari karakter cagar budaya (Burgess dan Tuvey, 2005).
Dengan demikian, pelestarian berbasis kawasan4 diperlukan untuk melindungi kawasan
berkarakter, baik karena pertimbangan rona (setting) lingkungan dan/atau makna yang
memiliki kontribusi signifikan. Bila dikaitkan dengan pemikiran keberlanjutan dalam
pembangunan kota, pelestarian berbasis kawasan ini, di negara-negara industri, bertalian
erat dengan model-model pembangunan

Perlu dipahami bahwa skala intervensi pada pelestarian kawasan cagar budaya kota lebih
kompleks dibandingkan dengan pelestarian bangunan tunggal. Oleh karena itu dalam
konteks authenticity akan sangat sulit intervensi dalam skala kawasan kota (urban setting)
dibandingkan dalam skala bangunan. Pada kenyataannya keinginan untuk
mempertahankan keaslian lingkungan kota masih sangat dominan, ketimbang upaya
untuk menawarkan pengalaman urban. Tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian
kawasan cagar budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas
(urban authenticity) tanpa harus mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail
arsitektural, komunal dan fitur urban lainnya 4 Bila dicermati dari tinjauan sejarah
perkembangannya, pelestarian berbasis kawasan termasuk kedalam fase akhir kegiatan

11
pelestarian, yang tentu saja lebih kompleks dibanding pada tahap awalnya
(Martokusumo/Zulkaidi, 2014; Martokusumo, 2011 dan Larkham, 1996).

Di dalam model pembangunan tersebut terdapat juga upaya-upaya penguatan


kemampuan kota/tempat dalam menjaga kelangsungan struktur sosial-ekonominya.
Selanjutnya, elemen rancang kota (urban design elements) akan digunakan untuk
menciptakan wadah bagi keberlanjutan struktur sosial-ekonomi kawasan. Dengan
demikian, upaya-upaya untuk membangun kota yang berkelanjutan seharusnya juga
didasari oleh motivasi untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas, termasu penguatan
jejaring sosialekonomi kawasan. Dalam konteks ini, Moughtin (2005) ingin mengingatkan
kembali bahwa selaian aspek fungsional, kualitas lingkungan perkotaan juga turut
ditentukan oleh nilai-nilai estetika. Berbeda penanganan pada pelestarian bangunan
(architectural conservation) yang bersifat lebih sederhana, maka penciptaan kawasan
pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation) memerlukan sejumlah
pertimbangan.

Terkait hal ini, Ouf (2001) menjelaskan bahwa identitas fisik kesejarahan dari sebuah rona
kota dapat berasal dari koridor jalan, massa bangunan, dan keseluruhan karakter kotanya.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, fokus dari kegiatan pelestaruan lingkungan
perkotaan adalah sbb. (Martokusumo/Zulkaidi, 2014): a. Dapat berupa pendekatan
berbasis elemen sirkulasi/jalan, dimana upaya pelestarian akan tertuju pada penanganan
bangunan dan fitur-fitur urban sepanjang sebuah koridor utama, b. Merujuk kepada
bangunan dan fitur-fitur urban yang berada di dalam sebuah kawasan tertentu (kota) yang
berkembang dengan batas-batas yang jelas (area-based conservation atau area-bound
approach), dan c. Berkaitan dengan penerapan konsep sense of place pada sebuah
kawasan (inti) urban tertentu, untuk membentuk suasana pelestarian yang kuat serta
mendukung upayaupaya lanjut pelestarian. Prospek Pelestarian Pengelolaan bangunan
dan lingkungan bersejarah memerlukan komitmen dan partisipasi yang luas. Memang
tidak mudah untuk menempatkan pelestarian menjadi bagian dari kerangka politik
kebijakan modernisasi pembangunan. Melihat hakekatnya, pelestarian acapkali dianggap
merupakan hambatan pembangunan dan modernisasi.

12
Dengan meningkatnya kompleksitas dan dinamika pembangunan persoalan ini menjadi
semakin jelas. Bagaimanapun, sebagaimana terlihat pada realitasnya, mengakomodasi
permasalahan sosial, ekonomi, ekologi serta aspek terkait lainnya dalam paket kegiatan
konservasi memerlukan upaya ekstra. Dalam hal ini diperlukan kecermatan, kepekaan dan
daya cipta. Mengedepankan pembangunan budaya dan peradaban tidaklah berarti solusi
para arsitek terhadap masalah pelestarian bangunan lama boleh mengabaikan kehidupan
ekonomi setempat. Selain harus menjadi bagian dari apresiasi budaya, kegiatan
pelestarian ini harus mengakomodasi kepentingan ekonomi juga. Dari berbagai kajian
empiris, upaya pelestarian ini lekat dengan usaha memulihkan kembali kawasan-kawasan
yang telah jenuh (urban regeneration). (Hurley, 2010; Timothy dan Nyaupane, 2009 dan
Logan et al., 2002) Penguatan ekonomi yang terarah dapat memperkuat kestabilan
sturktur sosial yang pernah ada, melalui program penguatan komunitas lokal.

Pada dasarnya, kawasan pelestarian lingkungan perkotaan (urban conservation area)


mencakup elemen signifikan urban, yakni bangunan dan ruang (kota) sebagai sebuah
kesatuan unik, yang mencerminkan karakter kawasan dan identitas tempat. Pelestarian
arsitektur/architectural conservation (Orbașli, 2008) kini memposisikan dirinya sebagai
sebuah disiplin keilmuan di antara sains material pelestarian dan pengelolaan
berkelanjutan dan lingkungan binaan bersejarah (cagar budaya). Meski tidak harus selalu
terkait dengan objek bangunan tungal, pertimbangan untuk pelestarian kelompok
bangunan (ensemble) atau pun kawasan urban menjadi lebih kompleks.

Kawasan kota bersejarah sebagai Living Museum


Dalam pemahaman inilah, keterkaitan antara keberadaan bangunan dan eksistensi
masyarakatnya selalu menuntut interpretasi baru. Dengan demikian, seharusnya
bangunan dan lingkungan lama sebagai aset budaya tidak lagi dianggap sebagai artefak
sejarah belaka (komoditas), tetapi juga sebagai bagian dari proses investasi kegiatan
lainnya yang mampu memberi perspektif kehidupan baru. Upaya untuk merelevankan
dengan kebutuhan masa kini merupakan sebuah upaya pemberian makna baru bagi
keberadaan objek pelestarian tersebut. Hanya dengan cara inilah, maka upaya untuk
menyertakan objek pelestarian sebagai bagian dari kerangka modernisasi dapat
diimplementasikan untuk dapat terus merespons dinamika. Sebagai konsekuensi logis,
13
para arsitek dan perencana atau pun para penentu kebijakan kota, harus mau membuka
wawasan ekstra dan lebih sensitif terhadap isu-isu sosial dan ekologi dalam persoalan
bangunan dan lingkungan lama/cagar budaya.

Relasi dan peran kota (bersejarah) terkait dengan potensi sebagai wadah/penyimpan
tanda-tanda perdaban. Meski secara analogis terdapat kemiripan peran dengan museum
sebagai tempat penyimpan, kota memiliki peran/persoalan yang lebih kompleks. Sebagai
organisme hidup, dinamika kota sebagai lingkungan hidup sangat tinggi dan berbeda
dengan museum. Namun demikian memori kolektif sebuah kota yang direpresentasian
melalui bangunan dan kawasan bersejarah boleh jadi menjadi penciri sejarah panjang
kota tersebut. Tidaklah berlebihan bila kota sebagai bentuk peradaban perlu menjaga dan
melindungi tanda-tanda peradabannya. Selanjutynay ditegaskan kembali bahwa, berbeda
dengan kegiatan pelestarian bangunan, pelestarian lingkungan perkotaan merujuk kepada
kawasan ataupun daerah di perkotaan yang dinilai memiliki signifikansi tertentu.

Pernyataan signifikansi ini disusun dari apresiasi terhadap konteks dan rona kota (urban
setting) tersebut. Mengingat kompleksitas dan pengalaman empiris kegiatan pelestarian
menunjukkan bahwa tantangan kedepan justru bagaimana pelestarian kawasan cagar
budaya bisa dilakukan untuk memperkuat pengalaman urban yang khas tanpa harus
mengorbankan kondisi eksisting dari keaslian detail arsitektural, komunal dan fitur urban
lainnya. Makalah ini juga menawarkan pendekatan pelestarian berbasis kawasan (area-
based conservation). Pendekatan ini adalah cara untuk menjaga aset kota yang memiliki
kontribusi signifikan terhadap pembentukan kualitas (bagian) kota. Selain itu arahan
perancangan, sebagai bagian dari mekanisme pengendalian, dan dukungan partisipasi
luas dari komunitas dan stakeholders menjadi konsekuensi yang harus ditindaklanjuti.

2.2. IDENTITAS KOTA

Kawasan kota bersejarah sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai aspek yang
dapat mengangkat, mengembangkan dan mencirikan kota itu sendiri, seperti nilai historis
dan aspek-aspek yang bersifat faktual lainnya yang membuahkan suatu identitas bagi
kota. Identitas kota memang harus merupakan sesuatu yang spesifik, yang dapat
14
membedakan satu kota dengan kota lainnya. Dalam hal ini masing-masing lingkungan
(kota) tentu memiliki identitas, sesuatu yang melahirkan karakter (ciri khas) yang
membedakan dengan kota lainnya. Suatu kota seharusnya memiliki sesuatu yang khas
dan orisinil yang nantinya akan membentuk identitas kotanya. Hal ini tentu akan
menjadikan pulse (kemenarikan) bagi kotanya.

Identity is the extent to wich a person can recognize or recall a place as being distinct from
other places as having vivid, or unique, or at least a particular, character of its own. Dari
defenisi ini, dapat dikatakan bahwa identitas adalah suatu kondisi saat seseorang mampu
mengenali atau memanggil kembali (ingatan) suatu tempat yang memiliki perbedaan
dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Identitas adalah hal mendasar
yang sanagt penting. Hal ini dikarenakan identitas adalah sesuatu yang digunakan untuk
mengenali, membedakan suatu tempat dengan tempat lainnya Kevin Lynch, Good City
Form (1984;131) Identitas kota bisa berwujud fisik atau non-fisik, aktifitas sosial, nilai
ekonmis, atau pengejawantahan politik. Seorang pengamat bisa menangkap berbagai
bentuk identitas dari suatu kota maupun kawasan, baik itu berwujud fisik maupun non-
fisik. Kemampuan menangkap adanya identitas kota tergantung dari latar belakang si
pengamat, yang menurutnya lebih menarik dan mudah untuk diingat dan dijadikan ciri
akan dijadikannya sebagai identitas kawasan tersebut. Bisa dikatakan tergantung dari
kesukaan atau selera dan sudut pandang si pengamat pada informasi-informasi yang ingin
diambilnya (benda-benda fisik atau hal lain yang bersifat non-fisik seperti sosial, ekonomi,
budaya). Kemudian informasi tadi digunakan untuk mengenali kawasan tersebut dengan
cara memberikan makna dan perasaan pada kawasan tersebut.

Hal ini merupakan salah satu yang membuat perbedaan ketika menangkap suatu identitas
(subyektifitas) identitas sebuah kota atau kawasan dapat muncul dengan sendirinya, dapat
pula diciptakan. Kota bisa berkembang diikuti pertambahan populasi dan bentuk fisiknya.
Tentu hal ini juga memiliki dampak pada identitas. Karena identitas dapat berwujud
bermacam-macam, tak tertutup kemungkinan bahwa perkembangan kota bisa melahirkan
identitas baru. Bisa saja suatu pembangunan sesuatu hal yang bersifat monumental akan
membuat identitas baru suatu kawasan (baik itu direncanakan untuk dijadikan identitas
maupun tidak), bisa saja suatu perilaku sosial masyarakat yang baru dalam suatu
15
kawasan membuat suatu budaya baru yang ditangkap masyarakat sebagai hal yang
mencirikan atau memberikan identitas terhadap kawasan tersebut. Idenitas kota yang
berwujud fisik adalah segala sesuatu yang bersifat fisik yang bisa djadikan pengidentifikasi
kawasan tersebut. Identitas fisik yang mudah ditangkap oleh pengamat adalah suatu objek
yang dijadikan acuan (point of reference) terhadap kawasannya. Bangunan yang bersifat
besar, mudah dilihat dan monumental biasanya dijadikan pengamat sebagai acuan
(landmark).

Secara tidak langsung hal ini menjadikannya obyek yang mudah diingat yang mencirikan
kawasannya. Tidak hanya itu, hal lain yang bersifat fisik lainnya seperti halte, jalan, funitur
kota, pavement, jembatan dan banyak hal lainnya juga bisa menjadi identitas kota secara
fisik. Identias kota yang bersifat non-fisik merupakan identitas kota yang dibuat oleh
perilaku warga kotanya. Identitas tersebut bisa merupakan faktor sosial, ekonomi dan
budaya. Suatu aktifitas sosial yang berbeda dengan banyak kawasan pada umumnya
akan memberikan identitas yang lebih mudah ditangkap oleh pengamat. Misalnya seperti
aktifitas perjudian di kota Las Vegas dimana masyarakat pada ummnya melihat aktifitas
tersebut sebagai sesuatu yang berbeda, melihat dan berasumsi perjudian identik dengan
kota Las Vegas dan sebaliknya. Selain itu juga ada faktor budaya seperti acara adat
ngaben di daerah Bali yang masih dilakukan sampai sekarang, yang memberikan identitas
bagi daerah Bali itu

Banyak orang mengatakan bahwa Bali juga daerah yang kental dengan unsur
pariwisatanya yang ditandai dengan banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara
yang datang. Kedua hal ini bukan hal yang salah dalam suatu identitas, karena keduanya
merupakan suatu fakta yang bisa mengidentifikasikan daerah Bali. Sebagaimaa dikatakan
sebelumnya, hal yang lebih menonjol untuk menjadi suatu identitas bagi seorang
pengamat tergantung dari sudut pandang dan seleranya dalam menangkap informasi-
informasi yang paling menonjol di kawasan tersebut. Identitas kota atau kawasan tidak
harus merupakan suatu hal yang selalu sama. Sebab identitas kota juga bisa berubah
sejalan dengan waktu. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kota mampu berkembang menjadi
kota yang lebih besar, kota yang lebih baik maupun menjadi kota yang lebih buruk. Hal ini
memungkinkan pudarnya identitas yang melekat sebelumnya pada suatu kota oleh
16
sesuatu yang baru, yang lebih emiliki attestation yang lebih dibanding identitas
sebelumnya. Misalnya identitas fisik suatu kawasan bisa berubah dengan adanya
pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik pada kawasan tersebut. Hal kecil seperti
pemasangan reklame (papan iklan) akan berpengaruh sedikit banyak pada identitas kota
secara fisik. Tapi tidak hanya identitas kota yang bersifat fisik yang dapat berubah,
identitas kota yang dibentuk masyarakatnya pun dapat berubah. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang masuk, cukup memberikan pengaruh besar pada
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat suatu kota atau kawasan

2.3. CITRA KOTA

Sifat dasar dan karakteristik bentuk kota telah menjadi perhatian bagi para pendidik,
profesi dan peneliti untuk mengamatinya. Mereka pada umumnya mempunyai wacana dan
persepsi yang berbeda-beda mengenai sifat dasar dan karakteristik bentuk kota.
Ungkapan “bentuk kota” adalah terminologi yang sangat teknis yang digunakan oleh para
akademisi dan para profesi dari berbagai cabang kajian ilmu perkotaan (urban studies).
Mereka masingmasing mempunyai pendekatan yang beragam untuk mengetahui
terminologi dan pengertian yang berbeda-beda. Antropologi, Geografi, dan Arsitektur
adalah tiga disiplin ilmu yang tertarik di dalam mempelajari hasil fenomena pertumbuhan
dan perkembangan suatu kota. Wacana dan kerangka konsep tiga ilmu ini dapat
digunakan untuk menjelaskan bentuk struktur fisik dan perkembangan kota dari cabang
ilmu lainnya, seperti perencanaan kota (urban planing) dan perancangan kota (urban
disain). Kedua cabang ilmu ini mengartikan bentuk kota sebagai struktur bangunan dan
ruang yang tangible atau nyata dan sebagai aspek-aspek kehidupan masyarakat yang
intangible atau tidak nyata dari suatu kota Bambang Heryanto, roh dan citra kota (2011 ;
13)

Untuk memperlihatkan bentuk suatu kota yang merupakan hasil dari nilai kehidupan , John
Brickerhoff Jackson (1984;12) menulis dalam bukunya, “Founding Vernacular Landscape”,
17
bahwa bentuk kota “adalah citra dari kehidupan kemanusiaan kita yaitu kerja keras,
harapan yang tinggi dan kebersamaan untuk saling berkasih sayang. “dalam pandangan
ini, kota adalah suatu tempat tinggal manusia yang merupakan menifestasi dari hasil
perencanaan dan perancangan, yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan,
jalan, dan ruang terbuka. Dengan demikian, suatu kota adalah hasil dari nilai-nilai perilaku
manusia dalam ruang kota yang membuat pola kontur visual dari lingkungan alam.
Walaupun suatu kota akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu,
perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek antara lain: fisik, sosial budaya,
ekonomi, politik dan teknologi. Perkembangan kota adalah suatu proses perubahan
keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.

Namun sifat dasar dan karakteristik bentuk kota memiliki ciri-ciri dan bentuk tersendiri
masing-masing kota. Masing-masing kota di dunia ini memiliki peta, namun jika peta-peta
tersebut dibandingkan, perbedaan masing-masing peta kota tidak begitu tampak terlihat
karena kebanyakan orang akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas,
struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota. Dalam hasil studinya tentang
perbedaan tiga kota : Boston, Los Angeles, dan New Jersey di Amerika Serikat; Kevin
Lynch (1960) dalam Bambang Heryanto, 2011: 13 menyatakan bahwa suatu citra (Image)
kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan masyarakat terhadap unsur-unsur yang
nyata dan tidak nyata. Mendasari kesan-kesan masyarakat, Lynch membuat kategori
bentuk kota dalam 5 unsur. Dalam mengartikan suatu kota, Lynvch menyatakan kota
adalah sesuatu yang dapat diamati – dimana letak jalur jalan, batas tepian, distrik atau
kawasan, titik temu, dan tetengernya dapat dengan mudah dikenali dan dapat
dikelompokkan dalam pola keseluruhan bentuk kota (Lynch, 1960:47). Sehingga kelima
elemen tersebut adalah Path (jalur), Edge (tepian), District (kawasan), Node (simpul),
serta Landmark (tetenger).
1. Path (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch
menemukan dalam risetnya bahwa jika elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang
meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang
biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan,
gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dsb. Path memiliki
identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu,
18
alun-alun), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasade gedung, pohon besar,
sungai), atau ada belokan/tikungan yang jelas.
2. Edge (tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai Path. Edge
berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear,
misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, sungai, topografi,dsb.
Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat
koordinasi (Linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada
tempat untuk masuk. Edge merupakam pengakhiran dari sebuah District atau batasan
sebuah District dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika
kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas :
membagi atau menyatukan.
3. Node (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas yang lain,
misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, atau bagian
kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman, Square, dsb. Ciri-
ciri Node : - Pusat kegiatan - Prtemuan beberapa ruas jalan - Tempat pergantian alat
transportasi Tipe Node : - Junction Node, misalnya stasiun bawah tanah, stasiun
kereta api utama. - Thematic Concentration, berfungsi sebagi Core, Focus, dan simbol
sebuah wilayah penting - Junction dan Concentration
4. District (kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi.
Sebuah kawasan / District memiliki ciri khas yang mirip (baik dalam hal bentuk, pola,
dan wujudnya), dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus
mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi
Interior maupun Eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya
dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan
posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).
5. Landmark (tetenger) merupakan lambang dan symbol untuk menunjukkan suatu
bagian kota, biasanya dapat berupa bangunan gapura batas kota (yang menunjukkan
letak batas bagian kota), atau tugu kota (menunjukkan ciri kota atau kemegahan suatu
kota), patung atau relief ( menunjukkan sisi kesejarahan suatu bagian kota), atau biasa
pula berupa gedung dan bangunan tertentu yang memiliki suatu karakteristik tersendiri
yang hanya dimiliki kota tersebut. Sehingga keberadaan suatu Landmark mampu
19
menunjukkan dan mengingatkan orang tentang tetenger suatu kota. 3 unsur penting
Landmark : - Tanda fisik berupa elemen fisual - Informasi yang memberikan gambaran
tepat dan pasti - Jarak yang dikenali Adapun kriteria Landmark: - Unique memorable -
Bentuk yang jelas atau nyata (Clear Form) - Identiafiable - Memiliki hirarki fisik secara
visual

2.4. KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN CITRA KOTA

Kita membuat image kita terhadap dunia berdasarkan informasi-informasi dari kepekaan
atau indera-indera kita. Image terlahir dari interprestasi manusia, dengan menggunakan
daya imagibilitas yang dimiliki manusia. Penginderaan adalah proses pertama yang
dilakukan manusia untuk mencari identitasnya, untuk mengenali dan membedakan
lingkungannya dari penginderaan tersebut, manusia pun memberikan makna dan
perasaan dalam suatu tempat dibutuhkan adanya jejak atau kesan yang diberikan
terhadap lingkungan tersebut, karena hubungan yang efektif antara seseorang dengan
lingkungan terbentuk dari 59 “bekas” (Imprints) yang ditinggalkan pada suatu lingkungan.
Bekas inilah yang memberikan makna yang akan menghasilkan Image seseorang
terhadap suatu lingkungan, memberikan arti dan makna di dalam bentuk suatu
interprestasi (Image). Kevin Lynch What Time is This Place, 1972;163 menyatakan bahwa
citra bisa terbentuk dengan sendirinya, tapi bisa juga dibuat. Seperti telah dipaparkan
sebelumnya, hal ini serupa dengan identitas. Suatu Image (citra) bisa secara sengaja
dibuat atau secara tidak sengaja. Contoh Image yang sengaja dibentuk adalah jika suatu
kawasan menyebarluaskan informasi yang mudah ditangkap menjadi suatu Image (baik
itu hal yang bersifat faktual atau non-faktual) akan wilayahnya agar diketahui masyarakat
secara luas melalui media-media komunikasi. Maka yang terjadi adalah penggunaan dari
informasi yang didapatkan oleh suatu individu atau masyarakat dan dijadikan sebagai
dasar untuk memberikan interprestasi dalam bentuk suatu Image. Keterbatasan dan
perbedaan akan informasi yang masuk membuat seorang pengamat bisa
menginterprestasikan suatu daerah menjadi berbeda dengan pengamat lainnya. Lain
halnya jika Image yang terbentuk dengan sendirinya. Ia berasal dari kondisi faktual
kawasan tersebut, baik secara fisik maupun non-fisik. Kondisi faktual yang dirasakan dan
dialami langsung oleh pengamat memiliki dampak yang lebih tajam dalam pembentukan
20
Image nya, karena lingkungan yang dirasakannya tadi adalah suatu bentuk yang terkait
satu sama lain antara kondisi fisik dan manusianya.

Menurut Tito Alfani (2008;20), menyatakan bahwa faktor waktu juga berpengaruh
terhadap Identitas dan Citra sebagaimana yang dikutip dari buku Kevin Lynch (1960), The
Image of The City yang mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi image
suatu daerah yaitu :
1. Identitas, seseorang terlebih dahulu bisa mengidentifikasikan suatu kawasan/tempat
tersebut menjadi sesuatu yang spesifik, mengenali dan bisa menemukan perbedaan
dengan yang lain (Individuality or Oneness)
2. Struktur, seseorang bisa melihat hubungan-hubungan atau pola dari suatu objek
dengan objek lainnya (Pattern Relation)
3. Makna, objek tersebut harus memiliki makna atau arti, baik itu secara fungsi maupun
emosional Untuk membentuk suatu Image suatu daerah dibutuhkan terlebih dahulu
pemahaman tentang identitas kawasan tersebut. Identitas itu sendiri adalah suatu
informasi yang terlihat dari kondisi fisik dan non-fisik yang dapat dirasakan, yang
memberikan ciri bagi kawasan tersebut. Pengidentifikasian tidak hanya berbentuk
interprestasi yang didapat dari apa yang dirasakan tapi juga dari siapa yang mengatur
kawasan itu, siapa yang membuatnya, bagaimana pengaturannya dan makna apa
yang dimilkinya. Informasi yang didapat dari pengidentifikasian tadi diubah menjadi
suatu interprestasi (Image) yang bertujuan memudahkan seseorang dalam memahami
atau memberikan makna dalam suatu kawasan.

Citra kawasan kota bersejarah yang baik adalah sesuatu yang jelas dan mengikutsertakan
atau mengajak pengamatnya, mempunyai struktur yang kokoh, fleksibel dan memiliki
jangkauan yang luas serta memungkinkan untuk perkembangan dan eksploitasi lebih
lanjut Tito Alfani, Pengaruh Waktu Terhadap Identitas dan Image, (2008 ; 18-20).

21
BAB 3
SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE DAN
PERKEMBANGAN KOTA WATAMPONE PADA
ERA PRA KOLONIAL HINGGA KOLONIAL BELANDA

Bab ini akan menjelaskan sejarah kerajaan Bugis Bone sebagai latar dan konteks
untuk memahami perkembangan kota Watampone. Penelaahan sejarah kerajaan
Bugis Bone dan perkembangan kota Watampone ini akan mengambil konteks waktu
pada masa pra kolonial dan masa kolonial Belanda.

3.1. SEJARAH KERAJAAN BUGIS BONE

3.1.1. PRA KOLONIAL : AWAL PEMBENTUKAN KERAJAAN BUGIS BONE

Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk
pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini,
yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang
atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri
adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman
folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan
beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Secara umum, daerah Sulawesi Selatan sebelum abad ke-13, dapat dikatakan daerah
yang masih gelap dengan data sejarah. Penciptaan sejarahnya kemudian didasari
pada cerita yang berbau mitos yang dimainkan oleh para dewa-dewa yang
menempatkan manusia sebagai orang yang tidak berperan apa-apa. Setelah
permulaan abad ke-14, sejarah daerah Sulawesi Selatan mulai menempatkan manusia
sebagai pemegang peran dan pelaku dalam sejarahnya dengan menganggap bahwa

22
mereka ini adalah keturunan To Manurung, seseorang yang tidak diketahui asal-
usulnya.

Menurut Epos I La Galigo pembentukan pemerintahan awal di Sulawesi Selatan


bermula berkat hasil keputusan sepasang dewa terpenting yang memerintah dunia
atas, yaitu Datu PatotoE dan Datu PalingE, dengan sepasang dewa yang memerintah
dunia bawah, yaitu Guru ri Selleng dan Sinau Toja. Keputusan ini kemudian
menciptakan adanya dunia antara, bumi tempat pemukiman manusia. Selanjutnya
diceritakan bagaimana Batara Guru diturunkan (To Manunrung pertama), putra
penguasa “dunia atas” bersama dayang-dayangnya, dinaikkannya putri dari penguasa
bawah, yaitu We Nyili Tino (Totompo pertama) untuk dipersunting oleh Batara Guru.
Dalam perkembangannya kemudian terbentuklah pemerintah di bumi ini.

Pemerintahan keturunan Batara Guru dan We Nyili Tino adalah pemerintahan para
dewa, karena kedua peletak dasar pemerintahan itu adalah putra dan putri dewa.
Namun demikian periode pemerintahan para dewa ini tidaklah berlangsung lama,
karena setelah generasi ke tujuh, keturunan para dewa itu kembali ke dunia kedewaan
mereka. Sepeninggal para dewa ini, keadaan menjadi tidak menentu. Sering terjadi
perkelahian di antara manusia karena ketiadaan pemimpin yang dapat menjaga
ketertiban dan keamanan. Periode ini digambarkan sebagai suatu keadaan yang
seraba kacau yang diibaratkan sebagai kehidupan ikan di laut, ikan yang besar dan
kuat memakan ikan-ikan yang kecil dan lemah (Si anre bale tauE). Keadaan yang
kacau dan tidak menentu ini kemudian dapat teratasi berkat adanya petunjuk dari sang
dewa, yang diberikan lewat benda suci yang diturunkan sebagai symbol kehadiran
para dewa. Benda suci itu dikenal dengan nama gaukang.

Riwayat penemuan benda itu dikisahkan sebagai suatu kejadian yang aneh bin ajaib.
Mereka percaya bahwa benda itu adalah benda titisan dewa (benda suci), sehingga
menjadikan benda itu di puja dan disembah. Selain itu jugabenda ini dipandang
memiliki kekuatan yang luar biasa yang di perkirakan dapat melindungi masyarakat:
baik dari hal-hal yang tampak maupun yang tidak kelihatan. Dalam perkembangan
sejarahnya, penemu gaukang itu ditempatkan sebagai pemimpin mereka, dan tempat
dimana benda itu ditemukan dipandang sebagai pusat bumi (possitana), tempat
didirikan perkampungan yang pertama.

23
Benda yang dinyatakan sebagai gaukang ini adalah sebuah benda yang aneh.
Menurut Kooreman, gaukang itu dapat saja berupa sepotong kayu, atau kadang-
kadang senjata atau perisai dengan ciri dan kekhususan tertentu. Misalnya saja
gaukang di Galesong berbentuk sebuah batu dengan rupa mirip manusia. Di Bantaeng
berupa sebuah patung emas kecil yang berbentuk manusia dengan alat vital laki-laki
yang besar, sebaliknya di Polongbangkeng dan Moncongkomba, berupa buah kappa
(sejenis umbi liar) dan sebuah bendera dengan gambar seekor ular naga. Sebagai
rasa hormat dan ketaatan, anggota komunitas yang terpaut pada gaukang memberikan
persembahan berupa senjata, perhiasan, peralatan rumah tangga, dan lain
sebagainya. Persembahan itu dianggap sebagai tanda kebesaran atau atribut
kebesaran dari gaukang. Atribut kebesaran yang dipersembahkan itu disebut
alebbireng atau Arajang (Bugis) atau kalompoang (Makassar) benda titisan dewa yang
dipuja, dihormati, dan ditaati itu oleh masyarakat dipandang sebagai pemilik utama
kekuasaan dan tanah.

Asal mula Arajang atau kalompoang yang bersifat ilahi dan historis telah menjelmakan
suatu kekuasaan sacral yang memberikan pada pihak yang memegangnya supremasi
dan kemampuan untuk memerintah. Sebagai tanda hormat, masyarakat menyediakan
sebidang tanah terbaik yang merupakan hak penuh bagi kalompoang dan pemiliknya.
Tanah tersebut dinamakan butta kalompoang yang memiliki dua fungsi. Pertama,
sebagai tanah pesawahan yang diperuntukkan bagi kerajaan. Kedua, sebagai tempat
pelaksanaan upacara ritual tanah sebelum melakukan penanaman.

Oleh karena itu, benda ini dipandang sebagai benda yang merupakan persyaratan
untuk semua kekuasaan dan kewenangan. Benda ini merupakan jaminan legimitasi
karena memberikan kesaksian, bahwa pemegang telah memiliki kekuasaan sebagai
yang berasal dari kekuatan yang menugasi alam semesta ini. Gaukang inilah yang
memiliki tanah, sedang karaeng atau arung sebenarnya tidak lain hanya pengganti
atau penjaga gaukang tersebut. Gaukanglah yang mengatur segalanya, kekuasaan
yang ada pada karaeng atau arung sebenarnya dipinjam dari kekuasaan yang ada
pada gaukang itu.

Pemegang ornament ini dengan wewenang kekuatan ilahi telah menempatkan dirinya
sebagai pusat pengendali kekuatan masyarakat, sekaligus menjadi imam yang
mengkultuskan kekuatan ilahi. Dalam hubungan inilah, penduduk senantiasa

24
menunjukkan kekuatan, kepatuhan, hormat serta menyatakan dirinya sebagai
pengabdi kepada pemimpin. Sikap yang demikian ini melahirkan konsep kasuwiyang,
yaitu berupa kewajiban-kewajiban penyerahan tenaga kerja dari penduduk untuk
kepentingan penguasa dan menyerahkan sebagian dari produksi mereka.

Sebagai pemilik gaukang, ia beserta keturunannya kemudian menjadikan benda ini


sebagai warisan turun temurun, yang lambat laun tetapi pasti menjadikan mereka
sebagai suatu kelompok yang memiliki kekuasaan penuh dalam komuitasnya. Mereka
kemudian menduduki lapisan tinggi dalam masyarakat dalam memiliki hak-hak
istimewa yang tidak lagi dipersoalkan oleh komunitas gaukang itu. Mereka menjadi
lapisan bangsawan, yang dalam tingkah laku politik dan sosial diperlakukanlain dari
masyarakat lainnya, yaitu to-maradeka (orang merdeka). Hubungan yang tidak
seimbang yang ada dalam komunitas ini kemudian melahirkan hubungan patronklien
dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sosial-politik-pemilik gaukang dan keturunannya berada pada


lapisan atas. Mereka adalah golongan bangsawan pada komunitas gaukang, dengan
pemimpin mereka disebut karaeng atau arung, dan masyarakat yang berada dalam
komunitas ini disebut kekaraengan. Dalam kehidupan politik (kekuasaan), hubungan
antara satu kekaraengan dengan lainnya, tidaklah harmonis. Keadaan ini disebabkan
karena keinginan mereka untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar lagi. Elain itu
juga dengan makin bertambahnya pengikut, berarti pula makin bertambahnya
kebutuhan akan tanah, yang dipandang sebagai lambing kekayaan. Keadaan yang
demikian ini menjadi satu faktor yang membuat hubungan satu kekaraengan dengan
kekaraengan yang lainnya tidak harmonis. Timbul perselisihan, pertengkaran, dan
bahkan peperangan di antara mereka. Untuk mengatasi hal ini, mereka kemudian
bersepakat untuk membentuk suatu federasi dengan menampilkan satu dewan hadat,
yang diketuai oleh salah seorang di antara mereka anggota dewan hadati terdiri dari
para pemimpin kekaraengan.

Sebelum Kerajaan Bugis Bone terbentuk, kerajaan ini terbentuk atas beberapa
kelompok-kelompok anang (kaum) yang diikat oleh rasa seketurunan dari seorang
nenek moyang tertua dalam sistem kepemimpinan patrimonial. Jumlah kelompok
anang tersebut ada tujuh kelompok atau wanua. Kelompok itu adalah : 1. Wanua
Ujung, 2. Wanua Tibojong, 3. Wanua Ta, 4. Wanua Tanette Riattang, 5. Wanua Tanete

25
ri Awang, 6. Wanua ponceng dan 7. Wanua Macege. Antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya hidup terpisah. Mereka menjalankan roda pemerintahannya secara
otonom. Dalam perkembangan kemudian, baik oleh pertambahan penduduk dan
usaha untuk mengembangkan wilayahnya, maupun untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sering muncul
permusuhan sering diakhiri dengan peperangan antara mereka. Kelompok yang kuat
mengalahkan kelompok yang lemah. Keadaan yang demikian sering terjadi sehingga
ketentraman bagi mereka merupakan suatu yang jarang terjadi.

Periode kekacauan yang terjadi di Tanah Bone ini dapat terselesaikan berkat
kedatangan seorang To Manurung yang tidak diketahui asal mulanya. Kedatangan
mereka ini seolah-olah dinantikan oleh rakyat yang ingin kedamaian. Hal yang
demikian ini juga terjadi pada hamper seluruh kerajaan besar di Sulawesi Selatan.
Mengenai kedatangan To Manurung, sang penyelamat yang dapat mententramkan
keadaan yang serba chaos, dilukiskan penuh dengan peristiwa yang amat mencekam.
Dalam Lontara diceritakan bahwa suasana Tanah Bone sebelum kedatangan To
Manurung gelap gulita karena alam yang sangat tidak bersahabat. Ketika itu hujan dan
petir sambung menyambung selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Selama itu rakyat
dalam ketakukan, dan tidak tahu apa yang harus dipebuat dengan keadaan yang
seperti itu. Setelah tujuh hari tujuh malam keadaan yang demikian itu berlangsung,
keadaan menjadi reda, penduduk Tanah Bone sekonyong-konyong melihat seseorang
yang berpakaian kuning muncul di tengah padang yang luas. Mereka kemudian
mendatangi makhluk tersebut. Mereka heran darimana asal muasalnya makhluk itu.
Mereka menduga bahwa makhluk itu berasal dari surge. Oleh karena tidak diketahui
asal usulnya mereka bersepakat untuk menamakannya To Manurung. Kepada orang
yang disangka To Manurung itu mereka menyampaikan hasratnya agar orang tersebut
tetap tinggal dan menjadi penguasa di negeri itu.

Penyampaian keinginan itu dalam lontara dilukiskan sebagai berikut :


“ya, Tuanku yang kami hormati. Kami ini dating menghadap di bawah duli
tuanku, dengan penuh pengharapan yang amat tinggi: kami mohon
kiranya tuanku hendaklah tidak balik “ke kahyangan” lagi. Tinggallah
tuanku ini di negeri kami ini agar tuankulah merajai kami semua. Segala
kehendak tuanku, perintah tuanku, kami laksanakan. Walaupun anak
kami: istri kami, jika tuanku tidak mengingininya kami juga ikut tidak

26
menyukainya. Sekiranya tuanku menetap bersama kami, maka tuankulah
yang kami rajakan diantara kami.

Orang yang disangka To Manurung itupun menjawab :


“sungguh baiklah itu katamu itu. Namun sesungguhnya aku tidak dapat
engkau jadikan raja, karena aku ini seorang hamba sahaya jua. Tetapi
seandainya engkau semua menghendaki seorang raja, baiklah jikalau
orang yangmerajaiku, engkau nobatkan menjadi rajamu”.

Tanya jawab antara orang yang dianggap To Manurung dengan para matowa itu
kemudian memutuskan untuk menghadap pada To Manurung yang sebenarnya.
Setelah para ketua anang itu bertemu dengan To Manurung yang sebenarnya, mereka
pun kemudian menyampaikan hasratnya, dan To Manurung juga menyetujuinya.
Dengan kedatangan raja yang pertama itu, dimulailah masa yang dikenal oleh rakyat
Bone sebagai masa kerajaan yang berlangsung sampai 1905.

Akhirnya antara To Manurung dengan ketua anang mengangkat janji sumpah setia di
hadapan bakal raja mereka. Ketujuh wanua yang dipimpin oleh seorang matowa itu
kemudian menjalin satu kesatuan yang disebut dengan Matowa PituE. Mereka ini
kemudian dipusatkan di Kerajaan Bugis Bone. Kemudian didirikan satu istana. Sebagai
ibukota yang disebut Kawerang Tana Bone (ikatan tanah Bone yang berlangsung dari
raja Bone pertama sampai ke-9, La Pattawe MattinroE ri bettung, kira-kira akhir abad
ke-16 (1590). Dalam perkembangan berikutnya Kawerang Tana Bone berkembang
menjadi Watampone yang berarti pusat Bone. Para matowa yang terdiri sebanyak
tujuh orang kemudian membentuk satu badan musyawarah bertujuh yang disebut
dengan Matowa Pitue. Ketujuh matowa ini selain bertindak sebagai anggota Dewan
Pemerintahan, mereka juga masih tetap menjalankan pemerintahan atas wanua
asalnya secara otonom.

Sistem kawerang di Kerajaan Bugis Bone berlangsung dari Raja Bone yang pertama
sampai Raja Bone yang pertama sampai Raja Bone yang ke-9, La Pattawe, MattinroE
ri bettung, kira-kira pada abad ke-16 (1590). Setelah itu di Kerajaan Bugis Bone
terjadilah instensifikasi pemusatan kekuasaan dalam satu bentuk negara kesatuan
Tanah Bone. Ketika itu aparat pemerintahan diperluas untuk menampung makin
banyaknya keturunan To Manurung yang harus di beri tempat dalam pemerintahan.

27
Para Matoa Pitue yang sebelumnya masih menjabat sebagai anggota dewan dan juga
sekaligus bertindak sebagai kepala wanua, melepaskan fngsinya sebagai kepala
wanua. Mereka ditarik kepusat pemerintahan. Penarikan mereka ke pusat kekuasaan
Tanah Bone (Kerajaan Bugis Bone). Dewan Matowa Pitu kemudian dirubah menjadi
Ade PituE. Dewan inilah yang kemudian bertindak sebagai Dewan Menteri Kerajaan
Bugis Bone. Mereka inilah yang kemudian melakukan kekuasaan eksekutif di samping
menjadi penyambung lidah rakyat terhadap raja.

Anggota Dewan Ade PituE ini tetap memakai gelar arung seperti gelar yang telah
diikrarkan ketika adanya perjanjian dengan To Manurung. Dalam menjalankan
tugasnya, mereka mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, sebagai berikut :
1. Arung Macege bertugas dalam bidang pemerintahan umum.
2. Arung Ponceng membawahi bidang urusan keamanan dan pertahanan.
3. Arung Tibojong bertugas dalam bidang kehakiman
4. Arung Tanete ri attang, mengurus soal pembangunan dan pekerjaan umum
5. Arung Tanete ri awing, mengurus soal keuangan dan ekonomi
6. Arung Ta, mengurus pengajaran dan pendidikan
7. Arung Ujung, mengurus soal penerangan dan kerohanian.

Pada perkembangan berikutnya, yaitu pada masa Kerajaan Bugis Bone di perintah
oleh seorang ratu, dibentuk satu jabatan baru yang dikenal dengan nama to-
marilalang, yang sekaligus menjabat sebagai ketua Ade PituE. Secara pelan tapi pasti,
Kerajaan Bugis Bone semakin meluas dengan masuknya kerajaan-kerajaan lain.
Perluasan wilayah yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone dijalankan dengan
penaklukan dan juga dengan jalan sukarela. Daerah-daerah taklukan tersebut
kemudian diikat melalui perkawinan yang dilakukan oleh putra-putri Kerajaan Bugis
Bone dengan bangsawan yang terdapat di daerah tersebut.

Selain memilki wilayah inti, Kerajaan Bugis Bone juga memiliki beberapa derah
jajahan. Daerah jajahan (palili)atau jerajaan-kerajaan kecil itu antara lain :
1. Citta dengan pemukiman-pemukiman utamanya adalah lempong, UwungaE,
Belawa, Kampiri, Data Talloq, Mardewala dan Barang.
2. Bone Tangnga terdiri dari :

28
a. Wilayah Palakka, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Cinennung,
Passempa, Urang, yang secara keseluruhan juga disebut TellumpanuaE (tiga
negeri).
b. Wilayah Awampone, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Paccing,
Matuju, Jailling, Cumpiega dan Unra, yang secara keseluruhan disebut juga
LimampanuaE.
c. Wilayah Cina, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah kamplebu, Ula
Pao, Welanreng, Buki, Laju, Pationgi, yang secara keseluruhan disebut
Attangala.
d. Wilayah Barobo, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah wawonglangi,
Cinnong, Mene Galung, Lampoko, dan Bajo dan secara keseluruhan disebut
juga Awangala.

3. Ajanggala atau Lili ri aja, yang terdiri atas :


a. Wilayah “Ettu Payung Tanre” (tujuh paying tinggi) dengan pemukiman-
pemukiman utama : Mampu, Sailong, Timurung, Amali, Ulaweng, Bengo, dan
Panre.
b. Wilayah Limampanua (lima negeri) dengan pemukiman-pemukiman utama
adalah Oting, Lanca, Ulo, Palongki dan Tajong.
c. Wilayah PattangkaiE, dengan pemukiman-pemukiman utama adalah Mampu-ri-
Aja, Mam-ri Awa, Kung dan Sijalling.
d. Wilayah TellumpanuaE dengan pemukiman-pemukiman utama Sura-Sura,
Alinge dan Teamusu.
e. Wilayah Lappa-ri-Aja, juga dinamai Ennengergi Bila-Bila, dengan tempat
pemukiman Utama Libureng, Macerra, Bulu, Tea, Campaga dan Bariengeng.
f. Wilayah PattampidangE, dengan tempat-tempat pemukiman utama adalah
Lamoncong, Sanrego, Teko dan Beru.
g. Wilayah Ennenge Bila-Bila-ri-Lau, dengan tempat-tempat pemukiman utama
adalah Balli, Mico, Sancerang, Sonrong, Toja dan Saweng.

4. Lili ri Lau terdiri atas :


a. Wilayah Sibulu, dengan tempat-tempat pemukiman utamanya adalah Patrio,
Kaju, Cinnong, Sampobia, Kalibong, Panelli, Bulu dan Balieng.
b. Wilayah Wawo-Bulu-ri-Awang dengan tempat-tempat pemukiman utamanya
adalah Towang, Pationgi, Lemo, Paoaka, Sunaba, Alla dan Cenrana.

29
c. Wilayah Tellu-Limpo-ri-Awang, dengan tempat-tempat pemukiman utamanya
adalah Mare, Salangketo dan Tonro.
d. Wilayah Awang-Tangka, dengan tempat-tempat pemukiman utama Meru,
Salomekko, Cina, Pattimpeng, Bulu Tana, Cani dan Gona.

Selain yang disebutkan di atas, terdapat 14 tempat pemukiman lainnya yang bukan
atau tidak termasuk palili yakni, Malle, Pajakka, Karalla, Aralla, Bulo, Awo, Kawarrang,
Callu, Biru, Balakang, Bulu, Maloi, Maduri, dan Saga.

Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Bugis Bone makin luas dengan


bertambahnya beberapa kerajaan lainnya yang berada di sekitar kekuasaan. Kerajaan-
Kerajaan kecil itu secara sukarela menyatakan bersedia bergabung karena dikalahkan
dalam satu peperangan. Kerajaan-Kerajaan yang ditaklukan itu dipersatukan dengan
Kerajaan Gowa. Kerajaan-kerajaan ini disebut dengan palili, wilayah yang dikuasai
karena perang. Untuk memantapkan dan memperluas wilayah kekuasaan keturunan
Tomanung, pemerintah pusat melakukan pengiriman putra-putri bangsawan ke
daerah-daerah. Pada umumnya mereka dikawinkan dengan penguasa-penguasa local.
Hal ini membuat kerajaan-kerajaan kecil memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
pemerintah pusat. Meskipun demikian, dalam banyak hal ketaatan itu lebih banyak
dipengaruhi wilayah yang berdekatan dengan kerajaan inti tersebut. Makin dekat
dengan kekuasaan pusat, makin dekat pula hubungan emosional dan
pengontrolannya, demikian pula sebaliknya.

Kerajaan Bugis Bone merupakan penguasa utama kerajaan-kerajaan Bugis yang ada
di daerah pedalaman. Kerajaan Bugis Bone bersama dengan Kerajaan Wajo dan
Soppeng pernah melakukan kesepakatan untuk membangun satu kekuatan pada
1582. Mereka membangun satu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian
Tellumpoccoe. Kekuatan yang dibangun ini setidaknya untuk sementara dapat
menghalangi upaya yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone yang cenderung
meluaskan wilayah pengaruh dan kekuasaannya. Persekutuan yang dibangun ini tidak
dapat bertahan lama. Ketika Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Gowa di awal abad
ke-17, dilakukan sejumlah aktifitas untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Usaha
itu dapat tantangan berat dari kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe.
Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan itu satu persatu takluk di bawah kekuasaan
Kerajaan Gowa dan menerima Islam sebagai agama resmi di kerajaan tersebut.

30
3.1.2. KERAJAAN BUGIS BONE MENJADI KERAJAAN ISLAM

Raja Gowa ke-10 bernama I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung Karaeng
Tunipallangga Ulaweng dan Raja Gowa ke-11 bernama Dg. Marumpa Karaeng Data
atau Karaeng Tunibatta. Raja Bone ke-7 bernama La Tenri Rawe BongkangE. Baik
Raja Gowa ke-10 maupun Raja Bone ke-7 sama-sama memiliki keberanian
berperang. Peperangan ini berlangsung pada awal pertengahan abad ke-16 selama
tujuh tahun. Adapun sebagai pemicu timbulnya peperangan adalah bermula dari
kekalahan ayam Raja Gowa melawan ayam Raja Bone dalam suatu sabung ayam
yang di selenggarakan oleh Raja Bone di Bone. Tidak lama sesudah kejadian itu Raja
Gowa lalu menyatakan perang melawan Kerajaan Bugis Bone sebagai wujud
ketidakpuasannya atas kekalahan ayam sabungannya melawan ayam sabungan Raja
Bone.

Pernyataan itu segera disusul dengan pengerahan laskar dalam jumlah yang besar
dipimpin langsung oleh Raja Gowa ke-10. Terjadilah pertempuran sengit kedua
kerajaan itu, sebab sebelumnya Bone sudah melakukan persiapan menghadapi Gowa
apabila sewaktu-waktu menyerang sebagai balas dendam atas kekalahan ayam
sabungannya tersebut. Dalam pertempuran itu Raja Gowa I Manriogau’ Dg. Bonto
Karaeng Lakiung mendapat cedera sehingga raja bersama laskarnya mundur ke
negerinya.

Dua tahun kemudian Raja Gowa ke-10 itu kembali lagi bersama laskarnya menyerang
Kerajaan Bugis Bone. Kali ini Gowa mengerahkan laskarnya dalam jumlah yang lebih
besar dari yang sebelumnya. Raja Gowa membuat benteng pertahan di Walenna.
Peperangan berlangsung seru selama tujuh hari yang mengakibatkan, korban tewas
dan luka-luka kedua pihak yang tidak sedikit jumlahnya. Pertempuran berakhir karena
Raja Gowa ke-10 I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung jatuh sakit dan harus
segera kembali ke Gowa bersama laskarnya. Penyakitnya ini merupakan penyebab
kematiannya dalam tahun 1565 yang setelah wafatnya ia digelar Tunipallangga
Ulaweng.

Adapun pengganti I Manriogau’ Dg. Bonto Karaeng Lakiung ini adalah saudaranya
sendiri bernama I Tajibarani Dg. Marumpa Karaeng Data’ atau Tunibatta sebagai Raja
Gowa ke-11. Sementara di Bone tampuk pimpinan kerajaan masih tetap di tangan

31
Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BangkengE. I Tajibarani Dg. Marumpa Karaeng Data’
meneruskan peperangan melawan Bone yang telah dirintis oleh saudaranya. Serangan
Raja Gowa ke-11 ini mengerahkan pasukan dalam jumlah yang jauh lebih besar dari
pada yang pernah dikerahkan oleh Raja Gowa ke-10. Ambisi Raja Gowa ke-11 untuk
menguasai Kerajaan Bugis Bone sangat tinggi, sehingga dalam waktu yang relative
singkat Laskar Gowa telah dapat menduduki sejumlah daerah Kerajaan Bugis Bone.
Raja Gowa membangun benteng pertahanannya di Pappolo untuk menghadang
serangan Bone dari segala penjuru. Raja Bone pun La Tenri Rawe Bangkange sejak
awal sudah siap menghadapi serangan balasan dari Kerajaan Gowa atas kematian
Raja Gowa ke-10. Raja Bone menggerakkan laskarnya dalam jumlah yang lebih besar
sebelumnya. Kegigihan laskar Gowa untuk merebut Kerajaan Bugis Bone itu, ditangkis
habis-habisan oleh Laskar Bone dengan berbagai cara dan taktik. Oleh karena itu
pada akhirnya Laskar Gowa dapat diatasi oleh Laskar Kerajaan Bugis Bone ketika
Laskar Gowa sedang mabuk-mabukan menghalau ternak rampasannya ke arah negeri
Gowa. Kejadian ini tidak sedikit Laskar Gowa yang jatuh korban tewas dan luka-luka
akibat dari pukulan mundur yang dilakukan oleh Laskar Bone. Raja Gowa I Tajibarani
Dg. Marumpa Karaeng Data’ tidak dapat lolos dari kejaran Laskar Bone sampai
terpancung yang dilakukan oleh seorang prajurit Bone bernama La Tunru
menyebabkan Raja Gowa itu gugur saat itu juga (1565). Raja Gowa ke-11 setelah
wafat lazim disebut “Tunibatta” artinya “yang terpancung”.

Selang beberapa hari kemudian datang Raja Tallo Dg. Padulung ke Bone dengan
maksud menyampaikan sikap Kerajaan Gowa terhadap situasi konflik yang dihadapi
kedua kerajaan itu. Adapun sikap Kerajaan Gowa yang dimaksud adalah “Kerajaan
Gowa hanya menginginkan kebaikan dan bukan kejahatan atau permusuhan”. Sikap
tersebut diterima baik oleh Raja Bone dalam hal ini diwakili oleh Kajao La Liddong.
Maka keesokan harinya Kajao La Liddong dan beberapa pengikutnya dari pembesar
Kerajaan Bugis Bone pergi menemui Raja Tallo Dg. Padulung Mangkubumi Kerajaan
Gowa yang sewaktu itu mengambil tempat di Caleppa. Setelah itu kemudian kedua
pihak mengadakan perundingan yang menghasilkan tiga ketetapan yaitu :
a. Daerah yang membentang sampai ke sungai Walanae di sebelah barat dan
daerah-daerah yang membentang sampai ke Ulaweng di sebelah utara masuk ke
dalam wilayah Kerajaan Bugis Bone.

32
b. Sungai Tangka dijadikan perbatasan daerah kekuasaan Bone dan Gowa. Di
sebelah utara masuk dalam kekuasaan Kerajaan Bugis Bone di sebelah selatan
masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Gowa.
c. Cenrana masuk Kerajaan Bugis Bone.
Perjanjian itu lazimnya disebut oleh orang Gowa Ulukanaya ri Caleppa (perjanjian di
Caleppa tahun 1565).

Pengganti Raja Gowa ke-11, I Tajibarani Karaeng Data’ adalah putranya sendiri yang
bernama Manggorai Dg. Mammeta Kr. Bonto Langkasa sebagai Raja Gowa ke-12.
Setelah pelantikan atas dirinya sebagai Raja Gowa ke-12, maka Raja Gowa yang baru
itu membuat suatu perjanjian persaudaraan dengan Raja Bone La Tenrirawe
Bangkange. Isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak antara lain : “bahwa
musuh-musuh dari salah seorang diantara mereka adalah musuh-musuh mereka
bersama orang-orang Gowa yang masuk ke Bone seperti datang ke negerinya sendiri
dan orang-orang Bone yang datang ke Gowa seperti datang ke negerinya sendiri.
Dengan perjanjian tersebut kedua pihak menganggap berakhirlah konflik antara Bone
dan Gowa

Perang Soppeng-Bone
Peperangan ini terjadi karena pembangkangan kedua daerah yaitu, Lamatti dan Bulo-
Bulo yang pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Arung Palakka (ditaklukkan)
terhadap perjanjian yang pernah disepakati bersama dengan pihak Kerajaan Bugis
Bone, sekaligus implikasi politik dimana Lamatti dan Bulo-Bulo berbalik membantu dan
bersekutu dngan Kerajaan Gowa. Petta MalampeE Gemme’na mendapat berita dari
Daemang (selaku pembawa pesan atas nama Arung Palakka) yang mendengar bahwa
laskar orang Makassar yang telah dalam perjalanan menuju Bulo-Bulo dan Lamatti
akan menyerang Bugis, Kemudian menyepakati untuk berkeumpul di daerah Meru
dengan orang-orang Soppeng untuk menyongsong pasukan perang Gowa dan
Lamatti. Pada hari pertama, pihak Kerajaan Gowa tercatat lebih dari 50 orang korban,
sedang pihak Pattiro terdapat sebanyak 100 orang yang terbunuh. Karena tidak diberi
kesempatan mengatur posisi, maka orang-orang Soppeng dan Bone pun
mengundurkan diri ke Salo Mekko, dan pasukan Kerajaan Gowa pun masuk ke
wilayah Bulo-Bulo, sedang pasukan gabungan Soppeng dan Bone kembali ke daerah
Pattiro.

33
Hari kedua peperangan, pasukan Gowa mengundurkan diri ke seberang sungai
Tangka karena mereka telah dilumpuhkan. Dan pasukan Soppeng dan Bone mengejar
mereka hingga kocar-kacir dan jalan satu-satunya adalah meloloskan diri kembali ke
Gowa melalui perahu. Sehingga peperangan ini berakhir dengan kekalahan pasukan
Kerajaan Gowa. Setelah peperangan itu, pasukan gabungan Kerajaan Bugis Bone dan
Soppeng berpisah di Pattiro. Dimana Arung Palakka bersama pasukannya menuju ke
Bulukumba, sementara pasukan Kerajaan Soppeng berangkat ke daerah Berru.

Kerajaan Bugis Bone menjadi kerajaan terakhir yang diserang oleh kerajaan Gowa
karena menolak menerima agama Islam. Sewaktu kerajaan Soppeng dan Wajo
menerima Islam, Raja Bone ke-10, We Tenri Tuppu (1602-1611) secara diam-diam
berangkat ke Sidenreng untuk bertemu dengan Adattuang Sidenreng La Patiroi yang
sudah memeluk agam Islam. Tidak berapa lama berada di Sidenreng, ia jatuh sakit
dan meninggal, kemudian di kenal dengan gelar Matinroe ri Sidenreng.

La Tenri ri Ruwa diangkat menjadi Raja Bone ke-11 menggantikan We Tenri Tuppu
pada tahun 1611. Sultan Alauddin, Raja Gowa ketika itu berkunjung ke bone untuk
memberi penghormatan atas pelantikan itu. Dalam kunjungan itu juga dibicarakan
tentang bagaimana sebaiknya sikap Kerajaan Bugis Bone terhadap Islam. Pada
prinsipnya ajakan yang dilontarkan oleh Sultan Alauddin dapat diterima, namun ia
sendiri tidak dapat memutuskan karena ada Dewan Adat di Kerajaan Bugis Bone yang
memutuskan segala sesuatu tentang jalannya pemerintahan di Kerajaa Bone.

Dalam salah satu pertemuan yang dilakukan antara Raja Bone dan Ade Pittu dan
pembesar-pembesar kerajaan lainnya, Raja Bone mengatakan :
“wahai rakyatku… Sultan Kerajaan Gowa telah datang sendiri
mengunjungi kita sekalian. Kebaikan yang tiada taranya… Oleh sebab
itu adalah suatu keutamaan dan kemuliaan bagi Kerajaan Bugis Bone,
bilaman kita sekalian menerima seruan baginda Sultan, supaya
memeluk Islam. Bahwa menolak ajakan yang baik, akan sama artinya
dengan siap mengadakan perlawanan”.

Ajakan yang dilontarkan oleh Raja Bone tidak mendapat respon positif dari Dewan Ade
Pitu, dan para pembesar-pembesar kerajaan. Hal ini sangat mengecewakannya
karena sebagai seorang raja, penolakan itu dapat berarti bahwa kesetiaan rakyat

34
sudah mulai memudar. Selain itu ada kekhawatiran dari Raja Bone bahwa penolakan
itu juga dapat berakibat pecahnya perang antara Kerajaan Bugis Bone dan Gowa. Jika
ini terjadi, kemungkinan besar Kerajaan Bugis Bone akan bernasib sama dengan dua
sekutunya terdahulu yang tidak berdaya melawan Kerajaan Gowa.

Raja Bone Bersama Keluarga dan para pengikut yang masih setia padanya mengungsi
ke Pattiro. Di tempat yang baru ini pula ia mencoba sekali lagi menyerukan agar
rakyat Bone dapat menerima ajaran Islam, namun gagal. Oleh karena itu ia
memutuskan untuk bertindak pasif dan lebih banyak mengurung diri di dalam
kediamannya. Tampaknya, apa yang dilakukan oleh Raja Bone sudah tidak lagi
memperlihatkan rakyat Bone. Oleh karena itu para Dewan Ade itu mngadakan
musyawarah untuk mengambil jalan menyelesaikan masalah yang timbul dalam
musyawarah itu diputuskan bahwa Raja Bone harus diturunkan dari tahta kerajaan.
Untuk menyampaikan hasil musyawarah itu diutus To Alaungeng menghadap Raja
Bone.
“Bahwa hamba ini diutus oleh Rakyat Bone menghadap Puatta
MangkauE, menyampaikan bahwa dalam hal ini bukanlah rakyat yang
tidak menyukai Puatta, tetapi Puattalah yang tidak menyukai kami
sekalian, bahwa pada dewasa ini negeri Bone sedang dalam
kesusahan tetapi meskipun demikian Puatta tinggalkan juga.”

Raja Bone pun memutuskan untuk turun tahta dan mengutus utusan ke Kerajaan
Gowa untuk menyampaikan apa yang sedang dihadapinya. Sultan Alauddin kemudian
mengutus Karaeng Pettung untuk menjemput Raja Bone di Patirro. Pada tahun 1611
La Tenri Ruwa memutuskan menerima agama Islam dan diberi gelar Adamulmarhum
Kalinul awalul Islam. Ia meninggalkan Bone dan tinggal di Makassar dekat dengan
kediaman Dato ri Bandang. Hijrahnnya La Tenri Ruwa ke Makassar berarti tahta
Kerajaan Bugis Bone kosong. Oleh karena itu Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone
melakukan musyawarah untuk mencari penggantinya. Mereka memutuskan untuk
mengangkat La Tenripale Arung Timurung sebagai Raja Bone ke-12 (1611-1625).

Pada awal pemerintahannya, La Tenri dihadapkan pada satu permasalahan besar


yaitu menolak Islam. Sikap Kerajaan Bugis Bone ini dalam banyak hal amat sulit
dipertahankan. Di samping karena ambisi Kerajaan Gowa itu didukung oleh kekuatan
militer yang besar dan kuat yang telah pun ditunjukkan ketika mengalahkan Soppeng

35
dan Wajo, bantuan dari sekutu Bone yang tergabung dalam TellumpoccoE sudah tidak
bisa diharapkan lagi. Satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah
mempertahankan diri. Kerajaan Bugis Bone tidak dapat berbuat banyak dalam
menghadapi serangan yang dilancarkan oleh Gowa. Kerajaan Bugis Bone akhirnya
mengakui kekalahannya dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan 1611
(20 Ramadhan 1020 H). setelah kekalahan Bone, Raja Bone lebih banyak
menghabiskan waktunya di Makassar karena beliau bersahabat dengan Raja Gowa.

Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone memutuskan untuk mengangkat La


Maddaremmeng menjadi raja yang ke-13 (1625-1640) di Kerajaan Bugis Bone. Pada
masa pemerintahannya beliau menaruh perhatian dalam memajukan dan memperluas
wilayah Kerajaan Bugis Bone. Kota Lalengbata diperluas dengan cara membuka
tanah-tanah baru di sebelah timur dan selatan kota Lalengbata. Seperti perkiraan
semula, Kerajaan Bugis Bone setelah melakukan beberapa kali perlawanan, akhirnya
menyerah. Kerajaan Gowa tidak menuntut banyak dari Kerajaan Bugis Bone seperti
yang diduga semula. Kerajaan Gowa hanya menginginkan bahwa agama Islam
diterima sebagai agama resmi di Kerajaan Bugis Bone. Pada 23 November 1611
agama Islam diikrarkan sebagai agama resmi di Kerajaan Bugis Bone.

Meskipun dalam banyak hal Dewan Ade PituE menolak untuk menerima agama Islam,
namun rakyat di Kerajaan Bugis Bone tidak seluruhnya bersikap menolak. Dalam
banyak hal rakyat Bone juga sudah bersentuhan dengan ajaran ini jauh sebelumnya.
Oleh karena itu perlawanan yang dilakukan oleh Bone dapat dianggap satu
perlawanan yang tidak secara serius dilakukan. Raja Bone, La Tenri Ruwa juga hanya
sekedar menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Dewan Ade PituE. Melihat
jalannya perang yang berlangsung singkat, dan juga penyebaran agama Islam yang
begitu pesat di Bone, diperkirakan bahwa penolakan itu lebih dikarenakan
kekhawatiran dari Dewan Ade PituE dalam mempertahankan kekuasaannya.

Dalam Lontarak Bone dituliskan bahwa setelah Kerajaan Bugis Bone kalah, kerajaan
Gowa tidak menuntut banyak pada Kerajaan Bugis Bone, sebagaimana layaknya
pemenang yang berhak menentukan apa saja kepada pihak yang kalah. Kerajaan
Gowa hanya menginginkan pembesar-pembesar Kerajaan Bugis Bone mengucapkan
kedua kalimat syahadat sebagai tanda menerima agama Islam. Bahkan dalam
perkembangan berikutnya, kedua kerajaan ini tampil sebagai kerajaan yang

36
bersahabat. Dalam hal penerapan ajaran Islam, Kerajaan Bugis Bone melakukannya
dengan sangat konsekuen. Dalam Lontarak Gowa juga ditemukan beberapa catatan
yang memperlihatkan perilaku Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Matowaya
dalam upayanya menyebarkan agama Islam. Disebutkan bahwa ketika beliau
mengalahkan kerajaan-kerajaan Bugis yang tergabung dalam persekutuan
TellumpoccoE, ia tidak menuntut ganti rugi ataupun pembayaran pajak pada pihak
yang kalah perang. Bahkan, beliaulah yang membagi-bagikan kepada rakyat yang
ditaklukan pakaian dan harta lainnya sebagai hadiah.

Perang Raja Gowa Ke-10 Dengan Raja Bone Ke-7


Kerajaan Bugis Bone dipertengahan abad ke-17 pernah takluk dalam kekuasaan
Kerajaan Gowa, Kerajaan Bugis Bone diperintah oleh To Bala, seorang wakil Kerajaan
Gowa yang ditempatkan di Kerajaan Bugis Bone. Namun pada tahun 1667 berhasil
dibebaskan oleh Arung Palakka setelah Kerajaan Gowa takluk dalam perang besar
yang terjadi ditahun 1666. Perjanjian Bungaya yang ditandatangani pada tanggal 18
November 1667 menghilangkan seluruh harapan Kerajaan Gowa untuk menjadi
penguasa besar di wilayah Sulawesi Selatan. Setelah berhasil melepaskan diri dari
cengkeraman Kerajaan Gowa, Kerajaan Bugis Bone mengambil posisi yang dimainkan
oleh Kerajaan Gowa sebelumnya. Lewat Arung Palakka dan para penggatinya
Kerajaan Bugis Bone mengambil posisi yang dimainkan oleh Kerajaan Bugis Bone
menjadi satu-satunya kerajaan yang sangat kuat di wilayah ini.

3.1.3. KERAJAAN BUGIS BONE PADA MASA KOLONIAL BELANDA

Pada masa Inggris berkuasa, Kerajaan ini juga muncul sebagai penggerak untuk
menolak kehadiran inggris di Sulawesi Selatan. Timbul sejumlah perang antara Inggris
di satu pihak dengan Kerajaan Bugis Bone beserta sekutu-sekutunya di pihak lain.
Sewaktu Belanda berupaya kembali berkuasa pada tahun 1816, timbul sejumlah
perlawanan yang juga dimotori oleh Kerajaan Bugis Bone. Pemerintah Hindia Belanda
terpaksa menggunakan kekerasan untuk mengatasi konflik yang muncul antara Bone
dengan Belanda yang tidak menghasilkan keputusan politik yang berarti. Pada tahun
1859-1860 sekali lagi pecah perang antara Bone dan Belanda. Kali ini Kerajaan Bugis
Bone kalah dan statusnya berubah menjadi kerajaan pinjaman. Pemerintah Hindia
Belanda mengangkat Achmad Singkeru Rukka menjadi raja di Kerajaan Bugis Bone.

37
Pada tahun 1905 pecah perang lagi antara Kerajaan Bugis Bone dengan Belanda.
Kerajaan Bugis Bone ketika itu diperintah oleh La Pawawoi Karaeng Seregi. Perang
kali ini juga dimenangkan oleh Belanda. Kerajaan Bugis Bone menjadi taklukan
Belanda.

Struktur Pemerintahan
Kekuasaan pusat pada Kerajaan Bugis Bone secara historis dan budaya tergantung
pada mitos raja. Hampir seluruh kerajaan-kerajaan besar yang ada di Sulawesi Selatan
menarik garis lurus pada mitos To Manurung sebagai legimitasi atas kekuasaannya.
Raja dan pengganti-penggantinya semuanya mengacu pada mitos tersebut. Meskipun
diakui bahwa alam demokrasi telah hidup pada masa lalu di kerajaan ini, namun patut
dicatat bahwa seluruh raja yang berkuasa di kerajaan ini memiliki hubungan darah
dengan raja pertama.

Secara politik, Kerajaan Bugis Bone terdiri atas kumpulan ratusan desa yang sekitar
2/3 bergabung dalam wanau ini bisa bersifat sangat lepas, nominal belaka, sampai
ikatan kuat di bawah kekuasaan raja atau adat. Dengan kekecualian pada wanua yang
lemah, semua ini memiliki ikatan sosial dari kelompok keluarga, desa, wanua dan
kerajaan, sebagai inti dan pinggiran.

Pada tahun 1863, J.A.Bakkers telah membuat uraian mengenai peta politik Kerajaan
Bugis Bone. Menurutnya, ada perbedaan yang jelas antara inti dan pinggiran dalam
struktur politik di kerajaan ini. Inti Kerajaan Bugis Bone terletak di dan sekitar Istana
Watampone, sebuah tempat rendah dimana kaum bangsawan membentuk tujuh kursi
dewan adat kerajaan ditempatkan. Ketujuh itu adalah Macege, Ta, Tanete Ri Attang,
Tanete Ri Awang, Ujung, Ponceng, dan Tibojong. Semua desa dan wanua lainnya
dianggap pinggiran. Dalam istilah Bone semua itu disebut palili atau vassal.

Struktur pmerintahan Kerajaan Bugis Bone sebelum kerajaan ini jatuh ke tangan
Belanda pada tahun 1860 terdiri atas :

Raja
Raja yang berkuasa di Kerajaan Bugis Bone berasal dari keturunan To Manurung,
sebagai raja pertama. Semua raja penggantinya diakui dan dipercaya sebagai
keturunan langsung dari raja pertama. Raja di Kerajaan Bugis Bone bergelar Arung

38
Pone (raja di pusat Bone). Biasa juga ia digelar dengan “petta MangkauE” (raja yang
berkuasa dan duduk di atas tahtakerajaan). Sebelum jatuhnya kerajaan ini ke tangan
Belanda pada 1860, raja diangkat atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Dewan
Hadat sesuai dengan system aristokrasi. Sesudah itu raja diangkat oleh pemerintah
Hindia Belanda sesuai pasal 26 dari perjanjian yang mentandatangani pada 13 februari
1860.

Kedudukan raja tidak hanya diperuntukkan khusus kepada seorang laki-laki, tetapi
terbuka untuk perempuan. Penunjukkan seorang yang akan menduduki tahta kerajaan
khusus diperuntukan bagi mereka yang memiliki darah To Manurung. Oleh karena
darah dan keturunan yang lebih diperhatikan maka dalam sejarahnya yang panjang,
kerajaan ini pernah di kendalikan oleh enam orang raja perempuan. Selain itu jika
ditelaah lebih rinci lagi raja-raja yang pernah memerintah kerajaan ini, tidak selalu
putra mahkota, yang menduduki tahta kerajaan secara turun temurun dari ayah kepada
anaknya. Syarat terpenting penunjukkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan
adalah kemurnian darahnya. Persyaratan itu dianggap sebagai suatu hal yang tidak
dapat di gugat. Hal ini dikarenakan putra-putri keturunan Tuo Manurung telah
difungsikan secara maksimal. Putra-putri Kerajaan Bugis Bone telah tersebar hamper
pada setiap wilayah Kerajaan Bugis Bone. Untuk menjaga agar kekusaan tetap berada
dalam tangan mereka, persyaratan darah dalam penentuan seseorang menduduki
tahta kerajan mutlak dipenuhi.

Jika seorang raja memiliki putra atau putri yang bukan berasal dalam darah yang
sama, biasanya akan dicari saudara dari sang raja untuk menggantikannya, atau istri
sang raja tersebut. Dalam sejarah Bone hal yang demikian sering ditemukan misalnya
saja Ratu Bone Besse Kajuara, raja Kerajaan Bugis Bone ke-27, yang menduduki
tahta kerajaan karena menggantikan suaminya, Arung Pugi. Demikian pula Arung
Pugi, Raja Bone ke-26, menduduki tahta Kerajaan Bugis Bone karena menggantikan
saudaranya Arung Panyili, Raja Bone ke-25.

To-Marilalang
To-marilalang artinya orang di dalam. Jabatan To-marilalang dapat disejajarkan
dengan Perdana Menteri sekarang ini. Dalam struktur pemerintahan, To-marilalang
mengetahui anggota Hadat Aru Pitue. Ia diangkat dan di berhentikan oleh raja. Setelah
Kerajaan Bugis Bone menjadi kerajaan pinjaman pada tahun 1860 dan seterusnya

39
jatuh dibawah kekuasaan Belanda pada 1905, To-marilalang diangkat dan
diberhentikan oleh pemerinta Hindia Belanda berdasarkan pasal 27 Perjanjian
Palakka. Seorang To-marilalang bertugas mengatur semua urusan mengenai
pengadilan, polisi dan rumah tangga pemerintah. Seseorang menduduki jabatan ini
haruslah keturunan bangsawan, dan salah seorang dari neneknya pernah menjabat
kepala pemerintahan. Semasa menjabat jabatan tersebut ia tidak berhak untuk
diangkat menjadi raja. To-marilalang adalah juga Arung Ujung atau lazim disebut
dengan To-marilalang Malolo, yang mengepalai seluruh palili atau raja-raja kecil.
Semua perintah raja disampaikan kepada palili lewat To-marilalang Malolo.
Penghasilan To-marilalang bersumber pada hasil sejumlah besar lahan sawah yang
harus dikerjakan dan dipanen oleh penduduk. Juga melalui denda yang dibebankan,
dan biaya peradilan dalam kasus pidana dan perdata. Denda itu bisa berupa uang,
emas, senjata, benda atau kerbau, menurut hokum adat Bone (Rappang Bone), dan
juga penyerahan wajib dari hasil hutan dan tanaman.

Anggota-Anggota Hadat
Hadat Kerajaan Bugis Bone lazim disebut Arung PituE, beranggotakan tujuh orang
yaitu :
1. Arung Ujung yang merangkap sebagai To-marilalang Malolo
2. Arung Tanete Riattang
3. Arung Ta
4. Arung Tabojong
5. Arung Ponceng
6. Arung – Tanete ri Awang
7. Arung Macege

Jabatan Arung Pitu ini merupakan jabatan turun temurun yang diwariskan dari lini
perempuan ataupun lini laki-laki, dan biasanya jabatan ini diturunkan dari ayah ke putra
atau putrinya. Dalam menjalankan tugasnya, baik To-marilalang maupun anggota
Hadat membawahi beberapa bidang pekerjaan demi untuk kepentingan raja dan rakyat
banyak. Mereka ini membawahi beberapa sector, kecuali yang berhubungan dengan
perdagangan, perhubungan laut, bea cukai, keagamaan, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan perkawinan. Anggota Hadat Pitu adalah juga anggota pengadilan
negeri. Mereka ini masing-masing memiliki seorang pembantu yang disebut
sulewatang yang juga memiliki pembantu yang disebut mado. Tugas mereka adalah

40
sebagai pengganti apabila yang bersangkutan berhalangan untuk menghadiri
undangan atau persidangan. Pendapatan atau pemasukan keuangan anggotan Hadat
diperoleh dari sebagian denda dalam kasus pidana, hasil sejumlah lokah ikan yang
dijalankan oleh penduduk bagi mereka, dan upeti yang biasanya diantar langsung oleh
penduduk.

Jemma Tongeng
Dia adalah pimpinan dari Suro PatappuloE (kurir yang berjumlah 40 orang), yang
bertugas menyampaikan berita atau amanat kepada pihak-pihak tertentu yang
disampaikan oleh raja maupun pejabat-pejabat kerajaan. Oleh karena tugasnya itu,
seorang Jemma Tongeng dianggap mengetahui banyak perihal perintah raja atau
majelis, karena itu ia harus hadir dalam setiap majelis untuk memberikan penjelasan-
penjelasan. Ia juga berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka yang telah
diundang dapat hadir dalam pertemuan tersebut.

Anrong Guru Anak Karaeng


Anrong Guru ini bertugas mendidik putra-putri raja. Ia bertanggung jawab kepada
kepala pemerintahan.

Tomalompona Towangke
Ia mengepalai seluruh Towangke, yaitu keturunan semua prajurit yang dengan setia
telah mendampingi Arung Palakka ke Batavia pada tahun 1666. Mereka ini merupakan
pasukan pengawal istana, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.

Anrong Guru Pukalawing Epu


Mereka ini mengepalai dayang-dayang yang bertugas melayani raja baik di istana
maupun dalam perjalanan. Dayang-dayang ini diambil dari kampung-kampung. Jumlah
mereka sebanyak empat orang.

Suro (suro seppuloEdua)


Pesuruh atau utusan ini berjumlah 12 orang dan bertugas mengantarkan surat-surat
dan perintah, baik di dalam maupun di luar negeri. Jumlah mereka sebenarnya
sebanyak 40 orang, tetapi jarang hadir dalam jumlah yang lengkap. Tugas mereka
sama seperti halnya suro-suro lainnya, akan tetapi berbeda dari segi tongkatnya yang
bengkok seperti ular. Terdapat juga suro atau pesuruh untuk mengambil sesuatu di

41
daerah-daerah palili. Pada dasarnya semua suro merupakan penghubungan yang
menangani komunikasi antara pusat pemerintahan dan daerah atau sebaliknya antara
raja dengan pejabat-pejabat kerajaan.

Perenung
Bertugas menaympaikan pesan-pesan raja secara lisan kepada pangeran-pangeran.
Mereka ini berada di bawah pimpinan kepala pemerintahan.

Juru bahasa
Juru bahasa di Kerajaan Bugis Bone terdiri atas dua orang penerjemah ke bahasa
Melayu

Juru Tulis
Juru Tulis Kerajaan Bugis Bone ada dua orang. Seorang bertugas untuk juru tulis
surat-surat resmi, seorang lagi khusus juru tulis pribadi raja yang ditujukan kepada
anggota keluarga atau sahabatnya.

Selain itu untuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang terletak jauh dari pusat
kerajaan, terdapat beberapa jabatan dengan fungsi masing-masing. Struktur
pemerintahan di daerah-daerah itu sangat berkaitan dengan keluasan daerah dan
adanya hubungan yang erat dengan pusat kerajaan. Jabatan-jabatan yang ada di
wilayah tersebut antara satu dan lainnya tidak sama. Misalnya pada wilayah Lanca.
Wilayah Lanca terbagi atas dua bagian, yaitu Lanca ri laud an Lanca ri Aja. Struktur
kekuasaan yang ada di wilayah ini terdiri atas Arung Lanca ri Lau, Arung Lanca ri Aja,
Madanrang, Pabbicara LappaE dan Pabbicara KassiE

Lain halnya dengan wilayah Ulu, Struktur kekuasaan yang ada di daerah ini terdiri atas:
1. Arung Ulu
2. Salampe
3. Madanrang
4. Sulewatang Ulu
5. Pabbicara Ulu
6. Mado Pongka

42
Konflik Bone Dengan Belanda (1835-1859)

Serangan Belanda yang dilancarakan pada tahun 1824-1825 tidak menghasilkan


putusan politik yang tuntas tentang Kerajaan Bugis Bone. Oleh karena itu hubungan
diantara keduanya di abad XIX dapat diibaratkan bagaikan telur diujung tanduk.

1. Konflik di Pantai Barat Sulawesi


Karena merasa masih berotonomi penuh, Kerajaan Bugis Bone memperluas wilayah
pengaruhnya pada daerah-daerah yang berada di pantai barat Sulawesi, utamanya di
sekitar teluk Tomini, satu daerah yang diperoleh karena bantuan yang diberikan
kepada Speelman di tahun 1667. Di daerah ini tampaknya kurang mendapat
pengawasan yang berarti dari pemerintah Hindia Belanda, karena perhatiannya yang
lebih pada jazirah Sulawesi Selatan dan juga pulau Jawa.

Setelah agresi yang pertama dapat dikatakan gagal karena tidak menghasilkan
keputusan politik yang pasti, konflik antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda terus
berlangsung walaupun tidak sampai menimbulkan perang. Kedua kekuatan ini,
terutama yang disebutkan terakhir, berupaya untuk sedapat mungkin menahan diri
agar tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam hal ikhwal kerajaan-kerajaan pribumi.
Perang besar yang terjadipada tahun 1825 dan kemudian diikuti dengan “perang
dingin” akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1837 ketika Raja Bone bersedia untuk
menandatangani perjanjian dengan beberapa persyaratan.

Pada masa pemerintahan Arung Pugi (1845-1857), hubungan Belanda dengan


Kerajaan Bugis Bone tiba pada titik yang amat mengkhawatirkan jika dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Arung Pugi adalah Raja Bone yang berpendirian tegas dan
memiliki kepribadian yang teguh. Meskipun pada awal pemerintahannya hubungan itu
berjalan dengan baik, ditandai dengan pengiriman utusan ke Makassar untuk
menandatangani perjanjian, namun demikian hubungan itu makin buruk di tahun-tahun
mendatang. Hal ini dikarenakan Arung Pugi adalah termasuk salah seorang
bangsawan Bone yang tidak senang akan kehadiran Belanda. Dalam beberapa
kesempatan, Arung Pugi menunjukkan pendiriannya, misalnya ia tegas menolak
kehadiran pemerintah Belanda sebagai penengah untuk menyelesaikan perang
suksesi yang terjadi di Kerajaan Soppeng.

43
Kekhawatiran Belanda terhadap setiap usaha yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis
Bone untuk membangun kekuatannya kembali, merupakan sisi lain dari
meningkatkannya ketegangan antara Belanda dan Bone. Pada tanggal 17 Oktober
1839 di Singapura, surat kabar Free Presh, no. 42 memberitakan bahwa Kerajaan
Bugis Bone telah meminta bantuan kepada pemerintah Inggris agar dapat
membantunya untuk tetap mempertahankan kerajaannya sebagai satu kerajaan
bebas. Jika pemberitaan itu dianggap benar, keadaan ini merupakan preseden buruk
bagi Belanda. Sebaliknya akan sangat menguntungkan pemerintah Inggris yang pada
gilirannya akan menjadikan Singapura semakin maju. Selain itu hal ini dapat
memberikan gambaran bahwa dalam banyak hal Kerajaan Bugis Bone diliputi oleh
rasa ketidakpuasan atas perlakuan Belanda saat ini yang secara paksa yang telah
menguasai bidang politikdan ekonomi lewat sejumlah perjanjian.

Pada tahun 1846 timbul perselisihan antara pemerintah Hindia Belanda dengan
Kerajaan Bugis Bone sehubungan dengan pernyataan pemerintah menyangkut gelar
yang diperuntukan bagi Gubernur Makassar menjadi Gubernur Celebes. Perubahan ini
berkaitan erat dengan dicanagkannya pelabuhan bebas di tahun 1846. Konsekwensi
dari pernyataan ini adalah terbukanya daerah oleh pihak luar. Pengalaman telah
memperlihatkan bahwa orang-orang Inggris selalu berupaya untuk melakukan satu
kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain, baik itu berhubungan dengan ekonomi
maupun politik, seperti di yang di lakukan oleh James Brooke dalam tahun 1840
dengan Kerajaan Bugis Bone dan Wajo. Oleh karena itu menjelang pelaksaan
kebijaksaan pelabuhan bebas, Raja Belanda mengumumkan perubahan gelar
Gouferneur Van Makassar (Gubernur Makassar) menjadi Gouferneur Van Celebes En
Onderhoorighheden (Gubernur Celebes dan daerah taklukannya) pada bulan
November 1846. Di harapkan dengan perubahan gelar ini, tidak saja akan
menguntungkan Belanda dari segi politik dan ekonomi, tetapi juga hal itu setidaknya
telah menutup kemungkinan pihak lain menanamkan kekuasaannya daerah ini.

Perubahan gelar ini di mata Kerajaan Bugis Bone merupakan suatu hal yang tidak bisa
di terima. Perubahan itu dapat di anggap sebagai tanda bahwa Kerajaan Bugis Bone
yang ada sekarang ini menjadi bawahan pemerintah Hindia-Belanda. Oleh sebab itu
Kerajaan Bugis Bone mengambil tindakan tegas dengan menyatakan kontrak
perjanjian yang telah di tandatangani sebelumnya berakhir pada Tahun 1846.
Ketidakpuasaan Kerajaan Bugis Bone terhadap pernyataan sepihak yang di lakukan

44
oleh pemerintah Belanda, di wujudkan dengan melarang pedagang-pedangang Bone
untuk melakukan transaksi perdagangan dengan Makassar. Larangan ini tidak saja di
peruntukan khusus untuk Kerajaan Bugis Bone saja, tetapi juga menyangkut
pedagang-pedagang dari Kerajaan Wajo dan Luwu.

Selain itu Kerajaan Bugis Bone juga mencoba untuk mengundang kerajaan-kerajaan
yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Bugis Bone, dengan cara
mengirim bila-bila kepada beberapa kerajaan yang memiliki hubungan darah dengan
Kerajaan Bugis Bone. Tujuannya adalah untuk bersama-sama membangun kekuatan
bagi menghadapi Belanda. Tindakan yang di lakukan Kerajaan Bugis Bone mendapat
tantangan dari pemerintah Hindia-Belanda, karena melanggar isi perjanjian Bungaya
yang di perbaharui 1824.

Dari data perdagangan diketahui bahwa akibat yang kurang bersahabat yang di
tunjuka Kerajaan Bugis Bone terhadap pemerintah Hindia-Belanda, juga berpengaruh
pelayaran niaga penduduk ke pelabuhan asing, khususnya pelayaran dari Makassar ke
Singapura. Jika pada Tahun 1844 di ketahui jumlah perahu dari Sulawesi yang
mengunjungi kota pelabuhan sebanyak 110, dan ini tampaknya menurun pada 1860
menjadi 40 perahu, dan kemudiaan meningkat kembali pada Tahun 1837.
Berkurangnya para pedang dari Makassar yang mengunjungi Singapura, mungkin di
sebabkan banyaknya pedagang yang langsung berkunjung ke Singapura tanpa
menyinggahi perlabuhan Makassar.

Hubungan perdagangan yang makin lancar dengan pelabuhan Singapura membuat


Makassar semakin merosot. Hubungan dagang secara langsung yang di lakukan
orang Bugis tanpa menyinggahi pelabuhan Makasaar sangat merugikan pemerintah
Hindia-Belanda. Keadaan yang kurang menguntungkan ini memaksa Gubernur Jendral
J.J. Rochussen berangkat sendiri ke Daerah ini untuk melihat lebih dekat apa
sesungguhnya yang terjadi.
Namun demikian apa yang hendak diketahuinya tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Akhirnya ia kembali ke Batavia. Namun demikian,
sebelum berangkat pulang, Rochussen membuat sebuah nota yang diserahkan
kepada Gubernur Makassar mengenai wawasan dan pendapatnya tentang
kepentingan-kepentingan perdagangan dan kenegaraan yang perlu di jadikan tuntutan

45
dan petunjuk pelaksanaan. Nota ini kemudian menjadi prinsip dasar dalam
penyelesaian masalah Bone. Nota itu berbunyi antara lain :
a. Gubernur Jenderal menyetujui secara menyeluruh dasar pemikiran untuk
sejauh mungkin tidak mencampuri perselisihan-perselisihan yang timbul dan
terjadi diantara raja-raja di Sulsel, karena campur tangan Gubernemen dalam
hal tersebut, pada umumnya tidak di dukung dengan kelengkapan dan
informasi mengenai situasi yang sedang terjadi, dan senantiasa bertentangan
dengan keinginan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berselisih;
campur tangan sedemikian itu biasaanya tidak berguna karena biaya yang
harus di keluarkan, tidak di konpensasi oleh Gubernur.
b. Perbedaan wawasan antara bekas VOC dan pemerintah Hindia-Belanda harus
di anggap sebagai akibat waktu, perubahaan keadaan dan persetujuan antara
Nedherland dan Inggris Raya pada persetujuan London 1824, di mana Stelsel
monopoli VOC di nyataka hapus selama-lamanya.
c. Keuntungan yang segera dapat di petik Inggris dari hapusnya Stelsel monopoli
itu, ialah di bukanya sebuah pelabuhan bebas di Ujung Barat kepulauan
Nusantara, di mana dengan mudah dapat diturunkan hasil-hasil Bumi dari
Indonesia dan di tukar dengan produk-produk Eropa dan Cina; hendaknya
jangan di lupakan bahwa pemerintah tidak mengubris hal tersebut, tetapi
sebaliknya mempertahankan dan mempersulit bea masuk dan bea keluar.
d. Tidaklah mengherankan apabila orang-orang Bugis membawa barang-barang
daganganya ke Singapura, atau orang-orang asing menjemput barang-barang
itu ke pelabuhan-pelabuhan Celebes sehingga perdagangan Makassar menjadi
suram, lebih-lebih lagi dengan di keluarkanya larangan perdagangan budak-
budak sebagai salah satu komoditi perdagangan yang paling banyak
memberikan keuntungan.

Dalam situasi demikian itu dan upaya yang tidak tepat guna untuk dengan segera
memperluas kekuasaan, maka satu-satunya jalan untuk menangkal pengaruh dari luar
dan menghidupkan serta menguatkan pengaruh kita sendiri ke dalam adalah
menyatakan Makassar sebagai pelabuhan bebas/terbuka. Hal ini dimaksudkan agar
Makassar dapat kembali menjadi pusat perdagangan seperti sedia kala.

Nota yang ditinggalkan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen telah menjadi bahan
pertimbangan dalam mengambil tindakan dalam berhubungan dengan kerajaan-

46
kerajaan local di daerah ini. Meskipun demikian, kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah Hindia Belanda bukan berarti membiarkan Kerajaan Bugis Bone beserta
sekutu-sekutunya untuk bertindak lebih jauh, yang pada akhirnya akan dapat
mengganggu kewibawaan pemerintah Hindia Belanda.

2. Konflik di Pantai Timur Sulawesi

Hubungan antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda tidak menunjukkan kemajuan
yang berarti sampai pada tahun 1838. Kesediaan Raja Bone, Arung Panyili untuk
memulihkan kembali jabatan to-marilalang kepada Arung Sinri, dan kesediannya untuk
ikut serata dalam Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824, telah
menimbulkan ketidaksenangan pada sebagian golongan bangsawan di Kerajaan Bugis
Bone. Golongan bangsawan di Kerajaan Bugis Bone. Golongan bangsawan Bone
yang tidak senang hubungan itu dipelopori oleh Arung Kajuara yang akhirnya
menimbulkan perang saudara di Kerajaan Bugis Bone. Namun perang saudara yang
terjadi di Kerajaan Bugis Bone dapat di selesaikan dan berkhir pada tahun 1843
dengan kemenangan di pihak golongan yang anti terhadap Belanda. Keadaan yang
demikian itu juga mengakibatkan To-marilalang Arung Sinri La Mappangara terpaksa
melarikan diri ke Maros.

Setelah kematian Arung Panyili, karena tidak mempunyai keturunan, akhirnya


diangkatlah Arung Pugi. Pengangkatan Arung Pugi sebagai Raja Bone telah
memperluas lagi golongan yang anti terhadap Belanda, karena Arung Pugi termasuk
golongan yang anti terhadap Belanda sebelumnya. Pengaruh dan kekuasaan Bone
yang sangat dikekang dengan isi perjanjian Bungaya, telah mendorong Kerajaan Bugis
Bone untuk mengalihkan pandangannya pada wilayah pantai Timur Sulawesi, satu
wilayah yang secara tradisional sangat dekat dengan Bone. Tidak saja oleh sejarahnya
yang panjang, tetapi juga secara geografis wilayah ini penting dilihat dari aspek politik
dan ekonomi. Daerah ini sangat strategis bagi perluasan Kerajaan Bugis Bone yang
kini kekuasaanya di daratan Sulawesi telah dikekang oleh Belanda lewat perjanjian-
perjanjian.

Daerah-daerah yang terletak di Pantai Timur Sulawesi sejak dulu memiliki hubungan
yang baik dengan Kerajaan Bugis Bone. Pedagang-pedagang Bugis sangat berperan
dalam jalur lalu lintas perdagangan di kawasan ini. Peran aktif yang dimainkan oleh

47
para pedagang Bugis menjadikan orang Bugis memiliki pengaruh yang luas. Jabatan
Syahbandar tidak sedikit diduduki oleh orang-orang Bugis. Namun seperti diketahui,
kehadiran orang Bugis sering menimbulkan ketidakpuasan banyak pihak karena
tingkah laku politik yang dimainkannya sering diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak tahun 1840-an, di wilayah ini sering terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
kerajaan-kerajaan kecil yang mencoba untuk memisahkan diri dari Kerajaan Ternate.
Gejolak yang terjadi di daerah tersebut sering kali melibatkan orang Bugis Bone.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah ini dapat dikatakan sebagai
akibat kurangnya perhatian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
kawasan ini. Kurangnya perhatian menyebabkan kewibawaan Belanda yang
sebelumnya di bangun lewat kekerasan kini semakin memudar. Bajak-bajak laut yang
berkeliaran di perairan ini sangat mengganggu aktifitas perdagangan. Misalnya, ketika
terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh raja Tombuku, dua orang bangsawan
Bugis, yaitu Daeng Mangkala dan Daeng Palili, terlibat dalam pemberontakan itu.

Menjelang dicanangkannya pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas pada


tahun 1846, pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan wilayah pantai Timur
Sulawesi. Perhatian tidak saja ditujukan untuk memberantas bajak-bajak laut yang
berkeliaran di perairan pantai timus Sulawesi, tetapi juga sehubungan dengan makin
meluasnya pengaruh yang dimainkan oleh Bone, terutama dalam hal keterlibatan
orang-orang Bugis dalam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dalam wilayah
kekuasaan Ternate.

Pada tahun 1846, Raja Banggai telah melalukan pemberontakan untuk melepaskan
diri dari kerajaan Ternate. Pemberontakan yang dilancarkan oleh Raja Banggai
mendapat bantuan dari beberapa orang Bugis yang diketahui oleh Oewa Mustakim
dari Togian serta para kawula dari Moton dan Parigi. Pemberontakan ini merupakan
pemberontakan yang ketiga yang dilakukan oleh Banggai. Tindakan yang dilakukan
oleh Banggai memaksa Ternate untuk mengambil tindakan bagi menghukum Raja
Banggai. Tindakan yang dilakukan oleh Ternate menyebabkan raja Banggai melarikan
diri ke Buton, namun kemudian karena tidak begitu merasa aman, akhirnya
memutuskan untuk mencari perlindungan ke Kerajaan Bugis Bone. Menurut laporan
dari kepala katip Mandon Museng (salah satu bagian dari Kerajaan Banggai)
tertanggal 18 November 1848, diketahui bahwa syahbandar di Banggai yang diketahui

48
oleh orang Bugis Bone berusaha untuk menarik para kepala distrik Banggai masuk ke
dalam Kerajaan Bugis Bone, dan juga untuk memasukkan wilayah Ternate ke
Kerajaan Bugis Bone.

Surat residen Ternate tanggal 10 Desember 1848 menyampaikan beberapa bukti


bahwa Raja Bone berulang kali mencoba untuk mendorong Raja Tambuku dan
Banggai untuk menjatuhkan Kerajaan Ternate. Hasutan-hasutan yang dilakukan oleh
Kerajaan Bugis Bone terhadap wilayah-wilayah itu pada akhirnya akan
menguntungkan Kerajaan Bugis Bone sendiri. Pemberontakan Banggai mengundang
Belanda untuk memperhatikan wilayah yang terdapat di kawasan ini. Laporan-laporan
yang masuk ke Gubernur Celebes telah memberikan keyakinan seolah-olah
Syahbandar di Tojo diam-diam dilaksanakan oleh Raja Bone. Keadaan yang demikian
ini membuat hubungan Bone dengan Belanda berada dalam ketidakpastian. Untuk itu
pada tanggal 30 Desember 1848, Gubernur Celebes mengirim surat kepada Raja
Bone bernomor 512/I Z, yang berisi beberapa penjelasan tentang daerah tersebut.
Dalam surat itu di jelaskan bahwa :
1. Dalam perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 yang dimuat pada
pasal 17, telah ditegaskan bahwa wilayah-wilayah yang terdapat di teluk Tomini
dan di Pantai Timur Sulawesi secara sah berada di bawah wewenang Sultan
Ternate.
2. Pada tanggal 7 Juli 1683, sebagai akibat kekalahan Ternate melawan VOC pada
tahun 1680, wilayah-wilayah itu diserahkan kepada VOC dan perdamaian dicapai
pada tahun 1682.
3. Wilayah-wilayah itu kemudian dipinjamkan kembali kepada Balante, Tomaiki dan
Tambuku di Sulawesi dan juga beberapa pulau termasuk Banggai.
4. Belanda tidak mengetahui apakah VOC atau pemerintah Belanda yang berkuasa
telah menyerahkan kekuasaan sah atas daerah ini, baik semua atau sebagian,
kepada salah satu leluhur Raja Bone ataupun kepada orang lain. Namun perlu
ditegaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda merasa perlu memberitahukan
bahwa guna mempertahankan kekuasaan yang sah atas daerah ini, persahabatan
dengan Kerajaan Bugis Bone tetap dapat dijalin dengan syarat bahwa Raja Bone
dapat mengakui apa yang terjadi wilayah Belanda dan memerintahkan semua
kawula Bone untuk mencegah segala penguasaan atas daerah ini.

49
Meskipun surat Gubernur Celebes tertanggal 30 Desember 1848 telah menjelaskan
bahwa Kerajaan Bugis Bone dalam segala hal tidak memiliki kekuasaan atas daerah-
daerah yang di tuntutnya, namun Kerajaan Bugis Bone telah memberikan beberapa
argumentasi sehubungan dengan tuntutannya. Dalam suratnya tertanggal 2 April 1849
yang di tujukan kepada Gubernur Celebes, secara panjang lebar Raja Bone mengulas
tentang hak-hak yang dimilikinya secara tradisional, terutama kerjasama yang
dilakukan sewaktu memenangkan perang melawan Kerajaan Gowa yang diakhiri
dengan perjanjian Bungaya 1667. Menurut Raja Bone, keududukan Sultan Ternate
dengan Kerajaan Bugis Bone adalah sama. Oleh karena itu apa yang diperoleh oleh
kerajaan Ternate yang termuat dalam pasal 17 Perjanjian Bungaya 1667, seharusnya
juga Kerajaan Bugis Bone termasuk di dalamnya. Hal itu dipertegas kembali bahwa
Bone merupakan sekutu tertua dari Belanda.

Surat Kerajaan Bugis Bone yang ditujukan kepada Gubernur Celebes di pandang
mengandung hal-hal yang tidak dimengerti. Terdapat dualism dalam pemahaman
tentang isi perjanjian Bungaya (1667) dan juga tentang sekutu tertua. Menurut
Pemerintah Hindia Belanda, Kerajaan Bugis Bone menuntut terlalu banyak dari apa
yang seharusnya diperoleh sehubungan dengan kerjasamanya dengan VOC
menjatuhkan Kerajaan Gowa. Pendirian tegas Kerajaan Bugis Bone membuat
pemerintah Hindia Belanda mengirim surat sekali lagi ke Kerajaan Bugis Bone. Dalam
suratnya tertanggal 13 Juni 1849, No. 167 I Z, pemerintah Hindia Belanda telah
enjelaskan sehubungan dengan pasal 17 Perjanjian Bungaya tahun 1667. Dalam surat
itu dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia belanda tidak memahami apa yang dimaksud
oleh Kerajaan Bugis Bone. Keadaan yang demikian ini menyebabkan hubungan
Belanda dan Kerajaan Bugis Bone semakin meruncing.

Untuk mengatasi hubungan yang kian meruncing ini, kedua belah pihak menyetujui
untuk menyelesaikan masalah itu. Pemerintah Hindia belanda telah menegaskan
bahwa tuntutan Kerajaan Bugis Bone sama sekali tidak mendasar dan tidak bisa
dipenuhi. Pemerintah Belanda berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan
jalan damai, namun perang dianggap sebagai sesuatu tindakan yang mendesak.
Kekuatan laut akan dilaksanakan untuk menjaga agar kekuasaan Belanda dan Ternate
di daerah ini dalam keadaan aman, dan akan ditekankan penghindaran gangguan
perdagangan Bugis di daerah ini.

50
Hubungan yang kurang baik antara Bone dan Belanda tetap berjalan meskipun
keduanya tetap mempertahankan pendirian masing-masing. Pada tanggal 12 Mei 1852
pemeritah Hindia Belanda sekali lagi mengirim surat kepada Kerajaan Bugis Bone. Isi
suratnya tetap menekankan bahwa tidak ada gunanya Kerajaan Bugis Bone
mempersoalkan kekuasaan di wilayah pantai Timur Sulawesi yang merupakan hak
milik yang sah pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan Perjanjian Bungaya 1667.
Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius dari Kerajaan Bugis Bone,
pemerintah Hindia belanda akan bertindak, jika perlu dengan menggunakan
kekerasan. Namun desakan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak
mengubah sedikitpun pendirian Kerajaan Bugis Bone. Lewat suratnya tertanggal 16
September 1852, 16 Agustus 1853 dan 5 April 1854, Kerajaan Bugis Bone secara
tegas mengatakan bahwa Bone dan Bukan Belanda yang berhak atas daerah pantai
timur Sulawesi dan pulau-pulau yang terletak di sekitarnya.

Konflik yang muncul antara Bone dan pemerintah Hindia Belanda semakin meruncing
dengan munculnya pemukiman-pemukiman baru orang Bugis, terutama di daerah
Kaeli, Pantai Selatan Teluk Tomini, dan kepulauan Togian. Menurut Kolonel Van den
hart, bekas Gubernur Sulawesi, jika perluasan ini tidak ditanggulangi dengan cepat,
pemerintah Hindia Belanda akan mengalami kesulitan yang lebih besar. Menurutnya,
pemukiman orang-orang Bugis itu sebenarnya adalah wilayah milik Belanda yang
diperoleh karena perang melawan Bone. Pada tahun 1854, ia mengusulkan untuk
menaklukan Pare-Pare, Teluk Suppa, Pahu, dan Parigi, serta menempatkan satuan-
satuan tempur di wilayah tersebut. Penguasaan daerah ini tidak saja sebagai upaya
untuk memblokade Kerajaan Bugis Bone, tetapi juga karena daerah-daerah ini
merupakan daerah yang sangat potensi dari segi ekonomi. Menurut Van den Hart,
Celebes pada masa itu menghasilkan pertahunnya 100 ribu pikul kopi yang berasal
dari derah-daerah Bone, Wajo, Gowa, Bantaeng, Mandar, Sidenreng, yang hamper
seluruhnya mengalir ke Singapura. Selain itu ditekankan pula bahwa Residen Manado
dalam laporannya mengatakan, bahwa daerah-daerah pesisir Teluk Tomini dan
kepulauan Togian menghasilkan emas, penyu, teripang, kain cita, tembakau, sagu,
lilin, sarang burung, dan lain sebagainya. Hasil-hasil seluruhnya dikirim ke Singapura
dan ditukarkan dengan alat-alat dari besi, senjata, dan bahan peledak yang
kesemuanya itu menghidupkan perdagangan antara Inggris dan Tana Bugis.

51
Mengenai maslah wilayah tersebut, Kerajaan Bugis Bone bersikeras bahwa daerah-
daerah itu secara tradisional menjadi milik Kerajaan Bugis Bone. Namun demikian
tekanan-tekanan yang demikian kuat dari Belanda membuat Kerajaan Bugis Bone
tidak berdaya sama sekali. Di samping yang dibicarakan di atas, pada bulan Februari
1852 muncul ketegangan antara Raja Bone Arung Pugi dan pemerintah Hindia
Belanda sehubungan dengan matinya Daeng Magassing pada tanggal 12 Februari
1852. Pada tahun1847 Daeng Magassing, pamong Bonerate yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Bugis Bone, ditangkap karena dituduh bekerjasama dengan
perompak-perompak laut. Letnan Satu Du Cloux berangkat ke Bonerate untuk
menyelidiki hal itu. Penyelidikan yang dilakukan tidak mendapatkan keterangan yang
berarti. Oleh karena itu Daeng Magassing dibebaskan. Dalam bulan Oktober 1851
Daeng Magassing kembali ditahan atas tuduhan bahwa ia terlibat dalam perampokan
yang terjadi di Bawean. Ia kemudian di bawa ke Makassar untuk penyelidikan lebih
lanjut. Dalam penyelidikan yang dilakukan terhadap Daeng Magassing ternayata tidak
dapat dibuktikan bahwa ia terlibat dalam perampokan itu. Oleh karenanya untuk
penyelidikan lebih lanjut ia dibawa ke Surabaya. Tindakan yang dilakukan oleh
Belanda ini menimbulkan kemarahan Raja Bone. Tindakan yang dilakukan oleh
Belanda dianggap sebagai suatu penhinaan bagi Kerajaan Bugis Bone. Akhirnya
Belanda memutuskan untuk membebaskan Daeng Magassing. Namun sebelum
dibebaskan, Daeng Magassing secara misterius meninggal dalam penjara. Meskipun
pemerintah Hindia Belanda telah menyatakan rasa penyesalannya dan meminta maaf
atas kejadian tersebut, namun Raja Bone sangat terpukul mengenai kejadian ini.

Selain persoalan di atas, hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan
Bugis Bone juga di nodai dengan pengibaran bendera Belanda yang dilakukan secara
terbalik diwilayah Kerajaan Bugis Bone. Berita tentang pengibaran bendera Belanda
secara terbalik pertama kali di sampaikan oleh Ramberge, utusan pemerintah Belanda
yang membawa sepucuk surat untuk Raja Bone pada bulan Oktober 1855. Selama
mengadakan pembicaraan yang dilakukan di Palatte, sebuah pulau yang terletak di
teluk Bone, ia melihat banyak kapal-kapal yang berlayar di perairan Bone yang
mengibarkan bendera Belanda secara terbalik yang menurut informasi yang
diterimanya dilakukan atas anjuran Arung Pugi. Hal ini disampaikan kepada
pemerintah Hindia Belanda di Makassar. Berita yang sama mengenai pengibaran
bendera yang dilakukan secara terbalik juga disampaikan oleh Ince Jaya.

52
Pada tahun 1856, Ince Jaya, seorang kurir dan juga sekaligus seorang zending, diutus
ke Kerajaan Bugis Bone untuk membawa sepucuk surat sehubungan adanya
keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Agustus 1856, No. 43, yang berisi
tentang masuknya Kerajaan Tello dalam kekuasaan Belanda. Namun pada waktu yang
bersamaan, terlebih dahulu ada seorang kurir dari Buton yang sedang beraudiensi
dengan Raja Bone. Oleh karena itu Ince Jaya harus menunggu sampai utusan Buton
itu kembali. Ince Jaya pada tanggal 22 November 1856 tiba di Kerajaan Bugis Bone
dan baru diberi waktu untuk menghadap pada tanggal 18 Desember. Waktu yang
cukup lama, yaitu dari tanggal 22 November sampai tanggal 18 Desember, oleh
pemerintah Belanda dianggap sebagai suatu penghinaan bagi Belanda. Selain itu hal
ini dapat berarti bahwa Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak memiliki hak di
Kerajaan Bugis Bone.

Sebagai satu bangsa besar yang sejak lama telah menanamkan kekuasaannya di
daerah ini, pemerintah Belanda merasa sangat dilecehkan dengan adanya beritan
tentang bendera Belanda yang dikibarkan secara terbalik di perairan “Teluk Bone”. Hal
itu memicu Belanda untuk mengambil tindakan tegas terhadap Kerajaan Bugis Bone
yang dinilai telah menjatuhkan kewibawaan dan martabat pemerintah Belanda.
Gubernur Makassar, kolonel De Brauw mengajukan satu usul untuk melancarkan satu
agresi militer untuk melancarkan satu agresi militer untuk menghukum Kerajaan Bugis
Bone, mengusir Raja Bone dan mengangkat Arung Palakka sebagai raja.

3. Persiapan agresi Militer

Perang dingin yang muncul antara Kerajaan Bugis Bone dan Belanda tampaknya kini
semakin panas. Tingkah laku politik yang dimainkan oleh Kerajaan Bugis Bone
dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sesuatu yang membahayakan. Hal
itu tidak saja dipandang sebagai ujian terhadap kewibawaan Belanda, tetapi juga
dipandang sangat merugikan kepentingan ekonomi pemerintah Hindia Belanda.
Blokade perdagangan dan larangan berdagang orang Bugis ke Makassar yang
diterapkan oleh Kerajaan Bugis Bone sangat memukul pendapatan pemerintah Hindia
Belanda. Selain itu sikap yang ditunjukkan oleh Bone dalam hal, seperti yang diuraikan
terdahulu, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil tindakan tegas.
Untuk mengatasi jangan sampai hal-hal tersebut berlanjut tanpa terkendali, pemerintah

53
Hindia Belanda mencanangkan satu kebijaksanaan untuk melakukan agresi militer ke
Kerajaan Bugis Bone, sekutu tertua pemerintah Hindia Belanda di daerah ini.

Berita pengibaran Belanda yang dilakukan secara terbalik di perairan Bone telah
menimbulkan kemarahan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Mr. duymaer
van Twist telah mengambil langkah-langkah untuk menanggapi usulan van Brauw
dengan mengajukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Seandainya Kerajaan Bugis Bone merupakan sekutu dan bukannya seorang raja
yang bertahta di atas wilayah yang dipinjamkan kepadanya oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang menolak mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya
mempermalukan pemerintah, maka pernyataan perang dapat diumumkan
kepadanya secara terbuka, tetapi untuk menurunkannya dari tahta Kerajaan Bugis
Bone harus dikalahkan dengan ekspedisi militer.
2. Apabila disepakati untuk mnegadakan ekspedisi, maka suatu perubahan secara
sederhana terhadap Perjanjian Bungaya tahun 1824 tidak dapat diterima, tetapi
apabila keadaan menghendaki tuntutan yang lebih banyak maka akan diminta ganti
rugi dalam bentuk daerah kekuasaan atas biaya yang telah dikeluarkan selama
peperangan berlangsung. Selanjutnya apabila diadakan perjanjian baru maka
haruslah dituntut, melepaskan dengan segera semua hak atas wilayah-wilayah
yang terletak di Teluk Tomini.
3. Memasukkan Arung Palakka, yang telah menyeberang memihak Bone, ke dalam
ekspedisi militer, adalah suatu kebijakan yang kurang waspada karena sejarah
telah mengajarkan kepada kita bahwa sekutu macam itu itu oleh setiap rakyat
Bone dianggap sebagai pengkhianat. Atas pertimbangan yang dikeluarkan
tersebut, komandan Angkatan Darat pemerintah Hindia Belanda dalam bulan
Januari 1857 telah mempersiapkan dua batalion infantri, satu kompi kavaleri,
setengah Bateri artileri medan, setengah Bateri artileri gunung, satu kompi tentara
campuran dan 1000 kuli.

Persiapan untuk melancarkan agresi ke Kerajaan Bugis Bone terhalang karena


timbulnya gejolak perlawanan di Palembang, Pantai Barat Borneo, Bali, Timor dan
perhatian yang lebih besar yang harus ditumpukan pada Pulau Jawa. Meskipun agresi
Belanda terhadap Kerajaan Bugis Bone gagal dilaksanakan, namun berita mengenai
rencana tersebut telah diketahui luas. Kerajaan Bugis Bone mencoba menggalang
kerajaan-kerajaan lain memiliki ikatan kekerabatan dengan Kerajaan Bugis Bone.

54
Kerajaan Soppeng, Wajo dan Luwu berjanji akan membantu dengan seluruh kekuatan
jika Bone diserang.

Setelah kematian Raja Bone Arumpugi pada tanggal 14 Februari 1857, Dewan Ade
Pitu Kerajaan Bugis Bone sepakat melantik istrinya, Besse Kajuara (janda Arumpugi)
untuk menggantikannya. Pada masa pemerintahan Arumpugi, sudah tampak gejala
tentang ketidaksenangan para penguasa di Kerajaan Bugis Bone terhadap orang
Belanda. Penggantian itu memberi harapan pada Belanda bahwa hubungan yang
kurang harmonis ini mungkin dapat diperbaiki. Namun, harapan itu tampaknya tinggal
harapan. Konflik antara keduanya tidak mereda, bahkan menunjukkan instensitas yang
tinggi. Besse Kajuara malah memperlihatkan sikap lebih keras pada pemerintah Hindia
Belanda. Kapal-kapal yang melayari daerah Kerajaan Bugis Bone diinstruksikan untuk
mengibarkan bendera Belanda dalam keadaan terbaik.

Sewaktu Gubernur Sulawesi dan Daerah taklukan mengadakan perjalan dinas ke


selayar, Bulukumba, dan Bantaeng, disampaikan berita bahwa Besse Kajuara telah
menginstruksikan agar semua kapal layar yang berlayar dalam wilayah kekuasaanya
diwajibkan untuk mengibarkan bendera Belanda secara terbalik. Setelah diadakan
penelitian dan mengintrogasi beberapa orang kepala wanua dan para pedagang hal itu
terbukti benar. Sehubungan dengan hal itu Pemerintah Belanda mengirim sepucuk
surat kepada Ratu Bone pada tanggal 4 Desember 1857 untuk meminta penjelasan
sehubungan dengan persoalan tersebut. Surat itu dibawa oleh kurir Ince jaya, dan dari
hasil pembicaraan sehubungan dengan bendera tersebut diketahui, bahwa perintah itu
berlaku bagi semua kapal yang melewati perairan kekuasaan Kerajaan Bugis Bone. Di
akhir pembicaraan mengenai hal tersebut, Ratu Bone menitipkan pesan kepada
Gubernur Sulawesi bahwa cara yang digunakan di Kerajaan Bugis Bone adalah urusan
dalam negeri Kerajaan Bugis Bone. Mengenai tindakan itu tidak ada yang berhak untuk
mencampurinya.

Hasil pembicaraan Ince Jaya dengan pembersar Kerajaan Bugis Bone disampaikan
kepada Gubernur Sulawesi. Pemerintah Hindia Belanda terpukul dan terhina atas
ucapan dari Ratu Bone. Namun, pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai bukti
karena hasil pembicaraan itu disampaikan secara lisan. Oleh karena itu, Pemerintah
Hindia Belanda mengirim sepucuk surat lagi untuk menanyakan apakah yang

55
disampaikan oleh Ince Jaya itu benar dan juga untuk mendapatkan jawaban
sehubungan dengan peristiwa bendera di Teluk Bone.

Surat kedua dari Gubernur Sulawesi tidak lagi diantar oleh Ince Jaya tetapi oleh
Ramberge. Pada tanggal 25 Agustus 1858 Kerajaan Bugis Bone menbalas surat
tersebut. Dalam jawaban tersebut Ratu Bone mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu
tentang bendera tersebut, namun jawaban yang diterima tidak memuaskan Pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 13 November 1858 memutuskan untuk mengadakan
rapat staf guna memberikan saran mengenai kekuatan tempur yang diperlukan, karena
kekuatan yang ada di Makassar tidak mencukupi, yang akhirnya diputuskan untuk
mendatangkan pasukan dari Jawa.

Pada tahun 1858 terjadi sengketa antara Baso Batu Puteh (penguasa di Mario-ri-
Wawo dan Datu Bakka, bekas suami Datu Tanete). Sengketa ini diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk diselesaikan, yang kemudian di menangkan oleh
Datu Bakka. Baso Batu Puteh kemudian meminta bantuan Kerajaan Bugis Bone untuk
menyerang Datu Bakka. Tindakan yang dilakukan Bone menimbulkan kemarahan bagi
pemerintah Hindia Belanda. Belanda menganggap bahwa Bone telah menganggu
kewibawaan pemerintah Hindia Belanda.

Agresi militer Belanda tahun 1859-1860 dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama
dilakukan dalam di bawah pimpinan Mayor Jenderal Steinmetz dan wakilnya Kolonel
Inf. Waleson serta P.J.B. de Perez sebagai Komisaris urusan Celebes. Selain
kekuatan tempurnya didapatkan oleh sekutu-sekutu Belanda yang ada di daerah ini,
juga disiapkan dari Pulau Jawa. Agresi militer ini dilakukan untuk menghancurkan
Kerajaan Bugis Bone yang dianggap sering membangkang dan membuat ulah. Agresi
ini terdiri atas :
1. Angkatan darat yang terdiri atas infantry batalion ke-3 di bawah pimpinan Mayor
Kloesmeijer, infantri batalion ke-10 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Smits dan
batalion ke-14 di bawah pimpinan Mayor Belle. Selain itu juga dilengkapi dengan
satu skuadron kavaleri di bawah pimpinan Ritmeester Royen, separuh meriam 6
pon (dua kanon dan 3 howitser dan separuh meriam 3 pon) dua kanon dan dua
hotwitser dan dilengkapi dengan empat mortir tangan di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Kellerman, satu kompi sappeurs. Dan satu seksi perakit di bawah Kapten
Versteeg.

56
2. Angkatan Laut terdiri dari satu buah Korvert Medusa, dan delapan kapal uap dan
tiga kapal layar. Selain itu dipersiapkan juga satu detasemen mariner, enam
perahu cepat yang berkekuatan 200 marinir dan kalasi yang dipersiapkan untuk
operasi darat. Untuk angkutan pasukan, bahan-bahan kebutuhan, amunisi, kuli dan
sebagainya di sewa 20 buah kapal dagang, 12 buah perahu mayang dan delapan
tongkang dengan awaknya untuk keperluan transportasi. Agresi militer untuk
penaklukan Bone diberangkatkan dari Batavia pada tanggal 11 Januari 1859.
Batalion ke-3 dan ke-10 meninggalkan semarang pada tanggal 13 Januari 1859,
sedangkan batalion ke-14 meninggalkan Surabaya pada tanggal 20 Januari tahun
yang sama. Kapal Prinses Amalia dari angkatan Laut yang dijadikan kapal
komandan telah lebih dahulu meninggalkan Surabaya, yaitu pada tanggal 12
Januari 1859. Tujuan pertama mereka adalah mendarat di Bantaeng.

Perjalanan mereka tidak berlangsung dengan mulus. Kapal Princes Amalia terpaksa
bersandar di Madura untuk menurunkan sebagian angkutannya karena cuaca yang
tidak menguntungkan. Musim hujan dan gelombang yang cukup besar ternyata
menghalangi perjalanan kapal ini. Sebagian dari muatannya dipindahkan ke atas kapal
Gedeh, Phoenix dan Groningen. Kapal ini kemudian tiba di Makassar pada 19 Januari
1859.

Agresi militer Belanda secara berturut-turut muali memasuki Teluk Bantaeng antara 22
Januari sampai 3 Februari. Kapal perang Princes Amalia tiba keesokan harinya, dan
sehari kemudian berlabuh pula kapal perang Gedeh. Pada tanggal 25 Januari tiba
kapal perang Admiral van Kinsbergen dan Rembang. Pada tanggal 26 Januari tiba
kapal rumah sakit Arcadia dan Onderkerk Amstel serta kapal-kapal perbekalan
Waterloo dan Neptunus. Pada hari yang sama juga merapat kapal perang Groningen
yang menyeret kapal angkut Electra dengan muatan kuda-kuda kavaleri. Seluruh kapal
untuk agresi ke Kerajaan Bugis Bone seluruhnya telah memasuki Teluk Bantaeng
pada 3 Februari 1859.

4. Penyerangan Ke Kerajaan Bugis Bone

a. Penyerangan di awal tahun 1859


Sehari sebelum pemberangkatan pasukan Belanda yang di pimpin oleh Kolonel
Waleson untuk mengadakan pengintaian kekuatan lawan di Sinjai, pimpinan agresi ke

57
Kerajaan Bugis Bone, Mayor Jenderal E. Steinmentz telah mengeluarkan perintah
hariannya sebagai berikut :
“officeren, onderofficeiren en manschappen!”De koningin van Boni heft
Nederland’s souvereiniteit op Celebes aangerand, de afgevaardingen der
regeering op eene beledingende wijze ontvangen en onze nationale vlag
gehoond. “Voor dit alles zal van haar genoegdoening geeischt, en zij,
ingeval van weigering der haar gestelde voor warden, tot die
genoegdoening gedwongen worden.
“benoemd tot commandant en chef van de te Celebes aan wegize troepen
en van de krijgsmacht, die tot dat einde voor Bonthain vereenigd is, heb ik
het bevel daarover heden aanvaard.
“gegeven ter reede van Bonthain aan boord van Z.M. stoomschip,
‘Amsterdam den 24 Januari 1859.
De General Majoor
Commandant en chef der Bonische expeditie
(w.g.) E. Steinmentz

Terjemahan Bebas :
“perwira, Biantara dan Prajurit! “Ratu Bone telah merusak kedaulatan
pemerintah Belanda di Celebes, menerima utusan-utusan pemerintah
dengan cara-cara yang menghina, dan membalik bendera kebangsaan
Belanda. “Untuk semua ini akan diminta pertanggungan jawab dan apabila
semua persyaratan yang diajukan kepadanya di tolak, maka
pertanggungan jawab itu akan dipaksakan.
“Diangkat sebagai komandan dan Kepala Ekspedisi serta satuan tempur
yang ada di Celebes yang kini menyatu di teluk Bantaeng, pemerintah itu
kini saya laksanakan.
“Dikeluarkan di Teluk Bantaeng di atas kapal Perang
“zm. Amsterdam, tanggal 24 Januari 1859.
Major Jenderal
Komandan dan Pimpinan Ekspedisi bone
E. Steinmentz.

Keesokan harinya, 25 Januari 1859, Kolonel Waleson bersama dengan kapal-kapal


“Johanna Gertruida”. “Elizabeth”, “Alblaserdam” (kapal ini mengangkut batalion III
infantri), kapal perawatan medis “Arcadia”, dan kapal Vivres, kapal perbekalan
“Neptunus” meninggalkan Bantaeng. Kepada Kolonel Waleson ditugaskan untuk
mengadakan pengintaian, terutama atas kekuatan musuh yang ada di Sinjai namun

58
diingatkan untuk tidak boleh memancing pertempuran terhadap Bone sebelum adanya
pernyataan perang. Ada dua hal yang di harapkan dengan pengintaian ke daerah
Sinjai. Pertama untuk mendapatkan kepastian bahwa semua kapal angkut dapat tiba di
teluk Bone tanpa mengalami hambatan. Kedua adalah agar Kerajaan Bugis Bone tidak
mengetahui secara pasti sasaran serangan (Sinjai atau Bone), sehingga Kerajaan
Bugis Bone harus memecah kekuatan tempurnya untuk mengawasi kedua tempat
tersebut.

Setelah seluruhnya berjalan lancar dan sesuai dengan perkiraan semula, seluruh
pasukan Belanda bertolak meninggalkan Bantaeng, dan seluruhnya telah tiba di Sinjai
pada 3 Februari. Keesokan harinya, tanggal 4 Februari konvoi pasukan ini bergerak
kearah Utara menuju BajoE. Setelah melewati perjalanan kurang lebih dua hari, agresi
yang dipimpin oleh E. Steinmentz tiba di pelabuhan BajoE pada 6 Februari. Setibanya
di pelabuhan BajoE pasukan Belanda melakukan pengintaian dan mengutus utusan
kepada Raja Bone dengan membawa surat yang berisi ultimatum itu berbunyi sebagai
berikut :
1. Menuntut supaya Arumpone beserta pembesar-pembesarnya meminta ampun
kepada wakil pemerintah Hindia Belanda atas tindakan-tindakan mereka yang anti
Belanda dan supaya Ratu Belanda sebagai Rajanya yang tertinggi.
2. Agar pemerintah dan rakyat Kerajaan Bugis Bone mengibarkan bendera Belanda
dan menghormatinya dengan 21 kali tembakan meriam bilamana Mayor Jenderal
Steinmetz sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda mendarat di BajoE dan
sampai di Watampone, ibukota Kerajaan Bugis Bone.
3. Supaya Ratu bersama Dewan Pemerintahannya (Arung PituE) menandatangani
perjanjian Bungaya yang telah diperbaharui pada tahun 1824.
4. Ratu Bone diberi waktu 3 X 24 jam untuk menjawab dan menerima tuntutan.

Ultimatum yang diberikan Belanda ternyata tidak menggoyahkan pendirian Kerajaan


Bugis Bone. Hal ini di pandang sangat mengecewakan, dan berarti pula bahwa apa
yang dilakukan Kerajaan Bugis Bone selama ini dianggap sebagai suatu hal yang
biasa. Berdasarkan hasil pengintaian yang dilakukan oleh pihak Belanda diputuskan
untuk melakukan pendaratan di BajoE. Strategi yang dicanangkan adalah pertama-
tama mengusahakan agar pasukan Kerajaan Bugis Bone terbagi dua kekuatannya.
Oleh karena itu sebagian armada Belanda berlayar ke BajoE dan lainnya bergerak ke
arah Tanjung Pattiro. Setelah batas waktu ultimatum itu tidak di gubris oleh pihak

59
Kerajaan Bugis Bone, maka pada tanggal 11 Februari perang dilancarkan. Taktik yang
digunakan oleh Belanda ternyata telah mengecoh sebagian dari Laskar Kerajaan Bugis
Bone, sehingga kekuatan Bone kini terpecah dua, dan sebagian besar dari
pasukannya dikerahkan ke Patirro. Akibatnya pendaratan yang dilakukan di BajoE
berjalanlancar, kampong-kampung yang berada disekitarnya dengan mudah direbut.
Dalam peristiwa ini korban yang jatuh dari pihak Belanda sebanyak satu orang kelasi
Eropah tewas, masing-masing satu kelasi Eropa dan satu orang kelasi pribumi terluka.

Setelah menaklukan Bajoe, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perkemahan


sebagai basis untuk melakukan penyerangan selanjutnya. Antara tanggal 12 sampai
dengan 15 Februari, dilakukan lagi pengintaian untuk merebut Watampone, pusat
Kerajaan Bugis Bone. Penyerangan terhadap Watampone dipimpin langsung oleh
Mayor Jenderal Steinmetz, yang memutuskan untuk bergerak ke barat daya dan
setelah itu ke barat laut untuk mendobrak dari belakang ibukota Bone. Penyerangan
yang dilakukan oleh Steinmetz tampaknya kurang berhasil. Pengintaian yang dilakukan
sebelumnya ternyata tidak tuntas, karena rintangan alam tampkanya banyak yang
menghambat majunya pasukan Belanda. Meskipun tidak banyak mendapat
perlawanan karena pasukan Bone melangkah mundur ketika pasukan bergerak maju,
namun pasukan Belanda menemui banyak rintangan alam, terutama payau-payau
yang ditamani dengan pohon jagung. Laskar-laskar Kerajaan Gowa yang mengenal
medan pertempuran dan taktik perang gerilya yang dilakukan, memaksa Belanda
untuk menggerakkan segala kemampuannya, terutama dengan penambahan personil
perang. Satu persatu kampung-kampung yang berada di sepanjang perjalanan menuju
kota Watampone jatuh ketangan Belanda. Serdadu-serdadu Belanda beserta
sekutunya-sekutunya merampok dan membakar kampong-kampung yang berhasil
diduduki. Persenjataan yang lengkap dan taktik perang yang jitu yang diterapkan
Belanda memaksa laskar-laskar Bone mundur ke Kampung Lona. Pertempuran yang
terjadi di Lona menunjukkan keunggulan Belanda, karena perang berakhir dengan
kekalahan pihak Bone. Kampung Lona dibumi hanguskan. Dalam perang yang terjadi
ini Letnan I Infantri van Wielik Scjhelhout, seorang kopral bangsa Eropa, seorang
serdadu Eropa dan enam serdadu bumiputera meninggal, sedangkan yang luka-luka
adalah Letnan I Kavaleri van Der Heijde dan 11 orang bawahannya.

Di medan pertempuran lainnya, yaitu di Cenrana pasukan Belanda berhasil menduduki


wilayah ini dengan berhasil perlawanan dari kekuatan Bone. Pasukan Bone menderita

60
kerugian yang besar dan harus meninggalkan meriam besar. Pada pihak Belanda dua
orang meninggal dan Sembilan yang lainnya menderita luka-luka, termasuk Letnan
Laut Gravenhorst. Meskipun berhasil menduduki Cenrana, namun serangan mendadak
yang dilakukan oleh pasukan Bone sangat merepotkan Belanda. Medan perang yang
belum dikenal benar menjadi kendala lain bagi pasukan Belanda untuk memaksa Raja
Bone mematuhi ultimatum yang telah diberikan. Untuk menjaga kemungkinan-
kemungkinan yang tidak diinginkan diputuskan untuk membangun satu benteng di
Sungai Cenrana, yang kemudian tidak jadi dilakukan karena aliran sungau yang sempit
kelak akan menghalangi masuk keluarnya kapal-kapal kecil. Akhirnya diputuskan untuk
membuat benteng di BajoE, tempat yang dijadikan basis pertahanan dalam
penyerangan ke Watampone.

Dari sinilah pasukan Belanda memulai penyerangan terhadap pusat pemerintahan


Kerajaan Bugis Bone di Watampone. Penyerangan itu di awali dengan tindakan
penghacuran daerah-daerah pinggiran. Dalam pelaksanaannya pasukan Belanda
terlibat dalam kontak senjata yang dahsyat yang di kampung Malu. Ketika pasukan
Belanda bertemu dengan pasukan Bone yang berjumlah kurang lebih 2000 orang.
Pada pertempuran itu pasukan Kerajaan Bugis Bone terdesak mundur dan
diporakporandakan oleh pasukan Beland, sehingga pihak Belanda dapat menata
strategi pengepungan Watampone dari arah barat laut dan barat daya. Penguasaan
kota malu oleh pasukan Belanda melapangkan jalan untuk menyerang kota Bone
dengan perkiraan bahwa perlawanan-perlawanan yang kurang berarti yang dihadapi
Belanda merupakan taktik yang dilakukan oleh Bone untuk menghimpun tenaga demi
mempertahankan pusat kota. Oleh karena itu Kolonel Waleson memerintahkan
pasukan artileri untuk menembaki pusat kota Bone. Namun setelah beberapa kali
penembakan, dan gerak maju pasukan Belanda tidak mendapatkan perlawanan,
diketahui bahwa perbentengan Kerajaan Bugis Bone telah ditinggalkan, dan tanpa
perlawanan yang berarti kota Bone diduduki Pasukan Bone telah meninggalkan ibu
kota, dan dengan mudah pasukan Belanda membakar kota Bone tidak terkecuali
masjid. Setelah menghancurkan kota Bone pasukan Belanda kembali ke benteng
mereka di BajoE. Kerugian yang diderita dalam Penyerangan ini tercatat berjumlah 15
orang (tewas dan luka). Untuk menghukum Bone, rakyat Bone dipaksa untuk
membangun benteng dengan maksud dapat diselesaikan sebelum musim hujan. Jika
ini dapat dilakukan maka pekerjaan ini dianggap berhasil dan agresi dapat ditarikl
kembali. Namun demikian perkiraan Kolonel Waleson ini tidak sejalan dengan

61
pemikiran pejabat teras Belanda yang ada di Makassar dan di Batavia. Kepada Kolonel
Waleson diberitahukan lewat surat yang diterima pada tanggal 10 April, bahwa tidak
ada penarikan pasukan sebelum adanya keputusan politik. Keputusan ini berarti
bahwa pasukan Belanda harus tinggal lebih lama lagi di Bajoe untuk merampungkan
benteng pertahanan. Setelah benteng yang dibangun selesai pada tanggal 11 April
1859, pasukan agresi Belanda yang dipimpin oleh Kapten Reukeno ditugaskan untuk
tetap tinggal di benteng sampai adanya keputusan politik yang pasti.

Kondisi alam yang tidak bersahabat, musim hujan yang mulai tiba, menyebabkan
kondisi kesehatan pasukan Belanda mulai terganggu. Wabah penyakit seperti kolera,
disentri dan demam yang menyerang pasukan Belanda tidak saja menyebabkan
kematian yang cukup banyak pada pihak Belanda, tetapi juga melemahkan tenaga
pasukan. Akibat kondisi yang demikian ini, pasukan Belanda tidak lagi mengadakan
penyerangan untuk menuntaskan misinya seperti dikehendaki oleh pemerintah pusat
Hindia Belanda. Dalam keadaan yang demikian ini, agresi yang dilakukan oleh Kolonel
Steinmetz dianggap gagal. Serangan-serangan balik yang dilakukan oleh Kerajaan
Bugis Bone merepotkan Belanda. Segala penjuru Kerajaan Bugis Bone di kepung, baik
dari utara maupun dari selatan. Pasukan dari Makassar dengan jumlah sebanyak 500
orang bertugas memasuki daerah Bone. Pasukan ini dipimpin oleh komando Mayor
Ardesch yang terdiri atas 100 orang Eropa dari battalion zeni Celebes dan Manado,
kompi keempat dan kelima dari battalion pribumi, satu kesatuan artileri yang terdiri atas
satu perwira dan 23 orang untuk melayani dua pelempar mortar dan Sembilan anggota
kavaleri.

Usaha keras yang dilakukan oleh Belanda terhambar oleh kondisi alam yang tidak
bersahabat. Selain karena kedudukannya secara geografis amat sulit untuk
ditundukkan lewat selatan, dengan datangnya musim hujan, Belandan mengalami
kesulitan untuk melakukan serangan. Musim hujan menyebabkan keadaan kesehatan
pasukan Belanda sangat memperihatinkan, ditambah pula dengan merebaknya wabah
penyakit kolera. Keadaan itu melandasi keputusan yang ditetapkan pada bulan April
yang memutuskan untuk meninggalkan Bajoe dan kembali ke Makassar. Sewaktu
diadakan insfeksi pada tanggal 26 Mei, terbukti bahwa kekuatan agresi militer Belanda
tinggal 210 pasukan, pasukan ini lemah dan letih sehingga tidak mungkin bias
bertempur lagi. Pada battalion ke-14, terbukti kondisi kesehatannya tidak jauh berbeda.

62
Oleh karena itu, diputuskan untuk menggantinya dengan mengirim kompi Afrika dari
battalion 2 yang berkekuatan 100 orang Eropa dan 200 pribumi dari Semarang.

Sepeninggal pasukan Belanda, keadaan di Bone dan daerah-daerah sekitarnya


bergolak. Terjadi kerusuhan di Tanete, Mario-riwawo, Soppeng, Lamuru, Wajo dan
daerah-daerah yang terletak di bagian Selatan. Kekacauan yang terjadi ini merupakan
perwujudan dari solidaritas yang dilakukan olehkerajaa-kerajaan Bugis lainnya atas
agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Bone. Akibatnya, Belanda
terpaksa mencegah serangan-serangan dari daerah utara, sehingga untuk sementara
serangan terhadap Kerajaan Bugis Bone ditangguhkan.

5. Penyerangan di Akhir Tahun

Serangan yang dilakukan di awal tahun 1859 ternyata tidak menghasilkan satu
putusan politik yang pasti bagi Belanda. Keadaan cuaca dan wabah penyakit menjadi
satu kendala yang sangat berarti, sehingga serangan militer yang sudah di persiapkan
dengan matang menjadi gagal. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyusun satu
kekuatan baru untuk menuntaskan tugas yang belum selesai ini.

Pada 3 November 1859, tiba di Makassar armada dan pasukan Belanda di bawah
pimpinan Letnan Jenderal jan van Swieten, komandan Indische leger dan kepala
stafnya Mayor Inf. Staring. Pasukan yang dikirim terdiri atas (angkatan darat) battalion
4 yang dipimpin oleh Mayor Kroesen, batalion 11 dipimpin oleh Mayor Jalink, dan
batalion 5 oleh Mayor Heisterkamp. Pasukan ini juga dilengkapi dengan batalion
Garsinum Celebes dan Manado. Kesatuan Kavaleri terdiri dari pasukan kavaleri
Salatiga dan pasukan kavaleri Celebes yang dipimpin oleh Mayor Wolff. Selain
pasukan angkatan darat, agresi militer ini juga dilengkapi dengan kekuatan angkatan
angkatan laut yang terdiri atas kapal uap Gadeh, Admiral van Kinsberger, Madura, dan
juga Phoenix, korvet uap Madusa, kapal uap baling-baling Sumbing dan Bali. Korvet
Rembang Padang, dan Lansier.

Selain pasukan Belanda, agresi ini mendapat bantuan dari Arung Palakka yang
berhasil meloloskan diri dari Pasempa bersama-sama pengikutnya ke Makassar untuk
menemui wakil pemerintah Belanda. Dari pihak pasukan Arung Palakka dipersiapkan
sejumlah 200 orang pengikutnya. Pada tanggal 19 November 1859, pasukan Belanda

63
yang dipersiapkan di Bulukumba diberangkatkan menuju daerah Kajang dan Sinjai.
Penguasaan daerah Kajang dan Sinjai dari segi geografis di pandang perlu demi
mempersempit wilayah penyerangan atas Kerajaan Bugis Bone. Seperti yang telah
dilakukan agresi militer pada tahun 1825. Pada tahun itu, diketahui bahwa Sinjai
merupakan sekutu daki Kerajaan Bugis Bone, dan Bone memiliki pengaruh yang besar
di wilayah tersebut. Penaklukan Sinjai setidaknya dapat mengurangi bantuan bantuan
kepada Kerajaan Bugis Bone. Oleh karena itu, pasukan agresi militer ke Bone ini
menempuh jalan darat menuju Sinjai. Seteleah daerah Sinjai, pengawasan selanjutnya
atas daerah ini diserahkan kepada Arung Palakka. Pasukan Belanda terus bergerak
untuk menduduki pusat-pusat terpenting Kerajaan Bugis Bone yang berada di daerah
perbukitan yang dianggap sangat kuat.

Setelah menguasai Sinjai, pasukan Belanda kemudian menuju Bajoe dan menguasai
daerah tersebut. Pada 6 Desember 1859 pasukan Belanda dipersiapkan untuk
menyerang Watampone. Dalam penyerangan ke Watampone, pasukan agresi ini
mendapat perlawanan yang seru dari laskar Bone. Tidak jarang terjadi pertempuran
satu lawan satu. Orang Bugis yang dianggap gagah berani telah memberikan
perlawanan yang cukup berarti kepada Belanda. Berkat persenjataan yang lengkap,
disertai taktik perang yang jitu, tampaknya keberanian bukan jaminan untuk
memperoleh kemenangan. Pasukan Belanda dengan tiga kompi dari batalion 4 di
bawah pimpinan Kapten van Ons, berhasil mengusir keluar laskar Kerajaan Bugis
Bone. Pertempuran seru ini menelan korban Mayor Kroesen, yang kemudian di
kebumikan di Palakka. Selain Mayor Kroesen, gugur juga putra mahkota Kerajaan
Bugis Bone, yaitu La pamadeng Rukka.

Arung Palakka bersama pasukannya juga tiba dari Sinjai untuk membantu pasukan
Belanda sesuai renana yang disepakati. Akhirnya pada hari itu juga, Watampone
berada dalam kekuasaan Belanda. Ketika ibu kota Kerajaan Bugis Bone tampak
berhasil diduduki oleh pasukan agresi Belanda, pada tanggal 6 Desember Ratu Bone
beserta pembesar-pembesar Kerajaan Bugis Bone mengungsi keluar. Taktik ini
digunakan oleh Bone demi untuk menghindari makin banyaknya korban yang jatuh.
Disadari bahwa kekuatan tempur pihak lawan jauh lebihkuat dibandingkan dengan
kekuatan Kerajaan Bugis Bone. Selain itu taktik pecah belah yang dimainkan oleh
Belanda ternyata membawa hasil. Achmad Singkeru Rukka telah memberikan banyak

64
bantuan kepada Belanda, tidak saja dengan jumlah pasukan perang tetapi juga
tentang kekuatan perang Kerajaan Bugis Bone.

Setelah menduduki Kota Watampone, pasukan agresi militer Belanda dipecah menjadi
2 kelompok. Satu kelompok yang dipersiapkan untuk menyerang Palakka dan
sebagian lain bergerak menuju kearah Pasempe. Dua daerah yang dianggap sangat
kuat sebagai benteng pertahanan Kerajaan Bugis Bone yang berada di perbukitan.
Van Swieten bersama pasukannya melakukan penyerangan ke Passempe, namun
ternyata daerah itu juga telah ditinggalkan oleh laskar Bone. Kekuata Kerajaan Bugis
Bone sekarang lumpuh. Tidak ada perlawanan yang berarti yang dapat dilakukan lagi.
Dewan Ade PituE secara sepihak menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan
bersedia menerima pernyataan dari pihak Belanda bahwa Ratu Pancai Tana Besse
Kajuara dipecat dari kedudukannya sebagai Raja Bone. Akhirnya Besse Kajuara
terpaksa meninggalkan Passempe dan mengungsi ke Suppa, tempat kelahirannya.

Pernyataan sepihak yang diikrarkan oleh Dewan Ade PituE meskipun oleh Belanda
dianggap sudah cukup untuk menguasai Bone, namun terdapat kesulitan dalam
menentukan penggantinya, karena alat-alat kebesaran dari Kerajaan Bugis Bone
dibawa pergi bersama Besse Kajuara. Setelah berulang kali mengadakan
perundingan, akhirnya pada tanggal 20 januari 1860, alat-alat kebesaran Kerajaan
Bugis Bone diserahkan kepada Belanda.

Kepergian Besse Kajuara dari Kerajaan Bugis Bone membuat pengaruh Singkeru
Rukka semakin bertambah besar. Pemerintah Belanda tidak mempunyai kesulitan
untuk mendudukannya sebagai raja di Kerajaan Bugis Bone. Pemerintah Belanda
kemudian atas kesepakatan dengan Dewan Ade PituE, melantik Achmad singkeru
Rukka Arung Palakka menjadi raja di Kerajaan Bugis Bone pada tahun 1860.
Kekalahan Kerajaan Bugis Bone, merupakan era baru dalam sejarah Kerajaan Bugis
Bone. Kekbebasan yang selama ini pada Kerajaan Bugis Bone berakhir pada tahun
1860. Kekalahan yang diderita oleh pasukan Kerajaan Bugis Bone tidak saja karena
persenjataan yang tidak seimbang, tetapi juga karena Kerajaan Bugis Bone dari dalam
telah terpecah belah. Dewan Ade PituE Kerajaan Bugis Bone yang secara sepihak
mengaku tunduk kepada pasukan Belanda yang di pimpin oleh van Swieten telah
menghapus harapan dari pihak Kerajaan Bugis Boneyang mencoba untuk membangun
basis kekuatan kembali jauh didaerah pedalaman Kerajaan Bugis Bone.

65
Pengungsian besar-besaran dengan menarik mundur pasukan dan juga Ratu Bone,
seperti yang dilakukan pada perang do tahun 1824-1825, kali ini tidak membuahkan
hasil yang diharapkan.tampkanya para penasehat Ratu Bone yang duduk dalam
Dewan Ade PituE merasa tidak mampu menghadapi pasukan agresi Belanda yang
memiliki persenjataan lengkap serta pasukan tempur yang lebih terlatih. Penyerangan
dari laut dan darat telah melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bugis Bone. Bantuan yang
diharapkan dari Kerajaan-kerajaan Bugis lainnya mengalami kegagalan, karena
Belanda lebih dulu mempersempit wilayah pertempuran.

Kekalahan yang dialami Bone dengan pernyataan kalah dari Dewan Ade PituE hanya
membantu sedikit, yaitu Kerajaan Bugis Bone tidak di jadikan sebagai daerah takluk,
tetapi dijadikan sebagai kerajaan pinjaman.sekutu Belanda Achmad Singkeru Rukka
dilantik menjadi Raja Kerajaan Bugis Bone pada tahun 1860. Dalam banyak hal
pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan Kerajaa Bone, akan tetapi yang
berhubungan dengan politik, misalnya pergantian raja dan pelantikan To-marilalang
harus sepengetahuan dan persetujuan dari pihak pemerintah Hindia Belanda.

6. Konflik Kerajaan Bugis Bone Dengan Inggris Di Wilayah Timur Dan Utara
Sulawesi Selatan

Inggris berkuasa di Hindia Belanda Pada tahun 1811-1816. Gubernur Jenderal Inggris
adalah Sir Stafford Raffles. Pada tanggal 6 Maret 1812 serah terima dilakukan di
Makassar. Beberapa kerajaan mengambil baik kesempatan ini untuk membina
hubungan yang lebih baik, diantara Kerajaan Gowa, Soppeng, dan Sidenreng, untuk
menggandeng persahabatan dengan pemerintah asing yang baru ini. Konflik intern
yang terjadi dikerajaan Gowa pada decade terakhir abad ke-18 sebagai akibat campur
tangan Kerajaan Bugis Bone dalam urusan intern Kerajaan Gowa menjadikan kerajaan
ini kurang berdaya dalam menyelesaikan masalahnya, baik konflik intern maupun
konflik antara kerajaan di Sulawesi Selatan.sementara itu, Kerajaan Sidenreng yang
merupkan sekutu kerajaan Gowa ketika perang Makassar (1666-1669) berlangsung,
setelah itu senantiasa menjadi kerajaan taklukan dari Kerajaan Bugis Bone, harus
melepaskan hak penguasaannya terhadap pelabuhan Pare-Pare yang kini direbut oleh
Kerajaan Bugis Bone.

66
Lain masalah yang dihadapi Kerajaan Gowa dan Kerajaan Sidenreng, lain pula
masalah yang dihadapi Kerajaan Soppeng. Kerajaan Soppeng adalah Kerajaan yang
bersahabat dan banyak membantu Kerajaan Bugis Bone ketika Perang Makassar
berlangsung, tetapi setelah itu bukan saja senantiasa menjadi wilayah pengaruh
kekuasaan Kerajaan Bugis Bone, tetapi bahkan sejak Arung Palakka di nobatkan
menjadi Datu (raja) Soppeng pada tahun1676, sejak itu pula setiap Datu(raja) Soppeng
harus ada pertalian kekerabatan dengan Raja Bone, kalau perlu Raja Bone merangkap
menjadi Datu(raja) Soppeng. Keadaan ini terus berlangsung terus sampai inggris
mengambil alih kekuasaan daerah ini dari tangan Belanda. Alasan-alasan inilah yang
dapat dikedepankan mengapa ketiga kerajaan ini membangun persahabatan dan
senantiasa bersedia membantu pemerintah Inggris di Makassar dalam menghadapi
kerajaan-kerajaan yang menentang kehadiran Pemerintah Inggris di Sulawesi Selatan.

Meskipun kerajaan Gowa, Soppeng, dan Sidenreng menentukan sikapnya bersahabat


dan senantiasa membantu Pemerintah Inggris di Makassar, tetapi pada pihak lain
Kerajaan Bugis Bone, Tanete dan Suppa, tidak mengurangi intensitas sikap
menentangnya terhadap kehadiran Pemerintah Inggris si Sulawesi Selatan. Khusus
untuk wilayah Maros dan sekitarnya, Kerajaan Bugis Bone membangun kerjasama
dengan Kerajaan Tanete dan Kerajaan Suppa untuk mempertahankan wilayah itu dari
seraangan inggris dan sekutu-sekutunya. Kerajaan tanete yang berbatasa dengan
Maros menerima baik ajakan kerjasama itu,sedangkan Kerajaan Suppa menyatakan
kesediaannya membantu Kerajaan Bugis Bone selain karena Datu (raja suppa), Sultan
Adam, adalah ipar Raja Bone, Toappantunru Arung Palakka, juga mengharapkan
bantuan Bone untuk mempertahankan pelabuhan Bacukiki, sebuah pelabuhan sebelah
selatan pelabuhan Pare-Pare.

Setelah Inggris dan sekutu-sekutunya berhasil merebut pelabuhan Pare-Pare, pada


tahun 1814, kemudian disewakan kepada Kerajaan Sidenreng, maka Kerajaan Wajo
menyatakan kesediaannya membantu kerajaan ini untuk mempertahankan wilayah
Bulukumba. Keberpihakan kerajaan Wajo yang demikian itu, karena Kerajaan Bugis
Bone melarang para pelayar niaga asal Wajo menggunakan pelabuhan Makassar, dan
mengiring mereka untuk menggunakan pelabuhan Bulukumba dan pelabuhan-
pelabuhan yang terletak disepanjang teluk Bone, seperti Pelabuhan Bantaeng,
Pelabuhan Bulukumba, Pelabuhan Manggarabombang, Pelabuhan BajoE, Pelabuhan

67
Pallima dan Pelabuhan Siwa, yang semuanya berada di bawah penguasaan Kerajaan
Bugis Bone.

Sikap Kerajaan Bugis Bone dan sekutu-sekutunya yang senantiasa menentang


pemerintah inggris di Sulawesi Selatan menyebabkan timbulnya konflik antara kedua
belah pihak di wilayah Maros, Bantaeng, dan Bulukumba. Meskipun inggris mendapat
bantuan dari Kerajaan-kerajaan yang bersahabat, tetapi hingga akhir kekuasaannya
didaerah ini Inggris tidak dapat menghapuskan pengaruh kekuasaan Kerjaan Bone di
tiga wilayah itu. Konflik diantara kedua belah pihak menjadikan Sulawesi Selatan
menjadi kurang aman selama pemerintahan Inggris (1812-1816). Demikian juga,
blokade perdagangan yang dilakukan oleh Kerajaan Bugis Bone dan sekutu-sekutunya
membuat pelabuhan Makassar yang telah dinyatakan oleh Inggris sebagai pelabuhan
bebas tetap sepi, baik dari kunjungan pelayar niaga, lokal, maupun pelayar niaga
asing.

7. Perang Bone-Belanda (1859-1860),

Dalam catatan sejarah kolonial, peristiwa ini dikenal dengan ekspedisi Belanda ke
Bone. Pada Januari 1859 armada Belanda bersama pasukannya di bawah pimpinan
Jenderal Mayor Steinmetz mulai bergerak menuju ke Bone. Pada 3 Februari 1859
sebagaian besar dari armada itu telah berkumpul di Sinjai. Keesokan harinya
bergeraklah armada itu menuju ke BajE (Bone), sedangkan sebagiannya melakukan
pemeriksaan sepanjang sungai Cenrana yang ternyata sudah dipertahankan dan
diperkuat oleh orang-orang Bone siap siaga untuk berperang melawan Belanda.
Setelah Jenderal Steinmetz tiba dipelabuhan BajoE, maka pada tanggal 6 Februari
1859 beliau mengirim utusan kepada Arumpone dengan membawa surat yang bersifat
ultimatum terakhir yang berbunyi sebagai berikut :
1. Menuntut supaya Arumpone beserta pembesa-pembesarnya meminta ampun
kepada wakil pemerintah Belanda atas tindakan-tindakannya yang sangat anti
Belanda dan supaya ratu bersama rakyatnya yang mengakui raja sebagai
rajanya yang tertinggi.
2. Agar supaya pemerintah dan rakyat Kerajaan Bugis Bone mengibarkan
bendera Belanda dan menghormatinya dengan 21 kali tembakan meriam
bilamana Jenderal Steinmetz sebagai wakil pemerintah Belanda mendarat di
BajoE sampai di Watampone, ibukota Kerajaan Bugis Bone.

68
3. Agar ratu bersama Dewan Pemerintahnya (Arung PituE) menandatangani
perjanjian Bungaya yang telah diperbaharui pada tahun 1824.
4. Arumpone diberi waktu 3x24 jam untuk menjawab dan menerima tuntutan.

Bilamana tidak diberi jawaban atas surat ultimatum untuk tuntutan di point keempat,
maka pasukan-pasukan Belanda menyerang Bone. Atas ultimatum itu, ratu sama
sekali tidak sudi memberikan jawaban, malah baginda segera memrintahkan rakyatnya
bersiap siaga untuk melawan mati-matian. Daerah-daerah bawahan dan daerah-
daerah tetangganya, terutama yang termasuk dalam lingkungan yang disebut
TellumpoccoE (Bone, Wajo, dan Soppeng), dikirimi bila-bila yaitu utusan-utusan untuk
meminta bantuan laskar. Laskar Bone sendiri sudah siap-siaga dengan alat-alat
perlengkapannya di sepanjang pantai BajoE di Bawah pimpinan Petta PunggawaE
(Panglima tertinggi dari Angkatan Perang Kerajaan Bugis Bone) ketika itu.

Lima hari kemudian, tepatnya pada tanggal 11 Februari, Jenderal Steinmetz


memaklumatkan perang terhadap Kerajaan Bugis Bone. Bersamaan dengan itu, beliau
bersama dengan pasukan-pasukannya mendarat di BajoE disertai dengan tembakan-
tembakan meriam yang hebat. Pihak Bone juga membalasnya dengan tembakan-
tembakan meriam yang tidak kurang hebatnya. Pada penyerangan itu Belanda
mengerahkan 10 batalyon pasukan infantry bersama divisi marininr pendaratan
ditambah kekuatan tiga ponder battery dan satu kompi Sappours.

Pertempuran-pertempuran di daratan antara pasukan-pasukan Belanda melawan


laskar-laskar Bone berlangsung sangat sengit. Dari kedua belah pihak banyak yang
korban, terutama di pihak Bone yang persenjataannya serba kuno. Dari pihak Belanda
tewas 15 orang dan banyak yang luka-luka. Sementara pertempuran-pertmpuran
berlangsung, Belanda sibuk mendirikan sebuah benteng pertahanan di BajoE. Rumah-
rumah rakyat di dalam dan di sekeliling BajoE dan di Bukaka di bakar oleh pasukan-
pasukan Belanda. Pada 7 Maret 1859 kampung-kampung yang menuju kea rah sungai
Panyula dibakar oleh pasukan-pasukan Belanda. Untuk mencegah agar supaya tidak
terlalu banyak rakyat Bone yang tewas karena persenjataan Belanda yang jauh lebih
kuat dan modern , ditambah pula oleh adanya penghianatan dari pihak atau golongan-
golongan rakyat tertentu dari rakyat Bone yang memihak kepada Belanda, maka laskar
Bone yang setia kepada rajanya terpaksa mengundurkan diri dari BajoE dan
sekitarnya. Setelah itu, mereka kemudian masuk ke pedalaman yang tidak begitu jauh

69
dari BajoE dengan tekad untuk meneruskan perlawanannya. Harta benda dari
Arumpone di TippuluE habis dibakar oleh Belanda.

Melihat bahwa Watampone ibukota Kerajaan Bugis Bone tidak dapat dipertahankan
lebih lama lagi, maka untuk menjaga jangan sampai ibukota itu hancur oleh karena
pertempuran-pertempuran, Arumpone bersama anggota-anggota pemerintahannya
terpaksa mengambil keputusan untuk segera meninggalkan ibukota dan dijadikan kota
terbuka. Baginda bersama anggota-anggota pemerintahannya menyingkir ke
Pasempe, sebuah daerah yang terletak di sebelah barat Watampone yang puluhan
kilometer jauhnya dari ibukota. Di sanalah baginda bersama pembesar-pembesar
kerajaannya yang setia melanjutkan perlawanannya terhadap Belanda.

Oleh karena Belanda melihat bahwa perang gerilya yang dilancarkan oleh laskar Bone
di daerah-daerah pedalaman yang berpusat di Passempe sangat hebat, maka untuk
menjaga jangan sampai terlalu banyak korban tewas dan luka-luka di antara pasukan-
pasukannya, Belanda terpaksa membatasi serangan-serangannya. Dengan bertempat
di dalam benteng yang baru selesai didirikan pada 11 April 1859, sebahagian kecil dari
pasukan Belanda tinggal d BajoE di bawah pimpinan Kapten Reukeno berupaya terus
agar dalam waktu yang tidak begitu lama Arumpone bersama rakyatnya terpaksa
menyerah. Siasat yang paling utama dijalankan oleh Belanda ialah adu domba.

Di samping hebatnya perang gerilya yang diadakan oleh laskar Bone, sebagaimana
yang disebutkan di atas, pasukan-pasukan Belanda pada waktu itu mengalami juga
serangan penyakit malaria dan kolera, sehingga banyak diantara mereka yang sakit
dan mati. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dalam bulan April itu juga
Jenderal Steinmetz bersama armadanya dan sebahagian besar pasukannya
meninggalkan BajoE kembali ke Makassar. Hanya sebahagian kecil pasukannya
berada di BajoE, sebagaimana yang sudah di jelaskan di atas. Dalam hubungan ini
dapatlah dikatakan bahwa serangan besar-besaran dari belanda dari Belanda
terhadap Bone mengalami kegagalan yang sangat mengecewakan bagi pemerintah
Belanda.

Belanda tidak putus asa. Mereka berusaha terus menjalankan siasat adu dombanya,
terutama antara Ahmad Singkerru Rukka Arung Palakka di satu pihak dengan
Arumpone Besse Kajuara di lain pihak. Menurut riwayat, Ahmad Sinkerru Rukka telah

70
mencoba merebut kekuasaan di Bone semasa pemerintahan Arumpone La Prenrengi
MatinroE ri Ajabbenteng pada 1852, akan tetapi percobaan itu gagal. Karena itu beliau
disingkirkan oleh Arumpone tersebut keluar dari daerah Bone. Konon kabarnya beliau
disingkirkan ke daerah Sinjai.

Selanjutnya sewaktu Besse Kajuara menjadi Arumpone, barulah beliau kembali ke


Bone, akan tetapi beliau senantiasa saja dicurigai dan diperlakukan sebagai orang
yang dikuasai oleh Arumpone. Walaupun demikian, beliau sempat pula mengadakan
perhubungan dengan pemimpin tentara Belanda, di BajoE. Pada bulan Juli 1859 beliau
mendapat kesempatan meloloskan diri dari Passempe dan bersama dengan pengikut-
pengikutnya berangkat ke Makassar untuk menemui wakil pemerintah Belanda di
sana. Gubernur Makassar segera mengadakan perundingan-perundingan dengan
Ahmad Singkerru Rukka dengan maksud untuk mencapai perdamaian dengan
Arungpone Besse Kajuara. Akan tetapi, perundingan-perundingan itu gagal.

Di lain pihak, Baginda Besse Kajuara yang senantiasa didampingi oleh iparnya, To
Angcele Arung Amali Tumarilaleng Lolo di Bone, tetap menolak berdamai dengan
Belanda. Baginda semakin giat memperkuat amgkatan perangnya untuk
mempertahankan kehormatan negeri dan rakyatnya. Baginda mendirikan benteng-
benteng pertahanan di perbatasan Bone bagian selatan, menunggu serangan-
serangan hebat dari arah manapun dari pihak Belanda. Sementara itu, pemerintah
Belanda di Betawi giat mempersiapkan pengiriman-pengiriman pasukan tentara yang
lebih kuat ke Makassar untuk menyerang Bone secara besar-besaran.

Dalam bulan November 1859 tibalah di Makassar armada dan pasukan-pasukan


Belanda di bawah pimpinan dari Letnan Jenderal I. Van Zwieten komandan dari
Indischeleger. Kekuatan-kekuatan yang akan dikerahkan ke bone terdiri dari 3 kompi
infantry, 27 orang tentara penunggang kuda, satu seksi bespannen drieponders, dua
mortier dan 21 sappours di bawah pimpinan kepala staf Mayor Starring, batalyon
infantry di bawah pimpinan Mayor Kroesen, batalyon ke-14 dari pasukan infantry, satu
skadron cavalerie, satu seksi houwitsers, satu kompi sauppeurs dab pasukan-pasukan
pendudukan di Selebes, sedangkan di laut (zeemacht) yang terdiri dari tiga buah kapal,
(stoomschepen), satu buah koevet, dua buah bukken dan enam kapal penjelajah yang
berada di bawah komado kapiten letnan laut J.J. Westerouwen van Meeteren, Ahmad

71
Singkerru Rukka bersama 200 orang pengikutnya dan asisten residen Bakker bersama
1.000 orang tentara pembantu (hulptroepen).

Jenderal Van Zwieten menetapkan rencana supaya terlebih dahulu menaklukan


daerah-daerah Kajang dan Sinjai, dipisahkannya Kerajaan Bugis Bone dan
diberikannya sebagai pinjaman kepada Ahmad Singkerru Rukka. Sesudah itu barulah
menyerbu masuk ke Bone sebagaimana jalan pikiran oleh Jenderal tersebut, untuk
menduduki Watampone, begitupun Passempe dan Pompanua, dan bila mana usaha-
usaha untuk mendekati pemerintah pusat Kerajaan Bugis Bone tidak berhasil, barulah
diadakan serangan secara besar-besaran untuk menghancurkan Bone. Selanjutnya ia
hendak memblokir pantai dan memperlakukan perahu-perahu Bone sebagai musuh
sampai nanti tercapai perjanjian perdamaian dengan Bone.

Sesuai rencana tersebut, maka Belanda mempersiapkan sebuah pasukan di


Bulukumba yang ditugaskan berangkat dengan berjalan kaki ke Sinjai, menyerang
kubu-kubu pertahanan musuh di tempat-tempat yang dilaluinya dan menaklukkan
daerah Kajang dan Sinjai. Pada 19 Nopember 1859 berangkatlah pasukan tersebut
dan sementara itu seluruh armada berlayar menuju ke Sinjai untuk menyerang daerah
itu dari laut.

Pada 21 November 1859 Jenderal Van Zwieten tiba di perairan bagian depan Sinjai.
Pada keesokan harinya. Tanggal 24 November 1859, beliau memerintahkan para anak
buahnya untuk menembaki Mangngarabombang dan Balangnipa. Laskar Bone yang
ada di kedua tempat tersebut membalasnya dengan tembakan-tembakan meriam dan
senapan. Pada 24 November 1859 itu pula, mendaratlah 200 orang prajurit dari divisi
pendaratan di bawah hujan peluru dari laskar Bone. Oleh karena tembakan meriam
Belanda terlalu hebat, maka laskar Bone yang ada di Mangngarabombang dan
Balangnipa terpaksa meninggalkan tempatnya dan menyingkir jauh masuk ke
pedalaman agar luput dari bahaya maut. Pertempuran-pertempuran kecil di daerah
Sinjai yang meliputi beberapa keregenan (bekas kerajaan-kerajaan), seperti Bulo-Bulo,
Lamatti, Tondong, Manimpahoi dan Manipi, hanya berlangsung beberapa hari lamanya
dan berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda.

Oleh Belanda diangkatlah Kapten Wiegend menjadi komandan militer dan


Gezaghebber sebagai komandan sipil atas daerah Sinjai yang berkedudukan di

72
Balangnipa, sedangkan La Pawawoi Karaeng Segeri, putra dari Ahmad Singkerru
Rukka Arung Palakka, diangkat sebagai kepala untuk daerah-daerah Sinjai (sepanjang
yang diriwayatkan, mulanya Ahmad Singkerru Rukka menjadi raja (Arung) di Bulo-
Bulo. Kemudian barulah La Pawawoi Karaeng Segeri diangkat oleh Belanda menjadi
raja di seluruh Bulo-Bulo).

Pada 27 November berangkatlah lebih dahulu batalyon ke-11 di bawah pimpinan


Mayor Stering ke BajoE untuk mendirikan bivak agar dapat ditempati nantinya oleh
induk pasukan yang akan berangkat ke sana. Setelah seluruh pasukan Belanda tiba di
BajoE, maka pada 6 Desember 1859 pasukan-pasukan Belanda yang dilengkapi
dengan persenjataan yang kuat bergerak dari BajoE menuju ke Watampone untuk
menduduki kota ini. Pertempuran-pertempuran terjadi dengan hebat. Korban dari
kedua belah pihak banyak yang berjatuhan dalam pertempuran-pertempuran itu. Dari
pihak Belanda gugur anatara lain Mayor Kroesem (mayor ini dikuburkan di Palakka),
sedangkan dari pihak Bone gugur antara lain Pamadeng Rukka, putra mahkota
Kerajaan Bugis Bone.

Sebagian antara Belanda bergerak ke Palakka dan sebagian menuju Passempe di


bawah pimpinan jenderal van Swieten sendiri. Oleh karena Arumpone Besse Kajuara
melihat bahwa laskarnya tidak mampu lagi mengadakan perlawanan terhadap Belanda
yang kekuatannya pada waktu itu luar biasa hebatnya, maka untuk menjaga jangan
sampai terlalu banyak rakyat yang gugur dan menderita kerugian harta benda, baginda
mengambil keputusan untuk segera meninggalkan Passempe dan daerah Bone.
Baginda beserta pengikut-pengikutnya yang setia menyingkir masuk ke daerah
Soppeng dengan membawa benda-benda Arajang Bone. Sementara itu kira-kira 50
orang kepala desa di bawah pimpinan dari seorang Dewan Arung Pitu di Bone datang
menyerah kepada pimpinan tentara Belanda.

Pada 9 Desember 1859 Jenderal van Swieten dengan tiga kompi pasukan infantri dan
satu pleton pasukan berkuda berangkat ke Passempe, yang sebelumnya telah
diperkuat oleh pemerintah Kerajaan Bugis Bone. Jenderal itu tiba di tempat tersebut
yang sedang dalam keadaan kosong, karena telah ditinggalkan oleh Besse Kajuara.
Esok harinya Jenderal Belanda tersebut kembali ke Palakkad an kemudian mengambil
keputusan untuk memberangkatkan pasukan-pasukannya ke Pompanua dan ia
mengadakan pula perbaikan jalanan menuju ke arah Palakka sampai ke Nico. Pada 14

73
Desember 1859, berangkatlah Sembilan setengah kompi pasukan infantri, bersama
pasukan artileri dan kavaleri ke Pompanua. Ahmad Singkerru Rukka juga turut serta
bersama tiga buah kapal penjelajah melalui Cenrana menuju Pompanua.

Sementara itu pengaruh dan kekuasaan Ahmad Singkerru Rukka Arung Palakka
bertambah besar, sedangkan pengaruh dan kekuasaan Arumpone Besse Kajuara
terus kabur, teruatama karena baginda meniggalkan rakyatnya dalam keadaan perang.
Olehnya itu rakyat Bone memberi nama kepadanya Petta Mpelaiyengngi Passempe
(raja yang meninggal di Passempe). Soppeng dan Wajo yang tadinya simpati kepada
Arumpone Besse Kajuara, kini cenderung berpihak pada Belanda dan Ahmad
Singkerru Rukka. Beberapa anggota Dewan Arung Pitue menempatkan dirinya pula di
pihak Belanda dan Ahmad Singkerru Rukka beserta rakyat Bone yang sama sekali
menyerah. Setelah berulang kali diadakan perundingan, barulah pada tanggal 20
Januari 1860 benda-benda Arajang yang telah dibawa oleh baginda Besse Kajuara
diserahkan oleh dua orang anggota Dewan Arung PituE kepada pimpinan tentara
Belanda di Bone. Dengan kembalinya benda-benda Arajang itu, barulah pemerintah
Belanda dapat mengadakan pemilihan Arumpone yang baru sebagai pengganti dari
Baginda Besse Kajuara. Sewaktu utusan Kerajaan Soppeng datang untuk
mengadakan kontak politik dengan Gubernemen Belanda, Ahmad Singkerru Rukka
dipilih oleh anggota-anggota dewan Arung PituE yang hadir ketika itu dan memilihnya
menjadi Arumpone sebagai pengganti dari baginda Besse Kajuara.

8. Daftar Raja-Raja Bone Hingga Masa Kolonial Belanda

1. Manurungnge Rimatajang Matasilompoe (1330 - 1365)


2. La Ummasa Petta Panre Bessie (1365 - 1368)
3. La Saliu Kerang Pelua (1368 - 1470)
4. We Benrigau Mallajangnge Ri Cina (1470 - 1510)
5. La Tenri Sukki Mappajunge (1510 - 1535)
6. La Ulio Botoe Matinroe Ri Itterung (1535 - 1560)
7. La Tenri Rawe Bongkange Matinroe Ri Gucinna (1560 - 1564)
8. La Icca Matinroe Ri Addenenna (1564 - 1565)
9. La Pattawe Matinroe Ri Bettung (1565 - 1602)
10. La Tenri Tuppu Matinroe Ri Sidenreng (1602 - 1611)
11. La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe Ri Bantaeng (1611 - 1616)

74
12. La Tenri Pale Matinroe Ri Ri Tallo (1616 - 1631)
13. La Maddaremmeng Matinroe Ri Bukaka (1631 - 1644)
14. La Tenri Waji Arung Awang Matinroe Ri Siang ( Pangkep) (1644 - 1645)
15. La Tenri Tatta Daeng Serang Malampee Gemmena Arung Palakka (1645 - 1696)
16. La Patau Matanna Tikka Matinroe Ri Nagauleng (1696 - 1714)
17. Batari Toja Sultan Sainab Sakiyatudding (1714 - 1715)
18. La Padassajati To Appaware Sultan Sulaeman Petta Ri Jalloe (1715 - 1718)
19. La Pareppa To Sappewali Sultan Ismail Matinroe Ri Somba Opu (1718 - 1721)
20. La Panaongi To Pawawoi Arung Mampu Karaeng Bisei (1721 - 1724)
21. Batari Toja Datu Talaga Arung Timurung (1724 - 1749)
22. La Temmassonge To Appawali Sultan Abdul Razak Matinroe Ri Malimongeng
(1749 - 1775)
23. La Tenri Tappu Sultan Achmad Saleh Matinroe Ri Rompegading (1775 - 1812)
24. To Appatunru Sultan Ismail Muhtajuddin Matinroe Ri Laleng Bata (1812 - 1823)
25. I Mani Ratu Arung Data Sultan Rajituddin Matinroe Ri Kessi (1823 - 1835)
26. La Mappaseling Sultan Adam Najamuddin Matinroe Ri Salassana (1835 - 1845)
27. La Parenrengi Sultan Akhmad Muhiddin Arung Pugi Matinroe Ri Ajang Benteng
(1845 - 1857)
28. We Tenri Waru Sultanah Ummulhuda Pancaitanah, Besse Kajuara Pelaingi
Pasempe (1857 - 1860)
29. Achmad Singkerukka Sultan Achmad Idris Matinroe Ri Paccing (1860 - 1871)
30. Fatima Banri Datu Citta Matinroe Ri Bolamparena (1871 - 1895)
31. Lawawowoi Karaeng Sigeri Matinroe Ri Bandung (1895 - 1905)
32. Lamappanyukki Sultan Ibrahim Matinroe Ri Gowa (1931 - 1946)

3.2. PERKEMBANGAN KOTA WATAMPONE SEBAGAI PUSAT KERAJAAN


BUGIS BONE

Kota Watampone berdiri, tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kota penting dalam
konstelasi sejarah perkembangan Kerajaan Bugis Bone sebagaimana telah dibahas
pada bagian 3.1. Sekitar abad 10 Masehi Bone hanya sebuah wilayah kecil di tepi
Teluk Bone. Luasnya 4 km2. Terletak di dataran yang sedikit lebih tinggi dibanding
daerah sekitar sehingga disebut Tanete. Namun Bone purba berada dalam wilayah
kerajaan Wewangriu Zaman Lagaligo. Berdasarkan Lontarak, Bone adalah nama
Bugis kuno yang berarti Pasir, Karena tanahnya berpasir warna kekuning-kuningan.

75
Sehingga Bone dahulu disebut Tanah Bone atau tanah yang berpasir. Adapun bukit
pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya
sekarang ini letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone
tepatnya di Kelurahan Bukaka.Sebutan tersebut berakhir pada zaman Belanda tahun
1940an.

3.2.1. KAWERANG SEBAGAI EMBRIO KOTA KERAJAAN BUGIS BONE

Ketika kerajaan Bone berdiri pada tahun 1330 M. Ada 7 wanua bergabung manjadi
persekutuan yaitu 1.Wanua Ponceng, 2. Wanua Taneteriattang, 3. Wanua Tanete
Riawang, 4. Wanua Ta, 5. Wanua Macege, 6.Wanua Ujung dan 7. WanuaTibojong.
Ketujuh wanua ini bersatu dalam panji WorongporongE. Bendera Bintang Tujuh
menandakan tujuh negeri di bawah kepemimpinan Raja Bone pertama bergelar
MatasiLompoE (Penguasa / penjaga Laut dan tanah ). Tetapi awal terbentuk kerajaan
Bone ada beberapa wanua lain yang tidak bergabung dan cukup disegani pada waktu
itu seperti Biru, Cellu, dan Majang. Sedang Bukaka atau Ciung kemungkinan masuk
dalam wanua Tanateriawang. Kerajaan ini mulai membangun wilayahnya dengan
ibukota Kawerang. Berada dalam wanua Tanete Riattang. Ditepi sungai Bone.
Sungai yang ramai digunakan oleh penduduk Bone sebagai alur transportasi penting
untuk menghubungkan wanua lain. Hulunya ada dua dekat Anrobiring di Palakka dan
Palengoreng sedang muaranya di Toro Teluk Bone.

Kota Kawerang sebagai pusat pemerintahan berasal dari nama tumbuhan Awerang
yang banyak tumbuh disekitar sungai Bone.(Sekarang terletak di jalan ManurungE.).
Sejenis ilalang dan senang tumbuh pada tanah lembab dan berair. Tingginya kurang
lebih 2 meter. Mempunyai bunga jambul putih. Karena dominan tumbuh di daerah
tersebut penduduk menyebut kampung Kawerang berasal dari kata Engka-
Awerang. Kemudian berubah sebutan menjadi Kawerang. Sama dengan kampung-
kampung lain seperti Kajuara karena Engka-Ajuara dan Kading karena Engka-Ading.
Kawerang selanjutnya diartikan Ikatan Persekutuan Tana Bone

Di kota inilah Istana Raja Bone Pertama ManurungE ri Matajang berdiri. Istana
menghadap sungai (letaknya sekarang diduga sekitar Jalan raya dibelakang kantor
Korem Toddopuli). Dalam lontara dikatakan bahwa istana itu berdiri dengan cepat
sebelum Bulisanya mengering. Bulisa adalah sisa kulit kayu yang masih basah.

76
Bahkan ditempat ini pulalah 7 matoa bermusyawarah membentuk satu ikatan dalam
pemerintahan Bone. Sistim pemerintahan ini disebut juga kawerang sesuai tempat
musyawarah dilaksanakan.. Sistim Kawerang masing-masing matoa tetap menjadi
penguasa diwilayahnya dan sekaligus menjadi dewan pemerintahan Kerajaan Bone.
Dan ini hanya berlangsung sampai Raja Bone 9 La Pattawe MatinroE Ri Bettung
(Bulukumba) kira-kira pada tahun 1569.

Kawerang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bone. Luas pada awalnya hanya
sekitar sungai. Kemudian lambat laun berkembang seluruh wanua Taneteriattang
termasuk wanua Tibojong diseberang sungai .Seiring kemajuan kerajaan Bone batas
wilayah wanua Taneteriattang Kira kira sekarang adalah Batas Kantor Korem
membelok ke jalan Tamrin sampai sungai dan jalan ManurungE. Pada Pemerintahan
Raja Bone pertama lebih memfocuskan pada pembuatan aturan aturan
kemasyarakatan dan Hukum ditegakkan. Juga menjalin hubungan dengan Kerajaan-
kerajaan tetangga yang besar dan lebih tua seperti Kerajaan Awangpone, Pattiro,
Palakka, dan Cina. Sebagai politik assiajingeng untuk meredam kembalinya zaman
sianre bale dan Permaisuri Raja Bone I adalah ManurungE Ri Toro mempunyai anak
4 orang yaitu La Umasa, I Pattanra wanua,We Tenri Salogo dan We Aratiga.
Kemudian anaknya bernama Laumasa menggantikan ayahnya .

Pada zaman Raja Laumasa Raja Bone ke 2 berkuasa (1365-1398). Kota kawerang
berkembang, baik jumlah penduduk maupun pemukiman sehingga kota meluas
seluruh wilayah Tanete Riattang dan arah perkembangan kota mulai begeser ke
wanua Macege sebagai kampung industry pembuatan alat-alat pertanian dan senjata,
utamanya Parang Cege. Parang cege, adalah parang yang bentuknya lebar . Macege
berarti tempat pembuatan parang. Bahan baku besi didatangkan dari Kelling dekat
Lampoko. Raja Bone ke 2 La Umasa yang hobby dan ahli dalam pembuatan alat
senjata dari besi. Mendirikan Istana di wilayah macege sehinggah ramai penduduk
bermukim utamanya dekat kediaman baginda di Lassonrong. Disekitar sumur
lassonrong. Lassonrong berasal dari nama istana raja La Umasa mempunyai beranda
di belakang istana dan istana di kelilingi gundukan tanah liat diatasnya pagar bambu
yang runcing sebagai benteng. Inilah yang disebut Sonrong. LaSonrong berarti istana
yang mempunyai beranda belakang dan pagar benteng. Diberanda belakang istana
tempat malanro atau menempa besi milik Baginda.

77
Pada masa pemerintahan Baginda banyak melakukan pengembangan wilayah baik
dengan peperangan maupun dengan cara perkawinan. Baginda menaklukkan wanua
Biru diselatan , wanua Cellu di timur dan Wanua Anrobiring dekat macege dan juga
wanua Majang. Tahun 1398 Raja LaUmasa mangkat dan dimakamkan di jeppeE.
Kampong yang ditumbuhi pohon Jeppe. Pohonnya besar dan tinggi menjulang.
Sekarang wilayah itu sekitar jalan Ahmad Yani watampone. Semasa hidupnya
Laumasa bergelar Petta Panre BessiE dan juga bergelar Petta To Molaiye Panreng
(Yang pertama di makamkan) gelar anumerta. Baginda juga yang pertama bergelar
Mangkau. Mengambil tradisi leluhurnya ketika Bone purba sebagai kerajaan
Wewangriu bergelar Mangkau. Laumasa mempunyai anak dua bernama To Suwalle
dan To Salawakkang. Tetapi tidak menjadi Raja. Justru yang menggantikan La
Umasa adalah kemanakannya. Anak Raja Palakka. bernama La Saliyu Karempaluwa.
Raja termudah dalam sejarah Kerajaan Bone.

LaSaliyu Karempalua sebagai Raja Bone ke 3 (1398-1470) ,dikisahkan , penculikan


dirinya ketika masih bayi usia baru beberapa hari atas perintah Raja Bone Laumasa.
untuk menggantikannya Karena anak Laumasa tidak memenuhi syarat menjadi Raja.
Lalu hasil musyawarah Matoa Pitu yang Pantas menjadi Raja adalah anak Raja
Palakka La Pattikkeng sebab Ibunya adalah Saudara Laumasa anak dari ManurungE
Anak Pattola.. Hanya antara Raja Palakka La Pattikkeng dengan Raja Bone masih
dalam pertikaian. Itulah sebabnya terjadi penculikan yang dipimpin oleh To Suwalle
dan To Salawakkang. Kisahnya perjalanan pulang dari Palakka setelah menculik
bayi LaSaliyu oleh Sepupunya, anak dari Laumasa sempat beristirahat disuatu telaga
untuk memercikkan air dan membasuh muka bayi La Saliyu. Bayi itu bergerak bangun
(Cokkong) maka disebutlah sumur itu Lacokkong dan kemudian menjadi tradisi turun
temurun setiap anak Raja yang dilahirkan wajib mandikan air lacokkong.

Masa pemerintahan Lasaliyu Kota Kawerang melebar ke Taneteriawang. Karena


ditempat itu berdiri Pasar hadiah dari Ayah LaSaliyu Raja Palakka. Pasar tersebut
sekarang menjadi Pusat pertokoan di dekat Tanah BangkalaE sebagai Pusat kota
Watampone . Dan Istana Raja Bone ke 3 LaSaliyu berdiri berdampingan dengan
Pasar didepan istana dibuat alun alun disebut Tanah BangkalaE. Dahulu berfungsi
sebagai tempat berkumpul masyarakat mendengarkan informasi dari Raja atau
Pejabat Istana. Kemudian akhirnya menjadi tempat pelantikan Raja-Raja Bone yang
dimulai dari Raja Bone ke 4 We Benrigau. Tanah BangkalaE dijadikan pula pusat

78
Bone. Possi Tanah. Maka perkembangan kota Kawerang meluas mulai Wanua
Tanteriatang, Macege utamanya Lassonrong, Tibojong dan Wanua Taneteriawang
disebut To Kawerang maksudnya orang kota. Pusat pemerintahan Bone. Adapun
batas wanua Tante riawang Termasuk taman bunga dan sampai batas bukaka dan
batas di laccokkong sekarang.

Ketika Raja Bone Lasaliyu masih kanak-kanak, maka kedua sepupunya melaksanakan
pemerintahan dengan tugas masing-masing:
a. To Suwalle bertugas mewakili Raja Bone urusan pemerintahan kedalam sebagai
Tomarilaleng kedalam sebagai Tomarilaleng I Kerajaaan Bone
b. To Salawakka bertugas mengatur urusan pemerintahan keluar dan ini
merupakan MakkedangngE Tanah I dari Kerajaan Bone.

Dalam pelaksanaan sehari-hari keduanya dibantu oleh para Matoa dari tujuh Wanua,
setelah menanjak dewasa Raja Lasaliyu mengendalikan pemerintahan, namun tetap
dibantu oleh kedua kakak sepupunya. Pada saat berangkat berperang atau kunjungan
daerah (kerajaan palili)selalu membawa bendera dan panji WorongporongE dan
CellaE juga baginda membagi Bone dalam tiga wilayah sesuai dengan pembagian
bendera yaitu:
a. Bendera WorongporongE: mambawahi negeri Matajang, Mataangin
(Maroanging), Bukaka, Bukaka tengah (kampong tengngaE), Kawerang ,
Palengoreng dan Mallayirang (Mallari) dikordinasi oleh Matoa Matajang.
b. CellaE riAtau yaitu yang memakai umbul merah disebelah kanan dari bendera
WorongporoE dipergunakan oleh rakyat dari : Paccing, Tanete (dekat
Palenggoreng), Lemo-Lemo ( Desa Carebbu ), Masalle (dekat Melle), Macege,
dan Belawa (dekat Maccope). Dipimpin oleh To Suwalle digelar Kajao Ciung.
c. CellaE ri Abeyo yaitu Negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri dari
WorongporoE: Araseng, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padacengnga (desa
padaidi dekat passippo) dan Madello (dekat desa Mico). Dipimpin oleh To
Salawakka digelar Kajao Araseng.

Dalam Lontara disebutkan bahwa Raja ini menaklukkan Negeri Palengoreng (sebelah
selatan Biru), Sinri (dekat Majang), Sancoreng (ponre), Cerowali, Apala, Bakke
Tanete(cina), Attang Salo(dekat Katumpi), Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu(dekat
Cerowali), Parippung, dan Lompu, Limampanuwa ri Lau-Ale. Dan pada masa itu

79
Palakka disatukan dengan Kawerang. Juga beberapa wanua datang bergabung secara
sukarela. Sehingga kerajaaan-kerajaan tua seperti Cina, Pattiro, Awangpone, Barebbo
dan Palakka sudah bergabung dengan Bone. Baginda membuat perkampungan
disebelah utara Kawerang dekat sungai Panyula dan LImpenno (muara sungai dekat
Toro) sebagai tempat pelabuhan bagi perahu-perahu kerajaan di tambatkan bersama
tempat tinggal pendayung dan petugas perahu Raja.

3.2.2. DARI KOTA KAWERANG MENJADI KOTA BENTENG LALEBBATA

Raja Bone ke 6 La Uliyo BoteE (1535-1560) adalah pendiri benteng kota sekaligus
peletak sistim perkotaan yang tangguh sebagai kota yang mandiri dan modern pada
zamannya. Baginda dikenal pandai cermat dalam perencanaan. Pada masa berkuasa
baginda didampingi seorang penasehat terkenal Kajao Laliddong yang sering dijuluki
Lamellong. Kajao Laliddong yang dipercayakan mengarsiteki sekaligus pimpro dalam
pembangunan kolosal membangun benteng Kota. Sehingga ada ungkapan ceritra
rakyat bone bahwa “Cicengmi narenreng tekkengna kajaoLaliddong natepui
bentengE”.

Lalebbata Kota Benteng

Benteng atau dalam bahasa bugis Lalebbata ini dibuat dari tanah liat diambil dari
bukit bukaka. Benteng ini rata-rata tingginya 5 meter. Tebal dinding atas kurang lebih 2
meter dan Tebal dinding bawah (pondasi)15 meter. Sepanjang dinding luar benteng
ditanami pohon bambu dan berbagai jenis pohon berfungsi untuk menahan dan
mengikat tanah benteng. Bahan Pembuatannya diambil dari sebagian tanah bukaka.
Tapi dinding benteng bagian utara dan timur disamping dari Tanah Liat juga diambil
dari tanah disekitar atau didalam wilayah benteng untuk dijadikan persawahan. Tehnik
pada pembangunan benteng tidak memakai alat perekat tetapi tekhnik sederhana
susun timbun yang mengikuti kontur tanah. Bukan terbuat dari batu merah atau dinding
dari batu gunung yang sudah dipahat. Walau ada sebagian benteng memakai batu
utamanya dibagian Pintu utama keluar. Bentuk benteng Bone awalnya segi empat
panjang. Kemudian Raja berikutnya melakukan penambahan tinggi benteng dan
dipertebal dinding benteng oleh Raja Bone Latenrirawe .Hal inilah nama Kota
Kawerang berubah menjadi Lalebbata. Sesuai bentuk kota yang baru dengan adanya
benteng dan meluas hampir semua wilayah wanua pitu masuk dalam area benteng.

80
Pada 1630 Raja Lamadderemmeng berkuasa mengalami pelebaran Benteng
sebelah Timur dan Utara dan menambah bastion-bastion dekat SalekoE.Bentuk sudut
benteng melingkar sebagai bastion dan dipasang meriam-meriam besar. Apalagi
suasana politik ketika itu memanas dengan kebijakan Baginda penghapusan
perbudakan.dan Model Benteng berubah dari segi empat panjang menjadi
trapezium.Selain ada pintu Utama Benteng (seppa benteng) juga disetiap sisi benteng
ada pintu-pintu untuk akses masuk bagi penduduk. Benteng ini dibuat sebagai alat
pertahanan juga sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena sumber kekuasaan berada
di istana maka keletakan benteng juga berperan untuk pertahanan pusat-pusat hunian
dan sumber daya yang ada disekitarnya.

Jejak Benteng

Jika menyelusuri Benteng dimulai dari sudut sebelah selatan kota, benteng berdiri
diatas jalan Kalimantan sekarang terus ke timur melewati pinggir jalan Kawerang
melalui persawahan dekat sungai Bone .Ditempat itu berdiri bastion. Lalu ke timur lagi
dekat jalan Paramuka disebut Diattang Benteng. Kemudian membelok ke Utara dan
disudut benteng itu terdapat Sumur(bubung) LoppoE digunakan untuk persediaan air
bagi prajurit Bone. Keutara benteng melalui persawahan dekat mesjid jalan Bajoe dan
disebut Seppa BentengE. Dan membelok ke arah barat diatas jalan, pada sudut
benteng membulat sebagai bastion tetapi ada pula pelebaran benteng dekat Salekoe
juga berdiri Bastion-bastion. Diatas jalan menuju Bukaka membelok ke utara kira-kira
200 meter kearah barat menuju bukaka dekat bubung Lagarowang. Komplek
kuburan KalokkoE masuk dalam benteng. Disebut Awang bent Dari Bukaka menuju
ke selatan antara jalan Makmur dengan jalan Benteng adalah bekas benteng dan
bertemu di jalan Kalimantan dekat Kantor Dinas Kesahatan. Benteng-benteng ini
hancur akibat peperangan utamanya dalam perang Bone dengan Belanda. Pada
tahun 1920an benteng-benteng ini umunya diambil tanahnya dijadikan jalan raya
seperti bagian selatan kota Watampone benteng itu dijadikan jalan Kalimantan
sekarang dan begitupula Lapangan Persibo ditimbun dari tanah benteng yang dahulu
adalah persawahan.

81
3.2.3. DARI KOTA BENTENG LALEBBATA MENJADI KOTA WATAMPONE

Ibukota Lalebbata kerajaan Bone berakhir tahun 1905. Ketika Tentara Belanda
menaklukkan Bone dengan hasil musyawarah pada tanggal 24 Agustus 1905. Kota
Lalebbata berubah menjadi Watampone pada musyawarah Ade Pitu bersama Hindia
Belanda di Bola SubbiE Istana Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri. Istana kebanggaan
Kerajaan Bone. Berukir dan besar menghadap Taman Raja atau sekarang Taman
Bunga. Kemudian Istana ini di pindahkan di Makassar dab erdiri didepan karebosi
sebagai tanda penaklukan Bone. Dan kembali ke Bone pada tahun 1922 atas
permintaan Rakyat Bone Tetapi sayangnya Istana Bola SubbiE tidak utuh lagi.
Watampone yang berarti Pusatnya Bone. Zaman pemerintahan Hindia Belanda
Penataan Kota dibangun. Area kota ditata mulai Wilayah ekonomi, Agama dan
pendidikan, pemerintahan dan kalangan bangsawan. Jalan-jalan dibuat, Pohon Asam
dan Kenari ditanam di pinggir jalan. Taman ditata seperti Koning Plein atau Taman
Raja sekarang jadi Taman Bunga. Dan bangunan bangunan berciri Kolonial didirikan.
Istana Raja Bone dibangun untuk menggantikan Istana Bola SubbiE menjadi Kantor
Dewan Adat Pitu(Perpustakaan Daerah sekarang). Yang dipersiapkan Raja Bone La
Mappanyukki pada tahun 1930 (Meseum Lapawaoi sekarang) Bola Soba dipindahkan
di jalan Veteran sebagai markas Marsose dan dididrikan Rumah Pejabat Hindia
Belanda dengan sebutan Tuan Petoro Bottoa(Controler Residen).Dan Tangsi-tangsi
militer dan juga Rumah Sakit.

Bone telah berusia 681 tahun tetapi jauh dari usia itu Tanah Bone telah ada dengan
penduduknya.Sudah tiga kali pergantian nama Ibukota sejak tahun 1330 – sampai
sekarang . Tetapi penduduknya masih tetap dan senang menyebut ibukotanya dengan
sebutan Bone. Kota Watampone telah menyimpan sejarah panjang dengan
penduduknya tetapi tidak memperlihatkan suatu kota sarat sejarah masa lalu apalagi
sebagai ibukota kerajaan Bugis terbesar. Oleh karena itu saatnya sekarang bangunan-
bangunan tua bersejarah dan situs-situs perlu dipertahankan dan dilindungi sebagai
identitas kota tua.

82
BAB 4
MORFOLOGI DAN SITUS-SITUS ARSITEKTURAL
PEMBENTUK CITRA KAWASAN KOTA BERSEJARAH
WATAMPONE PADA ERA POST-KOLONIAL

4.1. MORFOLOGI KAWASAN WATAMPONE

Pada saat ini, kota Watampone adalah sebuah kota yang berada di provinsi Sulawesi
Selatan dan juga merupakan ibukota Kabupaten Bone. Kota Watampone terletak di
174 km ke arah Timur dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar.
Secara geografis Kota Watampone terletak pada 040 13’-150 07’ LS dan 1190 45’ –
1200 30’ Memiliki luas wilayah kurang lebih 126,35 km2, dengan batas-batas
administrasi di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Awangpone, Timur
berbatasan dengan Teluk Bone, Selatan berbatasan dengan Kecamatan Barebbo dan
Palakka dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Palakka.

Keadaan topografi Kota Watampone secara umum berada pada ketinggian 0-25 meter
dari atas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 0 - 2%, 5 – 10%, dan 10 –
20%. Kondisi tersebut mengakibatkan pada wilayah Kota Watampone termasuk areal
lahan relatif datar sampai bergelombang. Keadaan permukaan lahan kota ini bervariasi
mulai dari landai, bergelombang hingga curam. Daerah landai dijumpai sepanjang
pantai dan bagian Utara, sementara di bagian Barat dan Selatan umumnya
bergelombang hingga curam. Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bone terdiri dari
tanah Aluvial, Gleyhumus, Litosol, Regosol, Grumosol, Mediteran dan Renzina. Jenis
tanah didominasi oleh tanah Mediteran seluas 67,6 % dari total wilayah, kemudian
Renzina 9,59 % dan Litosol 9 %. Penyebaran jenis tanahnya dapat dijelaskan sebagai
berikut: sepanjang Pantai Timur Teluk Bone ditemukan tanah Aluvial.

Sebelum tahun 2003, kota ini memiliki status kota administratif dengan 3 kecamatan
yaitu Kecamatan Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat dan Tanete Riattang Timur
dengan jumlah kelurahan sebanyak 24 kelurahan. Semenjak penghapusan kota
administratif akibat berlakunya UU Pemerintahan Daerah, berdasarkan PP no.
33/2003, penatalaksanaan kota Watampone dilakukan oleh Kabupaten Bone. Pada
saat ini, Kota ini memiliki populasi lebih dari 80.000 jiwa penduduk.

83
Kota Watampone

Gambar 4.1. Kota Watampone dalam konteks Kabupaten Bone dan Provinsi Sulawasi Selatan
(Sumber peta: RTRW Kab Bone 2011-2031)

84
Kawasan Perencanaan
RTBL Watampone

Gambar 4.2.
Lokasi Kawasan Perencanaan dalam konteks Kota Watampone
(Sumber peta kota: RTRW Kabupaten Bone 2011-2031)

85
Secara umum, kawasan yang dahulunya merupakan kawasan Pusat Kerajaan kota
Watampone ini memiliki batas-batas fisik kawasan sebagai berikut:
 Sebelah Utara dibatasi oleh Jalan Beringin – Jalan Ahmad Yani – Jalan M.H.
Tamrin
 Sebelah Timur dibatasi oleh Jalan Kawerang – Jalan Jendral Sudirman.
 Sebelah Selatan dibatasi oleh Jalan Soekawati
 Sebelah Barat dibatasi oleh Jalan Gn. Semeru – Jalan Gn. Klabat dan Jalan B.
Kajuara

Jl. Jl. Beringin


Gn.
Sem
eru
Jl. HM Tamrin

Jl.
Ka
w
er
an
g

Jl. B. Kajuara

Jl.
Je
n
d.
Su
di
Jl. Soekawati r
m
an

Gambar 4.3.
Delineasi Kawasan RTBL Watampone (Sumber foto udara: Google Earth, 2012)

86
4.1.1. PERUNTUKAN LAHAN KAWASAN

Fungsi kawasan perkotaan Watampone pada saat ini adalah sebagai salah satu Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW) di Sulawesi Selatan. Sebagai Pusat Kegiatan Wilayah, maka
fungsi utama Kawasan Perkotaan Watampone adalah sebagai ibukota Kabupaten
Bone, sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten, dan sebagai Pusat Pelayanan Sosial
dan Ekonomi. Selain itu, Kawasan Perkotaan Watampone sebagai PKW, memiliki
peran dan fungsi yang diberikan sesuai dengan potensi dan kemampuan wilayah,
yang meliputi: Sistem transportasi regional terpadu (darat, laut dan udara), Pusat
pelayanan Pemerintahan dan pendidikan, Pelayanan Jasa sosial dan ekonomi, Pusat
pelayanan Jasa kepariwisataan, Pusat Permukiman, serta Pusat pelayanan umum.
Dengan demikian, kebijakan pemanfaatan ruang untuk kawasan perencanaan di
Kota Watampone diarahkan untuk fungsi utama pelayanan pemerintahan,
perdagangan dan pariwisata dengan kegiatan pendukungnya adalah
perkantoran, pendidikan, permukiman, dan pelayanan umum.

Berdasarkan karakteristik fisik lingkungannya serta kecenderungan kegiatan yang


telah berlangsung, maka dapat diidentifikasikan adanya 3 pola utama penggunaan
lahan di kawasan Watampone ini yaitu :
 Fungsi hunian yang mendominasi lahan-lahan kawasan Watampone ini.
 Fungsi komersial yang terdapat pada lahan-lahan di bagian utara kota, di tepi
jalan Veteran dan Jalan Masjid; serta di bagian selatan kota, yaitu di tepi jalan
Sukowati dan Jalan H. Agus Salim. Selain itu terdapat penyebaran fungsi
komersial di tepi jalan B. Kajuara.
 Fungsi perkantoran yang terkonsentrasi di bagian Utara kota (dekat taman
bunga Arung Palakka dan Lapangan Merdeka), di tepi jalan A. Yani, MH.
Thamrin dan Jend Sudirman. Perkantoran yang dimaksud didominasi oleh
perkantoran pemerintahan.

Selain 2 fungsi yang telah disebutkan di atas, pada kawasan ini terdapat pula fungsi-
fungsi yang tidak mendominasi secara kuantitas, tapi cukup penting bagi kawasan ini.
Fungsi-fungsi tersebut adalah:
 Fungsi pendidikan yang tersebar di lahan-lahan permukiman.
 Fungsi Hiburan/wisata yang juga tersebar di kawasan perencanaan.
 Fungsi Tempat ibadah yang tersebar di lahan-lahan permukiman.

87
Gambaran umum tempat-tempat yang menjadi magnet kegiatan kawasan dijelaskan
lebih lanjut, sebagai berikut.

Gambar 4.4. Pemanfataan Lahan Eksisting.

88
1. Kompleks Taman Bunga Arung Palakka

Kompleks Taman Bunga Arung Palakka ini merupakan daerah yang padat dengan
sejarah kota Watampone. Dipercaya bahwa daerah ini merupakan pusat kerajaan
Bone pada jaman dahulu yang ditandai dengan adanya Situs Pelantikan Raja Bone,
Kompleks kantor Bupati yang konon merupakan lokasi bangunan kerajaan Bone,
Lapangan Merdeka yang melambangkan kemerdekaan Indonesia. Taman Bunga
Arung Palakka sendiri merupakan penghormatan terhadap Arung Palakka, salah satu
pahlawan Indonesia. Selain itu, terdapat Masjid Raya Watampone dan Masjid
Mujahiddin yang konon dibangun pada tahun 1930an.

Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Taman Arung Palaka

2. Kompleks Eks Pasar Sentral (area komersial)

Kompleks Eks Pasar Sentral ini merupakan area komersial baru yang menggantikan
pasar tradisional, dan sampai saat ini belum sepenuhnya dioperasikan sesuai dengan
fungsi dan kapasitas pelayanannya. Fungsi utama kompleks Eks Pasar Sentral adalah
sentra wisata kuliner. Di depan Sentra Wisata Kuliner ini terdapat pusat perbelanjaan

89
kota yang cukup besar, yaitu Mall Bone Trade Center. Daerah di sekitar sentra wisata
kuliner ini adalah ruko-ruko komersial.

Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Pasar Sentral

3. Kompleks Situs Manurunge dan Bola Soba

Situs Manurunge dan Bola Soba merupakan 2 situs yang terletak di bagian Selatan
kota Watampone, agak jauh dari pusat kerajaan Raja Bone. Kedua situs ini juga
merupakan situs yang penting dalam sejarah kota Watampone. Situs Manurunge
adalah lokasi tempat terjadinya kontrak pemerintahan antara rakyat Tana Bone dengan
Manurung E. Ri Matajang (Raja Bone 1) pada tahun 1330. Sedangkan Situs Bola Soba
merupakan rumah bangsawan Bone (yang juga merupakan prototipe rumah Bugis di
Sulawesi Selatan. Pada Situs Bola Soba, terdapat 2 rumah dengan kondisi fisik yang
berbeda; bola soba yang satu belum direnovasi sedangkan yang lainnya sudah
direnovasi.

Gambar 5.3. Gambaran Kondisi Fisik Kompleks Situs Manurunge & Bola Soba

90
4.1.2. INTENSITAS PEMBANGUNAN DAN TATA MASSA BANGUNAN

Tidak ada data mengenai kepadatan atau intensitas bangunan eksisting. Tetapi karena
kondisi eksisting pemanfaatan lahan kawasan Kota Watampone merupakan kawasan
yang sebagian besar lahannya merupakan permukiman, maka bab ini akan
membahas intensitas bangunan dari kepadatan penduduk kawasan perencanaan yang
dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 4.1. Rata-rata kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan di


Kabupaten Bone th. 2008
KECAMATAN JUMLAH RATA-RATA
DESA/KEL LUAS PENDUDUK PENDUDUK KEPADATAN
AREA PER PENDUDUK (KM2)
(KM2) DESA/KEL.
TANETTE RIATTANG 8 53,68 37,594 4,699 700
BARAT
TANETTE RIATTANG 8 23,79 43,793 5,474 1,841
TANETTE RIATTANG 8 48,88 37,752 4,719 772
TIMUR
Sumber: Kabupaten Bone dalam Angka, 2008.

Dari tabel 4.1, dapat terlihat bahwa kawasan perencanaan kota Watampone yang
termasuk kecamatan Tanette Riattang merupakan kecamatan yang mempunyai
kepadatan penduduk 1841 orang per m2 yang berarti intensitas atau kepadatan
bangunan cukup tinggi seperti yang terlihat pada gambar 4.5.

Secara umum, kawasan perencanaan merupakan kawasan yang sebagian besar


lahannya sudah terbangun. Keberadaan bangunan-bangunan di kawasan ini
terkonsentrasi secara linear di sepanjang jalan, baik jalan arteri primer maupun lokal
sekunder. Tata bangunan berupa kompleks bangunan hanya terdapat pada kompleks
eks pasar sentral.

Tinggi bangunan di kawasan ini rata-rata memiliki ketinggian bangunan satu lantai dan
maksimum 3 lantai. Ketinggian bangunan 3 lantai kebanyakan merupakan ruko (rumah
toko). Tipologi bangunan yang ada rata-rata merupakan bangunan landed house
(bangunan tungaal dengan halaman di sekitarnya), rumah panggung Bugis yang
terbuat dari kayu, rumah baru yang terbuat dari beton serta rumah toko. Dengan
perbedaan ketinggian dan tipologi bangunan tersebut, maka tata bangunan di
kawasan ini belum membentuk suatu street picture yang baik yang sangat dibutuhkan
kawasan dalam membentuk karakter kawasan melalui penataaan bangunannya.

91
Gambar 4.5. Gambaran Kepadatan Bangunan di kawasan Perencanaan.

92
Gambar 4.6. Gambaran Karakter Bangunan kawasan Perencanaan.

93
4.1.3. RUANG TERBUKA KAWASAN

Secara umum, kawasan perkotaan Watampone merupakan kawasan yang sebagian


besar lahannya sudah terbangun sehingga ruang-ruang terbuka relatif tidak banyak.
Beberapa bentuk ruang terbuka di kawasan ini yaitu :
1. Ruang terbuka taman yang terkonsentrasi pada bagian utara kota, yang berupa
Taman Bunga Arung Palakka dan Lapangan Merdeka.
2. Ruang terbuka yang berupa lapangan olahraga tenis dan sepakbola serta
lapangan eks Pasar Sentral.
3. Ruang terbuka linear berupa jalur-jalur jalan yang pada saat ini masih minim
tata hijaunya.
4. Ruang terbuka koridor sungai

Gambar 4.7. Gambaran Kondisi Ruang Terbuka (Taman, Lapangan dan Jalur Hijau
dekat Sungai)

94
1

4
3

Gambar 4.8. Ruang Terbuka. (1) Taman Arung Palaka dan Taman Merdeka, (2)
lapangan Olah Raga (3) Halaman Kompleks Bola Soba dan (4) Plaza Pasar Sentra

95
4.1.4. SARANA PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN UMUM

Sarana Pemerintahan merupakan sarana untuk melakukan kegiatan pelayanan


pemerintahan terhadap masyarakat dan perkantoran pemerintahan. Fasilitas yang
terdapat di Kota Watampone antara lain; kantor bupati, kantor dinas/instansi
peternakan, pendidikan, tata ruang, tanaman pangan, sosial, kesehatan,
kesejahteraan sosial, perhubungan, kebersihan dan pertamanan, kantor militer/polisi,
kantor kecamatan serta kantor kelurahan. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 6.5,
jumlah sarana pemerintahan yang ada di kawasan ini adalah 22 sarana pemerintahan
dan sebarannya terkonsentrasi di sekitar Jalan S.Hasanuddin dan Jalan Jend. A.
Yani/di sekitar Taman Bunga Arung Palakka di dekat Kantor Dinas Bupati.

Gambar 4.9.Kantor dinas bupati yang dibuat Gambar 4.10. KPUD Watampone
berdasarkan bentuk rumah raja Bone.

Gambar 4.11. Kantor Dinas Perhubungan Gambar 4.12. Kantor Polisi Militer

96
Gambar 4.13. Sebaran Sarana Pemerintahan di kawasan Watampone.

97
Secara fisik, kondisi kantor-kantor pemerintahan seperti yang dapat dilihat pada
gambar 4.9 – 4.12 berada dalam kondisi baik. Sedangkan untuk jumlah sarana kantor
pemerintahan, tidak ada data mengenai kebutuhan tersebut.

Sarana pelayanan umum yang dimaksud disini meliputi bank, kantor pos, kantor
telpon, kantor pelayanan pajak dan perpustakaan daerah. Dari peta sebaran sarana
pemerintahan (gambar 4.13) dan sarana pelayanan umum (gambar 4.14) di kota
Watampone, dapat disimpulkan bahwa sebaran sarana pemerintahan dan pelayanan
umum letaknya berdekatan, terutama di daerah Taman Bunga Arung Palakka. Selain
itu, pelayanan umum berupa bank, SPBU dan kantor pelayanan pajak terletak di area
komersial kota, yaitu di dekat Pasar Sentral. Adapun jumlah ketersediaan sarana
pelayanan umum yang teridentifikasi pada peta sebaran adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2.
Ketersediaan Sarana Pelayanan Umum
SARANA PELAYANAN UMUM JUMLAH
Bank 6
Kantor Pos 1
Telkom 1
Polsek 1
PLN 1
SPBU 1
Kantor Pelayanan Pajak 1
Perpustakaan Daerah 1

98
Pasar Sentral

Gambar 4.14. Sebaran Sarana Pelayanan Umum di kawasan perencanaan.

99
4.1.5 SARANA PENDIDIKAN

Pelayanan fasilitas pendidikan sangat menentukan mutu dan tingkat pendidikan


masyarakat, oleh sebab itu memerlukan ketersediaan pelayanan yang tidak hanya dari
segi kuantitas tetapi juga memperhatikan ketersediaan prasarana pendidikan, tenaga
pengajar serta kurikulum pendidikan yang disajikan. Fasilitas pendidikan yang ada di
Kota Watampone dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel 4.3. Jumlah dan Jenis Fasilitas Pendidikan di Kota Watampone


No Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah (Unit) Persentase (%)
1 2 3 4
1 TK Negeri/Swasta 57 34,76
2 SDN/Swasta/MI 77 46,95
3 SLTP/Swasta/MTs 14 8,54
4 SLTA/Swasta/MA 11 6,71
5 PT 5 3,04
Jumlah 164 100,00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

Tabel 4.4. Jumlah dan Jenis Fasilitas Pendidikan di kawasan Perencanaan


No Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah (Unit)
1 2 3
1 Taman Kanak-Kanak 2
2 Madrasah Ibtidaiyah (SD) 1
3 SD & SMP Kristen 2
4 SD Negri 6
5 Kejar Paket A, B 1
6 Madrasah Tsanawiyah (SMP) 2
7 Madrasah Aliyah (SMA) 1
Jumlah 164
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

100
Gambar 4.15. Sebaran Sarana Pendidikan di kawasan Watampone.

101
Kondisi sarana pendidikan sudah cukup memadai seperti yang dapat dilihat dari
gambar di bawah ini:

Gambar 4.16. Kondisi sarana pendidikan SD Negri 10 Manurunge di Jalan Andalas


yang memperlihatkan kondisi bangunan SD yang cukup baik.

4.1.6. SARANA KESEHATAN

Ditinjau dari lingkup pelayanan, sarana kesehatan Kota Watampone terdiri dari rumah
sakit, puskesmas, posyandu, rumah bersalin, apotik, toko obat hingga praktek dokter
(tabel 4.5). Namun, lokasi rumah sakit tidak berada pada kawasan perencanaan.
Adapun sebaran sarana kesehatan pada kawasan perencanaan dapat dilihat pada
gambar 4.17.

Tabel 4.5. Jumlah dan Jenis Fasilitas Kesehatan di Kota Watampone


No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah (Unit) Persentase (%)
1 2 3 4
1 Rumah Sakit 1 0,57
2 Puskesmas 3 1,70
3 Pustu 2 1,14
4 Posyandu 75 42,61
5 Klinik KB 10 5,68
6 Praktek Dokter 33 18,75
7 Praktek Bidan 15 8,52
8 Apotek 17 9,66
9 Toko Obat 20 11,37
Jumlah 176 100,00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

102
Upaya untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat ditentukan oleh
jumlah dan kualitas pelayanan fasilitas kesehatan. Jumlah dan kualitas yang dimaksud
berkaitan dengan jumlah fasilitas, jangkauan, pelayanan, tenaga dan peralatan medis.

Gambar 4.17. Sebaran Sarana Kesehatan di kawasan Watampone.

103
4.1.7. SARANA PERIBADATAN

Mayoritas penduduk Kota Watampone menganut Agama Islam dan sebagian kecil
menganut agama Kristen, Hindu dan Buddha. Jumlah penduduk menurut agama dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kota Watampone Dirinci Menurut
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
No Kecamatan
Islam Kristen Hindu Buda
1 2 3 4 5 6
1 Tanete Riattang 41.603 1.227 140 112
2 Tanete Riattang Timur 37.153 - - -
3 Tanete Riattang Barat 36.405 514 2 70
Jumlah 691.956 1.741 142 182
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

Dari jumlah penduduk menurut agama di kota Watampone ini, maka dapat disimpulkan
fasilitas peribadatan yang paling banyak kebutuhannya adalah agama Islam. Jumlah
dan jenis fasilitas peribadatan di kota Watampone dapat dilihat pada tabel 4.7.
Sedangkan sebaran sarana peribadatan di kawasan perencanaan dapat dilihat pada
gambar 4.18.

Tabel 4.7. Jumlah dan Jenis Fasilitas Peribadatan di Kota Watampone


No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah (Unit) Persentase (%)
1 2 3 4
1 Mesjid 99 84,62
2 Mushallah/Langgar 16 13,68
3 Gereja 2 1,70
4 Pura - -
5 Vihara - -
Jumlah 117 100,00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

104
Gambar 4.18. Sebaran Sarana Peribadatan di kawasan Watampone.

Kondisi sarana peribadatan di kota ini cukup memadai. Oleh karena itu, penyediaan
fasilitas peribadatan di kawasan ini lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sarana
dan prasarananya, seperti rehabilitasi dan perawatan bangunan tempat ibadah, baik

105
skala lingkungan maupun skala yang lebih luas. Kondisi sarana peribadatan kota
Watampone dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini:

Gambar 4.19. Kondisi Masjid Mujahiddin yang terawat.

Beberapa masjid yang ada di kota Watampone ini merupakan masjid bersejarah yang
didirikan sejak tahun 1930-an, seperti misalnya Masjid Mujahiddin (gambar 4.19) yang
didirikan sejak tahun 1930 dan Masjid Raya Watampone yang dibangun sekitar tahun
1940an.

Gambar 4.20. Gereja Kristen Kalam Kudus. Gambar 4.21. Masjid Hikmah.

106
4.1.8. SARANA PERDAGANGAN DAN NIAGA

Sarana perdagangan skala kota yang tersedia berupa pasar dan pertokoan
(ruko.warung/kaki lima) terkonsentrasi pada 2 area pada kawasan perencanaan
(gambar 4.26). Selain itu, ada 3 pusat keramaian sarana perdagangan dan niaga pada
kawasan ini, yaitu pada area Pantai Kering (Pujasera Malam hari, Mall Bone Trade
Center dan Eks Pasar Sentral. Adapun jumlah fasilitas perdagangan yang ada di kota
Watampone dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8. Jumlah dan Jenis Fasilitas Perdagangan dan Industri


di Kota Watampone
No Jenis Fasilitas Jumlah (Unit) Persentase (%)
1 2 3 4
1 Pasar Umum 4 10,26
2 KUD 10 25,64
3 Non KUD 23 58,97
4 Industri Kerajinan 2 5,13
Jumlah 39 100,00
Sumber : Kabupaten Bone Dalam Angka, 2007

Gambar 4.22. Ruko di sekitar Pasar Sentral. Gambar 4.23. Suasana Ruko di Jalan
Sukowati

Gambar 4.24. PKL Gambar 4.25. Mall Bone Trade Center

107
1

Gambar 4.26. Sebaran Sarana Perdagangan & Niaga di kawasan Watampone.

108
4.1.9. SARANA RUANG TERBUKA, TAMAN DAN LAPANGAN OLAHRAGA

Secara umum, sebaran ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga di kawasan
perencanaan tidak banyak (gambar 4.28). Yang dimaksud sarana Ruang Terbuka
disini adalah taman, lapangan olahraga, jalur hijau di sepanjang jalan/sungai.
Permasalahan yang muncul dalam rencana pengembangan ruang terbuka, taman dan
lapangan olahraga adalah terbatasnya lahan, mengingat kawasan perencanaan ini
merupakan kawasan kota yang lahannya sudah digunakan oleh bangunan dan jalan.
Lahan yang masih terbuka dan hijau masih tersedia di luar kawasan perencanaan.

Gambar 4.27. Suasana Taman Bunga Arung Palakka yang dipenuhi pepohonan baik
pepohonan rindang maupun pepohonan yang lebih kecil. Sebuah patung Arung
Palakka yang tingginya mencapai kurang lebih 7.5 m menjadi fokus dari taman ini.

109
Gambar 4.28. Sebaran Sarana Ruang Terbuka di kawasan Watampone.

110
Gambar 4.29. Suasana Lapangan Merdeka.

Selain 2 taman diatas, terdapat pula 2 lapangan olahraga di kawasan perencanaan ini,
yaitu, lapangan tenis dan lapangan sepakbola. Berikut ini adalah gambar suasana
kedua lapangan olahraga tersebut.

Gambar 4.30. Suasana Lapangan Tenis Merdeka

111
Gambar 4.31. Suasana Lapangan Sepakbola (Stadion Persibone) yang dibatas pagar
setinggi 5 meter.

Gambar 4.32. Jalur hijau di sekitar Sungai kawasan perencanaan.

4.1.10. SARANA PERUMAHAN

Kondisi Sarana Perumahan di kawasan Watampone terdiri dari beberapa jenis rumah,
yaitu: rumah panggung, landed house dan rumah ‘modern’ atau rumah yang relatif
baru. Sebaran permukiman pada kawasan ini dapat dilihat pada gambar 6.35.

Gambar 4.33. Rumah panggung Bugis (kiri), Rumah ‘modern’ (tengah), Rumah
Tunggal (kanan)

112
Gambar 4.34. Sebaran perumahan/hunian di kawawasan Watampone

113
4.2. SITUS-SITUS ARSITEKTURAL PENININGGALAN KERAJAAN BUGIS BONE

Pada kawasan Watampone, terdapat situs-situs budaya yang sekaligus juga menjadi
obyek wisata sejarah di Kabupaten Bone yaitu (http://disbudparbone.blogspot.com/
2012/02/objek-wisata-sejarah-di-kabupaten-bone):
1. Bukit Manurunge, Bukit ini berada di kecamatan Tanete Riattang, ri Matajang.
Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 41 wisatawan nusantara.
2. Tanah Bangkalae, Tanag Bangkalae berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada
tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 52 wisatawan nusantara dan 2
wisatawan mancanegara.
3. Museum Lapawawoi, Museum ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada
tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 126 wisatawan nusantara dan 4
wisatawan mancanegara.
4. Bola Soba, Bola Soba berada di kecamatan Tanete Riattang. Pada tahun 2007
Januari-Maret telah dikunjungi oleh 203 wisatawan nusantara dan 5 wisatawan
mancanegara.
5. Kompleks Makam, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Kalokkoe.
Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 24 wisatawan nusantara.
6. Tempat Manurunge, Tempat ini berada di kecamatan Tanete Riattang ri
Toro Timur.
7. Bubung Tello, Bubung/sumur ini berada di kecamatan Tanete Riattang.
8. Mesjid Tua, Mesjid ini berada di kecamatan Tanete Riattang.
9. Komp. Makam Mesjid, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Tua
Lalebata
10. Makam Laummasa, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Panre Bessi
11. Kuburan Petta Bettae, Kuburan ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat,
dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret 2007 telah
dikunjungi oleh 11 wisatawan nusantara.
12. Sungai Jeppe’e, Sungai ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat..
13. Bubung Paranie, Bubung/sumur ini berada di desa Lemo Ape kecamatan
Palakka.
14. Komp. Makam, Makam ini berada di desa Matuju kecamatan Ponggawae
Awangpone
15. Bubung Assingireng, Bubung/sumur ini berada di desa Unra kecamatan
Awangpone.

114
16. Makam Petta Makkarame, Makam berada di desa Manera kecamatan Salomekko.
17. Makam Laparu, Makam ini berada di desa Nagauleng kecamatan Matannatikka
Cenrana, Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 452 wisatawan
nusantara.
18. Makam Laoleo Boto’e, Makam ini berada di desa Itterung kecamatan Tellu
Siattinge.
19. Tugu Malamung patu , Tugu ini berada di desaTelle kecamatan Ajangale
20. Makam Raja-Raja, Makam ini berada di desa lalebata kecamata Watang Lamuru.
Lamuru dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah
dikunjungi oleh 257 wisatawan nusantara dan 4 wisatawan mancanegara.
21. Makam Datu Salomekko, Musium ini berada di desa Balange kecamatan Salo
Mekko Obyek Wisata Alam

Dari 21 situs budaya tersebut di atas. 5 di antaranya terdapat di dalam kawasan


Watampone yaitu: Situs Manurunge, Tanah Bangkalae, Museum Lapawowi, Bola
Soba, Gedung Pemuda Bone dan Lapangan Merdeka / Arung Palaka.

1. Tanah Bangkalae
2. Museum La Pawowi
3. Gedung Pemuda Bone
4. Situs Manurunge
5. Bola Soba

Gambar 4.35. Sebaran lokasi situs-situs arsitektur di kawasan Watampone.

115
4.2.1. SITUS MANURUNGE (Manurungnge ri Matajang atau Mata Silompoe)

Disinilah tempat terjadi kontrak pemerintah Rakyat Bone (Tujuh raja-raja kecil) dengan
Manurung E.rimatajang Raja Bone Pertama pada tanggal 16 April 1330 dan menjadi
hari lahirnya Kabupaten Bone. Berada di lokasi Kecamatan Tanete Riatang. Manurung
merupakan manusia suci yang turun dari langit. Manurunge adalah pemersatu rakyat
yang bertikai saat itu (matoa-mata) ke dalam Kerajaan Bone. Raja Manurung E.ri
sebenarnya tidak diketahui asal usulnya sehingga di gelar Manusia Suci yang Turun
dari Langit. Berkata rakyat Tana Bone, "agar menetaplah di Tanah Bone dan engkau
yang kami angkat menjadi raja untuk memimpin kami, namun anak dan istri kami, bila
engkau tidak menyetujuinya, kamipun menurut kepadamu, asalkan engkau ....
keselamatan kami dan ....." (tulisan tidak lengkap) dan berkata Manurung E.ri, "Saya
menjunjung tinggi di atas kepala saya dan menghargai kata-kata dan persatuanmu
untuk mengangkat saya menjadi raja." Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan
legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga
dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong,
matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah
matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone
dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan
La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu
Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone
semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat

Gambar 4.36. (kiri) Situs Manurungnge. (kanan) Tulisan aksara Bugis pada Situs.
yang artinya “Disinilah tempat terjadinya kontrak Pemerintahan antara rakyat Tana
Bone dengan Ma-Nurungge. Ri Matajang Raja Bone 1, 6 April 1330.

116
4.2.2. SITUS TANAH BANGKALAE

Dahulu kerajaan di tanah Sulawesi sering terjadi selisih paham semisal antara
Kerajaan Goa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Untuk mempersatukannya
dibentuklah simbol pemersatu ketiga kerajaan itu. Tanah Bangkalae itu merupakan
penyatuan tanah dari 3 kerajaan tersebut dengan tujuan agar ke-3 kerajaan tersebut
bersatu. Menjadi tempat pelantikan raja yang dimulai dari Raja Bone saat itu yaitu Raja
Bone ke 16. Tanah Bangkalae adalah tanah tempat pelantikan raja, berwarna
kemerah-merahan, dan dianggap sebagai Tanah Dewa.

Gambar 4.37. Situs Tanah Bangkalae yang sudah diberi atap sebagai penanda. Selain
itu, situs ini juga sudah ditata dengan paving blok dan pagar disekitarnya

4.2.3. SITUS LA PAWAWOI SAORAJA

Merupakan rumah Raja Bone ke-31, Andi Mapparinggi bergelar Lawawowoi Karaeng
Sigeri Matinroe Ri Bandung, yang dijadikan sebagian rumahnya dijadikan museum
Bugis Bone. Museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda seni dan budaya
tradisional Bugis Bone. Dahulunya pernah menjadi gedung DPRD Kabupaten Bone.
Menyimpan gambar raja-raja Bone dan benda-benda duplikat upacara adat istiadat
Bone.

117
Gambar 4.38. Museum La Pawawoi yang memperlihatkan ornamen atap bangunannya
menyerupai rumah-rumah bangsawan Bugis.

Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,red) Raja Bone, A


Mappanyukki, saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-34. Museum ini,
menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH Thamrin,
Watampone.

Gambar 4.39. Foto Raja Bone Ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri dan Jajaran Petinggi
Istana

Museum ini diberi nama Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri
sendiri merupakan Raja Bone Ke 31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar
Pahlawan Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata,
Jakarta.

118
Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981.
dan diresmikan menjadi Museum La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Daud Yusuf, pada tahun 1982.

Di museum ini, ada satu peninggalan dari Raja Bone ke II, La Ummasa Petta
Mulangnge Panre atau Petta Panre BessiE, yaitu Lanreseng atau landasan untuk
menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi koleksi dari Museum La Pawawoi.
Raja Bone kedua ini merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula
menciptakan dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone. Makamnya terletak di Jalan
Ahmad Yani Pusat Kota Watampone.

Lanreseng tersebut merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat
dari besi. Tak hanya itu, koleksi lainnya yaitu Bessi Sikoi atau besi yang berupa
cincin yang saling mengait satu sama lainnya, milik La Tenri Tata Arung Palakka. Dan
piagam penghargaan VOC Belanda kepada Arung Palakka masih tersimpan di
Museum La Pawawoi ini. "Piagam itu merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda
kepada La Tenri Tatta Arung Palakka atas kerjasamanya saat itu (kooperatif dalam
artian sebuah strategi), dan piagam itu bertuliskan tinta emas,".

Museum La Pawawoi memiliki lima ruangan, dan masing-masing ruangan itu,


menyimpan berbagai koleksi peninggalan kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau
bagian depan dari Museum ini, menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik,
peralatan makan para raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta
duplikat bendera Kerajaan Bone.

Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini, menyimpan pelaminan, peralatan
makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi
keramik lainnya. Di ruangan ini, berjejer sejumlah peralatan makan yang sengaja ditata
secara rapi. Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini. Sementara itu, di
ruangan ketiga menyimpan silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu
Manurunge Ri Matajang hingga Raja Ke 33, . Selain itu, di ruangan ini juga menyimpan
duplikat rambut Arung Palakka, duplikat mahkota dan pedang, serta photo Raja Bone
dan keturunannya. "Photo penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan
saat diasingkan di Bandung pun ada di ruangan ini,"

119
Gambar 4.40. Barang-barang peninggalan kerajaan Bone di Museum Lapawawoi

Sedangkan, di ruangan keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan
perisai kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja Bone
ke 30, Fatimah Banri petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu sendiri, digunakan
dalam urusan administrasi kerajaan saat itu. Di ruangan kelima, tersimpan piagam
penghargaan VOC Belanda ke Arung Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka,
serta sejumlah photo Raja Bone dan keturunannya.

Museum Lapawawoi, sering mendapat kunjungan baik dari kabupaten Bone maupun
dari daerah lain. Tak hanya itu, pengunjung dari provinsi lain di Indonesia juga kerap

120
mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal dari luar negeri,
seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis. "Umumnya pengunjung yang
berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih mempunyai keturunan Bugis".
Umumnya, pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD
sampai SMA, dan mahasiswa. Mungkin sebagai generasi muda sudah mulai tertarik
mengunjungi,nya. terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dia berharap, agar
masyarakat paham sejarah budaya, tradisi dan pahlawannya, dan ikut
melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu ikon pariwisata Sulsel.

Museum Lapawawoi terletak di pusat kota Watampone. Tempat ini menjadi tempat
yang paling sering dikunjungi terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam
tentang kejayaan Bone masa lampau. Di museum ini terdapat berbagai koleksi benda
peninggalan Kerajaan Bone yang masih terawatt dengan baik. Benda-benda tersebut
merupakan bukti kebesaran Kerajaan Bone pada masa lalu.

Adapun benda-benda yang dipamerkan di museum Lapawawoi antara lain :


1. Peralatan Upacara Penjemputan
2. Peralatan Makan untuk Raja
3. Peralatan Bissu dan Upacara Spiritual
4. Peralatan Perkawinan
5. Peralatan Tenun
6. Peralatan Perang
7. Duplikat Payung Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge yang terletak
berdampingan dengan Rumah Jabatan Bupati Bone)
8. Duplikat Selempang Emas (aslinya disimpan di Museum Arajangnge)
9. Stempel Kerajaan
10. Pakaian Adat
11. Peralatan Nelayan
12. Peralatan Musik Tradisional
13. Duplikat Mahkota Arung Palakka
14. Piagam VOC
15. Koleksi Mata Uang Kuno
16. Koleksi Keramik
17. Koleksi Buku Lontara
18. Koleksi Foto-foto Kerajaan

121
4.2.4. SITUS BOLA SOBA (Soraja Petta Panggawae)

Bola Soba atau dalam bahasa Indonesia yang diartikan rumah persahabatan
merupakan salah satu peninggalan sejarah. Berdiri kokoh di ruas Jln Latenritatta,
Watampone, bangunan ini sarat dengan nilai-nilai sejarah yang tersirat. Bola Soba
merupakan salah satu bangunan bersejarah di Watampone, ibukota Kabupaten Bone.
Sepintas lalu, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan
seluas hampir 1/2 hektar tersebut.

Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala
masyarakat Bugis. Rumah yang berbentuk panggung dan biasanya memiliki 3 bagian
yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Rumah ini menjadi inspirasi bagi pembangunan
Rumah Besar (Saoraja). Bagian atas untuk menyimpan (lumbung) padi/makanan.
Tempat tinggal ada di bagian tengah. Sejak jaman Belanda sudah jarang dibangun
Rumah Adat Bone dengan kayu, lebih banyak dari semen. Sekarang masih tersisa di
daerah Watampone.

Gambar 4.41. Bola Soba

Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas
bangunan tersebut. Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda
monumental yang bisa menjelaskan secara historis bangunan tersebut. Hanya
beberapa perlengkapan kesenian, seperti kostum tari dan gong. Setiap hari bangunan
Bola Soba ini memang menjadi tempat latihan salah satu sanggar kesenian yang ada
di kota ini. Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat ‘bangkai’ meriam tua, potret

122
Arung Pallakka, silsilah raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu yang
sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar.

Melalui penuturan Abidin (54 tahun), Koordinator Wilayah (Koorwil) Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Bone diceriterakan sejarah bangunan ini. Bola Soba
dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri
sekitar tahun 1890. Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu,”
Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi, Baso Pagilingi Abdul Hamid yang
kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima perang) Kerajaan Bone. Saat
ditempati oleh Petta Ponggawae, maka singkap rumah (timpa’laja) diubah menjadi
empat singkap setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, dalam tata kehidupan
masyarakat Bugis, lima singkap timpa’laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi
rumah raja dan timpa’laja dengan empat singkap untuk putra raja.

Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk


Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan
Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai mes
atau penginapan untuk menjamu tamu Belanda. “Dari sinilah penamaan Bola Soba’
yang berarti rumah persahabatan,” Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan
sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La
Mappanyukki padatahun 1931, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai
bangunan peninggalan purbakala.

Tiga Kali Pindah Lokasi


Bola Soba setidaknya telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya,
terletak di Jln Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati.
Selanjutnya, dipindahkan ke Jln Veteran dan terakhir di Jln Latenritatta sejak tahun
1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef. Sebagai bangunan peninggalan sejarah,
Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa
bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya”.

Secara umum, Bola Soba yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat
bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter),

123
lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter)
serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter). Dinding
dan tappi, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas
kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa”.

Selain sebagai tempat latihan salah satu sanggar musik, Bola Soba yang juga menjadi
objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari Kabupaten
Bone, bahkan juga dari Jawa, Balikpapan, Kalimantan Timur, Malaysia hingga warga
Jerman. Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan
mengunjungi Bola Soba untuk melepas nazar. Bahkan, beberapa kerap mengaku
masih keturunan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki dan meninggalkan benda-benda
tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar”.

4.2.5. SITUS MAKAM RAJA-RAJA BONE

Makam Raja Bone ke 13 dan 21 Kalokkoe berada di belakang Mesjid Tua Al-
Mujahidin. Makam Raja Bone memang tersebar di Lalebata, Naga Ulun, Luwu,
Bukaka, Bantaeng, Makassar, bahkan ada di Tanah Kalibata.

Gambar 4.42. Makam-makam raja-raja Bone

4.2.6. SITUS MASJID TUA AL-MUJAHIDIN

Merupakan salah satu jejak Islam di Tanah Bone. Berada di tengah-tengah kota
Watampone. Mesjid ini masih asli dan merupakan salah satu dari jejak Islam di
Sulawesi. Memiliki sebuah tembok pertahanan dengan tebal sekitar 1 meter.

124
Gambar 4.43. Mesjid Mujahiddin

4.2.7. SITUS PATUNG ARUNG PALAKKA

Raja pemersatu rakyat Bugis dan wilayah Sulawesi, gagah berani dan mempunyai sifat
terpuji. Pahlawan Bone, Pahlawan Kemanusiaan. Arung Palakka yang mengeluarkan
masyarakat Bone dari garis kemiskinan dan tindasan
kerajaan lain. Benda-benda milik Arung Palakka yang
juga merupakan benda-benda pusaka seperti Payung
Emas, Payung Perak, Sarung dan Pegangan, serta
Selempang/Salimpang Emas (Sembangengpulaweng)
yang panjangnya 177 cm dengan berat 5 kg emas
murni 24 karat di simpan di Museum Arajang. Setiap
tahunnya dilakukan pembersihan benda-benda
bersejarah dan sakral tersebut. Museum ini dibuka
setahun sekali pada hari jadi Tanah Bone mengingat
banyak benda bersejarah yang sangat perlu dilindungi.
Gambar 4.44.
Patung Arung Palakka

125
BAB 5
KESIMPULAN

Kawasan Watampone merupakan bagian dari laboratorium alam sejarah dan budaya yang
sangat kaya baik sebagai sebuah bagian kebudayaan urban kerajaan Islam Sulawesi
Selatan, sejarah pergerakan nasional dan kemerdekaan serta kebudayaan Bugis Bone
sendiri yang berkembang secara khas dan unik.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dijawab beberapa pertanyaan penelitian
terkait seperti apakah morfologi kawasan Pusat kerajaan Bone Masa Silam ini pada masa
kini?. Secara fisik, morfologi kawasan Watampone sudah tidak memperlihatkan lagi sisa-
sisa kota kerajaan Bugis Bone pada masa silam. Secara fungsional, kawasan ini telah
menjadi entitas pariwisata maupun sebagai fasilitas publik lain seperti sekolah,
perkantoran, rumah sakit, ruang terbuka hijau dan sebagainya. Secara ekonomi, kekayaan
sejarah dan budaya di Kawasan Watampone menjadi daya tarik bagi sektor pariwisata
yang bertumpu kepada budaya serta sektor pendidikan untuk tumbuh dan berkembang
memberikan nilai ekonomi yang signifikan. Secara sosial, aset pusaka di Kawasan
Watampone tidak hanya bermanfaat sebagai aset ekonomi melainkan juga sebagai aset
bernilai sosial, seperti konsep magersari pada beberapa aset pusaka milik kerajaan.
Namun demikian, situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bone masa silam yg masih
bertahan hingga kini masihncukup mendukung citra kawasan ini sebagai kawasan kota
beesejarah.

Selanjutnya adakah situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih
bertahan hingga saat ini? Berdasarkan penelitian ini, pada kawasan Watampone, terdapat
situs-situs budaya yang sekaligus juga menjadi obyek wisata sejarah di Kabupaten Bone
yaitu:
1. Bukit Manurunge, Bukit ini berada di kecamatan Tanete Riattang, ri Matajang.
2. Tanah Bangkalae, Tanag Bangkalae berada di kecamatan Tanete Riattang.
3. Museum Lapawawoi, Museum ini berada di kecamatan Tanete Riattang.
4. Bola Soba, Bola Soba berada di kecamatan Tanete Riattang.
5. Kompleks Makam Raja-Raja Bone, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang
Kalokkoe.

126
6. Bubung Tello, Bubung/sumur ini berada di kecamatan Tanete Riattang.
7. Mesjid Tua Al Mujahiddin yang berada di kecamatan Tanete Riattang.
8. Komp. Makam Mesjid, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Tua
Lalebata

Bagaimana peranan situs-situs arsitektural peninggalan kerajaan Bugis Bone yang masih
bertahan tersebut terhadap citra kawasan kota bersejarah Watampone?. Keistimewaan
kawasan bersejarah yang meninggalkan sistem Kesultanan Bugis Bone sebagai bagian
dari sistem pemerintahan dan sosial budaya merupakan satu-satunya di Indonesia.
Keistimewaan ini juga memberikan warna dalam berbagai bentuk pembangunan di
Kawasan Watampone termasuk berbagai pusaka yang terkait di dalamnya. Atribut pada
Kawasan Kota Bersejarah Watampone yang merupakan aspek penentu identitas dan citra
arsitektural kawasan. yaitu :

1. Ekspresi disain fisik


Menunjukkan evakuasi panjang kesejahrahan tumbuh kembang kota yang terlihat dari
tinggalan berbentuk struktur kota, bentang alam, representasi suatu langgam, wajah jalan,
monumen, arsitektur, teknologi, pertukangan, dan/atau seni budaya yang istimewa. Dalam
hal ini Kawasan Watampone memiliki evakuasi kesejarahan dalam representasi bentuk
tata ruang, tata kota, tata bangunan dan arsitektur mulai dari kota kecil yang disebut Kota
Kawerang, kemudian menjadi kota benteng Lalebbata dan terakhir menjadi kota Pusat
Kerajaan Bugis Bone yang disebut kota Watampone hingga kota masa pemerintahan
kolonial Belanda dan ekspresi arsitektur kontemporer pasca kemerdekaan.

2. Mencerminkan identitas budaya


Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal dan/atau percampuran antar budaya
daerah/bangsa yang tercermin dalam keunikan dan karakteristik suatu tempat dan/atau
identitas budaya baik ragawi maupun tak ragawi yang masih ada atau hampir punah.
Identitas budaya Kawasan Watampone dalam karakteristik budaya Bugis yang masih
tersisa hingga kini, baik dalam bentuk ragawi seperti langgam arsitektur maupun bentuk
non ragawi seperti model busana daerah, upacara adat, hingga bahasa tutur dan sastra.

127
3. Bernilai Sejarah
Adalah memiliki peran sebagai wadah peradaban, tradisi, gerakan perjuangan bangsa
atau kejadian yang istimewa bagi Negara. Kawasan Watampone memiliki nilai sejarah
mulai dari budaya kerajaan Islam Bugis, sejarah pergerakan dan kemerdekaan hingga
pembangunan dan reformasi.

Upaya konservasi atau perlindungan fisik dan makna kawasan Watampone yang perlu
dilakukan adalah :
a) Pemahaman terhadap peran pusaka dan dampak positifnya dalam kehidupan
sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk melestarikan pusaka;
b) Intentarisasi dan dokumentasi berbagai aset pusaka ragawi dan pusaka non ragawi;
c) Advokasi, informasi, edukasi dan promosi terhadap upaya pelestarian pusaka baik
ragawi maupun non ragawi;
d) Perencanaan secara komprehensif terhadap pelestarian pusaka baik ragawi maupun
non ragawi;
e) Upaya perlindungan secara fisik terhadap aset pusaka ragawi dengan jalan
konservasi, preservasi, restorasi serta revitalisasi berbagai aset pusaka ragawi

128
DAFTAR PUSTAKA

Burgess, R. dan Tuvey, W. (2005). Urban Conservation Areas Study for the Local and
Central City Commercial Areas. Christchurch; Opus International Consultant ltd.
Endlebury, J. (2009). Conservation in the Age of Concensus. New York; Routledge
Punter, J. and Carmona, M. (1997). The Design Dimension of Planning: Theory,
Content and Best Practice for Design Policy. London: E & FN Spon.
Hamid, Abu (2012) Kebudayaan Bugis, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala
Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan.
Heryanto, Bambang (2011) Roh Dan Citra Kota, Peran Perancangan Kota Sebagai
Kebijakan Publik, Surabaya: Brilian Internasional.
Hurley, A. (2010). Beyond Preservation. Using public History to Revitalize Inner Cities,
Philadelphia, Pennsylvania: Temple University Press
Larkham, P.J. (1996). Conservation and the city. London: Routledge
Logan, W.S. et.al. (ed.). (2002) The disappearing “Asia” City: Protecting Asia’s Urban
Heritage in a Globalizing World. Oxford: Oxford University Press.
Lynch, Kevin (1962) The Image Of The City, Massachusette: The Mit Press.
Mappangra, Suriadi ed.(2004) Ensiklopedi Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar:
Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi
Sulawesi Selatan.
Mappangra, Suriadi ed. (2012), Ensiklopedi Tokoh dan Peristiwa Sejarah Sulawesi
Selatan, Makassar: Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan
Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan.Martokusumo, W dan Zulkaidi, D.
(2014). Heritage List. Some Notions on Area-based Conservation. Lesson
Learned from Bandung. Proceeding on International Conference on Urban and
Regional Planning, University Teknologi Malaysia, Skudai, Johor Bahru.
Martokusumo, W. (2014). “Pelestarian dan Perencanaan/Perancangan Lingkungan
Binaan. Sejumlah Catatan Diskusi untuk Konsep dan Implementasi
Pelestarian.” Materi diskusi bulanan dewan pakar Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia, Agustus 2014
Martokusumo, W. (2011). Contesting The Past: Between Authenticity and Urban
Conservation. Asean Journal on Hospitality and Tourism. Vol. 10, 1, July, hal.
63-76 P
Orbașli, A. (2008). Architectural Conservation. Principles and Practice. Oxford:
Backwell Publishing

129
Ouf, A.M.S. (1999). Urban conservation in practice and theory: shifting attitudes, in:
Proceedings of Cairo University/Texas A&M University Conference on Planning
Education for the 21st Century, 26-28 April
Ouf, A.M.S. (2001). Authenticity and the sense of Place in Urban Design. Journal of
Urban Design 6/1, 73-86.
Rahim, Abdul (2012) Pappaseng: Wujud Idea Budaya Bugis Makassar, Makassar:
Bidang Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi
Sulawesi Selatan,

130

Anda mungkin juga menyukai